Bertemankan dengan orang baik akan menggiring manusia kepada perbuatan baik. Bergaul dengan orang shaleh akan menuntun manusia kepada perbuatan shaleh. Satu majelis dengan orang bertakwa akan memberikan ruh takwa kepada manusia. Bersahabat dengan orang yang taat akan memancing manusia untuk taat kepada Allah Swt. Bersama orang-orang bijak akan “menyeret” kita pada perbuatan-perbuatan bijak. Dan adakah nikmat lebih agung daripada ini? Suhbatul Abrâr merupakan salah satu topik doa kita pada hari ketiga belas bulan Ramadhan ini. Rasulullah Saw dalam doa ini mengajarkan kepada kita bahwa dalam meniti perjalanan hidup kita harus bertemankan dengan orang-orang yang seluruh dimensi hidupnya adalah takwa, bertutur kata hikmah, melihatnya mengingatkan kita kepada Allah dan ketika berkata-kata bertambah pengetahuan kita.
Hari ini yang menjadi topik utama dari doa hari ketigabelas ini adalah thaharah, kesabaran, ketakwaan dan bertemankan dengan orang-orang bijak. Bersama Rasulullah Saw mari kita berdoa:
اَللَّهُمَّ طَهِّرْنِيْ فِيْهِ مِنَ الدَّنَسِ وَ الْأَقْذَارِ وَ صَبِّرْنِيْ فِيْهِ عَلَى كَائِنَاتِ الْأَقْدَارِ
وَ وَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِلتُّقَى وَ صُحْبَةِ الْأَبْرَارِ بِعَوْنِكَ يَا قُرَّةَ عَيْنِ الْمَسَاكِيْنِ
Ya Allah, sucikanlah aku di bulan ini dari segala noda dan kotoran, jadikanlah aku di bulan ini sabar menerima setiap ketentuan-(Mu), dan anugerahkanlah taufik kepadaku di bulan ini untuk meraih takwa dan bersahabat dengan orang-orang yang bijak.
Dengan pertolongan-Mu wahai pelipur lara orang-orang miskin.
اَللَّهُمَّ طَهِّرْنِيْ فِيْهِ مِنَ الدَّنَسِ وَ الْأَقْذَارِ
“Ya Allah, sucikanlah aku di bulan ini dari segala noda dan kotoran.”
Danas artinya noda dan aqdzar adalah plural dari qadzr yang bermakna kotoran. Lawan kata dari keduanya adalah thaharah yang berarti bersih. Sebagaimana kotoran terbagi dua menjadi kotoran lahir dan noda batin, thaharah terbagi dua, thaharah lahir dan thaharah batin. Thaharah lahir dapat dicapai dengan menghilangkan khabats dan hadats. Menghilangkan khabats maksudnya menghilangkan ain najis dari badan. Menghilangkan hadats artinya bahwa manusia mensucikan dirinya dengan berwudhu, mandi atau tayammum. Thaharah batin dicapai dengan menghilangkan kekufuran, syirik dan akidah batil dari dalam diri dimana dengan adanya kufur, syirik dan akidah batil ini menjadi penghalang terwujudnya thaharah batin.
Oleh karena itu sebagaimana petani apabila ingin bercocok tanam harus menghilangkan bebatuan dan akar-akar yang ada di sekitarnya, demikian juga untuk mendapatkan derajat tinggi, ia harus mengeyahkan segala sifat tercela karena hati manusia merupakan singgasana Tuhan dan tempat turunnya segala perhatian Ilahi. Dengan demikian hati harus dibersihkan dan segala penghalang turunnya rahmat Ilahi.
Apa yang penting dalam irfan amali di samping himmat (semangat tinggi) dan istiqamah (resistensi tinggi) adalah thaharah dan keajegannya. Thaharah lahir dan thaharah batin.
Wajah dicuci dengan air dan hati dicuci dengan taubat! Mencuci dengan air membersihkan, takwa dan agama mensucikan.
