Pesan Rahbar

Home » » Poligami Dalam Islam: Antara Doktrin Ajaran dan Problema Kemasyarakatan

Poligami Dalam Islam: Antara Doktrin Ajaran dan Problema Kemasyarakatan

Written By Unknown on Sunday, 25 September 2016 | 18:30:00


Penafsiran ayat-ayat tentang perempuan dalam al-Quran selama ini sering tekstual dan masih mengandung bias laki-laki. Tidak heran kalau posisi perempuan dalam penafsiran perempuan tersebut menjadi marjinal. Padahal jika dikaji secara mendalam, hal seperti itu tidak pernah diajarkan Islam. Dasar ajaran Islam adalah moral, keadilan dan kemanusiaan, serta tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan. Pada hakikatnya anjuran untuk melakukan poligami memiliki persyaratan yang berat, yaitu apakah membuat kaum perempuan hidup sesuai dengan martabatnya.

Dewasa ini semakin tumbuh kesadaran yang kian luas di tengah-tengah masyarakat Islam bahwa doktrin ajaran tentang poligami ternyata menimbulkan kenyataan yang problematik, terutama jika dikaitkan dengan kesadaran akan jender. Bahkan menjadi tak terelakkan jika dalam konteks sosial dan dalam sekuen waktu tertentu, praktik poligami atau praktik mengawini lebih dart satu perempuan bagi seorang lelaki itu telah menjadi lokus dart problema gender itu sendiri. Dan sini pula lantas timbul berbagai pemikiran. Mereka yang pro pada praktik poligami, kian kukuh mempertahankan argumentasinya yang dibangun dari nash al-Quran dan Sunnah tentang pentingnya poligami bagi kehidupan masyarakat. Tetapi sebaliknya, mereka yang anti poligami, atau setidaknya mereka yang kritis melihat dampak buruk poligami, juga tampil menggunakan nash al-Quran dan Sunnah guna mengabsahkan pandangan-pandangannya itu.

Karenanya, pada prolog tulisan ini akan dikemukakan dua hal yang saling berhubungan, yaitu: persepsi umum tentang poligami dan poligami sebagai sebuah problema jender. Pada uraian selanjutnya, tulisan ini berupaya membuat pemetaan masalah secara lebih komprehensif bagaimana duduk perkara poligami alias beristri banyak itu dalam pandangan Islam. Tulisan ini sengaja tidak menyajikan definisi baru dan spesifik tentang poligami. Hal ini karena kenyataan bahwa poligami sudah dikenal luas masyarakat Islam sebagai pengertian tentang seorang lelaki yang “berbini” banyak. Justru, tulisan ini mengajukan suatu pertanyaan yang bersifat menggugat. Benarkah, misalnya, anjuran untuk melakukan praktik poligami mumi karena ketetapan syariat yang tak perlu dipersoalkan lagi kontekstualisasinya? Ataukah dalam anjuran untuk melakukan praktek poligami itu sesungguhnya terdapat alasan atau klausul sosiologis, sehingga poligami dianggap relevan dan kontekstual dilaksanakan karena kondisi tertentu, tapi tidak untuk kondisi yang lain.


Persepsi Umum

Terbentuknya persepsi umum tentang poligami di mana seorang lelaki diperkenankan menikah dengan lebih dan seorang perempuan bertitik tolak dari nash al-Quran dan Sunnah Nabi. Dalam nash al-Quran disebutkan bahwa seorang lelaki muslim diperkenankan menikahi perempuan muslimah hingga sebanyak empat orang. Sedangkan dilihat dari Sunnah Nabi, diperbolehkannya poligami itu lantaran Nabi Muhammad saw. menikahi sembilan orang perempuan. Ayat al-Quran yang dengan tegas membolehkan seorang lelaki muslim menikahi hingga empat orang perempuan muslimah dalam waktu yang bersamaan adalah berbunyi sebagai berikut:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga arau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuataniaya (QS: al-Nisâ’: 4).

Ayat ini telah menjadi semacam permakluman yang kemudian membentuk persepsi umum tentang diperkenankannya melakukan praktik poligami. Disimak dari sejarah perkembangan masyarakat dengan segala peradabannya, sepintas lalu ayat ini mengabsahkan kecenderungan berpoligami yang muncul jauh sebelum Islam diturunkan ke muka bumi. Artinya, hampir pada semua bangsa yang pernah ada dalam sejarah peradaban dunia, poligami itu muncul sebagai sebuah kenyataan sosial yang normal; dan setelah itu diberikan pengakuan oleh al-Quran.[1] Sehingga kalaupun ada perbedaan yang hakiki antara masa sebelum dan sesudah Islam berkenaan dengan poligami itu, maka yang terpenting adalah di masa Islam poligami hanya bisa dilakukan maksimal dengan empat orang perempuan. Dengan lain perkataan, ayat ini memberikan legitimasi etis dan teologis yang membolehkan dilakukannya praktik poligami, dengan pembatasan akan jumlah hingga empat orang istri.

Sebuah catatan yang dibuat Dr. al-Jahrani menyebutkan kalau sebagian ulama berpendapat bahwa praktik poligami banyak terjadi di kalangan masyarakat yang berbudaya dan berperadaban tinggi. Poligami jarang terjadi di lingkungan masyarakat yang terkebelakang. Pada masyarakat yang terkebelakang itu tingkat monogami yang tinggi terjadi akibat kuatnya tuntutan pekerjaan bagi kaum lelaki sebagai pemburu dan pengumpul buah-buahan.[2] Dan keterangan ini kita dapat menarik kesimpulan bahwa sebuah masyarakat yang perekonomiannya bercorak gathering, masuk ke dalam kategori terkebelakang yang tidak memungkinkan kaum lelaki pada masyarakat itu berkesempatan untuk berpoligami. Sebaliknya masyarakat yang sudah mencapai taraf kemajuan adalah masyarakat yang mempraktikkan poligami. Persepsi umum semacam ini telah menempatkan poligami sebagai ciri terbentuknya masyarakat yang sudah maju. Untuk mendukung argumennya itu, Dr. al-Jahrani lalu membuat pernyataan seperti berikut:

Sebenarnya poligami adalah soal biasa dalam syariat Islam dan harus diterima oleh kaum muslimin. Kita tidak memerlukan lagi dalil-dalil untuk menetapkan syariatnya. Seorang muslim sejati mengetahui bahwa itu adalah hukum Allah yang tidak ada lagi pilihan kecuali mematuhi, meyakini, mendengar, dan menaatinya. Kaum muslimin adalah hamba Allah yang menyerah pasrah kepada perintah Allah Swt dalam segala urusan kehidupannya.[3]

Dan persepsi umum semacam ini, menjadi tidak mengherankan jika praktik poligami tumbuh subur hingga saat ini di tengah-tengah masyarakat Islam, bahkan mungkin tumbuh suburnya poligami itu akan terus berlanjut hingga ke masa depan. Namun demikian, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini, penerimaan terhadap poligami itu bukan lagi tanpa reserve. Bahkan dalam beberapa pandangan yang ekstrem disebutkan bahwa Islam sesungguhnya lebih condong kepada prinsip monogami, ketimbang poligami.


Problema Jender

Problema jender dalam kaitannya dengan poligami itu kini kian mengemuka. Bahkan lebih tragis lagi, poligami dianggap sebagai salah satu sebab paling pokok timbulnya problema jender itu. Berbagai pandangan dan pemikiran kritis tentang hal ini muncul pada banyak kesempatan, seperti dalam forum-forum diskusi, wacana publik maupun dalam media-media massa, Tak syak lagi, harapan dan solusi yang mengemuka pada akhirnya ialah menggugat tingkat keabsahan untuk melakukan praktik poligami itu, berbagai rambu-rambu hukum yang ketat kapan dan bilamana poligami itu dilakukan serta pentingnya melakukan “audit sosial” secara lebih luas terhadap praktik poligami.

Sebuah pemikiran menyebutkan bahwa penafsiran al-Quran tentang perempuan masih bias jender, dan di situlah kemudian, poligami menjadi pmktik nyata kehidupan umat Islam. Tentu saja bukan al-Quran yang bias jender dalam hal ini, melainkan penafsiran terhadap al-Quran itulah yang kurang tepat. Pemikiran ini antara lain dikemukakan Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid. Menurutnya, penafsiran ayat-ayat tentang perempuan dalam al-Quran selama ini sering tekstual dan masih mengandung bias laki-laki. Tidak heran kalau posisi perempuan dalam penafsiran perempuan tersebut menjadi marjinal. Padahal jika dikaji secara mendalam, hal seperti itu tidak pernah diajarkan Islam. Karena dasar ajaran Islam adalah moral, keadilan dan kemanusiaan, serta tidak pernah membedakan laki-laki dan perempuan.[4] Menurut Nuriyah, persoalan perempuan saat ini masih belum beranjak dari urusan domestifikasi. Tidak heran kalau persoalan poligami dan kekerasan dalam rumah tangga menjadi pembicaraan yang cukup serius di kalangan keagamaan, aktivis perempuan, dan pemerintah.[5]

Hampir senafas dengan statemen Sinta Nuriyah itu ialah pernyataan Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender, Jakarta, Musdah Mulia, bahwa wacana tentang perempuan dan agama seringkali merupakan interpretasi dari pemilik otoritas agama dan tidak ada kaitannya dengan agama itu sendiri. Mungkin saja yang dimaksud dengan “pemilik otoritas agama” di sini adalah para ulama. Sejauh para ulama itu hanya berpegang teguh pada pengertian-pengertian tekstual terhadap surah al-Nisâ’ ayat 4, maka sejauh itu pula dibolehkannya melakukan praktik poligami dianggap sebagai prinsip abadi yang tidak perlu diganggu gugat kontekstualisasinya. Secara demikian berarti, menurut Musdah Mulia, diperlukan usaha nyata untuk menyosialisasikan perspektif gender pada masyarakat keagamaan, khususnya Islam. Salah satu caranya adalah menerbitkan buku keIslaman tentang perempuan yang berperspektif jender, mengingat yang ada hanya 12 persen.[6]

Agaknya, problema jender yang dimaksud oleh Sinta Nuriyah maupun Musdah Mulia di sini bukanlah jender yang semata-mata berada dalam frame sosiologis masyarakat Barat. Jauh lebih penting dari itu gender di sini merupakan perspektif kesetaraan dalam relasi antara kaum lelaki dan perempuan atas dasar keadilan yang secara eksplisit memang ditegaskan oleh ajaran-ajaran Islam. Problema jender dengan pengertian seperti ini mirip dengan yang dikatakan Dr. Yulfita Rahardjo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bahwa jender bukan merupakan konsep Barat. Konsep itu berasal dari konstruksi linguistik dari berbagai bahasa yang memberi kata sandang tertentu untuk memberikan perbedaan jenis kelamin perempuan dan laki-laki konstruksi linguistik ini kemudian diambil oleh antropolog menjadi kata yang hanya bisa dijelaskan, tetapi tidak ada padanya dalam bahasa Indonesia.[7]

