Kiranya pantas manusia berpikir mengapa Tuhan memerintahkan kepada para hamba-Nya untuk mentaati-Nya dan melarangnya untuk tidak bermaksiat. Mengapa perintah dan larangan terdapat pada firman Tuhan? Mengapa ketaatan kepada-Nya menyebabkan kebahagiaan dan bermaksiat kepada-Nya mendatangkan kemarahan-Nya dan penderitaan manusia. Persoalan ini harus dipahami dengan bersandar pada pengenalan Tuhan dan sifat-sifatnya, dan juga pengenal terhadap tujuan penciptaan dan pengadaan syariat agama. Jawaban global dari pertanyaan ini adalah bahwa perintah dan larangan Ilahi, baik yang wajib, mustahab, haram dan makruh merupakan lintasan kesempurnaan manusia. Faktor-faktor tersebut merupakan faktor penyebab kesempurnaan manusia di pelataran dunia ini. Manusia dengan melewati lintasan tersebut dapat mencapai kesempurnaan dan mentransendental. Dengan demikian manfaat menuruti dan menjauhi, perintah-larangan Tuhan adalah untuk kesempurnaan manusia. Karena Tuhan tidak-membutuhkan dan mahakaya secara mutlak. Dia tidak mengeruk keuntungan dari perbuatan baik kita, dan tidak menderita kerugian dari keburukan kita. Tuhan berdasarkan rahmat dan faidh-Nya yang tak-terbatas, menyediakan seluruh faktor dan jalan untuk mentransendental dan menyempurnanya manusia. Bahkan ketika manusia dengan perbuatan tertentu yang menyebabkan kemurkaan-Nya, Tuhan menyediakan jalan untuk kembali kepada-Nya.
Pada hari keenam ini doa yang kita bacakan adalah berkenaan dengan kehinaan bermaksiat kepada Allah Swt, permohonan tidak dicemeti dengan cambuk amarah-Nya dan doa kiranya dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.
اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ
Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk amarah-Mu dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu. Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.
اَللَّهُمَّ لاَ تَخْذُلْنِيْ فِيْهِ لِتَعَرُّضِ مَعْصِيَتِكَ
“Ya Allah, jangan Kau hinakan aku di bulan ini karena keberanianku bermaksiat kepada-Mu.”
Dalam frase doa ini kita meminta kepada Allah Swt supaya tidak terhinakan karena bermaksiat kepada-Nya. Bermaksiat kepada Allah Swt adalah menjatuhkan diri dalam kubangan kehinaan.
Sebagaimana taat kepada Tuhan mendatangkan kemuliaan dan kehormatan, maka bermaksiat kepada-Nya menuai kehinaan.
Barangkali seburuk-buruk kehinaan adalah terjerembab dalam kubangan maksiat. Berbuat dosa akan mengerdilkan jiwa manusia. Nilai keberadaannya dipertaruhkan. Fitrahnya yang suci dan bercahaya ternodai dan terkaburkan.
Alangkah malangnya orang yang mengetahui bahwa dengan melakukan perbuatan hina dan memalukan akan mendapat celaan dan cemoohan di hadapan manusia, namun tidak dapat mengetahui bahwa perbuatan hina dan memalukan bakalan mendapatkan celaan dan kutukan di hadapan Tuhan.
Abul Farj Isfahani, dalam kitab Maqati ath-Thâlibin, menukil dari Qasim bin Asbagh Nabatih bahwa: Aku melihat seseorang dari suku Bani Daram yang memiliki wajah yang menawan dan berkulit putih. Namun setelah peristiwa Karbala aku melihat wajahnya berubah menjadi hitam legam. Ketika kutanya: “Engkau adalah seorang yang memiliki wajah tampan dan berkulit putih, mengapa kini engkau hitam legam? Ia berkata: “Aku membunuh salah seorang pemuda yang menyertai Imam Husain As di Karbala. Seorang pemuda yang di keningnya terdapat tanda-tanda sujud. Semenjak hari itu, pemuda yang aku bunuh itu setiap malam datang dalam mimpiku. Ia menyeretku dan melemparkan aku ke jahannam. Karena sedemikian mengerikannya sehingga aku menjerit yang seluruh orang di kampung mendengar jeritanku.
Banyak kisah di dekat kita yang dapat dijadikan sebagai contoh kasus, betapa kesalahan membuat depresi dan penyesalan berlarut-larut dalam kehidupan kita.