Noda dan kotoran yang menempel pada raga dan badan dibersihkan dengan air namun kekotoran jiwa dan hati harus disucikan dengan taubat.
Menyitir Nabi Saw yang bersabda wudhu dan shalat lima waktu laksana mandi sebanyak lima kali sehari dimana pelaku shalat tersucikan dari segala bentuk noda dan kotoran.
Cahaya yang memendar dari kening seorang Mukmin menujukkan kesucian dan kekudusan jiwanya dan dengan cahaya ini menjadi penyebab petunjuk di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Lantaran pada kegelapan Kiamat, cahaya iman yang akan menyelamatkan dan menolongnya.
Bulan suci Ramadhan adalah bulan pembersihan hati dan ruh, bulan keselamatan, bulan untuk menyedot cahaya, kesucian dan kekudusan.
Pelaku puasa yang menahan dari apa yang diharamkan baginya, bangun di penghujung malam, santapan ruhani-jasmani sahur dan munajat dengan Tuhan, wajah lahir dan batin Mukmin tertata elok. Amalan semacam ini memberikan kehidupan kepadanya.
Disebutkan bahwa thaharah terdapat empat tingkatan;
1. Membersihkan dari segala jenis noda dan kotoran;
2. Mensucikan jiwa dan raga dari pelbagai dosa;
3. Menjauhkan hati dari segala akhlak tercela dan sifat-sifat buruk;
4. Mensucikan hati dari segala sesuatu selain Tuhan (thaharah para nabi dan shiddiqin).
Untuk dapat melintasi seluruh tingkatan ini syaratnya adalah dengan melintasi syarat-syarat sebelumnya.
Kendati dewasa ini dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia dapat membersihkan badannya dari segala noda dan kotoran lahir. Manusia dengan memakai pelbagai alat pembersih, anti-infeksi, anti-virus, anti-mikroba dapat membersihkan badannya dari segala jenis kotoran dan mikroba. Namun kurang memperhatikan, untuk tidak mengatakan tidak, dan tidak menjauh dari noda dan mikroba dosa yang melegamkan hati sebagai hasil dari dusta, dengki, iri, pelit, buruk-sangka, tudingan dan dosa-dosa yang lainnya.
Menghiasi badan dengan segala perhiasan ragawi, dengan segala parfum mahal tidak memiliki peran dalam menghiasi batin dan ruh. Kendati kebalikannya dapat dilakukan. Artinya mensucikan dan menghiasi batin memiliki peran berarti dalam kesucian lahir dan bercahayanya wajah seorang mukmin. Dalam riwayat disebutkan bahwa menegakkan shalat malam menjadi sebab semerbaknya badan seorang mukmin dan bercahayanya wajahnya.
Mensucikan diri dari dosa dan perbuatan maksiat masing-masing berbeda sesuai dengan tuntutannya dimana hal ini pada pembahasan taubat sekilas telah di bahas. Sebagai misal, dalam kaitannya dengan hak-hak manusia yang diambil secara paksa (ghasb), hak-hak tersebut harus dikembalikan untuk mensucikan diri dosa. Dan sekali-kali tidak dapat disucikan dengan shalat, berdoa dan bermunajat.
Juga dalam masalah tugas-tugas ibadah yang tidak dikerjakan dan harus ditunaikan dengan niat qadha sebagaimana yang dijelasakan dalam pembahasan fiqih. Dalam masalah dosa seperti zina dimana pelaku zina ini harus dihukum akibat perbuatannya sehingga kesucian dari perbuatan dosa tersebut dapat dihasilkan. Iya dengan ayunan cambuk, rajam dan dibunuh dengan pedang perbuatan dosa zina dapat disucikan, sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab fiqih masalah hudud.
