Nikah Mut’ah Sama dengan Zina?
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.
Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan dibahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.
Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.
Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)
Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.
Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah
Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.
Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?
Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.
Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.
Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.
Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.
Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.
Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).
Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.
Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.
Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?
Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).
Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.
Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?
Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.
Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.
Penutup:
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).
Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59)
Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)
Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.
Tujuan Nikah Mut’ah (fleksibel)
Pernikahan mut’ah tidak dimaksudkan sebagai sautu alternatif untuk pernikahan permanen, tapi sebaliknya merupakan suatu pilihan bagi orang-orang yang tidak mampu memenuhi syarat-syarat pernikahan permanen. Menyatakan bahwa pernikahan permanen pasti memenuhi semua kebutuhan adalah pendapat yang bodoh berdasarkan pengamatan yang cermat atas masyarakat. Imam Ali as, dikutip telah mengucapkan hal berikut tentang ini “Ia (pernikahan fleksibel) dibolehkan dan secara mutlak diizinkan bagi siapapun yang kepadanya Allah belum menyediakan sarana pernikahan permanen sehingga ia bisa disucikan dengan melakukan mut’ah” (Wasa’il, jld 14, hal 449-450).
Di masyarakat modern, pernikahan mut’ah (fleksibel) bisa memenuhi kebutuhan sesorang yang telah melakukan perjalanan untuk waktu yang lama dan membutuhkan persahabatan, atau seseorang yang tidak menemukan pasangan yang tetap.
Demikian juga ia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang yang tidak mempunyai sarana-sarana finansial untuk melakukan suatu pernikahan dan kemudian membaiyai istrinya secara finansial. (syarat bahwa si lelaki menjaga pasangannya menurut sarana-sarana finansialnya dan menurut apa yang si perempuan terbiasa tidak punya, diterapkan dalam perkawinan fleksibel).
Janda-janda yang lebih tua yang memiliki sedikit kesempatan menemukan pasangan tetap lain yang lebih realistis bisa lebih mudah mendapatkan pasangan temporer unutk memenuhi kebutuhan persahabatan.
Demikian juga halnya kaum muda yang belia memikul tanggung jawab pernikahan permanen namun khawatir melakukan dosa, bisa bertemu dalam pernikahan mut’ah secara sah. Kasus terakhir tidak dengan sendirinya memberi kebebasan bagi kaum muda untuk secara bebas bercampur baur dengan jenis kelamin yang berbeda dan melakukan hubungan intim.
Suatu syarat yang membenarkan terhadap penyalah gunaan ini adalah syarat dimana seorang perawan mendapatkan izin dari ayahnya untuk melangsungkan hubungan pernikahan, termasuk mut’ah, kecuali jika si ayah menemukan seseorang yang sulit dalam hal itu. Lebih jauh, biasanya diperlukan suatu syarat pernikahan sehingga hubungan seks (bebas) tidak terjadi.
Mut’ah adalah jalan untuk menghindari dosa ketika pernikahan permanen tidaklah mungkin.
Sekarang ini sebagian kaum muslim melakukan dosa sebelum pernikahan mereka dilangsungkan dengan pasangan pernikahan mereka. Islam menjelaskan bahwa saling menyentuh, memandang bagian-bagian tubuh orang lain yang harus ditutup, dan mengunjungi yang belum berpasangan diantara pria dan wanita adalah dosa, kecuali jika mereka sudah menikah atau punya hubungan (nasab) yang erat.
Pertunangan bukanlah pernikahan. Akan tetapi, pasangan-pasangan tersebut melibatkan diri mereka lebih jauh dalam perilaku ini (hubungan intim) yang semestinya terjadi dalam pernikahan. Alternatif logis untuk menghindari dosa adalah hanya dengan melangsungkan pernikahan mut’ah sebelum pernikahan permanen sehingga pasangan tersebut bisa memastikan bahwa mereka saling serasi.
Mut’ah acap disebut sebagai pernikahan demi kenikmatan dan disetarakan dengan prostitusi (pelacuran). Si pria menyerahkan kepada wanita mahar dan mereka saling menikmati dan kemudian melanjutkannya. Tetapi, sesungguhnya, mut’ah mungkin lebih sering terjadi tanpa adanya hubungan seks ketimbang dilakukan demi kepuasan seksual semata. Mut’ah –tidak seperti halnya pernikahan permanen- bisa memiliki syarat-syarat yang diajukan, termasuk (misalnya) syarat yang paling umum, yang berisikan pasangan tidak berhubungan seks. Jadi, tujuan pernikahan mut’ah adalah persahabatan dan mengenal lebih dalam orang lain dan bukan sekedar kesenangan seksual. Mut’ah berbeda dengan prostitusi. Karena didalam mut’ah ada suatu ikatan dihadapan Tuhan dan setiap anak yang lahir dari hubungan tersebut sah!
Ini semua merupakan pengertian dari kata perkawinan. Sebagaimana halnya pernikahan permanen, wanita mempunyai masa penantian (idah) setelah berakhirnya pernikahan sebelumnya dimana ia bisa mengambil pasangan lain. Seorang wanita tidak mungkin mampu mencari uang dari mut’ah karena secara hukum dia pasti memiliki pasangan kurang dari setengah lusin dalam setahun (yakni dengan memasukkan waktu idah di dalamnya).