Menurut Yulfita Rahardjo, seperti halnya kata “poliandri” dan “poligami” yang tidak ada padanya dalam bahasa Indonesia, jender memacu pada peran dan tanggung jawab untuk perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan oleh suatu budaya, jadi bukan jenis kelamin yang memacu pada perbedaan ciri biologis. Jender menjadi isu karena banyak orang mengacaukan pemahaman antara perbedaan peran gender dan perbedaan jenis kelamin. Kesalahan ini berimplikasi terhadap hubungan (jender) yang timpang antara laki-laki dan perempuan, dan pengembangan kualitas hidup yang timpang antara kedua jenis kelamin itu. Dalam perspektif Yulfita, banyak orang mengacaukan masalah keadilan dan kesetaraan jender sebagai usaha perempuan untuk menyaingi laki-laki. Padahal maksud keadilan jender adalah perlakuan yang adil yang diberikan kepada perempuan maupun laki-laki. Dalam banyak kasus, perlakuan tidak adil lebih banyak menimpa perempuan baik di rumah, di tempat kerja maupun di masyarakat.

Ini berarti, problema jender dengan pengertian di atas adalah sebuah realitas sosial yang semestinya dicarikan solusinya dan al-Quran. Baik Sinta Nuriyah maupun Musdah Mulia telah menganggap bahwa pengakuan akan kesetaraan jender mengemuka dalam al-Quran dalam wujud penghargaan secara sama di sisi Tuhan bagi kaum lelaki dan perempuan yang berbuat baik. Maka, tanpa bisa dielakkan, poligami telah menjadi sesuatu yang inheren dalam problema jender itu.


Perempuan dalam Islam

Baik persepsi umum tentang poligami maupun poligami sebagai problema jender sebagaimana dikemukakan di atas, pada akhirnya lebih memperlihatkan adanya tarik-menarik antara kepentingan untuk terus mempertahankan jender dan pandangan kritis tentang implikasi sosial yang ditimbulkan oleh adanya praktik poligami itu, khususnya bagi kaum perempuan. Tarik-menarik ini lalu membawa kita untuk kembali mempertanyakan bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan dalam Islam.

Sesungguhnya kedudukan perempuan dalam Islam berada pada lingkup prinsip-prinsip pokok persamaan antara manusia, yaitu persamaan antara kaum lelaki dan perempuan, antar-ras, suku, bangsa dan lain-lain. Keunikan dan ciri khas yang melekat pada diri seseorang oleh Islam tidak dinyatakan sebagai faktor pembeda antara manusia yang satu dengan yang lain. Faktor utama yang membedakan seseorang dengan orang lain adalah tingkat ketakwaan kepada Allah (QS. al-Hujûrat: 13).[8] Dengan prinsip pokok persamaan semacam ini maka berbagai bentuk aktivitas sosial kaum perempuan di tengah-tengah masyarakat harus tetap berada dalam bingkai persamaan antara manusia itu. Tidak ada pembenaran secuil pun untuk menempatkan kaum perempian pada posisi kelas dua dalam interelasi sosial antar umat manusia.

Muhammad al-Ghazali pernah membuat sebuah tinjauan yang cukup penting tentang persamaan antara kaum perempuan dan kaum lelaki dalam masyarakat-masyarakat Islam. Selama seribu tahun terakhir ini, menurut al-Ghazali, terdapat fakta-fakta yang tak dapat dibantah bahwa kaum perempuan dalam masyarakat Islam menikmati keistimewaan dalam bidang materi dan sosial, yang niscaya sulit dapat ditemukan dalam masyarakat-masyarakat lain. Begitu baiknya kondisi kaum perempuan dalam masyarakat Islam selama seribu tahun terakhir ini mengalahkan posisi kaum perempuan dalam masyarakat Barat. Jika dewasa ini kaum perempuan di masyarakat Barat dianggap berhasil mencapai kemajuan, maka tingkat kemajuan itu lebih pada kebebasan berpakaian serta kebebasan pergaulan.[9]

Semangat persamaan seperti ini yang sangat dijunjung tinggi oleh al-Quran itu dengan sendirinya harus mewamai kehidupan perkawinan kaum perempuan. Namun dalam kenyataan, prinsip pokok tentang persamaan itu seringkali ditinggalkan. Ini persis dengan berbagai hal yang dikemukakan dalam prolog di atas membawa kita pada pertanyaan-pertanyaan besar. Bagaimana sebenarnya kedudukan perempuan dalam Islam? Bagaimana memaknai poligami menurut konteks kedudukan perempuan dalam Islam?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini dijelaskan melalui pembahasan terhadap kedudukan perempuan dalam Islam ketika Nabi Muhammad masih hidup dan berubah serta berkembangnya kedudukan kaum perempuan di masa kini.