Syahid Muthahhari menukil kisah berikut ini dari Ushul Kafi bahwa seorang wanita datang ke hadapan Amirul Mukminin As dan berkata: “Wahai Amiral Mukminin! Aku telah melakukan zina muhsanah (berzina dan telah memiliki suami) dan akibat perbuatan ini aku telah hamil. Saya meminta kepada Anda untuk mensucikanku dari kotoran ini. Imam berkata: “Pengkauan sekali tidak cukup. Engkau harus mengakuinya sebanyak empat kali. Kemudian bersabda lagi: “Tahukah engkau bahwa apabila seorang wanita yang telah bersuami melakukan zina harus dirajam. Kini apabila kami merajammu, bagaimana nasib bayi yang berada dalam rahimmu!?
Kini pergilah, datanglah kembali bilamana engkau telah melahirkan. Wanita itu pergi dan beberapa bulan kemudian datang lagi sembari menggendong bayi dalam pelukannya. Ia berkata: “Wahai Amiral Mukminin! Thahhirni (sucikanlah aku). Kini bayiku telah lahir.”
Amirul Mukminin As bersabda: “Sekiranya kami merajammu kali ini siapa yang akan menjaga dan menyusui bayi ini?”
Wanita itu dengan sedih berlalu dan setelah dua tahun kembali ke hadapan Amirul Mukminin As dengan membawa bayi bersamanya. Kembali ia berkata: “Wahai Amiral Mukminin! Thahhirni (sucikanlah aku). Kini bayiku telah besar dan tidak lagi membutuhkan ASI.” Amirul Mukminin As bersabda: “Bayi ini memerlukan ibu. Pergilah.”
Ia mengambil bayinya dengan tangis terisak dan berkata: “Tuhanku! Tiga kali sudah aku datang ke hadapan imam-Mu. Dan setiap kali aku datang, ia menolakku dengan berbagai alasan. Tuhanku! Aku tidak menginginkan noda dan kotoran ini. Aku datang untuk dirajam sehingga aku tersucikan.
Pada waktu itu, kebetulan ‘Umar bin Harits yang merupakan orang munafik, matanya jatuh kepada wanita itu. Setelah mengetahui kisah wanita ini, ia mengambil tanggung jawab atas anak itu, lalai bahwa sejatinya Imam ‘Ali tidak ingin mengambil pengakuan yang keempat dari wanita itu. Pada akhirnya wanita ini mengakui perbuatannya pada kali keempat dan had (rajam) diterapkan atasnya.
Demikianlah iman yang mendalam dan keyakinan terhadap thaharah rela menerima hujaman batu dan pada akhirnya dengan kesucian ia meninggalkan dunia ini.
Kepada Tuhan kita bermohon untuk disucikan dari segala noda dan kotoran. Sebuah permohonan yang telah kita sadari bahwa lahan untuk terkabulkanya doa ini harus kita persiapkan.
وَ صَبِّرْنِيْ فِيْهِ عَلَى كَائِنَاتِ الْأَقْدَارِ
“Jadikanlah aku di bulan ini sabar menerima setiap ketentuan-(Mu)“
Yang membuat manusia memiliki kemampuan menghadapi pelbagai musibah dan petaka adalah kesabaran; kesabaran yang bersumber dari keyakinan dan takwa. Kesabaran yang menyertai jiwa dalam menghadapi amukan badai persoalan dan bencana sehingga ia mampu berdiri tegar dalam menerima setiap ketentuan Ilahi. Dalam al-Qur’an disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.“(Qs. Al-Baqarah [2]:153).
Sabar sekali-kali tidak bermakna bertahan menerima kesialan dan menyerah pada kehinaan di hadapan pelbagai faktor yang menyebabkan manusia terjatuh, melainkan sabar bermakna berdiri tegar dan resisten di hadapan pelbagai kegagalan, kesulitan dan peristiwa.
Kegagalan dan kekecewaan merupakan bumbu hidup. Dalam kamus orang-orang sabar tidak ada kata gagal yang ada hanya kesuksesan yang tertunda atau dalam bahasa Edison sebuah usaha yang tak bekerja, “I have not failed, I’ve just found 10.000 ways that wont work.” Tidak bersikap pesimistik adalah ciri-ciri orang sukses. Kesuksesan yang merupakan sahabat kesabaran.