Dengan cara ini, jelaslah mut’ah tidak sama dengan pelacuran. Pembayaran suatu mas kawin terjadi di dalam mut’ah, tapi tidak sama dengan pelacuran sebab pembayaran itu bukanlah untuk hubungan seks, tapi alih-alih demikian ia serupa dengan tujuan maaskawin yang diserahkan dalam perkawinan permanen. Lebih jauh, ia pun tidak sama dengan pelacuran sebab seorang lelaki tidak diharapkan untuk menikah seorang perempuan dengan melepaskan nilai-nilai akhlak dan terlarang untuk menikahi perempuan non muslim manapun dalam pernikahan fleksibel jika ia (pria) telah dinikahkan dengan seorang muslimah.
Watak sementara dari mut’ah dapat dilihat dari perkataan imam Ali as : “Ia (pernikahan mut’ah) diizinkan dan secara mutlak dibolehkan bagi seseorang yang tidak diberi Allahsarana perkawinan permanen, supaya ia bisa suci dengan pernikahan mut’ah” (Wasail, jld 14, hal 449-450).
Diambil dari buku terjemahan seeking the straight path; reflections of a new muslim karyaDiane (masooma) beaty.
Tidak Ada Satupun Ayat yang Menghapuskan Ayat Mut’ah
Seluruh ayat yang menerangkan tentang warisan, talak, iddah tidak dapatdijadikan penghapus (nasikh) ayat yang menerangkan tentang nikah mut'ah[Q.S. An-Nisaa' 24], termasuk juga ayat tentang penjagaan aurat. Mereka menganggap bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah tidak berstatus isteri dikarenakan sebab-sebab tersebut.
Alasan penolakan argumen mereka tersebut adalah :
1. Rasul SAWW menggunakan lafadz "pernikahan" saat berbicara tentang nikahmut'ah ini, seperti :
"Barangsiapa yang mengawini seorang wanita dengan batas waktu maka berilah hak-haknya"
Muslim dalam Shohih-nya juga meriwayatkan hadits yang menggunakan istilah"pernikahan" pada nikah mut'ah, berdasarkan riwayat Abi Nadhrah.Lafadz "pernikahan" tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah berstatus sebagai isteri
Ref. :
a. Abdurrozaq, dalam "Mushannaf", juz 7, hal. 504
b. Shohih Muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat Haji dan Umroh".
2. Kalimat sebelum ayat mut'ah itu sendiri adalah :
"Dan dihalalkan bagi kalian untuk mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina"
Yang kemudian dilanjutkan dengan ayat mut'ah (famastamta'tum bihinna...) tersebut.Sehingga jelas sekali bahwa mut'ah merupakan perkawinan bukan perzinaan.Bila "mut'ah" diartikan sebagai "dinikmati/dicampuri", maka mahar mesti diberikan secara penuh setelah wanita tersebut "dicampuri", berdasarkan ayat mut'ah tersebut.
Sementara, semua ahli fikih mengatakan bahwa maharwajib diberikan secara penuh pada wanita setelah ia dinikahi, walaupun wanita tersebut belum "dicampuri".
Sebagaimana firman Allah SWT dalam [Q.S 4:25]
"Nikahilah mereka dengan seijin tuannya dan berikanlah mereka mahar mereka"
Atau dalam [Q.S. 60:10] :
"Dan tidak ada dosa bagi kalian mengawini mereka bila kalian berikan mahar mereka"
Dari sini jelas sekali bahwa mut'ah pada ayat tersebut, adalah pernikahan mut'ah, bukan pengertian yang lain.
Ref. ahlusunnah :Tafsir Ar-Razi, tentang [Q.S. An-Nisaa' 24].
3. Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya :
"Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut'ah sudah dihapus (mansukh),maka akan kujawab 'Tidak'. Karena seorang wanita yang dinikahi secara mut'ah dapat disebut sebagai isterinya"
Ref. ahlusunnah : Zamakhsyari, dalam tafsir "Al-Kasysyaf", juz 3, hal.177.
4. Ubay bin Ka'ab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas'ud membaca ayat tersebut dengan tambahan tafsir mereka, yaitu "Ilaa Ajalin Musamma" yang artinya "sampai waktu yang ditentukan".
Ref. ahlusunnah :
a. Thabari, dalam Tafsir "Al-Kabir"
b. Zamakhsyari, dalam kitab "Al-Fa'iq"
c. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya
d. Nawawi, dalam "Syarh Shohih Muslim".
e. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz. 2, hal. 43-44.dll.
5. Banyaknya riwayat yang menyatakan bahwa banyak para sahabat yangmenghalalkan (bahkan melakukan) nikah mut'ah ini, seperti Asma' bintiAbubakar, Zubair bin Awwam, Salamah, Jabir bin Abdullah, Amr bin Harits,Ibnu Abbas, Ibn Mas'ud, dll.
Ref. ahlusunnah :
a. Ibn Hajar Al-Asqolani, dalam "Al-Ishobah", jilid II, hal. 63.
b. Ibnu Hazm, dalam "Al-Mahalli" (sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar).
6. Justru nikah mut'ah ini dilarang pada masa Umar, bahkan dengan ancaman akan dirajam dengan batu.
Ref. :
a. Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404.
b. Shohih Muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat Haji dan Umroh".
c. Al-Baihaqi, dalam "Sunan Al-Kubro", jilid 7, hal. 206.
d. Shohih Muslim, jilid 1, bab "Nikah Mut'ah".
e. Dr. Ruway'l Ar-Ruhaily, dalam "Fikih Umar 1", penerbit Pustaka Al-Kautsar.
f. Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, dalam "Fatwa dan Ijtihad Umar binKhattab", penerbit Risalah Gusti.
g. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz 2, hal. 43-44.dll.