Di Masa Nabi

Di masa Nabi saw, ada upaya koreksi untuk memperbaiki kedudukan kaum perempuan dari proses marginalisasi sosial, ekonomi, hukum maupun politik. Zaman sebelum Islam datang yang dikenal sebagai zaman jahiliyah, salah satu cirinya yang paling pokok ialah tidak terhormatnya posisi kaum perempuan. Perkawinan dengan segala tata aturannya di masa jahiliyah itu sebagian terbesarnya justru merugikan kedudukan kaum perempuan. Model-model perkawinan itu meliputi Istibdha’ (Jima), al-Rahthun (Poliandri), al-Maghtu (Kebencian), Badal (Tukar Menukar Isteri), al-Syighar (Tukar-Menukar), Khadan (Berpacaran), Baghaya (Perempuan Tuna Susila), dan al-Irits (Warisan).[10] Berbagai model perkawinan di masa jahiliyah yang sangat merugikan kaum perempuan itu dapat dijelaskan sebagai berikut.

Perkawinan Istibdha’ (Jima) adalah suatu model perkawinan di mana seorang suami meminta istrinya melayani seorang lelaki yang terkenal dengan kemuliaan, keberanian dan kecerdasannya. Selama itu, sang suami tidak menggauli isterinya untuk beberapa saat sampai jelas kehamilan isterinya. Tujuannya ialah agar isterinya melahirkan anak yang memiliki sifat seperti laki-laki yang telah menggaulinya, yaitu keberanian dan kecerdasan atau sifat-sifat positif yang ada pada laki-laki tersebut dan tidak terdapat pada diri sang suami.

Perkawinan al-Rahthun atau poliandri di masa jahiliyah adalah suatu model perkawinan di mana beberapa orang lelaki menggauli seorang perempuan. Setelah perempuan itu hamil dan melahirkan anak laki-laki, perempuan itu memanggil seluruh laki-laki yang menggaulinya untuk berkumpul di rumahnya. Setelah semuanya hadir, perempuan tersebut memberitahukan para lelaki itu bahwa ia telah dikaruniai seorang anak laki-laki dari hasil perkawinan dengan mereka. Kemudian perempuan tersebut memilih salah seorang dari laki-laki yang menggaulinya itu untuk menjadi nasab bagi bayi yang dilahirkan.

Perkawinan dengan model al-maghtu adalah perkawinan di mana seorang anak laki-laki mengawini istri bapak kandungnya (ibu tirinya) setelah sang bapak meninggal dunia. Secara tradisi di masa jahiliyah, jika seorang anak ingin mengawini istri bapaknya, dia melemparkan kain kepada istri bapaknya sebagai tanda bahwa ia menginginkan istri bapaknya itu. Sementara, istri bapaknya tidak dapat menolak ketentuan ini. Jika anak laki-laki yang hendak mengawini istri bapaknya itu masih kecil, maka pihak keluarga anak laki-laki itu menawan perempuan yang akan dikawini itu untuk menunggu hingga anak laki-laki itu dewasa. Baru setelah dewasa, anak laki-laki tersebut boleh membuat keputusan melanjutkan rencana perkawinannya atau melepaskan ibu tirinya. Sesuai dengan QS. al-Nisâ’: 22, perkawinan semacam ini menurut Islam haram dilakukan.[11]

Perkawinan badal atau tukar-menukar istri adalah suatu model perkawinan di mana dua orang suami tukar-menukar istri mereka tanpa bercerai (talak) terlebih dahulu. Tujuannya, melepaskan libido seksual dan menghindari kebosanan. Tukar-menukar itu dilakukan atas persetujuan para suami, sehingga para istri di sini hanyalah menjadi objek belaka.

Perkawinan al-Syighar adalah model perkawinan di mana seorang laki-laki mengawinkan anak perempuan atau saudara perempuannya tanpa mahar. Sesuai dengan bunyi teks hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Al-Syighar itu adalah bahwa seorang laki-laki berkata kepada laki-laki yang lain: ‘Kawinkan saya dengan anakmu atau saudara perempuanmu dan aku akan kawinkan kau dengan anakku atau saudara perempuanku.” Nabi saw mengatakan bahwa tidak ada pernikahan Syighar dalam Islam.[12]

Perkawinan khadan adalah sebuah model perkawinan ketika seorang perempuan berpacaran dengan seorang laki-laki secara rahasia. Mereka bergaul layaknya suami istri (kumpul kebo). Dalam masyarakat Arab jahiliyah, praktik perkawinan khadan ini tidak dilakukan secara terang-terangan, karena jika dilakukan secara terang-terangan ini merupakan sebuah kejahatan. Al-Quran melarang perkawinan semacam ini berdasarkan bunyi nash: “...dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak di antaranya maupun yang tersembunyi...” (QS. al-An’âm: 151)[13]

Dalam model perkawinan baghaya, sekelompok laki-laki hidung belang bergantian menggauli seorang perempuan yang pekerjaannya memang sebagai pelacur. Jika pelacur itu kemudian melahirkan seorang anak, orang yang menggaulinya datang beramal-ramai. Perempuan pelacur itu kemudian menisbatkan anaknya kepada orang yang paling mirip wajahnya dengan wajah anak yang dilahirkan. Perkawinan semacam ini jelas-jelas dilarang oleh ajaran Islam.