Iya, salah satu pengaruh perbuatan dosa adalah azab-derita nurani dan kehinaan dunia-akhirat. Bisikan nurani orang yang berbuat dosa senantiasa menderanya dengan cemeti rasa berdosa.
Imam Shadiq As bersabda: “Takutlah kalian dari akibat perbuatan dosa.” (Bihârul Anwâr, jil 75, hal. 437).
Imam Baqir As bersabda: “Tiada nestapa dan duka yang menimpa seorang hamba kecuali lantaran perbuatan dosa yang ia kerjakan. Namun lautan rahmat Tuhan amat luas.” (Qishar al-Jamal, jil. 1, hal. 232).
Disebutkan bahwa terdapat dua sebab membuat orang melakukan perbuatan dosa;
1. Pertama, karena kebodohan, jiwa lemah dan pikiran pendek yang membuat orang ternoda dengan perbuatan dosa. Oleh karena itu ia disebut sebagai pelaku maksiat.
2. Kedua, karena sengaja membangkang Tuhan semesta alam. Pedosa yang satu ini adalah orang yang tersesat dan menyesatkan. Karena pembangkangannya ini ia termasuk sebagai orang-orang yang tersesat. Orang yang sesat menentang Tuhan. Alih-alih mengamalkan hukum Tuhan, pedosa ini mengamalkan hukum yang sesuai dengan selera dan hawa nafsunya.
Berbuat dosa atau membangkang perintah Tuhan, mengikuti hawa nafsu, mau-tak-mau akan mengerjakan apa saja sehingga dapat menjalankan perintah nafsunya. Meski terjauhkan dari Tuhan, dan berbuat aniaya kepada manusia.
Titik seberang maksiat kepada Tuhan adalah ketaatan. Ketaatan kepada Tuhan adalah sebuah kehormatan dan kemuliaan. Berbuat dosa atau maksiat kepada-Nya adalah kehinaan.
Perbuatan dosa menjungkalkan kemanusiaan manusia, mendorong nilai keberadaannya ke arah jurang ketiadaan. Manusia dengan berbuat dosa fitrah suci dan nuraninya berontak. Membuatnya tertunduk malu di hadapan Sang Pencipta dan manusia.
Bermaksiat kepada Tuhan menghasilkan kehinaan sebagaimana ketaatan kepadanya mendatangkan kemuliaan.
Imam ‘Ali As bersabda: “Ilahi cukup kemuliaan bagiku bahwa Aku (ini) adalah hamba-Mu. Dan cukup bagiku kehormatan bahwa Engkau (itu) adalah Tuhanku.”
Kita berdoa kepada Allah Swt supaya tidak dihinakan dengan kelancangan bermaksiat kepada-Nya.
وَ لاَ تَضْرِبْنِيْ بِسِيَاطِ نَقِمَتِكَ
“Jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu“
Naqima secara leksikal bermakna mengingkari sesuatu, akibat dari sesuatu dan juga berarti sesuatu yang sangat tidak disukai (Qamus Qur’an, kata naqima). Salah satu sifat Tuhan adalah muntaqim (penuntut balas). Menuntut balas dari para tiran, durjana, kaum aniaya dan para pedosa yang selalu melupakan Tuhan. Dalam frase doa ini, pukulan-pukulan diumpakan dengan cambuk dan cemeti sebagai hukuman atas dosa yang dimaksudkan untuk mendidik para pedosa dan pelaku maksiat. Tentu Allah Swt tidak akan membiarkan para pedosa begitu saja. Mereka harus mencicipi akibat (hukuman) dari perbuatannya. Baik di dunia ini atau pun di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an kita bisa mengambil pelajaran dari kisah kaum Nuh, ‘Ad dan Tsamud karena kekufuran dan tidak bersyukurnya mereka kepada Tuhan menjadikan kemurkaan Tuhan tumpah ruah. Namun di samping sifat muntaqimnya Allah Swt adalah Mahakasih dan Mahasayang. Bahkan kasih-Nya melebihi murka-Nya. “Tuhanku, jangan Kau cambuk aku dengan cambuk kemurkaan-Mu.”
