Pesan Rahbar

Home » » Teori Evolusi Vs Teori Penciptaan oleh Tuhan? Kegagalan Dr. Zakir Naik

Teori Evolusi Vs Teori Penciptaan oleh Tuhan? Kegagalan Dr. Zakir Naik

Written By Unknown on Tuesday, 8 March 2016 | 19:04:00

Assalamu alaikum Wr. Wb,

Dear Colleagues,


‘’ Zakir Naik menjawab pertanyaan mahasiswa kedokteran tentang teori evolusi dan Islam di link youtube berikut, tampaknya tengah menjadi pembicaraan hangat di kalangan generasi muda kita.





Saya tergerak untuk ‘membantu’ memberi jawaban singkat atas pertanyaan mahasiswa tsb. Sekiranya Anda rasa jawaban terlampir bermanfaat, silakan di-share dengan anak2 muda Muslim yang sedang membincangkannya. Namun jika tidak, saya mohon maaf sebesar2nya telah mengambil waktu Anda untuk membacanya.

Karena perdebatan dalam video dilakukan dalam bahasa Inggris, saya berasumsi orang Indonesia yang mem-bincangkan-nya-pun mengerti bahasa itu.Oleh karenanya, jawaban terlampir saya tulis dalam bahasa Inggris juga. Pada initinya, saya mengatakan: bagi yang meyakini Tuhan itu Maha Pencipta, kenapa kok susah memikirkan bahwa Tuhan juga yang telah menciptakan evolusi — seandainya akhirnya teori tsb bisa dibuktikan benar adanya? Perpecahan Theisme dan Deisme terjadi dalam konteks Barat dan Kristen – yang berbeda konteks dengan Islam (mengingat Tuhan-nya Islam ‘Maha Bisa Apa Saja‘ – bukan hanya ‘Maha Kasih’). Jadi menurut saya ikut2an mempertentangkan teori evolusi dan agama bisa jadi ‘out of place’ dalam konteks Islam.


Terima kasih dan salam,

Wardah T. Al-Katiri, MA

(Alumni Magister Filsafat Islam ICAS Paramadina)
_________________________________________

Bantuan Jawaban untuk Zakir Naik atas pertanyaan seorang ex-Muslim atheist tentang Teori Evolusi

Oleh: Wardah Alkatiri

The dispute over theory of evolution is a good example of context-dependent issue. In a nutshell, the bone of contention between creationists (religious people) and evolutionists (scientists) is the split between theism and deism in the West (which might have not been the case of Islam). Theism believes that God not only exists but also is directly involved in the world. Deism, on the other hand, pictures God as the great clockmaker – created the clock, wound it up, and let it go. Darwin theory of evolution suits very well in Deism. Apparently, it has far reaching philosophical implications beyond the sphere of biological sciences. Darwinian evolutionism; positivistic belief in science; and racism have altogether become a rationale for unbridled imperialism. If thought through intelligently, though, a believer should have no problem accepting theory of evolution without being Darwinian. Here is my point: If one believes that God is the Creator of everything, why is it difficult to think that God created evolutionary process as well? What made him/her think God can’t do that? Even if science in the end can prove without doubts, that human being did emerge out of the evolutionary process, the creation of human in the Quran can explain this very well. In Surah al-Hijr (Q:15:28- 29) God said: “Recall when God said unto the angels: I’m creating a mortal from a ringing clay (potter clay) made of decayed mud. So when I have made him perfect and breathed unto him of My Spirit, then you must fall down before him in prostration” (Q:15:28-29) (Note: human is placed in higher level than the angels in Islamic faith). The sentence, “when I have made him perfect and breathed unto him of My Spirit” has been very categorizing about human being and animal. Human has God’s Spirit whereas animal not. Therefore, a devout Muslim can accept theory of evolution without being Darwinian. While in Darwinian paradigm, races were thought to represent different stages of evolutionary advancement with the white race at the top, the Quran, in contrast, tells God created mankind in races and tribes s

Saya, AHMAD Y. SAMANTHO, admin Blog ini, temannya Ibu Wardah alKatiri menambahkan link berikut sebagai referensi tambahan untuk masalah Teori Evolusi ini:


Tuhan dalam Evolusi

Oleh: Dr. Zainal Abidin Bagir (Pusat Kajian Agama dan Lintas Budaya, UGM, Dosen Pasca Sarjana ICAS-Paramadina, Jakarta)


“Bayangkan Anda berjalan-jalan di tepi pantai, dan menemukan jam, lalu ditanya, bagaimana jam itu ada di sana? Masuk akalkah jika dikatakan bahwa, layaknya banyak batu yang tersebar di pantai itu, jam itu memang sudah selalu ada di sana, dan tak ada manusia yang sengaja menciptakannya lalu meletakkannya di sana?” Inilah pertanyaan retoris William Paley, seorang teolog Kristen awal abad ke-19 dalam Natural Theology. Tentu saja tak masuk akal jam itu ada di sana dengan sendirinya, karena jam amat kompleks: terdiri dari banyak bagian yang dengan cermat disusun menurut desain tertentu, satu bagian dihubungkan dengan bagian lain untuk menghasilkan gerakan tertentu, dan semua itu dirancang untuk bekerja mencapai tujuan tertentu (menunjukkan waktu). Maka, jelas jam itu ada penciptanya.

Paley pun melanjutkan: Sekarang bayangkan kompleksitas alam semesta beserta segala isinya. Tak ada yang meragukan bahwa benda-benda alam seperti tumbuhan, hewan, dan manusia memiliki kompleksitas yang berlipat-lipat ganda dibanding jam. Ambil contoh mata manusia atau sayap burung. Semuanya tampak dirancang dengan amat teliti dan efisien. Kalau jam saja memerlukan pencipta, masuk akalkah jika alam yang jauh lebih kompleks tak ada penciptanya? Jelas tidak. Siapa penciptanya? Kandidat terpopuler: Tuhan.

Dengan argumen ini, yang biasa disebut argumen desain (argument from design atau argumen teleologis), Paley berpikir bahwa ia sudah membuktikan keberadaan Tuhan dengan meyakinkan. Jenis argumen ini memiliki sejarah panjang yang merentang ratusan tahun dan wujud dalam agama-agama Ibrahimi, khususnya Islam dan Kristen, dan populer tak hanya sebagai argumen akademis filsafat, tapi juga di kalangan awam. Di kalangan Islam maupun Kristen, kaum kreasionis yang memahami Tuhan sebagai Pencipta alam melalui beberapa versi argumen desain tetap bertahan, kalau tak malah berkembang pesat, hingga hari ini.

Maka tak terlalu mengherankan jika jenis argumen populer ini lalu jadi nyaris identik dengan pernyataan religiusitas, dan penafiannya identik dengan ateisme.

Di sisi lain, fakta dan teori evolusi diajukan Darwin (awalnya pada 1859 dalam Origin of Species) sebagai tandingan penjelasan kompleksitas alam yang, meminjam ungkapan ilmuwan Laplace, “tak memerlukan hipotesis tentang Tuhan”. Tak mengherankan pula jika kaum kreasionis lalu menolak keras teori evolusi dan mengecamnya sebagai bersifat ateistik.