Model perkawinan al-Irits bermula dari meninggalnya seorang suami yang tidak memiliki anak atau keturunan, di mana istrinya lalu diwariskan kepada kerabatnya. Jika salah seorang sahabat dan pihak suami almarhum hendak menikahi perempuan tersebut, maka si perempuan dan keluarganya tidak boleh menolak. Dan manakala ternyata almarhum yang berkehendak untuk mengawininya, maka perumpuan itu dikawinkan dengan orang lain, namun dengan catatan bahwa mahar yang dibayarkan oleh orang lain itu diambil kerabat dan pihak suami yang telah meninggal. Al-Quran menyatakan:

...tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karna hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali jika mereka melakukan perbuatan keji yang nyata... (QS. al-Nisâ’; 19).

Dari berbagai model perkawinan yang dilarang oleh Islam itu nyata sekali bahwa terdapat upaya-upaya perlindungan terhadap kaum perempuan, baik perlindungan dalam konteks hukum, sosial dan kesopansantunan. Dengan penjelasan ini betapa di masa Nabi saw telah terjadi koreksi secara fundamental terhadap kedudukan kaum perempuan. Berbagai bentuk dan model perkawinanyang notabene merugikan kaum perempuan secara tegas dilarang oleh ajaran-ajaran Islam. Aksioma ini sesungguhnya dapat ditarik jauh kepada masalah poligami. Bahwa meskipun secara karikatural poligami berarti seorang laki-laki beristri banyak, maka pada hakikatnya anjuran untuk melakukan pongami itu memiliki persyaratan yang berat dalam pelaksanaannya, yaitu apakah membuat kaum perempuan hidup sesuai dengan martabatnya. Bahwa poligami dibenarkan oleh Islam bukanlah alasan untuk memperlakukan kaum perempuan secara semena-mena. Di sinilah keadilan menjadi tema pokok, apakah seorang perempuan merasa diperlakukan adil oleh suaminya ketika ia dimadu dengan perempuan lain. Sebagaimana dibuktikan oleh Nabi sendiri, pongami dilaksanakan dengan prinsip keadilan, sehingga karena itu para istri Nabi, kecuan Â’isyah, adalah para janda perang yang menanggung banyak anak yang menjadi yatim.


Di Masa Kini

Di masa kini, poligami telah menjadi medan perdebatan yang kian terbuka, karena dianggap melecehkan kaum perempuan. Munculnya kesadaran akan demokratisasi kehidupan sosial dan keharusan adanya kesetaraan gender dalam interrelasi antara laki-laki dan perempuan, membuat poligami dipertanyakan banyak orang secara serius. Di antara berbagai pertanyaan itu menyangkut jaminan apakah ada keadilan dalam perkawinan model poligami seperti hamya keadilan yang dibuktikan dalam kehidupan Nabi. Kenyataan bahwa istri kedua, ketiga dan keempat yang bukan dari golongan janda (dengan menanggung anak yatim dalam jumlah banyak), justru kian mempertebal gugatan tentang relevansi poligami itu. Poligami dalam hal ini sudah dianggap tak sesuai dengan semangat keadilan yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad untuk semata melindungi kehidupan sosial dan pribadi para janda. Apalagi, kecendrungan yang terjadi kini para istri muda dalam pola poligami adalah perempuan yang sesungguhnya hanya ingin dinikmati secara seksual oleh seorang laki-laki. Inilah yang lazim dikenal dalam masyarakat kita dewasa ini dengan kategori isteri muda sebagai cem-ceman seorang laki-laki.

Mungkin saja benar anggapan yang menyatakan bahwa dengan poligami itu persoalan kemasyarakatan dapat diatasi. Besarnya populasi kaum perempuan dibandingkan laki-laki, telah membuat poligami menjadi salah satu pilihan logis untuk dilaksanakan. Begitu juga halnya jika tercipta ketimpangan sosial yang menempatkan kaum perempuan dalam jumlah besar pada posisi di bawah garis kemiskinan, praktik poligami laki-laki dari kalangan masyarakat kelas menengah ke atas mungkin menjadi jalan keluar yang cukup signifikan. Begitu juga halnya jika perlindungan dan pemeliharaan anak-anak yatim penting dan mendesak dilakukan, maka poligami dapat memberikan perlindungan kepada para janda dan anak-anaknya yang telah yatim. Tetapi, bagaimana pun, alasan ini tetap saja sekunder sifatnya. Sebab, hal pertama dan paling utama yang harus ada ialah keadilan sebagai alasan primer. Ketidakutuhan kehidupan para lelaki muslim dimasa kini untuk menjadikan Nabi sebagai suri teladan, sering kali malah hanya melihat kehebatan ajaran Islam semata-mata terletak pada keleluasaan untuk melakukan poligami.

Dewasa ini, poligami menghadapi tantangan berat dari kalangan aktivis perempuan. Kritik-kritik yang dilontarkan para aktivis perempuan pada dasarnya bermuara pada kenyataan bahwa poligami merupakan model perkawinan yang hanya membuat kaum perempuan terpuruk kehidupannya. Bahwa poligami merupakan sesuatu yang disyariatkan dalam Islam adalah memang benar adanya. Tetapi apakah setiap praktik poligami sudah berjalan sesuai dengan prinsip keadilan sebagaimana disyariatkan oleh Islam jelas merupakan persoalan lain yang tak kalah Rûmîtnya. Bahwa secara normatif poligami dibenarkan oleh al-Quran, tenyata tak selalu berjalan paralel dengan realitas perkawinan dalam poligami itu. Bukan karena semakin gencarnya penyebaran paham sosial Barat sehingga poligami dianggap sebagai sesuatu yang stigmatik, lebih tragis lagi perilaku negatif para pria muslim sendiri menjadi sebab-musabab mulai tidak simpatiknya masyarakat modern terhadap praktik poligami. Dari sini lalu bisa dilihat, kenapa setelah berlangsungnya poligami itu Isteri pertama dilupakan serta dibuat sakit hati dengan berbagai macam ragam fitnah yang muncul kemudian. Poligami dengan sendirinya gagal mencapai tujuannya yang mulia untuk ikut serta menyebarkan keadilan dan mengatasi problema sosial dengan kaum perempuan sebagai partisipan utamanya.


