Pesan Rahbar

Home » » Hubungan Batin Perempuan dan Laki-laki

Hubungan Batin Perempuan dan Laki-laki

Written By Unknown on Friday, 18 November 2016 | 00:05:00


“Perempuan selalu menjadi sahabat agama, tetapi umumnya agama bukan sahabat bagi perempuan.” (Moriz Winternitz)

Dalam persoalan relasi gender, tidak sedikit pendapat yang memandang perempuan sebagai kelas lebih rendah dari laki-laki dari sudut pandang agama. Pandangan ‘negatif’ itu bahkan diklaim bersumber dari ayat Al-Qur’an, hadis termasuk Injil, sedemikian sehingga agama, khususnya Islam, diskriminatif terhadap perempuan

Belum lagi sejumlah kasus yang terjadi di dunia Islam telah mendukung keyakinan para pengkritik dan memperkuat kesan bahwa perempuan – khususnya dalam kelompok Islam garis keras – merupakan kelompok tertindas tanpa hak. Kajian mengenai peran perempuan selama perang pembebasan Turki awal 1920-an atau partisipasi aktif perempuan dalam gerakan kemerdekaan India dan perjuangan Pakistan 1940-an, adalah beberapa contoh yang menunjukkan hal sebaliknya.

Di dunia tasawuf, kalangan sufi menyebut maskulin, atau aspek ‘jalal’ (keagungan) adalah aspek ‘yang’ dan kecintaan, kecantikan, sifat feminin, atau aspek ‘jamal’ (keindahan) adalah aspek ‘yin’. Dengan penyatuan kedua prinsip inilah – yin dan yang – kehidupan terus ada.

“Kehidupan tak mungkin ada tanpa ‘systole’ dan ‘diastole’ detak jantung, tanpa menghirup dan menghembuskan, atau kerja listrik tanpa dua kutub,” kata pengkaji tasawuf Islam, Annemarie Schimmel.

Dahulu, lanjut Schimmel, kaum sufi menafsirkan perintah ilahi dalam penciptaan dengan ‘kun’ (jadilah!) – dalam bahasa Arab terdiri dari 2 huruf – dengan menunjuk pada “benang 2 warna” yang menyelubungi, seperti sehalai kain, kesatuan dasar Wujud Ilahi.

Maulana Jalaluddin Rumi secara khusus menggambarkan keadaan saling mempengaruhi yang konstan antara dua aspek kehidupan itu melalui prosanya yang terkenal ‘Fihi Ma Fihi’ dan menyebut-nyebut hal itu dalam begitu banyak versi lirisnya, Diwan dan Matsnawi.

“Dan bukankah interpretasi mistis dari huruf pertama abjad Arab, yang ramping dan tegak, alif, dengan nilai numerik satu, sebagai manifestasi pertama Keesaan Tuhan; dan huruf kedua, merupakan permulaan penciptaan alam semesta? Karena huruf pertama Al-Qur’an adalah ‘ba’ dalam kata bismillah, “Dengan nama Allah”.

Dengan adanya kecenderungan umum dalam Islam untuk mengorganisasikan segala sesuatu ke dalam dua kelompok serta melihat segala penciptaan berdasarkan kedua aspek ini, bagaimana mungkin sisi-sisi maskulin dan feminim dalam kehidupan tidak dianggap sama-sama penting?

“Karena tanpa kerja keduanya, tak akan ada kehidupan baru di muka bumi.”

Di sisi lain, seluruh kosmos berasal dari Tuhan, maka Tuhan mencintai alam semesta. Tujuan penciptaan selalu didasarkan pada keseimbangan dan kesatuan baik dalam alam lahiriah maupun batiniah. Esensi kehidupan manusia baik perempuan atau laki-laki adalah untuk menjadi insan kamil, yaitu manusia yang dapat menyatukan sisi ilahiah jamal (keindahan/kualitas feminin) dan jalal (keagungan/kualitas maskulin) menjadi kamal (sempurna).

Meskipun menarik diteliti lebih lanjut, jika digali lebih dalam tentunya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Lepas dari aspek tasawuf ini, menurut Schimmmel, untuk mengoreksi kesalapahaman umum tentang peran perempuan dalam Islam, sebenarnya cukup dengan melihat bagaimana ucapan-ucapan dalam Al-Qur’an muslimun wa muslimat, mu’minun wa mu’minat diletakkan sejajar yaitu muslim laki-laki dan perempuan, kaum beriman laki-laki dan perempuan. Perempuan mempunyai kewajiban keagamaan yang sama seperti laki-laki (dengan pengecualian bahwa mereka tidak dapat melaksanakan kewajiban ini dalam keadaan tidak suci). Toh, tidak shalat atau puasa wajib- perempuan balig karena alasan fikih juga bagian dari melaksanakan kewajiban keagamaan.

Kedudukan tinggi perempuan, terlihat pada istri pertama Rasul, Khadijah – “ibu kaum mukminin” – dalam perkembangan spiritualnya, adalah hal yang sangat nyata. Dengan kasih sayang dan pengertiannya, Khadijah memberi Rasul kekuatan dalam menghadapi pengalaman yang menegangkan dan mengguncang hatinya yang paling dalam saat menerima wahyu pertama yang diturunkan kepadanya, karena beliau percaya akan kerasulan suaminya.

Kemudian putrinya Khadijah dengan Rasul Saw yaitu Fatimah Az-Zahra, yang terkenal sebagai perantara atau dalam terminologi mistik sebagai umm abiha, “ibu bagi ayahnya”,” kata fenomenolog Agama asal Jerman ini.

Rasul Saw menyatakan bahwa “Surga berada di bawah telapak kaki Ibu”. Kemudian, Rumi melihat “ibu”di setiap tempat. Secara umum segala sesuatu dalam kosmos adalah ibarat seorang ibu, melahirkan sesuatu yang lebih tinggi dari pada dirinya. Apakah itu batu api yang “melahirkan” percikan, yang kemudian menghasilkan api apabila ditempatkan dalam pengantar panas yang baik, atau bumi yang disuburkan oleh awan, menghasilkan tumbuh-tumbuhan sebagai hasil hieros gamos, perkawinan suci. Sedemikian sehingga Rumi manggambarkan perempuan, dalam buku pertama Matsnawi, sebagai seseorang yang pantas disebut sebagai “pencipta”.

Dalil relasi gender yang sering kali disalahartikan ialah, “Istri-istrimu adalah pakaianmu, dan engkau adalah pakaian mereka,” (Al Baqarah: 188)

Jika kita membuka kembali pemikiran religious kuno, pakaian diibaratkan sebagai “keakuan yang lain” (alter-ego). Pakaian dapat berfungsi sebagai pengganti untuk seseorang, dan dengan pakaian baru seseorang seolah mendapatkan kepribadian baru.

“Lebih jauh, pakaian menyembunyikan tubuh, menutupi pandangan terhadap bagian-bagian yang bersifat pribadi, dan melindungi pemakainya,” kata Schimmel

Menurut interpretasi ini, suami-istri berbicara satu sama lain kepada alter-ego mereka, dan setiap diri melindungi kehormatan pasangannya. Hal ini memperlihatkan betapa baiknya prinsip ‘yin-yang’ berlaku dalam hubungan perkawinan yang berarti, “Hubungan suami-istri adalah setara dalam kebersamaan mereka yang sempurna.” []

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: