Profil dan Nasab Zubair bin Awwam (Zubair bin Awwam bin Khuwailid) Dalam Pustaka Islam (Sebagian Pihak Menyebutkan, Mereka Adalah Orang Yang Pertama Kali Melakukan Nikah Mut’ah dan Terlibat Pembunuhan Utsman)
Zubair bin Awwam bin Khuwailid adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw sekaligus keponakan Sayidah Khadijah Sa, istri Nabi Saw. Zubair masuk Islam pada umur 8 atau 15 tahun.
Dia hampir selalu menyertai Nabi Saw. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, Zubair menolak peristiwa Saqifah (tempat musyawarah untuk menunjuk pengganti Nabi Saw).
Ia teguh dalam mendukung dan membela hak kekhalifahan Imam Ali As, termasuk berkali-kali melakukan debat dengan Umar bin Khattab.
Dia adalah salah seorang dari enam ahli syura yang ditunjuk Khalifah Umar untuk memusyawarahkan penggantinya. Dalam sidang syura Zubair memberikan pilihannya untuk Imam Ali As.
Dia terlibat dalam pembunuhan Utsman. Kemudian, di awal kekhalifahan Imam Ali As, bersama Thalhah, Aisyah dan pihak-pihak yang dikenal dengan golongan Nakitsin, Zubair andil dalam Perang Jamal melawan Imam Ali As.
Nasab
Silsilah Zubair adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay al-Qurasyi al-Asadi. Sedangkan nama kunyahnya adalah Abu Abdillah. Dia merupakan anak dari saudara Sayidah Khadijah Sa. Ayah Zubair, Awwam, terbunuh dalam Perang Fijar.[1]
Ibunya bernama Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi dari Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali As.[2]
Sebagian pihak berpendapat, sebenarnya keluarga Zubair berkebangsaan Mesir, bukan Quraisy asli. Mereka berdalil dengan suatu catatan yang menyebutkan bahwa Khuwailid pernah pergi ke Mesir dan kembali ke Mekah dengan membawa Awwam lalu diadopsi.[3]
Menikah dengan Putri Abu Bakar
Zubair menikah dengan putri Abu Bakar yang bernama Asma’.[4]
Sebagian pihak menyebutkan, mereka adalah orang yang pertama kali melakukan nikah mut’ah.[5]
Setelah beberapa waktu Zubair menceraikan Asma’.[6]
Ada yang mengatakan, yang memaksanya untuk menceraikan istrinya adalah putranya sendiri, Abdullah.[7]
Namun ada yang berpendapat, Zubair melukai Asma’ sehingga dia terpaksa harus meminta perlidungan pada Abdullah sampai akhir hayatnya.[8]
Masuk Islam
Laporan sejarah menyebutkan, Zubair masuk Islam setelah Abu Bakar. Sebagian sejarawan berpendapat, saat masuk Islam usian ZUbair masih 8 tahun.[9]
Namun sebagian lain berpendapat, saat itu dia telah berusia 15 tahun.[10]
Menurut cerita, Zubair seumuran dengan Imam Ali As.[11]
Jika benar maka tidak mungkin saat masuk Islam dia berusia 8 tahun, lebih tepatnya adalah 15 tahun.
Sebagian sejarawan berpendapat, Zubair adalah orang kelima atau keenam yang masuk Islam.[12]
Karena yang menceritakan tentang islamnya Zubair adalah cucunya sendiri yang bernama Hisyam bin Urwah bin Zubair,[13] karenanya ada kemungkinan hal itu terlalu dilebih-lebihkan.[14]
Di Zaman Nabi Saw
Sebelum Hijrah
Tidak banyak riwayat yang menceritakan tentang Zubair sebelum peristiwa hijrah. Hanya ada secuil cerita yang menyebutkan bahwa dia termasuk orang yang ikut hijrah ke Habasyah.[15]
Saat Zubair dan para muhajirin lainnya berada di Habasyah, tersebar isu bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Sebab itu sebagian kaum muhajirin kembali pulang ke Mekah, termasuk Zubair.[16]
Ikrar Persaudaraan
Salah satu yang dilakukan Rasulullah Saw saat tiba di Madinah adalah mengajak kaum muslimin untuk menyatakan ikrar persaudaraan. Saat itu Zubair berpasangan dengan Abdullah bin Mas’ud.[17]
Dalam riwayat lain disebutkan, Zubair berpasanagn dengan Salamah bin Salamah bin Waqasy.[18]
Ikut Perang
Data sejarah menyebutkan, Zubair andil dalam perang Badar,[19] Uhud dan penaklukan Mekah.[20]
Zubair dan Para Khalifah
Menolak Kekhalifahan Abu Bakar
Setelah wafat Rasulullah Saw, Zubair adalah salah satu orang yang menolak sidang Saqifah. Saat rumah Sayidah Fatimah Sa diserang oleh sekelompok orang, Zubair mengangkat pedangnya dan menyerang mereka. Saat itu Khalid bin Walid melempar batu kepadanya dari belakang hingga pedangnya terjatuh. Umar mengambil pedang itu dan mematahkannya.[21]
Zubair adalah menantu Abu Bakar karena dia menikah dengan Asma’ binti Abu Bakar.[22]
Namun kemudian dia menceraikannya, konon dia lakukan atas desakan putranya yang bernama Abdullah.[23]
Cemooh Umar Tentang Zubair
Hubungan Zubair dengan khalifah kedua tidak begitu baik. Suatu malam Umar bersama Ibnu Abbas sedang mencari seseorang di Madinah. Saat pembicaraan menyinggung tentang Zubair, Umar berkata, “Dia itu orang yang tidak sabar dan garang. Saat sedang senang berlagak seperti orang mukmin, tapi kalau sedang marah seperti orang kafir. Kadang seperti manusia, kadang seperti setan…”.[24]
Terlibat Pembunuhan Utsman
Saat berlangsung musyawarah untuk memilih pengganti khalifah kedua, Zubair tidak memberikan suaranya untuk Utsman. Artinya dia tidak sejalan dengan Utsman. Utsman memberinya 600.000 dirham agar tidak mengusiknya.[25]
Namun tak lama kemudian ternyata dia memprovokasi masyarakat supaya membunuh Utsman.[26]
Zubair dan Kekhalifahan Imam Ali As
Zubair adalah sepupu Imam Ali As. Hubungannya dengan Imam Ali As banyak mengalami pasang surut. Dulunya dia adalah salah seorang pembela Imam Ali As dalam menghadapi peristiwa Saqifah.
Dia juga sebagai saksi wasiat Sayidah Fatimah az-Zahra Sa,[27] ikut hadir dalam proses pemakaman Sayidah Fatimah Sa,[28] dan orang yang memberikan suaranya pada Imam Ali As saat berlangsungnya musyawarah yang beranggotakan enam orang dalam pemilihan khalifah.
Setelah terbunuhnya Utsman, banyak orang berbondong-bondong datang ke rumah Imam Ali As, termasuk Thalhah dan Zubair. Mereka menyatakan siap mendukung dan membaiat Imam Ali As sebagai khalifah. Setelah banyak desakan akhirnya Imam Ali As menerima permintaan mereka.[29]
Saat itu Zubair dan Thalhah menyatakan siap mengumpulkan dukungan dari pihak Muhajirin.[30]
Namun tidak lama kemudian mereka berubah pikiran. Mereka menentang kekhalifahan Imam Imam Ali As.[31]
Ketika Zubair dan Thalhah mendengar bahwa Aisyah yang berada di Mekah juga tidak setuju atas terpilihnya Imam Ali As sebagai khalifah, mereka berencana keluar dari Madinah ke Mekah dengan dalih untuk berangkat umrah. Ketika mereka meninggalkan Madinah, Imam Ali As berkata, “Mereka tidak pergi untuk mengunjungi Baitullah, namun untuk berbuat makar dan melakukan pengkhianatan.”[32]
Zubair mengajak Aisyah berangkat ke Bashrah dengan pasukan yang banyak untuk melawan Imam Ali As. Setelah merampas harta warga Yaman oleh Ya’la bin Munabbih, secara resmi mereka menyatakan perlawanan terhadap Imam Ali As.[33]
Peran Zubair Dalam Perang Jamal
Zubair adalah salah seorang yang bertanggung jawab atas terjadinya perang Jamal. Pada tahun 36 H dia dibantu Thalhah berhasil membujuk Aisyah supaya bersedia ikut berangkat ke Bashrah. Begitu tiba di Bashrah mereka melukai Utsman bin Hanif, gubernur Imam Ali di Bashrah.[34]
Imam Ali As bersama pasukannya berangkat ke Bashrah untuk mengahadapi mereka. Setelah terjadi pertempuran sengit, perang itu dimenangkan pihak Imam Ali As.
Pertemuan Zubair dengan Imam Ali di Medan Perang
Saat kedua belah pasukan berhadapan, Imam Ali As memanggil Zubair. Mereka berdua bertemu dan berbicara di tengah antara dua kubu barisan pasukan. Saat itu Imam Ali As mengingatkan tentang pesan yang pernah disampaikan Rasulullah Saw untuknya.
Isi pesan tersebut adalah: Suatu hari di hadapan Imam Ali As Rasulullah Saw bertanya pada Zubair, “Apakah engkau mencintai Ali?,” Zubair menjawab, “Bagaimana aku tidak mencintainya.” Rasulullah Saw kembali bertanya, “Bagaimana kau memeranginya dengan dhalim?!”[35]
Setelah mendengar hal itu Zubair meninggalkan medan perang.[36]
Terbunuhnya Zubair
Begitu Zubair meninggalkan medan perang, Amr bin Jurmuz dan beberapa orang mengikuti lalu membunuhnya di tempat bernama Wadi al-Siba’.[37]
Setelah itu Amr menghadap pada Imam Ali As. Dia berkata pada penjaga, “Mintakan ijin masuk untuk pembunuh Zubair.” Imam Ali As berkata, “Ijinkan dia masuk dan berikan hadiah neraka padanya.”[38]
Rasulullah Saw bersabda tentang pembunuh Zubair, “Tempat pembunuh Zubair adalah neraka.”[39]
Kematian Zubair membuat Imam Ali As nampak tidak senang. Saat melihat pedang Zubair, seraya mengenang keberanian dan kegigihan Zubair dalam pertempuran di periode awal Islam, beliau berkata, “Pedang ini berkali-kali telah membuat Rasulullah Saw senang.”[40]
Taubat Zubair
Melihat dari dhahir sabda Rasululullah Saw dan apa yang disampaikan Imam Ali As terkait pembunuh Zubair, mungkin sebagian orang mengambil kesimpulan bahwa Zubair telah bertaubat. Yusufi Gharawi tidak setuju jika dikatakan bahwa Zubair telah bertaubat.
Menurutnya, Zubair bisa dikatakan telah bertaubat dengan benar jika saat itu dia mengikuti dan membantu imam zamannya (Imam Ali As). Kenyataannya setelah dialog dengan Imam Ali As dia tidak melakukannya. Sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa perkataan Imam Ali As (dan juga sabda Rasulullah Saw yang menyatakan pembunuh Zubair akan masuk neraka) adalah bukti bahwa Zubair telah bertaubat.
Sebab bisa jadi yang dikabarkan Rasulullah Saw itu karena pembunuhnya bertindak tanpa ada ijin dari imam zamannya. Apalagi ternyata pembunuh itu di kemudian hari menjadi golongan Khawarij Nahrawan.[41]
Pembangunan Makam Zubair
Ibnu Jauzi Hanbali menulis dalam kitabnya: “Pada tahun 386 H warga Bashrah mendirikan bangunan yang dilengkapi dengan masjid dan kubah di atas makam Zubair, mereka banyak menginfakkan harta untuk makam itu.”[42]
Namun Syaikh Mufid memperkirakan, letak kuburan Zubair itu tidak didukung dengan bukti yang cukup. (Lih. Ibnu Atsir, al-Bidayah, jld. 11, hlm. 319).
Anak Zubair
Abdullah bin Zubair
Anak Zubair yang paling terkenal adalah Abdullah. Abdullah bin Zubair lahir pada periode awal hijrah. Dia merupakan putra pertama yang lahir di Madinah dari kalangan Muhajirin. Ketika Abdullah lahir kaum muslimin mengumandangkan takbir bersama-sama.
Takbir yang dikumandangkan itu bukan karena Zubair atau Abdullah memiliki kedudukan istimewa, namun kelahirannya adalah bukti kebohongan rumor bahwa kaum Yahudi menyihir kaum Muhajirin supaya tidak bisa memiliki keturunan.[43]
Para sejarawan menyebutkan Abdullah adalah anak pertama yang lahir dari hasil nikah mut’ah.[44]
Anak Lain
Selain Abdullah, berikut ini nama anak-anak Zubair: Anak laki-laki: Urwah, Mundhir, Ashim, Muhajir, Khalid, Umar, Mush’ab, Hamzah, Jakfar. Anak perempuan: Khadijah, Ummu Hasan, Aisyah, Habibah, Surah, Hindun, Ramlah, Ubaidah, Zainab.
Harta
Selama kekhalifahan tiga khalifah pertama Zubair berhasil mengumpulkan banyak harta. Sepeninggalnya, dia mewariskan 11 rumah di Madinah, 2 rumah di Bashrah, 1 rumah di Kufah dan 1 rumah di Mesir.[45]
Di samping itu, disebutkan dia juga meninggalkan 1000 dinar, 1000 kuda, dan 1000 budak.[46]
Catatan Kaki:
1. Ibnu Qutaibah, al-Ma’arif, matan, hlm. 219.
2. Muqaddasi, al-Bada’ wa al-Tarikh, jld. 5, hlm. 85.
3. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 11, hlm. 67.
4. Sam’ani, al-Ansab, jld. 1, hlm. 217.
5. Al-‘Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 14. Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, jld. 3, lhm. 24. Askari, Izdiwaje Muwaqat Dar Islam, 5052.
6. Lih. Ibnu Sa’ad, Muhammad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 253. Ibnu Qutaibah, Abdullah, al-Ma’arif, hlm. 173. Ibnu Asakir, Ali, Tarikh Madinah Dimasyq, hlm. 9, 16-18.
7. Asadul Ghabah, jld. 6, hlm. 10.
8. Ibid.
9. Muqaddasi, al-Bad’ wa al-Tarikh, jld. 5, hlm. 83.
10. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 2, hlm. 510. Ibnu Atsir, Asadul Ghabah, jld. 2, hlm. 98.
11. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 2, hlm. 511.
12. Thabaqat, Ibnu Sa’ad, jld. 3, hlm. 75.
13. Ibnu Abi Syaibah, jld. 8, hlm. 450. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 75.
14. Fallah Zadeh, hlm. 123.
15. Tarikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 415.
16. Ibid.
17. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 75.
18. Tarikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 423.
19. Sam’ani, al-Ansab, jld. 1, hlm. 216. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 77.
20. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 77.
21. Al-Ikhtishash, hlm. 186. Al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 28.
22. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 4, hlm. 1781.
23. Al-Ishabah, jld. 8, hlm. 13.
24. Ya’qubi, jld. 2, hlm. 158.
25. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 79.
26. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 47. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 3, hlm. 56.
27. Shaduq, Man La Yahdhuruh al-Faqih, jld. 4, hlm. 244.
28. Fattal Naisyaburi, Raudhah al-Wa’idhin, jld. 1, hlm. 349.
29. Al-Jamal, Mufid, hlm. 130.
30. Tarikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 167.
31. Ibid, hlm. 169.
32. Syarh Nahjul Balaghah, jld. 1, hlm. 123.
33. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 63.
34. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 1, hlm. 366-369. Ibnu Atsir, Asadul Ghabah, jld. 1, hlm. 251.
35. Tarikh Madinah Dimasyq, Ibnu Asakir, jld. 18, hlm. 409. Bihar, jld. 18, hlm. 123.
36. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 9, hlm. 430.
37. Thabari, Tarikh, jld. 4, hlm. 511.
38. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 3, hlm. 254.
39. Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, jld. 18, hlm. 421.
40. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 78.
41. Askari Wadeqani, Sahabehe Payanbar Azam, jld. 5, hlm. 137.
42. Ibnu Jauzi, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, jld. 14, hlm. 383.
43. Askari, al-Awail, hlm. 220.
44. Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, jld. 3, hlm. 24. Askari, Izdiwaje Muwaqat dar Islam, 5052. Al-‘Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 14.
45. Shahih Bukhari, jld. 4. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, jld. 8, hlm. 717.
46. Al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 333.
Daftar Pustaka
1. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, Qom, Perpustakaan Ayatullah Mar’asyi Najafi, 1404 H.
2. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, Bairut, Darul Fikr, 1409 H.
3. Ibnu Atsir, ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Jazari, Asadul Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Bairut, Darul Fikr, 1409 H/1989 M.
4. Ibnu Jauzi, Abul Faraj Abdurrahman, bin Ali bin Muhammad, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha dan Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, Bairut, darul Kutub al-Ilmiah, cet. Pertama, 1412 H.
5. Ibnu Khaldun, Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Barbar wa min Ashirihim min Dzawi al-Sya’n al-Akbar, riset: Khalil Syihadah, Bairut, Darul Fikr, cet. Kedua, 1408 H/1988 M.
6. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, cet. Pertama, Bairut, Darul Kutub al-Ilmiah, 1410 H.
7. Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, Darul Fikr, Bairut, Bairut, 1415 H.
8. Ibnu Abdul Barr, Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, riset: Ali Muhammad al-Bijauwi, Bairut, Darul Jail, cet. Pertama, 1412 H/1992 M.
9. Ibnu Abdu Rabbih, al-‘Aqd al-Farid, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Bairut, Libanon, cet. Ketiga, 1420 H.
10. Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim al-Dinawari, al-Imamah wa al-Siyasah, riset: Ali Syiri, Bairut, darul Adhwa’, cet. Pertama, 1410 H/1990 M.
11. Ibnu Qutaibah, al-Ma’arif, riset: Tsarwat Akasyah, Kairo, al-Haiah al-Mishriah al-‘Ammah lil Kitab, cet. Kedua, 1992 M.
12. Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, riset: Suhail Zukar dan Riyadh Zarkali, Bairut, Darul Fikr, cet. Pertama, 1417 H/1996 M.
13. Sam’ani Abu Said Abdul Karim bin Muhammad bin Mashur al-Tamimi, al-Ansab, riset: Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani, Haidar Abad, Majlis Dairah al-Ma’arif al-Utsmaniah, cet. Pertama, 1382 H/1962 M.
Pertanyaan yang cukup menyentak dari ulama syiah adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika terbumikan di masyarakat mereka.
Tangisilah salah satu sahabat besar Rasulullah SAWW, Zubair bin Awwam, seorang sahabat yang terkenal keberaniannya, suami Asma’ binti Abu Bakar, khalifah pertama. Perkawinan mereka dilakukan melalui kawin mut’ah yang melahirkan Abdullah dan urwah bin Zubair. Juga banyak sahabat yang lain, sebagaimana tercatat dalam buku-buku tarikh Sunni kita. Mengapa anda tidak sekaligus mengkritik Rasulullah karena ‘mengizinkan’ perkawinan mut’ah tersebut dan mengapa Rasulullah SAWW tidak menangisinya? [1]
Mengenai kawin mut’ah, Umar melarangnya, tetapi ayat Al-Quran tidak dapat dibuang. Islam tidak mengajarkan kita untuk mengawini tiap wanita yang kita temui di jalan, kawin biasa, kawin sirri atau kawin mut’ah.
Pernahkah saudara menyaksikan kawin mut’ah di Iran?
Tanyailah Amien Rais atau Lukman Harun yang pernah berkunjung ke Iran. Atau Smith Alhadar, seorang pengamat Timur Tengah terkenal yang pernah mengelilingi Timur Tengah, seorang Sunni dari dulu sampai sekarang, yang pernah tinggal di Saudi Arabia maupun di Iran selama bertahun-tahun.
Apakah saudara-saudara telah menyelidiki berapa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin disini untuk satu bulan samapai tiga tahun? Sudahkah saudara-saudara memeriksa surat nikah mereka?
Seorang kawan menceritakan kepada saya bahwa ia diberi uang Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut’ah ala Wahabi. DIa mencari seorang pelacur dan ‘menasihatinya’ agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya. Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur lain untuk dikawin-kontrakkan kepadanya selama tiga bulan.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak TKI kita yang diperkosa disana ?
Tanpa ditanya, seorang teman yang telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kerajaan Saudi Arabia mengatakan kepada saya bahwa bila para lelaki bisa hamil, maka jumlah kehamilan diluar nikah akan berlipat ganda.
Apakah saudara-saudara punya statistik berapa banyak ulama yang punya istri lebih dari sepuluh dan berapa banyak yang kawin sirri di Indonesia? berapa banyak yang kawin antar agama dan membagi anak-anak dalam dua bagian, sebagian mengikuti agama bapak sebagian mengikuti ibu? Apakah saudara-saudara juga punya statistik serupa dikalangan Syi’ah? Metode berpikir komparatif sangat dibutuhkan dalam berbagai cabang ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbandingan agama atau ilmu perbandingan mazhab.
Saudara-saudara menyatakan bahwa kawin mut’ah haram. Padahal ini jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman Umar. Kalau tidak setuju, kita bahas nanti dibagian lain. Tapi mampukah saudara mengatakan bahwa pelacuran dan lokalisasi pelacuran itu haram dalam Islam? Punyakah saudara-saudara statistik jumlah bayi, yang ayahnya entah berada dimana, yang dibungkus plastik dan dibuang ke selokan-selokan serta tempat-tempat sampah dan yang digugurkan di klinik-klinik yang resmi atau pun tidak, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ?
Mampukah saudar-saudara mengeluarkan fatwa bahwa melacur itu haram dan dengan demikian melokalisasinya juga haram? Dan tahukah saudara-saudara bahwa pelacur-pelacur makin hari makin bertambah? Jangan-jangan saudara takut membuat fatwa yang mengharamkan pelacuran dan menutup lokalisasi tersebut?
Pelacuran tidak akan ada bila tidak ada sekelompok laki-laki ‘pencari seks’ yang hendak memenuhi naluri seks mereka.
Ataukah saudara-saudara takut jangan-jangan para ‘pencari seks’ memasuki jendela-jendela kita dan meperkosa istri dan anak-anak kita, sehingga saudara-saudara meras perlu menghalalkan lokalisasi tersebut? Bukankah berdiam diri dalam masalah ini sama dengan menghalalkan pelacuran, perzinaham dan lokalisasi ?
Say akhawatir saudara-saudara mengharamkannya karena mereka yang menjalankan mut’ah berhujjah dengan nash yang tidak terbantahkan. Sebaliknya menghalalkan pelacuran karena sudah jelas haramnya, meski pun beresiko anak yang lahir kelak tak akan pernah mengetahui bapaknya. Dan pelacuran juga menyulitkan untuk menjajaki, tracing, sumber penyakit kelamin. Kawin mut’ah ada masa iddah-nya, dan suaminya dikenal, sehingga sulit menyebarkan penyakit kelamin. Kalau pun ada, mudah dijajaki. Bukankah penyakit kelamin atau AIDS, terjadi karena menganti-ganti pasangan ?
Silahkan saudara-saudara mencukur jenggot dan kumis dan tinggal di tempat-tempat kost sekitar kampus lalu saksikan dengan mata kepala sendiri sexual behaviour, tingkah laku seks putra-putri saudara. Mungkin saudara-saudar akan pingsan waktu menyaksikan apa yang dilakukan oleh putra saudara-saudara yang tiap hari pulang ke rumah bak pangeran dan perjaka, serta putri bak perawan suci yang baru turun dari kahyangan. Mampukah kita mengucapkan istighfar dan membenarkan perzinahan sementara mengkambinghitamkan kawin mut’ah ?
Punyakah saudara-saudara statistik berapa banyak putra-putri kita yang berzinah, yang melakukan kawin sirri, atau kawin sembunyi-sembunyi ala Sunni atau kawin mut’ah ala Sunni? Sebagian besar mungkin akan menjawab bahwa mereka membaca artikel ‘Mut’ah, Sebuah Perkawinan Alternatif’ dalam sebuah koran ibu kota yang ditulis seorang tokoh Sunni.
Jangan sekali-kali berprasangka buruk, bahwa pemuda-pemuda kita adalah bodoh, lalu kawin mut’ah hanya karena dipengaruhi oleh orang Syi’ah.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak tokoh dan pemuda Sunni kita yang kawin mut’ah ? Darimana mereka mendapat ‘fatwa’ bahwa mut’ah itu halal ?
Jangan menuduh Syi’ah sebagai scape goat, pemikul beban, sebagai ‘kucing hitam’, padahal Sunni sendiri yang mengeluarkan ‘fatwa’ dan kaum Sunni yang melakukan kawin mut’ah menurut versi Sunni sendiri sesuai dengan pandangan kritis.
Justru yang harus menjaga anak-anak gadisnya adalah kaum Syi’ah, bukan Sunni!
[1] Bacalah perdebatan antara Abdullah bin Abbas dan Ibnu Zubair: Ibn Abi’l-Hadid. Syarh Nahju’l-Balaghah, jilid 20, hal, 129-131.
Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama. Pertama: Defenisi NikahMut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam. Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya. Keempat:
Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya. Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.
Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.”[1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas. Nikah Mut’ah Telah Disyari’atkan,
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى .” [4]
Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]
Ayat Tantang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.
“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikahmut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat[6].
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikahtersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:
dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.
Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akadnikah Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akadnikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua dan Ketiga:
Allah SWT berfirman:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12),
Dan
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)
Keterangan:
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri! Tanggapan Atas Syubhat di Atas:
1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.
2. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.
3. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
4. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A. Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.
B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
5. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
A. Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.
B. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
6. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.
7. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah.
Maka hal itu tidak benar, sebab:
A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!
B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.
Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’). Dalil Sunnah
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.
Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.
Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.
Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“
Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih Bukhari:
· Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala
·Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’.[8]
2. Shahih Muslim:
· Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah[9]
Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas. Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah ‘Akhiran.[10] 2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.[11]
B. Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah.[12]
Hadis Ketiga: Hadis Jabir ibnAbdillah:
A. Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[13]
B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.”[14]
C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[15]
Ibnu Jakfari berkata:
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.
Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!
Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]
Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!
Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.”[17]
Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.
Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja.[18]
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwanikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”.[20]
Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikahmut’ah tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.
Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]
Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22] Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.” [23]
Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata:
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]
Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]
Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]
Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”.[29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]
Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]
Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32] Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama.[34]
Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.
Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.
Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.
Pertama, ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya[36]menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.
Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”.[37]
Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang dibenarkan.[38] Kedua,
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.
Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39].
Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad.[40]
Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannyanikah mut’ah, sebab dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”.[41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah.[42]
Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)”[43], sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengannikah mut’ah.”[44]
Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar.[45]
Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;
A. Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya:
“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”
maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.
Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan:
“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.
B. Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:
“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]
Ibnu Jakfari berkata:
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:
“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah.[47]
Bagaiamana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[49]
Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.
Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:
“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]
Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:
“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]
Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pembrontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?
Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnyanikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:
Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52].
Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!
Telaah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah
Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini:
Pertama, seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.
Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
B. Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
C. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
D. Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.
E. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
F. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.
Kedua, disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikahmut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!
Ketiga, terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat, riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.
Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.
Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”.[53]
Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.
Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi.
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9,449.
[37]Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar
Kasus-kasus Penakwilan
Dalam bab ini kami akan menyebutkan nama beberapa orang atau tokoh yang menyalahi pendapat mayoritas kaum Muslim, namun hal itu tidak mengurangi 'adalah (kredibilitas dan integritas) mereka.
Tujuan yang ingin kami capai dalam hal ini ialah demi menjelaskan alasan-alasan para "penakwil" di antara kaum Muslim.*)
Nah, apabila Anda melihat seseorang yang berasal dari kalangan salaf (pendahulu)-mu yang baik-baik, atau orang yang darinya Anda pelajari urusan agama Anda dan Anda jadikan ia sebagai penghubung antara Anda dan Rasulullah SAWW (dalam mempelajari sunnah beliau). Apabila Anda mendapatinya dalam suatu masalah, telah bertentangan dengan Anda, berdasarkan ijtihadnya, atau tidak searah-sejalan dengan Anda, berdasarkan pemahaman (atau penakwilan)-nya, lalu Anda dapat "memaklumi" atau "memaafkannya" dalam perbedaan pendapat dengan Anda, maka sudah barang tentu Anda juga dapat "memaklumi" seseorang dari generasi sekarang ini yang ternyata berbeda pendapat dengan Anda, berdasarkan hasil ijtihad atau penakwilannya.
Jika demikian itu keadaannya, di sini aku sangat mengharapkan dari saudara-saudaraku — kaum Muslim yang kepada mereka buku ini kupersembahkan — agar memandang dengan pandangan yang adil, apakah ada hubungan kekerabatan antara Allah dan seseorang dari manusia sedemikian sehingga Dia memperlakukannya tidak seperti orang-orang lainnya? Tentu tidak! Allah SWT tidak akan sekali-kali menghukum suatu kaum karena perbuatan yang jika dilakukan oleh suatu kaum lainnya, la justru memberi mereka pahala atasnya. Kita meyakini bahwa hukum-Nya yang berlaku atas orang-orang terdahulu, pastilah berlaku juga atas mereka yang datang kemudian.
Sungguh banyak jumlah para penakwil yang berselisih pendapat dengan mayoritas para Sahabat serta Tabi’in.Tidak mungkin kami dapat menyebut nama mereka semua. Cukuplah kiranya menyebut sebagian dari mereka saja sekadar mencapai tujuan yang kami sebutkan di atas.
Beberapa Sahabat yang Menolak Bay'at kepada Abu Bakar
Di antara mereka, Sa'd bin Ubadah, seorang sahabat Nabi SAWW dan peserta perang Badr, pemuka dan pemimpin suku Khazraj, dan salah seorang dermawan serta tokoh kaum Anshar. la menolak memberikan bay'at kepada kedua Khalifah (Abu Bakar dan Umar) dan sebagai protes ia pergi ke Syam dan kemudian terbunuh secara rahasia di kota Hauran pada tahun 15 Hijriah. la dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap cara pemilihan Khalifah (Abu Bakar) di balairung Saqifah Bani Sa'idah, maupun terhadap peristiwa-peristiwa lain sesudah itu. Bagi mereka yang ingin menelaah tentang hal ini, silakan membaca buku Al-Imamah wa As-Siyasah karya Ibn Qutaibah, atau Tarikh Ath-Thabari, lalu Al-Kamil karangan Ibn Al-Atsir atau buku sejarah lainnya. Saya kira, semua buku sejarah yang mencatat peristiwa Saqifah, memuat juga keterangan tentang Sa'd bin Ubadah. Dan semua pengarang biografi para sahabat pasti menyebut nama Sa'd serta penolakannya untuk memberikan bay'at. Kendatipun demikian, tak seorang pun meragukan bahwa ia termasuk di antara tokoh-tokoh utama kaum Muslim yang terhormat. Hal itu mengingat bahwa sikap kerasnya itu adalah akibat penakwilan (ijtihad)-nya., karena itu bisa "dimaklumi" walaupun tindakannya dianggap salah.
Di antara mereka, juga Hubab bin AI-Mundzir bin Al-Jamuh Al-Anshari Al-Badri Al-Uhudi. la juga menolak untuk memberikan bay'at (kepada Abu Bakar) sebagaimana diketahui dari sejarah para salaf. Penolakannya .itu tidak mengurangi kredibilitasnya dan tidak pula menurunkan keutamaannya. Ucapannya pada hari Saqifah itu amat terkenal, yaitu (dengan terjemahan bebas — penerjemah): "Akulah orang yang banyak pengalaman sehingga kepadanya semua orang meminta saran. Akulah orang yang luas ilmunya sehingga mampu mengatakan segala persoalan. Akulah pemimpin para pahlawan yang selalu siap memasuki medan perjuangan. Jika kalian ingin, demi Allah, akan kita kembalikan keadaan seperti semula!"**)
Ada lagi ucapannya yang lebih keras mengenai peristiwa itu, namun kami beranggapan lebih baik tidak disebutkan di sini. Yang penting ialah seandainya bukan karena sikap menghormati pendapat orang-orang yang melakukan penakwilan, niscaya Ahlus-Sunnah tidak akan menyatakan — tanpa ragu — bahwa Hubab termasuk di antara para penghuni surga yang utama, kendatipun kecamannya yang pedas terhadap kedua khalifah pertama, seperti yang dipaparkan dalam buku-buku sejarah kaum Syi'ah dan Sunnah.
Demikian pula Amir Al-Mukminin Ali r.a. serta pamannya, Al-Abbas dan putra-putranya, 'Utbah bin Abi Lahab dan anggota-anggota suku Bani Hasyim lainnya, juga Salman Al-Farisi, Abu Dzar, Al-Miqdad 'Ammar, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Farwah bin 'Amr bin Wadaqah Al-Anshari, Khalid bin Sa'id bin 'Ash, Al-Bara' bin 'Azib dan beberapa tokoh lainnya. Mereka semua — pada mulanya — menolak memberikan bay'at, sebagaimana tersebut dalam berita-berita yang mutawatir dan terang benderang seterang matahari di siang hari yang cerah.[1]
Tersebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Ali r.a. tidak bersedia ber-bay'atsampai setelah wafatnya Fathimah r.a. — pemuka utama kaum wanita — yang menyusul Ayahandanya SAWW tidak lama setelah beliau wafat.
Banyak pula para ahli tarikh yang mencatat penolakan Ali r.a. untuk ber-bay'at, seperti Ibn Jarir Ath-Thabari ketika menyebut peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun 11 H, dalam buku Târîkh-nya yang terkenal. Juga Ibn Abdi Rabbih Al-Maliki ketika membahas peristiwa Saqifah dalam bukunyaAl-'Iqd Al-Farid (jilid II), Ibn Qutaibah dalam halaman-halaman pertama bukunya Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Asy-Syahnah ketika menyebut peristiwa bay 'at di Saqifah dalam bukunya Raudhah Al-Manadzir[2] dan Abu Al-Fida ketika menyebutkan berita-berita tentang Abu Bakar dan khilafah-nya dalam buku Tarikh-nya berjudul Al-Mukhtasar fi Akhbar Al-Basyar. Juga Al-Mas'udi meriwayatkannya dari 'Urwah bin Zubair ketika berusaha membenarkan tindakan saudaranya (Abdullah bin Zubair) yang pemah hendak membakar rumah-rumah Bani Hasyim bersama para penghuninya disebabkan penolakan mereka memberikan bay 'at (kepada Abu Bakar).[3] Dan dirawikan pula oleh Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal ketika menyebutkan tentang golongan An-Nazhzhamiyah. Demikian pula Ibn Abi Al-Hadid (tokoh kaum Mu'ta-zilah dan bermazhab Hanafi) pada permulaan jilid VI dalam bukunya Syarh Nahj Al-Balaghah. Juga telah dinukil oleh pengarang Nahj Ash-Shidq dari buku Al-Mahasin wa Anfas Al-Jawahir serta Al-Ghurar karangan Ibn Khuzabah, dan juga buku-buku penting lainnya. Bahkan Abu Mikhnaf telah menulis sebuah buku yang khusus memuat rincian peristiwa penolakan Ali r.a. untuk memberikan bay'at-nya serta ketidaksediaannya untuk tunduk patuh (kepada Abu Bakar r.a.).