Tapi, lepas dari soal tak diperlukannya hipotesis tentang Tuhan, benarkah fakta dan teori evolusi meniscayakan pengusiran Tuhan dari alam semesta? Satu hal yang jelas, teori evolusi memang menafikan (tepatnya: mengecilkan peluang) keberadaan Tuhan yang tampil di ujung argumen desain.


Penjelasan tandingan

Sebagian filosof menganggap bahwa argumen desain semacam yang diajukan Paley sesungguhnya sudah ditunjukkan kekeliruan logisnya oleh filosof David Hume beberapa dasawarsa sebelum Paley menulis karyanya. Repotnya, Hume tak punya alternatif penjelasan kompleksitas alam, sehingga ia pun jadi kurang meyakinkan. Kekuatan argumen desain tepat ada di sini. Untuk sekian lama, argumen desain memberikan satu-satunya penjelasan kompleksitas alam semesta yang masuk akal: Karena manusia tak punya penjelasan lain, tak mampu memahami kompleksitas itu, maka pastilah alam diciptakan Tuhan.

Namun, kekosongan alternatif penjelasan inilah yang diiisi oleh teori evolusi melalui seleksi alamiah. Seperti dinyatakan evolusionis terkemuka Richard Dawkins, teori ini menjadikan gambaran dunia makhluk yang “tercipta secara kebetulan”, tanpa memerlukan pencipta, dan tanpa memerlukan tujuan, menjadi bukan saja masuk akal, tapi mendapatkan bukti-bukti empiris yang cukup meyakinkan (The Blind Watchmaker).

Dawkins menjelaskan, kunci utama keberhasilan mekanisme seleksi alam dalam “menciptakan” makhluk hidup dengan kompleksitas menakjubkan itu adalah adanya rentang waktu yang amat panjang. Evolusi terjadi dalam sederetan langkah kecil yang amat sederhana—sedemikian sederhananya, sehingga tak mengherankan jika itu terjadi “secara kebetulan”. Kompleksitas yang menjadi kunci argumen Paley dipotong-potong menjadi penggalan-penggalan fenomena sederhana. Dengan rumus adaptasi, “yang mampu terus hidup adalah yang mampu beradaptasi dengan lingkungan”, keacakan arah perubahan itu terbatasi dengan cukup ketat, sehingga memungkinkan perubahan kecil-kecil itu terakumulasi. Serangkaian perubahan kecil itu pun menjelma menjadi makhluk-makhluk kompleks dalam rentang waktu yang amat panjang—tak kurang dari 3 milyar tahun untuk mencapai tingkat kehidupan manusia modern.

Penjelasan ini tentu teramat ringkas untuk menjawab sebagian keberatan kaum kreasionis—dalam Islam maupun Kristen—yang kerap mempertanyakan bukti-bukti empiris fakta terjadinya evolusi maupun mekanismenya. Ini tak akan dibahas lebih jauh di sini. Tak kalah pentingnya, dan lepas dari soal kebenaran klaim kaum evolusionis, haruskah penerimaan fakta bahwa makhluk hidup—termasuk manusia—ada dalam wujudnya saat ini setelah melalui evolusi panjang, dan bahwa seleksi alam adalah salah satu faktor pentingnya, berimplikasi pada keyakinan tak adanya Pencipta, seperti yang dengan tegas dipercayai Dawkins?

Sekali lagi, satu hal yang pasti, keberadaan Tuhan, sebagai bagian hipotesis ilmiah, memang tak disyaratkan. Tapi ini adalah soal yang terpisah sama sekali dari soal keberadaan Tuhan. Dari tak disyaratkannya Tuhan ke kesimpulan mengenai ketakadaanNya ada jarak logika yang dilompati Dawkins. Sesungguhnya, kesimpulan terjauh yang bisa ditarik adalah bahwa alam semesta, meminjam ungkapan filosof agama John Hick, bersifat ambigu: ia bisa dipahami secara sepenuhnya naturalistik, tanpa melibatkan Tuhan; namun bisa juga dimaknai secara religius. Teori evolusi tak memastikan pilihan mana yang bisa diambil.


Teologi tandingan: Tuhan bukan Tukang Jam

Argumen desain ala teologi Paley tentu saja tak identik dengan Kristen, tak identik dengan agama, dan, lebih-lebih, tak identik dengan keyakinan akan keberadaan Tuhan. Kritik terhadapnya pun tak identik dengan sikap ateistik. Sesungguhnya tak sedikit kaum beragama yang juga menolak argumen ini. Di kalangan Kristen, ketika sebagian ilmuwan yang sezaman dengan Darwin masih tak bisa menerima teori evolusi, telah banyak teolog yang bahkan dengan suka cita menyambutnya. Bagi mereka gagasan ini memberikan dasar bagi teologi Kristiani baru yang lebih memuaskan cita rasa intelektual.

Misalnya, 30 tahun setelah terbitnya Origin of Species, Aubrey Moore menulis, “bukti ilmiah untuk evolusi sebagai teori jauh lebih Kristiani dibanding teori ‘penciptaan khusus’, karena teori ini berimplikasi pada imanensi Tuhan dalam alam, dan kehadiran daya ciptaNya di mana-mana….” (Dikutip dari Arthur Peacocke, The Paths from Science towards God, 1998) Baginya, Tuhan yang hadir sekali-sekali dalam bentuk mukjizat berarti adalah juga Tuhan yang absen di waktu-waktu lain!

Arthur Peacocke, ilmuwan sekaligus teolog yang aktif dalam wacana sains dan agama dewasa ini, mengembangkan pandangan serupa. Baginya, penciptaan ilahiah bukanlah peristiwa sejarah yang telah selesai di suatu titik di masa lampau, tapi berlangsung terus. Di satu sisi Tuhan bersifat transenden, mengatasi alam, di sisi lain Ia imanen, selalu hadir dalam sejarah alam semesta dan manusia—selayaknya Beethoven selalu hadir setiap kali Symphony Ketujuh-nya dimainkan.

Di kalangan Muslim modern, argumen desain tak kalah populer, namun juga tak memuaskan banyak orang. Salah satu yang menonjol adalah penolakan filosof besar awal abad ke-20, Muhammad Iqbal. Dalam buku magnum opus-nya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, ia menyatakan bahwa argumen desain hanya mampu menyimpulkan Tuhan sebagai tukang yang trampil, yang selesai mencipta di masa lalu, dan terpisah dari alam hasil karyaNya. Bagi Iqbal, aktifitas pertukangan ini bukan saja tak mampu menggambarkan model penciptaan Tuhan, tapi bahkan tak layak disebut “penciptaan”.

Tuhan Iqbal adalah Tuhan penuh gerak yang aktifitas penciptaanNya amat dinamis, berkelanjutan tanpa henti. Evolusi yang terus terjadi di alam adalah cerminan dinamisme daya cipta Ilahiah ini, di mana makhluk adalah sekaligus mitra Tuhan dalam kerja penciptaan. Jika Iqbal mengkritik Darwin, maka itu menyangkut tafsir materialistik atas evolusi, bukan pada teori evolusi itu sendiri. Umumnya, teori ilmiah memang memiliki ambiguitas filosofis, sehingga bisa mendapatkan beragam tafsir filosofis.