7. Ayat Mut'ah turun setelah ayat talak, warisan dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan itu. Sehingga mustahil bahwa ayat yang mendahului me-nasakh ayat yang muncul belakangan.
8. Adanya warisan juga bukan kewajiban mutlak yang menentukan sahnya perkawinan, misalkan seorang Muslim yang menikah dengan wanita ahlul kitab,maka si isteri tidak dapat mewarisi harta suaminya. Dan perkawinan mereka tetap sah
Tidak ada saling mewarisi bagi seorang merdeka yang kawin dengan hambasahaya milik orang lain, walaupun ikatan perkawinan mereka tetap ada.Tidak ada saling mewarisi bila ada bila ada persyaratan sebelumnya untuk tidak saling mewarisi yang ditentukan sebelum akad.Isteri yang membunuh suaminya, maka isteri tidak dapat mewarisi hartasuaminya.Sehingga apakah semua itu tidak disebut "perkawinan sah" hanya tidak adanyasaling mewarisi. Tidak kan.
9. Adanya talak juga bukan ciri sahnya pernikahan. Sebab mencampuri budak juga disahkan oleh agama, sementara padanya tidak ada talak. Sehinggahubungan badan dengan budak bukan merupakan perzinaan walaupun tidak adatalak di dalamnya.
10. Mengenai masalah iddah. Dalam nikah mut'ah juga dikenal masa iddah yaitu dua kali bersih dari haid.
11. Imran bin Hushain berkata: Sesungguhnya Allah SWT menurunkan satu ayat tentang nikah mut'ah dan tidak me-nasakh-nya dengan ayat yang lain. Dan kita diperintahkan nikah mut'ah oleh Rasul SAWW. Dan beliau tidakmelarangnya.
Kemudian berkatalah seseorang lelaki dengan ra'yu-nya tentangapa yang dia kehendaki". Yaitu Umar yang melarangnya.
Ref. :Tafsir Ar-Rozi, juz 10, hal. 51/52.
12. Dari Hakam, ketika beliau ditanya apakah ayat mut'ah [Q.S. An-Nisaa' 24]telah di-nasakh, maka beliau menjawab "Tidak".
Ref. :
a. Thabari, dalam Tafsir-nya, juz 5, hal 9.
b. Suyuthi, dalam "Dur Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Abi Hayyan, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 218.
d. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 200.dll.
13. Qurthubi dan As-Syaukani mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkanayat tersebut [Q.S. An-Nisaa' 24] dengan nikah mut'ah yang sudah ditetapkansejakpermulaan Islam.
Ref :
a. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.
b. Tafsir Syaukani, juz 1, hal. 144.
14. Atha' berkata :"Yang terdapat pada surat An-Nisaa' yang menjelaskan tentang adanya bataswaktu dalam perkawinan, ialah perkawinan mut'ah".
Ref. :Abdurrozaq, dalam "Al-Mukatabat".
15. Hubaib bin Abi Tsabit dan Mujahid juga mengatakan bahwa ayat tersebut [Q.S. An-Nisaa' 24] turun untuk menjelaskan perkawinan mut'ah.
Ref.:
a. Tafsir Ibn Katsir, juz 1, hal. 474.
b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.
16. Ibnu Abbas berkata :"Mut'ah adalah rahmat Allah bagi umat Muhammad. Bila Umar tidak melarangnya, maka tidak ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka".
Ref. :
a. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz 2, hal. 43-44.
b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll. Dan masih banyak lagi hujjah-hujjah yang menerangkan bahwa nikah mut'ah merupakan perkawinan yang sah (alias bukan zina). Justru seandainya nikahmut'ah ini tidak dilarang oleh Umar, maka tidak ada yang berzina kecualiorang-orang yang celaka. Dan tidak ada satu ayatpun yang me-nasakh nikah mut'ah.Apalagi diperkuat dengan banyaknya hadits yang menerangkan bahwa nikah mut'ah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan yang melarangnya adalah Umar.
Mazhab-mazhab fiqih sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang halal. Rasulullah saw menghalalkannya dengan wahyu dari Allah SWT dalam suatu waktu. Mereka hanya berselisih pendapat dalam hal kelanjutan kehalalannya. Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa kehalalan nikah mut'ah itu tetap berlaku dan tidak ada hadis yang menghapuskannya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab yang empat (mazhab-mazhab Ahlusunah) yang mengharamkannya karena ketentuan itu sudah dihapus.
Karena kehalalan nikah mut'ah merupakan hal yang khusus terdapat dalam fiqih Syi'ah, maka kami akan membahasnya dengan bersandar pada Al-Qur'an dan sunah secara garis besar. Sehingga pembaca yang mulia mengetahui asal mula pensyariatannya dan tidak adanya penghapusan (naskh) terhadap apa yang telah ditegaskan Al-Qur'an dan sunah ini. Sedangkan pendapat sebagian ulama bahwa nikah mut'ah itu sama sekali tidak pernah disyariatkan dan pengakuan bahwa hukum tersebut sudah dihapus adalah bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah. Di samping itu, sebagian besar sahabat dan tabi 'in mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan tersebut dihalalkan dan menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menghapuskannya. Hanya 'Umar bin al-Khaththab yang melarangnya menurut inisiatifnya sendiri atau ijtihad pribadi yang tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan'hujah bagi orang lain. Hal serupa berlaku pada mut'ah haji (haji tamattu) yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw.