Keterangan-keterangan di atas merupakan bukti paling jelas tentang diterimanya alasan-alasan para penakwil. Dan siapakah yang berani melontarkan tuduhan kepada (Ali r.a.) saudara Nabi SAWW, wali, pewaris dan pengemban wasiatnya, lalu berkata bahwa ia (Ali) dengan penolakannya itu telah melakukan pembangkangan (maksiat) kepada Allah SWT? Sedangkan ia adalah orang pertama dari umat ini yang beriman dan taat kepada-Nya?! Atau menuduhnya telah menentang As-Sunnah, padahal dialah penanggungjawab, pewaris dan yang paling berkepentingan mendukung dan melaksanakannya? Dan siapa pula yang berani mendakwakan bahwa ia — dengan sikapnya itu — telah memisahkan diri dari Al-Quran, "saudara kandungnya", sedangkan Nabi SAWW telah menandaskan bahwa kedua-duanya takkan berpisah?[4] Dan siapakah yang akan memperkirakan bahwa — dengan perbuatannya itu — ia telah menyimpang dari kebenarah, sedangkan nash Al-Quran telah menghilangkan segala dosanya serta menyucikannya? Dan siapakah akan mengatakan bahwa ia telah menjauh dari yang haq,sedangkan Rasulullah SAWW telah bersabda:
"Ali selalu bersama yang haq dan yang haq senantiasa menyertai Ali, betputar bersamanya ke mana saja ia berputar."
Dan siapakah gerangan yang berani menyatakan bahwa kebodohannyalah yang menyebabkan ia tidak mengetahui hukum pem-bay'at-an ini? Padahal ia (sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi SAWW) adalah yang paling mengerti tentang penetapan hukum di antara umat ini, dan bahwa ia adalah "pintu kota ilmu" dan telah dikaruniai ilmu yang sempurna tentang Al-Quran . . .?!
Begitu juga Abu Sufyan (Shakhr bin Harb) telah tidak segera ikut dalam pem-bay'at-an itu. Dan dialah yang berucap pada waktu itu:[5] "Aku melihat kegelapan berdebu, tidak akan dapat dihilangkan kecuali dengan darah!" la kemudian pergi berkeliling di lorong-lorong kota Madinah seraya berseru dalam syairnya:
Wahai Bani Hasyim
Jangan memberi kesempatan siapa saja
berambisi melampaui kalian
apalagi suku Taim atau 'Adiy,
Sungguh urusan (khilafah) ini hanya patut
bagi seorang dari kalian dan untuk kalian
tiada lain yang berhak kecuali Ali, Abu Al-Hasan.
Selanjutnya ia berkata:[6] "Mengapa gerangan urusan (khilafah) ini diserahkan kepada suku terlemah dari Quraisy? "Kemudian ia berseru kepada Ali r.a.: 'Ulurkan tanganmu untuk ku-bay'at. DemiAllah, jika Anda kehendaki, akan kupenuhi kota ini dengan kuda dan pasukan!" Tetapi Ali r.a. menolak. Maka Abu Sufyan mendendangkan syair Al-Mutalammis:
Tiada sesuatu berdiam diri menghadapi penghinaan
yang ditujukan kepadanya
kecuali dua yang paling hina
keledai kampung dan pasak yang tertanam.
Yang ini terikat toli dalam kehinaan
dan yang itu dihantam, tak seorang pun menangisi.
Demikian itulah sebagian dari ucapan dan tindakan Abu Sufyan yang berkaitan dengan peristiwa pem-bay'at-an Abu Bakar. Kami (kaum. Imamiyah) beranggapan bahwa perbuatannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya untuk mengobarkan fitnah (kekacauan) dan menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslim. Oleh sebab itulah Amir Al-Mukminin Ali a.s. membentaknya dengan ucapannya: "Demi Allah, tiada sesuatu yang Anda inginkan dengan perbuatan ini, selain menimbulkan fitnah. Memang, Anda selalu memendam maksud-maksud jahat terhadap Islam!"[7]
Dan pada hakikatnya, jika kami menyebutkan Abu Sufyan di antara "para penakwil", maka hal itu semata-mata demi mengikuti orang-orang yang menilai tindakan-tindakannya sebagai hal yang tetap dapat dibenarkan (atau "dimaklumi"). Dengan demikian, lengkaplah hujah kami atas mereka dalam hal menerima baik dan "memaklumi" tindakan-tindakan "para penakwil" lainnya, sebagai konsekuensi dari dasar pemikiran dan penilaian yang mereka tetapkan sendiri.
Pertengkaran Fathimah dengan Abu Bakar
Lihatlah juga sikap dan tindakan Fathimah r.a., pemuka utama para wanita seluruh alam semesta dan belahan jiwa Rasulullah, penutup rangkaian para nabi dan rasul SAWW. Semua orang mengetahui pertengkaran yang telah terjadi antara Fathimah dan Abu Bakar, sehingga Fathimah mendiaminya dan menolak berbicara dengannya sampai ia meninggal dunia dan dimakamkan secara rahasia, di malam hari, oleh suaminya, Amirul Mukminin Ali a.s. Hanya beberapa orang saja di antara para pendukungnya yang diberitahu tentang wafatnya itu, agar tidak seorang pun, selain mereka, yang menshalati jenazahnya. Berita mengenai ini termasuk berita-berita yang diterima tanpa keraguan sedikit pun. Seperti yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih mereka,[8] demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal, dari riwayat Abu Bakar, di halaman 6, jilid I dari Musnad-nya. Juga disebutkan oleh para pengarang buku-buku sejarah dan biografi para tokoh. Cukup kiranya bagi Anda, keterangan yang ditulis oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya, Al-Imamah wa As-Siyasah, yangjugadikutip oleh Ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah.
Jangan pula Anda lupakan kandungan dua pidato Fathimah r.a. yang keindahan bahasa dan kepadatan isinya pasti bersumber pada lisan Ayahandanya SAWW. Yang satu berkaitan dengan warisan yang menjadi haknya dan yang lainnya berkaitan dengan urusan kekhalifahan. Kedua-duanya disebutkan oleh Ahmad bin 'Abd Al-Aziz Al-Jauhari dalam bukunya, As-Saqifah dan Al-'Allamah Al-Mu'tazili (Ibn Abi Al-Hadid) dalam Syarh Nahj Al-Balâghah, jilid 16.[9] Juga dimuat dalam buku Balâghât An-Nisa',[10] Al-Ihtijaj, Al-Bihar dan lain-lainnya di antara buku-buku karya para penulis dari kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah). Silakan menelaahnya agar Andalebih yakin tentang pembenar-an atau pemaafan terhadap sikap dan tindakan "para penakwil".
Khalid bin Walid Membunuh Malik bin Nuwairah, Lalu Menikahi Isterinya
Di antara "para penakwil" itu ialah (Abu Sulaiman) Khalid bin Walid (Al-Makhzumi). Dialah pembunuh Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi pada peristiwa "Al-Bithah", dan langsung menikahi bekas istrinya, Ummu Tamim binti Al-Minhal, yang tergolong wanita tercantik di antara kaum wanita masa itu. Kemudian Khalid pulang kembali ke Madinah seraya menancapkan beberapa anak panah di surbannya. Melihat itu, Umar bin Khaththab r.a. segera mencabut dan mematahkannya, lalu berkata kepadanya (sebagaimana tercantum dalam Tarikh Ibn Atsir dan lainnya): "Engkau telah membunuh seorang Muslim, lalu engkau memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau!" Kemudian ia memberitahukan tentang masalah itu kepada Khalifah Abu Bakar (seperti yang tertera pada buku biografi Watsimah bin Musa, dalam kitab Wafayât Al-A'yân karya Ibn Khalikan): "Khalid telah berzina, rajamlah ia!" Namun Abu Bakar menjawab: "Aku tidak akan merajamnya. la telah 'bertakwil' dan keliru dalam takwilnya itu." Umar berkata lagi: "Dan ia juga telah membunuh seorang Musjim. Bunuhlah ia sebagai hukuman atas perbuatannya itu!" Jawab Abu Bakar: "Tidak, aku tidak akan membunuhnya karena itu. la telah bertakwil dan keliru dalam takwilnya itu." Tetapi, Umar tetap mendesaknya sehingga ia (Abu Bakar) akhirnya berkata: "Bagaimana pun juga, aku tidak mau menyarungkan 'pedang' yang telah dihunus oleh Allah SWT." Kemudian Abu Bakar membayar diyat (uang tebusan) untuk keluarga Malik dari Bayt Al-Mal dan melepaskan semua tawanan dari keluarganya. Peristiwa ini tidak disangsikan lagi kebenarannya. Dan tidak pula disangsikan bahwa Khalidlah yang melakukannya.[11]
Peristiwa ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Tarikh-nya serta Ibn Atsir dalam Al-Kamil. Juga oleh Watsimah bin Musa bin Al-Furat serta Al-Waqidi dalam kedua kitab mereka, Saif bin Umar dalam kitab Ar-Riddah wa Al-Futuh, Zubair bin Bakkar dalam Al-Muwaffaqiyyat, Tsabit bin Qasim dalam Ad-Dalail, Ibn Hajar Al-'Asqallani (pada pasal tentang riwayat hidup Malik) dalam Al-Ishabah, Ibn Syahmah dalam kitab Raudhah Al-Manadzir, Abu Al-Fida' dalam Al-Mukhtasar, dan masih banyak lagi dari penulis-penulis yang dahulu dan sekarang. Semuanya menyebutkan tentang sikap memaafkan dari Abu Bakar terhadap Khalid atas dasar bahwa ia telah "bertakwil dan keliru dalam penakwilannya."
Dan jika Abu Bakar merupakan orang pertama yang bersedia "memaklumi" lalu memaafkan para penakwil, siapakah dari kaum Muslim selainnya yang akan meragukan hal itu?
Sungguh aku tak dapat membayangkan, sejak kapankah usaha penakwilan dalam hal-hal furu'menjadi sesuatu yang terlarang, atau bagaimana ia tidak merupakan alasan pemaafan, di sisi Allah maupun kaum Mukmin? Padahal orang-orang terdahulu (para salaf) telah banyak menakwilkan arti dan maksud pelbagai nash, "demi maslahat umat" seperti yang mereka perkirakan. Pada kenyataannya, hasil penakwilan mereka itu ditaati sepenuhnya oleh mayoritas kaum Muslim, seraya menjadikan parasalaf itu sebagai panutan dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama. Hal itu demi menunjukkan kepercayaan sepenuhnya terhadap hasil takwil dan ijtihad mereka di samping persetujuan atas maksud dan tujuan mereka.
Masih ada lagi beberapa kasus yang ingin kami kemukakan, yaitu yang mengacu kepada takwil atau ijtihad mereka. Cukup sedikit saja yang ingin kami tambahkan, secara singkat dan sepintas lalu. Dan semoga yang sedikit ini dapat menunjuk kepada yang tersirat di balik yang tersurat, bak kata pepatah: "Bagi seorang yang berjiwa merdeka, selintas isyarat pun cukup memadai".
Penakwilan tentang Talak Tiga
Di antaranya, penakwilan mereka mengenai "talak tiga sekaligus" dah penetapan hukum mereka terhadap hal tersebut, berlawanan dengan yang berlaku pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW serta sepanjang kekhalifahan Abu Bakar r.a. seperti yang telah diketahui.
Pada pasal "Talak tiga sekaligus" dari bab "Thalak", kitab Shahih Muslim, juz I, halaman 574, dirawikan dari 'Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian sanad: Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW, kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama kekhalifahan Umar r.a., perbuatan "talak tiga sekaligus" dianggap satu. Kemudian Umar bin Khaththab berkata: "Banyak orang suka tergesa-gesa dalam urusan (talak) yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak tergesa-gesa, sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan." Berkata Ibn Abbas selanjutnya: Sebab itu, dilaksanakanlah (kehendak Umar) itu atas mereka.***)
Keterangan tersebut di atas juga disebutkan oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-Mar`ah(Pembebasan Kaum Wanita) halaman 173, sebagai kutipan dari Shahih Al-Bukhari. Juga dinukil oleh Sayid Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar, jilid (bundel) IV, halaman 210, dari riwayat Abu Dawud, Nasa-i, Al-Hakim, Baihaqi. Kemudian Sayid Rasyid Ridha berkata selanjutnya: "Di antara yang menunjukkan bahwa ketetapan Umar itu berlawanan dengan ketetapan Nabi SAWW ialah hadis yang dirawikan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas, yang berkata: Seorang laki-laki bemama Rakanah menceraikan istrinya tiga kali sekaligus dalam satu majelis (pertemuan). Atas tindakannya itu ia (Rakanah) menjadi sangat menyesal dan bersedih hati. Setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah SAWW, beliau bertanya kepadanya: 'Bagaimana cara engkau menceraikannya?' Jawab Rakanah: 'Tiga kali sekaligus.' 'Dalam satu majelis (yakni satu pertemuan)?' tanya beliau. 'Ya,' jawab Rakanah. Maka Rasulullah SAWW berkata: 'Talak seperti itu hanya (dianggap) satu. Rujukilah istrimu itu jika kau ingin.'[12]
Demikian itu pula menurut mazhab kami (Imamiyah).
Sebagai tambahan dalil dari apa yang telah Anda simak tadi,[13] dan bahwa yang demikian itu merupakan hukum yang asli, perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah, ayat 229-230:
Maksud ayat di atas, Talak (yang dapat dirujuki hanyalah) dua kali, adalah apabila suami telah menjatuhkan talak atas istrinya sebanyak dua kali, maka yang wajib atasnya sesudah itu ialah seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran; yakni tetap memperistrikannya dengan cara yang baik atau — jika tidak — melepas (menceraikan)nya dengan kebaikan pula. Kemudian Allah berfirman selanjutnya, Maka jika ia (suami) menceraikannya {yakni untuk kali yang ketiga setelah dua kali talak yang terpisah). . .tidaklah ia (si istri) halal baginya setelah itu . . . (yakni setelah talak yang ketiga) . . . sampai si istri telah mengawini seorang suami selainnya . . . (yakni suami yang kedua).
Berdasarkan ayat ini, apabila suami berkata kepada istrinya: "Engkau kujatuhi talak tiga"; padahal sebelumnya ia tidak pernah mentalaknya, atau pun jika ia hanya pernah mentalaknya satu kali, maka tidaklah ada larangan bagi keduanya untuk rujuk kembali walaupun perempuan itu belum dinikahi oleh suami yang lain. Sebab yang terlarang ialah merujukinya sesudah terjadi talak ketiga yang didahului oleh dua talak sebelumnya.
Walaupun demikian, Umar r.a. telah menakwilkan ayat tersebut serta semua dalil yang berkaitan dengan soal itu sebagai peringatan bagi mereka yang bertindak tergesa-gesa serta pencegahan bagi orang-orang jahil dan cepat naik darah.[14] Kiranya penjelasan tersebut cukup memuaskan bagi Anda mengenai sikap "memaklumi" dan memaafkan, bahkan menyetujui tindakan para penakwil.
Penambahan dalam Azan Subuh
Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan Subuh yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan muazin: "Ash-shalatu khayrun min an-naum" (shalat lebih utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman Abu Bakar. Justru Khalifah Kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga suci) Rasul SAWW Namun, cukuplah bagi Anda, riwayat-riwayat yang melalui para perawi selain mereka, seperti yang dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha', pada bab "Tentang Seruan Untuk Shalat", bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: "Ash-shalatu khayrun min an-naum". Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke dalam azan Subuh.
Al-'Allamah Az-Zarqani — ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha' — menulis sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang dirawikan melalui Waki' dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-'Amri, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Umar bin Khaththab.
Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: "Jika engkau sudah menyerukanHayya 'alal-falah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ash-shalatu khayrun min an-naum (dua kali)."
Ingin kami tambahkan bahwa Ibn Abi Syaibah juga telah merawikan hadis ini melalui riwayat Hisyam bin 'Urwah. Dan masih banyak lagi selain mereka.
Demikianlah, Anda dapat mengetahui tentang tidak adanya kalimat tersebut yang pernah dirawikan kepada kita dari Rasulullah SAWW Untuk itu, bila Anda ingin, telitilah kembali juz pertama kitab ShahihAl-Bukhari (Bab "Azan") atau permulaan Bab "Shalat" (Pasal tentang sifat atau cara Azan) dari ShahihMuslim. Pasti Anda akan membenarkan pernyataan kami mengenai hal ini.
Di samping itu, banyak di antara para penulis menyebutkan sebuah berita tentang asal mula disyariatkannya azan.[15] Walaupun berita itu sendiri ditolak oleh kalangan Imamiyah, namun kami akan mengutipnya demi menunjukkan kebenaran pernyataan kami di atas tentang adanya tambahan dalam teks azan. Ringkasan peristiwa itu ialah bahwa Abdullah bin Zaid bin Tsa'labah Al-Anshari pada suatu malam bennimpi bertemu dengan seseorang yang mengajarkan kepadanya teks azan dan igamat.Ketika ia bangun dari tidurnya itu, sebelum fajar, ia ceritakan mimpinya itu kepada Nabi SAWW. Beliau langsung memerintahkannya agar mengajarkah teks yang dihapalnya dalam mimpinya itu kepada Bilal. Dan beliau juga memerintahkan Bilal agar mengumandangkannya pada awal waktu fajar hari itu. Maka Bilal melaksanakannya. Dengan demikian, menurut yang mereka dakwakan itu, azan telah disyariatkan berdasarkan mimpi.
Nah, kami telah membaca teks azan yang diajarkan oleh Abdullah kepada Bilal tersebut. Meskipun hal itu adalah azan untuk waktu fajar, namun di dalamnya tidak ada kalimat "ash-shalatu khayrun min an-naum ".
Memang, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut bukanlah bersumber dari Allah SWT atau Rasulullah SAWW, amat banyak. Sedangkan apa yang telah kami kemukakan di atas, cukup kuat memberikan gambaran adanya penakwilan mereka mengenai azan, dan cukup pula menunjukkan pemaafan bagi para pcnakwil sepanjang masa.****)
Mengurangi Kalimat dalam Azan
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah penghapusan kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" (Mari mengerjakan amal paling utama) dari azan dan igamat. Hal tersebut disebabkan mereka selalu ingin menggambarkan kepada kaum awam bahwa amal yang paling terpuji ialah jihad fi sabilillah agar mereka merindukannya dan cenderung melak-sanakannya. Sedangkan seruan kepada shalat sebagai "amal yang paling utama" sebanyak lima kali sehari,[16] pasti bertentangan dengan keinginan membangkitkan semangat untuk beiperang.
Mungkin saja mereka beranggapan bahwa dengan tetapnya kalimat tersebut dalam azan daniqamat akan menghambat kaum awam dari pelaksanaan jihad. Sebab, bilamana mereka mengetahui bahwa shalat merupakan amalan yang paling utama padahal pelaksanaannya begitu mudah dan aman, sudah barang tentu mereka akan mencukupkan diri mengerjakannya dalam upaya memperoleh pahala. Dan karena itu pula, mereka akan menjauhkan diri dari bahaya yang terkandung dalam jihad, apalagi ia kalah utama dibandingkan dengan shalat. Padahal kecen-derungan pihak waliyul-amri pada waktu itu (yakni Umar c.s.) tertuju kepada penaklukan negeri di segenap penjuru dunia.
Upaya penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan sudah barang tentu tidak akan terwujud kecuali dengan menimbulkan semangat para pejuang agar tidak ragu-ragu menerjang bahaya. Untuk itu hati mereka harus diyakinkan sepenuhnya bahwa jihad adalah amalan paling utama yang dapat mereka harapkan pahalanya di akhirat kelak.
Oleh sebab itu, Umar lebih cenderung menghapus kalimat itu dari azan, semata-mata demi mengutamakan kepentingan tersebut di atas keharusan melaksanakan ibadah sesuai sepenuhnya dengan cara yang diajarkan dalam syariat yang suci. Dan berkatalah ia dari atas mimbarnya (seperti ditegaskan oleh Al-Qausyaji — seorang ahli ilmu kalam dalam mazhab Al-Asy'ari — dalam bukunya,Syarh At-Tajrid, bab "Al-Imamah"): "Tiga hal yang berlangsung di zaman Rasulullah SAWW; kini aku melarangnya , mengharamkannya dan menghukum pelakunya: 1. Nikah mut'ah; 2. Haji mut'ah (tamattu’);3. Kalimat hayya 'ala khayril ‘amal”.[17]
Tindakan penghapusan kalimat itu diikuti pula oleh mayoritas kaum Muslim yang datang kemudian kecuali Ahlul-Bayt serta para pengikutnya. Di kalangan para pengikut Ahlul-Bayt, kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" tetap dijadikan semboyan mereka, seperti dapat diketahui dari mazhab mereka. Hal ini dapat dibuktikan, misalnya, ketika Asy-Syahid AJ-Husain bin Ali bin Al-Hasan bin: Al-Hasan bjn Ali bin Abi Thalib ("alaihim as-salam) menguasai kota Madinah pada peristiwa pemberontakan di masa Al-Hadi (seorang raja dari dinasti Abasiyah), ia (Al-Husain) memerintahkan muazin agar mengumandangkan kalimat tersebut dalam azannya. Hal ini ditegaskan oleh Abu Al-Faraj Al-Isfahani (dalam bukunya Magatil Ath-Thalibiyyin) ketika menyebutkan nama Al-Husain serta gugurnya sebagai syahid pada peristiwa yang dikenal sebagai "peristiwa Fakh".
Begitu pula Al-'Allamah Al-Halabi, pada bab "Permulaan Disyariatkannya Azan", dalam buku sejarahnya As-Sirah Al-Halabiyah, juz II, halaman 110, menceritakan bahwa Ibn Umar r.a. dan Al-Imam Zainal Abidin bin 'Ali bin Al-Husain selalu menyerukan "Hayya 'ala khayr al-'amal" sesudah "Hayya 'ala al-falah" dalam azan mereka.*****)
Perlu ditambahkan di sini bahwa hal ini dirawikan secara muta-watir dari Imam-Imam Ahlul-Bayt. Silakan menelaah hadis-hadis mereka dalam kitab Wasa-il Asy-Syi'ah ila Ahkam Asy-Syari'ah, untuk mengetahui pendapat mereka dalam hal ini.
Kita telah membahas tentang tokoh-tokoh dari kalangan salaf yang bertakwil, lalu meniadakan satu bagian dari azan dan igamat, tapi hal itu tidak mengurangi kredibilitas mereka untuk menduduki jabatan khilafah dah kepemimpinan umat. Oleh karena itu, bagaimana mungkin para penakwil setelah mereka tidak bisa dimaafkan. Atau bagaimana mungkin mereka ini tidak akan memperoleh pahala seperti halnya para penakwil sebelumnya? Mari kita bertindak jujur dalam menilai mereka.
Menciptakan Tradisi Shalat Tarawih[18]
Di antara hasil penakwilan mereka ialah shalat Tarawih yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah maupun masa khilafah Abu Bakar r.a. Shalat tersebut untuk pertama kali ditradisikan oleh Khalifah Kedua, pada tahun 14 H, seperti yang disepakati oleh para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Al-'Askari dalam keterangannya tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar", dan kemudian dikutip oleh As-Sayuthi pada pasal tentang Umar bin Khaththab, dalam bukunya, Târîkh Al-Khulafa', halaman 51.
Dalam "Riwayat Hidup Umar" dari kita Al-Isti'ab, Ibn Abdil-Bar menulis: "Dia (Umar)-lah yang telah menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap' (yakni shalat Tarawih)."
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah, ketika menyebut kematian Umar pada rangkaian peristiwa tahun ke-23 H dalam kitab sejarahnya Raudhat Al-Manazhir[19], berkata: "Dialah orang pertama yang melarang penjualan ummahat al-aulad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan diapulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang Imam .. . dan seterusnya."
Ketika As-Sayuthi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa' tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar r.a.", yang ia kutip dari Al-'Askari, ia berkata: "Dialah orang pertama yang dijuluki Amir Al-Mukminin . . ., dan seterusnya," sampai pada keterangan, "Dialah yang pertama mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut'ah, yang pertama kali melaksanakan shalat Jenazah dengan empat takbir . .. dan seterusnya."
Berkata Muhammad bin Sa'ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khaththab r.a. dalam Ath-Thabaqat, juz III: "Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. la mengangkat dua qari (imam) di Madinah; seorang mengimami sembahyang Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita . .. dan seterusnya."
Pada akhir juz I, dari kitab Shahik Al-Bukhari, yaitu pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa mengerjakan shalat (sunnah) pada malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kata Al-Bukhari selanjutnya: ". .. sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah SAWW wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal "shalat Tarawih").
Muslim, pada bab "Anjuran Shalat Malam Bulan Ramadhan", dalam kitab Shahih-nya., juz I, telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW selalu menganjurkan kaum Muslim agar menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat sunnah, tanpa mewajibkannya. Dalam hal ini beliau bersabda:Barangsiapa mengisi malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat yang disertai keimanan dan keikhlasan kepada Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ketika Rasulullah SAWW berpulang ke rahmatullah, keadaannya tetap seperti itu. Begitu pula pada zaman Abu Bakar, hingga awal pemerintahan Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a.
Pada pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan dari Abdur-Rahman bin 'Abd (Al-Qari)[20]katanya: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kami melihat banyak orang sedang shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari lainnya, Umar berkata: "Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik." Kemudian ia menetapkan niatnya itu dan mengumpulkan mereka dalam. satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka'ab. Sesudah itu — kata 'Abdur-Rahman — pada malam yang lain aku keluar bersama Umar lagi, sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat mereka di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan itu, Umar berkata: "Alangkah baiknya bid'ah ini!"
Pada awal halaman 4, juz V, kitab Irsyad As-Sari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, Al-'Allamah Al-Qasthallani, ketika sampai kepada ucapan Umar dalam hadis tersebut (yakni, "Alangkah baiknya bid'ahini"), berkata: "la menamakannya bid'ah, sebab Rasulullah SAWW tidak menyunatkan kepada mereka untuk menunaikannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pemah ada di zaman Khalifah Abu Bakar. Baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan ataupun tentang jumlah rakaatnya. (Yakni duapuluh rakaat seperti sekarang)."
Keterangan seperti itu dapat Anda jumpai pula dalam kitab Tuhfat Al-Bari. Hal ini tidak diperselisihkan oleh siapa pun di kalangan kaum Muslim. Maka, mudah-mudahan Anda cukup puas dengannya sebagai petunjuk atas diberlakukannya pemaafan-pemaafan bagi para penakwil.
Penakwilan dalam Ayat tentang Zakat
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah yang berkenaan dengan firman Allah SWT tentang ayat zakat. Mereka telah menghapus bagian yang disediakan bagi para muallaf dan yang ditentukan berdasarkan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu, pada hakikatnya, merupakan sesuatu yang diketahui secara pasti sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Agama (ma'lum min ad-din bi adh-dharurah).Telah disepakati secara meluas di kalangan semua golongan kaum Muslim bahwa Nabi SAWW senantiasa memberikan kepada mereka (para muallaf) bagian mereka itu, sampai saat akhir hidup beliau. Dan bahwa beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk menghapus bagian tersebut.
Pengarang kitab Al-Jauharah An-Nayyirah 'ala Mukhtashar Al-Quduri[21] dalam bidang fiqh mazhab Abu Hanifah, pada halaman 164, juz I, menyebutkan: "Beberapa dari para muallaf datang menghadap Abu Bakar r.a. — sepeninggal Nabi SAWW — agar ia memberikan bagian mereka seperti biasa. Maka Abu Bakar menuliskan surat perintah membayar bagian tersebut (dari uang zakat), dan mereka membawa surat itu kepada Umar (yang mengelola Bayt Al-Mal) untuk menerimanya. Akan tetapi Umar menyobeknya seraya berkata: 'Kami tidak membutuhkan kalian lagi! Allah telah memenangkan Islam dan karenanya, kalian boleh pilih: memeluk agama Islam atau kami jadikan pedang (sebagai pemutus) antara kami dan kalian!' Orang-orang itu segera kembali menemui Abu Bakar dan berkata: 'Andakah yang menjadi khalifah atau dia?' Jawab Abu Bakar: 'Dia, insya Allah!' Dengan itu, Abu Bakar menyetujui dan menetapkan keputusan Umar. Dan sejak itu pula, jumhur (mayoritas) kaum Muslim memberlakukan ketetapan penghapusan bagian untuk para muallaf. Sedemikian kuatnya ketetapan itu sehingga seandainya seseorang memberikan sebagian dari zakatnya kepada para muallaf, maka ia dianggap belum menunaikan zakat yang wajib atas dirinya, secara sepenuhnya."[22]
Mengubah Ketetapan tentang Khumus
Di antara penakwilan mereka ialah yang berkaitan dengan ayat Al-Quran tentang khumus (seperlima harta). Yaitu firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja darighanimah[23] yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlimanya uniuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika[24] memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furgan, yaitu hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Anfal: 41).
Tetapi, berlawanan dengan ayat ini, mereka menyerahkan seperlima harta (khumus) itu kepada selain orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Imam Malik seperti yang diketahui dalam mazhabnya, berpendapat bahwa khumus itu, semuanya, diserahkan kepada kebijaksanaan Penguasa Negeri; boleh saja diberikan olehnya kepada siapa pun juga, dan tidak seorang pun berhak menuntutnya.
Adapun Imam Abu Hanifah, seperti yang diketahui dalam mazhabnya, telah membagi harta khumusmenjadi tiga bagian; 1. diberikan kepada yatim piatu kaum Muslim; 2. para fakir miskin; 3. para ibnus-sabil. Menurut pendapatnya, tidak ada perbedaan antara kerabat Rasul dan lainnya.
Padahal Anda mengetahui bahwa nash Al-Quran telah menandaskan adanya hak dalam khumus itu, khusus bagi kerabat Rasul. Anda pun memaklumi bahwa Suhnah Nabi SAWW telah menetapkan adanya hak (saham) mereka di dalamnya, yang tidak gugur kewajiban mengeluarkannya kecuali dengan memberikannya kepada mereka. Bahkan semua golongan (mazhab) dari umat Islam sepakat bahwa Rasulullah SAWW dikhususkan baginya sebagian dari khumus itu dan sebagiannya yang lain khusus untuk sanak kerabatnya. Beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk mengubah cara pembagian itu sampai beliau pulang ke rahmatullah.
Namun ketika Abu Bakar menduduki jabatan sebagai khalifah, ia menakwilkan dalil-dalil tentang itu lalu mengfailangkan hak (saham) Nabi SAWW dan keluarganya, ia menolak membagikan bagian darikhumus itu kepada Bani Hasyim. (Sebagaimana tercantum dalam penafsiran ayat tersebut pada kitab taf sir Al-Kasysyaf, dan lain-lainnya).
Pada akhir bab "Peperangan Khaibar", kitab Shahih Al-Bukhari, juz III, halaman 36, disebutkan bahwa Fathimah a.s. pernah mengirim pesan kepada Abu Bakar untuk menanyakan tentang harta warisannya dari Rasulullah SAWW, yaitu yang berupa hasil fai` ******) di kota Madinah dan Fadak serta sisa dari seperlima bagian harta rampasan perang Khaibar. Namun Abu Bakar menolak untuk menyerahkan kepadanya. Sebagai akibatnya Fathimah a.s. marah kepadanya, tidak mau menyapa dan berbicara dengannya sampai beliau (Fathimah) meninggal dunia, hanya enam bulan sepeninggal ayahandanya, Rasulullah SAWW Dan ketika ia wafat, suaminya (Ali r.a.) menguburnya di malam hari, secara rahasia. Dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar tentang kematian istrinya itu, dan karena itu pula Abu Bakar tidak ikut menshalati jenazahnya.
Peristiwa tersebut juga dapat dijumpai keterangannya dalam Shahih Muslim, jilid II, halaman 72, pada bab: ".. .Kami, para nabi, tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan adalah sedekah." Keterangan seperti itu dijumpai pula dalam beberapa bagian dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Pada akhir pasal "Jihad" dalam kitab Shahih-nya, juz II, Muslim telah merawikan dari Qais bin Sa'ad, dari Yazid bin Hurmuz, katanya: Najdah bin Amir (dari kelompok Khawarij) pernah menulis surat kepada Ibn Abbas, dan aku menyaksikan Ibn Abbas ketika membacanya lalu menulis jawabannya sambil berkata: "Demi Allah, seandainya aku tidak ingin mencegahnya daripada kebusukan yang menjerumuskannya, niscaya aku tidak akan mau menulis kepadanya." Maka Ibn Abbas menulis jawaban kepadanya: "Engkau telah bertanya tentang bagian (saham) bagi para kerabat Rasul SAWW yang disebutkan oleh Allah, siapakah mereka itu? Ketahuilah, sejak dahulu kami meniahami bahwa yang dimaksud dengan kerabat Rasul SAWW ialah 'kami' Yakni, Bani Hasyim – Penerj.). Namun kaum kami telah menolak memberikannya kepada kami."[25]
Hadis tersebut dirawikan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juz 1, halaman 294. Demikian pula ahli hadis lainnya, semuanya dengan saluran-saluran yang shahih. Dan yang demikian itu sesuai pula dengan mazhab Ahlul-Bayt dalam hadis-hadis mutawatir yang bersumber dari para Imam a.s.
Mengurangi Takbir dalam Shalat Jenazah
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah pelaksanaan shalat jenazah dengan empat takbir saja, sebagaimana yang diketahui dari buku-buku fiqh empat mazhab serta praktek mereka. Adapun yang pertama menghimpun jamaah kaum Muslim untuk melakukannya ialah Umar bin Khaththab r.a. Amat banyak yang menyatakan hal itu, antara lain As-Sayuthi dalam bukunya, Tarikh Al-Khulafa', ketika menyebutkan "Hal-hal yang Dipelopori oleh Umar". Juga Ibn Syuhnah ketika mengisahkan meninggalnya Umar pada peristiwa-peristiwa tahun ke-23 H, dalam Tarikh-nya, Raudhat Al-Manazhir dan lainnya.