Sesungguhnya, lebih mengherankan jika di kalangan Muslim tafsiran literal atas kisah penciptaan ala kaum kreasionis Kristen juga menjadi populer. Seperti diamati Karen Armstrong, tak seperti dalam Injil, mekanisme penciptaan tak pernah dikemukakan secara cukup terinci dalam al-Qur’an. Nyatanya, penolakan keras terhadap teori evolusi tak kalah populer hingga hari ini, sebagaimana tampak dalam karya-karya Harun Yahya. Pembaca buku-buku Yahya seperti dihadapkan pada dua pilihan: menerima evolusi atau beriman kepada Tuhan! Begitu seriuskah implikasi penerimaan suatu teori ilmiah?

Murtadha Muthahhari, yang komitmen keislamannya tak diragukan, juga mengamati perbedaan yang dikemukakan Armstrong dan mengkritik keras Muslim “yang berpikir bahwa tauhid hanya bisa ditegaskan dengan menolak teori evolusi.” Sebaliknya, ujar sang ulama, salah satu keajaiban penciptaan adalah adanya berbagai macam makhluk dengan beraneka anggota dari satu substansi sederhana dan seragam, seperti yang dikemukakan teori itu. Ia juga menegaskan bahwa “menurut Al-Qur’an, penciptaan bukan fenomena sesaat.” (Ruh, Materi, dan Kehidupan, Mizan, 1985) Dalam ungkapan Muthahhari, Tuhan tak perlu sesekali “menjulurkan lengan dari balik jubahNya” ketika akan menciptakan spesies-spesies baru, termasuk manusia, karena sesungguhnya ia selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa alam. Bahwa bahasa kaum beragama ini tak hadir dalam teori evolusi, tak berarti Tuhan tak hadir dalam proses itu. Persoalannya adalah pemaknaan, yang berada di luar lingkup sains, meskipun tak sepenuhnya terpisah darinya.

Maka kunci persoalan ini pertama-tama memang menyangkut kemampuan membedakan teori ilmiah dari tafsir filosofisnya. Bagi kaum beragama, kunci lainnya terletak pada kemampuan imajinatif membayangkan model Tuhan (dan modus penciptaan) yang baik. Tuhan yang terusir dari alam, bersama munculnya Darwin, bukanlah model Tuhan yang cukup canggih, meski amat populer.

Dalam sejarah manusia, “Tuhan” telah dibunuh berkali-kali, oleh Marx, Nietzsche, Freud, juga Darwin. Tuhan yang dibunuh Nietzsche adalah Tuhannya para filosof, yang abstrak dan jauh dari penderitaan manusia. Tuhan yang peluang keberadaanNya amat dikecilkan oleh teori evolusi adalah Tuhan yang model penciptaannya mirip proses penciptaan jam: terjadi di masa lalu yang jauh. Tuhan semacam itu tentu bukanlah satu-satunya citra Tuhan yang bisa dibayangkan manusia. Seperti dikatakan sang penulis sejarah Tuhan, Karen Armstrong, kata “Tuhan” memiliki makna yang amat beragam, dan justru karena keluwesan makna inilah gagasan tentang Tuhan tak pernah mati.




_________________________________________
https://zainabzilullah.wordpress.com/2013/05/05/sains-modern-dan-tafsir-filosofisnya-tanggapan-atas-makalah-prof-mehdi-golshani-oleh-zainal-abidin-bagir/
Sains Modern dan Tafsir Filosofisnya Tanggapan atas Makalah Prof. Mehdi Golshani 

Oleh: Zainal Abidin Bagir (Program Studi Agama dan Lintas Budaya, Pascasarjana, UGM)

Mengapa sains modern menjadi penting dibicarakan ketika kita membicarakan pemikiran seorang tokoh pemikir Muslim kontemporer seperti Muthahhari?

Salah satu unsur terpenting dalam agama adalah adanya hal-hal yang dianggap tak berubah, suatu “esensi”, sejak sejarah awalnya ribuan tahun silam. Tantangan besar untuk setiap agama, dengan demikian, adalah adanya perubahan dan perkembangan zaman. Di masa ini, hasil dari perkembangan zaman itu biasa disebut dengan istilah seperti “modernisasi”, “globalisasi”, atau mungkin juga “Westernisasi”. Disebut dengan apapun, salah satu ciri terpenting dari periode sejarah umat manusia saat ini adalah berkembangnya sains modern sejak sekitar 400 tahun silam. Perkembangan sains bisa dianggap sebagai refleksi dari perkembangan zaman, tapi tak keliru juga juga dipandang sebagai sumber atau sebab dari perkembangan-perkembangan terpenting di zaman ini. Agama, sebagai “esensi” yang relatif tak berubah tentu akan berada dalam ketegangan dengan perubahan yang terus menerus. Secara umum, persoalannya adalah bagaimana memahami hal-hal yang tak berubah itu dalam konteks yang (selalu) berubah; dan bagaimana yang satu merespon yang lain. Jawaban atas persoalan ini dengan demikian akan bergantung pada pemahaman kita atas dua hal: (i) “esensi” atau nilai-nilai keagamaan yang tak berubah, dan (ii) konteks yang baru, sebagai arena beroperasinya nilai-nilai itu, dalam hal ini sains modern.

Karena itu, dengan memahami tanggapan seorang tokoh pemikir Muslim kontemporer terhadap sains modern kita bisa berharap akan memahami pandangannya secara lebih baik. Di arena inilah relevansi ajaran-ajaran agama mendapat tantangan yang amat serius.

Sebagai pendahuluan, tanggapan Muthahhari terhadap perkembangan sains modern bisa dicirikan sebagai bersifat “progresif”. Berbeda dengan banyak kelompok Muslim, Muthahhari memiliki pemahaman yang cukup canggih mengenai baik sains modern maupun Islam. Ia sama sekali tak memiliki keberatan apapun terhadap perkembangan sains modern. Yang kerap dikritiknya adalah apa yang disebut Golshani sebagai “embel-embel filosofis” atau penafsiran filosofis atas teori-teori ilmiah. Di beberapa tempat, sebagaimana akan saya ungkapkan di bawah, yang dikritiknya adalah apa yang disebut “pandangan dunia ilmiah”, bukan sains itu sendiri. Dalam tanggapan ini saya ingin menekankan persoalan ini, yang dalam pandangan sya merupakan point terpenting yang disampaikan Prof. Golshani. Yaitu, pentingnya melakukan pembedaan antara sains modern dan penafsiran filosofis atasnya.

Di satu sisi, ini bisa dipahami bahwa Muthahhari memandang sains sebagai bebas nilai, setidaknya sejauh menyangkut nilai-nilai keagamaan. Dengan ungkapan lain yang lebih tepat, bisa dikatakan bahwa sains bersifat “religiously neutral” (atau “religiously ambiguous”). Di kalangan kaum beragama, termasuk Muslim, ini bisa dipandang sebagai sikap yang tak terlalu populer.