Nikah mut'ah adalah pernikahan seorang perempuan merdeka jika tidak ada perintang-berupa hubungan nasab, persusuan, status sudah bersuami, dalam masa 'iddah, dan larangan-larangan syariat lainnya-dengan mahar tertentu hingga batas waktu tertentu atas dasar keridhaan dan kesepakatan. Jika batas waktu itu telah berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak. Jika telah bercampur, ia harus menunggu masa 'iddah seperti masa 'iddah dalam talak-bagi yang belum menopous-kalau ia masih mengalami haid. Jika ia tidak mengalami haid, masa 'iddahnya adalah 45 hari.
Anak yang diperoleh dari pernikaan mut'ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayah dan bernasab kepadanya. la juga berhak mendapat warisan yang telah Allah SWT wasiatkan kepada kita dalam Al-Qur'an. Selain itu, ia juga berhak memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah, dan ibu. pemikian pula, kepamanan berkenaan dengan sauara-saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan, paman, dan bibi.
Pendek kata, perempuan yang dinikah mut'ah adalah istri yang hakiki, dan anaknya pun adalah anak yang hakiki. Tidak ada perbedaan di antara dua pernikahan-pernikahan permanen dan pernikahan mut'ah-kecuali satu hal. Yaitu, dalam pernikahan mut'ah tidak ada pewarisan dan pemberian nafkah di antara suamiistri kecuali yang disyaratkan dalam akad nikah, seperti halnya 'azl. Perbedaan-perbedaan parsial ini merupakan perbedaan-perbedaan dalam hukum, bukan dalam esensi.. Sebab, esensi kedua jenis pernikahan itu sama kecuali yang pertama bersifat temporal dan yang kedua bersifat permanen. Selain itu, yang pertama berakhir dengan berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam akad nikah, sedangkan yang kedua berakhir bila terjadi talak atau pembatalan akad nikah.
Kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt telah mensyariatkan pernikahan i.ni dalam masa awal Islam. Tidak seorang pun meragukan prinsip pensyariatannya. Yang menjadi perselisihan pendapat hanyalah dalam hal apakah syariat itu sudah dihapus atau masih tetap berlaku.
Landasan pensyariatannya adalah firman Allah SWT, "... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan ( dalam perkawinan) dua perempuan yang
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri ) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya ( dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. " (QS. an-Nisa' [4]: 23-24)
Ayat ini menjelaskan nikah mut'ah karena beberapa alasan berikut:
Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen
1. Menjadikan Pengulangan Hukum yang Tidak Perlu
Surah ini. yakni surah an-Nisa., menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hak-hak perempuan. Disebutkan jenis-jenis pernikahan pada awal surah dengan susunan khusus. Adapun pernikahan permanen telah ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil; maka (kawinilah) seorang saja. “(QS. an-Nisa [4]: 3)
Tentang hukum-hukum mahar telah disebutkan dalam ayat berikutnya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa. [4]: 4)
Allah SWT juga berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk kawin lagi dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. (QS. an-Nisa' [4]: 19)
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan ( menanggung) dosa yang nyata? (QS. an-Nisa' [4]: 20)
Sedangkan tentang menikahi budak-budak telah dijelaskan dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. " ( QS. an-Nisa' [ 4] : 25 ).
Firman Allah SWT min ma malakat aymanukum ( dari budak-budak yang kamu miliki) menunjukkan pernikahan majikan dengan budaknya. Hal ini dijelaskan juga dalam firman-Nya, "kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 6) Firman Allah swt karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka menunjukkan pernikahan budak milik orang lain.
Sampai di sini, selesailah penjelasan tentang jenis-jenis pernikahan. Tidak ada lagi jenis pernikahan yang tersisa selain nikah mut'ah. Itulah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan menyamakan firman Allah: fa mastamt'tum dengan pernikahan permanen. Dan firman Allah: fa atuhunna ujurohunna dengan mahar dan sedekah, menjadikan penyebutan hukum yang berulang-ulang.
Akan dijelaskan kepada Anda keberadaan nikah mut'ah pada pennulaan Islam. Tidaklah pantas Pemberi syariat (Allah) mengabaikan hukumnya.
Orang yang memperhatikan surah tersebut akan mengetahui bahwa ayat-ayatnya menjelaskan jenis-jenis pernikahan dengan susunan khusus. Hal itu tidak terwujud kecuali dengan mengartikan kandungan ayat itu dengan nikah mut'ah, sebagaimana yang tampak pada lahiriah ayat tersebut.
2. Penjelasan para Sahabat tentang Turunnya Ayat Tersebut.
Sejumlah besar ahli hadis menjelaskan bahwa ayat tersebut -turun berkenaan dengan nikah mut'ah. Periwayatan mereka sampai kepada Ibn ' Abbas, Ubay bin Ka 'ab, ‘Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin 'Abdullah al-Anshari, Hubaib bin Abi Tsabit, Sa'id bin Jubair, dan lain-lain dari kalangan ahli hadis yang tidak mungkin merekayasa hadis dan membuat kebohongan.
Para mufasir dan ahli hadis telah menyebutkan turunnya ayat tersebut.
Imam mazhab Hanbali, Ahmad bin hanbal, dalam Musnadnya.
1. Abu Ja 'far athThabari dalam Tafsir-nya.
2. Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur'an.