Kontroversi Poligami

Dengan uraian di atas adalah tak berlebihan untuk mengatakan bahwa poligami telah menjadi salah satu pusat kontroversi di kalangan umat Islam, terutama dalam kaitannya dengan perkawinan. Di samping masih banyak dari kalangan umat Islam yang meyakini adanya kemaslahatan dan hikmah dibalik kebolehan dilakukannya praktik poligami, ternyata kian banyak pula orang yang memandang dengan sangat kritis praktik poligami. Secara demikian seorang pria yang mempraktikkan poligami dan sekaligus berhasil membangun keluarga sakinah yang ditandai oleh harmonisnya hubungan antara istri pertama dengan istri kedua, ketiga maupun keempat; jelas akan menjadi seorang pria yang dihormati. Tetapi sebaliknya jika dengan poligami tersebut lantas muncul keretakan hubungan rumah tangga dan tidak terurusnya anak-anak menciptakan citra yang sangat buruk tentang poligami yang hanya membuat tidak adanya kebahagiaan dalam kehidupan berumah tangga.

Dirunut dari sejarah pemikiran fiqh, kontroversi poligami jelas bukan semata sebuah gejala kontemporer. Sudah sejak lama para ulama berada dalam posisi yang kotroversial saat melihat hakikat poligami itu, sehingga dengan demikian muncul tiga pengelompokan pendapat berkenaan dengan poligami. Kelompok pendapat pertama menyebutkan bahwa secara hakiki Islam melarang poligami, kecuali karena kondisi-kondisi tertentu dimana poligami itu menjadi sangat tak terelakkan. Kelompok pendapat kedua membolehkan dilakukannya poligami berdasarkan nash dan sunnah Nabi yang sudah sangat jelas, sehingga poligami maksimal hanya boleh dilakukan terhadap empat orang perempuan. Sementara kelompok pendapat ketiga memperbolehkannya berpoligami dengan perempuan lebih dari empat orang.[14]


Yang Pro

Pendapat ulama yang masuk ke dalam kategori pro terhadap praktik poligami ialah pendapat yang menyatakan bahwa pelaksanaan poligami di dalamnya terdapat hikmah, yaitu hikmah pendidikan, syariat, sosial maupun politik.[15] Sehingga dengan mengikuti logika hikmah ini, poligami bukan saja dibolehkan, melainkan juga dianjurkan.

Yang dimaksudkan dengan hikmah pendidikan menurut pendapat ini ialah bahwa tujuan poligami sebagaimana ditunjukkan oleh Rasulullah adalah untuk mencetak ibu-ibu pendidik yang profesional mengajari kaum perempuan tentang hukum-hukum agama Islam yang hanif, terutama tentang hukum yang berkaitan dengan masalah perempuan (haid, nifas, janabah, thaharah, dan lain-lain). Menurut pendapat ini, di masa Nabi, kaum perempuan mempunyai halangan besar untuk menanyakan secara langsung masalah kewanitaan kepada Nabi. Apalagi Nabi Muhammad merupakan seorang pria yang sangat pemalu yang tidak mungkin memberi penjelasan rinci tentang permasalahan kaum perempuan. Beliau kadang menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan kaum perempuan dengan menggunakan perumpamaan- perumpamaan (kinayah) sehingga sebagian wanita malah sulit memahami maksudnya. Sebagian wanita yang lain malu bertanya langsung kepada Nabi.

Hikmah pendidikan poligami ini menjadi kian tampak, mengingat sunnah Nabi yang suci tidak hanya mencakup ucapan, tetapi mencakup juga perbuatan dan ketetapan. Ini kemudian direkonstruksi oleh ummuhatul mukminin kepada orang banyak. Artinya, masyarakat banyak yang merujuk kepada istri-istri Nabi tentang hukum-hukum agama, terutama tentang hubungan suami-istri, setelah Nabi meninggal dunia. Masyarakat pun lalu dengan mudah memperoleh gambaran tentang sunnah Rasulullah. Atas dasar itulah dapat dikatakan bahwa poligami Rasullullah merupakan sarana untuk menyebarluaskan ajaran Islam dan hukum-hukum syariat.