Cukuplah bagi Anda sebagai petunjuk adanya penakwilan mereka, mengenai persoalan ini, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Arqam, pada halaman 370, juz IV dalamMusnad-nya dari Abd Al-A'la yang berkata: "Aku pernah shalat jenazah di belakang Zaid bin Arqam, lalu ia bertakbir sebanyak lima kali. Seorang bernama Abu 'lsa 'Abdur-Rahman bin Abu Laila menghampirinya seraya menggandeng tangannya dan berkata: 'Lupakah engkau?' Tidak!" jawab Zaid, Tetapi aku pernah shalat jenazah di belakang kekasihku, Rasulullah SAWW dan beliau bertakbir sebanyak lima kali. Maka aku tidak akan meninggalkannya, selama-lamanya'."
Larangan Menangisi Mayat
Di antara penakwilan mereka ialah larangan menangisi orang mati, sesuatu yang telah diharamkan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a. Ketika menyebutkan tentang kematian Abu Bakar pada bab "Peristiwa-peristiwa Tahun ke-13" dalam kitab Tarikh-nya, juz IV, Ath-Thabari merawikan dengan sanad Sa'id bin Al-Musayyib, yang berkata: Ketika Abu Bakar r.a. berpulang ke rahmatullah, 'Aisyah r.a. mengumpulkan beberapa wanita untuk meratapinya. Kemudian datang Umar bin Khaththab dan seraya berdiri di balik pintu, ia melarang wanita-wanita itu menangisi kematian Abu Bakar. Namun mereka tidak mempedulikannya. Maka Umar berkata kepada Hisyam bin Al-Walid, "Masuklah dan suruh putri Ibnu Quhafah (yakni 'Aisyah) agar ia keluar!" Ketika 'Aisyah mendengar perintah Umar, ia berkata kepada Hisyam: "Aku melarang kamu memasuki rumahku!" Tetapi Umar tetap berkata kepada Hisyam: "Masuklah! Aku mengizinkan engkau!" Maka masuklah Hisyam lalu ia menggiring Ummu Farwah (saudari Abu Bakar) keluar untuk menghadap Umar. Segera Umar menderanya dengan cemeti sampai beberapa kali, sehingga wanita-wanita lainnya berhenti menangis ketika mendengar hukuman yang dijatuhkan Umar.
Umar melakukan hal itu, padahal Imam Ahmad merawikan dari Ibn Abbas (dalam Musnad-nya, jilid I, halaman 335), dalam rangka menyebutkan peristiwa kematian Ruqayyah putri Rasulullah SAWW serta ratapan kaum wanita atasnya, dengan berkata: ". .. Umar mendera mereka dengan cambuknya. Maka Rasulullah SAWW bersabda: 'Biarkan mereka menangis!' Kemudian Rasulullah SAWW duduk di tepi kuburannya, sedangkan Fathimah (putri beliau) duduk di sampingnya seraya menangis." Ibn Abbas melanjutkan: "Maka Nabi SAWW menghapus air mata Fathimah dengan baju beliau sebagai rasa kasihan terhadapnya."
Dalam Musnad-nya. pula (juz II, halaman 333), Imam Ahmad telah merawikan sebuah hadis dari Abu Hurairah, katanya: "Pemah ada iringan jenazah lewat di hadapan Rasulullah SAWW Beberapa wanita mengiringi jenazah itu sambil menangisinya, lalu Umar menghardik mereka. Maka bersabdalah Rasulullah SAWW: Biarkanlah mereka itu (menangis), sesungguhnya jiwa (mereka) itu sedang tertimpa musibah sehingga mata mencucurkan air mata."
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis di halaman 40 dalam Musnad-nya, dari Abdullah bin Umar, yang berkata: Tatkala Rasulullah SAWW pulang dari perang Uhud, sekelompok kaum wanita Anshar menangisi suami-suami mereka yang telah gugur. Maka berkata Rasulullah SAWW: "Kasihan Hamzah, tidak ada wanita-wanita yang menangisinya." Setelah itu beliau pergi tidur sejenak dan ketika ia terjaga, dilihatnya kaum wanita meratapi Hamzah. Maka beliau bersabda: "Begitulah, seharusnya mereka menangisi Hamzah."
Hadis ini dikenal secara meluas di kalangan kaum Muslim. Ibn Jarir, Ibn Atsir, penulis kitab Al-'Iqd Al-Farid, serta para ahli sejarah selain mereka telah meriwayatkan hadis tersebut.
Pada bagian riwayat hidup Hamzah, dalam buku Al-Isti'ab, yang dikutip dari Al-Waqidi, disebutkan: "Tidak seorang wanita pun dari kaum Anshar — setelah mendengar sabda Nabi SAWW, 'Kasihan Hamzah, tidak ada yang menangisinya.' — yang hendak menangisi seorang dari keluarganya, kecuali ia memulai dengan menangisi Hamzah terlebih dahulu."
Ketika mengisahkan riwayat hidup Ja'far dalam Al-Isti’ab-nya, Ibn 'Abd Al-Bar berkata: Ketika datang kepada Nabi Muhammad SAWW berita tentang kematian Ja'far, beliau mengunjungi istrinya, Asma' binti Umais, untuk ber-takziah. Kemudian masuklah Fathimah seraya menangis dan berseru, "Aduhai pamanku!" Maka berkatalah Rasulullah SAWW: "Untuk orang-orang seperti Ja'f ar inilah, hendaknya ratap tangis kaum wanita itu ditujukan."
Dalam kitab Shahih-nya, (bab "Jenazah", halaman ketiga) Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW telah menangis atas kematian Zaid dan Ja'far. Demikian pula Ibn 'Abd Al-Bar (pada bagian riwayat hidup Zaid dalam Al-lsti'ab) menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW telah menangisi Ja'far dan Zaid, dan beliau berkata: "Aduhai saudara-saudaraku, penghibur-penghiburku dan kawan-kawan berbincangku...!"
Beliau juga menangis pada waktu kematian putranya, Ibrahim, sehingga bertanyalah Abdur-Rahman bin 'Auf (sebagaimana yang tercatat pada juz I dari Shahih Al-Bukhari), "Anda juga menangis, ya Rasulullah?" Jawab beliau: "Wahai Ibn 'Auf, sesungguhnya ini adalah (tanda) rahmat." Kemudian beliau menangis lagi seraya bersabda: "Mata ini mencucurkan air mata dan hati bersedih. Namun tidak sebaiknya kita mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Sungguh kami sangatlah sedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim."
Semua orang mengetahui tentang ratap tangis Rasulullah SAWW atas kematian pamannya, Hamzah, sedemikian sehingga Ibn 'Abd Al-Bar, pada bagian biografi Hamzah dalam Al-Isti'ab, berkata: "Ketika Rasulullah SAWW menyaksikan Hamzah telah terbunuh, beliau menangis. Dan ketika dilihatnya tubuhnya dicincang, beliau terisak-isak."
Tercantum di akhir halaman 387, dalam kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, juz III, Al-Waqidi menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW, pada waktu terjadinya musibah itu, setiap kali melihat Safiyah (bibi Nabi SAWW dan saudara Hamzah) menangis, beliau pun menangis, dan setiap kali Safiyah terisak-isak beliau pun seperti itu. Demikian pula pada peristiwa kematian Ja'far tersebut, Fathimah menangis, dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya demikian, beliau pun ikut menangis.
Pada peristiwa lainnya, Rasulullah SAWW pernah menangis atas kematian seorang bocah dari salah seorang putrinya. Menyaksikan hal itu, Sa'ad bertanya (seperti tercantum dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim): "Bagaimana ini, ya Rasulullah?" Jawab Nabi SAWW: "Inilah pengaruh rahmat yang ditanamkan Allah dalam kalbu hamba-hamba-Nya. Sungguh Allah SWT hanya akan merahmati hamba-hamba-Nya yang senantiasa hatinya penuh rahmat."
Masih banyak lagi hadis semacam ini yang tiada terbilang banyaknya, dan tidak mungkin memaparkannya secara keseluruhan di sini. Cukuplah sekadar ini saja.
Adapun mengenai berita yang dirawikan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa "orang mati akan disiksa karena ratap tangis keluarganya", atau dalam riwayat lain "disiksa oleh sedikit tangisan keluarganya atasnya", atau dalam riwayat lain "diazab karena tangis yang hidup", atau riwayat lainnya lagi "disiksa dalam kuburannya disebabkan ratap tangis atas dirinya", atau dalam riwayat lain lagi "bahwa barangsiapa yang ditangisi akan disiksa"; maka semua ini merupakan kesalahan si perawi, baik menurut hukum 'aql (akal) ataupun naql (nukilan).
Telah berkata An-Nawawi ketika membahas riwayat-riwayat tersebut pada bab "Orang Mati Diazab Karena Tangisan Keluarga Atasnya", dalam bukunya Syarh Kitab Shahih Mttslim: "Semua riwayat ini bersumber dari Umar bin Khaththab dan putranya, Abdullah bin Umar." Kata An-Nawawi selanjutnya: "Aisyah menyanggah ucapan kedua mereka itu." seraya menyatakan bahwa hal tersebut semata-mata akibat kealpaan atau kesalahpahaman. Kemudian Aisyah menunjuk kepada firman Allah:
... Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain. (Al-An-'am: 164).
Selain yang disebutkan oleh An-Nawawi, Ibn Abbas r.a. telah menolak pula riwayat-riwayat tersebut dan menegaskan bahwa hal itu disebabkan kesalahan perawinya. Penjelasan tentang hal itu dapat dibaca dalam kedua kitab Shahih serta Syarh-nya. Pendapat Aisyah mengenai ini bertentangan secara diametral dengan pendapat Umar, sedemikian sehingga ia menyelenggarakan ratapan ketika ayahnya (yakni Abu Bakar) meninggal dunia. Dan pada saat itu terjadi kericuhan antara mereka, seperti telah Anda baca sebelum ini. Rincian peristiwa ini termuat dalam buku kami berjudul, Al-Asalib Al-Bada’iyah fi Rujhani Ma`atim Asy-Syi'ah. Juga dalam mukadimah Majalisuna Al-Fakhirah fi Ma`atim Al-'Itrah Ath-Thahirah, yang telah dicetak tahun 1332 H.
Aneka Kasus Lainnya (Secara Singkat)
Masih ada lagi kasus-kasus penakwilan mereka selain yang telah kami ketengahkan di atas. Seperti penggeseran yang mereka lakukan terhadap maqam Nabi Ibrahim a.s. ke tempatnya yang sekarang,[26]yang tadinya menempel pada Baytullah (Ka'bah). Juga perluasan Al-Masjid Al-Haram pada tahun 17 H dengan menggabungkan beberapa rumah penduduk sekitamya, walaupun para pemiliknya menolak untuk menjualnya. Namun Umar r.a. merobohkannya secara paksa lalu menitipkan uang harganya di Bayt Al-Mal sampai pada akhirnya mereka menerimanya.[27]
Demikian pula vonis yaiig dijatuhkannya atas sekelompok orang Yaman agar mefeka membayardiyat (denda pembunuhan) Abu Khirasy Al-Hudzali, seorang penyair dari kalangan Sahabat yang terkenal.[28] Sebelum itu, mereka datang bertamu di rumah Abu Khirasy. Ketika Abu Khirasy keluar mencari air untuk mereka, seekor ular menggigitnya sehingga ia mati. (Maka Umar menghukum mereka karena itu).
Juga hukuman pembuangan ke kota Basrah yang dijatuhkan oleh Umar atas diri Nashr bin Hajjaj, semata-mata karena seorang wanita cantik memujanya dalam nyanyian.[29]
Ada juga peristiwa Umar berkaitan dengan hak warisan yang dibagi antara datuk dan saudara sekandung, yang pada akhirnya, Umar membatalkan keputusannya semula dan kemudian mengikuti pendapat Zaid bin Tsabit Al-Ahshari.[30]
Demikian juga penakwilannya terhadap firman Allah SWT tentang larangan memata-matai. Hal itu dilakukannya karena berpendapat bahwa tindakan tersebut bermanfaat bagi negara maupun rakyat. Oleh s.ebab itu, ia melakukan perondaan rahasia pada siang maupun malam hari untuk memata-matai rakyat dan mengawasi tindakan kejahatan yang mungkin mereka rencanakan. Al-Ghazali menyebutkan dalatn Ihya 'Ulum Ad-Din, bahwa ketika Umar melakukan perondaan rahasia di malam hari, ia mendengar — di salah satu perkampungan kota Madinah — seorang laki-laki yang sedang bersenandung menyanyikan lagu di dalam rumahnya. Lalu Umar memanjat pagar untuk mengintainya dan dilihatnya laki-laki itu berduaan dengan seorang wanita dan sebotol khamr di hadapannya. Maka Umar berkata kepadanya: "Wahai musuh Allah, apakah kau kira Allah akan menutupimu sedangkan engkau bermaksiat terhadap-Nya?" Orang itu menjawab: "Sekiranya aku melakukan satu maksiat, Anda telah melakukan tiga maksiat sekaligus. Allah SWT telah berfirman: Jangan memata-matai! (Al-Hujurat: 12); sedangkan Anda memata-matai. Dan Allah telah berfirman: Tidaklah termasuk kebaikan jika kamu mendatangi rumah-rumah melalui 'punggung' (belakang)-nya . .. (Al-Baqarah: 189); sedangkan Anda telah meloncati pagar rumahku. Dan Allah telah berfirman: Hai orang-orang beriman, jangantah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya ... (An-Nur: 27); sedangkan Anda telah memasuki rumahku tanpa izin ataupun salam!" Maka Umar berkata: "Apakah engkau ingin kembali ke jalan yang baik, andaikata aku memaafkan engkau?" Jawab orang itu: "Ya." Maka Umar meninggalkan orang itu dan segera keluar.
Masih banyak lagi kasus yang ditangani oleh Umar berdasarkan ijtihad atau penakwilannya yang menyimpang dari pengertian nash-nash yang jelas. Semua itu semata-mata demi memperkukuh bangunan politik kenegaraan dan demi memudahkan pengelolaan segala urusannya. Yaitu dengan mendahulukan kepentingan kerajaan dan mengutamakan pembinaan kekuatan lebih daripada menerapkan nash-nash itu secara konsekuen. Seperti penetapan pajak kharaj atas penduduk daerah-daerah Irak dan sekitamya, cara pengaturan jizyah, pembentukan panitia syura (untuk memilih khalifah sepeninggalnya). Juga seperti dalam ucapannya pada waktu itu: "Andaikata Salim (bin Ma'qal, hamba sahaya Abu Hudzaifah) masih hidup, niscaya akan kuangkat ia sebagai khalifah penggantiku.[31]Padahal telah disepakati (secara ijma')[32] berdasarkan nash maupua fatwa, mengenai tidak sahnya menyerahkan tampuk kepemimpinan umum (imamah) kepada seseorang seperti dia. Hal itu mengingat bahwa ia (Salim) dari bangsa Parsi (dari kota Isthakhr atau Kirmid) yang menjadi budak dari istri Abu Hudzaifah, yang berasal dari kaum Anshar.•
*) Istilah takwil, menakwilkan, penakwilan dan sebagainya akan sering Anda jumpai dalam buku ini. Asal kata takwil berarti penafsiran suatu ucapan, dan dapat juga digunakan untuk penafsiran mimpi. Kemudian kata takwil digunakan untuk penafsiran Al-Quran. Seperti yang digunakan oleh Az-Zamakhsyari dalam tafsimya berjudul Al-Kassyaf 'an Haga'ig At-Tanzil wa 'Uyun Al-Agawil fi Wujuh At-Ta`wil. Adakalanya kata takwil identik dengan kata ijtihad yang positif, tetapi adakalanya juga berkonotasi negatif, yaitu ijtihad atau penafsiran yang dilakukan demi tujuan-tujuan pribadi atau suatu golongan, dan bukan demi kebenaran. Semua arti ini tentunya dapat dipahami sesuai konteksnya masing-masing — penerj.
**) Ucapannya ini ditujukan kepada beberapa tokoh kaum Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah, sebagai tantangan untuk berperang — penerj.
[1] Bacalah bagian akhir bab "Perang Khaibar", halaman 36, dalam Shahih Al-Bukhari, jilid III, cetakan Mesir tahun 1309 H. Dan pada catatan kakinya terdapat komentar As-Suddi. Atau bacalah kitab Shahih Muslim pada bagian "Jihad", bab "Sabda Rasulullah SAWW: Kami (para Nabi) tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan merupakan sedekah" (juz II, halaman 72, cetakan Mesir, tabun 1327 H). Anda akan memperoleh keterangan yang jelas mengenai penolakan untuk ber-bai'at dengan sanad sampai Um Al-Mukminin Aisyah r.a.
[2] Kitab ini (Raudhah Al-Manadzir) dan Muruj Adz-Dzahab, keduanya tercetak di samping kitab Al-Kamil karya Al-Atsir. Adapun Muruj Adz-Dzahab tercetak bersama kelima jilid pertama dari kitab Al-Kamil tersebut. Sedang kitab Tarikh Ibn Asy-Syahnah, tercetak di samping jilid terakhir yang terdiri atas juz XI dan XII. Adapun yang kami nukilkan di sini, dapat Anda baca pada halaman 112, juz XI.
[3] Lihat Muruj Adz-Dzahab yang tercetak di samping buku Al-Kamil karya Ibn Al-Atsir, halaman 259, pada akhir jilid VI.
[4] Ath-Thabrani telah merawikan dalam kumpulan hadisnya, Al-Ausath, dari Ummu Salamah, yang berkata: Aku pemah mendengar Rasulullah SAWW bersabda: "Ali bersama Al-Quran dan Al-Quran bersama Ali. Kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu kembali denganku di Al-Haudh (di Surga)." (Hadis ini dinukil dari kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah,Pasal II, Bab IX, halaman 74).
[5] Ucapannya itu dan kedua bait syair sesudahnya termuat pada berita tentang Saqifah dalam kitab Al-'Iqd Al-Farid.
[6] Ucapannya ini dan kedua bait syair sesudahnya terdapat pada berita tentang Saqifah dalam buku Al-Kâmil karya Ibn Atsir.
[7] Dikutip dari Al-Kâmil karya Ibn Atsir.
[8] Shahih Al-Bukhari, juz HI, akhir Bab "Peperangan Khaibar", halaman 36. Juga pada juz IV, halaman 105, awal kitab "Al-Faraidh" dari Shahih tersebut. Juga disebutkan dalam kitab Shahih Muslim, juz U, halaman 72, bab "Sabda Nabi SAWW: Kami (para nabi) tidak mewariskan kepada siapa pun; apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah".
[9] Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid IV. Yang pertama termuat pada halaman 79, sedangkan yang kedua termuat pada halaman 87.
[10] Penulisnya ialah Abu Al-Fadhl bin Abi Thahir, wafat tahun 280 H. Bacalah halaman 16 dan 23.
Berikut Penjelasannya:
Menurut Wikipedia Pengertian Mut'ah
Nikah mutah, nikah kontrak (abjad Arab: نكاح المتعة nikāḥ al-mut'aṯ, harfiah: pernikahan kesenangan[1]), atau lebih dikenal dengan istilah kawin kontrak adalah pernikahan dalam tempo masa tertentu. Menurut Mazhab Syiah, nikah mutah adalah pernikahan dalam masa waktu yang telah ditetapkan dan setelah itu ikatan perkawinan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Contohnya, seorang lelaki melakukan berkawin dengan akad nikah sebagai berikut, "Aku menikahimu selama satu bulan atau satu tahun." Kemudian, wanita itu menjawab, "Aku terima." Maka masa nikah suami-istri akan berakhir dalam waktu sesuai dengan akad tersebut.
Menurut pandangan sunni, pernikahan ini hanya diperbolehkan pada masa peralihan dari zaman jahiliah kepada Islam, ketika zina menjadi perkara yang biasa dalam masyarakat.[2] Bagi mazhab Sunni, nikah mutah ini adalah tidak sah dan tidak dibolehkan.
Artikel palsu ini ternyata bertahan di Wikipedia selama 10 tahun!
Seperti diketahui, Wikipedia dikenal sebagai salah satu referensi terlengkap dan terpercaya yang pernah ada. Namun siapa sangka jika situs berusia 15 tahun ini ternyata menyimpan artikel palsu selama 10 tahun?
Menurut laman Tech Insider (04/02), hal ini pertama kali ditemukan oleh salah seorang editor bernama 'Calamondin12'. Sementara itu, artikel palsu tersebut adalah bercerita tentang karakter fiktif bernama Jack Robichaux.
Di artikel itu, Robichaux digambarkan sebagai seorang pemerkosa berantai Amerika Serikat di abad ke-19. Selain pemerkosa, ia juga disebutkan sebagai seorang musisi Jazz profesional di New Orleans.
Dari penelusuran Calamondin12, pemain musisi Jazz bernama belakang Robichaux ternyata memang benar-benar ada. Hanya saja, nama depannya adalah John. Sehingga, nama Jack Robichaux tak lain hanyalah fiktif.
Menurut informasi yang beredar, artikel palsu Jack Robichaux dibuat oleh dua orang sahabat bernama Bill Maas dan Van Robichaux. Mereka berdua pun mengaku membuat karakter fiktif itu hanya karena bermotif iseng belaka.
"Kami hanya ingin menyajikan informasi palsu di Wikipedia, kurang lebih hanya sebagai tantangan. Kami sudah coba banyak artikel sebelumnya, namun selalu gagal (kecuali Jack Robichaux)," ujar Maas.
Sebuah fakta menariknya, bertahan selama 10 tahun ternyata membuat artikel Jack Robichaux tercatat sebagai artikel palsu terlama (yang dapat bertahan) dalam sejarah Wikipedia.
Ternyata Wikipedia punya Zionist!!!
BAHAYA SITUS WIKIPEDIA
Anda tentu sangat familiar dengan situs Wikipedia.Wikipedia adalah encyclopedia di internet, dimana siapapun bisa mengubah dan menambahkan informasi di sana. Wikipedia mengklaim bahwa artikel dan ilmu pengetahuan pada web mereka berada pada posisi netral. Sangat menakjubkan bahwa Jumlah pengunjung pada situs ini mencapai 2,5 milyar per bulan.
Perlu diketahui bahwa Sang moderator pada situs ini ternyata adalah seorang yang pro terhadap Yahudi!!
Siapakah yang membuat wikipedia?
Larry Sanger, dan Jim Wales, adalah dua orang yang mendirikan Wikipedia pada bulan Januari 2001. Wikipedia merupakan cabang resmi dari Nupedia, yaitu sebuah encyclopedia yang mempunyai label lebih formal.
Pada saat Sekarang Wales memegang penuh atas wikipedia, Karena Sanger meninggalkannya pada tahun 2002, Sanger adalah seorang profesor/dosen pada sebuah perguruan tinggi di Ohio.
Beberapa nama seperti Jeremy Rosenfeld, Benjamin Kovitz, Seth Cohen, mereka berperan sebagai staf teknik
Kenyataannya bahwa sang moderator dengan terbuka mengakui bahwa mereka memang pro terhadap Yhudi.
Siapakah Jim Wales?
Wales dilahirkan di Huntsville, Alabama, belajar pada sekolah eksklusif Randolph Prep school, kemudian Melanjutkan ke Universitas Alabama.
Setelah lulus, dia menjadi seorang pialang saham di Chicago.
Situs Bomis.com adalah sebuah situs Dewasa yang ia buat, diikuti oleh Nupedia, yang berubah menjadi Wikipedia.
wales, adalah orang kesayangan dari kelompok Yahudi di harvard, menjadi anggota di the berkman center untuk internet and sociaty di harvard law school
Apakah Bomis.Com itu?
‘Bomis’ adalah situs dewasa, dibuat oleh Wales, tetapi Wikipedia menyebutnya sebagai situs erotika.
sebuah situs yang menampilkan tipe gambar p#rn#, (peringatan - isi situs ini amat p#rn#)
System kontrol pada Wikipedia
Wikipedians (sukarelawan Yahudi) memusatkan pikiran pada subyek tertentu, dan mengaktifkan setiap sistem replay artikel yang baru masuk.
Ketika seseorang menulis artikel pada situs tersebut, maka nomer ISP-nya akan tercatat, dan dia diberi sayanim yang akan mengamati semua tulisan selanjutnya.
Penyumbang artikel diberi halaman tracking, untuk membuka rekaman semua tulisannya.
penyumbang artikel akan diamati oleh Hillel, ADL, SPLC, yaitu semacam agen pengontrol
Sebuah contoh kasus
Pada tahun 1967, dengan persetujuan Lyndon Johnson, Israel menyerang Mesir secara mendadak.
Mencoba untuk membuat ‘False Flag’ yang ditujukan ke Mesir, Zionis menyerang USS Liberty, membunuh 44 dan melukai 177.
Serangan gagal ketika tiga kapal torpedo menyerang pada pangkalan terakhir mereka, mereka bertubrukan, dan tembakan mereka menghancurkan kapal.
Liberty meminta bantuan kepada USS Saratoga, dan Israel dipaksa untuk menghentikan serangan mereka.
Versi Wikipedia
Interpretasi mereka bahwa serangan tersebut adalah kesalahan, mereka mengklaim diri mereka tidak bersalah, kapal torpedo sebetulnya adalah kendaraan penyelamat, yang ditembaki oleh USS, dan Israeli membela diri dengan alasan mereka tidak bersalah
Dr Fredrick Toben
Dr. Toben adalah seorang sejarawan dan sarjana Jerman, dibesarkan di Australia, dan bekerja di Adelaide Institue.
Dia menulis tentang penelitiannya mengenai ‘Bencana Yahudi’.
Kemudian Kontributor Wikipedia menulis halaman yang memfitnahnya, dan ketika dia bermaksud menyangkal tuduhan palsu tersebut, sayanim menghilangkan semua komentarnya.
Versi Wikipedia
Toben adalah monster, yang bergaul dengan penjahat, dan ia sendiri adalah seorang narapidana
Theresienstadt
Pada tahun 1941, Jerman memberikan sebuah kota untuk orang2 Yahudi sebagai tempat perlindungan.
Akan tetapi orang Yahudi kemudian mengubah sejarah, dan mereka mengatakan bahwa tempat tersebut adalah perkemahan kematian.
Ketika film dokumenter 1943 diposting ke dalam halaman Theresienstadt di Wikipedia, Hillel Wikipedians dengan cepat menghapusnya, dan mengatakan bahwa hal tersebut adalah propaganda dan bencana denial
Versi Wikipedia
Theresienstadt adalah lubang neraka Nazi, di mana orang Yahudi dibiarkan kelaparan hingga mati, lalu dibuang di Auschwitz
Darimana Wikipedia mendapat Dana?
Menurut pendirinya, James Wales, wikipedia hidup dari dana bantuan dan sumbangan perseorangan yang kecil
Bagaimana kejadian sebenarnya?
Dari seluruh informasi yang ada, Wikipedia dijalankan oleh dua orang anak Yahudi, satu programmer, dan satu lainnya adalah operator pada situs ‘adult site’.
Dinamika keberhasilan (800.000 halaman) tangkai dari 10.000 + penyumbang perseorangan, yang diamati oleh inti sayanims.
Klaim Wikipedia: ~ ‘Kami adalah internet encyclopedia dengan posisi netral ‘ ~ adalah MUSTAHIL.
Proyek ini adalah usaha untuk menguasai penelitian mahasiswa di Internet.
di mana subyek Google akan memperlihatkan Wikipedia sebagai salah satu peserta pertama dalam tampilannya.
sebagai contoh : jika kita mengetikkkan kata Bolshevik pada kolom pencari google, maka Wikipedia akan tampil pada urutan pertama.
Jika untuk menJelajahi versi mereka, anda tidak akan menemukan sesuatu yang paling kecil sekalipun tentang gerak-gerik Yahudi yang mengobarkan pertumpahan darah, dan bertanggungjawab atas 20.000.000 kematian
Jadi kita masihkah kita menggunakan refrensi untuk artikel kita dengan wikipedia???
http://dhymas.wordpress.com/bahaya-situs-wikipedia/
Dan ada source2 lain dalam bahasa Inggris:
http://steve-lewis.blogspot.com/2008...i-judaism.html
http://www.wakeupfromyourslumber.com/node/6811
Sumber: http://indonesiaindonesia.com/f/43569-ternyata-wikipedia-punya-zionist/
Kita Kembali Ke Mut'ah;
Mut'ah Menurut Al-Qur'an
Menurut Al Qur'an Mut'ah Adalah Pemberian Bukan Nikah Kontrak.
Kedudukan Mut'ah halal menurut Al-Qur'an, Sedangkan Haram Menurut Umar bin Khattab. Apakah Umar itu Tuhan Yang menentukan Ayat-Ayat Allah Swt?
Allah Swt Berfirman dalam Al-Qur'an dalam 3 Ayat sbb:
3 Ayat Al-Qur'an Tentang Mut'ah, Al-Baqarah (2:241 dan 2:236) dan Al-Ahzab 33:49
1. Al Baqarah Ayat 241 - 250 Dan Terjemah:
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".
2. Al Baqarah Ayat 236 Dan Terjemah:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Turunnya ayat ini menurut riwayat didahului oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat dari kaum Ansar yang menikahi seorang perempuan. Dalam akad nikahnya tidak ditentukan jumlah mahar. Dan sebelum ia bercampur, istrinya tersebut telah ditalaknya. Setelah turun ayat ini maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memberikan mutah (hadiah) kepada bekas istrinya itu meskipun hanya berupa pakaian tutup kepala.
Seorang suami yang menjatuhkan talak pada istrinya sebelum bercampur dan sebelum menentukan jumlah maharnya ia tidak dibebani membayar mahar tetapi ia diwajibkan memberi mutah, yaitu pemberian untuk menimbang-rasa bekas istrinya. Besar kecilnya jumlah pemberian tersebut tergantung pada suami, yang kaya sesuai dengan kekayaannya dan yang tidak mampu sesuai pula dengan kadar yang disanggupinya. Pemberian mutah tersebut merupakan suatu kewajiban atas laki-laki yang mau berbuat baik.
3. Al Ahzab Ayat 49 Dan Terjemah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Silahkan Perhatikan Ayat-Ayat Al-Qur'an
(Jakfari/Syiah-Ali/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Zubair bin Awwam bin Khuwailid adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw sekaligus keponakan Sayidah Khadijah Sa, istri Nabi Saw. Zubair masuk Islam pada umur 8 atau 15 tahun.
Dia hampir selalu menyertai Nabi Saw. Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, Zubair menolak peristiwa Saqifah (tempat musyawarah untuk menunjuk pengganti Nabi Saw).
Ia teguh dalam mendukung dan membela hak kekhalifahan Imam Ali As, termasuk berkali-kali melakukan debat dengan Umar bin Khattab.
Dia adalah salah seorang dari enam ahli syura yang ditunjuk Khalifah Umar untuk memusyawarahkan penggantinya. Dalam sidang syura Zubair memberikan pilihannya untuk Imam Ali As.
Dia terlibat dalam pembunuhan Utsman. Kemudian, di awal kekhalifahan Imam Ali As, bersama Thalhah, Aisyah dan pihak-pihak yang dikenal dengan golongan Nakitsin, Zubair andil dalam Perang Jamal melawan Imam Ali As.
Nasab
Silsilah Zubair adalah Zubair bin Awwam bin Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay al-Qurasyi al-Asadi. Sedangkan nama kunyahnya adalah Abu Abdillah. Dia merupakan anak dari saudara Sayidah Khadijah Sa. Ayah Zubair, Awwam, terbunuh dalam Perang Fijar.[1]
Ibunya bernama Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi dari Nabi Muhammad Saw dan Imam Ali As.[2]
Sebagian pihak berpendapat, sebenarnya keluarga Zubair berkebangsaan Mesir, bukan Quraisy asli. Mereka berdalil dengan suatu catatan yang menyebutkan bahwa Khuwailid pernah pergi ke Mesir dan kembali ke Mekah dengan membawa Awwam lalu diadopsi.[3]
Menikah dengan Putri Abu Bakar
Zubair menikah dengan putri Abu Bakar yang bernama Asma’.[4]
Sebagian pihak menyebutkan, mereka adalah orang yang pertama kali melakukan nikah mut’ah.[5]
Setelah beberapa waktu Zubair menceraikan Asma’.[6]
Ada yang mengatakan, yang memaksanya untuk menceraikan istrinya adalah putranya sendiri, Abdullah.[7]
Namun ada yang berpendapat, Zubair melukai Asma’ sehingga dia terpaksa harus meminta perlidungan pada Abdullah sampai akhir hayatnya.[8]
Masuk Islam
Laporan sejarah menyebutkan, Zubair masuk Islam setelah Abu Bakar. Sebagian sejarawan berpendapat, saat masuk Islam usian ZUbair masih 8 tahun.[9]
Namun sebagian lain berpendapat, saat itu dia telah berusia 15 tahun.[10]
Menurut cerita, Zubair seumuran dengan Imam Ali As.[11]
Jika benar maka tidak mungkin saat masuk Islam dia berusia 8 tahun, lebih tepatnya adalah 15 tahun.
Sebagian sejarawan berpendapat, Zubair adalah orang kelima atau keenam yang masuk Islam.[12]
Karena yang menceritakan tentang islamnya Zubair adalah cucunya sendiri yang bernama Hisyam bin Urwah bin Zubair,[13] karenanya ada kemungkinan hal itu terlalu dilebih-lebihkan.[14]
Di Zaman Nabi Saw
Sebelum Hijrah
Tidak banyak riwayat yang menceritakan tentang Zubair sebelum peristiwa hijrah. Hanya ada secuil cerita yang menyebutkan bahwa dia termasuk orang yang ikut hijrah ke Habasyah.[15]
Saat Zubair dan para muhajirin lainnya berada di Habasyah, tersebar isu bahwa orang-orang Quraisy telah masuk Islam. Sebab itu sebagian kaum muhajirin kembali pulang ke Mekah, termasuk Zubair.[16]
Ikrar Persaudaraan
Salah satu yang dilakukan Rasulullah Saw saat tiba di Madinah adalah mengajak kaum muslimin untuk menyatakan ikrar persaudaraan. Saat itu Zubair berpasangan dengan Abdullah bin Mas’ud.[17]
Dalam riwayat lain disebutkan, Zubair berpasanagn dengan Salamah bin Salamah bin Waqasy.[18]
Ikut Perang
Data sejarah menyebutkan, Zubair andil dalam perang Badar,[19] Uhud dan penaklukan Mekah.[20]
Zubair dan Para Khalifah
Menolak Kekhalifahan Abu Bakar
Setelah wafat Rasulullah Saw, Zubair adalah salah satu orang yang menolak sidang Saqifah. Saat rumah Sayidah Fatimah Sa diserang oleh sekelompok orang, Zubair mengangkat pedangnya dan menyerang mereka. Saat itu Khalid bin Walid melempar batu kepadanya dari belakang hingga pedangnya terjatuh. Umar mengambil pedang itu dan mematahkannya.[21]
Zubair adalah menantu Abu Bakar karena dia menikah dengan Asma’ binti Abu Bakar.[22]
Namun kemudian dia menceraikannya, konon dia lakukan atas desakan putranya yang bernama Abdullah.[23]
Cemooh Umar Tentang Zubair
Hubungan Zubair dengan khalifah kedua tidak begitu baik. Suatu malam Umar bersama Ibnu Abbas sedang mencari seseorang di Madinah. Saat pembicaraan menyinggung tentang Zubair, Umar berkata, “Dia itu orang yang tidak sabar dan garang. Saat sedang senang berlagak seperti orang mukmin, tapi kalau sedang marah seperti orang kafir. Kadang seperti manusia, kadang seperti setan…”.[24]
Terlibat Pembunuhan Utsman
Saat berlangsung musyawarah untuk memilih pengganti khalifah kedua, Zubair tidak memberikan suaranya untuk Utsman. Artinya dia tidak sejalan dengan Utsman. Utsman memberinya 600.000 dirham agar tidak mengusiknya.[25]
Namun tak lama kemudian ternyata dia memprovokasi masyarakat supaya membunuh Utsman.[26]
Zubair dan Kekhalifahan Imam Ali As
Zubair adalah sepupu Imam Ali As. Hubungannya dengan Imam Ali As banyak mengalami pasang surut. Dulunya dia adalah salah seorang pembela Imam Ali As dalam menghadapi peristiwa Saqifah.
Dia juga sebagai saksi wasiat Sayidah Fatimah az-Zahra Sa,[27] ikut hadir dalam proses pemakaman Sayidah Fatimah Sa,[28] dan orang yang memberikan suaranya pada Imam Ali As saat berlangsungnya musyawarah yang beranggotakan enam orang dalam pemilihan khalifah.
Setelah terbunuhnya Utsman, banyak orang berbondong-bondong datang ke rumah Imam Ali As, termasuk Thalhah dan Zubair. Mereka menyatakan siap mendukung dan membaiat Imam Ali As sebagai khalifah. Setelah banyak desakan akhirnya Imam Ali As menerima permintaan mereka.[29]
Saat itu Zubair dan Thalhah menyatakan siap mengumpulkan dukungan dari pihak Muhajirin.[30]
Namun tidak lama kemudian mereka berubah pikiran. Mereka menentang kekhalifahan Imam Imam Ali As.[31]
Ketika Zubair dan Thalhah mendengar bahwa Aisyah yang berada di Mekah juga tidak setuju atas terpilihnya Imam Ali As sebagai khalifah, mereka berencana keluar dari Madinah ke Mekah dengan dalih untuk berangkat umrah. Ketika mereka meninggalkan Madinah, Imam Ali As berkata, “Mereka tidak pergi untuk mengunjungi Baitullah, namun untuk berbuat makar dan melakukan pengkhianatan.”[32]
Zubair mengajak Aisyah berangkat ke Bashrah dengan pasukan yang banyak untuk melawan Imam Ali As. Setelah merampas harta warga Yaman oleh Ya’la bin Munabbih, secara resmi mereka menyatakan perlawanan terhadap Imam Ali As.[33]
Peran Zubair Dalam Perang Jamal
Zubair adalah salah seorang yang bertanggung jawab atas terjadinya perang Jamal. Pada tahun 36 H dia dibantu Thalhah berhasil membujuk Aisyah supaya bersedia ikut berangkat ke Bashrah. Begitu tiba di Bashrah mereka melukai Utsman bin Hanif, gubernur Imam Ali di Bashrah.[34]
Imam Ali As bersama pasukannya berangkat ke Bashrah untuk mengahadapi mereka. Setelah terjadi pertempuran sengit, perang itu dimenangkan pihak Imam Ali As.
Pertemuan Zubair dengan Imam Ali di Medan Perang
Saat kedua belah pasukan berhadapan, Imam Ali As memanggil Zubair. Mereka berdua bertemu dan berbicara di tengah antara dua kubu barisan pasukan. Saat itu Imam Ali As mengingatkan tentang pesan yang pernah disampaikan Rasulullah Saw untuknya.
Isi pesan tersebut adalah: Suatu hari di hadapan Imam Ali As Rasulullah Saw bertanya pada Zubair, “Apakah engkau mencintai Ali?,” Zubair menjawab, “Bagaimana aku tidak mencintainya.” Rasulullah Saw kembali bertanya, “Bagaimana kau memeranginya dengan dhalim?!”[35]
Setelah mendengar hal itu Zubair meninggalkan medan perang.[36]
Terbunuhnya Zubair
Begitu Zubair meninggalkan medan perang, Amr bin Jurmuz dan beberapa orang mengikuti lalu membunuhnya di tempat bernama Wadi al-Siba’.[37]
Setelah itu Amr menghadap pada Imam Ali As. Dia berkata pada penjaga, “Mintakan ijin masuk untuk pembunuh Zubair.” Imam Ali As berkata, “Ijinkan dia masuk dan berikan hadiah neraka padanya.”[38]
Rasulullah Saw bersabda tentang pembunuh Zubair, “Tempat pembunuh Zubair adalah neraka.”[39]
Kematian Zubair membuat Imam Ali As nampak tidak senang. Saat melihat pedang Zubair, seraya mengenang keberanian dan kegigihan Zubair dalam pertempuran di periode awal Islam, beliau berkata, “Pedang ini berkali-kali telah membuat Rasulullah Saw senang.”[40]
Taubat Zubair
Melihat dari dhahir sabda Rasululullah Saw dan apa yang disampaikan Imam Ali As terkait pembunuh Zubair, mungkin sebagian orang mengambil kesimpulan bahwa Zubair telah bertaubat. Yusufi Gharawi tidak setuju jika dikatakan bahwa Zubair telah bertaubat.
Menurutnya, Zubair bisa dikatakan telah bertaubat dengan benar jika saat itu dia mengikuti dan membantu imam zamannya (Imam Ali As). Kenyataannya setelah dialog dengan Imam Ali As dia tidak melakukannya. Sehingga tidak bisa disimpulkan bahwa perkataan Imam Ali As (dan juga sabda Rasulullah Saw yang menyatakan pembunuh Zubair akan masuk neraka) adalah bukti bahwa Zubair telah bertaubat.
Sebab bisa jadi yang dikabarkan Rasulullah Saw itu karena pembunuhnya bertindak tanpa ada ijin dari imam zamannya. Apalagi ternyata pembunuh itu di kemudian hari menjadi golongan Khawarij Nahrawan.[41]
Pembangunan Makam Zubair
Ibnu Jauzi Hanbali menulis dalam kitabnya: “Pada tahun 386 H warga Bashrah mendirikan bangunan yang dilengkapi dengan masjid dan kubah di atas makam Zubair, mereka banyak menginfakkan harta untuk makam itu.”[42]
Namun Syaikh Mufid memperkirakan, letak kuburan Zubair itu tidak didukung dengan bukti yang cukup. (Lih. Ibnu Atsir, al-Bidayah, jld. 11, hlm. 319).
Anak Zubair
Abdullah bin Zubair
Anak Zubair yang paling terkenal adalah Abdullah. Abdullah bin Zubair lahir pada periode awal hijrah. Dia merupakan putra pertama yang lahir di Madinah dari kalangan Muhajirin. Ketika Abdullah lahir kaum muslimin mengumandangkan takbir bersama-sama.
Takbir yang dikumandangkan itu bukan karena Zubair atau Abdullah memiliki kedudukan istimewa, namun kelahirannya adalah bukti kebohongan rumor bahwa kaum Yahudi menyihir kaum Muhajirin supaya tidak bisa memiliki keturunan.[43]
Para sejarawan menyebutkan Abdullah adalah anak pertama yang lahir dari hasil nikah mut’ah.[44]
Anak Lain
Selain Abdullah, berikut ini nama anak-anak Zubair: Anak laki-laki: Urwah, Mundhir, Ashim, Muhajir, Khalid, Umar, Mush’ab, Hamzah, Jakfar. Anak perempuan: Khadijah, Ummu Hasan, Aisyah, Habibah, Surah, Hindun, Ramlah, Ubaidah, Zainab.
Harta
Selama kekhalifahan tiga khalifah pertama Zubair berhasil mengumpulkan banyak harta. Sepeninggalnya, dia mewariskan 11 rumah di Madinah, 2 rumah di Bashrah, 1 rumah di Kufah dan 1 rumah di Mesir.[45]
Di samping itu, disebutkan dia juga meninggalkan 1000 dinar, 1000 kuda, dan 1000 budak.[46]
Catatan Kaki:
1. Ibnu Qutaibah, al-Ma’arif, matan, hlm. 219.
2. Muqaddasi, al-Bada’ wa al-Tarikh, jld. 5, hlm. 85.
3. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, jld. 11, hlm. 67.
4. Sam’ani, al-Ansab, jld. 1, hlm. 217.
5. Al-‘Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 14. Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, jld. 3, lhm. 24. Askari, Izdiwaje Muwaqat Dar Islam, 5052.
6. Lih. Ibnu Sa’ad, Muhammad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 253. Ibnu Qutaibah, Abdullah, al-Ma’arif, hlm. 173. Ibnu Asakir, Ali, Tarikh Madinah Dimasyq, hlm. 9, 16-18.
7. Asadul Ghabah, jld. 6, hlm. 10.
8. Ibid.
9. Muqaddasi, al-Bad’ wa al-Tarikh, jld. 5, hlm. 83.
10. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 2, hlm. 510. Ibnu Atsir, Asadul Ghabah, jld. 2, hlm. 98.
11. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 2, hlm. 511.
12. Thabaqat, Ibnu Sa’ad, jld. 3, hlm. 75.
13. Ibnu Abi Syaibah, jld. 8, hlm. 450. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 75.
14. Fallah Zadeh, hlm. 123.
15. Tarikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 415.
16. Ibid.
17. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 75.
18. Tarikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 423.
19. Sam’ani, al-Ansab, jld. 1, hlm. 216. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 77.
20. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 77.
21. Al-Ikhtishash, hlm. 186. Al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 28.
22. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 4, hlm. 1781.
23. Al-Ishabah, jld. 8, hlm. 13.
24. Ya’qubi, jld. 2, hlm. 158.
25. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 79.
26. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 47. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 3, hlm. 56.
27. Shaduq, Man La Yahdhuruh al-Faqih, jld. 4, hlm. 244.
28. Fattal Naisyaburi, Raudhah al-Wa’idhin, jld. 1, hlm. 349.
29. Al-Jamal, Mufid, hlm. 130.
30. Tarikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 167.
31. Ibid, hlm. 169.
32. Syarh Nahjul Balaghah, jld. 1, hlm. 123.
33. Ibnu Qutaibah, al-Imamah wa al-Siyasah, jld. 1, hlm. 63.
34. Ibnu Abdul Barr, al-Isti’ab, jld. 1, hlm. 366-369. Ibnu Atsir, Asadul Ghabah, jld. 1, hlm. 251.
35. Tarikh Madinah Dimasyq, Ibnu Asakir, jld. 18, hlm. 409. Bihar, jld. 18, hlm. 123.
36. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 9, hlm. 430.
37. Thabari, Tarikh, jld. 4, hlm. 511.
38. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 3, hlm. 254.
39. Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, jld. 18, hlm. 421.
40. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 3, hlm. 78.
41. Askari Wadeqani, Sahabehe Payanbar Azam, jld. 5, hlm. 137.
42. Ibnu Jauzi, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, jld. 14, hlm. 383.
43. Askari, al-Awail, hlm. 220.
44. Thahawi, Syarh Ma’ani al-Atsar, jld. 3, hlm. 24. Askari, Izdiwaje Muwaqat dar Islam, 5052. Al-‘Aqd al-Farid, jld. 4, hlm. 14.
45. Shahih Bukhari, jld. 4. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, jld. 8, hlm. 717.
46. Al-Mas’udi, Muruj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 333.
Daftar Pustaka
1. Ibnu Abil Hadid, Syarh Nahjul Balaghah, Qom, Perpustakaan Ayatullah Mar’asyi Najafi, 1404 H.
2. Ibnu Abi Syaibah, al-Mushannaf, Bairut, Darul Fikr, 1409 H.
3. Ibnu Atsir, ‘Izzuddin Abul Hasan Ali bin Muhammad al-Jazari, Asadul Ghabah fi Ma’rifah al-Shahabah, Bairut, Darul Fikr, 1409 H/1989 M.
4. Ibnu Jauzi, Abul Faraj Abdurrahman, bin Ali bin Muhammad, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha dan Musthafa Abdul Qadir ‘Atha, Bairut, darul Kutub al-Ilmiah, cet. Pertama, 1412 H.
5. Ibnu Khaldun, Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Tarikh al-Arab wa al-Barbar wa min Ashirihim min Dzawi al-Sya’n al-Akbar, riset: Khalil Syihadah, Bairut, Darul Fikr, cet. Kedua, 1408 H/1988 M.
6. Ibnu Sa’ad, al-Thabaqat al-Kubra, riset: Muhammad Abdul Qadir ‘Atha, cet. Pertama, Bairut, Darul Kutub al-Ilmiah, 1410 H.
7. Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, Darul Fikr, Bairut, Bairut, 1415 H.
8. Ibnu Abdul Barr, Abu Umar Yusuf bin Abdullah bin Muhammad, al-Isti’ab fi Ma’rifah al-Ashab, riset: Ali Muhammad al-Bijauwi, Bairut, Darul Jail, cet. Pertama, 1412 H/1992 M.
9. Ibnu Abdu Rabbih, al-‘Aqd al-Farid, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Bairut, Libanon, cet. Ketiga, 1420 H.
10. Ibnu Qutaibah, Abu Muhammad Abdullah bin Muslim al-Dinawari, al-Imamah wa al-Siyasah, riset: Ali Syiri, Bairut, darul Adhwa’, cet. Pertama, 1410 H/1990 M.
11. Ibnu Qutaibah, al-Ma’arif, riset: Tsarwat Akasyah, Kairo, al-Haiah al-Mishriah al-‘Ammah lil Kitab, cet. Kedua, 1992 M.
12. Baladzuri, Ahmad bin Yahya bin Jabir, Ansab al-Asyraf, riset: Suhail Zukar dan Riyadh Zarkali, Bairut, Darul Fikr, cet. Pertama, 1417 H/1996 M.
13. Sam’ani Abu Said Abdul Karim bin Muhammad bin Mashur al-Tamimi, al-Ansab, riset: Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimi al-Yamani, Haidar Abad, Majlis Dairah al-Ma’arif al-Utsmaniah, cet. Pertama, 1382 H/1962 M.
*****
Nikah Mut’ah Jelas Dilakukan di Zaman Rasulullah SAWW, Zaman Abu Bakar dan Sebagian di Zaman UmarPertanyaan yang cukup menyentak dari ulama syiah adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika terbumikan di masyarakat mereka.
Tangisilah salah satu sahabat besar Rasulullah SAWW, Zubair bin Awwam, seorang sahabat yang terkenal keberaniannya, suami Asma’ binti Abu Bakar, khalifah pertama. Perkawinan mereka dilakukan melalui kawin mut’ah yang melahirkan Abdullah dan urwah bin Zubair. Juga banyak sahabat yang lain, sebagaimana tercatat dalam buku-buku tarikh Sunni kita. Mengapa anda tidak sekaligus mengkritik Rasulullah karena ‘mengizinkan’ perkawinan mut’ah tersebut dan mengapa Rasulullah SAWW tidak menangisinya? [1]
Mengenai kawin mut’ah, Umar melarangnya, tetapi ayat Al-Quran tidak dapat dibuang. Islam tidak mengajarkan kita untuk mengawini tiap wanita yang kita temui di jalan, kawin biasa, kawin sirri atau kawin mut’ah.
Pernahkah saudara menyaksikan kawin mut’ah di Iran?
Tanyailah Amien Rais atau Lukman Harun yang pernah berkunjung ke Iran. Atau Smith Alhadar, seorang pengamat Timur Tengah terkenal yang pernah mengelilingi Timur Tengah, seorang Sunni dari dulu sampai sekarang, yang pernah tinggal di Saudi Arabia maupun di Iran selama bertahun-tahun.
Apakah saudara-saudara telah menyelidiki berapa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin disini untuk satu bulan samapai tiga tahun? Sudahkah saudara-saudara memeriksa surat nikah mereka?
Seorang kawan menceritakan kepada saya bahwa ia diberi uang Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut’ah ala Wahabi. DIa mencari seorang pelacur dan ‘menasihatinya’ agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya. Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur lain untuk dikawin-kontrakkan kepadanya selama tiga bulan.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak TKI kita yang diperkosa disana ?
Tanpa ditanya, seorang teman yang telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kerajaan Saudi Arabia mengatakan kepada saya bahwa bila para lelaki bisa hamil, maka jumlah kehamilan diluar nikah akan berlipat ganda.
Apakah saudara-saudara punya statistik berapa banyak ulama yang punya istri lebih dari sepuluh dan berapa banyak yang kawin sirri di Indonesia? berapa banyak yang kawin antar agama dan membagi anak-anak dalam dua bagian, sebagian mengikuti agama bapak sebagian mengikuti ibu? Apakah saudara-saudara juga punya statistik serupa dikalangan Syi’ah? Metode berpikir komparatif sangat dibutuhkan dalam berbagai cabang ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbandingan agama atau ilmu perbandingan mazhab.
Saudara-saudara menyatakan bahwa kawin mut’ah haram. Padahal ini jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman Umar. Kalau tidak setuju, kita bahas nanti dibagian lain. Tapi mampukah saudara mengatakan bahwa pelacuran dan lokalisasi pelacuran itu haram dalam Islam? Punyakah saudara-saudara statistik jumlah bayi, yang ayahnya entah berada dimana, yang dibungkus plastik dan dibuang ke selokan-selokan serta tempat-tempat sampah dan yang digugurkan di klinik-klinik yang resmi atau pun tidak, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ?
Mampukah saudar-saudara mengeluarkan fatwa bahwa melacur itu haram dan dengan demikian melokalisasinya juga haram? Dan tahukah saudara-saudara bahwa pelacur-pelacur makin hari makin bertambah? Jangan-jangan saudara takut membuat fatwa yang mengharamkan pelacuran dan menutup lokalisasi tersebut?
Pelacuran tidak akan ada bila tidak ada sekelompok laki-laki ‘pencari seks’ yang hendak memenuhi naluri seks mereka.
Ataukah saudara-saudara takut jangan-jangan para ‘pencari seks’ memasuki jendela-jendela kita dan meperkosa istri dan anak-anak kita, sehingga saudara-saudara meras perlu menghalalkan lokalisasi tersebut? Bukankah berdiam diri dalam masalah ini sama dengan menghalalkan pelacuran, perzinaham dan lokalisasi ?
Say akhawatir saudara-saudara mengharamkannya karena mereka yang menjalankan mut’ah berhujjah dengan nash yang tidak terbantahkan. Sebaliknya menghalalkan pelacuran karena sudah jelas haramnya, meski pun beresiko anak yang lahir kelak tak akan pernah mengetahui bapaknya. Dan pelacuran juga menyulitkan untuk menjajaki, tracing, sumber penyakit kelamin. Kawin mut’ah ada masa iddah-nya, dan suaminya dikenal, sehingga sulit menyebarkan penyakit kelamin. Kalau pun ada, mudah dijajaki. Bukankah penyakit kelamin atau AIDS, terjadi karena menganti-ganti pasangan ?
Silahkan saudara-saudara mencukur jenggot dan kumis dan tinggal di tempat-tempat kost sekitar kampus lalu saksikan dengan mata kepala sendiri sexual behaviour, tingkah laku seks putra-putri saudara. Mungkin saudara-saudar akan pingsan waktu menyaksikan apa yang dilakukan oleh putra saudara-saudara yang tiap hari pulang ke rumah bak pangeran dan perjaka, serta putri bak perawan suci yang baru turun dari kahyangan. Mampukah kita mengucapkan istighfar dan membenarkan perzinahan sementara mengkambinghitamkan kawin mut’ah ?
Punyakah saudara-saudara statistik berapa banyak putra-putri kita yang berzinah, yang melakukan kawin sirri, atau kawin sembunyi-sembunyi ala Sunni atau kawin mut’ah ala Sunni? Sebagian besar mungkin akan menjawab bahwa mereka membaca artikel ‘Mut’ah, Sebuah Perkawinan Alternatif’ dalam sebuah koran ibu kota yang ditulis seorang tokoh Sunni.
Jangan sekali-kali berprasangka buruk, bahwa pemuda-pemuda kita adalah bodoh, lalu kawin mut’ah hanya karena dipengaruhi oleh orang Syi’ah.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak tokoh dan pemuda Sunni kita yang kawin mut’ah ? Darimana mereka mendapat ‘fatwa’ bahwa mut’ah itu halal ?
Jangan menuduh Syi’ah sebagai scape goat, pemikul beban, sebagai ‘kucing hitam’, padahal Sunni sendiri yang mengeluarkan ‘fatwa’ dan kaum Sunni yang melakukan kawin mut’ah menurut versi Sunni sendiri sesuai dengan pandangan kritis.
Justru yang harus menjaga anak-anak gadisnya adalah kaum Syi’ah, bukan Sunni!
[1] Bacalah perdebatan antara Abdullah bin Abbas dan Ibnu Zubair: Ibn Abi’l-Hadid. Syarh Nahju’l-Balaghah, jilid 20, hal, 129-131.
*****
Nikah Mut’ah, Halal atau Haram?
Salah satu masalah fikih yang diperselisihkan antara pengikut Ahlulbait (Syiah) dan Ahlusunnah adalah hukum nikah Mut’ah. Tentang masalah ini ada beberapa hal yang perlu kita ketahui, berikut ini akan kita bahas bersama. Pertama: Defenisi NikahMut’ah.
Kedua: Tentang ditetapkannya mut’ah dalam syari’at Islam. Ketiga: Tidak adanya hukum baru yang me-mansukh-kannya. Keempat:
Hadis-hadis yang menegaskan disyari’atkannya. Kelima: Bukti-bukti bahwa Khalifah Umar-lah yang mengharamkannya.
Difinisi Nikah Mut’ah:
Ketika menafsirkan ayat 24 surah al-Nisa’-seperti akan disebutkan di bawah nanti, Al-Khazin (salah seorang Mufasir Sunni) menjelaskan difinisi nikah mut’ah sebagai berikut, “Dan menurut sebagian kaum (ulama) yang dimaksud dengan hukum yang terkandung dalam ayat ini ialah nikah mut’ah yaitu seorang pria menikahi seorang wanita sampai jangka waktu tertentu dengan memberikan mahar sesuatu tertentu, dan jika waktunya telah habis maka wanita itu terpisah dari pria itu dengan tanpa talaq (cerai), dan ia (wanita itu) harus beristibrâ’ (menanti masa iddahnya selasai dengan memastikan kesuciaannya dan tidak adanya janin dalam kandungannya_pen), dan tidak ada hak waris antara keduannya. Nikah ini boleh/halal di awal masa Islam kemudian diharamkan oleh Rasulullah saw.”[1] Dan nikah Mut’ah dalam pandangan para pengikut Ahlulbait as. adalah seperti difinisi di atas. Nikah Mut’ah Telah Disyari’atkan,
Dalam masalah ini telah disepakati bahwa nikah mut’ah telah disyari’atkan dalam Islam, seperti juga halnya dengan nikah daa’im (permanen). Semua kaum Muslim dari berbagai mazhab dan aliran tanpa terkecuali telah sepakat bahwa nikah Mut’ah telah ditetapkan dan disyari’atkan dalam Islam. Bahkan hal itu dapat digolongkan hal dharuruyyat minaddin (yang gamblang dalam agama). Alqur’an dan sunah telah menegaskan disyari’atkannya nikah Mut’ah. Hanya saja terjadi perbedaan pendapat tentang apakah ia kemudian dimansukhkan atau tidak?
Al-Maziri seperti dikutip al-Nawawi mengatakan, “Telah tetap (terbukti) bahwa nikah Mut’ah adalah boleh hukumnya di awal Islam… .” [2] Ketika menjelaskan sub bab yang ditulis Imam Bukhari: Bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (Bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
Ibnu Hajar mendifinisikan nikah mut’ah, “Nikah mut’ah ialah menikahi wanita sampai waktu tertentu, maka jika waktu itu habis terjadilah perpisahan, dan difahami dari kata-kata Bukhari akhiran (pada akhirnya) bahwa ia sebelumnya mubaah, boleh dan sesungguhnya larangan itu terjadi pada akhir urusan.” [3]
Al-Syaukani juga menegaskan bahwa nikah mut’ah adalah pernah diperbolehkan dan disyari’atkan dalam Islam, sebelum kemudian, katanya dilarang oleh Nabi saw., ia berkata, “Jumhur ulama berpendapat sesungguhnya yang dimaksud dengan ayat ini ialah nikah mut’ah yang berlaku di awal masa Islam. Pendapat ini dikuatkan oleh qira’at Ubai ibn Ka’ab, Ibnu Abbas dan Said ibn Jubair dengan tambahan إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى .” [4]
Ibnu Katsir menegaskan, “Dan keumuman ayat ini dijadikan dalil nikah mut’ah, dan tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya nikah mut’ah itu ditetapkan dalam syari’at pada awal Islam, kemudian setelah itu dimansukhkan… .” [5]
Ayat Tantang Disyari’atkannya Nikah Mut’ah
Salah satu ayat yang tegas menyebut nikah bentuk itu seperti telah disinggung di atas ialah firman Allah SWT.
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوْهُنَّأُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً … (النساء:24)
“Maka wanita-wanita yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka upah (mahar)nya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…” (QS:4;24)
Ayat di atas mengatakan bahwa wanita-wanita yang telah kamu nikahi dengan nikah mut’ah dan telah kamu gauli maka berikanlah kepada mereka itu mahar secara sempurna. Kata اسْتَمْتَعْتُمْ berartikan nikahmut’ah yaitu nikah berjangka waktu tertentu sesuai kesepakatan antara kedua pasangan calon suami istri. Dan dipilihnya kata tersebut disebabkan nikah mut’ah memberikan kesenangan, kenikmatan dan manfaat.
Dalam bahasa Arab kata mut’ah juga diartikan setiap sesuatu yang bermanfaat, kata kerja istamta’a artinya mengambil manfaat[6].
Para sahabat telah memahami ayat di atas sebagai ayat yang menegaskan disyari’atkannya nikahtersebut, sebagian sahabat dan ulama tabi’in seperti Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Said ibn Jubari, Mujahid dan as Suddi membacanya:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ – إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى- فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ فَرِيْضَةً
dengan memberi tambahan kata إلَى أَجَلٍ مُسَمَّى (sampai jangka waktu tertentu). Bacaan tesebut tentunya sebagai sekedar penjelasan dan tafsir, bukan dengan maksud bahwa ia dari firman Allah SWT. Bacaan mereka tersebut dinukil oleh para ulama besar Ahlusunah seperti Ibnu Jarir al-Thabari, Al-Razi, al-Zamakhsyari, Al-Syaukani dan lainnya yang tidak mungkin saya sebut satu persatu nama-nama mereka. Qadhi Iyaadh seperti dikutip al-Maziri, sebagaimana disebutkan Al Nawawi dalam syarah Shahih Muslim, awal Bab Nikah Mut’ah bahwa Ibnu Mas’ud membacanya dengan tambahan tersebut. Jumhur para ulama pun, seperti telah Anda baca dari keterangan Al-Syaukani, memehami ayat tersebut sebagai yang menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah.
Catatan:
Perlu Anda cermati di sini bahwa dalam ayat di atas Allah SWT berfirman menerangkan apa yang dipraktikkan kaum Muslim dari kalangan sahabat-sabahat Nabi suci saw. dan membimbing mereka akan apa yang harus mereka lakukan dalam praktik yang sedang mereka kerjakan. Allah SWT menggunakan kata kerja bentuk lampau untuk menunjuk apa yang telah mereka kerjakan: اسْتَمْتَعْتُمْ, dan ia bukti kuat bahwa para sahabat itu telah mempraktikan nikah mut’ah. Ayat di atas sebenarnya tidak sedang menetapkan sebuah hukum baru, akan tetapi ia sedang membenarkan dan memberikan bimbingan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam bermut’ah. Bukti lain bahwa ayat di atas sedang menerangkan hukum nikah mut’ah ialah bahwa para ulama Sunni mengatakan bahwa hukum dalam ayat tersebut telah dimansukhkan oleh beberapa ayat, seperti akan disinggung nanti. Itu artintya mereka mengakui bahwa ayat di atas tegas-tegas menerangkan hukum nikah Mut’ah!
Klaim Pe-mansukh-an Hukum Nikah Mut’ah Dalam Al qur’an
Ketegasan ayat diatas adalah hal yang tidak disangsikan oleh para ulama dan ahli tafsir. Oleh sebab itu mereka mengatakan bahwa hukum itu walaupun telah disyari’atkan dalam ayat tersebut di atas, akan tetapi ia telah dimansukhkan oleh beberapa ayat. Para ulama’ Sunni telah menyebutkan beberapa ayat yang dalam hemat mereka sebagai ayat naasikhah (yang memasukhkan) ayat Mut’ah. Di bawah ini akan saya sebutkan ayat-ayat tersebut.
Ayat Pertama:
Firman Allah SWT:
و الذين هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حافِظُونَ إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ أَوْ ما مَلَكَتْ أَيْمانُهُمْ، فَإِنَّهُمْ غيرُ مَلُوْمِيْنَ. (المؤمنون:5-6)
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal yang tiada tercela.” (QS:23;5-6) Keterangan Ayat:
Dalam pandangan mereka ayat di atas menerangkan bahwa dibolehkan/ dihalalkanya menggauli seorang wanita karena dua sebab; pertama, hubungan pernikahan (permanen).Kedua, kepemilikan budak.
Sementara itu kata mereka wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah, bukan bukan seorang istri.
Tanggapan:
Pertama-tama yang perlu difahami ialah bahwa mut’ah adalah sebuah ikatan pernikahan dan perkawinan, baik dari sudut pandang bahasa, tafsir ayat maupun syari’at, seperti telah dijelaskan sebelumnya. Jadi ia sebenarnya dalam keumuman ayat di atas yang diasumsikan sebagai pemansukh, tidak ada alasan yang membenarkan dikeluarkannya dari keumuman tersebut. Kata Azwaajihim dalam ayat di atas mencakup istri yang dinikahi baik dengan akad nikah daim (permanent) maupun akadnikah Mut’ah.
Kedua, selain itu ayat 5-6 Surah Mu’minun (sebagai pemansukh) berstatus Makkiyah (turun sebelum Hijrah) sementara ayat hukum Mut’ah (ayat 24 surah al-Nisa’) berstatus Madaniyah (turun setelah Hijrah). Lalu bagaimana mungkin ayat Makkiyah yang turun sebelum ayat Madaniyah dapat memansukhkannya?! Ayat yang memansukh turun lebih dahulu dari ayat yang sedang dimansukhkan hukumnya. Mungkinkah itu?!
Ketiga, Tetap diberlakukannya hukum nikah Mut’ah adalah hal pasti, seperti telah ditegaskan oleh para ulama Sunni sendiri. Az- zamakhsyari menukil Ibnu Abbas ra.sebagai mengatakan, “Sesungguhnya ayat Mut’ah itu muhkam (tidak mansukh)”. Pernyataan yang sama juga datang dari Ibnu Uyainah.
Keempat, Para imam Ahlubait as. menegaskan bahwa hukum yang terkandung dalam ayat tersebut tetap berlaku, tidak mansukh.
Kelima, Ayat 5-6 Surah Mu’minun sedang berbicara tentang hukum nikah permanen dibanding tindakan-tindakan yang diharamkan dalam Syari’at Islam, seperti perzinahan, liwath (homo) atau kekejian lain. Ia tidak sedang berbicara tentang nikah Mut’ah, sehingga diasumsikan adanya saling bertentangan antara keduanya.
Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan nikah Mut’ah itu bukan berstatus sebagai isrti, zawjah, maka anggapan itu tidak benar. Sebab:
1. Mereka mengatakan bahwa nikah ini telah dimansukhkan dengan ayat إلاَّ علىَ أَزْواجِهِمْ … atau ayat-ayat lain atau dengan riwayat-riwayat yang mereka riwayatkan bahwa Nabi saw. telah memansukhnya setelah sebelumnya pernah menghalalkannya. Bukankah ini semua bukti kuat bahwa Mut’ah itu adalah sebuah akad nikah?! Bukankah itu pengakuan bahwa wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah itu adalahh seorang isrti, zawjah?! Sekali lagi, terjadinya pemansukhan -dalam pandangan mereka- adalah bukti nyata bahwa yang dimansukh itu adalah nikah!
2. Tafsiran para ulama dan para mufassir Sunni terhadap ayat surah An Nisaa’ bahwa yang dimaksud adalah nikah Mut’ah adalah bukti nyata bahwa akad Mut’ah adalah akad nikah dalam Islam.
3. Nikah Mut’ah telah dibenarkan adanya di masa hidup Nabi saw. oleh para muhaddis terpercaya Sunni, seperti Bukhari, Muslim, Abu Daud dll.
4. Ada ketetapan emas kawin, mahar dalam nikah Mut’ah adalah bukti bahwa ia adalah sebuah akadnikah. Kata أُجُوْرَهُنَّ (Ujuurahunna=mahar mereka). Seperti juga pada ayat-ayat lain yang berbicara tentang pernikahan.
Perhatikan ayat 25 surah An Nisaa’, ayat 50 surah Al Ahzaab(33) dan ayat 10 surah Al Mumtahanah (60). Pada ayat-ayat di atas kata أُجُوْرَهُنَّ diartikan mahar.