Muthahhari berani mengambil sikap ini karena dia, seperti dicatat Golshani, mau melakukan pembedaan antara sains dan tafsir filosofisnya. Bahwa kalaupun ada ketegangan antara sains dan agama, seringkali penyebabnya adalah aspek filosofis dari sains, bukan sainsnya sendiri. Di satu sisi, ini mungkin bisa dipahami sebagai masalah semantik belaka. Bahwa ketika sains didefinisikan terlalu sempit, terlalu teknis, maka nilai-nilai yang dikandungnya pun menjadi tanggal. Mungkin benar persoalannya adalah semantik belaka, dan seperti saya akan sampaikan di bawah, dalam beberapa kesempatan Muthahhari memang memahami sains dalam maknanya yang cukup terbatas. Tetapi, lepas dari itu, pandangan umum Muslim yang tak mau membedakan kedua hal tersebut telah berwujud pada beberapa dasawarsa terakhir dalam proyek-proyek besar seperti “islamisasi ilmu” atau “sains Islam” yang belum jelas manfaatnya. Yang dikhawatirkan, proyek-proyek yang terasa “islami” ini alih-alih memberdayakan Muslim, justru mengucilkan mereka dari pusat pergerakan peradaban modern. Ini sudah terjadi, setidaknya dalam beberapa versi proyek semacam itu. (Banyak contoh mengenai ini bisa dilihat dalam buku Parvez Hoodbhoy, Ikhtiar Menegakkan Rasionalitas- Antara Sains dan Ortodoksi Islam, Mizan, 1996; buku aslinya: 1992).

Perlu dicatat pula bahwa sebagian pemikir penting menganggap pembedaan itu (nyaris) mustahil dilakukan. Dua contoh untuk ini adalah Seyyed Hossein Nasr dan Huston Smith. Bagi Nasr, sains modern terlalu “basah” dengan nilai-nilai sekular, sehingga tak mungkin melakukan pemisahan keduanya. Setiap bagian sains modern, dengan demikian, harus dikritik dari sudut pandang metafisika tradisional. Bagian-bagian yang dianggap tak sesuai harus ditolak—sekalipun ia tampaknya didukung oleh data-data empiris. Salah satu contoh terjelas untuk ini adalah sikapnya terhadap teori evolusi, yang dianggapnya menghancurkan salah satu pondasi terpenting dalam metafisika tradisional, yaitu hirarki dan ketetapan maujud.

Amat mirip dengan Nasr, Huston Smith secara eksplisit menyampaikan bahwa kalau saja kita bisa melakukan pembedaan atas (nilai instrumental) sains dan “embel-embel filosofisnya”, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dalam sains modern. Nyatanya, menurut Smith, pembedaan itu mustahil dilakukan. Dalam bukunya Why Religion Matters, ia menyampaikan kisah tentang suku terasing yang menyadari berkah penisilin, karena berhasil menyembuhkan penyakit yang tak bisa disembuhkan pengobatan tradisional. Suku itu pun kehilangan kepercayaan pada pengobatan tradisional mereka, dan memeluk peradaban modern. Smith menyesalkan hal ini, karena baginya pengobatan tradisional memiliki concern yang tak semata-mata fisik/material, tapi juga mengandung kebijaksanaan-kebijaksanaan yang tak bisa digantikan oleh sains modern. Smith mengajukan contoh ini untuk menunjukkan betapa dalam praktik (nyaris) tak mungkin melakukan pembedaan itu. Di bawah ini nanti, ketika memberikan contoh sikap Muthahhari terhadap teori evolusi, saya akan menunjukkan bagaimana pembedaan sains dan tafsir filosofis itu perlu dan bisa dilakukan.

Sebelum itu, bagaimana Muthahhari memandang sains modern?

Secara ringkas bisa dikatakan bahwa Muthahhari mengakui legitimasi sains modern sebagai aktifitas intelektual untuk memahami alam semesta. Sampai di sini kita bisa membedakan posisinya dari posisi banyak pemikir Muslim kontemporer yang menilai sains modern lebih sebagai instrumen, sebagai alat untuk melakukan kontrol atas alam (teknologi), dan nyaris tak memberi kita pengetahuan yang sebenarnya tentang alam semesta. Inilah pandangan yang biasa dikenal sebagai instrumentalisme. Buat kaum beragama, sesungguhnya ini adalah pandangan yang cukup “aman”. Mengapa? Salah satu peluang konflik sains dengan agama adalah jika keduanya melontarkan truth claims mengenai alam semesta. Dengan mengingkari kemampuan sains dalam memberikan pengetahuan konseptual mengenai alam semesta, salah satu sumber konflik ini hilang. Memang ini pandangan yang “aman”, namun juga miskin (atau memiskinkan makna sains).

Muthahhari bukanlah seorang instrumentalis. Ia adalah seorang realis. Dalam beberapa pembahasannya, tampak bahwa ia mengakui kemampuan sains memberi tahu kita mengenai seperti apakah dunia tempat kita hidup ini. Meski demikian, di samping segala nilai baik dan kekuatannya, ada dua keterbatasan penting sains modern yang ditekankan Muthahhari. Pertama, sains terbatas karena, tak seperti agama, ia tak mampu menyalakan harapan manusia, menumbuhkan cinta, ataupun menegaskan tujuan dan maksud segala perkembangan yang dipicunya sendiri. Pendeknya ia, dalam dirinya sendiri, tak mampu sepenuhnya memanusiakan manusia. Kebutuhan ini bisa sebagiannya dipenuhi oleh filsafat dan seni, tapi agamalah yang pada akhirnya berperan paling besar di sini.

Keterbatasan kedua, kelebihan yang sekaligus merupakan kekurangan sains adalah sifatnya yang terlalu memusatkan perhatian pada bagian-bagian—bukan keseluruhan—realitas. Dengan demikian keluasan alam semesta bisa dikerat-kerat dalam kepingan-kepingan yang bisa dikontrol, dianalisis, diletakkan di bawah mikroskop, disayat-sayat dengan pisau, dibawa ke labarotarium, dan sebagainya. Sains berkembang pesat dengan cara ini. Dengan demikian, ia “bisa memenuhi seluruh halaman sebuah buku dengan pengetahuan tentang sehelai daun.” Pengetahuan yang dihasilkannya pun amat eksak, berpresisi, dan teliti. Meski demikian metode ini pada saat yang sama memiliki keterbatasan: pengetahuan yang dihasilkannya tak pernah lengkap dan tak boleh berpretensi lengkap. Dalam pandangan sains, alam semesta adalah bagaikan buku yang halaman pertama dan terakhirnya telah hilang. Selain itu, perkembangan sains yang pesat juga berarti bahwa kebenaran yang dihasilkannya tak stabil.

Kesadaran akan keterbatasan-keterbatasan tersebut menghindarkan seseorang dari terjebak dalam saintisme. “Saintisme” bisa didefinisikan sebagai pandangan yang melihat sains sebagai semacam pandangan dunia, sebagai berkemampuan menghasilkan sistem konseptual yang menyeluruh mengenai dunia. Sebagian kaum ilmuwan ateis meyakini hal ini, dan menganggap bahwa kini sains modern sudah dapat menggantikan peran agama sebagai basis pandangan dunia. Sementara banyak pemikir religius berbagi keyakinan yang serupa, meskipun kemudian memilih membela agama dengan mengorbankan sains. Bagi Muthahhari kedua kelompok ini berbagi kekeliruan yang sama: melihat sains sebagai basis pandangan dunia. Dalam situasi ini hanya ada dua pilihan: menolak sains atau menolak agama.

Saya sampaikan di atas bahwa pandangan kaum instrumentalis lebih “aman” buat kaum beragama. Sebaliknya, pandangan kaum realis, seperti yang dianut Muthahhari, lebih beresiko karena ia membuka peluang perbentutan truth claims antara sains modern dan agama mengenai karakter alam semesta. Bagaimana ia menghindari peluang pertentangan itu? Selain kesadaran akan kedua keterbatasan sains di atas, unsur lainnya telah saya singgung: pembedaan sains modern dan tafsir filosofisnya. Saya ingin mengambil contoh respon Muthahhari terhadap sains yang dibahasnya cukup mendalam, yaitu teori evolusi. Golshani telah mengambil contoh ini juga, jadi saya hanya akan membahasnya secara singkat.

Mesti diakui bahwa teori evolusi merupakan tantangan yang amat serius terhadap agama. Salah satu sebab utamanya, sesugguhnya, tidaklah berasal dari teori ilmiah itu sendiri, tapi justru dari pemahaman teologis kaum beragama mengenai gagasan penciptaan oleh Tuhan. Seperti disinggung Golshani, argumen yang paling populer berkaitan dengan ini adalah apa yang disebut argumen desain (design argument). Satu hal yang jelas, teori evolusi memang menafikan (tepatnya: mengecilkan peluang) keberadaan Tuhan yang tampil di ujung argumen desain. Persoalannya adalah apakah argumen desain adalah satu-satunya argumen yang bisa digunakan kaum beragama?

Argumen desain tentu saja tak identik dengan agama, dan, lebih-lebih, tak identik dengan keyakinan akan keberadaan Tuhan. Kritik terhadapnya pun tak identik dengan sikap ateistik. Sesungguhnya tak sedikit kaum beragama yang juga menolak argumen ini. Di kalangan Kristen, ketika sebagian ilmuwan yang sezaman dengan Darwin masih tak bisa menerima teori evolusi, telah banyak teolog yang bahkan dengan suka cita menyambutnya. Bagi mereka gagasan ini memberikan dasar bagi teologi Kristiani baru yang lebih memuaskan cita rasa intelektual.

Misalnya, 30 tahun setelah terbitnya Origin of Species, Aubrey Moore menulis, “bukti ilmiah untuk evolusi sebagai teori jauh lebih Kristiani dibanding teori ‘penciptaan khusus’, karena teori ini berimplikasi pada imanensi Tuhan dalam alam, dan kehadiran daya ciptaNya di mana-mana….” Baginya, Tuhan yang hadir sekali-sekali dalam bentuk mukjizat berarti adalah juga Tuhan yang absen di waktu-waktu lain!

Di kalangan Muslim modern, argumen desain tak kalah populer, namun juga tak memuaskan banyak orang. Salah satu yang menonjol adalah penolakan filosof besar awal abad ke-20, Muhammad Iqbal. Dalam buku magnum opus-nya, Reconstruction of Religious Thought in Islam, ia menyatakan bahwa argumen desain hanya mampu menyimpulkan Tuhan sebagai tukang yang trampil, yang selesai mencipta di masa lalu, dan terpisah dari alam hasil karyaNya. Bagi Iqbal, aktifitas pertukangan ini bukan saja tak mampu menggambarkan model penciptaan Tuhan, tapi bahkan tak layak disebut “penciptaan”.

Tuhan Iqbal adalah Tuhan penuh gerak yang aktifitas penciptaanNya amat dinamis, berkelanjutan tanpa henti. Evolusi yang terus terjadi di alam adalah cerminan dinamisme daya cipta Ilahiah ini, di mana makhluk adalah sekaligus mitra Tuhan dalam kerja penciptaan. Jika Iqbal mengkritik Darwin, maka itu menyangkut tafsir materialistik atas evolusi, bukan pada teori evolusi itu sendiri. Umumnya, teori ilmiah memang memiliki ambiguitas filosofis, sehingga bisa mendapatkan beragam tafsir filosofis.

Muthahhari pun mengkritik keras Muslim “yang berpikir bahwa tauhid hanya bisa ditegaskan dengan menolak teori evolusi.” Sebaliknya, ujarnya, salah satu keajaiban penciptaan adalah adanya berbagai macam makhluk dengan beraneka anggota dari satu substansi sederhana dan seragam, seperti yang dikemukakan teori itu. Ia juga menegaskan bahwa “menurut Al-Qur’an, penciptaan bukan fenomena sesaat.” (dalam Ruh, Materi, dan Kehidupan) Dalam ungkapan Muthahhari, Tuhan tak perlu sesekali “menjulurkan lengan dari balik jubahNya” ketika akan menciptakan spesies-spesies baru, termasuk manusia, karena sesungguhnya ia selalu terlibat dalam peristiwa-peristiwa alam. Bahwa bahasa kaum beragama ini tak hadir dalam teori evolusi, tak berarti Tuhan tak hadir dalam proses itu. Persoalannya adalah pemaknaan, yang berada di luar lingkup sains, meskipun tak sepenuhnya terpisah darinya.

Maka kunci persoalan ini pertama-tama memang menyangkut kemampuan membedakan teori ilmiah dari tafsir filosofisnya. Bagi kaum beragama, kunci lainnya terletak pada kemampuan imajinatif membayangkan model Tuhan (dan modus penciptaan) yang baik. Tuhan yang terusir dari alam, bersama munculnya Darwin, bukanlah model Tuhan yang cukup canggih, meski amat populer. Bagi Muthahhari, Tuhan sebagai Pencipta yang dimunculkan sebagai penjelasan untuk kompleksitas alam, karena tak adanya penjelasan lain, adalah Tuhan yang merupakan buah ketidaktahuan. “Ketika tertumbuk pada hal-hal yang tak diketahui, mereka ‘menyeret’ Tuhan ke dalamnya,” kritiknya. Inilah yang disebut “God of the gaps”, Tuhan yang merupakan buah ketidktahuan, bukan buah pengetahuan. Bagi filosof yang demikian rasional seperti Muthahhari, tentu model Tuhan seperti ini sulit diterima.

Sebagai penutup, dalam tanggapan yang singkat ini, saya ingin menekankan satu hal yang semoga tampak lebih jelas dalam pembahasan tentang evolusi di atas. Yaitu, bahwa konflik antara sains dan agama seringkali merupakan konflik antar suatu tasfir atas teori ilmiah melawan tafsir atas suatu gagasan keagamaan. Keduanya merupakan wilayah yang ambigu, dan karenanya dapat mengundang banyak penafsiran. Kunci upaya “mendamaikan” sains dan agama pun tampaknya terletak di sini.

______________________________________
http://biologi.ugm.ac.id/?p=3849
Sukses Menggelar Seminar Nasional Evolusi, KMP Fakultas Biologi UGM Mendapat Sambutan Baik dari Berbagai Pihak

Yogyakarta – Evolusi adalah topik yang selalu menarik untuk didiskusikan. Sebagaimana yang diharapkan, Keluarga Mahasiswa Pascasarjana (KMP) Fakultas Biologi UGM dapat menyelenggarakan Seminar Nasional Evolusi melalui Departemen Kajian dan Strategis (KASTRAT) pada Sabtu (19/12/2015).

Seminar Nasional yang bertemakan “Evolusi dan Ideologi” tersebut mendapat sambutan baik dari berbagai pihak. Kegiatan dilaksanakan di Ruang Sidang Bawah Fakultas Biologi UGM, dihadiri oleh mahasiswa dan dosen dari beberapa universitas di Indonesia meliputi UGM, UMS, Andalas, UAD, Cendrawasih, Airlangga, UIN Kalijaga, serta umum baik sebagai peserta maupun pemakalah.

