Almukarram Almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ‘Sultan para Kyai’, pewaris sah basis ‘massa dan budaya kasatrian-pesantren’ gembala-umat NU dari kakek dan ayahnya.
Seorang pewaris kesufian yang jenaka dan ‘Jalal gagah perkasa’ dari Abu Nawas, pewaris ‘resi-kepanditaan’ dari Kyai Semar yang altruis-berkorban menyembelih ego ‘KEAKUAN’-nya menjelma dalam ‘cahaya cinta’ kasih bertekstur penegak ideologi ‘keadilannya Imam Hussain As dan Isa Sang Ruh Allah’ As.
Che Guevara, Raja Diraja kasih yang sejati yang merahmat – meta karuna – ‘cinta kasih welas asihi’ segenap semesta publik (rahmatan lil alamin) dengan ‘roh pluralisme’-nya Rumi.
Almukarram Kyai Abdurrahman Wahid adalah sosok Cendekiawan ‘Organik – Scientia Sacra – Hikmah muta’aliyah – ‘tanah highland ketinggian’ yang tak sekedar menguasai akal dan buku bahkan melampauinya, menukik pada kedalam ‘kerajaan diri’ yang sejati, sebagai Grand Master ‘Tasawuf Irfan’.
Kiyai Gus Dur seperti Bung Karno, visinya terlalu maju bagi bangsa yang masih terbelakang mentalitas budayanya, yang masih berkesadaran ‘banal magis’, bermental ‘budak-kuli-inlander’ dan belum memiliki tradisi ‘sistem berfikir rasional dan civic culture-demokrasi’ yang matang, dengan elit-elit bangsa yang masih ‘childish-individualis-feodalis namun inlander pula’ menjadi ‘budak-kuli-konco-pelayan’ dari Kaum Penjajah Baru – Sistem Kuasa Gelap ‘DA’JALI IBLISI’: ‘Neo Imperialis – Kekaisaran Korporatokrasi Global dan Lokal’ dengan makarnya MENGHANCURKAN PERADABAN NUSANTARA INDONESIA SEJADI-JADINYA.
Diwilayah ‘kerendahan kekotoran-najis batin/kesadaran ini’ patutlah kita tegakkan panji-panji bendera kesejatian para Priyayi Sejati – Jagoan Ilahi, seperti telah dinubuahkan Imam Khomeini Qs. Bahwa “Penguasaan Ilmu Tauhid dan Akhlak tanpa pendidikan yang benar dan ‘purifikasi penyucian jiwa’ (tadzkiyatunnafs), hanya akan melahirkan ‘manusia-manusia budak’, entah budak pada dunia sosialis atau budak pada dunia kapitalis”.
“Gus Dur, Sang Kekasih yang Penuh Cinta Kasih”
Tatkala Jalaluddin Rumi meninggal, kucing di rumahnya terlihat sedih berhari-hari, dan lalu meninggal pula.
Apakah suatu kebetulan pula tatkala KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) wafat, juga demikian, beberapa hari kemudian kucing di rumahnya meninggal, kata Kiai Husein Muhammad.
Disebuah acara bedah bukunya yang berjudul “Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur” yang diselenggarakan Intelektual Muhajirin NU (IMNU) Cirebon, di Yayasan Khatulistiwa Kempek, ia membandingkan Gus Dur dengan Jalaluddin Rumi.
Sedangkan Kiai Husein mengatakan, situasi yang sosial politik yang melingkupi saat wafatnya wali besar Jalaluddin Rumi, dimana waktu itu banyak konflik, dimana keragaman terus diperjuangkan, tetapi konflik sosial juga sangat rawan, ini sama persis dengan situasi sosial politik di saat Gus Dur wafat.
Dalam pernyataan Kiai Husein ini dilontarkannya untuk menegaskan bahwa apa yang dilakukan Gus Dur selama ini memiliki dasar yang kuat dalam Islam, khususnya spiritualitas Islam.
Dalam “Buku Sang Zahid ini, sesungguhnya hasil refleksi saya atas kebersamaan saya dengan Gus Dur sejak 1997.
Disaat itu beliau mulai sakit-sakitan, stroke, saya paling tidak waktu itu dua kali sekali dalam sebulan berkunjung ke rumah beliau, saya menyaksikan sendiri bagaimana Gus Dur berperilaku setiap hari,” demikian jelas Kiai Husein.
Dilanjutkan pula “Gus Dur bukanlah budayawan, bukan seorang pembela HAM, bukan pembela minoritas, bukan politikus, bukan pemikir Islam dan bukan ulama, tetapi Gus Dur adalah menjadi semuanya itu. Gus Dur selama ini banyak bergerak di berbagai bidang, dan memiliki effek bagi orang banyak.
Yang menjadi pertanyaannya Apakah yang melandasi semua gerakan itu? Yang menggerakkannya adalah spiritualitas Gus Dur, yang memiliki rujukan pada spritualitas Islam (tasawuf),” katanya.
Kiyai Gus Dur sering dianggap aneh, dan ucapannya baru dianggap benar, karena ternyata di kemudian hari ucapan Gus Dur malah terbukti karena hal ini sesuai dengan spiritualitas Ibnu Athaillah Sakandari dalam kita Hikamnya yang mengatakan bahwa bagi orang-orang suci yang dekat dengan Allah, kata-katanya bisa mendahului zamannya.
Akan tetapi itu bukan sesuatu yang aneh menurutnya, karena sering juga dialami oleh para Wali Allah.
Begitulah Kiyai Husein, secara panjang lebar menjelaskan tentang sisi-sisi kewalian Gus Dur.
Lain halnya dengan Rektor IAIN Syeikh Nurdjati Cirebon, Prof Dr Maksum Mochtar, menyampaikan, tidak cukup untuk hanya mengagumi Gus Dur, yang lebih penting adalah bagaimana kita bisa seperti Gus Dur.
Ini bisa saja, melalui pendidikan dengan basis penguatan neurosains mungkin saja kecerdasan kita bisa meningkat sebagaiman Gus Dur.
Janganlah kita hanya melihat Gus Dur sekarang, tetapi lihatlah prosesnya menjadi sebesar itu.”
(NU-Online/Nu/Ampenan-News/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email