Ayat Kedua dan Ketiga:
Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ نِصْفُ ما تَرَكَ أَزْواجُكُمْ. (النساء:12)
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS:3;12),
Dan
وَ إِذا طَلَّقْتُمُ النِساءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ. (الطلاق:1)
“Jika kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi)iddahnya (yang wajar).” (QS65;1)
Keterangan:
Ringkas syubhat mereka dalam masalah ini ialah bahwa seorang istri itu dapat mewarisi suaminya, dan dapat diceraikan dan baginya hak mendapatkan nafkah dari suami. Semua ini adalah konsekuensi ikatan tali pernikahan. Sementara itu, dalam kawin Mut’ah hal itu tidak ada, seorang istri tidak mewarisi suaminya, dan hubungan itu berakhir dengan tanpa talak/tidak melalui proses penceraian, dan tiada atas suami kewajiban nafkah. Maka dengan memperhatikan ini semua Mut’ah tidak dapat disebut sebagai akad nikah, dan wanita itu bukanlah seorang istri! Tanggapan Atas Syubhat di Atas:
1. Syarat yang diberlakukan dalam akad Mut’ah sama dengan yang diberlakukan dalam nikah daim (permanen), sebagimana dalam nikah daim disyaratkan beberapa syarat, seperti, harus baligh, berakal (waras jiwanya), bukan berstatus sebagai hamba sahaya, harus ada saling rela, dan …demikian pula dalam nikah Mut’ah tanpa ada sedikitpun perbedaan. Adapun masalah talak, dan saling mewarisi, misalnya, ia bukan syarat sahnya akad pernikahan… ia adalah rentetan yang terkait dengannya dan tetap dengan tetap/sahnya akad itu sendiri. Oleh sebab itu hal-hal di atas tidak disebutkan dalam akad. Ia berlaku setelah terjadi kematian atau penceraian. Seandainya seorang istri mati tanpa meninggalkan sedikitpun harta waris, atau ia tidak diceraikan oleh suaminya hingga ia mati, atau suami menelantarkan sebagian kewajibannya, maka semua itu tidak merusak kebashan akad nikahnya. Demikian pula tentang nafkah dan iddah.
2. Redaksi akad yang dipergunakan dalam nikah daim tidak berbeda dengan yang dipergunakan dalam nikah Mut’ah, hanya saja pada Mut’ah disebutkan jangka waktu tertentu.
3. Antara dua ayat yang disebutkan dengan ayat Mut’ah tidak ada sedikit pertentangan. Anggapan itu hanya muncul karena ketidak fahaman semata akan batasan Muthlaq (yang mutlak tanpa ikatan) dan Muqayyad (yang diikat), yang umum dan yang khusus. Karena sesungguhnya ayat Mut’ah itu mengkhususkan ayat tentang pewarisan dan talak.
4. Adapun anggapan bahwa seorang wanita yang dinikahi dengan akad nikah Mut’ah itu bukan seorang istri, maka anggapan itu tidak benar karena:
A. Sebab pewarisan itu bukanlah konsekuensi yang berkalu selamanya dalam pernikahan, yang tidak dapat berpisah sama sekali. Di sana ada pengecualian- pengecualian. Seorang wanita ditetapkan sebagai sitri namun demikian ia tidak mewairisi suaminya, seperti seorang istri yang berbeda agama (Kristen misalnya) dengan suaminya (Muslim), atau istri yang membunuh suaminya, atau seorang wanita yang dinikahi seorang laki-laki dalam keadaan sakit kemudian suami tersebut mati sebelum sempat berhubungan badan dengannya, atau apabila istri tersebut berstatus sebagai budak sahaya… bukankan dalam contoh kasus di atas wanita itu berstaus sebagai isri, namun demikian -dalam syari’at Islam- ia tidak mewarisi suaminya.
B. Ayat tentang warisan (ayat 12 surah An Nisaa’) adalah ayat Makkiyah sementara ayat Mut’ah adalah madaniyah. Maka bagaimana mungkin yang menasakh turun lebih dahulu dari yang dimansukh?!
5. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab tidak ada keharusan atas suami untuk memberi nafkah, maka anggapan ini juga tidak tepat, sebab:
A. Nafkah, seperti telah disinggung bukan konsekusensi pasti/tetap berlaku selamanya atas seorang suami terhadap istrinya. Dalam syari’at Islam, seorang istri yang nasyizah (memberontak kepada suaminya, tidak mau lagi berumah tangga), tiada kewajiban atas suami memberinya nafkah. Demikian disepakati para ulama dari seluruh mazhab.
B. Dalam akad Mut’ah sekali pun, kewajiban nafkah tidak selamanya gugur. Hal itu dapat ditetapkan berdasarkan syarat yang disepakati antara keduannya. Demikian diterangkan para fuqaha’ Syi’ah.
6. Adapun anggapan karena ia tidak harus melakukan iddah (menanti janggak waktu tertentu sehingga dipastikan ia tidak sedang hamil dari suami sebelumnya = tiga kali masa haidh) maka ia bukan seoarng istri. anggapan ini adalah salah, dan sekedar isu palsu, sebab seorang wanita yang telah berakhir janggka waktu nikah Mut’ah yang telah ditentukan dan disepakati oleh keduanya, ia tetap wajib menjalani proses iddah. Dalam fikih Syi’ah para fuqaha’ Syi’ah menfatwakan bahwa masa iddah atasnya adalah dua kali masa haidh.
7. Adapun anggapan bahwa ia bukan seorang istri sebab ia berpisah dengan suaminya tanpa melalui proses perceraian, sementara dalam Al qur’an ditetapkan hukum perceraian bagi suami istri yang hendak berpisah.
Maka hal itu tidak benar, sebab:
A. Perceraian bukan satu-satunya yang merusak akad penikahan. Seorang istri dapat saja berpisah dengan suaminya dengan tanpa perceraian, seperti pada kasus, apabila istri tersebut murtad, atau apabila ia seorang hamba sahaya kemudian ia dijual oleh tuannya, atau istri yang masih kanak-kanak, kemudian istri suami tersebut menyusuinya (sehingga ia menjadi anak susunya), atau ketika ibu suami itu menyusui anak istrinya… Atau istri seorang laki-laki yang murtad, atau istri yang terbukti terdapat padanya cacat, ‘uyuub yang menyebabkan gugurnya akad nikah, seperti apabila istri itu ternyata seorang wanita gila dan …. Bukankah dalam semua kasus di atas istri itu berpisah dari suaminya tanpa melalui proses talak?!
B. Seorang wanita yang dinikahi dengan akad Mut’ah tidak berarti selamanya menjadi monopoli suami itu yang tidak akan pernah bisa berpisah. Dalam nikah Mut’ah ketetapan tentang waktu berada di tangan si wanita dan pri itu. Merekalah yang menetukan jangka waktu bagi pernikahan tersebut.
C. Kedua ayat itu tidak mungkin dapat menasikhkan hukum nikah Mut’ah yang disepakati kaum Muslim (Sunni-Syi’ah) akan adanya di awal masa Islam.
Dan saya cukupkan dengan memaparkan contoh-contoh ayat yang diasumsikan sebagai penasakh hukum nikah Mut’ah yang telah ditetapkan dalam Ayat Mut’ah (ayat 24 surah An Nisaa’). Dalil Sunnah
Adapun bukti dari sunnah Nabi saw. bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan dalam Islam dan tidak pernah dimansukhkan oleh sesuatu apapun adalah banyak sekali, di antaranya ialah apa yang diriwayatkan “Imraan ibn Hushain” yang menegaskan bahwa ayat di atas turun berkaitan dengan hukum nikah mut’ah dan ia tetap, muhkam (berlaku) tidak dimansukhkan oleh sesuatu apapun sampai Umar mengharamkannya. Selain riwayat dari “Imraan ibn Hushain”, sahabat-sabahat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Salamah ibn al-Akwa’, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Akwa’ ibn Abdullah, seperti diriwayatkan hadis-hadis mereka oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dan juga Imam Muslim dalam Shahihnya juga menegaskan disyari’atkannya nikah mut’ah. Al-hasil, hadis tentang pernah disyari’atkannya bahkan masih tetap dihalalkannya nikah mut’ah banyak sekali dalam buku-buku hadis andalan Ahlusunah.
Hukum Nikah Mut’ah Tidak Pernah Dimansukhkan
Para Imam suci Ahlubait as., dan tentunya juga para pengikut setia mereka (Syi’ah Imamiyah) meyakini bahwa nikah mut’ah masih tetap disyari’atkan oleh Islam dan ia halal sampai hari kiamat tiba, tidak ada sesuatu apapun yang menggugurkan hukum dihalalkannya.
Dan seperti telah Anda baca sebelumnya bahwa nikah mut’ah pernah disyari’atkan Islam; Alqur’an turun untuk membenarkan praktik nikah tersebut, Nabi saw. mengizinkan para sahabat beliau melakukannya, dan beliau juga memerintahkan juru penyampai untuk mengumandangkan dibelohkannya praktik nikah mut’ah. Jadi atas yang mengaku bahwa hukum nikah mut’ah yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya itu sekarang dilarang, maka ia harus mengajukan bukti.
Sementara itu, seperti akan Anda saksikan nanti, bahwa klaim adanya pengguguran (pe-mansuk-han) hukum tersebut adalah tidak berdasar dan tidak benar, ayat-ayat Alqur’an yang kata mereka sebagai pemansukh ayat mut’ah tidak tepat sasaran dan hanya sekedar salah tafsir dari mereka, sedangkan hadis-hadis yang mereka ajukan sebagai bukti adanya larangan juga centang perentang, saling kontradiksi, di samping banyak darinya yang tidak sahih. Di bawah ini akan saya sebutkan beberapa hadis yang tegas-tegas mengatakan bahwa nikah mut’ah adalah halal dan tidak pernah ada hukum Allah SWT yang mengharamannya.
Hadis Pertama: Hadis Abdullah ibn Mas’ud
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Qais ibn Abi Hazim ia mendengar Abdullah ibn Mas’ud ra. berkata:
“Kami berperang keluar kota bersama Rasulullah saw., ketika itu kami tidak bersama wanita-wanita, lalu kami berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami mengebiri diri?”, maka beliau melarang kami melakukannya lalu beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) bitstsaub, sebuah baju. Setelah itu Abdullah membacakan ayat:
يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ وَ لاَ تَعْتَدُوا، إِنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المعْتَدِيِنَ.
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan jangan kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.(QS:5;87)“
Hadis di atas dapat Anda temukan dalam:
1. Shahih Bukhari:
· Kitabut tafsir, bab Qauluhu Ta’ala
يَا أَيُّها الذِيْنَ آمَنُوا لاَ تُحَرِّمُوا طَيِّباتِ ما أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ.[7]
·Kitabun Nikah, bab Ma Yukrahu minat Tabattul wal Khashbaa’.[8]
2. Shahih Muslim:
· Kitabun Nikah, bab Ma Ja’a fi Nikah al-Mut’ah[9]
Ketika menerangkan hadis di atas, Ibnu Hajar dan al-Nawawi mengatakan:
“kata-kata ‘beliau mengizinkan kami mengawini seorang wanita dengan mahar (emas kawin) sebuah baju’ sampai jangka waktu tertentu dalam nikah mut’ah… .” Ia juga mengatakan bahwa pembacaan ayat tersebut oleh Ibnu Mas’ud adalah isyarat kuat bahwa beliau meyakni dibolehkannya nikah mut’ah, seperti juga Ibnu Abbas. Hadis Kedua: Hadis Jabir Ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’ ra.
A. Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Hasan ibn Muhammad dari Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn Al-Akwa’ keduanya berkata:
“Kami bergabung dalam sebuah pasukan, lalu datanglah rasul (utusan) Rasulullah sa., ia berkata, “Sesungguhnya Rasulullah saw. telah mengizinkan kalian untuk menikah mut’ah, maka bermut’ahlah kalian.”
Hadis di atas dapat Anda baca dalam:
1. Shahih Bukhari: Kitabun Nikah, bab Nahyu Rasulillah saw ‘An-Nikah al-Mut’ah ‘Akhiran.[10] 2. Shahih Muslim: Kitabun Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.[11]
B. Jabir ibn Abdillah dan Salamah ibn al-Akwa’: Sesungguhnya Rasulullah saw. datang menemui kami dan mengizinkan kami untuk bermut’ah.[12]
Hadis Ketiga: Hadis Jabir ibnAbdillah:
A. Muslim meriwayatkan dari Atha’, ia berkata:
“Jabir ibn Abdillah datang untuk umrah, lalu kami mendatanginya di tempat tinggalnya dan orang-orang bertanya kepadanya banyak masalah, kemudian mereka menyebut-nyebut mut’ah, maka Jabir berkata, “Kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[13]
B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.”[14]
C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[15]
Ibnu Jakfari berkata:
Jelaslah bahwa maksud Jabir dengan ucapannya bahwa “Kami bermut’ah di masa Rasulullah…”, “Kami melakukannya bersama Rasululah saw” bukanlah bahwa saya sendirian melakukannya hanya sekali saja, akan tetapi ia hendak menjelaskan bahwa kami (saya dan rekan-rekan sahabat Nabi saw.) melakukannya banyak kali, dan dengan sepengetahuan Nabi saw., beliau membenarkannya dan tidak melarangnya sampai beliau dipanggil Allah SWT ke alam baqa’. Dan ini adalah bukti kuat bahwa tidak pernah ada pengharaman dari Allah dan Rasul-Nya, nikah mut’ah tetap halal hingga hari kiamat, sebab “halalnya Muhammad saw. adalah halal hingga hari kiamat dan haramnya Muhammad adalah haram hingga hari kiamat”, kecuali jika kita meyakini bahwa ada nabi baru setelah Nabi Muhammad saww dan ada wahyu baru yang diturunkan Jibril as. setelah sempurnanya agama Islam.
Adapun arahan sebagian ulama, seperti al-Nawawi yang mengatakan bahwa para sahabat mulia itu mempraktikan nikah mut’ah di masa hidup Nabi saw. dan juga di masa kekhalifahan Abu Bakar dan beberapa tahun masa kekhalifahan Umar itu dikarenakan mereka belum mengetahui pemansukhan hukum tersebut, adalah ucapan tidak berdasar, sebab bagainama mungkin pemansukhan itu samar atas para sahabat itu -dan tidak jarang dari mereka yang dekat persahabatannya dengan Nabi saw.-, sementara pemansukhan itu diketahui oleh sahabat-sabahat “cilik” seperti Abdullah ibn Zubair atau yang lainnya?!
Bagaimana mungkin juga hukum pengharaman mut’ah itu juga tidak diketahui oleh Khalifah Umar, sehingga ia membiarkan praktik nikah mut’ah para sabahat, dan baru sampai kepadanya berita pemansukhan itu di masa akhir kekhalifahannya?! Ketika menerangkan ucapan Jabir, “sampai Umar melarangnya”, Al-Nawawi berkata, “Yaitu ketika sampai kepadanya berita pemansukhan.”[16]
Selain itu jelas sekali dari ucapan Jabir bahwa ia menisbatkan pengharaman/ larangan itu kepada Umar “sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits”. Jadi larangan itu bukan datang dari Allah SWT dan Rasul-Nya, ia datang dari Khalifah Umar dalam kasus Amr ibn Huraits. Umar sendiri seperti telah Anda baca dalam pidatonya menegakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada di masa Rasululah saww. dan beliau menghalalkannya, namun ia (Umar) melarangnya!
Coba Anda perhatikan hadis di bawah ini: Al-Baihaqi meriwayatkan dalam as-Sunan al-Kubranya dari Abu Nadhrah dari Jabir ra.:
saya (Abu Nadhrah) berkata, ” Sesungguhnya Ibnu Zubair melarang mut’ah dan Ibnu Abbas memerintahkannya”. Maka jabir berkata, “Di tangan sayalah hadis ini berputar, kami bermut’ah bersama Rasulullah saw. dan Abu Bakar ra. dan ketika Umar menjabat sebagai Khalifah ia berpidato di hadapan orang-orang, “Hai sekalian manusia, sesungguhnya Rasulullah saw. adalah Rasul utusan Allah, dan Alqur’an adalah Alqur’an ini. Dan sesungguhnya ada dua jenis mut’ah yang berlaku di masa Rasulullah saw., tapi aku melarang keduanya dan memberlakukan sanksi atas keduanya, salah satunya adalah nikah mut’ah, dan saya tidak menemukan seseorang yang menikahi wanita dengan jangka tertentu kecuali saya lenyapkan dengan bebatuan. Dan kedua adalah haji tamattu’, maka pisahkan pelaksanaan haji dari umrah kamu karena sesungguhnya itu lebih sempurna buat haji dan umrah kamu.”[17]
Dan selain hadis yang telah disebutkan di atas masih banyak hadis-hadis lain yang sengaja saya tinggalkan, sebab apa yang telah disebut sudah cukup mewakili.
Dan kini mari kita meyimak hadis-hadis yang mengharamkan nikah Mut’ah.
Riwayat-riwayat Pengharaman Nikah Mut’ah
Setelah kita simak sekelumit hadis yang menerangkan tetap berlakunya hukum kehalalan nikah mut’ah, maka sekarang kami akan mencoba menyajikan beberapa hadis terkuat yang dijadikan hujjah oleh mereka yang meyaniki bahwa hukum halalnya nikah mut’ah telah dimansukhkan.
Sebelumnya perlu diketahui bahwa kasus pengharaman nikah mut’ah -dalam pandangan yang mengharamnkan- adalah terbilang kasus aneh yang tidak pernah dialami oleh satu hukum Islam lainnya, yaitu dihalalkan kemudian diharamkan, kemudian dihalalkan dan kemudian diharamkan lagi. Dan sebagiannya hanya berlangsung beberapa hari saja.[18]
Imam Muslim dalam kitab Shahihnya menulis sebuah judul, “Bab Nikah-ul Mut’ah wa Bayaanu ‘Annahu Ubiiha Tsumma Nusikha Tsumma Ubiiha Tsumma Nusikha wa istaqarra Tahriimuhu Ila yaumil Qiyamah (Bab tentang Nikah mut’ah dan keterangan bahwa ia dibolehkan kemudian dimansukkan kemudian dibolehkan kemudian di mansukhkan dan tetaplah pengharaman hingga hari kiamat)”.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir mengatakan, “Imam Syafi’i dan sekelompok ulama berpendapat bahwanikah mut’ah dibolehkan kemudian dimansukhkan kemudian dibolehkan kemudian dimansukhkan, dua kali.” [19]
Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan:
“Masalah kesepuluh: para ulama berselisih pendapat berapa kali ia dibolehkan dan mansukhkan… ia mengatakan bahwa mut’ah pada awalnya dilarang kemudian dibolehkan kemudian Nabi melarang pada perang Khaibar kemudian mengizinkan lagi pada fathu Makkah kemudian mengharamkannya setelah tiga hari berlaku dan ia haram hingga hari kiamat. Ibnu al-Arabi berkata: “Adapun nikah mut’ah ia termasuk hukum syari’at yang aneh sebab ia dibolehkan pada awal masa Islam kemudian diharamkan pada perang Khaibar kemudian dibolehkan pada perang Awthas kemudian di haramkan setelah itu dan tetaplah pengharaman, dan tidak ada yang menyamainya kecuali masalah kiblat… ulama lain yang telah merangkum hadis-hadis masalah ini mengatakan ia meniscayakan adanya penghalalan dan pengharaman sebanyak tujuh kali…”.[20]
Kemudian ia menyebutkan tujuh peristiwa dan kesempatan penghalalan dan pengharaman nikahmut’ah tersebut yang terbilang aneh yang tetuntunya mengundang kecurigaan akan kebenarnnya itu. Sebab kesimpulan ini diambil sebenarnya karena mereka menerima sekelompok hadis yang mengharamkan nikah tersebut, sementara hadis-hadis itu tidak sepakat dalam menyebutkan waktu ditetapkannya pengharaman, akaibatnya harus dikatakan bahwa ia terjadi bebarapa kali. Hadis-hadis tentangnya dapat kita kelompokkan dalam dua klasifikasi global,
pertama, hadis-hadis yang dipandang lemah dan cacat baik sanad maupun matannya oleh para pakar dan ulama Ahlusunnah sendiri. Hadis-hadis kelompok ini tidak akan saya sebutkan dalam kajian kali ini, sebab pencacatan para pakar itu sudah cukup dan tidak perlu lagi tambahan apapun dari saya, dan sekaligus sebagai penghematan ruang dan pikiran serta beban penelitian yang harus dipikul.
Kedua, hadis-hadis yang disahihkan oleh para ulama Ahlusunnah, namun pada dasarnya ia tidak sahih, ia lemah bahkan sangat kuat kemungkinan ia diproduksi belakangan oleh para sukarelawan demi mencari “keridhaan Allah SWT”, hasbatan, untuk mendukung dan membenarkan kebijakan para khulafa’.
Dan untuk membuktikan hal itu saya perlu melakukan uji kualitas kesahihan hadis sesuai dengan kaidah-kaidah yang dirancang para pakar dan ulama.
Hadis Pertama:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Nasa’i, al-Baihaqi dan Mushannaf Abdir Razzaq, (dan teks yang saya sebutkan dari Mushannaf) dari Ibnu Syihab al-Zuhri, dari Abdullah dan Hasan keduanya putra Muhammad ibn Ali (Hanafiyah) dari ayah mereka, bahwa ia mendengar Ali berkata kepada Ibnu Abbas, “Sesungguhnya kamu benar-benar seorang yang taaih (bingung dan menyimpang dari jalan mustaqiim), sesungguhnya Rasulullah saw. telah melarangnya (nikah mut’ah) pada hari peperangan Khaibar dan juga mengharamkan daging keledai jinak.” [21]
Hadis di atas dengan sanad yang sama dan sedikit perbedaan dalam redaksinya dapat Anda jumpai dalam Shahih Bukhari, Sunan Abu Daud, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Darimi, Muwaththa’ Imam Malik, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan al-Thayalisi dll.[22] Hadis kedua:
Para muhaddis meriwayatkan dari Abu Dzar al-Ghiffari ra. bahwa ia berkata:
“Sesungguhnya nikah mut’ah itu hanya dihalalkan khusus untuk kami para sahabat Rasulullah saw. untuk jangka waktu tiga hari saja kemudian setelahnya Rasulullah saw. melarangnya.” Dalam riwayat lain disebutkan, “Itu dibolehkan karena rasa takut kita dan karena kita sedang berperang.” [23]
Hadis Ketiga:
Dalam Shahih Muslim, Sunan al-Darimi, Ibnu Majah, Abu Daud, dan lainnya (redaksi yang saya sebutkan in dari Muslim) dari Saburah al-Juhani, sesungguhnya ia berperang bersama Rasulullah saw. menaklukkan kota Mekkah. Ia berkata:
“Kami tinggal selama lima belas hari (tiga puluh malam dan siang), maka Rasulullah saw. mengizinkan kami menikahi wanita dengan nikah mut’ah. Lalu saya dan seseorang dari kaumku keluar, dan aku memiliki kelebihan ketampanan di banding dia, ia sedikit jelek, masing-masing kami membawa selimut, selimutku agak jelek adapun selimut miliknya baru, sampailah kami dibawah lembah Mekkah atau di atasnya, kami berjumpa dengan seorang wanita tinggi semanpai dan lincah, kami berkata kepadanya, “Apakah Anda sudi menikah mut’ah dengan salah seeoarng dari kami?” wanita itu bertanya, “Apa yang akan kalian berikan sebagai mahar?”. Maka masing-masing dari kami membeberkan selimutnya, wanita itu memperhatikan kami, dan ia melihat bahwa temanku memperhatikan dirinya dari kaki hingga ujung kepala, temanku berkata, “Selimut orang ini jelek sedangkan selimutku baru”. Kemudian wanita itu megatakan, “Selimut orang itu lumayan. Ia ucapkan dua atau tiga kali. Kemudian saya menikahinya dengan nikah mut’ah, dan aku belum menyelesaikan jangka waktuku melainkan Rasululah saw. telah mengharamkannya. [24]
Dalam riwayat lain: Rasulullah saw. bersabda, “Hai manusia! Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian bermut’ah dan sesungguhnya Allah telah mengharamkannya sekarang hingga hari kiamat.” [25]
Dalam riwayat lain: “Aku menyaksikan Rasulullah berdiri diantara rukun dan maqam (dua sudut ka’bah) sambil bersabda…. (seperti sabda di atas)”. [26]
Dalam riwayat lain: “Rasululah memerintah kami bermut’ah pada tahun penaklukan kota Mekkah ketika kami memasuki kota tersebut, kemudian kami tidak keluar darinya melainkan beliau telah melarangnya”. [27]
Dalam riwayat lain: “Aku benar-benar telah bermut’ah di masa Rasulullah saw. dengan seorang wanita dari suku bani ‘Amir dengan mahar dua helai selimut berwarna merah kemudian Rasulullah saw. melarang kami bermut’ah”. [28]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada Fathu Makkah”.[29]
Dalam riwayat lain: “Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang mut’ah, beliau bersabda, “Sesungguhnya ia haram sejak hari ini hingga hari kiamat”. [30]
Dalam Sunan Abu Daud, al-Baihaqi dan lainnya diriwayatkan dari Rabi’ ibn Saburah, ia berkata, “Aku bersaksi atas ayahku bahwa ia menyampaikan hadis bahwa Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada haji wada“. [31]
Dalam riwayat lain: “Rasulullah saw. melarang nikah mut’ah pada fathu Mekkah”. [32] Hadis Keempat:
Dalam Shahih Muslim, Mushannaf Ibn Abi Syaibah, Musnad Ahmad dan lainya (dan redaksi yang saya kutip adalah dari Muslim) diriwayatkan dari Salamah ibn al-Akwa’, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan pada tahun perang Awthas untuk bermut’ah selama tiga hari kemudian beliau melarangnya.” [33] Awthas adalah lembah di kota Thaif. Dan perlu Anda ketahui bahwa peristiwa Awthas terjadi beberapa bulan setelah fathu Mekkah, walaupun dalam tahun yang sama.[34]
Inilah beberapa hadis yang menjadi andalah dan sandaran terkuat pengharaman nikah mut’ah oleh Nabi saw. dan saya berusaha meriwayatkannya dari sumber-sumber terpercaya. Dan kini mari kita telaah hadis-hadis di atas tersebut.
Tentang hadis Imam Ali as. Ada pun tentang hadis Imam Ali as. yang diriwayatkan Zuhri melalui dua cucu Imam Ali as.; Abdullah dan Hasan putra Muhammad ibn Ali as. yang mendapat sambutan luar biasa sehingga hampir semua kitab [35] hadis berebut “hak paten” dalam meriwayatkannya, -tidak seperti biasanya dimana kitab- kitab itu kurang antusias dalam meriwayatkan hadis-hadis dari beliau as. dan tidak memberikan porsi layak bagi hadis-adis Imam Ali as. seperti porsi yang diberikan kepada riwayat-riwayat para sahabat yang berseberangan dengan beliau dan yang diandalkan oleh para penentang Ali as. dan Ahlulbait Nabi saw.-.
Adapun tentang hadis Imam Ali di atas maka ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui tentangnya.
Pertama, ia dari riwayat Zuhri, nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ubaidillah bin Abdullah bin Syihab Az Zuhri lahir pada tahun 58 H dan wafat tahun 124H. Ia dekat sekali dengan Abdul Malik bin Marwan dan Hisyam bin Abdul Malik dan pernah dijadikan qodhi (jaksa) oleh Yazid bin Abdul Malik. Ia dipercaya Hisyam menjadi guru privat putra-putra istana. Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib-nya[36]menyebutkan, “Hisyam memerintahnya untuk mengajarkan kepada putra-putranya hadis, lalu ia mendektekan empat ratus hadis”.
Tampaknya Zuhri sangat diandalkan untuk meramu riwayat demi mendukung kepentingan rezim bani Umayyah yang berkuasa saat itu dengan menyajikan riwayat-riwayat yang berseberangan dengan ajaran Ahlulbait as. namun justru dia sajikan dengan menyebut nama para pemuka Ahlulbait as. sendiri, atau riwayat-riwayat yang justru melecehkan keagungan Ahlulbait as., namun sekali lagi ia sajikan dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi agung Ahlulbait as., seperti tuduhannya melalui riwayat yang ia produksi bahwa Imam Ali dan Fatimah as. melakukan tindakan kekafiran dengan menentang Nabi saw. Zuhri tampaknya memilih spesialisasi dalam bidang ini. Dan adalah aneh seorang Zuhri yang dikenal benci kepada Imam Ali as. tiba-tiba sekarang tampil sebagai seorang muhaddis yang sangat peduli dalam menyampaikan riwayat-riwayat dari Ali as.
Ibnu Abi al-Hadid, ketika menyebut nama-nama para perawi yang membenci Imam Ali as, ia menyebut, “Dan Zuhri adalah termasuk yang menyimpang dari Ali as”.[37]
Sufyan bin Wakii’ menyebutkan bahwa Zuhri memalsukan banyak hadis untuk kepentingan Bani Marwan. Ia bersama Abdul Malik melaknat Ali as. Asy-Syadzkuni meriwayatkan dari dua jalur sebuah berita yang menyebutkan bahwa Zuhri pernah membunuh seorang budaknya tanpa alasan yang dibenarkan.[38] Kedua,
terlepas dari penilaian kita terhadap kualitas salah satu mata rantai perawi dalam hadis tersebut yang telah Anda baca, maka di sini ada beberapa catatan yang perlu Anda perhatikan. Pertama: Dalam hadis tersebut ditegaskan bahwa Imam Ali as. menegur dan menyebut Ibnu Abbas ra. sebagai seorang yang menyimpang karena ia masih menghalalkan nikah mut’ah padahal nikah tersebut telah diharamkan pada peristiwa peperangan Khaibar. Selain nikah mut’ah, daging keledai jinak juga diharamkan saat itu. Jadi menurut Imam Ali as. keduanya diharamkan pada peristiwa tersebut.
Di sini kita perlu meneliti kedua masalah ini, akan tetapi karena yang terkait dengan masalah kita sekarang adalah nikah mut’ah maka telaah saya akan saya batasi pada pengharaman nikah mut’ah pada hari Khaibar.
Pengharaman nikah Mut’ah pada hari Khaibar
Pengharaman Nabi saw. atas nikah mut’ah pada peristiwa Khaibar, seperti ditegaskan para ulama Ahlusunnah sendiri, seperti Ibnu Qayyim, Ibnu Hajar dkk. tidak sesuai dengan kanyataan sejarah, sebab beberapa tahun setelah itu nikah mut’ah masih dibolehkan oleh Nabi saw., seperti contoh pada tahun penaklukan kota Mekkah. Oleh karenanya sebagian menuduh Imam Ali as. bodoh dan tidak mengetahui hal itu, sehingga beliau menegur Ibnu Abbas dengan teguran yang kurang tepat, sebab, kata mereka semestinya Imam Ali as. berhujjah atas Ibnu Abbas dengan pengharaman terakhir yaitu pada penaklukan kota Mekkah agar hujjah sempurna, dan kalau tidak maka hujjah itu tidak mengena[39].
Selain itu, dalam peristiwa penyerangan ke kota Khaibar, tidak seorangpun dari sahabat Nabi saw. yang bermut’ah dengan wanita-wanita yahudi, dan mereka tidak juga memohon izin kepada Nabi saw. untuk melakukannya. Tidak seorangpun menyebut-nyebut praktik sabahat dan tidak ada sebutan apapun tentang mut’ah. Di kota Khaibar tidak ada seorang wanita muslimahpun sehingga sah untuk dinikahi secara mut’ah, sementara dihalalkannya menikah dengan wanita yahudi itu belum disyari’atkan, ia baru disyari’atkan setelah haji wada’ dengan firman Allah ayat 5 surah al-Maidah. Demikian ditegaskan Ibnu Qayyim dalam Zaad al-Ma’aad.[40]
Ketika menerangkan hadis Imam Ali as. dalam kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, Ibnu Hajar al-Asqallani menegaskan, “Dan kata pada hari Khaibar bukan menunjukkan tempat bagi diharamkannyanikah mut’ah, sebab dalam ghazwah (peperangan) itu tidak terjadi praktik nikah mut’ah”.[41]
Ibn Hajar juga menukil al-Suhaili sebagai mengatakan, “Dan terkait dengan hadis ini ada peringatan akan kemusykilan, yaitu sebab dalam hadis itu ditegaskan bahwa larangan nikah mut’ah terjadi pada peperangan Khaibar, dan ini sesuatu yang tidak dikenal oleh seorangpun dari ulama pakar sejarah dan perawi atsar/data sejarah.[42]
Al-hasil, hadis tersebut di atas tegas-tegas mengatakan bahwa pada peristiwa Khaibar Nabi mengharamkan nikah mut’ah dan juga keledai, Ibnu Hajar berkomentar, “Yang dzahir dari kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar adalah menunjuk waktu pengharaman keduanya (mut’ah dan daging keledai)”[43], sementara sejarah membuktikan bahwa pada peristiwa itu sebenarnya tidak terjadi pengharaman, sehingga untuk menyelamatkan wibawa hadis para muhadis agung itu, mereka meramu sebuah solusi yang mengatakan bahwa hadis Imam Ali as. itu hanya menujukkan pengharaman keledai saja, adapun pengharaman nikah mut’ah sebenarnya hadis itu tidak menyebut-nyebutnya barang sedikitpun!
Penafsiran nyeleneh ini disampaikan oleh Sufyaan ibnu Uyainah, ia berkata, “Kata-kata (dalam hadis itu) pada zaman Khaibar hanya terkait dengan waktu pengharaman keledai jinak bukan terkait dengannikah mut’ah.”[44]
Dan upaya untuk mengatakan bahwa hadis itu tidak menunjukkan pengharaman nikah mut’ah pada zaman Khaibar yang dilakukan sebagian ulama hanya karena mereka terlanjur mensahihkan hadis-hadis yang mengatakan bahwa sebenarnya nikah mut’ah itu masih dibolehkan setelah zaman Khaibar. Demikian diungkap oleh Ibnu Hajar.[45]
Akan tetapi arahan itu sama sekali tidak benar, ia menyalahi kaidah bahasa Arab dan lebih mirip lelucon, sebab;
A. Dalam dialek orang-orang Arab dan juga bahasa apapun, jika Anda mengatakan, misalnya:
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid dan ‘Amr pada hari jum’at”
maka semua orang yang mendengarnya akan memahami bahwa penghormatan kepada keduanya itu terjadi dan dilakukan pada hari jum’at.