3. Abu Bakar al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
4. Mahmud bin 'Umar az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf.
5. Abu Bakar bin Sa'dun al-Qurthubi dalam tafsir Jami' al-Ahkam al-Qur'an.
6. Fakhruddin ar-Razi dalaffi MaJatih al-Ghayb.
Masih banyak lagi ahli hadis dan mufasir yang datang setelah itu hingga masa kita ini. Saya tidak akan memperpanjang pembahasan ini dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Tidak seorang pun menuduh para ulama tersebut dengan menyebutkan apa yang tidak mereka fatwakan. Dengan memperhatikan bukti-bukti ini, tidak diragukan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nikah mut'ah.
Makna ayat itu adalah: Sesungguhnya Allah swt mensyariatkan bagi kamu pernikahan selain yang diharamkan untuk mencari dengan hartamu apa yang dapat melindungimu, memelihara kesucian dirimu, dan mencegahmu dari perzinaan. Jika kamu menikah untuk bersenang-5enang, bayarkanlah maskawinnya kepada mereka.
Pada dasamya, tujuan pernikahan itu adalah untuk memelihara diri. Tujuan itu dapat terwujud melalui semua jenis pernikahan, baik pernikahan permanen, pernikahan mut'ah, maupun pernikahan dengan budak milik orang lain yang disebutkan dalam surah ini dari awal hingga ayat 25.
Inilah yang dipahami setiap orang dari lahiriah ayat-ayat tersebut. Namun, orang-orang yang tidak berhati bening mengambil lahiriah ayat: famlis tamta'tum bihi minhunna fa 'tuhunna ujurahunna (maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) karena dorongan nafsu atau lingkungan yang berusaha menerapkan makna ayat tersebut pada akad pernikahan permanen. Dalam masalah ini ia menyebutkan beberapa keraguan yang tidak berarti apa-apa setelah diberi bantahan. Berikut ini rangkumannya.
Pertama, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk membina keluarga dan meneruskan keturunan. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pernikahan permanen, tidak melalui pernikahan temporal (nikah mut'ah) yang hanya menghasilkan kecuali kepuasan syahwat dan mencurahkan sperma.
Jawab: ia telah mencampur-adukkan antara masalah ini dan manfaat yang dihasilkannya. Apa yang ia sebutkan hanyalah dari aspek hikmah. Padahal, hukum berbeda dengan hikmah. Karena keadaan terpaksa, suatu pernikahan dikatakan sah walaupun dilakukan tanpa memperhatikan tujuan-tujuan di atas, seperti pernikahan dengan perempuan mandul, yang telah menopous, dan anak di bawah urnur. Bahkan kebanyakan orang yang menikah pada usia muda melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk menyalurkan hasrat dan memenuhi dorongan syahwat melalui cara yang sah. Mereka sarna sekali tidak berpikir untuk mencari keturunan walaupun akhirnya keturunan itu mereka peroleh juga. Hal itu tidak merusak keabsahan pernikahan mereka.
Adalah mengherankan, memberikan batas bahwa tujuan nikah mut'ah adalah untuk memenuhi hasrat semata-mata. Padahal, pernikahan tersebut, seperti juga pernikahan permanen, kadang-kadang dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, mengabdi, membina rumah tangga, serta mendidik, menyusui, dan merawat anak-anak walaupun hal seperti itu jarang ditemui.
Karni ingin bertanya kepada orang-orang yang melarang nikah mut'ah, yang menganggap pernikahan tersebut menyalahi hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan pernikahan. Kami bertanya kepada mereka tentang suami-istri yang menikah dengan pernikahan permanen tetapi mereka berniat untuk bercerai setelah dua bulan. Apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak? Saya kira tidak ada seorang pun dari ahli fiqih Islam yang melarang hal itu kecuali apabila ia mengeluarkan fatwa tanpa dalil dan burhan. Dengan demikian, tampaklah dengan jelas keabsahan pernikahan ini. Tidak ada perbedaan antara pernikahan mut’ah dan pernikahan permanen seperti ini selain pada jenis pertama disebutkan jangka waktunya sedangkan pada jenis kedua tidak disebutkan jangka waktunya?
Penulis tafsir al-Manar berkata, "Mengingat adanya penegasan para ulama terdahulu dan para ulama kemudian dalam melarang nikah mut’ah, maka pernikahan (permanen) dengan niat akan bercerai pun harus dilarang. Kalau para ahli fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang dilakukan itu-sementara suami meniatkannya untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak disyaratkan dalam redaksi (shighat) akad, melainkan menyembunyikannya dalam hati-adalah sah, hal itu dipandang sebagai tipuan dan kebohongan. Akad seperti itu lebih pantas dibatalkan daripada akad yang mensyaratkan ditentukannya jangka waktu (dalam redaksinya)."
Kita asumsikan bahwa suami-istri itu rela dengan ketentuan jangka waktu tersebut sehingga tidak terdapat usaha penipuan dan kebohongan. Maka akad pernikahan itu sah tanpa dapat disangkal lagi.
Kedua, menghalalkan nikah mut’ah adalah bertentangan dengan apa yang ditegaskan dalam al-Qur'an, seperti firman Allah swt ketika menyebutkan. sifat-sifat kaum Mukmin, "... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-7)
Yang dimaksud dengan firman-Nya Barangsiapa yang mencari adalah orang-orang yang berpaling dari apa yang telah dihalalkan Allah kepada apa yang diharamkan-Nya. Perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri yang memperoleh hak-hak dari suami, dengan cara yang baik.
