Konstelasi politik global akhir dasawarsa 80-an dikejutkan oleh Revolusi Islam Iran di bulan Februari 1979. Sebuah revolusi rakyat yang menghancurkan kekuasaan rezim Shah Reza Pahlevi, sang komprador Amerika Serikat di Iran, dan menggantinya dengan Pemerintahan Islam paling berpengaruh hingga abad 21 ini.
Tak syak lagi inilah revolusi rakyat yang spektakuler dari berbagai aspeknya. Bukan saja dampak perubahan politik global yang diakibatkannya, revolusi ini menjadi fenomenal karena ideology revolusinya yang berlandaskan Islam dan gerakan revolusionernya yang diorganisir para mullah. Mullah adalah sebutan populer bagi ulama-ulama Islam yang umumnya mengajar di hauzah-hauzah (Seminari Teologi Islam) di Iran. Tak heran jika pada masa-masa revolusi 1979 itu, hauzah-hauzah menjadi sentral kajian-kajian ideologis dan aktivitas revolusioner.
Saat revolusi berkecamuk, kita mengenal sejumlah ulama-pejuang revolusioner yang memimpin aksi massa-rakyat yang massif melancarkan pergerakan revolusi. Di antaranya adalah –tentu saja- Ayatullah Ruhullah Khomeini (Imam Khomeini), Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Ayatullah Syahid Behesyti, Ayatullah Syahid Murtadha Muthahhari, Ayatullah Sayid Husain Dasteghib, Hujjatul-Islam Sayid Ahmad Khomeini, dan seterusnya.
Tentu merupakan kemusykilan memisahkan Revolusi Islam Iran dengan sosok Imam Khomeini. Bahkan Beliaulah sejatinya subyek sentral dari revolusi ini. Melalui perjuangan-perjuangan revolusioner Beliau yang tak kenal lelah sejak tahun 1960-an, Beliau memimpin revolusi mencapai kemenangannya setelah menumpas kekuasaan imperialis global Amerika Serikat yang bercokol di Iran sejak CIA (dibantu bonekanya Shah Reza) sukses mengcoup kekuasaan PM Mosadeq tahun 1953.
Bahkan tak berlebihan jika dikatakan banyak ulama penggerak Revolusi Islam adalah murid-murid dari Madrasah Khomeini. Sebut saja semisal Ayatullah Ali Khamenei (saat ini Pemimpin Tertinggi Iran), Syahid Muthahhari, Syahid Behesyti, Ayatullah Jawad Amuli, dan lain-lain. Mereka adalah murid-murid Imam Khomeini dalam studi keilmuan ushul-fikih, fikih, filsafat, irfan (gnostik), politik dan lainnya. Sekaitan dengan fakta ini, sebagian pengamat politik berpendapat basis intelektual dari gerakan Revolusi Islam Iran adalah Khomeinisme.
Artikel ini tidak bermaksud membuktikan benar atau tidaknya penilaian para pengamat di atas. Yang pasti, peran sentral dan deterministic Imam Khomeini dalam Revolusi Islam Iran adalah kenyataan sejarah tak terbantahkan. Begitu determinisnya peran Imam Khomeini, hingga membuat AS dan rezim bonekanya di Iran (Shah Reza) saat itu berkali-kali menangkap, memenjarakan dan –alhasil- mengasingkan Imam Khomeini ke Turki, Irak, Kuwait dan –akhirnya- ke Paris, Perancis. Tujuan pengasingan ini tentu saja untuk mengisolasi Imam Khomeini dari rakyat Iran, sehingga pemikiran dan ajaran Beliau yang revolusioner tidak sampai ke rakyat.
Pemikiran Imam Khomeini memang revolusioner. Beliau adalah ulama-filosof yang secara luar biasa sukses mereposisi Islam sebagai landasan intelektual dan ideology struktur social yang ideal dan system pemerintahan yang adil. Di saat dunia Islam –pada era paska Perang Dunia II- mengalami kelumpuhan, stagnasi dan terdisorientasi oleh ideology-ideologi Barat yang berakar pada materialisme, Imam Khomeini bangkit mengajak umat Islam global untuk bangkit demi Allah, menegakkan kembali ajaran-ajaran suci Rasulullah SAW dan mendirikan Pemerintahan Islam yang menekankan persamaan dan keadilan.