Bukan bahwa dengan kata-kata itu Anda hanya bermaksud menghormati ‘Amr saja, sementara terkait dengan pak Zaid Anda tidak maksudkan, penghormatan itu mungkin Anda berikan pada hari lain. Sebab jika itu maksud Anda semestinya Anda mengatakan:
أَكْرَمْتُ زَيْدًا و أَكْرَمْتُ عَمْروًا يَوْمَ الجمعةِ
“Saya menghormati Zaid , dan saya menghormati ‘Amr pada hari jum’at”.
Dalam riwayat itu kata kerja nahaa itu hanya disebut sekali, oleh karena itu ia mesti terkait dengan kedua obyek yang disebutkan setelahnya. Dan saya tidak yakin bawa para ulama itu tidak mengerti kaidah dasar bahasa Arab ini.
B. Anggapan itu bertentangan dengan banyak riwayat hadis Imam Ali as. dan juga dari Ibnu Umar yang diriwayatkan para tokoh muhadis, seperti Bukhari, Muslim, Ibnu Majah dan Ahmad yang tegas-tegas menyebutkan bahwa waktu pengharaman nikah mut’ah adalah zaman Khaibar. Merka meriwayatkan:
نَهَى رسولُ اللهِ (ص) عن مُتْعَةِ النساءيَومَ خيْبَر، و عن لُحُومِ الحمرِ الإنْسِيَّةِ.
“Rasulullah saw. melarang nikah kmut’ah pada hari Khaibar, dan juga daging keledai”. [46]
Ibnu Jakfari berkata:
Bagaimana kita dapat benarkan riwayat-riwayat kisah pengharaman itu baik di hari Khaibar maupun hari dan kesempatan lainnya, sementara telah datang berita pasti dan mutawatir bahwa Khalifah Umar ra. berpidato mengatakan bahwa dua jenis mut’ah itu ada dan berlaku di masa hidup Nabi saw. akan tetapi saya (Umar) melarang, mengharamkan dan merajam yang melakukan nikahnya:
مُتْعَتانِ كانَتَا على عَهْدِ رَسُول ِاللهِ أنا أَنْهَى عَنْهُما وَ أُعاقِبُ عليهِما : مُتْعَةُ الحج و متعة النِّسَاءِ.
“Ada dua bentuk mut’ah yang keduanya berlaku di sama Rasulullah saw., aku melarang keduannya dan menetepkan sanksi atas (yang melaksanakan) keduanya: haji tamattu’ dan nikah mut’ah.[47]
Bagaiamana dapat kita benarkan riwayat-riwayat itu sementara kita membaca bahwa Jabir ibn Abdillah ra. berkata dengan tegas, “kami bermut’ah di masa Rasulullah saw., masa Abu Bakar dan masa Umar.”[48]
Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[49]
Bagaimana kita dapat menerima riwayat hadis-hadis yang mengatakan bahwa nikah mut’ah telah diharamkan di masa Nabi saw. oleh beliau sendiri, sementara itu Khalifah Umar tidak pernah mengetahuinya, tidak juga Khalifah Abu Bakar dan tidak juga para sahabat dan tabi’in mengetahuinya, bahkan sampai zaman kekuasaan Abdullah ibn Zubair -setelah kematian Yazid ibn Mu’awiyah- dan tidak juga seorang dari kaum Muslim mengetahui riwayat-riwayat sepeti itu. Andai mereka mengetahuinya pasti ia sangat berharga dan sangat mereka butuhkan dalam mendukung pendapat mereka tentang pengharaman nikah mut’ah tersebut.
Dan pastilah para pendukung kekhalifahan akan meresa mendapat nyawa baru untuk membela diri dalam pengharaman sebagai tandingan bukti-bukti sunah yuang selalu di bawakan sahabat-sabahat lain yang menhalalkan nikah mut’ah seperti Ibnu Abbas, Abdullah ibn Mas’ud dan Jabir, misalnya.
Dalam perdebatan yang terjadi antara pihak yang mengharamkan dan pihak yang menhalalkan mereka yang mengharamkan tidak pernah berdalil bahwa Rasulullah saw. telah mengharamkannya di Khaibar… atau pada peristiwa penaklukan kota Mekkah dan lain sebaigainya. Bagaimana mungkin hadis Imam Ali as. dapat kita terima sementara kita menyaksikan bahwa beliau bersabda:
,لَوْ لاَ أَنَّ عُمر نَهَى الناسَ عَنِ المُتْعَةِ ما زَنَى إلاَّ شَقِيٌّ.
“Andai bukan karena Umar melarang manusia melakukan nikah mut’ah pastilah tidak akan berzina kecuali orang yang celaka”.Demikian disebutkan ar Razi dari al-Thabari. [50]
Dan Muttaqi al-Hindi meriwayatkan dari Imam Ali as. beliau bersabda:
لَوْ لا ما سَبَقَ مِنْ نَهْيِ عُمر بن الخطاب لأَمَرْتُ بالمُنْعَةِ، ثُمَّ ما زنى إلا شقي
“Andai bukan karena Umar ibn Khaththab sudah melarang nikah mut’ah pastilah akan aku perintahkan dengannya dan kemudian tidaklah menlakukan zina kecuali orang yang celaka”. [51]
Bagaimana mungkin kita menerima riwayat para ulama itu dari Imam Ali as. yang menegur Ibnu Abbas ra. sementara kita menyaksikan Ibnu Abbas adalah salah satu sahabat yang begitu getol menyuarakan hukum halalnya nikah mut’ah, beliau siap menerima berbagai resiko dan teror dari Abdullah ibn Zubair pembrontak yang berhasil berkuasa setelah kematian Yazid?
Apakah kita menuduh bahwa Ibnu Abbas ra. degil, angkuh menerima kebenaran yang disampaikan maha gurunya; Imam Ali as. sehingga ia terus saja dalam kesesatan pandangannya tentang halalnyanikah mut’ah? Adapun dongeng-dengeng yang dirajut para sukarelawan bahwa Ibnu Abbas bertaubat dan mencabut fatwanya tentang halalnya nikah mut’ah, adalah hal mengelikan setelah bukti-bukti tegak dengan sempurna bahwa ia tetap hingga akhir hayatnya meyakni kehalalan nikah mut’ah dan mengatakannya sebagai rahmat dan kasih sayang Allah SWT untuk hamb-hamba-Nya:
ما كانَتْ المُتْعَةُ إلاَّ رَحْمَةً رَحِمَ اللهُ بِها أُمَّةَ محمد (ص)، لَوْ لاَ نَهْيُهُ (عمر) ما احْتاجَ إلى الزنا إلاَّ شقِي
Tiada lain mut’ah itu adalah rahmat, dengannya Allah merahmati umat Muhammad saw., andai bukan karena larangan Umar maka tiada membutuhkan zina kecuali seorang yang celaka. [52].
Bagaimana dongeng rujuknya Ibnu Abbas ra. dapat dibenarkan sementara seluruh ahli fikih kota Mekkah dan ulama dari murid-muridnya meyakini kehalalan nikah mut’ah dan mengatakan bahwa itu adalah pendapat guru besar mereka?!
Telaah terhadap Hadis Rabi’ ibn Saburah
Adapun tentang riwayat-riwayat Rabi’ ibn saburah, Anda perlu memperhatikan poin-poin di bawah ini:
Pertama, seperti Anda saksikan bahwa banyak atau kebanyakan dari riwayat-riwayat para muhadis Ahlusunnah tentang pengharaman nikah mut’ah adalah dari riwayat Rabii’ -putra Saburah al-Juhani- dari ayahnya; Saburah al-Juhani. Hadis-hadis riwayat Saburah al-Juhani tentang masalah ini berjumlah tujuh belas, Imam Muslim meriwayatkan dua belas darinya, Imam Ahmad meiwayatkan enam, Ibnu Majah meriwayatkan satu hadis. Dan di dalamnya terdapat banyak berbeda-beda dan ketidak akuran antara satu riwayat dengan lainnya.
Di antara kontradiksi yang ada di dalamnya ialah:
A. Dalam satu riwayat ia menyebutkan bahwa yang bermut’ah dengan wanita yang ditemui adalah ayahnya, sementara dalam riwayat lain adalah temannya.
B. Dalam sebuah riwayat ia menyebutkan bahwa bersama ayahnya adalah temannya dari suku bani Sulaim, sementara dalam riwayat lain adalah anak pamannya.
C. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa mahar yang diberikan kepada wanita itu adalah sehelai kain selimut, sementara dalam riwayat lainnya ia mengatakan dua selimut berwarna merah.
D. Sebagian riwayatnya mengatakan bahwa wanita itu memilih ayahnya karena ketampanan dan ayahnya masih muda sementara yang lain mengatakan karena selimut ayahnya masih baru.
E. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sempat bersama wanita itu selama tiga hari sebelum akhirnya dilarang Nabi saw. sementara yang lainnya mengatakan bahwa hanya semalam, dan keesokan harinya telah dilarang.
F. Dalam beberapa riwayat ia mengatakan bahwa ayahnya sejak hari pertama kedatangan di kota Mekkah telah keluar mencari wanita yang mau dinikahi secara mut’ah, sementara yang lainnya mengatakan bahwa itu setelah lima belas hari, setelah Nabi saw. mendapat laporan bahwa wanita-wanita di Mekkah tidak mau kecuali nikah dengan jangka waktu, kemudian Nabi saw. mengizinkan dan Saburah pun keluar mencari wanita yang mau dinikahi. Dan masih banyak pertentangan lain yang dapat disaksikan dalam riwayat-riwayat yang dikutip dari Rabi’ ibn Saburah, seperti apakah ayahnya sebelumnya telah mengetahui konsep nikah mut’ah, atau belum, ia baru tahu dan diizinkan Nabi saw. setelah wanita-wanita kota Mekkah enggan kecuali nikah dengan jangka waktu.
Kedua, disamping itu kita menyaksikan bahwa Saburah ayah Rabi’ -sang perawi- mendapat izin langsung dari Rasulullah saw. untuk bermut’ah, atau dalam riwayat lain Nabi-lah yang memerintah para sahabat beliau untuk bermut’ah dihari-hari penaklukan (fathu) kota Mekkah, dan setelah ia langusng merespon perintah atau izin itu, dan ia mendapatkan pada hari itu juga wanita yang ia nikahi secara mut’ah tiba-tiba keesokan harinya ketika ia salat subuh bersama Nabi saw. beliau berpidato mengharamkan nikahmut’ah yang baru saja beliau perintahkan para sahabat beliau untuk melakukannya, logiskah itu?! Dalam sekejap mata, sebuah hukum Allah SWT berubah-ubah, hari ini memerintahkan keesokan harinya mengharamkan dengan tanpa sebab yang jelas!Tidakkah para pakar kita perlu merenungkan kenyataan ini?!
Ketiga, terbatasnya periwayatan kisah Saburah hanya pada Rabi’ putranya mengundang kecurigaan, sebab kalau benar ada pe-mansuk-han kehalalan nikah mut’ah pastilah para sahabat besar mengetahuinya, seperti tentang penghalalan yang diriwayatkan oleh para sahabat besar dan dekat.
Keempat, riwayat Rabi’ ibn Saburah itu bertentangan dengan riwayat para sahabat lain seperti Jabir ibn Abdillah, Abdullah ibn Mas’ud, Ibnu Abbas, ‘Imraan ibn Hushain, Salamah ibn al-Akwa’ dan kawan-kawan.
Dan riwayat-riwayat mereka tidak mengahadapi masalah-masalah seperti yang menghadangf riwayat-riwayat Rabi’ ibn Saburah.
Catatan Penting!
Sebenarnya dalam peristiwa itu tidak ada pengharaman yang ada hanya Nabi saw. memerintah para sahabat yang bermut’ah dan jangka waktunya belum habis agar meninggalkan wanita-wanita itu sebab Rasulullah saw. bersama rombongan akan segera meninggalkan kota Mekkah. Akan tetapi para sukarelawan itu memanfaatkan hal ini dan memplesetkannya dengan menambahkan bahwa Nabi berpidato mengharamkannya. Sekali lagi, Nabi saw. hanya memerintahkan para sahabat beliau yang bermut’ah agar menghibahkan sisa waktu nikah mut’ah mereka kepada wanita-wanita itu sebab rombongan segera meninggalkan kota suci Mekkah.
Hal ini dapat Anda temukan dalam riwayat Imam Muslim dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya, dan al-Baihaqi dalam Sunannya, juga dari Sabrah. Dari Rabi’ ibn sabrah al-Juhani dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah saw. mengizinkan kami bermut’ah, lalu aku bersama seorang berangkat menuju seeorang wanita dari suku bani ‘Amir, wanita itu muda, tinggi semampai berleher panjang, kami menawarkan diri kami, lalu ia bertanya, “Apa yang akan kalian berikan?” Aku menjawab, “Selimutku”. Dan temanku berkata, “Selimutku”. Selimut temanku itu lebih bagus dari selimutku tapi aku lebih muda darinya. Apabila wanita itu memperhatikan selimut temanku, ia tertarik, tapi ketika ia memandangku ia tertarik denganku. Lalu ia berkata, “Kamu dan selimutmu cukup buatku! Maka aku bersamanya selama tiga hari, kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa di sisinya ada seorang wanita yang ia nikahi dengan mut’ah hendaknya ia biarkan ia pergi/tinggalkan”.[53]
Dalam pernyataan itu tidak ada pengharaman dari Nabi saw. Ada pun hadis Abu Dzar, adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.
Dan kebaikan hati sebagian ulama dan muhadis berhati luhur dengan memalsu hadis bukan hal aneh, dan saya harap anda tidak kaget. Karena memang demikian adanya di dunia hadis kita; kaum Muslim. Tidak semua para sukarelawan yang memalsu hadis orang bejat dan jahat, berniat merusak agama, tidak jarang dari mereka berhati luhur, rajin dan tekun beribadah, hanya saja mereka memiliki sebuah kegemaran memalsu hadis atas nama Rasulullah saw. Dan para sukarelawan model ini adalah paling berbahaya dan mengancam kemurnian agama, sebab kebanyakan orang akan terpesona dan kemudian tertipu dengan tampilan lahiriah yang khusu’ dan simpatik mereka. Demikian ditegaskan ulama seperti Al Nawawi dan Al Suyuthi.
*****
Catatan Kaki:
[1] Tafsir Khazin (Lubab al-Ta’wiil).1,506
[2] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9179, bab Nikah al-Mut’ah.
[3] Fathu al-Baari.19,200, Ktaabun- Nikah, bab Nahyu an-Nabi saw. ‘an Nikah al-Mut’ah Akhiran (bab tentang larangan Nabi saw. akan nikah mut’ah pada akhirnya).
[4] Tafsir Fathu al-Qadir.1,449.
[5] Tafsir Ibnu Katsir.1,474.
[6] Ibid.
[7] Fathu al-Baari.17,146, hadis no.4615.
[8] Ibid.19,142-143, hadis no.5075.
[9] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182.
[10] Fathu al-Baari.19,206-207, hadis no.5117-5118.
[11] Shahih Muslim dengan syarah al-Nawawi.9,182. hanya saja kata rasul (utusan) diganti dengan kata munaadi (pengumandang pengumuman).
[12] Ibdi.183.
[13] Ibid.183.
[14] Ibdi.184.
[15] Ibid.183-184.
[16] Ibid.183.
[17] Al-Sunan al-Kubra, Kitab al-Mut’ah, Bab Nikah-ul Mut’ah.7,206 dan ia mengatakan bahwa hadis ini juga diriwayatkan Muslim dari jalur lain dari Hummam.
[18] Keterangan lebih lanjut baca Fath al-Baari.19,201 203 dan Syarah al-Nawawi atas Shahih Muslim,9179-180.
[19] Tafsir Ibnu Katsir.1,484, pada tafsir ayat 24 surah al-Nisaa’.
[20] Al-Jaami’ Li Ahkaami Alqur’an.5130-131.
[21] Shahih Muslim (dengan syarah al-Nawawi), Kitab al-Nikah, bab Nikah-ul Mut’ah.9,189-190, dua hadis terakhir dalam bab tersebut, Sunan al-Nasa’i, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan al-Baihaqi, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah.7,201, Mushannaf Abdur Razzaq.7,36 dan Majma’ al-Zawaid.4,265.
[22] Bukhari, Kitab al-Maghazi, bab Ghazwah Khaibar, dan bab Nahyu Rasulillah ‘an nikah al-mut’ah akhiran, bab al-hiilah fi al-nikah, Sunan Abu Daud.2,90, bab Tahriim al-Mut’ah, Sunan Ibnu Majah.1,630, Kitab-un Nikah, bab an-nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah, hadis no.1961, Sunan al-Turmudzi (dengan syarah al-Mubarakfuuri).4,267-268, bab Ma ja’a fi Nikah al-Mut’ah(27), hadis no.1130 Muwaththa’, bab Nikah mut’ah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.4,292 Sunan al-Darimi.2,140 bab al-Nahyu ‘an Mut’ah al-Nisa’, Musnad al-Thayalisi hadis no.111 dan Musnad Imam Ahmad.1,79,130 dan142, dan Anda dapat jumpai dalam Fathu al-Baari dalam baba-baba tersebut di atas.
[23] Baca Sunan al-Baihaqi.7,207.
[24] Shahih Muslim.9,185.
[25] Ibid.186.
[26] Ibdi.
[27] Ibid.187.
[28] Ibdi.188-189.
[29] Ibid.187.
[30] Ibid.189.
[31] Abu Daud.2,227, Kitab al-Nikah, bab Nikah al-Mut’ah dan Sunan al-Baihaqi.7,204.
[32] Sunan al-Baihaqi.7,204.
[33] Shahih Muslim.9,184, Mushannaf.4,292, Musnad Ahmad.4,55, Sunan al-Baihaqi.7,204 dan Fath al-Baari.11,73.
[34] Baca Sunan al-Baihaqi.7,204.
[35] Seperti Anda saksikan bahwa hadis tersebut telah saya kutipkan dari empat belas sumber terpercaya.
[36] 9,449.
[37]Syarh Nahjul Balaghah 1, 371-372.
[38] Ash-Shirath al-Mustaqim.3,245.
[39] Fathu al-Baari.19,202 menukil pernyataan al-Baihaqi.
[40] Zaad al-Ma’aad.2,204, pasal Fi Ibaahati Mut’ati al-Nisaa’i tsumma Tahriimuha (tentang dibolehkannya nikah mut’ah kemudian pengharamannya). Dan keterangan panjang Ibnu qayyim juga dimuat Ibnu Hajar.
[41] Fath al-Baari.16,62. hadis no.4216.
[42] Ibid.19,202.
[43] Ibid.201.
[44] Ibdi.202.
[45] Ibid.
[46] Bukhari Bab Ghazwah Khaibar, hadis no.4216, Kitab al-Dzabaaih, bab Luhuum al-Humur al-Insiyyah, hadis no.5523, Shahih Muslim, bab Ma Ja’a Fi Nikahi al-Mut’ah (dengan syarah a-Nawawi).9,190, Sunan Ibnu Majah.1, bab al-Nahyu ‘an Nikah al-Mut’ah (44) hadis no1961 dan Sunan Al-Baihaqi.7,201, dan meriwayatkan hadis serupa dari Ibnu Umar. Dan di sini sebagian ulama melakukan penipuan terhadap diri sendiri dengn mengatakan bahwa sebenarnya dalam hadis itu ada pemajuan dan pemunduran, maksudnya semestinya yang disebut duluan adalah Luhum Humur insiyah bukan Mut’ah al-Nisaa’. (Fath al-baari.16,62) Mengapa? Sekali lagi agar riwayat Bukhari dkk. di atas tetap terjaga wibawanya dan agar tidak tampak bertentang dengan kenyataan sejarah.
[47] Ucapan pengharaman ini begitu masyhur dari Umar dan dinukil banyak ulama dalam buku-buku mereka, di antaranya: Tafsir al-Razi.10,50, Al-Jashshash. Ahkam Alqur’an.2,152, Al-Qurthubi. Jami’ Ahkam Alqur’an.2,270, Ibnu Qayyim. Zaad al-Ma’ad.1,444 dan ia megatakan” dan telah tetap dari Umar…, Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah.1,182 dan 12,251 dan 252, Al-Sarakhsi al-Hanafi. Al-Mabsuuth, kitab al-Haj, bab Alqur’an dan ia mensahihkannya, Ibnu Qudamah. Al-Mughni.7,527, Ibnu Hazam. Al-Muhalla.7,107, Al-Muttaqi al-Hindi. Kanz al-Ummal.8,293 dan294, al-Thahawi. Syarh Ma’ani al-Akhbaar.374 dan Sunan al-Baihaqi.7,206.
[48] Ibid.183.
[49] Ibid.183-184.
[50] Mafaatiih al-Ghaib (tafsir al-Razi).10,51
[51] Kanz al-Ummal.8,294.
[52] Dan dalam sebagian riwayat إلاَّ شفي dengan huruf faa’ sebagai ganti huruf qaaf, dan artinay ialah jarang/sedikit sekali. Pernyataan Ibnu Abbas diriwayatkan banyak ulama, seperti Ibnu al-Atsir dalam Nihayahnya, kata kerja syafa.
[53] Shahih Muslim.9,184-185, Sunan al-Baihaqi.7,202, dan Musnad Ahmad.3,405.
*****
Berbeda Pendapat dengan Mayoritas adalah Wajar
Kasus-kasus Penakwilan
Dalam bab ini kami akan menyebutkan nama beberapa orang atau tokoh yang menyalahi pendapat mayoritas kaum Muslim, namun hal itu tidak mengurangi 'adalah (kredibilitas dan integritas) mereka.
Tujuan yang ingin kami capai dalam hal ini ialah demi menjelaskan alasan-alasan para "penakwil" di antara kaum Muslim.*)
Nah, apabila Anda melihat seseorang yang berasal dari kalangan salaf (pendahulu)-mu yang baik-baik, atau orang yang darinya Anda pelajari urusan agama Anda dan Anda jadikan ia sebagai penghubung antara Anda dan Rasulullah SAWW (dalam mempelajari sunnah beliau). Apabila Anda mendapatinya dalam suatu masalah, telah bertentangan dengan Anda, berdasarkan ijtihadnya, atau tidak searah-sejalan dengan Anda, berdasarkan pemahaman (atau penakwilan)-nya, lalu Anda dapat "memaklumi" atau "memaafkannya" dalam perbedaan pendapat dengan Anda, maka sudah barang tentu Anda juga dapat "memaklumi" seseorang dari generasi sekarang ini yang ternyata berbeda pendapat dengan Anda, berdasarkan hasil ijtihad atau penakwilannya.
Jika demikian itu keadaannya, di sini aku sangat mengharapkan dari saudara-saudaraku — kaum Muslim yang kepada mereka buku ini kupersembahkan — agar memandang dengan pandangan yang adil, apakah ada hubungan kekerabatan antara Allah dan seseorang dari manusia sedemikian sehingga Dia memperlakukannya tidak seperti orang-orang lainnya? Tentu tidak! Allah SWT tidak akan sekali-kali menghukum suatu kaum karena perbuatan yang jika dilakukan oleh suatu kaum lainnya, la justru memberi mereka pahala atasnya. Kita meyakini bahwa hukum-Nya yang berlaku atas orang-orang terdahulu, pastilah berlaku juga atas mereka yang datang kemudian.
Sungguh banyak jumlah para penakwil yang berselisih pendapat dengan mayoritas para Sahabat serta Tabi’in.Tidak mungkin kami dapat menyebut nama mereka semua. Cukuplah kiranya menyebut sebagian dari mereka saja sekadar mencapai tujuan yang kami sebutkan di atas.
Beberapa Sahabat yang Menolak Bay'at kepada Abu Bakar
Di antara mereka, Sa'd bin Ubadah, seorang sahabat Nabi SAWW dan peserta perang Badr, pemuka dan pemimpin suku Khazraj, dan salah seorang dermawan serta tokoh kaum Anshar. la menolak memberikan bay'at kepada kedua Khalifah (Abu Bakar dan Umar) dan sebagai protes ia pergi ke Syam dan kemudian terbunuh secara rahasia di kota Hauran pada tahun 15 Hijriah. la dikenal dengan kritiknya yang tajam terhadap cara pemilihan Khalifah (Abu Bakar) di balairung Saqifah Bani Sa'idah, maupun terhadap peristiwa-peristiwa lain sesudah itu. Bagi mereka yang ingin menelaah tentang hal ini, silakan membaca buku Al-Imamah wa As-Siyasah karya Ibn Qutaibah, atau Tarikh Ath-Thabari, lalu Al-Kamil karangan Ibn Al-Atsir atau buku sejarah lainnya. Saya kira, semua buku sejarah yang mencatat peristiwa Saqifah, memuat juga keterangan tentang Sa'd bin Ubadah. Dan semua pengarang biografi para sahabat pasti menyebut nama Sa'd serta penolakannya untuk memberikan bay'at. Kendatipun demikian, tak seorang pun meragukan bahwa ia termasuk di antara tokoh-tokoh utama kaum Muslim yang terhormat. Hal itu mengingat bahwa sikap kerasnya itu adalah akibat penakwilan (ijtihad)-nya., karena itu bisa "dimaklumi" walaupun tindakannya dianggap salah.
Di antara mereka, juga Hubab bin AI-Mundzir bin Al-Jamuh Al-Anshari Al-Badri Al-Uhudi. la juga menolak untuk memberikan bay'at (kepada Abu Bakar) sebagaimana diketahui dari sejarah para salaf. Penolakannya .itu tidak mengurangi kredibilitasnya dan tidak pula menurunkan keutamaannya. Ucapannya pada hari Saqifah itu amat terkenal, yaitu (dengan terjemahan bebas — penerjemah): "Akulah orang yang banyak pengalaman sehingga kepadanya semua orang meminta saran. Akulah orang yang luas ilmunya sehingga mampu mengatakan segala persoalan. Akulah pemimpin para pahlawan yang selalu siap memasuki medan perjuangan. Jika kalian ingin, demi Allah, akan kita kembalikan keadaan seperti semula!"**)
Ada lagi ucapannya yang lebih keras mengenai peristiwa itu, namun kami beranggapan lebih baik tidak disebutkan di sini. Yang penting ialah seandainya bukan karena sikap menghormati pendapat orang-orang yang melakukan penakwilan, niscaya Ahlus-Sunnah tidak akan menyatakan — tanpa ragu — bahwa Hubab termasuk di antara para penghuni surga yang utama, kendatipun kecamannya yang pedas terhadap kedua khalifah pertama, seperti yang dipaparkan dalam buku-buku sejarah kaum Syi'ah dan Sunnah.
Demikian pula Amir Al-Mukminin Ali r.a. serta pamannya, Al-Abbas dan putra-putranya, 'Utbah bin Abi Lahab dan anggota-anggota suku Bani Hasyim lainnya, juga Salman Al-Farisi, Abu Dzar, Al-Miqdad 'Ammar, Zubair, Khuzaimah bin Tsabit, Ubay bin Ka'ab, Farwah bin 'Amr bin Wadaqah Al-Anshari, Khalid bin Sa'id bin 'Ash, Al-Bara' bin 'Azib dan beberapa tokoh lainnya. Mereka semua — pada mulanya — menolak memberikan bay'at, sebagaimana tersebut dalam berita-berita yang mutawatir dan terang benderang seterang matahari di siang hari yang cerah.[1]
Tersebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim, bahwa Ali r.a. tidak bersedia ber-bay'atsampai setelah wafatnya Fathimah r.a. — pemuka utama kaum wanita — yang menyusul Ayahandanya SAWW tidak lama setelah beliau wafat.
Banyak pula para ahli tarikh yang mencatat penolakan Ali r.a. untuk ber-bay'at, seperti Ibn Jarir Ath-Thabari ketika menyebut peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada tahun 11 H, dalam buku Târîkh-nya yang terkenal. Juga Ibn Abdi Rabbih Al-Maliki ketika membahas peristiwa Saqifah dalam bukunyaAl-'Iqd Al-Farid (jilid II), Ibn Qutaibah dalam halaman-halaman pertama bukunya Al-Imamah wa As-Siyasah, Ibn Asy-Syahnah ketika menyebut peristiwa bay 'at di Saqifah dalam bukunya Raudhah Al-Manadzir[2] dan Abu Al-Fida ketika menyebutkan berita-berita tentang Abu Bakar dan khilafah-nya dalam buku Tarikh-nya berjudul Al-Mukhtasar fi Akhbar Al-Basyar. Juga Al-Mas'udi meriwayatkannya dari 'Urwah bin Zubair ketika berusaha membenarkan tindakan saudaranya (Abdullah bin Zubair) yang pemah hendak membakar rumah-rumah Bani Hasyim bersama para penghuninya disebabkan penolakan mereka memberikan bay 'at (kepada Abu Bakar).[3] Dan dirawikan pula oleh Asy-Syahristani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal ketika menyebutkan tentang golongan An-Nazhzhamiyah. Demikian pula Ibn Abi Al-Hadid (tokoh kaum Mu'ta-zilah dan bermazhab Hanafi) pada permulaan jilid VI dalam bukunya Syarh Nahj Al-Balaghah. Juga telah dinukil oleh pengarang Nahj Ash-Shidq dari buku Al-Mahasin wa Anfas Al-Jawahir serta Al-Ghurar karangan Ibn Khuzabah, dan juga buku-buku penting lainnya. Bahkan Abu Mikhnaf telah menulis sebuah buku yang khusus memuat rincian peristiwa penolakan Ali r.a. untuk memberikan bay'at-nya serta ketidaksediaannya untuk tunduk patuh (kepada Abu Bakar r.a.).
Keterangan-keterangan di atas merupakan bukti paling jelas tentang diterimanya alasan-alasan para penakwil. Dan siapakah yang berani melontarkan tuduhan kepada (Ali r.a.) saudara Nabi SAWW, wali, pewaris dan pengemban wasiatnya, lalu berkata bahwa ia (Ali) dengan penolakannya itu telah melakukan pembangkangan (maksiat) kepada Allah SWT? Sedangkan ia adalah orang pertama dari umat ini yang beriman dan taat kepada-Nya?! Atau menuduhnya telah menentang As-Sunnah, padahal dialah penanggungjawab, pewaris dan yang paling berkepentingan mendukung dan melaksanakannya? Dan siapa pula yang berani mendakwakan bahwa ia — dengan sikapnya itu — telah memisahkan diri dari Al-Quran, "saudara kandungnya", sedangkan Nabi SAWW telah menandaskan bahwa kedua-duanya takkan berpisah?[4] Dan siapakah yang akan memperkirakan bahwa — dengan perbuatannya itu — ia telah menyimpang dari kebenarah, sedangkan nash Al-Quran telah menghilangkan segala dosanya serta menyucikannya? Dan siapakah akan mengatakan bahwa ia telah menjauh dari yang haq,sedangkan Rasulullah SAWW telah bersabda:
"Ali selalu bersama yang haq dan yang haq senantiasa menyertai Ali, betputar bersamanya ke mana saja ia berputar."
Dan siapakah gerangan yang berani menyatakan bahwa kebodohannyalah yang menyebabkan ia tidak mengetahui hukum pem-bay'at-an ini? Padahal ia (sebagaimana dinyatakan dalam hadis Nabi SAWW) adalah yang paling mengerti tentang penetapan hukum di antara umat ini, dan bahwa ia adalah "pintu kota ilmu" dan telah dikaruniai ilmu yang sempurna tentang Al-Quran . . .?!
Begitu juga Abu Sufyan (Shakhr bin Harb) telah tidak segera ikut dalam pem-bay'at-an itu. Dan dialah yang berucap pada waktu itu:[5] "Aku melihat kegelapan berdebu, tidak akan dapat dihilangkan kecuali dengan darah!" la kemudian pergi berkeliling di lorong-lorong kota Madinah seraya berseru dalam syairnya:
Wahai Bani Hasyim
Jangan memberi kesempatan siapa saja
berambisi melampaui kalian
apalagi suku Taim atau 'Adiy,
Sungguh urusan (khilafah) ini hanya patut
bagi seorang dari kalian dan untuk kalian
tiada lain yang berhak kecuali Ali, Abu Al-Hasan.
Selanjutnya ia berkata:[6] "Mengapa gerangan urusan (khilafah) ini diserahkan kepada suku terlemah dari Quraisy? "Kemudian ia berseru kepada Ali r.a.: 'Ulurkan tanganmu untuk ku-bay'at. DemiAllah, jika Anda kehendaki, akan kupenuhi kota ini dengan kuda dan pasukan!" Tetapi Ali r.a. menolak. Maka Abu Sufyan mendendangkan syair Al-Mutalammis:
Tiada sesuatu berdiam diri menghadapi penghinaan
yang ditujukan kepadanya
kecuali dua yang paling hina
keledai kampung dan pasak yang tertanam.
Yang ini terikat toli dalam kehinaan
dan yang itu dihantam, tak seorang pun menangisi.
Demikian itulah sebagian dari ucapan dan tindakan Abu Sufyan yang berkaitan dengan peristiwa pem-bay'at-an Abu Bakar. Kami (kaum. Imamiyah) beranggapan bahwa perbuatannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya untuk mengobarkan fitnah (kekacauan) dan menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslim. Oleh sebab itulah Amir Al-Mukminin Ali a.s. membentaknya dengan ucapannya: "Demi Allah, tiada sesuatu yang Anda inginkan dengan perbuatan ini, selain menimbulkan fitnah. Memang, Anda selalu memendam maksud-maksud jahat terhadap Islam!"[7]
Dan pada hakikatnya, jika kami menyebutkan Abu Sufyan di antara "para penakwil", maka hal itu semata-mata demi mengikuti orang-orang yang menilai tindakan-tindakannya sebagai hal yang tetap dapat dibenarkan (atau "dimaklumi"). Dengan demikian, lengkaplah hujah kami atas mereka dalam hal menerima baik dan "memaklumi" tindakan-tindakan "para penakwil" lainnya, sebagai konsekuensi dari dasar pemikiran dan penilaian yang mereka tetapkan sendiri.