Keraguan itu dapat dijawab. Hal itu merupakan pengakuan tanpa bukti. Sebab, ia adalah seorang istri dan ada hukum-hukum yang mengaturnya. Tidak adanya pemberian nafkah dan pembagian harta tidak mengubah statusnya sebagai seorang istri. Perempuan yang berbuat durhaka kepada suami tetap berstatus sebagai istri, tetapi ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan hak pembagian. Seperti itu pula perempuan yang dinikahi dalam usia kanak-kanak. Anehnya, mereka berdalil dengan tidak adanya hukum-hukum yang menafikan esensi tersebut. Padahal, pernikahan mengikatkan antara suami dan istri yang menyebabkan timbulnya sejumlah hukum. Kadang-kadang sebagian hukum itu mengkhususkan sebagian yang lain.
Ketiga, laki-laki yang melakukan nikah mut'ah tidak bermaksud memelihara kesucian diri. Melainkan ia hanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksualnya. Kalaupun ia bertujuan untuk memelihara kesucian dirinya agar tidak jatuh ke dalam perzinaan, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan yang melacurkan dirinya setiap jangka waktu tertentu kepada seorang laki-laki. Keadaan perempuan itu seperti yang dikatakan penyair:
Jawab: dari mana diketahui bahwa memelihara kesucian diri hanya dilakukan oleh laki-laki~ tidak oleh perempuan. Jika kita asumsikan bahwa akad nikah itu sah, maka dengan cara ini masing-masing dari kedua pihak itu menjaga kesucian dirinya. Jika tidak, tidak diragukan bahwa ia akan jatuh ke dalam perzinaan. Yang dapat memelihara pemuda dan pemudi dari perzinaan adalah salah satu dari tiga hal berikut:
1. Pernikahan permanen.
2. Pernikahan mut'ah dengan cara yang telah disebutkan.
3. Menahan dorong seksual.
Cara pertama, kadang-kadang tidak mudah dilakukan, terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi yang hidup dari uang kiriman yang tidak seberapa dari orangtua mereka atau beasiswa dari pemerintah. Menahan dorongan seksual adalah sesuatu yang tidak mudah. Tidak ada yang dapat melakukannya kecuali orang pemuda dan pemudi yang sempurna. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Maka tidak ada cara lain selain cara kedua. Cara ini dapat memelihara pemuda dan pemudi dari mendatangi rumah-rumah pelacuran.
Agama Islam adalah agama penutup semua agama; Nabinya merupakan penutup para nabi; Kitabnya merupakan penutup semua kitab suci; syariatnya merupakan penutup semua syariat.
Karenanya Islam harus memberikan solusi menurut syariat bagi setiap permasalahan. Dengan cara itu Islam akan memelihara kemuliaan kaum Mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Masalah seksual pada laki-laki dan perempuan tidak mungkin diabaikan oleh agama Islam. Ketika itu, dengan sendirinya muncul pertanyaan berikut:
Apa yang harus dilakukan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak mampu melakukan pernikahan permanen, tetapi kemuliaan dan agama mereka melarang mereka mendatangi rumah-rumah pelacuran, sementara keindahan kehidupan materialistis mengobarkan api syahwat dalam diri mereka? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu mustahil seseorang dapat memelihara kesucian dirinya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Tidak ada lagi cara lain selain menempuh pernikahan mut'ah yang merupakan solusi terbaik untuk menghindari perzinaan. Ada satu ucapan ‘Ali bin Abi Thalib yang selalu terngiang di telinga, yang memperingatkan akan memuncaknya masalah ini jika penanggulangannya dengan cara yang diajarkan Pemberi syariat diabaikan. ' Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali laki-laki atau perempuan yang celaka."
Menyamakan pernikahan mut'ah dengan apa yang disebutkan dalam syair di atas menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap hakikat dan definisi nikah mut'ah. Yang disebutkan dalam syair itu adalah nikah mut’ah periodik yang dituduhkan oleh orang itul dan yang lain kepada Syi’ah. Padahal, kaum Syi’ah sendiri berlepas diri dari kebohongan ini. Sebab, setelah berakhir jangka waktu yang ditentukan, perempuan yang dinikahi mut'ah harus menunggu masa ‘iddah seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, bagaimana mungkin ia menjajakan dirinya setiap saat kepada laki-laki? Mahasuci Allah dari kelancangan mereka dalam membuat dusta dan kebohongan kepada Syi’ah. Isi dari syair itu hanyalah satu bentuk kelancangan terhadap wahyu dan syariat Ilahi. Padahal, para ahli hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa nikah mut'ah itu telah disyariatkan. Kalaupun ada larangan atau penghapusan hukum, hal itu hanyAlah datang setelah nikah mut’ah itu disyariatkan dan dilaksanakan.
Keempat, ayat itu telah dihapus dengan sunah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kapan masa penghapusan itu dilakukan. Berikut ini beberapa pendapat tentang itu:
1. Nikah mut'ah dibolehkan, kemudian dilarang pada saat terjadi Perang Khaybar.
2. Mut'ah tidak dihalalkan kecuali pada 'umrah qadha.
3. Nikah mut'ah dihalalkan, lalu dilarang pada saat Penaklukan kota Makkah.
4. Nikah mut'ah dibolehkan pada saat terjadi peperangan, tetapi kemudian dilarang.
Pernyataan-pernyataan ini menafikan keyakinan adanya penghapusan hukum ( naskh) , sebagaimana penghapusan hukum Al Qur'an dengan hadis ahad yang sangat dilarang. Diriwayatkan sebuah hadis sahih dari 'Imran bin al-Hushain bahwa ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT menurunkan (ayat tentang) nikah mut'ah dan tidak melarangnya. Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukan pernikahan mut'ah dan tidak melarangnya. Kemudian seseorang mengatakan menurut pendapatnya sendiri." Seseorang yang ia maksud ialah 'Umar bin al-Khaththab.