Hikmah syariat menurut pendapat yang pro-poligami ialah bahwa poligami berfungsi untuk menghilangkan warisan tradisi jahiliyah yang menjadi anak angkat setara dengan anak kandung dalam hal waris, kawin, talak dan lain-lain. Hal ini nyata dalam perkawinan anak angkat Nabi Zaid bin Haritsah dengan Zainab. Setelah keduanya bercerai, nabi kemudian menikahi Zainab, yang dalam zaman jahiliyah menjadi tidak mungkin lantaran hal itu dianggap menikahi isteri anak sendiri. Dalam hal ini, perkawinan Nabi dengan Zainab untuk menempatkan pada proporsinya yang tepat bahwa anak angkat tetaplah anak angkat yang tidak sama kedudukannya dengan anak kandung. Pernikahan ini kemudian diabadikan al-Quran dalam surat al-Ahzab ayat 37:

...dan kamu takut kepada manusia, sedang Allah yang lebih berhak kamu takuti. Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan kepada isterinya (menceraikannya), Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (mengawini) isteri anak-anak angkat mereka, Dan adalah ketetapan Allah pasti terjadi.

Di masa Nabi masih hidup, hikmah sosial dari poligami yang beliau jalani untuk mempererat hubungan sosial, seperti dengan Abu Bakar al- Shiddiq dan atau dengan ‘Umar bin Khattab. Putri Abu Bakar yang dinikahi Rasullah adalah Â’isyiah, sedangkan putri ‘Umar yang dinikahi Nabi adalah Hafsah. Pernikahan ini telah memperkuat kedudukan sosial Islam dalam wujud hubungan persaudaraan antara Nabi dengan para sahabat. Sehingga dari sini, poligami dipandang penting dan mendasar. Sementara hikmah politik menurut mereka yang pro-poligami dapat dijelaskan seperti berikut. Pernikahan akan membentuk ikata keluarga secara lebar besar. Dalam hubungannya dengan Nabi saw, poligami bertujuan untuk memperluas dakwah Islamiyah. Oleh sebab itu, Nabi menikah dengan Juwairiyah binti al-Harits (pemimpin Bani Musthaliq), Syafiyyah binti Hayyi bin Akhtab (pemimpin kabilan Bani Quraizhah), serta Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan bin Harb (tokoh musyrikin Quraish). Dari perkawinan ini, masyarakat Bani Musthaliq banyak yang masuk Islam, yang dengan sendirinya berarti meredakan permusuhan antara Islam dengan masyarakat Yahudi. Di samping itu, pernikahan tersebut juga mengurangi tekanan kaum Quraish terhadap Nabi Saw dan terhadap umat Islam.


Yang Kontra

Namun mereka yang kontra atau yang memandang kritis praktek poligami, melihat poligami yang dilaksanakan Nabi sebagai hal ideal yang mempertimbangkan dengan sesama prinsip keadilan dan memperlakukan para isteri secara adil. Persis sebagaimana uraian di atas, dalam kenyataan hidup sesungguhnya sangat sulit untuk dapat menemukan padanan dari apa yang pernah dipraktekkan oleh Nabi saw dalam hal poligami. Sehingga dengan sendirinya, hukum-hukum syara’ yang membolehkan poligami menjadi sangat tidak sederhana.

Misalnya tentang surat al-Nisâ’ ayat 3, seorang mufassir terkemuka, Ibn Jarir al-Thabari (w. 310 H), mengutip banyak pendapat. Dari berbagai pendapat ulama tentang ayat ini yang paling mendekati kebenaran, menurut al-Thabari, ialah kekhawatiran akan ketidakmampuan seorang wali mengelola harta anak-anak yatim.

Kekhawatiran ini paralel maknanya dengan kekhawatiran terhadap kaum perempuan. Ini berarti jangan sekali-kali berpoligami kalau tidak dapat berbut adil. Bahkan jika dengan monogami pun masih dikhawatirkan tak dapat berbuat adil, maka sebaiknya seorang pria menikahi saja budak perempuan yang dimiliki.[16] Hampir senada dengan pendapat ini adalah penafsiran yang diberikan oleh al-Jashshah,[17] al-Zamakhsyari,[18] al-Qurtubhi,[19] al-Syawkani,[20] at-Maraghi,[21] maupun Sayyid Qutbh.[22]

Dikalangan ulama modern, ada kecenderungan yang sangat besar untuk memperketat kebolehan melakukan poligami. Bahkan ada di antara mereka yang mengharamkannya, meskipun di balik keharaman tersebut disertai dengan kondisi yang membuka kemungkinan dilaksanakannya poligami. Dan sejalan dengan pandangan para pemikir modern, dalam perundang-undangan yang sekarang berlaku di negara-negara yang mayoritas berpenduduk Muslim, terkesan memberikan syarat yang cukup ketat untuk kebolehan dilakukannya poligami.[23]

Menurut para pemikir modern, larangan berpoligami, atau pun kalau boleh dengan syarat yang amat ketat, adalah ketidakmampuan suami untuk berbut adil terhadap pam isteri. Inilah yang dinyatakan dengan sangat kuat dalam surat al-Nisâ’ ayat 3, 127 dan 129. Terutama yang sangat penting digarisbawahi dalam hal ini ialah surat al-Nisâ’ ayat 129:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isterimu, walau pun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Adil dalam pengertian ayat ini berada dalam suatu wilayah cakupan yang amat luas. Bukan saja adil dalam hal memberikan materi yang cukup, namun lebih substansial lagi dari itu adalah adil dalam memberikan nafkah batin, serta adil dalam hal perasaan kaum perempuan yang dinikahi itu. Seorang pemikir Islam modern, Ameer Ali, menyatakan bahwa kebolehan poligami sangat bergantung pada kondisi, situasi dan tuntunan zaman.[24] Bahkan Muhammad Abduh menyatakan haram pelaksanaan poligami itu sehubungan dengan tidak mungkinnya berlaku adil. Apalagi, bila poligami itu hanya dimotivasi oleh pemenuhan kebutuhan biologis kaum laki-laki, keharaman untuk melaksakan poligami semakin nyata.[25]