Pertengkaran Fathimah dengan Abu Bakar
Lihatlah juga sikap dan tindakan Fathimah r.a., pemuka utama para wanita seluruh alam semesta dan belahan jiwa Rasulullah, penutup rangkaian para nabi dan rasul SAWW. Semua orang mengetahui pertengkaran yang telah terjadi antara Fathimah dan Abu Bakar, sehingga Fathimah mendiaminya dan menolak berbicara dengannya sampai ia meninggal dunia dan dimakamkan secara rahasia, di malam hari, oleh suaminya, Amirul Mukminin Ali a.s. Hanya beberapa orang saja di antara para pendukungnya yang diberitahu tentang wafatnya itu, agar tidak seorang pun, selain mereka, yang menshalati jenazahnya. Berita mengenai ini termasuk berita-berita yang diterima tanpa keraguan sedikit pun. Seperti yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahih mereka,[8] demikian pula Imam Ahmad bin Hanbal, dari riwayat Abu Bakar, di halaman 6, jilid I dari Musnad-nya. Juga disebutkan oleh para pengarang buku-buku sejarah dan biografi para tokoh. Cukup kiranya bagi Anda, keterangan yang ditulis oleh Ibn Qutaibah dalam bukunya, Al-Imamah wa As-Siyasah, yangjugadikutip oleh Ibn Abi Al-Hadid dalam Syarh Nahj Al-Balaghah.
Jangan pula Anda lupakan kandungan dua pidato Fathimah r.a. yang keindahan bahasa dan kepadatan isinya pasti bersumber pada lisan Ayahandanya SAWW. Yang satu berkaitan dengan warisan yang menjadi haknya dan yang lainnya berkaitan dengan urusan kekhalifahan. Kedua-duanya disebutkan oleh Ahmad bin 'Abd Al-Aziz Al-Jauhari dalam bukunya, As-Saqifah dan Al-'Allamah Al-Mu'tazili (Ibn Abi Al-Hadid) dalam Syarh Nahj Al-Balâghah, jilid 16.[9] Juga dimuat dalam buku Balâghât An-Nisa',[10] Al-Ihtijaj, Al-Bihar dan lain-lainnya di antara buku-buku karya para penulis dari kedua kelompok (Sunnah dan Syi'ah). Silakan menelaahnya agar Andalebih yakin tentang pembenar-an atau pemaafan terhadap sikap dan tindakan "para penakwil".
Khalid bin Walid Membunuh Malik bin Nuwairah, Lalu Menikahi Isterinya
Di antara "para penakwil" itu ialah (Abu Sulaiman) Khalid bin Walid (Al-Makhzumi). Dialah pembunuh Malik bin Nuwairah bin Hamzah At-Tamimi pada peristiwa "Al-Bithah", dan langsung menikahi bekas istrinya, Ummu Tamim binti Al-Minhal, yang tergolong wanita tercantik di antara kaum wanita masa itu. Kemudian Khalid pulang kembali ke Madinah seraya menancapkan beberapa anak panah di surbannya. Melihat itu, Umar bin Khaththab r.a. segera mencabut dan mematahkannya, lalu berkata kepadanya (sebagaimana tercantum dalam Tarikh Ibn Atsir dan lainnya): "Engkau telah membunuh seorang Muslim, lalu engkau memperkosa istrinya! Demi Allah, akan kurajam engkau!" Kemudian ia memberitahukan tentang masalah itu kepada Khalifah Abu Bakar (seperti yang tertera pada buku biografi Watsimah bin Musa, dalam kitab Wafayât Al-A'yân karya Ibn Khalikan): "Khalid telah berzina, rajamlah ia!" Namun Abu Bakar menjawab: "Aku tidak akan merajamnya. la telah 'bertakwil' dan keliru dalam takwilnya itu." Umar berkata lagi: "Dan ia juga telah membunuh seorang Musjim. Bunuhlah ia sebagai hukuman atas perbuatannya itu!" Jawab Abu Bakar: "Tidak, aku tidak akan membunuhnya karena itu. la telah bertakwil dan keliru dalam takwilnya itu." Tetapi, Umar tetap mendesaknya sehingga ia (Abu Bakar) akhirnya berkata: "Bagaimana pun juga, aku tidak mau menyarungkan 'pedang' yang telah dihunus oleh Allah SWT." Kemudian Abu Bakar membayar diyat (uang tebusan) untuk keluarga Malik dari Bayt Al-Mal dan melepaskan semua tawanan dari keluarganya. Peristiwa ini tidak disangsikan lagi kebenarannya. Dan tidak pula disangsikan bahwa Khalidlah yang melakukannya.[11]
Peristiwa ini telah disebutkan oleh Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam Tarikh-nya serta Ibn Atsir dalam Al-Kamil. Juga oleh Watsimah bin Musa bin Al-Furat serta Al-Waqidi dalam kedua kitab mereka, Saif bin Umar dalam kitab Ar-Riddah wa Al-Futuh, Zubair bin Bakkar dalam Al-Muwaffaqiyyat, Tsabit bin Qasim dalam Ad-Dalail, Ibn Hajar Al-'Asqallani (pada pasal tentang riwayat hidup Malik) dalam Al-Ishabah, Ibn Syahmah dalam kitab Raudhah Al-Manadzir, Abu Al-Fida' dalam Al-Mukhtasar, dan masih banyak lagi dari penulis-penulis yang dahulu dan sekarang. Semuanya menyebutkan tentang sikap memaafkan dari Abu Bakar terhadap Khalid atas dasar bahwa ia telah "bertakwil dan keliru dalam penakwilannya."
Dan jika Abu Bakar merupakan orang pertama yang bersedia "memaklumi" lalu memaafkan para penakwil, siapakah dari kaum Muslim selainnya yang akan meragukan hal itu?
Sungguh aku tak dapat membayangkan, sejak kapankah usaha penakwilan dalam hal-hal furu'menjadi sesuatu yang terlarang, atau bagaimana ia tidak merupakan alasan pemaafan, di sisi Allah maupun kaum Mukmin? Padahal orang-orang terdahulu (para salaf) telah banyak menakwilkan arti dan maksud pelbagai nash, "demi maslahat umat" seperti yang mereka perkirakan. Pada kenyataannya, hasil penakwilan mereka itu ditaati sepenuhnya oleh mayoritas kaum Muslim, seraya menjadikan parasalaf itu sebagai panutan dalam segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan agama. Hal itu demi menunjukkan kepercayaan sepenuhnya terhadap hasil takwil dan ijtihad mereka di samping persetujuan atas maksud dan tujuan mereka.
Masih ada lagi beberapa kasus yang ingin kami kemukakan, yaitu yang mengacu kepada takwil atau ijtihad mereka. Cukup sedikit saja yang ingin kami tambahkan, secara singkat dan sepintas lalu. Dan semoga yang sedikit ini dapat menunjuk kepada yang tersirat di balik yang tersurat, bak kata pepatah: "Bagi seorang yang berjiwa merdeka, selintas isyarat pun cukup memadai".
Penakwilan tentang Talak Tiga
Di antaranya, penakwilan mereka mengenai "talak tiga sekaligus" dah penetapan hukum mereka terhadap hal tersebut, berlawanan dengan yang berlaku pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW serta sepanjang kekhalifahan Abu Bakar r.a. seperti yang telah diketahui.
Pada pasal "Talak tiga sekaligus" dari bab "Thalak", kitab Shahih Muslim, juz I, halaman 574, dirawikan dari 'Abdullah bin Abbas melalui beberapa rangkaian sanad: Pada masa kehidupan Nabi Muhammad SAWW, kekhalifahan Abu Bakar dan dua tahun pertama kekhalifahan Umar r.a., perbuatan "talak tiga sekaligus" dianggap satu. Kemudian Umar bin Khaththab berkata: "Banyak orang suka tergesa-gesa dalam urusan (talak) yang seharusnya mereka berhati-hati dalam memutuskannya. Maka sebagai pencegah agar mereka tidak tergesa-gesa, sebaiknya kita tetapkan saja seperti yang mereka ucapkan." Berkata Ibn Abbas selanjutnya: Sebab itu, dilaksanakanlah (kehendak Umar) itu atas mereka.***)
Keterangan tersebut di atas juga disebutkan oleh Qasim Amin dalam bukunya Tahrir Al-Mar`ah(Pembebasan Kaum Wanita) halaman 173, sebagai kutipan dari Shahih Al-Bukhari. Juga dinukil oleh Sayid Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar, jilid (bundel) IV, halaman 210, dari riwayat Abu Dawud, Nasa-i, Al-Hakim, Baihaqi. Kemudian Sayid Rasyid Ridha berkata selanjutnya: "Di antara yang menunjukkan bahwa ketetapan Umar itu berlawanan dengan ketetapan Nabi SAWW ialah hadis yang dirawikan oleh Baihaqi dari Ibn Abbas, yang berkata: Seorang laki-laki bemama Rakanah menceraikan istrinya tiga kali sekaligus dalam satu majelis (pertemuan). Atas tindakannya itu ia (Rakanah) menjadi sangat menyesal dan bersedih hati. Setelah hal itu dilaporkan kepada Rasulullah SAWW, beliau bertanya kepadanya: 'Bagaimana cara engkau menceraikannya?' Jawab Rakanah: 'Tiga kali sekaligus.' 'Dalam satu majelis (yakni satu pertemuan)?' tanya beliau. 'Ya,' jawab Rakanah. Maka Rasulullah SAWW berkata: 'Talak seperti itu hanya (dianggap) satu. Rujukilah istrimu itu jika kau ingin.'[12]
Demikian itu pula menurut mazhab kami (Imamiyah).
Sebagai tambahan dalil dari apa yang telah Anda simak tadi,[13] dan bahwa yang demikian itu merupakan hukum yang asli, perhatikanlah firman Allah SWT dalam Surah Al-Baqarah, ayat 229-230:
الطَّلاَقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلاَ تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Maksud ayat di atas, Talak (yang dapat dirujuki hanyalah) dua kali, adalah apabila suami telah menjatuhkan talak atas istrinya sebanyak dua kali, maka yang wajib atasnya sesudah itu ialah seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran; yakni tetap memperistrikannya dengan cara yang baik atau — jika tidak — melepas (menceraikan)nya dengan kebaikan pula. Kemudian Allah berfirman selanjutnya, Maka jika ia (suami) menceraikannya {yakni untuk kali yang ketiga setelah dua kali talak yang terpisah). . .tidaklah ia (si istri) halal baginya setelah itu . . . (yakni setelah talak yang ketiga) . . . sampai si istri telah mengawini seorang suami selainnya . . . (yakni suami yang kedua).
Berdasarkan ayat ini, apabila suami berkata kepada istrinya: "Engkau kujatuhi talak tiga"; padahal sebelumnya ia tidak pernah mentalaknya, atau pun jika ia hanya pernah mentalaknya satu kali, maka tidaklah ada larangan bagi keduanya untuk rujuk kembali walaupun perempuan itu belum dinikahi oleh suami yang lain. Sebab yang terlarang ialah merujukinya sesudah terjadi talak ketiga yang didahului oleh dua talak sebelumnya.
Walaupun demikian, Umar r.a. telah menakwilkan ayat tersebut serta semua dalil yang berkaitan dengan soal itu sebagai peringatan bagi mereka yang bertindak tergesa-gesa serta pencegahan bagi orang-orang jahil dan cepat naik darah.[14] Kiranya penjelasan tersebut cukup memuaskan bagi Anda mengenai sikap "memaklumi" dan memaafkan, bahkan menyetujui tindakan para penakwil.
Penambahan dalam Azan Subuh
Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan Subuh yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan muazin: "Ash-shalatu khayrun min an-naum" (shalat lebih utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman Abu Bakar. Justru Khalifah Kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga suci) Rasul SAWW Namun, cukuplah bagi Anda, riwayat-riwayat yang melalui para perawi selain mereka, seperti yang dirawikan oleh Imam Malik dalam kitab Al-Muwattha', pada bab "Tentang Seruan Untuk Shalat", bahwa muazin mendatangi Umar bin Khaththab untuk memberitahu tentang tibanya waktu shalat Subuh. Ketika dijumpainya Umar masih tidur, si muazin berkata: "Ash-shalatu khayrun min an-naum". Maka Umar memerintahkan agar kalimat itu dimasukkan ke dalam azan Subuh.
Al-'Allamah Az-Zarqani — ketika sampai pada hadis ini dalam Syarh Al-Muwattha' — menulis sebagai berikut: Berita tentang ini dikeluarkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya yang dirawikan melalui Waki' dalam kitabnya, Al-Mushannaf, dari Al-'Amri, dari Nafi', dari Ibn Umar, dari Umar bin Khaththab.
Az-Zarqani menulis selanjutnya: Ad-Daruqutni juga merawikannya dari Sufyan, dari Muhammad bin 'Ajlan, dari Nafi', dari Ibn Umar bahwa Umar berkata kepada muazin: "Jika engkau sudah menyerukanHayya 'alal-falah di waktu azan Subuh, maka katakanlah: Ash-shalatu khayrun min an-naum (dua kali)."
Ingin kami tambahkan bahwa Ibn Abi Syaibah juga telah merawikan hadis ini melalui riwayat Hisyam bin 'Urwah. Dan masih banyak lagi selain mereka.
Demikianlah, Anda dapat mengetahui tentang tidak adanya kalimat tersebut yang pernah dirawikan kepada kita dari Rasulullah SAWW Untuk itu, bila Anda ingin, telitilah kembali juz pertama kitab ShahihAl-Bukhari (Bab "Azan") atau permulaan Bab "Shalat" (Pasal tentang sifat atau cara Azan) dari ShahihMuslim. Pasti Anda akan membenarkan pernyataan kami mengenai hal ini.
Di samping itu, banyak di antara para penulis menyebutkan sebuah berita tentang asal mula disyariatkannya azan.[15] Walaupun berita itu sendiri ditolak oleh kalangan Imamiyah, namun kami akan mengutipnya demi menunjukkan kebenaran pernyataan kami di atas tentang adanya tambahan dalam teks azan. Ringkasan peristiwa itu ialah bahwa Abdullah bin Zaid bin Tsa'labah Al-Anshari pada suatu malam bennimpi bertemu dengan seseorang yang mengajarkan kepadanya teks azan dan igamat.Ketika ia bangun dari tidurnya itu, sebelum fajar, ia ceritakan mimpinya itu kepada Nabi SAWW. Beliau langsung memerintahkannya agar mengajarkah teks yang dihapalnya dalam mimpinya itu kepada Bilal. Dan beliau juga memerintahkan Bilal agar mengumandangkannya pada awal waktu fajar hari itu. Maka Bilal melaksanakannya. Dengan demikian, menurut yang mereka dakwakan itu, azan telah disyariatkan berdasarkan mimpi.
Nah, kami telah membaca teks azan yang diajarkan oleh Abdullah kepada Bilal tersebut. Meskipun hal itu adalah azan untuk waktu fajar, namun di dalamnya tidak ada kalimat "ash-shalatu khayrun min an-naum ".
Memang, dalil-dalil yang menunjukkan bahwa kalimat tersebut bukanlah bersumber dari Allah SWT atau Rasulullah SAWW, amat banyak. Sedangkan apa yang telah kami kemukakan di atas, cukup kuat memberikan gambaran adanya penakwilan mereka mengenai azan, dan cukup pula menunjukkan pemaafan bagi para pcnakwil sepanjang masa.****)
Mengurangi Kalimat dalam Azan
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah penghapusan kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" (Mari mengerjakan amal paling utama) dari azan dan igamat. Hal tersebut disebabkan mereka selalu ingin menggambarkan kepada kaum awam bahwa amal yang paling terpuji ialah jihad fi sabilillah agar mereka merindukannya dan cenderung melak-sanakannya. Sedangkan seruan kepada shalat sebagai "amal yang paling utama" sebanyak lima kali sehari,[16] pasti bertentangan dengan keinginan membangkitkan semangat untuk beiperang.
Mungkin saja mereka beranggapan bahwa dengan tetapnya kalimat tersebut dalam azan daniqamat akan menghambat kaum awam dari pelaksanaan jihad. Sebab, bilamana mereka mengetahui bahwa shalat merupakan amalan yang paling utama padahal pelaksanaannya begitu mudah dan aman, sudah barang tentu mereka akan mencukupkan diri mengerjakannya dalam upaya memperoleh pahala. Dan karena itu pula, mereka akan menjauhkan diri dari bahaya yang terkandung dalam jihad, apalagi ia kalah utama dibandingkan dengan shalat. Padahal kecen-derungan pihak waliyul-amri pada waktu itu (yakni Umar c.s.) tertuju kepada penaklukan negeri di segenap penjuru dunia.
Upaya penaklukan dan perluasan daerah kekuasaan sudah barang tentu tidak akan terwujud kecuali dengan menimbulkan semangat para pejuang agar tidak ragu-ragu menerjang bahaya. Untuk itu hati mereka harus diyakinkan sepenuhnya bahwa jihad adalah amalan paling utama yang dapat mereka harapkan pahalanya di akhirat kelak.
Oleh sebab itu, Umar lebih cenderung menghapus kalimat itu dari azan, semata-mata demi mengutamakan kepentingan tersebut di atas keharusan melaksanakan ibadah sesuai sepenuhnya dengan cara yang diajarkan dalam syariat yang suci. Dan berkatalah ia dari atas mimbarnya (seperti ditegaskan oleh Al-Qausyaji — seorang ahli ilmu kalam dalam mazhab Al-Asy'ari — dalam bukunya,Syarh At-Tajrid, bab "Al-Imamah"): "Tiga hal yang berlangsung di zaman Rasulullah SAWW; kini aku melarangnya , mengharamkannya dan menghukum pelakunya: 1. Nikah mut'ah; 2. Haji mut'ah (tamattu’);3. Kalimat hayya 'ala khayril ‘amal”.[17]
Tindakan penghapusan kalimat itu diikuti pula oleh mayoritas kaum Muslim yang datang kemudian kecuali Ahlul-Bayt serta para pengikutnya. Di kalangan para pengikut Ahlul-Bayt, kalimat "Hayya 'ala khayr al-'amal" tetap dijadikan semboyan mereka, seperti dapat diketahui dari mazhab mereka. Hal ini dapat dibuktikan, misalnya, ketika Asy-Syahid AJ-Husain bin Ali bin Al-Hasan bin: Al-Hasan bjn Ali bin Abi Thalib ("alaihim as-salam) menguasai kota Madinah pada peristiwa pemberontakan di masa Al-Hadi (seorang raja dari dinasti Abasiyah), ia (Al-Husain) memerintahkan muazin agar mengumandangkan kalimat tersebut dalam azannya. Hal ini ditegaskan oleh Abu Al-Faraj Al-Isfahani (dalam bukunya Magatil Ath-Thalibiyyin) ketika menyebutkan nama Al-Husain serta gugurnya sebagai syahid pada peristiwa yang dikenal sebagai "peristiwa Fakh".
Begitu pula Al-'Allamah Al-Halabi, pada bab "Permulaan Disyariatkannya Azan", dalam buku sejarahnya As-Sirah Al-Halabiyah, juz II, halaman 110, menceritakan bahwa Ibn Umar r.a. dan Al-Imam Zainal Abidin bin 'Ali bin Al-Husain selalu menyerukan "Hayya 'ala khayr al-'amal" sesudah "Hayya 'ala al-falah" dalam azan mereka.*****)
Perlu ditambahkan di sini bahwa hal ini dirawikan secara muta-watir dari Imam-Imam Ahlul-Bayt. Silakan menelaah hadis-hadis mereka dalam kitab Wasa-il Asy-Syi'ah ila Ahkam Asy-Syari'ah, untuk mengetahui pendapat mereka dalam hal ini.
Kita telah membahas tentang tokoh-tokoh dari kalangan salaf yang bertakwil, lalu meniadakan satu bagian dari azan dan igamat, tapi hal itu tidak mengurangi kredibilitas mereka untuk menduduki jabatan khilafah dah kepemimpinan umat. Oleh karena itu, bagaimana mungkin para penakwil setelah mereka tidak bisa dimaafkan. Atau bagaimana mungkin mereka ini tidak akan memperoleh pahala seperti halnya para penakwil sebelumnya? Mari kita bertindak jujur dalam menilai mereka.
Menciptakan Tradisi Shalat Tarawih[18]
Di antara hasil penakwilan mereka ialah shalat Tarawih yang tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah maupun masa khilafah Abu Bakar r.a. Shalat tersebut untuk pertama kali ditradisikan oleh Khalifah Kedua, pada tahun 14 H, seperti yang disepakati oleh para ulama. Hal ini ditegaskan oleh Al-'Askari dalam keterangannya tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar", dan kemudian dikutip oleh As-Sayuthi pada pasal tentang Umar bin Khaththab, dalam bukunya, Târîkh Al-Khulafa', halaman 51.
Dalam "Riwayat Hidup Umar" dari kita Al-Isti'ab, Ibn Abdil-Bar menulis: "Dia (Umar)-lah yang telah menyemarakkan bulan Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap' (yakni shalat Tarawih)."
Al-Allamah Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah, ketika menyebut kematian Umar pada rangkaian peristiwa tahun ke-23 H dalam kitab sejarahnya Raudhat Al-Manazhir[19], berkata: "Dialah orang pertama yang melarang penjualan ummahat al-aulad (hamba-hamba perempuan yang beranak dari majikannya). Dialah yang pertama kali mengimami shalat jenazah dengan empat takbir. Dan diapulalah orang pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin oleh seorang Imam .. . dan seterusnya."
Ketika As-Sayuthi menyebutkan dalam kitabnya Tarikh Al-Khulafa' tentang "Hal-hal Baru yang Diciptakan oleh Umar r.a.", yang ia kutip dari Al-'Askari, ia berkata: "Dialah orang pertama yang dijuluki Amir Al-Mukminin . . ., dan seterusnya," sampai pada keterangan, "Dialah yang pertama mentradisikan shalat Tarawih pada malam-malam bulan Ramadhan, yang pertama kali mengharamkan mut'ah, yang pertama kali melaksanakan shalat Jenazah dengan empat takbir . .. dan seterusnya."
Berkata Muhammad bin Sa'ad, ketika menceritakan biografi Umar bin Khaththab r.a. dalam Ath-Thabaqat, juz III: "Beliaulah orang pertama yang mentradisikan shalat malam-malam Ramadhan (Tarawih) dengan berjamaah. Kemudian ia menginstruksikannya ke seluruh negeri, yaitu pada bulan Ramadhan tahun 14 H. la mengangkat dua qari (imam) di Madinah; seorang mengimami sembahyang Tarawih untuk kaum laki-laki dan seorang lainnya untuk kaum wanita . .. dan seterusnya."
Pada akhir juz I, dari kitab Shahik Al-Bukhari, yaitu pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW pernah bersabda: Barangsiapa mengerjakan shalat (sunnah) pada malam bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan, akan diampuni dosanya yang telah lalu. Kata Al-Bukhari selanjutnya: ". .. sedemikian itulah keadaannya sampai Rasulullah SAWW wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum dikenal "shalat Tarawih").
Muslim, pada bab "Anjuran Shalat Malam Bulan Ramadhan", dalam kitab Shahih-nya., juz I, telah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAWW selalu menganjurkan kaum Muslim agar menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat sunnah, tanpa mewajibkannya. Dalam hal ini beliau bersabda:Barangsiapa mengisi malam-malam bulan Ramadhan dengan shalat yang disertai keimanan dan keikhlasan kepada Allah, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ketika Rasulullah SAWW berpulang ke rahmatullah, keadaannya tetap seperti itu. Begitu pula pada zaman Abu Bakar, hingga awal pemerintahan Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a.
Pada pasal "Shalat Tarawih", Al-Bukhari merawikan dari Abdur-Rahman bin 'Abd (Al-Qari)[20]katanya: Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku keluar bersama Umar menuju masjid. Kami melihat banyak orang sedang shalat sendiri-sendiri, masing-masing terpisah dari lainnya, Umar berkata: "Seandainya orang-orang itu aku kumpulkan dalam satu jamaah yang dipimpin oleh seorang imam, tentu lebih baik." Kemudian ia menetapkan niatnya itu dan mengumpulkan mereka dalam. satu jamaah yang dipimpin oleh Ubay bin Ka'ab. Sesudah itu — kata 'Abdur-Rahman — pada malam yang lain aku keluar bersama Umar lagi, sementara orang-orang sedang melaksanakan shalat mereka di belakang seorang imam. Ketika menyaksikan itu, Umar berkata: "Alangkah baiknya bid'ah ini!"
Pada awal halaman 4, juz V, kitab Irsyad As-Sari fi Syarh Shahih Al-Bukhari, Al-'Allamah Al-Qasthallani, ketika sampai kepada ucapan Umar dalam hadis tersebut (yakni, "Alangkah baiknya bid'ahini"), berkata: "la menamakannya bid'ah, sebab Rasulullah SAWW tidak menyunatkan kepada mereka untuk menunaikannya secara berjamaah. Hal itu juga belum pemah ada di zaman Khalifah Abu Bakar. Baik tentang waktu pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan ataupun tentang jumlah rakaatnya. (Yakni duapuluh rakaat seperti sekarang)."
Keterangan seperti itu dapat Anda jumpai pula dalam kitab Tuhfat Al-Bari. Hal ini tidak diperselisihkan oleh siapa pun di kalangan kaum Muslim. Maka, mudah-mudahan Anda cukup puas dengannya sebagai petunjuk atas diberlakukannya pemaafan-pemaafan bagi para penakwil.
Penakwilan dalam Ayat tentang Zakat
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah yang berkenaan dengan firman Allah SWT tentang ayat zakat. Mereka telah menghapus bagian yang disediakan bagi para muallaf dan yang ditentukan berdasarkan nash Al-Quran dan As-Sunnah. Hal itu, pada hakikatnya, merupakan sesuatu yang diketahui secara pasti sebagai bagian yang tak terpisahkan dari Agama (ma'lum min ad-din bi adh-dharurah).Telah disepakati secara meluas di kalangan semua golongan kaum Muslim bahwa Nabi SAWW senantiasa memberikan kepada mereka (para muallaf) bagian mereka itu, sampai saat akhir hidup beliau. Dan bahwa beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk menghapus bagian tersebut.
Pengarang kitab Al-Jauharah An-Nayyirah 'ala Mukhtashar Al-Quduri[21] dalam bidang fiqh mazhab Abu Hanifah, pada halaman 164, juz I, menyebutkan: "Beberapa dari para muallaf datang menghadap Abu Bakar r.a. — sepeninggal Nabi SAWW — agar ia memberikan bagian mereka seperti biasa. Maka Abu Bakar menuliskan surat perintah membayar bagian tersebut (dari uang zakat), dan mereka membawa surat itu kepada Umar (yang mengelola Bayt Al-Mal) untuk menerimanya. Akan tetapi Umar menyobeknya seraya berkata: 'Kami tidak membutuhkan kalian lagi! Allah telah memenangkan Islam dan karenanya, kalian boleh pilih: memeluk agama Islam atau kami jadikan pedang (sebagai pemutus) antara kami dan kalian!' Orang-orang itu segera kembali menemui Abu Bakar dan berkata: 'Andakah yang menjadi khalifah atau dia?' Jawab Abu Bakar: 'Dia, insya Allah!' Dengan itu, Abu Bakar menyetujui dan menetapkan keputusan Umar. Dan sejak itu pula, jumhur (mayoritas) kaum Muslim memberlakukan ketetapan penghapusan bagian untuk para muallaf. Sedemikian kuatnya ketetapan itu sehingga seandainya seseorang memberikan sebagian dari zakatnya kepada para muallaf, maka ia dianggap belum menunaikan zakat yang wajib atas dirinya, secara sepenuhnya."[22]
Mengubah Ketetapan tentang Khumus
Di antara penakwilan mereka ialah yang berkaitan dengan ayat Al-Quran tentang khumus (seperlima harta). Yaitu firman Allah SWT dalam surah Al-Anfal: Ketahuilah, sesungguhnya apa saja darighanimah[23] yang kamu peroleh, maka sesungguhnya seperlimanya uniuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnus-sabil, jika[24] memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furgan, yaitu hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. (An-Anfal: 41).
Tetapi, berlawanan dengan ayat ini, mereka menyerahkan seperlima harta (khumus) itu kepada selain orang-orang yang dimaksud dalam ayat tersebut.
Imam Malik seperti yang diketahui dalam mazhabnya, berpendapat bahwa khumus itu, semuanya, diserahkan kepada kebijaksanaan Penguasa Negeri; boleh saja diberikan olehnya kepada siapa pun juga, dan tidak seorang pun berhak menuntutnya.
Adapun Imam Abu Hanifah, seperti yang diketahui dalam mazhabnya, telah membagi harta khumusmenjadi tiga bagian; 1. diberikan kepada yatim piatu kaum Muslim; 2. para fakir miskin; 3. para ibnus-sabil. Menurut pendapatnya, tidak ada perbedaan antara kerabat Rasul dan lainnya.
Padahal Anda mengetahui bahwa nash Al-Quran telah menandaskan adanya hak dalam khumus itu, khusus bagi kerabat Rasul. Anda pun memaklumi bahwa Suhnah Nabi SAWW telah menetapkan adanya hak (saham) mereka di dalamnya, yang tidak gugur kewajiban mengeluarkannya kecuali dengan memberikannya kepada mereka. Bahkan semua golongan (mazhab) dari umat Islam sepakat bahwa Rasulullah SAWW dikhususkan baginya sebagian dari khumus itu dan sebagiannya yang lain khusus untuk sanak kerabatnya. Beliau tidak pernah berpesan kepada siapa pun untuk mengubah cara pembagian itu sampai beliau pulang ke rahmatullah.
Namun ketika Abu Bakar menduduki jabatan sebagai khalifah, ia menakwilkan dalil-dalil tentang itu lalu mengfailangkan hak (saham) Nabi SAWW dan keluarganya, ia menolak membagikan bagian darikhumus itu kepada Bani Hasyim. (Sebagaimana tercantum dalam penafsiran ayat tersebut pada kitab taf sir Al-Kasysyaf, dan lain-lainnya).
Pada akhir bab "Peperangan Khaibar", kitab Shahih Al-Bukhari, juz III, halaman 36, disebutkan bahwa Fathimah a.s. pernah mengirim pesan kepada Abu Bakar untuk menanyakan tentang harta warisannya dari Rasulullah SAWW, yaitu yang berupa hasil fai` ******) di kota Madinah dan Fadak serta sisa dari seperlima bagian harta rampasan perang Khaibar. Namun Abu Bakar menolak untuk menyerahkan kepadanya. Sebagai akibatnya Fathimah a.s. marah kepadanya, tidak mau menyapa dan berbicara dengannya sampai beliau (Fathimah) meninggal dunia, hanya enam bulan sepeninggal ayahandanya, Rasulullah SAWW Dan ketika ia wafat, suaminya (Ali r.a.) menguburnya di malam hari, secara rahasia. Dan tidak memberitahukan kepada Abu Bakar tentang kematian istrinya itu, dan karena itu pula Abu Bakar tidak ikut menshalati jenazahnya.
Peristiwa tersebut juga dapat dijumpai keterangannya dalam Shahih Muslim, jilid II, halaman 72, pada bab: ".. .Kami, para nabi, tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan adalah sedekah." Keterangan seperti itu dijumpai pula dalam beberapa bagian dari Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Pada akhir pasal "Jihad" dalam kitab Shahih-nya, juz II, Muslim telah merawikan dari Qais bin Sa'ad, dari Yazid bin Hurmuz, katanya: Najdah bin Amir (dari kelompok Khawarij) pernah menulis surat kepada Ibn Abbas, dan aku menyaksikan Ibn Abbas ketika membacanya lalu menulis jawabannya sambil berkata: "Demi Allah, seandainya aku tidak ingin mencegahnya daripada kebusukan yang menjerumuskannya, niscaya aku tidak akan mau menulis kepadanya." Maka Ibn Abbas menulis jawaban kepadanya: "Engkau telah bertanya tentang bagian (saham) bagi para kerabat Rasul SAWW yang disebutkan oleh Allah, siapakah mereka itu? Ketahuilah, sejak dahulu kami meniahami bahwa yang dimaksud dengan kerabat Rasul SAWW ialah 'kami' Yakni, Bani Hasyim – Penerj.). Namun kaum kami telah menolak memberikannya kepada kami."[25]
Hadis tersebut dirawikan pula oleh Al-Imam Ahmad dalam Musnad-nya, juz 1, halaman 294. Demikian pula ahli hadis lainnya, semuanya dengan saluran-saluran yang shahih. Dan yang demikian itu sesuai pula dengan mazhab Ahlul-Bayt dalam hadis-hadis mutawatir yang bersumber dari para Imam a.s.
Mengurangi Takbir dalam Shalat Jenazah
Di antara penakwilan mereka lainnya ialah pelaksanaan shalat jenazah dengan empat takbir saja, sebagaimana yang diketahui dari buku-buku fiqh empat mazhab serta praktek mereka. Adapun yang pertama menghimpun jamaah kaum Muslim untuk melakukannya ialah Umar bin Khaththab r.a. Amat banyak yang menyatakan hal itu, antara lain As-Sayuthi dalam bukunya, Tarikh Al-Khulafa', ketika menyebutkan "Hal-hal yang Dipelopori oleh Umar". Juga Ibn Syuhnah ketika mengisahkan meninggalnya Umar pada peristiwa-peristiwa tahun ke-23 H, dalam Tarikh-nya, Raudhat Al-Manazhir dan lainnya.
Cukuplah bagi Anda sebagai petunjuk adanya penakwilan mereka, mengenai persoalan ini, hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari Zaid bin Arqam, pada halaman 370, juz IV dalamMusnad-nya dari Abd Al-A'la yang berkata: "Aku pernah shalat jenazah di belakang Zaid bin Arqam, lalu ia bertakbir sebanyak lima kali. Seorang bernama Abu 'lsa 'Abdur-Rahman bin Abu Laila menghampirinya seraya menggandeng tangannya dan berkata: 'Lupakah engkau?' Tidak!" jawab Zaid, Tetapi aku pernah shalat jenazah di belakang kekasihku, Rasulullah SAWW dan beliau bertakbir sebanyak lima kali. Maka aku tidak akan meninggalkannya, selama-lamanya'."
Larangan Menangisi Mayat
Di antara penakwilan mereka ialah larangan menangisi orang mati, sesuatu yang telah diharamkan oleh Khalifah Kedua, Umar bin Khaththab r.a. Ketika menyebutkan tentang kematian Abu Bakar pada bab "Peristiwa-peristiwa Tahun ke-13" dalam kitab Tarikh-nya, juz IV, Ath-Thabari merawikan dengan sanad Sa'id bin Al-Musayyib, yang berkata: Ketika Abu Bakar r.a. berpulang ke rahmatullah, 'Aisyah r.a. mengumpulkan beberapa wanita untuk meratapinya. Kemudian datang Umar bin Khaththab dan seraya berdiri di balik pintu, ia melarang wanita-wanita itu menangisi kematian Abu Bakar. Namun mereka tidak mempedulikannya. Maka Umar berkata kepada Hisyam bin Al-Walid, "Masuklah dan suruh putri Ibnu Quhafah (yakni 'Aisyah) agar ia keluar!" Ketika 'Aisyah mendengar perintah Umar, ia berkata kepada Hisyam: "Aku melarang kamu memasuki rumahku!" Tetapi Umar tetap berkata kepada Hisyam: "Masuklah! Aku mengizinkan engkau!" Maka masuklah Hisyam lalu ia menggiring Ummu Farwah (saudari Abu Bakar) keluar untuk menghadap Umar. Segera Umar menderanya dengan cemeti sampai beberapa kali, sehingga wanita-wanita lainnya berhenti menangis ketika mendengar hukuman yang dijatuhkan Umar.
