Salah satu pejuang kemerdekaan yang juga dikenal sebagai tokoh pergerakan keislaman adalah Kyai Haji Mas Mansur, atau yang lebih dikenal dengan KH Mas Mansur. Arek Suroboyo ini lahir tanggal 25 Juni 1896 di kampung Sawahan Surabaya (saat ini bernama kampung baru Nur Anwar).
Tidak ada yang bisa menyangkal ketokohan KH Mas Mansur dalam berjuangan merebut kemerdekaan RI dari tangan penjajah. Berkat jasa perjuangan tersebut, Presiden pertama RI memberikannya gelar pahlawan pada tahun 1946.
Berdasarkan beberapa sumber, di usianya yang ke 12 tahun, setelah menerima pendidikan agama dari ayahnya, pemuda Mansur berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, selanjutnya menuju Mesir untuk belajar di Universitas Al-Azhar kurang lebih selama 3 Tahun. Selama itu pula sempat mengunjungi beberapa negeri Islam, di antaranya dia mengunjungi pesantren Sjanggiet di Tripoli yang cukup berkesan dalam hatinya.
Tahun 1915, Mansur kembali ke Indonesia dan menggabungkan diri dalam Sjarikat Islam (SI). Di samping itu, ia aktif membangun lembaga pendidikan bersama sejumlah ulama yang bernama “Madrasah Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar. Madrasah yang dibangunnya sendiri menurut sistem pendidikan Mesir, dia menamakan Madrasah Mufidah.
Keinginannya mendalami Islam begitu kuat, hingga tahun 1921, Kyai Haji Mas Mansur masuk Pergerakan Muhammadiyah. Dalam organisasi ini dia sempat menjadi ketua cabang wilayah Surabaya, kemudian menjadi konsul Jawa Timur, hingga akhirnya terpilih menjadi Ketua Pengurus Muhammadiyah.
Kabarnya, aktivitas pergerakan yang cukup agresif ini membuat penjajah Belanda “gerah”. Oleh karena itu, Kiai Haji Mas Mansur ditawari Belanda jabatan “Hof Voor Islamitische Zaken”, seperti ketua umum ormas Islam se-Indonesia, dengan gaji seribu gulden. Tawaran tersebut ditolak mentah-mentah oleh Mansur, dan dia memilih jalan sebagai orang pergerakan.
Tahun 1926, Kiai Mansur dipilih menjadi Ketua MAIHS (Mu’tamar al-A’lam Al Islami Fa’rul Hindisj-Sjarqiyah) dengan sekretaris Haji Agus Salim. Di tahun yang sama dia dipilih juga menjadi ketua MOH (Hadji Organisasi Hindia). Bersama HOS Tjokroaminoto, yang juga aktivis pergerakan, Mansur sempat menghadiri Muktamar Alam Islami Se-Dunia di Mekkah.
Bersama Kyai Achmad Dahlan, Kiai Mansur di tahun 1937 memprakarsai berdirinya Madjlis Islam Tertinggi yang dalam perkembangannya menjadi MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) yaitu sebuah badan federal organisasi Islam sebelum perang dunia ke-II. Di tahun yang sama, Kiyai Mansur terpilih menjadi ketua pengurus besar Muhammadiyah dan melaksanakan tugasnya di Yogyakarta.
Bersama sejumlah ulama di pulau Jawa, Kiai Mansur mendirikan Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938 dan dia terpilih menjadi ketua umumnya.
Kiprah Kiai Mansur makin dikenal oleh tokoh pergerakan Indonesia, seperti Ir Soekarno, Drs Mohammad Hatta dan Ki Hadjar Dewantoro. Dia dan ketiga tokoh tadi dimandatkan oleh penguasa Jepang mendirikan “Putera” (Pusat Tenaga Rakyat) tahun 1942.
Di bawah tekanan Jepang, Kiyai Mansur “berontak” melawan dengan kembali ke basis awal pergerakannya di kota Surabaya. Hingga diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, Mansur bersama pasukan arek Suroboyo tetap membombardir penjajah Jepang di Surabaya.
Awal tahun 1946, Kiai Mansur ditangkap NICA dan dipaksa berpidato untuk meredakan perlawanan rakyat, namun Mansur menolak dengan tegas untuk tidak tunduk atas perintah itu. Dalam keadaan kurang sehat dia tetap menjadi “Komando” bagi perlawanan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Jepang dan sekutunya. Tanggal 25 April 1946, Kiai Mansur meninggal dunia dan dimakamkan di tempat pemakaman GIPO Surabaya. Sepuluh tahun kemudian (1964), Presiden Soekarno menyematkan tanda pahlawan bagi aktivis pergerakan ini. [SR]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email