Alangkah signifikannya sabar ini sehingga dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak 70 kali. Sejarah orang-orang besar memberikan kesaksian bahwa salah satu faktor penting kesuksesan mereka adalah sabar di samping istiqamah.
Hafiz Syirazi, pujangga besar Iran, dalam hal ini berkata:
Sabr wa dzhafar har du dust Qadiman
Cun Sabr kard Dzhafar Âyad
Dua sahabat lama sabar dan kemenangan,
Karena sabarlah kemenangan dalam genggaman.
Orang-orang yang menjadikan sabar dan istiqamah sebagai sangu dalam perjuangannya niscaya kemenangan segera dapat diraih.
Secara asasi tipologi istiqamah dan sabar adalah bahwa tanpa keduanya keutamaan yang lain tidak memiliki nilai dan harga.
Imam ‘Ali As bersabda: “Bersabarlah, karena kesabaran adalah bagian dari iman, laksana kepala bagi badan dan tiada kebaikan pada badan tanpa kepala bersamanya dan tiada iman tanpa sabar bersamanya.” (Nahjul Balaghah, hikmah 82).
Dalam berbagai riwayat disebutkan bahwa sabar terbagi menjadi tiga bagian;
1. Sabar dalam ketaatan (resistensi di hadapan pelbagai kesulitan di jalan ketaatan kepada Tuhan);
2. Sabar dalam maksiat (resistensi dalam menghadapi pelbagai bisikan untuk melakukan dosa);
3. Sabar dalam musibah (resistensi dalam menghadapi pelbagai peristiwa getir).
Tentang kalimat “iqdar” yang merupakan plural dari kata qadar yang bermakna taqdir. Taqdir terdiri dua bagian: 1. Yang berubah. 2. Yang tidak dapat berubah dan pasti terjadi. Boleh jadi yang dimaksud dari redaksi “kainat al-aqdar” adalah takdir jenis kedua. Kita harus memohon kepada Tuhan taufik kesabaran dan pendahuluan dari kesabaran ini adalah kesucian dari pelbagai noda. Semoga Allah menganugerahkan taufik kesabaran kepada kita untuk menerima segala ketentuan-Nya.
وَ وَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِلتُّقَى وَ صُحْبَةِ الْأَبْرَارِ
“Dan anugerahkanlah taufik kepadaku di bulan ini untuk meraih takwa dan bersahabat dengan orang-orang yang bijak.”
Dua poin yang dijelaskan dalam doa ini. Takwa dan bersahabat dengan orang-orang bijak. Sumber takwa adalah yakzha dan terjaga dari lelap. Yakhza ini sebagaimana yang telah kita singgung pada doa hari pertama, merupakan tingkatan pertama bagi seseorang yang ingin melesak bersua dengan Allah Swt.
Takwa adalah kendali-diri dan penguasaan terhadap nafs. Artinya manusia menunaikan segala kewajiban dan menjauhi segala maksiat dan perbuatan haram. Hasil dari puasa, shalat dan ibadah yang lain adalah takwa dan takut kepada Allah. Takwa merupakan tingkatan tinggi tazkiyatun nafs dan busana cantik bagi jiwa manusia. Takwa merupakan sebaik-baik sangu bagi seseorang untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan keselamatan akhirat. Takwa adalah harapan yang ditambatkan bagi orang-orang yang berpuasa.
Menyitir Baginda ‘Ali As bahwa takwa merupakan kendaraan yang memudahkan orang yang mengendarainya mulus masuk firdaus. Tatkala suatu hari Baginda ‘Ali As menjelaskan sifat orang-orang bertakwa dalam khutbah yang terkenal, khutba Hammam (muttaqin), sedemikian ucapannya merembes kepada salah seorang sahabat yang hadir di tempat itu tidak kuasa menahan luapan cinta dan kerinduan kepada Sang Kinasih, membuat simurgh ruhnya melesat terbang dan menyerah di hadapan Sang Pencipta.
