Peneliti naskah-naskah Jawa kuno, Nancy K. Florida, tidak sependapat jika dikatakan corak mistis atau umum dikenal tasawuf dalam Islam Jawa itu bersumber dari ajaran Hindu. Dari 500 naskah di Kraton Surakarta misalnya, hanya 17 yang berbau Hinduisme. Selebihnya adalah Islam. Ia pun mencontohkan mengenai tahapan perjalanan ruhani di Islam Jawa yang dikenal suluk.
“Suluk itu lebih kuat karena pengaruh Islam, bukan Hinduisme,” kata Indonesianis berusia 67 tahun ini ketika diwawancarai Kompas beberapa waktu lalu.
Selain itu, pengajaran tasawuf-Islam di tanah Jawa sangat kuat dan sophisticated di abad ke- 18 dan ke -19. Dari sekian banyak tema tasawuf dalam Islam Jawa, Nancy mengaku tertarik pada konsep penyatuan badan dan jiwa.
Pada periode Kerajaan Islam Mataram, konsep penyatuan juga dikenal dalam istilah tradisi kraton sebagai hubungan integral antara hati (manusia), bumi (alam) dan Gusti (Tuhan). Konsep kesatuan (manuggaling) ini memang kompleks sebagaimana diakui oleh Nancy. Dan mungkin karena itu juga, Syekh Siti Jenar yang dikenal dengan ajaran ‘manunggaling kawulo Gusti’ ini merupakan sosok sufi kontroversial hingga kini.
Jika diteliti periode awal, Islam dengan corak tasawuf merupakan ajaran yang kental di Mataram (Yogyakarta-Surakarta kuno) dan lebih kental dibanding periode kerajaan Islam sebelumnya seperti Demak Bintaro yang berumur singkat.
Jika dilirik ke belakang lagi, sejatinya laku atau sikap hidup manusia Jawa itu, kata Konco Kaji Keraton Yogyakarta Ki Ridwan, cenderung pada tasawuf. Termasuk keyakinan kosmologi tentang Tuhan Yang Satu. Sehingga, ketika diperkenalkan pertama kali dengan Islam yang bercorak tasawuf oleh para wali, yang terjadi ialah adanya hubungan integral. Dalam analogi budayawan kondang Emha Ainun Najib, pertemuan Jawa dan Islam bagaikan botol bertemu tutupnya. Bahkan, kata Cak Nun, sebelum Islam datang, manusia Jawa telah mencapai sebagian dari khazanah Islam.
“Meskipun (pada masa itu) tidak ada yang dinamakan bank (berlabel) Syariat,” katanya menyinggung perbedaan Islam simbolik dan substansial.
Jikapun ada pengaruh eksternal seperti kisah pewayangan, Sunan Kalijaga tetap memberi ruang masuknya konsep Islam seperti ‘insan kamil’. Sunan Kaligaja membuat modifikasi sedemikian rupa, sehingga ada yang kita kenal dengan Punakawan yang masing-masing perannya mengandung makna filosofis dan sufistik.
Sedemikian kentalnya corak ini, konsep falsafah Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula Lan Gusti dalam konteks ke-ilahiyah-an digambarkan dengan jelas dalam planologi kota Yogyakarta. Misalnya, garis imajiner dari Gunung Merapi, Tugu, Kraton, Panggun Krapyak, hingga pantai selatan ditafsirkan sebagai manifestasi ke-Ilahiya-an (Jagad Ageng) yang harus diimbangi dengan hubungan dua sosok manusia sebagai manifestasi Jagad Alit yang diwujudkan dalam bentuk simbolik berupa Lingga (Tugu) – Yoni (Panggung Krapyak).
Dalam buku “Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX” (Wahyukismoyo, 2007), secara singkat, garis imajiner itu juga dapat dimaknai sebagai kirab perjalanan hidup seorang anak manusia yang tercipta dari plasma nutfah hingga suatu saat kelak nanti harus kembali kepada pangkuan-Nya.
Berbicara tentang berdirinya Kerajaan Islam Mataram ini, tidak lepas dari pengaruh, petunjuk dan bimbingan spiritual Ki Ageng Pemanahan, Ki Ageng Griring, Ki Juru Mertani serta Sunan kalijaga. Dari Ki Ageng Pemanahan, lahirlah Panembahan Senopati. Dan dari Panembahan Senopati, terlahirlah para raja Mataram.
Sebelum Kerajaan Mataram berdiri pun dikabarkan murid-murid Syekh Siti Jenar telah menyebar hingga ke pedalaman selatan Jawa. Tokoh spiritual Ki Ageng Sela pun termasuk murid tidak langsung dari Syekh Siti Jenar.
Karena itu, para pendiri Mataram yang ajarannya diwarisi keraton masa ke masa itu, selaras dengan kecenderungan masyarakat di bagian selatan Jawa yang sebelumnya populer dengan ajaran mistis Syekh Siti Jenar.
Nah, apakah warisan ajaran para pendiri Mataram itu masih terjaga hingga kini? Ini memerlukan penelitian yang mendalam, apalagi mengingat periode kolonialisme Belanda yang menduduki keraton hingga alasan di balik perlawanan Pangeran Dipanegoro.
Senada dengan Nancy, menurut Prof. Dr. Abdul Hadi, dimensi mistis Islam Jawa tak bisa lepas dari ajaran Islam itu sendiri yang menyentuh Jawa pertama kali. Hal ini, lanjut Sastrawan dan budayaan ini, karena sebagian besar penyebar Islam adalah ahli-ahli tasawuf dan jejaknya dapat disaksikan dalam berbagai bukti seperti kitab-kitab keagamaan dan sastra, juga dalam adat istiadat. Bahkan, para sufi itu berpengaruh besar dalam penentuan kalender Islam, penentuan bentuk-bentuk upacara keagamaan seperti maulid dan lain-lain.
Dengan proses akulturasi yang panjang, Islam Jawa semakin mendapatkan bentuknya yang khas, esoteris-kultural, ketika Islam masuk ke pedalaman Pajang lalu akhirnya Mataram. Sejak Mataram inilah, peradaban Islam Jawa mulai terbangun. Hal ini bisa juga dilihat dari tradisi keagamaan yang beraroma mistis, hingga terbentuk pola yang mengakar dengan dasar siklus penanggalan Jawa Islam – mulai dari Suro, Sapar, Maulud, dan seterusnya – karya monumental Sultan Agung. []
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email