Inilah substansi luar biasa dari Revolusi Islam Iran 1979. Imam Khomeini dan kebangkitan gerakan Islam adalah dua sisi menakjubkan dari Revolusi Islam Iran. Kita tahu bagaimana peta politik global saat itu. Dasawarsa 70-an, sebagaimana era paska Perang Dunia II lainnya ketika Uni Soviet masih eksis, adalah era perang dingin antara dua polar adidaya dunia, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Berbagai konflik politik di sebagian besar permukaan bumi sebenarnya resultan dari rivalitas politik dan militer antara keduanya. Tujuan dari ini semua tentunya perebutan pengaruh keduanya di kalangan Negara-negara dunia ketiga. Konflik di Amerika Latin, Semenanjung Korea, Vietnam, Indonesia, Timur Tengah, Angola, dan seterusnya, adalah contoh nyata konflik antara blok AS dan blok Soviet.
AS memimpin blok barat-kapitalis yang tergabung dalam pakta militer yang bernama NATO. Ini aliansi strategis negara-negara Atlantik Utara (Amerika Utara dan Eropa) yang berideologi Kapitalisme dan Liberalisme. Sebagian negara di luar NATO juga mengekor AS dalam kebijakan strategisnya seperti Australia, Jordania, Jepang, Korsel, Singapura, dan lainnya. Di sisi yang diametral, Uni Soviet memimpin negara-negara barat-komunis seperti Jerman Timur, Cekoslovakia, Hungaria, Polandia, Bulgaria dan Rumania, bergabung dalam Pakta Warsawa. Ini kelompok negara-negara “kiri” yang berbasis ideology Marxis-Leninis yang menganut system pemerintahan monopartai, yaitu Partai Komunis.
Tak terelakkan lagi peta politik global saat itu didominasi perang dingin kedua kutub ini. Negara-negara dunia ketiga yang lemah secara politis, ekonomi dan militer, tak terhindarkan lagi, terseret dalam “arus pertarungan” dua adidaya ini dan terdistribusi menjadi pengekor dua kubu ini. Gerakan Non-Blok yang awalnya digagas Soekarno (Indonesia), Gamal Abdel Nasser (Mesir), Jawaharlal Nehru (India) dan Josep Broz Tito (Yugoslavia) sebagai blok alternative bagi negara-negara berkembang agar tidak terseret pertarungan dua blok adidaya, malah tidak efektif karena afiliasi politik para pemimpinnya yang ternyata tidak mampu membangun kemandirian politik.
Era 50-an dan 60-an afiliasi politik para pemimpin Gerakan Non-Blok membuat Non-Blok hidup tak tentu arah. Soekarno dan Gamal Abdel Nasser mendekat pada blok “kiri”, India mendekati Uni Soviet untuk mencari dukungan proyek nuklirnya, karena rivalnya –Pakistan (sesama negara Non-Blok) mendapat dukungan AS, sementara negara-negara semacam Malaysia dan Singapura yang jelas-jelas dibentuk Inggris, tak syak lagi merapat pada blok Barat kelompok AS. Dengan fakta seperti ini, slogan-slogan Non-Blok tentang kemandirian dunia ketiga tak lebih sekedar retorika kosong tanpa makna saja.
Negara-negara Islam tak kalah mengenaskan nasibnya. Turki adalah basis terakhir otoritas politik “Islam” sebelum segala sesuatunya berubah di awal abad 20. Khilafah Othmaniyah yang berpusat di Turki runtuh beberapa saat setelah Perang Dunia I di tahun 1919, dan secara drastis Turki diubah menjadi negara sekuler oleh seorang budak Zionis-Yahudi, Mustafa Kemal Ataturk. Kebijakan pertama sang budak Zionis ini adalah penghapusan karakteristik dan simbol-simbol Islam dari pranata politik dan kehidupan social. Hijab (jilbab) diharamkan, huruf Arab diganti dengan huruf latin, kumandang azan diubah dengan bahasa Turki, dan seterusnya.
Pengeliminasian nilai-nilai Islam dari struktur politik dan pranata social di Turki sedemikian drastic. Seorang orientalis masyhur, John L. Esposito berkata, “sejak tahun 1924 sampai kematiannya di tahun 1938, Mustafa Kemal melaksanakan rangkaian pembaharuan yang bersifat sekuler, yang secara tuntas menciptakan negara berkarakter pemisahan agama dan politik sepanjang kelembagaan (institusional).”
Kasus Turki mengakibatkan preseden buruk bagi visi politik umat Islam dan memberikan pukulan telak terhadap identitas kebudayaan masyarakat Islam. Umat Islam tidak percaya diri dengan ideologi dan pemikiran-pemikiran politik Islam, dan diindoktrinasi oleh rezim-rezim Barat dan kaki-tangannya bahwa ide-ide politik sekuler Barat sajalah yang relevan dengan perkembangan zaman. Umat Islam dipaksa percaya bahwa gagasan-gagasan materialisme dan sekulerisme Barat itulah solusi mutakhir bagi kehidupan manusia “modern”. Resultan dari propaganda dan politik eksterminatif Barat ini adalah stagnasi, kelumpuhan pemikiran dan deideologisasi Islam yang melanda umat Islam secara global.
Dominasi negara-negara Barat imperialis makin mencengkeram negeri-negeri Islam. Di negara-negara mayoritas muslim, pemikiran politik Islam tidak berkembang dan gerakan politik Islam dianggap sebagai utopia yang hanya mengembalikan fanatisme dan sektarianisme Abad Pertengahan. Modernisme dimaknai sebagai Westernism, serba Barat, serba Liberal dan serba Material. Memang ada sejumlah kecil tokoh yang berusaha membangunkan umat Islam dari lelapnya dalam keterbelakangan dan kebodohan. Di antaranya adalah Sayid Jamaludin Al-Afghani, Muhammad Iqbal, Hasan al-Banna, Abu al-A’la al-Maududi dan yang lainnya. Gerakan mereka –meski kecil- ditakuti Barat dan para penguasa negeri Islam kaki-tangan Barat. Namun sayangnya, setelah ditinggal para pemimpinnya, gerakan-gerakan itu kehilangan orientasi dan terjebak dalam jerat konflik internal yang destruktif.
Memang di setiap zaman ada gerakan-gerakan yang berusaha melawan penindasan dan hegemoni Barat. Namun upaya itu tidak banyak mengubah penetrasi Barat terhadap negeri mereka sendiri, apalagi negeri-negeri Islam lainnya. Memang beragam gerakan itu memiliki beragam batasan gerakan dan metode yang berbeda-beda, namun mereka memiliki musuh yang sama : Barat! Sampai dasawarsa 60-an sampai 70-an, gerakan-gerakan Islam tidak menunjukkan visi dan hasil yang signifikan. Harapan terbebas dari hegemoni Barat –yang sangat kuat- dan merekonstruksi otoritas politik Islami makin kabur dan menguap. Gerakan politik Islam bagaikan utopia sejarah yang membentur tembok kokoh imperium politik Barat.
Di sisi lain Perang dingin Blok Barat-kapitalis (NATO) dengan Blok Barat-komunis (Blok Timur) makin sengit di era 60-an. Meski Presiden Uni Soviet saat itu, Nikita Kruschev, menekankan doktrin “coexist” dalam pidatonya di Warsawa (Polandia) –sebagai upaya meredakan ketegangan antara kedua blok, perang dingin antara dua adidaya ini tak juga melemah. Artinya, para penguasa di negeri-negeri Islam juga ikut terseret menjadi “pelanduk” dalam konflik ideologis dua “gajah” ini. Sebagian dari mereka menggembor-gemborkan ideologi Kapitalisme Barat, sebagian lainnya berkoar mengkampanyekan ideologi Komunisme Barat. Dengan kata lain, secara hakiki para politisi Islam saat itu sama-sama memperjuangkan ideologi-ideologi yang berdasar pada filsafat Materialisme. Mereka menjadi agen-agen Pandangan Dunia Materialisme. Apapun blok politik Barat yang mereka bela dan junjung tinggi.
Di saat para penguasa muslim menjadi sub-ordinat imperialis Barat yang materialistik itulah Imam Khomeini hadir mengguncang konstelasi politik global dengan Revolusi Islam-nya. Saat penguasa-penguasa negara Islam terjajah pemikirannya dan alam bawah sadarnya oleh Kapitalisme Barat dan Komunisme Barat, Imam Khomeini membangkitkan lagi ajaran-ajaran revolusioner Rasulullah SAW dan para Nabi Ilahi. Beliau meneriakkan slogan “la-syarqiyyah wa la-gharbiyah”. Tidak Timur dan Tidak Barat. Merujuk dua kekuatan adidaya dunia saat itu, Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Revolusi inilah yang mengenyahkan imperialis Amerika Serikat dari bumi Iran. Dominasi AS yang begitu kuat di Iran melalui penguasa monarkis boneka AS, yaitu Reza Pahlevi, runtuh dan musnah tanpa bekas. Revolusi Islam ini pula yang mengubah ideologi dan struktur politik di Iran secara radikal, dari monarki keluarga yang pro-AS menjadi Republik Islam yang berazaskan konsep-ajaran dan hukum Islam. Di tengah kelesuan gerakan politik Islam saat itu, Imam Khomeini dengan Revolusi Islam Iran-nya memberikan darah segar dan memantik semangat pada umat Islam.
Dengan revolusinya yang spektakuler, Imam Khomeini menunjukkan pada dunia dan umat Islam global, bahwa Iran yang Islam bisa hidup mandiri tanpa bersandar pada Amerika Serikat dan Uni Soviet. Dalam berbagai kesempatan Beliau mengatakan, bahwa umat Islam mampu hidup mandiri dan terhormat, jika mereka meninggalkan ketergantungan pada imperialis-imperialis Barat yang materialistik dan kembali pada ajaran Islam yang suci dan mulia. Imam Khomeini selalu mengingatkan umat Islam tentang ajaran Islam sebagai agama yang sempurna. Sebuah agama yang sempurna tentu mampu mendirikan pemerintahan Islam. Beliau menegaskan pandangan ini dalam bukunya, Al-Hukumah Al-Islamiyah. Dan seluruh dunia tahu, Beliau tidak hanya berteori, namun keyakinan itu telah diperjuangkan dan diwujudkan secara nyata.
Tidak berhenti di tahap revolusi saja, Imam Khomeini mengundang decak-kagum dunia dengan membentuk system Pemerintahan Islam yang berdasar pada kekuasaan para ulama Islam yang ahli di bidang hukum agama (fukaha). System ini disebut Wilayatul-Fakih. Boleh dikata inilah system politik Islam mutakhir yang tiada duanya. Imam Khomeini berhasil mensintesa konsep pemerintahan Negara republic ke dalam konsep pemerintahan Islam yang berakar pada Pandangan Dunia (filsafat) Tauhid. Dalam pandangan Islam, kedaulatan hakiki di seluruh alam –termasuk alam materi ini- hanyalah milik Allah semata. Secara praktis, kedaulatan Ilahi ini diimplementasikan oleh pemerintahan para Nabi dan Imam. Kini secara kontemporer, otoritas ini didelegasikan kepada para ulama yang ahli di bidang hukum agama (fukaha). Para fakih inilah yang bertugas membimbing dan mengatur masyarakat, memiliki otoritas regulasi politik dan social, dan mengarahkan perkembangan potensi spiritual dan material masyarakat manusia berdasar konsepsi Islam. Dan seorang fakih di antara fukaha, yang memiliki pengetahuan dan kepemimpinan politik, menguasai administrasi dan manajemen leadership, dan sejumlah criteria lainnya yang ketat, memegang jabatan sebagai Wali-Fakih. Wali-Fakih inilah sentral dari system pemerintahan Islam Wilayatul-Fakih. Inilah ijtihad Imam Khomeini di bidang politik dan pemerintahan Islam yang otentik dan tiada duanya di zaman modern ini. Sebuah eksperimentasi politik yang luar biasa, yang pengaruhnya tidak saja mengubah mind-set politik dan kepercayaan diri sosiopolitik umat Islam, namun secara global mengembalikan Islam sebagai salah satu kekuatan politik global yang strategis.
Revolusi Islam Iran 1979 dan konsep Pemerintahan Islam Wilayatul-Fakih telah mengubah peta politik global. Geopolitik yang sejak Perang Dunia II didominasi dua polar kekuatan politik berbasis filsafat Materialisme, Kapitalisme Liberal dan Marxisme-Leninis (Komunisme), terguncang konstelasinya oleh Revolusi Islam Iran, terlebih setelah revolusi ini memberikan solusi bagi keterpurukan politis umat Islam secara global : Sistem Pemerintahan Islam Wilayatul-Fakih!!
Tak salah kiranya jika Michael Foucault, filosof posmodernisme Perancis, berkata mengomentari Revolusi Islam Iran, “Pemerintahan Islam akan memulai sebuah spiritualitas politik baru dan memproklamasikan sebuah “transfigurasi” dunia, sesuatu yang tidak dikenal Barat sejak munculnya modernitas.”
Bintan, Syawal 1430 H / September 2009 M.
(Brigade-Mahdi/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email