Tentang takwa banyak ayat dalam al-Qur’an yang bisa kita jadikan sebagai bukti tentang signifikannya sangu berharga ini. Di antaranya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.” (Qs. Al-Hujurat [49]:13).
Dan ayat “Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberi rezeki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkannya.“ (Qs. Ath-Thalaq [65:2-3).
Poin yang lain dari frase doa ini adalah bertemankan dengan orang-orang bijak. Memiliki teman yang baik merupakan nikmat besar. Dan bertemankan dengan orang-orang bijak merupakan anugerah Ilahi. Alangkah indahnya sabda Nabi Saw: “Apabila Tuhan menghendaki kebaikan pada seorang hamba, Dia memberikan teman yang shaleh dan layak kepadanya dimana apabila ia lalai mengingat Tuhan, ia akan mengingatkan-Nya dan apabila ia mengingat Tuhan akan menolongnya.”
Kriteria teman dalam frase doa ini adalah orang-orang bijak. Dengan memperhatikan redaksi “abrar” yang merupakan plural dari kalimat “bir” kita dapat mengambil cahaya dari al-Qur’an tentan kalimat ini. Bir aslinya bermakna perluasan dan kemudian dimaknai segala kebaikan dan ihsan. Lantaran dengan perbuatan ini wujud manusia tidak akan terbatas melainkan mengalami perluasan dan perbuatan ini sampai kepada orang lain dan mengambil manfaat darinya.
Pada hakikatnya perbuatan baik pada orang-orang sekelilingnya akan memberikan pengaruh dan hal ini karena keluasan ruh orang-orang bijak. Al-Qur’an dalam memperkenalkan tipologi orang-orang bijak ini: “Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu adalah orang yang beriman kepada Allah, hari kemudian, para malaikat, kitab-kitab, dan para nabi; memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya; mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila mereka berjanji; dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Qs. Al-Baqarah [2]:177).
Perbuatan baik yang paling penting adalah secara runut disebutkan dalam ayat ini. Maka untuk menghindar dari teman-teman yang buruk kita bersandar pada ayat al-Qur’an ini dengan bertemankan orang-orang bijak.
Salah satu kriteria al-Qur’an dalam mencari teman dan sahabat adalah kebenarannya dan kejujurannya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.“ (Qs. Al-Taubah [9]:119).
Sejatinya segala sifat tercela sangat dipengaruhi oleh teman-teman yang ada di sekelilingnya. Kebalikannya adalah teman-teman yang baik yang tentu akan mempengaruhi jiwanya dan akan membawanya melesat terbang meraup nilai-nilai Ilahiah.
Dalam kaitannya dengan hal ini Rasulullah Saw bersabda: “Manusia (tergantung) atas agama sahabatnya. Maka lihatlah kalian dengan siapa kalian bergaul.”
Dalam sebuah dastur amal (aturan praktik) sair suluk, disebutkan adab dalam mencari teman seperjalanan. Adab refâqat menegaskan kepada kita untuk mencari teman yang tidak bermotivasi motivasi duniawi dalam berteman dan bergaul dengannya dalam kerangka “lillah fiiLlah” (untuk Allah dan di jalan Allah). Teman harus berakal sehat, berakhlak mulia, ahli takwa dan amal shaleh, bukan ahli bid’ah merupakan syarat-syarat yang disebutkan dalam mencari teman yang baik dan layak. (Barnâmeh Suluk, Ali Syirwani, hal. 157)
Bersama Rasulullah Saw mari kita berdoa kiranya Allah Swt menganugerahkan kepada kita taufik takwa dan dengan landasan takwa itu kita bergaul dan berteman dengan orang-orang bijak.
بِعَوْنِكَ يَا قُرَّةَ عَيْنِ الْمَسَاكِيْنِ
Dengan pertolongan-Mu wahai pelipur lara orang-orang miskin.
(Eurekamal/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email