Dalam sambutannya, Ketua KMP Fakultas Biologi UGM, Firdaus menyatakan bahwa “Evolusi adalah ilmu yang ‘sexy’. Bahkan Evolusi itu sendiri mengalami Evolusi. Besar harapan, kegiatan ini dapat senantiasa kita adakan setiap tahunnya”.

Acara dibuka secara resmi oleh Bapak Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc., Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Biologi UGM. “Seminar Nasional Evolusi ini kedepannya dapat dijadikan sebagai agenda tahunan dengan pengembangan tema yang lain. Kami sangat mengapresiasi kerja keras KMP Fakultas Biologi UGM sehingga Seminar Nasional Evolusi perdana ini dapat terlaksana dengan baik”, ujar Bapak Dr. Budi Setiadi Daryono, M.Agr.Sc.

Diskusi panel yang menghadirkan tiga pakar kajian Evolusi yaitu Bapak Rusyad Adi Suriyanto, S.Sos., M.Hum. (Bioantropologi dan Paleoantropologi), Bapak Dr. Zainal Abidin Bagir (Filsafat dan Lintas Budaya), dan Bapak Drs. B. Boy Rahardjo Sidharta, M.Sc. (Genetika) yang dimoderatori oleh Donan Satria Yudha, S.Si., M.Sc. direspon baik para peserta. Peran paleontologi, khususnya paleontology hominid untuk pemikiran evolusi dikupas tuntas oleh Bapak Rusyad. “Walaupun bukti-bukti paleontologis dan paleoantropologis masih belum begitu memuaskan untuk pemikiran Evolusi sejauh ini, namun kita masih beruntung bahwa secara teoritis semua organisme mati diadwarkan kembali (recycled) dalam alam”, terang Beliau di akhir pemaparannya.

Adalah Menikmati Tonjokan Si “Tukang Pukul Darwin” yang disampaikan oleh Bapak Dr. Zainal Abidin Bagir melengkapi kajian Evolusi dari perspektif Agama. “Sebagaimana diketahui bahwa pemahaman teori Evolusi terhadap agama tidak bisa dihubungkan dengan Tuhan. Teori ilmiah mempunyai penafsiran yang berbeda-beda apabila dilihat dari perspektif agama. Teori Evolusi diciptakan tanpa Pencipta tetapi dapat dihasilkan secara ilmiah. Teori Evolusi tidak melawan ciptaan Tuhan, tetapi memberikan ide-ide yang lebih menarik tentang penciptaan Tuhan”, ungkap Beliau.

Mengakhiri diskusi panel, Bapak Drs. B. Boy Raharjo Sidharta, M.Sc. dalam pemaparannya tentang Evolusi dari perspektif Sains (Genetika) atau Evolusi Biologi: fakta ilmiah menjelaskan bahwa Evolusi Biologi merupakan perubahan bentuk kehidupan seiring perubahan waktu menghasilkan keturunan dengan perubahan (descent with modification). Melalui pemahaman Evolusi maka asal usul kehidupan, sejarah kehidupan, fungsi makhluk hidup dan interaksinya dengan makhluk lain dapat diketahui, mampu menyusun kembali sejarah budaya manusia termasuk penggunaan bahasa, teknologi ilmu pengetahuan, serta sangat aplikatif dalam bidang-bidang ilmu lain seperti teknik rekayasa genetika.

Kegiatan seminar diakhiri dengan presentasi oral tentang “Peran Manusia sebagai Kholifah di Bumi: Dulu, Hari Ini, dan Esok” oleh Yasir Sidiq, S.Pd., M.Sc. dan “Toward Sustainability: Pandangan Evolusi Kajian Sumber Daya Manusia” oleh Andi Tenripada, S.Si., M.Sc. Seluruh rangkaian kegiatan seminar ini pun ditutup dengan foto bersama. (A.B.I.P / DS)
__________________________________________

https://ahmadsamantho.wordpress.com/2013/07/30/relasi-hominid-dan-adam-sebuah-pendekatan/
RELASI HOMINID DAN “ADAM”: SEBUAH PENDEKATAN

Oleh: Awang Satyana


Diskusi seperti ini selalu memicu perdebatan, dan akhirnya mencampuradukkan sains dan iman, membuat pertentangan antara kaum fundamentalis dan para rasionalis, mempertajam persinggungan keduanya, padahal tidak perlu bila kita bisa menyikapinya dengan baik dan berkepala dingin.

Berikut tulisan saya terbaru, cukup multidisiplin dan dilatarbelakangi pengalaman saya berdiskusi dan berdebat dengan berbagai kalangan, baik para fundamentalis yang “terlalu” menganggungkan Kitab Suci seolah Kitab Suci itu jawaban untuk semuanya, dan para kaum rasionalis termasuk para atheis yang mencampakkan semua yang serbaTuhan.

Saya sendiri seorang penggali ilmu pengetahuan dan beriman Kristen, percaya kepada teori evolusi, dan percaya kepada Tuhan. Saya mulai menggali masalah2 sains dan iman sejak awal sekali, saat saya masih SMP, 35 tahun yang lalu, dengan mengambil berbagai kursus Alkitab dan menggumuli sains dari awal. Kini sebagai seorang geologist selama 25 tahun ini yang juga mengaku percaya Tuhan, saya melihat kedua faktanya: fosil-fosil yang menunjukkan evolusi, dan betapa hebatnya perbuatan Tuhan atas Bumi ini. Maka saya menggunakan geologi untuk mengagumi Tuhan, dan saya tak pernah menggunakan Alkitab untuk menilai hasil-hasil ilmu pengetahuan.

Barangkali tulisan pendek ini dapat menjawab pertanyaan beberapa rekan terkait posting saya terdahulu (Kronologi Adam).

PERTANYAAN DASAR

Hominid adalah makhluk mirip manusia, misalnya Homo erectus, Homo neanderthalensis, manusia Cro-Magnon, dsb. Adam, seperti diajarkan, adalah manusia pertama.

Pertanyaan: Apakah Adam:
(1) salah satu hominid, katakanlah manusia Cro-Magnon?
(2) manusia modern seperti kita tetapi sebagai bentuk evolusi lanjutan dari hominid, (3) bentuk baru sama sekali sebagai manusia modern yang langsung diciptakan Tuhan, bukan turunan evolusi?

Pertanyaan yang sangat sulit jawabannya dan penuh perdebatan. Jawaban tepatnya adalah KITA TIDAK TAHU. Saya sebenarnya puas dengan jawaban pendek itu. Tetapi mari kita coba dekati pertanyaan itu dengan berbagai pendekatan, apakah kita bisa menjawabnya. Jawaban saya ini bersifat terbuka, artinya ada beberapa jawaban. Dan semua jawaban itu bisa salah.


KRONOLOGI ADAM

Dari perhitungan silsilah Adam khususnya berdasarkan Alkitab (saya mendasarkan kepada Alkitab sebab itu yang saya ketahui sesuai iman kristiani saya, silakan teman-teman Muslim menambahkannya berdasarkan Al Qur’an), oleh beberapa ahli seperti yang saya sudah tulis sebelumnya, misalnya Camping, diperhitungkan bahwa Adam muncul di dunia ini sekitar 11.000 SM. Apakah ini benar? Bisa benar bisa salah.