Diriwayatkan dari Imam Shadiq bahwa Nabi Nuh As setelah tiga ratus tahun siang dan malam menyeru kaumnya kepada Tuhan, namun mereka tidak menyambut seruan ini. Nabi Nuh As memutuskan untuk mengutuk mereka. Para malaikat datang ke hadiratnya dan memohonnya untuk tidak mengutuk mereka. Kemudian beliau memberikan kesempatan kepada kaumnya selama tiga ratus tahun supaya mereka bertaubat dan menyembah Allah Swt. Setelah enam ratus tahun berlalu lagi kaumnya belum lagi beriman kepada Allah Swt dan kepadanya. Beliau kembali memutuskan untuk mengutuk mereka. Kembali malaikat datang menghadap Nabi Nuh As dan memohon kepadanya untuk tidak mengutuk mereka. Nabi Nuh As memberikan kesempatan tiga ratus tahun lagi kepada mereka untuk menyatakan keyakinan mereka. Akhirnya sembilan ratus tahun berlalu, hanya sedikit di antara mereka yang beriman. Lalu Nabi Nuh mengutuk kaumnya, kemudian turunlah ayat 11 dari surah Hud. “Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasanya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu, kecuali orang yang telah beriman (saja). Karena itu, janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang selalu mereka kerjakan.”
Kemudian Nabi Nuh As mengutuk mereka dan bersabda: “Nuh berkata, “Ya Tuhan-ku, janganlah Engkau biarkan seorang pun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi. Karena jika Engkau biarkan mereka tinggal, niscaya mereka akan menyesatkan hamba-hamba-Mu dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir. (Qs. Nuh [71]:26-27).[1]
Demikianlah potret rahmat Tuhan yang tak-terbatas kepada para hamba-Nya. Rahmat-Nya mendahului murka-Nya.
وَ زَحْزِحْنِيْ فِيْهِ مِنْ مُوْجِبَاتِ سَخَطِكَ
Dan jauhkanlah aku dari (segala perbuatan) yang menyebabkan murka-Mu.
Dengan sedikit merenungi frase-frase doa hari keenam ini hubungan yang terjalin di antara frase tersebut akan menjadi jelas: Pertama ihwal kehinaan dosa, lalu cambuk kemarahan Tuhan dan pada akhirnya adalah ghadab (murka) Tuhan. Sejatinya dengan melakukan pembangkangan dan bermaksiat maka persoalan azab ini mengemuka dan hal ini merupakan ancaman serius bagi mereka. Artinya ketika manusia tidak terjerembab dengan pembangkangan dan perbuatan maksiat maka persoalan ini akan tertolak dengan sendirinya. Bukankah dengan melanggar perintah Tuhan menyebabkan kemurkaan Tuhan? Bukankah berbuat maksiat merupakan faktor pengundang murka Tuhan? Jadi dengan memperhatikan faktor-faktor ini akan menjauhkan diri kita dari murka Tuhan. Atas alasan ini seorang supaya terbebas dari kehinaan dan ancaman azab ini maka tiada jalan lain kecuali berlindung kepada Allah Swt. Dan memohon kepada-Nya untuk dijauhkan dari segala yang menyebabkan kemurkaan-Nya.
بِمَنِّكَ وَ أَيَادِيْكَ يَا مُنْتَهَى رَغْبَةِ الرَّاغِبِيْنَ
Dengan anugerah dan kekuasaan-Mu wahai Puncak Harapan para pengharap.
Keberadaan merupakan anugerah Tuhan. Dan seluruh nikmat Tuhan memenuhi segala keberadaan, oleh karena itu mengingatkan kepada anugerah dan nikmat Tuhan. Kekuasaan-Nya juga meliputi keberadaan. Tiada mungkin untuk lari dari kekuasaan Tuhan ini. “Wala yumkin an firar min hukumatik.” Demikian rintihan Imam ‘Ali dalam doa Kumail. Manusia seluruhnya bergerak mencari Tuhan, meski mereka mengejar harta, tahta dan wanita. Meski mereka mengejar kehidupan dan penghidupan mereka. Meski mencari yang lainnya, sejatinya mencari Tuhan. Mereka mencari kesempurnaan. Dan Engkau wahai Tuhanku adalah kesempurnaan mutlak. Engkaulah tambatan harapan segala harapan. Di penghujung doa hari ini, kita bermohon kepada Allah Swt dengan anugerah dan kekuasan-Nya untuk memudahkan hari yang kita lalui tanpa maksiat kepada-Nya, meski boleh-jadi mustahil bagi kita tanpa dosa namun berusahalah untuk menghindar. Berusahalah di hari ini mejadikan ketaatan sebagai kemuliaan, maksiat sebagai kehinaan. Mari kita tambatkan harapan pada-Nya untuk memudahkan kita melalui hari-hari penuh dengan ketaatan kepada-Nya.
Catatan Kaki:
[1]. ‘Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, jil. 1, hal. 325-326.
(Telaga-Hikmah/Eurekamal/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email