“Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa…” (Milan Kundera, The Book of Laughter and Forgetting).
Masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang merupakan sederet peristiwa yang tak dapat terpisahkan. Sebab masa lalu merupakan jembatan sekaligus peta bagi manusia untuk mengepakkan sayap mereka pada kehidupan di masa yang akan datang. Dari masa lalu, kita dapat belajar dan becermin, hingga memunculkan beragam cara untuk melakukan suatu gerakan yang lebih baik di kemudian hari.
Sayangnya, masa lalu terkadang muncul hanya sebagai kenangan dan menjadi teks tertulis semata. Terlebih bila sejarah mendapat bandrol yang disejajarkan dengan kekuasaan. Masa lalu yang gemilang pun menjadi hilang, terlupakan, atau bahkan dilupakan-guna menuai kuasa baru–yang dengan segala cara memaksa dan mendikte ingatan kolektif masyarakat.
Bagi sebagian orang Indonesia, Mohammad Natsir adalah salah satu bagian dari bangsa ini yang harusnya tak dilupakan. Para sejarawan politik sering menceritakan bagaimana luwesnya Natsir dalam merangkul semua kalangan. Ia juga kadung dikenal sebagai politisi yang antara kata dan tindakan tak berlawanan.: eksklusifnya terhadap keyaknan, namun inklusif dalam pergaulan.
Sejarah mencatat bagaimana mesranya hubungan Natsir, juga tokoh-tokoh Masyumi dengan para pimpinan di luar Islam, Katolilk dan Kristen misalnya. Chris Siner Key Timu, tokoh Katolik yang sekaligus pengacara ini, konon pernah mendapat perlakuan istimewa dari Natsir. Usai rapat membahas tentang pencekalan Natsir di kantor Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Chris bersiap-siap pulang dengan menggunakan kendaraan umum. Namun, sungguh tak disangka saat Natsir menawarinya untuk satu mobil. Dan bahkan mengantarkannya hingga ke tempat yang dituju, meski arah keduanya berbeda.
Sikap luwes Natsir ini, tidak hanya dirasakan oleh Chris, tapi juga sudah sejak lama, ia dikenal telah melakukan kebaikan kepada siapa pun. Natsir yang sering berdebat sengit di parlemen dengan Leimena dan A.M. Tambunan dari Partai Kristen Indonesia, serta F.S. Hariyadi, tokoh Partai Katolik, yang juga lawan politiknya, namun ketika mereka sama-sama melangkah ke luar gedung, semua sikap menjadi luwes kembali, seolah tidak pernah terjadi perseteruan apa pun.
Natsir juga dikenal sebagai sosok politisi bersahaja. Ia tidak memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Ketika menjabat sebagai Menteri Penerangan, Natsir pergi ke kantor dengan menaiki sepeda dan memakai baju tambalan karena tuanya umur baju itu. Sampai-sampai para staf di Departemen Penerangan di masa itu terpaksa harus “berpikir” untuk membelikan kemeja yang pantas untuk sang menteri.
Suatu hari Raja Faisal, dari Arab Saudi (pencetus embargo minyak) menawarkan sebuah mobil mewah, yang langsung ia tolak secara santun seraya menyarankan sang raja agar menawarkan bantuan itu kepada umat Islam yang kekurangan hidupnya.
Betapa bersahajanya hidup Natsir, sampai-sampai George Mcturnan Kahin, seorang Indonesianis-pun memberikan komentar khusus terhadap Natsir, “Dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri, namun demikian dia adalah seorang yang amat cakap dan penuh kejujuran. Jadi kalau Anda hendak memahami apa yang sedang terjadi di Republik ini, Anda sudah seharusnya bicara dengannya.”
Kedewasaan politik yang berujung pada sebuah obyektifitas dan keadilan bersikap inilah yang menyebabkan integritas Natsir, sekaligus Masyumi sangat disegani kawan maupun lawan.Meski semua itu kemudian harus ia bayar dengan dinginnya jeruji besi, penjara dan bahkan pencekalan. Sebuah realitas yang cukup ironis dalam mengemban makna kemanusiaan.
Akan tetapi, Natsir tetaplah Natsir. Seorang cendekiawan, pejuang, politikus, ulama, sekaligus negarawan Indonesia yang dipuja bukan hanya oleh kalangan dalam negeri, tapi juga harum di mata internasional.
Sesuai namanya, Mohammad Natsir—Natsir yang terpuji. Begitu pula dengan langkah hidup Natsir dalam mengarungi terjal dan licinnya dunia politik. Yang menurut sebagian orang, sekali terpedaya, konon segala kenikmatan hidup yang pernah dipuja, akan hilang berbarengan dengan lengsernya jabatan dan kuasa.
Begitu pun dengan teladan bangsa yang satu ini. Jasa-jasanya yang begitu besar, mestinya tak hanya mendapat ribuan, bahkan jutaan acungan jempol. Tapi juga patut dijadikan role model bangsa–yang kini hampir kehilangan ruhnya.
Ajip Rosidi dan Haji Abdul Malik Karim Amrullah menyebutkan bahwa tulisan-tulisan Natsir telah menjadi catatan sejarah yang dapat menjadi panduan bagi umat Islam. Bruce Lawrence menyebutkan bahwa Natsir merupakan politisi yang paling menonjol mendukung pembaruan Islam di dunia.
Islam yang oleh Natsir dan orang-orang generasi lainnya menjadi satu kesatuan dengan perilaku (baca: akhlak)-yang tidak dijadikan sebagai konsep-konsep yang indah tetapi jauh dari realitas masyarakatnya, kini seolah terlupakan.
Sungguh tidak mengherankan jika dalam kancah perpolitikan Masyumi, Natsir telah mengukir banyak prestasi, mulai dari Mosi Integral Natsir, Pemilu paling jujur ketika Perdana Menterinya Pak Burhanudin Harahap dari Masyumi, juga konsep Bank Sentral untuk menanggulangi masalah moneter.
Nilai-nilai luhur yang diajarkan Natsir ini dapat dijadikan pertanyaan besar, mengapa bangsa ini terus mengalami kemunduran, baik dalam bidang politik, keagamaan, toleransi, dan lainnya? Sudahkah kita berkaca pada masa lalu, sembari tancap gas-mengesampingkan kepentingan pribadi dan kelompok demi bangsa?
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email