Umar melakukan hal itu, padahal Imam Ahmad merawikan dari Ibn Abbas (dalam Musnad-nya, jilid I, halaman 335), dalam rangka menyebutkan peristiwa kematian Ruqayyah putri Rasulullah SAWW serta ratapan kaum wanita atasnya, dengan berkata: ". .. Umar mendera mereka dengan cambuknya. Maka Rasulullah SAWW bersabda: 'Biarkan mereka menangis!' Kemudian Rasulullah SAWW duduk di tepi kuburannya, sedangkan Fathimah (putri beliau) duduk di sampingnya seraya menangis." Ibn Abbas melanjutkan: "Maka Nabi SAWW menghapus air mata Fathimah dengan baju beliau sebagai rasa kasihan terhadapnya."
Dalam Musnad-nya. pula (juz II, halaman 333), Imam Ahmad telah merawikan sebuah hadis dari Abu Hurairah, katanya: "Pemah ada iringan jenazah lewat di hadapan Rasulullah SAWW Beberapa wanita mengiringi jenazah itu sambil menangisinya, lalu Umar menghardik mereka. Maka bersabdalah Rasulullah SAWW: Biarkanlah mereka itu (menangis), sesungguhnya jiwa (mereka) itu sedang tertimpa musibah sehingga mata mencucurkan air mata."
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis di halaman 40 dalam Musnad-nya, dari Abdullah bin Umar, yang berkata: Tatkala Rasulullah SAWW pulang dari perang Uhud, sekelompok kaum wanita Anshar menangisi suami-suami mereka yang telah gugur. Maka berkata Rasulullah SAWW: "Kasihan Hamzah, tidak ada wanita-wanita yang menangisinya." Setelah itu beliau pergi tidur sejenak dan ketika ia terjaga, dilihatnya kaum wanita meratapi Hamzah. Maka beliau bersabda: "Begitulah, seharusnya mereka menangisi Hamzah."
Hadis ini dikenal secara meluas di kalangan kaum Muslim. Ibn Jarir, Ibn Atsir, penulis kitab Al-'Iqd Al-Farid, serta para ahli sejarah selain mereka telah meriwayatkan hadis tersebut.
Pada bagian riwayat hidup Hamzah, dalam buku Al-Isti'ab, yang dikutip dari Al-Waqidi, disebutkan: "Tidak seorang wanita pun dari kaum Anshar — setelah mendengar sabda Nabi SAWW, 'Kasihan Hamzah, tidak ada yang menangisinya.' — yang hendak menangisi seorang dari keluarganya, kecuali ia memulai dengan menangisi Hamzah terlebih dahulu."
Ketika mengisahkan riwayat hidup Ja'far dalam Al-Isti’ab-nya, Ibn 'Abd Al-Bar berkata: Ketika datang kepada Nabi Muhammad SAWW berita tentang kematian Ja'far, beliau mengunjungi istrinya, Asma' binti Umais, untuk ber-takziah. Kemudian masuklah Fathimah seraya menangis dan berseru, "Aduhai pamanku!" Maka berkatalah Rasulullah SAWW: "Untuk orang-orang seperti Ja'f ar inilah, hendaknya ratap tangis kaum wanita itu ditujukan."
Dalam kitab Shahih-nya, (bab "Jenazah", halaman ketiga) Al-Bukhari merawikan bahwa Rasulullah SAWW telah menangis atas kematian Zaid dan Ja'far. Demikian pula Ibn 'Abd Al-Bar (pada bagian riwayat hidup Zaid dalam Al-lsti'ab) menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW telah menangisi Ja'far dan Zaid, dan beliau berkata: "Aduhai saudara-saudaraku, penghibur-penghiburku dan kawan-kawan berbincangku...!"
Beliau juga menangis pada waktu kematian putranya, Ibrahim, sehingga bertanyalah Abdur-Rahman bin 'Auf (sebagaimana yang tercatat pada juz I dari Shahih Al-Bukhari), "Anda juga menangis, ya Rasulullah?" Jawab beliau: "Wahai Ibn 'Auf, sesungguhnya ini adalah (tanda) rahmat." Kemudian beliau menangis lagi seraya bersabda: "Mata ini mencucurkan air mata dan hati bersedih. Namun tidak sebaiknya kita mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah. Sungguh kami sangatlah sedih atas kepergianmu, wahai Ibrahim."
Semua orang mengetahui tentang ratap tangis Rasulullah SAWW atas kematian pamannya, Hamzah, sedemikian sehingga Ibn 'Abd Al-Bar, pada bagian biografi Hamzah dalam Al-Isti'ab, berkata: "Ketika Rasulullah SAWW menyaksikan Hamzah telah terbunuh, beliau menangis. Dan ketika dilihatnya tubuhnya dicincang, beliau terisak-isak."
Tercantum di akhir halaman 387, dalam kitab Syarh Nahj Al-Balaghah, juz III, Al-Waqidi menyebutkan bahwa Rasulullah SAWW, pada waktu terjadinya musibah itu, setiap kali melihat Safiyah (bibi Nabi SAWW dan saudara Hamzah) menangis, beliau pun menangis, dan setiap kali Safiyah terisak-isak beliau pun seperti itu. Demikian pula pada peristiwa kematian Ja'far tersebut, Fathimah menangis, dan ketika Rasulullah SAWW melihatnya demikian, beliau pun ikut menangis.
Pada peristiwa lainnya, Rasulullah SAWW pernah menangis atas kematian seorang bocah dari salah seorang putrinya. Menyaksikan hal itu, Sa'ad bertanya (seperti tercantum dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Muslim): "Bagaimana ini, ya Rasulullah?" Jawab Nabi SAWW: "Inilah pengaruh rahmat yang ditanamkan Allah dalam kalbu hamba-hamba-Nya. Sungguh Allah SWT hanya akan merahmati hamba-hamba-Nya yang senantiasa hatinya penuh rahmat."
Masih banyak lagi hadis semacam ini yang tiada terbilang banyaknya, dan tidak mungkin memaparkannya secara keseluruhan di sini. Cukuplah sekadar ini saja.
Adapun mengenai berita yang dirawikan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim bahwa "orang mati akan disiksa karena ratap tangis keluarganya", atau dalam riwayat lain "disiksa oleh sedikit tangisan keluarganya atasnya", atau dalam riwayat lain "diazab karena tangis yang hidup", atau riwayat lainnya lagi "disiksa dalam kuburannya disebabkan ratap tangis atas dirinya", atau dalam riwayat lain lagi "bahwa barangsiapa yang ditangisi akan disiksa"; maka semua ini merupakan kesalahan si perawi, baik menurut hukum 'aql (akal) ataupun naql (nukilan).
Telah berkata An-Nawawi ketika membahas riwayat-riwayat tersebut pada bab "Orang Mati Diazab Karena Tangisan Keluarga Atasnya", dalam bukunya Syarh Kitab Shahih Mttslim: "Semua riwayat ini bersumber dari Umar bin Khaththab dan putranya, Abdullah bin Umar." Kata An-Nawawi selanjutnya: "Aisyah menyanggah ucapan kedua mereka itu." seraya menyatakan bahwa hal tersebut semata-mata akibat kealpaan atau kesalahpahaman. Kemudian Aisyah menunjuk kepada firman Allah:
... Tidaklah seseorang memikul dosa orang lain. (Al-An-'am: 164).
Selain yang disebutkan oleh An-Nawawi, Ibn Abbas r.a. telah menolak pula riwayat-riwayat tersebut dan menegaskan bahwa hal itu disebabkan kesalahan perawinya. Penjelasan tentang hal itu dapat dibaca dalam kedua kitab Shahih serta Syarh-nya. Pendapat Aisyah mengenai ini bertentangan secara diametral dengan pendapat Umar, sedemikian sehingga ia menyelenggarakan ratapan ketika ayahnya (yakni Abu Bakar) meninggal dunia. Dan pada saat itu terjadi kericuhan antara mereka, seperti telah Anda baca sebelum ini. Rincian peristiwa ini termuat dalam buku kami berjudul, Al-Asalib Al-Bada’iyah fi Rujhani Ma`atim Asy-Syi'ah. Juga dalam mukadimah Majalisuna Al-Fakhirah fi Ma`atim Al-'Itrah Ath-Thahirah, yang telah dicetak tahun 1332 H.
Aneka Kasus Lainnya (Secara Singkat)
Masih ada lagi kasus-kasus penakwilan mereka selain yang telah kami ketengahkan di atas. Seperti penggeseran yang mereka lakukan terhadap maqam Nabi Ibrahim a.s. ke tempatnya yang sekarang,[26]yang tadinya menempel pada Baytullah (Ka'bah). Juga perluasan Al-Masjid Al-Haram pada tahun 17 H dengan menggabungkan beberapa rumah penduduk sekitamya, walaupun para pemiliknya menolak untuk menjualnya. Namun Umar r.a. merobohkannya secara paksa lalu menitipkan uang harganya di Bayt Al-Mal sampai pada akhirnya mereka menerimanya.[27]
Demikian pula vonis yaiig dijatuhkannya atas sekelompok orang Yaman agar mefeka membayardiyat (denda pembunuhan) Abu Khirasy Al-Hudzali, seorang penyair dari kalangan Sahabat yang terkenal.[28] Sebelum itu, mereka datang bertamu di rumah Abu Khirasy. Ketika Abu Khirasy keluar mencari air untuk mereka, seekor ular menggigitnya sehingga ia mati. (Maka Umar menghukum mereka karena itu).
Juga hukuman pembuangan ke kota Basrah yang dijatuhkan oleh Umar atas diri Nashr bin Hajjaj, semata-mata karena seorang wanita cantik memujanya dalam nyanyian.[29]
Ada juga peristiwa Umar berkaitan dengan hak warisan yang dibagi antara datuk dan saudara sekandung, yang pada akhirnya, Umar membatalkan keputusannya semula dan kemudian mengikuti pendapat Zaid bin Tsabit Al-Ahshari.[30]
Demikian juga penakwilannya terhadap firman Allah SWT tentang larangan memata-matai. Hal itu dilakukannya karena berpendapat bahwa tindakan tersebut bermanfaat bagi negara maupun rakyat. Oleh s.ebab itu, ia melakukan perondaan rahasia pada siang maupun malam hari untuk memata-matai rakyat dan mengawasi tindakan kejahatan yang mungkin mereka rencanakan. Al-Ghazali menyebutkan dalatn Ihya 'Ulum Ad-Din, bahwa ketika Umar melakukan perondaan rahasia di malam hari, ia mendengar — di salah satu perkampungan kota Madinah — seorang laki-laki yang sedang bersenandung menyanyikan lagu di dalam rumahnya. Lalu Umar memanjat pagar untuk mengintainya dan dilihatnya laki-laki itu berduaan dengan seorang wanita dan sebotol khamr di hadapannya. Maka Umar berkata kepadanya: "Wahai musuh Allah, apakah kau kira Allah akan menutupimu sedangkan engkau bermaksiat terhadap-Nya?" Orang itu menjawab: "Sekiranya aku melakukan satu maksiat, Anda telah melakukan tiga maksiat sekaligus. Allah SWT telah berfirman: Jangan memata-matai! (Al-Hujurat: 12); sedangkan Anda memata-matai. Dan Allah telah berfirman: Tidaklah termasuk kebaikan jika kamu mendatangi rumah-rumah melalui 'punggung' (belakang)-nya . .. (Al-Baqarah: 189); sedangkan Anda telah meloncati pagar rumahku. Dan Allah telah berfirman: Hai orang-orang beriman, jangantah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya ... (An-Nur: 27); sedangkan Anda telah memasuki rumahku tanpa izin ataupun salam!" Maka Umar berkata: "Apakah engkau ingin kembali ke jalan yang baik, andaikata aku memaafkan engkau?" Jawab orang itu: "Ya." Maka Umar meninggalkan orang itu dan segera keluar.
Masih banyak lagi kasus yang ditangani oleh Umar berdasarkan ijtihad atau penakwilannya yang menyimpang dari pengertian nash-nash yang jelas. Semua itu semata-mata demi memperkukuh bangunan politik kenegaraan dan demi memudahkan pengelolaan segala urusannya. Yaitu dengan mendahulukan kepentingan kerajaan dan mengutamakan pembinaan kekuatan lebih daripada menerapkan nash-nash itu secara konsekuen. Seperti penetapan pajak kharaj atas penduduk daerah-daerah Irak dan sekitamya, cara pengaturan jizyah, pembentukan panitia syura (untuk memilih khalifah sepeninggalnya). Juga seperti dalam ucapannya pada waktu itu: "Andaikata Salim (bin Ma'qal, hamba sahaya Abu Hudzaifah) masih hidup, niscaya akan kuangkat ia sebagai khalifah penggantiku.[31]Padahal telah disepakati (secara ijma')[32] berdasarkan nash maupua fatwa, mengenai tidak sahnya menyerahkan tampuk kepemimpinan umum (imamah) kepada seseorang seperti dia. Hal itu mengingat bahwa ia (Salim) dari bangsa Parsi (dari kota Isthakhr atau Kirmid) yang menjadi budak dari istri Abu Hudzaifah, yang berasal dari kaum Anshar.•
*) Istilah takwil, menakwilkan, penakwilan dan sebagainya akan sering Anda jumpai dalam buku ini. Asal kata takwil berarti penafsiran suatu ucapan, dan dapat juga digunakan untuk penafsiran mimpi. Kemudian kata takwil digunakan untuk penafsiran Al-Quran. Seperti yang digunakan oleh Az-Zamakhsyari dalam tafsimya berjudul Al-Kassyaf 'an Haga'ig At-Tanzil wa 'Uyun Al-Agawil fi Wujuh At-Ta`wil. Adakalanya kata takwil identik dengan kata ijtihad yang positif, tetapi adakalanya juga berkonotasi negatif, yaitu ijtihad atau penafsiran yang dilakukan demi tujuan-tujuan pribadi atau suatu golongan, dan bukan demi kebenaran. Semua arti ini tentunya dapat dipahami sesuai konteksnya masing-masing — penerj.
**) Ucapannya ini ditujukan kepada beberapa tokoh kaum Muhajirin seperti Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah, sebagai tantangan untuk berperang — penerj.
[1] Bacalah bagian akhir bab "Perang Khaibar", halaman 36, dalam Shahih Al-Bukhari, jilid III, cetakan Mesir tahun 1309 H. Dan pada catatan kakinya terdapat komentar As-Suddi. Atau bacalah kitab Shahih Muslim pada bagian "Jihad", bab "Sabda Rasulullah SAWW: Kami (para Nabi) tidak diwarisi. Semua yang kami tinggalkan merupakan sedekah" (juz II, halaman 72, cetakan Mesir, tabun 1327 H). Anda akan memperoleh keterangan yang jelas mengenai penolakan untuk ber-bai'at dengan sanad sampai Um Al-Mukminin Aisyah r.a.
[2] Kitab ini (Raudhah Al-Manadzir) dan Muruj Adz-Dzahab, keduanya tercetak di samping kitab Al-Kamil karya Al-Atsir. Adapun Muruj Adz-Dzahab tercetak bersama kelima jilid pertama dari kitab Al-Kamil tersebut. Sedang kitab Tarikh Ibn Asy-Syahnah, tercetak di samping jilid terakhir yang terdiri atas juz XI dan XII. Adapun yang kami nukilkan di sini, dapat Anda baca pada halaman 112, juz XI.
[3] Lihat Muruj Adz-Dzahab yang tercetak di samping buku Al-Kamil karya Ibn Al-Atsir, halaman 259, pada akhir jilid VI.
[4] Ath-Thabrani telah merawikan dalam kumpulan hadisnya, Al-Ausath, dari Ummu Salamah, yang berkata: Aku pemah mendengar Rasulullah SAWW bersabda: "Ali bersama Al-Quran dan Al-Quran bersama Ali. Kedua-duanya tidak akan berpisah sampai bertemu kembali denganku di Al-Haudh (di Surga)." (Hadis ini dinukil dari kitab Ash-Shawa'iq Al-Muhriqah,Pasal II, Bab IX, halaman 74).
[5] Ucapannya itu dan kedua bait syair sesudahnya termuat pada berita tentang Saqifah dalam kitab Al-'Iqd Al-Farid.
[6] Ucapannya ini dan kedua bait syair sesudahnya terdapat pada berita tentang Saqifah dalam buku Al-Kâmil karya Ibn Atsir.
[7] Dikutip dari Al-Kâmil karya Ibn Atsir.
[8] Shahih Al-Bukhari, juz HI, akhir Bab "Peperangan Khaibar", halaman 36. Juga pada juz IV, halaman 105, awal kitab "Al-Faraidh" dari Shahih tersebut. Juga disebutkan dalam kitab Shahih Muslim, juz U, halaman 72, bab "Sabda Nabi SAWW: Kami (para nabi) tidak mewariskan kepada siapa pun; apa yang kami tinggalkan menjadi sedekah".
[9] Syarh Nahj Al-Balaghah, jilid IV. Yang pertama termuat pada halaman 79, sedangkan yang kedua termuat pada halaman 87.
[10] Penulisnya ialah Abu Al-Fadhl bin Abi Thahir, wafat tahun 280 H. Bacalah halaman 16 dan 23.
*****
Menurut Al-Qur'an Definisi Mut'ah adalah Pemberian, Sedangkan Definisi Mut'ah Menurut Wiki Adalah Kawin Kontrak. Anda Berperpegang Sama Al-Qur'an atau Wikipedia Buatan Yahudi? Ternyata Wikipedia punya Zionist!!!Berikut Penjelasannya:
Menurut Wikipedia Pengertian Mut'ah
Nikah mutah
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Halaman ini belum atau baru diterjemahkan sebagian dari bahasa Melayu. Bantulah Wikipedia untuk melanjutkannya. Lihat panduan penerjemahan Wikipedia. |
Pandangan Sunni
Tata cara
Mutah boleh terjadi dengan cara;- Tanpa wali, saksi dan perisytiharan.[3]
- Di mana-mana saja di antara seorang lelaki dan seorang perempuan.
- Dengan perempuan Yahudi, Nasrani dan perempuan pelacur sekalipun.[4]
- Walaupun tidak mengetahui sama sekali bahwa perempuan itu bersuami atau tidak.[5]
- Dengan perempuan dalam lingkungan umur minimal 10 tahun.[6]
- Dengan bayaran mas kawin yang tidak terlalu besar, hanya memadai dengan segenggam gandum atau segenggam makanan atau buah tamar atau satu dirham bahkan kurang lagi dari satu dirham.[7]
- Dengan perempuan tanpa batasan jumlah. Ia tidak terbatas kepada empat orang saja.[8]
- Untuk jangka masa tertentu seperti 2 tahun, 2 bulan, sebulan, seminggu atau sehari.[9]
- Dengan seseorang perempuan beberapa kali. Perempuan itu tidak haram kepadaa lelaki yang telah melakukan melakukan mutah dengannya walaupun beberapa pada kali yang ke-3 (talak tiga) bahkan pada kali yang ke-1000 sekalipun.[10]
- Dengan bayaran maskawin secara ansuran dan tidak memberi sebagian daripada maskawin mengikut keadaan hari atau masa keengganan perempuan bergaul dengan lelaki yang mengadakan aqad mutah dengannya. Misalnya mereka mengadakan akad mutah untuk 10 hari dan menentukan maskawinnya sebanyak RM 100.00 tetapi si lelaki bimbang perempuan yang dia lakukan mutah dengannya itu tidak akan memenuhi tempo yang dipersetujui itu maka bolehlah ia mengakad mutah dengan bayaran maskawinnya secara beransur-ansur. Jadi jika perempuan itu hanya memenuhi kepuasan lelaki tersebut selama 5 hari sahaja, maka lelaki itu perlu membayar RM 50.00 saja.[11]
Rujukan
- ^ http://www.sensagent.com/dictionnaires/ar-en/متعة/ALEXMN/
- ^ 'Adil Abdul Mun'im Abu Al-'Abbas. 2011. Perkawinan & Rumahtangga: Syurg yang Disegerakan. Kuala Lumpur: Inteam Publishing Sdn. Bhd.
- ^ At Thusi- Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 248 , 249 , 254 , An Nihayah hal. 489
- ^ Khomeini-Tahriru Al Wasilah jil. 2 hal. 292
- ^ Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 253, An Nihayah hal. 489
- ^ Al Istibshar j. 3 hal. 461, Al Furu’ Min Al Kafi jil . 5 hal. 463
- ^ Al Furu’ Min Al Kafi jil. 5 hal 457 , Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 260
- ^ Jaafar As Shadiq bahawa dia ada berkata, "Berkawinlah dengan mereka secara mutah walaupun sampai 1000 orang kerana mereka itu termasuk di antara perempuan sewaan" . (Al Istibshar j. 3 hal. 461, Tahzibu Al Ahkam j. 7 hal. 259, Wasaailu As Syiah jil, 14 hal, 446, Al Furu ‘ Min Al .Kafi jil. 5 hal. 452)
- ^ Sekurang-kurang tempoh bagi mutah itu boleh dilakukan mengikut sebagaimana yang tersebut di dalam riwayat ( Syiah ) dari Ali bin Muhammad Al Jawad (Imam yang ke-10 Syiah ) bahawa dia pernah ditanya, "Berapa lamakah sekurang-kurangnya tempoh bagi mutah itu boleh dilakukan? Adakah harus seseorang melakukan mutah dengan syarat sekali persetubuhan?, "Ya, tidak mengapa. Tetapi bila selesai (daripada persetubuhan itu) hendaklah ia memalingkan mukanya dan tidak memandang lagi kepada perempuan itu. (Al Furu’ Min Al Kafi j. 5 hal 460. Tahzibu Al Ahkam jil. 7 hal. 267)
- ^ Ini tersebut di dalam riwayat Syiah dari Aban bahawa ada orang bertanya Jaafar As Shadiq tentang bolehkah seseorang melakukan mutah dengan sesorang perempuan beberapa kali? Jaafar Al Shadiq menjawab, "Tidak mengapa, ia boleh melakukan mutah dengannya seberapa kerap yang dikehendakinya". Al Furu ‘ Min Al Kafi jil . 5 hal. 460, Wasaailu As Syiah jil. 14 hal. 480.
- ^ Ini berdasarkan riwayat mereka (Syiah) daripada Umar bin Hanzalah katanya, "Aku bertanya Jaafar As Shadiq; Bolehkah aku mengadakan aqad mutah dengan seorang perempuan selama sebulan dengan tidak memberikan kepada perempuan itu sebahagian daripada maskawinya? Jaafar As Shafiq menjawab, "Ya, boleh. Ambillah daripadanya sekadar masa keengganannya (untuk bergaul denganmu). Jika setengah bulan ambillah separuh, jika sepertiga bulan ambillah satu pertiga."(Al Furu’ Min Al Kafi j.5 hal.461,Wasaailu As Syiah jil.14 hal.481,Biharu Al Anwar jil.100 hal.310)
_______________________________________
Artikel palsu ini ternyata bertahan di Wikipedia selama 10 tahun!
Seperti diketahui, Wikipedia dikenal sebagai salah satu referensi terlengkap dan terpercaya yang pernah ada. Namun siapa sangka jika situs berusia 15 tahun ini ternyata menyimpan artikel palsu selama 10 tahun?
Menurut laman Tech Insider (04/02), hal ini pertama kali ditemukan oleh salah seorang editor bernama 'Calamondin12'. Sementara itu, artikel palsu tersebut adalah bercerita tentang karakter fiktif bernama Jack Robichaux.
Di artikel itu, Robichaux digambarkan sebagai seorang pemerkosa berantai Amerika Serikat di abad ke-19. Selain pemerkosa, ia juga disebutkan sebagai seorang musisi Jazz profesional di New Orleans.
Dari penelusuran Calamondin12, pemain musisi Jazz bernama belakang Robichaux ternyata memang benar-benar ada. Hanya saja, nama depannya adalah John. Sehingga, nama Jack Robichaux tak lain hanyalah fiktif.
Menurut informasi yang beredar, artikel palsu Jack Robichaux dibuat oleh dua orang sahabat bernama Bill Maas dan Van Robichaux. Mereka berdua pun mengaku membuat karakter fiktif itu hanya karena bermotif iseng belaka.
"Kami hanya ingin menyajikan informasi palsu di Wikipedia, kurang lebih hanya sebagai tantangan. Kami sudah coba banyak artikel sebelumnya, namun selalu gagal (kecuali Jack Robichaux)," ujar Maas.
Sebuah fakta menariknya, bertahan selama 10 tahun ternyata membuat artikel Jack Robichaux tercatat sebagai artikel palsu terlama (yang dapat bertahan) dalam sejarah Wikipedia.
____________________________________
Ternyata Wikipedia punya Zionist!!!
BAHAYA SITUS WIKIPEDIA
Anda tentu sangat familiar dengan situs Wikipedia.Wikipedia adalah encyclopedia di internet, dimana siapapun bisa mengubah dan menambahkan informasi di sana. Wikipedia mengklaim bahwa artikel dan ilmu pengetahuan pada web mereka berada pada posisi netral. Sangat menakjubkan bahwa Jumlah pengunjung pada situs ini mencapai 2,5 milyar per bulan.
Perlu diketahui bahwa Sang moderator pada situs ini ternyata adalah seorang yang pro terhadap Yahudi!!
Siapakah yang membuat wikipedia?
Larry Sanger, dan Jim Wales, adalah dua orang yang mendirikan Wikipedia pada bulan Januari 2001. Wikipedia merupakan cabang resmi dari Nupedia, yaitu sebuah encyclopedia yang mempunyai label lebih formal.
Pada saat Sekarang Wales memegang penuh atas wikipedia, Karena Sanger meninggalkannya pada tahun 2002, Sanger adalah seorang profesor/dosen pada sebuah perguruan tinggi di Ohio.
Beberapa nama seperti Jeremy Rosenfeld, Benjamin Kovitz, Seth Cohen, mereka berperan sebagai staf teknik
Kenyataannya bahwa sang moderator dengan terbuka mengakui bahwa mereka memang pro terhadap Yhudi.
Siapakah Jim Wales?
Wales dilahirkan di Huntsville, Alabama, belajar pada sekolah eksklusif Randolph Prep school, kemudian Melanjutkan ke Universitas Alabama.
Setelah lulus, dia menjadi seorang pialang saham di Chicago.
Situs Bomis.com adalah sebuah situs Dewasa yang ia buat, diikuti oleh Nupedia, yang berubah menjadi Wikipedia.
wales, adalah orang kesayangan dari kelompok Yahudi di harvard, menjadi anggota di the berkman center untuk internet and sociaty di harvard law school
Apakah Bomis.Com itu?
‘Bomis’ adalah situs dewasa, dibuat oleh Wales, tetapi Wikipedia menyebutnya sebagai situs erotika.
sebuah situs yang menampilkan tipe gambar p#rn#, (peringatan - isi situs ini amat p#rn#)
System kontrol pada Wikipedia
Wikipedians (sukarelawan Yahudi) memusatkan pikiran pada subyek tertentu, dan mengaktifkan setiap sistem replay artikel yang baru masuk.
Ketika seseorang menulis artikel pada situs tersebut, maka nomer ISP-nya akan tercatat, dan dia diberi sayanim yang akan mengamati semua tulisan selanjutnya.
Penyumbang artikel diberi halaman tracking, untuk membuka rekaman semua tulisannya.
penyumbang artikel akan diamati oleh Hillel, ADL, SPLC, yaitu semacam agen pengontrol
Sebuah contoh kasus
Pada tahun 1967, dengan persetujuan Lyndon Johnson, Israel menyerang Mesir secara mendadak.
Mencoba untuk membuat ‘False Flag’ yang ditujukan ke Mesir, Zionis menyerang USS Liberty, membunuh 44 dan melukai 177.
Serangan gagal ketika tiga kapal torpedo menyerang pada pangkalan terakhir mereka, mereka bertubrukan, dan tembakan mereka menghancurkan kapal.
Liberty meminta bantuan kepada USS Saratoga, dan Israel dipaksa untuk menghentikan serangan mereka.
Versi Wikipedia
Interpretasi mereka bahwa serangan tersebut adalah kesalahan, mereka mengklaim diri mereka tidak bersalah, kapal torpedo sebetulnya adalah kendaraan penyelamat, yang ditembaki oleh USS, dan Israeli membela diri dengan alasan mereka tidak bersalah
Dr Fredrick Toben
Dr. Toben adalah seorang sejarawan dan sarjana Jerman, dibesarkan di Australia, dan bekerja di Adelaide Institue.
Dia menulis tentang penelitiannya mengenai ‘Bencana Yahudi’.
Kemudian Kontributor Wikipedia menulis halaman yang memfitnahnya, dan ketika dia bermaksud menyangkal tuduhan palsu tersebut, sayanim menghilangkan semua komentarnya.
Versi Wikipedia
Toben adalah monster, yang bergaul dengan penjahat, dan ia sendiri adalah seorang narapidana
Theresienstadt
Pada tahun 1941, Jerman memberikan sebuah kota untuk orang2 Yahudi sebagai tempat perlindungan.
Akan tetapi orang Yahudi kemudian mengubah sejarah, dan mereka mengatakan bahwa tempat tersebut adalah perkemahan kematian.
Ketika film dokumenter 1943 diposting ke dalam halaman Theresienstadt di Wikipedia, Hillel Wikipedians dengan cepat menghapusnya, dan mengatakan bahwa hal tersebut adalah propaganda dan bencana denial
Versi Wikipedia
Theresienstadt adalah lubang neraka Nazi, di mana orang Yahudi dibiarkan kelaparan hingga mati, lalu dibuang di Auschwitz
Darimana Wikipedia mendapat Dana?
Menurut pendirinya, James Wales, wikipedia hidup dari dana bantuan dan sumbangan perseorangan yang kecil
Bagaimana kejadian sebenarnya?
Dari seluruh informasi yang ada, Wikipedia dijalankan oleh dua orang anak Yahudi, satu programmer, dan satu lainnya adalah operator pada situs ‘adult site’.
Dinamika keberhasilan (800.000 halaman) tangkai dari 10.000 + penyumbang perseorangan, yang diamati oleh inti sayanims.
Klaim Wikipedia: ~ ‘Kami adalah internet encyclopedia dengan posisi netral ‘ ~ adalah MUSTAHIL.
Proyek ini adalah usaha untuk menguasai penelitian mahasiswa di Internet.
di mana subyek Google akan memperlihatkan Wikipedia sebagai salah satu peserta pertama dalam tampilannya.
sebagai contoh : jika kita mengetikkkan kata Bolshevik pada kolom pencari google, maka Wikipedia akan tampil pada urutan pertama.
Jika untuk menJelajahi versi mereka, anda tidak akan menemukan sesuatu yang paling kecil sekalipun tentang gerak-gerik Yahudi yang mengobarkan pertumpahan darah, dan bertanggungjawab atas 20.000.000 kematian
Jadi kita masihkah kita menggunakan refrensi untuk artikel kita dengan wikipedia???
http://dhymas.wordpress.com/bahaya-situs-wikipedia/
Dan ada source2 lain dalam bahasa Inggris:
http://steve-lewis.blogspot.com/2008...i-judaism.html
http://www.wakeupfromyourslumber.com/node/6811
Sumber: http://indonesiaindonesia.com/f/43569-ternyata-wikipedia-punya-zionist/
______________________________________
Kita Kembali Ke Mut'ah;
Mut'ah Menurut Al-Qur'an
Menurut Al Qur'an Mut'ah Adalah Pemberian Bukan Nikah Kontrak.
Kedudukan Mut'ah halal menurut Al-Qur'an, Sedangkan Haram Menurut Umar bin Khattab. Apakah Umar itu Tuhan Yang menentukan Ayat-Ayat Allah Swt?
Allah Swt Berfirman dalam Al-Qur'an dalam 3 Ayat sbb:
3 Ayat Al-Qur'an Tentang Mut'ah, Al-Baqarah (2:241 dan 2:236) dan Al-Ahzab 33:49
1. Al Baqarah Ayat 241 - 250 Dan Terjemah:
241. وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖحَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.
242. كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ الَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.
243. ۞ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ الَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚإِنَّ الَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
244. وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ الَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ الَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
245. مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ الَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚوَالَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
246. أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ الَّهِ ۖقَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖقَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ الَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا ۖفَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۗوَالَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
247. وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ الَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚقَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚقَالَ إِنَّ الَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖوَالَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚوَالَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
248. وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَىٰ وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ ۚإِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
249. فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ الَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚفَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۚفَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚقَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو الَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ الَّهِ ۗوَالَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
250. وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".
2. Al Baqarah Ayat 236 Dan Terjemah:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
* * *
Turunnya ayat ini menurut riwayat didahului oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat dari kaum Ansar yang menikahi seorang perempuan. Dalam akad nikahnya tidak ditentukan jumlah mahar. Dan sebelum ia bercampur, istrinya tersebut telah ditalaknya. Setelah turun ayat ini maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memberikan mutah (hadiah) kepada bekas istrinya itu meskipun hanya berupa pakaian tutup kepala.
Seorang suami yang menjatuhkan talak pada istrinya sebelum bercampur dan sebelum menentukan jumlah maharnya ia tidak dibebani membayar mahar tetapi ia diwajibkan memberi mutah, yaitu pemberian untuk menimbang-rasa bekas istrinya. Besar kecilnya jumlah pemberian tersebut tergantung pada suami, yang kaya sesuai dengan kekayaannya dan yang tidak mampu sesuai pula dengan kadar yang disanggupinya. Pemberian mutah tersebut merupakan suatu kewajiban atas laki-laki yang mau berbuat baik.
3. Al Ahzab Ayat 49 Dan Terjemah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Silahkan Perhatikan Ayat-Ayat Al-Qur'an
Post a Comment
mohon gunakan email