Jawaban yang tepat sesungguhnya adalah TIDAK TAHU. Mengapa? Sebab menghitung umur dari silsilah/genealogi bisa tidak tepat, khususnya dalam bahasa Ibrani kata-kata untuk ayah (ab) dan anak (ben) bisa berarti banyak. “Ab” bisa berarti ayah, kakek, kakek buyut, dan ayah-kakek buyut (Juga ‘Ab’ dipakai untuk orang tua yang dihormati walaupun secara fisik tidak punya hubungan darah). Hal yang sama, “Ben” dapat berarti anak, cucu, cucu buyut, anak cucu buyut. Terdapat flexibilitas dalam bahasa Ibrani untuk penggunaan ab dan ben. Suatu hal yang fleksibel, tidak definitif, maka akan menyulitkan perhitungan kronologi yang eksak. Itu juga sebabnya mengapa kadang-kadang genealogi dalam Alkitab suka berbeda-beda (misalnya yang dalam Kitab2: I Korintus 3, Matius 1, dan Lukas 3).

Beberapa kronologi yang pernah dikemukakan tentang kapan Adam diciptakan, sangat bervariasi, secara umum antara 10.000 – 35.000 tahun yang lalu (titik ekstrem termuda 6000 dan titik ekstrem tertua 50.000 tahun yang lalu; misalnya cek publikasi Ross, 1989: Science in the News: Will the Real Adam Please Stand Up?).


KRONOLOGI ADAM VS. KRONOLOGI HOMINID TERAKHIR

Bila Adam diciptakan Tuhan paling tua 50.000 tahun yang lalu atau 35.000 tahun yang lalu, maka ada periode saat Adam (dan keturunannya) pernah satu masa dengan para hominid terakhir.

Hominid adalah makhluk mirip manusia (homonoid – hominid). Contohnya adalah Homo erectus, Homo neanderthalensis, manusia Cro Magnon, dsb. Mereka berevolusi dari satu bentuk ke bentuk yang lain, meskipun bisa saja mereka tak berhubungan. Mereka itu pernah ada mendiami beberapa bagian di permukaan Bumi ini sebab fosil-fosilnya, tempat tinggalnya, perkakasnya, dan kuburannya telah ditemukan. Kita tidak akan membahas Homo erectus sebab Homo erectus telah punah 100.000 tahun yang lalu, puluhan ribu tahun sebelum Adam ada, tetapi kita akan bahas lebih lanjut beberapa spesies hominid sebab masa akhir mereka pernah satu zaman dengan Adam bila Adam pertama muncul di dunia antara 50.000 – 35.000 tahun yang lalu.

Homo neanderthalensis (manusia Neandertal) hidup di Eropa pada zaman es dan Asia Barat (Asia Barat adalah daerah klasik tempat Adam dan tokoh-tokoh Alkitab pernah hidup) pada sekitar 250.000 – 30.000 tahun yang lalu (perhatikan bahwa masa akhirnya pernah sezaman dengan Adam bila Adam mulai ada di dunia antara 50.000 – 35.000 tahun yang lalu). Fosil-fosil dan kuburan manusia Neandertal telah ditemukan di Prancis, Italia, Belgia dan Jerman, juga di Palestina dan Irak . Kapasitas otaknya antara 1200-1650 cc, menyamai atau melebihi kapasitas otak manusia modern (1500 cc) (Dahler & Budianta, 2000: Pijar Peradaban Manusia – Denyut Harapan Evolusi – Kanisius). Mereka tinggal di gua-gua. Dari peninggalan-peninggalan yang ditemukan, mereka telah membuat perkakas yang paling maju dibandingkan hominid sebelumnya, juga telah mengenal api. Mengapa Homo neanderthalensis yang sukses melewati zaman es selama 200.000 tahun lalu punah? Belum ada jawaban yang memuaskan, tetapi diduga karena mereka kalah berkompetisi dengan manusia modern (Homo sapiens) yang bermigrasi dari Afrika kemudian mencapai Eropa 40.000 tahun yang lalu, sehingga ada masa 10.000 tahun manusia Neandertal pernah hidup berdampingan dengan Homo sapiens dan mereka kalah bersaing (Winston, 2004: Human –Dorling Kindersley Ltd.).

Homo sapiens berevolusi 150.000-200.000 tahun yang lalu di Afrika. Dari sekitar 100.000 tahun yang lalu mereka mulai meninggalkan Afrika (out of Africa) dan menjelajahi banyak tempat di dunia melalui dua gelombang. Gelombang pertama melalui Asia selatan, Indonesia dan Australia (55.000 tahun yang lalu mereka mencapai Australia). Gelombang kedua melalui India, sisa Asia (60.000 tahun yang lalu mereka mencapai Cina) dan Eropa. Tempat terakhir yang dijelajahi Homo sapiens adalah Amerika. Mereka menyeberangi Laut Bering ke Alaska, Amerika Utara pada 13.500 tahun yang lalu, dan pada 12.500 yang lalu meraka telah sampai di Cile, Amerika Selatan. Kedatangan mereka juga memunahkan spesies hominid sebelumnya yang ada di tempat itu, sehingga mereka menjadi hominid dominan satu-satunya di dunia. Lalu pada sekitar 40.000 tahun yang lalu, terjadilah sebuah revolusi kebudayaan yang oleh beberapa ahli disebut “Great Leap Forward”, yang terjadi mengikuti munculnya satu subspesies Homo sapiens bernama “manusia Cro-Magnon” di Eropa. Anatomi manusia ini modern – seperti kita, bermasyarakat, berkelakuan modern juga, banyak melakukan inovasi dibanding sebelumnya dalam hal: seni, musik, agama, mitologi, perdagangan, pakaian, tempat tinggal dan peralatan (Winston, 2004, op.cit).


SIAPAKAH ADAM – ANALISIS KATA IBRANI/ARAM DAN YUNANI/KOINE

Boleh diduga, berdasarkan kronologi Adam di atas (kalau benar) maka Adam sezaman dengan manusia modern (Homo sapiens) Cro-Magnon yang hidup dalam zaman revolusi kebudayaan Great Leap Forward. Menjadi pertanyaan, apakah Adam manusia Cro-Magnon, atau turunan manusia Cro-Magnon secara evolutif, atau siapakah Adam? Kembali jawabannya yang benar adalah: TIDAK TAHU. Tetapi coba kita analisis bahasa asli Alkitab (Ibrani) berikut ini tentang penciptaan Adam.

Sebuah kutipan dari Kitab Kejadian 1:26-27 (terjemahan bahasa Indonesia),

Kejadian 1:26 Berfirmanlah Allah: “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”

Kejadian 1:27 Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.
Bahasa aslinya (Ibrani versi Aram):

Kejadian 1:26 Wayo’mer ‘Elohiym, Na`seh ‘ADAM btsalmenuwkidmuwtenuw wyirduw bidgat hayam uwb`owp hashamayimuwbabhemah uwbkal- ha’arets {*} uwbkal- haremes haromes`al- ha’arets.

Kejadian 1: 27 Wayibra’ ‘Elohiym ‘et- ha’ADAM btsalmow btselem’Elohiym bara’ ‘otow zakar uwnqebah bara’ ‘otam.