Epilog

Dan seluruh uraian yang dikemukakan diatas jelas bahwa kebolehan untuk melakukan poligami ternyata disertai oleh syarat-syarat yang sangat berat. Bahkan syarat tersebut praktis tidak dapat dipenuhi oleh seorang laki-laki, yaitu berbuat adil kepada para istrinya. Poligami dalam koinsidensinya dengan sejarah awal perkembangan Islam ialah poligami sebagai perkecualian dari prinsip monogami, akibat berkecamuknya perang yang membawa implikasi bertambah banyaknya jumlah janda dan anak-anak yatim. Bahkan untuk ini ada sebagian mufassir yang menyatakan kalau ayat tentang dibolehkannya poligami itu turun setelah terjadinya Perang Uhud. Sehingga menjadi tak terbantahkan argumen yang menyebutkan bahwa poligami sangat bergantung pada kondisionalitas zaman. Di masa kini, harus ada semacam pertanggung jawaban moral untuk melaksanakan poligami apakah keadaan zaman memang seperti yang terjadi di masa Nabi saw. Kalau tidak, maka poligami tidak boleh dilakukan.

Untuk dewasa ini, kebenaran dan kesesuaian praktik poligami dengan prinsip keadilan dalam Islam ialah apakah poligami merupakan bagian yang inheren dan upaya pemecahan masalah kemasyarakatan atau justru menimbulkan masalah baru. Jika ternyata hanya menimbulkan masalah baru, maka tak dapat dibantah poligami haram dilaksanakan. Kenyataan terakhir inilah yang bisa menjelaskan mengapa ilustrasi yang diberikan oleh mereka yang pro terhadap poligami selalu mengambil contoh yang ideal di masa Nabi. Ini untuk membuktikan bahwa setelah Nabi dan para sahabat itu memang sangat sulit untuk menemukan praktik poligami yang dilaksanakan pada pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan.


Referensi:

1. Bahkan agama Nasrani yang kini dikenal sangat monogani dalam soal pernikahan ini sesungguhnya pernah membenarkan adanya praktik poligami. Paling tidak hingga abad ke-16 M, gereja memberikan pengakuan tentang dibolehkannya poligami. Musfir al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, terjemahan Muh. Suten Ritonga (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hal. 35.
2. Ibid., hal. 37.
3. Ibid., hal. 38-39.
4. Kompas, 22 Desember 1999.
5. Ibid.
6. Ibid.
7. Kompas, 3 Agustus 2000.
8. Penjelasan al-Quran tentang hal ini dinyatakan dalam QS. al-Hujûrat 49.: 13.
9. Muhammad al-Ghazali, Al-Islam wa al-Thâqât al-mu’attalat (Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah, 1964), hal. 138.
10. Musfir al-Jahrani, Op.Cit., hal. 5-12.
11. Bunyi lengkap ayat tersebut adalah: “Dan jangan kamu mengawini perempuan- perempuan yang telah dikawini ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dsan seburuk-buruknya jalan (yang ditempuh).”
12. Dalam kumpulan Shahih Bukhari terdapat hadis yang berbunyi: “Dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi saw melarang pernikahan syighar.
13. Untuk menghindari perbuatan keji tersebut, jalan keluar yang diberikan al-Quran dinyatakan melalui sebuah nash: “...kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah mas kawin mereka menurut apa yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezinah dan bukan (pula) perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya...” (QS. al-Nisâ’ 4.: 25).
14. Bello Daura, “The Limit of Polygami in Islam,” dalam Journal of Islamic Comparative Law, No.3 (1969), hal. 21-26.
15. Musfir al-Jahrani, Op.Cit., hal. 98-103.
16. Lihat Ibnu Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran (Beirut: Dar al- Kitab al-Islamiyah, 1978), jilid IV, hal. 155.
17. Al-Jashshash, Ahkam al-Quran (Beirut: Dar al-Kitab al-Islamiyah, t.t.), jilid II, hal. 50.
18. Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf’an Haqaiq al-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujul al-Ta’wil (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1966), jilid I, hal. 496-497.
19. Al-Qurtubhi, Al-Jami’li Ahkam al-Quran (Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabiyah, 1967), hal. 20.
20. Muhammad Ibn Razq al-Syawkani, Fath al-Qadir: Al-Jami’ Bayna Fanni al- Riwayah wa al-Dirayah min ‘Ilm al-Tafsir (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), jilid I, hal. 419.
21. Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi (Kairo: Musthafa al-Babi al-Halabi, 1969), jilid IV, hal. 181.
22. Sayyid Quthb, Fi Zhilail al-Quran (... : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1961), jilid IV, hal. 236.
23. Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad ‘Abduh (Yogyakarta, Academia, 1996), hal. 101.
24. Ameer Ali, The Spirit of Islam: A History of the Evolution and Ideals of Islam with a Life of Prophet (New Delhi: Jayyad Press, 1922), hal. 229.
25. Muhammad‘Abduh, Al-Ikhtifal bi Ihya’ Dzikra al-Ustadz al-Imam al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Kairo: Mathba’at al-Manar, 1922).

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: