Lansia etnis Rohingya kelelahan saat berjalan menuju Bangladesh. (Foto: REUTERS/Danish Siddiqui)
Aksi kekerasan dilakukan oleh pasukan pemerintah Myanmar terhadap etnis minoritas muslim Rohingya ternyata mendapat dukungan. China mengaku sebagai sahabat justru membenarkan tindakan Myanmar, padahal menurut PBB dianggap sebagai upaya pembantaian etnis.
Dilansir dari laman Reuters, Kamis (14/9), Duta Besar China untuk Myanmar, Hong Liang, menyatakan kalau masalah di Negara Bagian Rakhine adalah urusan dalam negeri Myanmar. Dengan kata lain dia menyatakan kalau negara lain tak perlu ikut campur dalam penyelesaian masalah itu.
"Operasi dilakukan pasukan Myanmar buat menumpas teroris dan cara mereka menolong rakyatnya sangat bisa diterima," kata Hong Liang.
Meski demikian, China nampaknya bersikap lain di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dalam pertemuan di Dewan Keamanan PBB mereka menyatakan prihatin atas situasi kekerasan yang terjadi dan mendesak Myanmar segera mencari jalan keluar buat menghentikannya.
China dan Amerika Serikat berebut pengaruh di Myanmar sejak 2011. Hal itu ditandai saat pemerintah junta militer menguasai negara itu selama lima dekade menggelar pemilihan umum dan membolehkan kalangan sipil berada dalam pemerintahan.
12 peraih penghargaan Nobel, termasuk Malala Yousafzai dan pemuka Katolik dari Afrika Selatan, Desmond Tutu, memutuskan mengirim surat kepada DK PBB. Dua peraih Nobel di bidang fisiologi dan obat-obatan, serta pengusaha Inggris, Richard Branson, dan aktor Amerika Serikat, Forest Whitaker, juga ikut menandatangani surat itu. Mereka merasa kritik disampaikan terhadap sesama peraih penghargaan Nobel kini didapuk menjadi Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, tidak mempan.
"Dunia cemas menunggu peran Dewan Keamanan PBB buat menyudahi bencana kemanusiaan ini dan membangun perdamaian di wilayah itu," demikian kutipan dalam surat itu.
Para peraih Nobel dan tokoh masyarakat itu menekankan PBB harus bersikap tegas buat mengakhiri aksi kekerasan terhadap orang Rohingya. Mereka juga mendesak pemerintah Myanmar berpikir ulang tentang bantuan dan dukungan finansial bisa saja berubah, tergantung dari kebijakan mereka terhadap orang Rohingya.
Di dalam surat itu, sejumlah tokoh juga mendesak DK PBB memaksa pemerintah Myanmar melaksanakan rekomendasi sudah dibuat oleh Komisi Penasihat Rohingya dibentuk tahun lalu. Yakni pertama Myanmar harus mengakui etnis Rohingya sebagai warga negara dan memberikan mereka identitas kewarganegaraan. Kemudian membolehkan pemantau asing masuk ke wilayah konflik, lantas menerima kembali orang Rohingya yang mengungsi, membangun pemukiman di Myanmar buat para pengungsi dengan anggaran dari PBB, serta menjamin kebebasan berpolitik.
"Propaganda yang memantik kebencian dan kekerasan, terutama dilakukan pemerintah Myanmar terhadap orang Rohingya harus dihentikan. Aturan dan kebijakan yang diskriminatif juga mesti dihapus," lanjut pernyataan dalam surat itu.
Etnis Rohingya dianggap sebagai kaum mengalami persekusi paling parah di dunia. Sejak 1980, pemerintah dan penduduk Myanmar mayoritas Buddha menolak mengakui mereka sebagai warga negara lantaran dianggap sebagai pendatang gelap dari Bangladesh. Namun, Bangladesh menyatakan Rohingya adalah warga Myanmar. Padahal di masa penjajahan Inggris dan kemerdekaan Myanmar pada 1948, orang Rohingya diakui sebagai warga negara.
Kekerasan belakangan terjadi di Rakhine dipicu serangan Tentara Penyelamat Rohingya Arakan (ARSA) ke pos penjagaan perbatasan pada 25 Agustus. Dalam insiden itu, 12 orang tewas.
Pemerintah Myanmar bereaksi dengan mengirim ribuan pasukan bersenjata lengkap dengan dalih operasi militer memburu teroris. Namun, menurut laporan relawan, tentara Myanmar diduga melakukan pembantaian dan pengusiran etnis Rohingya. Seluruh perkampungan orang Rohingya yang ada dijarah dan dibakar.
Di sisi lain, sikap diam mantan pejuang kemanusiaan dan demokrasi kini didapuk menjadi Penasihat Negara, Aung San Suu Kyi, terhadap etnis Rohingya juga dikritik. Padahal di masa lalu, Suu Kyi begitu lantang menyuarakan soal hak kebebasan sipil, demokrasi, dan perlawanan atas penindasan dilakukan rezim militer, hingga dianugerahi penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991. Melihat sikapnya yang seperti mengabaikan orang Rohingya, sudah 405 ribu orang mendesak supaya penghargaan itu ditarik kembali dari Suu Kyi.
Myanmar sejak akhir 1980-an mendapat sanksi dari PBB karena kekejaman rezim Junta Militer. Namun, sebagian sanksi itu sudah dicabut karena mereka mulai menurut dengan membuka ruang bagi kalangan sipil berpolitik dan menjalankan pemerintahan.
Pekan ini anggota DK PBB bakal bertemu membahas krisis Rohingya. Namun, China sebagai negara memiliki hak veto nampaknya condong membela tindakan Myanmar. Sebab, keduanya merupakan mitra dagang utama.
(Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email