(ADAM saya tulis dalam huruf besar sebagai penonjolan)

Manusia pertama, diciptakan (bara’, Kejadian 1:27) oleh Allah (Elohiym) menurut gambar Allah (tselem), pada hari keenam. Allah membentuk manusia itu seperti tukang periuk belanga membentuk, yatsar, Kejadian 2: 7) dari debu tanah (‘adama), dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (nisymat khayyim). Hasilnya ialah bahwa ‘manusia itu’ menjadi makhluk hidup (nefesy khayya).

Kejadian 2:7 Ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.

Kejadian 2:7 Wayiytser Yahweh ‘Elohiym ‘et- ha’ADAM `apar min-HA’DAMAH wayipach b’apayw nishmat chayiym wayhiy ha’ADAMlnepesh chayah.

Nama Adam (‘adam), di samping sebagai nama diri, juga mengandung arti ‘manusia’. Bila kata benda ini muncul dengan kata sandang positif (ha’adam) baiklah diterjemahkan sebagai nama benda biasa daripada sebuah nama diri. Dapat dilihat bahwa nama Adam muncul di ayat-ayat itu baik sebagai nama diri (adam) maupun manusia (ha’adam).

Adam dibedakan dari binatang-binatang, tetapi pembedaan itu bukan karena nama tambahan nefessy dan ruakh yang terkait dengannya, sebab kedua istilah ini kadang-kadang juga digunakan untuk binatang-binatang, melainkan karena ia diciptakan menurut gambar Allah, diberi kuasa atas segala binatang, dan mungkin juga karena Allah sendiri menghembuskan nafas hidup (nesyama) ke dalam hidungnya.

I Korintus 15:45 Seperti ada tertulis: “Manusia pertama, Adam menjadi makhluk yang hidup…

Dalam bahasa aslinya (Yunani versi Koine):

I Korintus 15: 45 Houtos kai gegraptai: “Egeneto ho PROTOSANTHROPOS ADAM eis psuchen zosan.”

Adam digambarkan sebagai manusia pertama. Asalnya yang unik tanpa bapak atau ibu diperkenalkan guna menarik perhatian kepada fakta, bahwa apabila semua orang lain pada genealogi manusia dikatakan adalah anak atau keturunan dari nenek moyang dalam setiap garis keturunan, maka Adam dikatakan adalah anak Allah. Adam tidak datang melalui keturunan manusia. Lukas 3:38 menceritakan tentang silsilah Adam yang punya anak bernama Set, Set beranak Enos. Lalu siapa ayah Adam, disebutkannya: Allah.

Lukas 3:38 anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah.
Lukas 3: 38 tou Enos tou Seth tou Adam tou Theou.

Bagaimana kita hendak menafsirkan ayat-ayat di atas dalam hubungan Adam dengan para hominid? Mungkin Adam bukan produk evolusi lanjutan dari hominid, mungkin Adam diciptakan secara khusus langsung oleh Tuhan, dari tanah, dan dihembusi nafasNya. Adam diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, tetapi kita tak pernah tahu bagaimana gambaran itu. Rupa manusia Neandertal dan manusia Cro-Magnon sudah direkonstruksi dari tengkorak-tengkoraknya yang ditemukan (yang rupanya menuju manusia modern). Kita tak tahu rupa Adam bagaimana.

Saat Adam diciptakan, berdasarkan umur fosil, dan kronologi Adam (meskipun tidak definitif) pada saat yang sama ada makhluk-makhluk menyerupai manusia yang sudah berakal dan punya kebudayaan-kebudayaan tertentu meskipun masih awal.

Kita tak akan pernah tahu apakah Adam itu ciptaan khusus, creatio ex nihilo. Atau Tuhan mengambil suatu hominid cerdas dan mengubahnya menjadi Adam, siapa tahu? (John Oakes: What kind of hominid were Adam and Eve – the ones who rejected God – www.evidenceforchristianity.org). Dari Lukas 3:38 yang menyebutkan bahwa Adam adalah “anak” Allah, nampaknya Adam bukan produk evolusi hominid, mungkin… Tetapi secara khusus, Adam berbeda dari para hominid lainnya, bukan hanya cerdas (kecerdasan tertentu dimiliki hominid juga), tetapi ia spiritual dan berkomunikasi dengan Tuhan.


KITA KETURUNAN ADAM ATAU HOMINID?

Kalau Adam adalah manusia pertama, lalu kita sebagai manusia apakah keturunan Adam, ataukah kita keturunan Homo sapiens manusia modern yang dulu bermigrasi dari Afrika? Ross (1989, op cit.) menyatakan bahwa Adam bukan bentuk evolusi hominid manapun sebab saat Adam diciptakan, para hominid itu sudah punah. Jadi artinya bahwa manusia sekarang adalah keturunan Adam.

Benarkah ? Tetapi data biologi molekuler berdasarkan DNA pada mitokondria dan kromosom Y manusia sekarang, pada kaum perempuan mengandung semua penanda mutasi “mitochondrial Eve” yang umurnya kembali ke 150.000 tahun yang lalu, dan pada kaum lelakinya mengandung “nuclear Adam” yang umurnya kembali ke 90.000 – 60.000 tahun yang lalu. (Winston, 2004, op cit.) Artinya bahwa semua perempuan sekarang di seluruh dunia punya hubungan ke seorang perempuan Homo sapiens Afrika yang hidup pada 150.000 tahun yang lalu, dan semua laki-laki sekarang di seluruh dunia punya hubungan ke seorang laki-laki Homo sapiens yang hidup di Afrika pada 90.000-60.000 tahun yang lalu. Itu adalah bukti molekuler yang dibawa oleh darah kita sekarang. Lalu, adakah bukti bahwa kita keturunan Adam ? Ada, yaitu Tuhan yang sama yang dikenal Adam adalah Tuhan yang sama yang kita kenal sekarang…


MANA YANG BENAR?

Kita tidak akan tahu mana yang benar atas semua pertanyaan yang saya ajukan di tulisan ini. Maka saya juga lebih suka menjawabnya dengan TIDAK TAHU. Tetapi saya sudah menuliskan beberapa pendekatan kalau kita mau mendekati jawabannya. Ada beberapa alternatif jawaban yang semuanya bisa salah dan terbuka.

Demikian. Sebuah misteri. Saya tak akan berusaha menjawabnya sampai tuntas, sebab tidak akan ada jawaban tuntas. Saya pribadi akan tetap menggali ilmu pengetahuan, menjaga iman dan percaya saya kepada Tuhan. Tidak akan menjadikan Alkitab atau Kitab Suci mana pun untuk menilai ilmu pengetahuan, sebab Kitab Suci bukan kitab pengetahuan. Juga tidak akan menggunakan ilmu pengetahuan untuk menilai Tuhan, tetapi untuk mengagumi karya-karya Tuhan.

Buat saya, beriman itu ada saatnya harus bernalar sebab kita pun harus bisa menerangkan apa yang kita percayai, dan ada saatnya pula tidak bernalar sama-sekali sebab nalar kita bukan tidak terbatas, cukup dipercaya saja dan selesai.

(Ahmad-Samantho/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita:

Index »

KULINER

Index »

LIFESTYLE

Index »

KELUARGA

Index »

AL QURAN

Index »

SENI

Index »

SAINS - FILSAFAT DAN TEKNOLOGI

Index »

SEPUTAR AGAMA

Index »

OPINI

Index »

OPINI

Index »

MAKAM SUCI

Index »

PANDUAN BLOG

Index »

SENI