Khalifah kedua itu tidak mengatakan adanya penghapusan. Melainkan ia menetapkan larangan itu berdasarkan pendapatnya sendiri. Kalau ada nas dari Al1ah ' Azza wa Jalla atau dari Rasulullah saw yang menghapusnya, tentu ia menetapkan larangan itu berdasarkan keduanya. Telah tersebar,luas ucapan 'Umar di atas mimbar, "Ada dua mut'ah yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya meIarangnya dan akan menghukum siapa saja yang melakukannya. Yaitu, mut’ah haji dan mut'ah (dalam menikahi) perempuan. Bahkan, seorang ahli kalam mazhab Asy'ariyah menukil dalam Syarh 'ala Syarh at-Tajrid, bahwa 'Umar mengatakan, "Wahai orang-orang, ada tiga hal yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya melarang dan mengharamkannya, serta menghukum siapa saja yangmelakukannya. Yaitu mut'ah haji, mut'ah (dalam menikahi) perempuan, dan (ucapan) hayya 'ala khayril 'amat dalam azan."
Telah diriwayatkan dari Ibn ' Abbas-ia termasuk orang-orang yang menjelaskan kehalalan mut'ah dan membolehkannya-bahwa ia menanggapi orang yang mendebatnya dengan pelarangan dari Abu Bakar dan 'Umar. la berkata, "Hampir turun hujan batu dari langit kepadamu. Saya katakan, 'Rasulullah saw bersabda ...', sedangkan kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan 'Umar berkata ...'"
Bahkan ketika Ibn 'Umar ditanya tentang mut'ah, ia memberi fatwa tentang kehalalannya. Kemudian mereka mempertentangkannya dengan ucapan ayahnya. Tetapi ia bertanya kepada mereka, "Perintah siapakah yang lebih patut diikuti, perintah Rasulullah saw atau perintah 'Umar?"
Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada penghapusan dan pelarangan dari Nabi saw. Yang ada hanyalah pengharaman dari khalifah. Pada dasarnya, pelarangan itu merupakan ijtihad melawan nas yang jelas. Selain itu, sejumlah sahabat terus-menerus menyatakan penolakan mereka terhadapnya dan ketidakpatuhan mereka pada perintahnya itu. Apabila khalifah itu berijtihad karena alasan-alasan yang dilihatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, yang utama bagi orang-orang yang mengikutinya adalah bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam membenarkannya tanpa hujah dan dalil.
Orang-orang yang Menolak Larangan Itu
Telah kami sebutkan bahwa sejumlah besar sahabat dan tabi'in menolak larangan itu dan tidak mengakuinya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
1. ' Ali Amirul Mukminin. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Imam ‘Ali, bahwa Imam ' Ali berkata, "Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
2. ' Abdullah bin 'Umar. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin 'Umar, bahwa ia-setelah ditanya tentang nikah mut'ah-berkata, "Demi Allah, pada zaman Rasulullah saw kami tidak berzina.” Selanjutnya ia berkata, "Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sebelum hari kiamat, pasti muncul al-Masih ad-Dajjal dan tiga puluh pendusta atau lebih.”
3. ' Abdullah bin Mas'ud. AI-Bukhari meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas'ud, bahwa ia berkata, "Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw dan tidak membawa sesuatu apa pun. Lalu kami bertanya, 'Bolehkah kami berkebiri?' Namun, beliau melarang hal itu. Kemudian beliau memberikan keringanan kepada kami agar menikahi perempuan hingga jangka waktu tertentu. Kemudian beliau membaca ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai urang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Ma'idah [4]: 87).
4. 'lmran bin Hushain. Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan hadis darinya. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah. Maka kami melaksanakannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat Al-Qur'an yang mengharamkannya dan beliau pun tidak melarangnnya hingga beliau wafat. Seseorang hanya mengatakan menurut pendapatnya sendiri sekehendak hatinya.
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abu Raja' dari 'Imran bin Hushain. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah dan kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat yang melarangnya dan Nabi saw pun tidak melarangnya hingga beliau wafat.
5. Selain itu, seorang khalifah Abbasiyyah, al-Ma'mun, pada masa pemerintahannya hampir menyerukan penghalalan nikah mut'ah. Namun, ia merasa khawatir akan munculnya fitnah dan perpecahan di tengah kaum Muslim. Ibn Khalkan mengutip ucapan Muhammad bin Manshur: Kami bersama al-Ma'mun dalam suatu perjalanan menuju Syam. Lalu ia memerintahkan agar diserukan penghalalan nikah mut'ah. Kemudian Yahya bin Aktsam berkata kepada saya dan Abu al-' Ayna ' , "Datanglah kepadanya besok pagi-pagi sekali. Kalau kalian melihat kesempatan untuk berbicara maka berbicaralah. Jika tidak, maka diamlah hingga saya masuk." Esok harinya kami menemuinya, sementara ia sedang bersiwak (menyikat gigi). Sambil berjongkok ia berkata, " Ada dua mut'ah yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan zaman Abu Bakar ra tetapi saya malarangnya. Siapakah engkau, berani-beraninya melarang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar ra?" Sambil memberi isyarat kepada Muhammad bin Manshur, Abu al-' Ayna' berkata, "Orang ini berbicara tentang 'Umar bin al-Khaththab, apakah perlu kita jawab?' Namun kami diam saja sampai akhimya. Lalu Yahya bin Aktsam datang. la duduk dan kami pun duduk. Al-Ma'mun bertanya kepada Yahya, "Mengapa aku lihat engkau berubah?" Yahya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, ini adalah perasaan sedih karena sesuatu telah terjadi pada Islam." AI-Ma'mun bertanya, "Apa yang terjadi pada Islam?" Mauhammad bin Manshur men.jawab, "Seruan menghalalkan zina..” Al-Ma'mun bertanya, "Zina?' Muhammad bin Manshur menjawab, "Benar. Nikah mu'tah adalah zina." Al-Manshur be:tanya lagi, Dari mana engkau mengetahui hal ini?" la menjawab, Dari Kitab Allah' Azza wa Jalla dan hadis Rasulullah saw Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orangorang yang menunaihan zahat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya hecuali terhadap istri-istri mereha atau budak yang mereka miliki. Maha sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorangyang melampaui batas" (QS. al-Mu'minun [23]: 1-7). Wahai Amirul Mukminin, apakah perempuan yang dinikah mut'ah itu adalah budak yang dimiliki?" Al-Ma'mun menjawab, "Bukan." Muhammad bin Manshur bertanya lagi, “ Apakah ia istri yang di sisi Allah mewarisi dan mewariskan, serta mempunyai anak (yang dinasabkan kepadanya) , dan dipenuhi syarat-syaratnya?" Al-Ma'mun menjawab, "Tidak." Maka Muhammad bin Manshur berkata, "Maka orang yang melampaui batas dalam kedua hal ini termasuk orang-orang yang melampaui batas (yang disebutkan dalam ayat di atas)."
Saya katakan: Ibn Aktsam telah menyimpang jauh-dan ia termasuk orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada ahlulbait-dengan menganggap bahwa nikah mut'ah termasuk dalam firman Allah SWT, ...kecuali kepada istri-istri mereka dan bahwa tidak adanya pewarisan merupakan takhshish dalam hukum.
Padahal, hal itu tidak menafikan berlaku hukum tersebut. Betapa banyak hal serupa itu, seperti istri yang kafir tidak mewarisi harta suami yang Muslim, begitu pula sebaliknya; istri yang membunuh suaminya tidak mendapat warisan harta darinya, demikian pula sebaliknya. Adapun anak, tentu bemasab kepadanya. Menafikan penasaban anak ini muncul karena ketidaktahuan terhadap hukum nikah mut’ah atau berpura-pura tidak mengetahuinya.
Betapa buruk yang ia ucapkan. la menafsirkan nikah mut’ah dengan perzinaan. Padahal, umat ini telah menerima kehalalannya pada zaman Rasulullah saw dan khalifah pertama. Apakah Ibn Aktsam mengira bahwa Rasulullah saw menghalalkan perzinaan Walaupun dalam jangka waktu yang singkat?
Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari khalifah (‘Umar) sendiri. Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu semata-mata keputusan menurut pendapatnya sendiri, tidak bersandar pada satu ayat atau satu hadis pun.
Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Ibn Abi Nadhrah. la berkata: Ibn .Abbas memerintahkan mut’ah, sedangkan Ibn Zubair melarangnya. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Jabir. Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan mut’ah bersama Rasulullah saw. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia berkata, Sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Maka sempumakanlah haji dan 'umrah dan laksanakanlah pernikahan ini (permanen-penej.). Namun,jika ada" seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertenu (nikah mut'ah), pasti aku akan merajamnya dengan batu.."
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadis dari Abu Nadhrah. la berkata: Saya berkata kepada Jabir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut'ah, sedangkan Ibn 'Abbas memerintahkannya. Maka Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan nikah mut'ah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar. Ketika 'Umar diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak, 'Sesungguhnya Al-Qur'an adalah Al-Qur’an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang rasul. Keduanya memberlakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah saw. Yang pertama adalah mut'ah dalam haji (haji tamattu') dan yang kedua adalah mut'ah (dalam menikahi) perempuan."
Dari hadis-hadis di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut:
1. Kehalalan nikah mut'ah tetap berlaku hingga zaman kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththab hingga saat ia melarangnya.
2. Dengan ijtihadnya sendiri ia memberlakukan pengharaman terhadap apa yang dihalalkan dalam Al-Qur'an dan sunah. Seperti telah diketahui, ijtihadnya-kalaupun dapat disebut ijtihad-adalah hujah yang berlaku bagi dirinya sendiri, tidak berlaku bagi orang lain.
Akhimya, kami katakan: Ketidaktahuan terhadap fiqih Syi'ah menyebabkan banyak penulis mereka-reka perkataan atas nama Syi'ah, khususnya dalam masalah nikah mut'ah yang sedang kita bahas. Mereka melemparkan berbagai pendapat dan hukum-hukum. Hal itu menunjukkan ketidaktahuan dan niat buruk mereka. Ucapan-ucapan itu di antaranya bahwa di antara hukum-hukum nikah mut'ah dalam mazhab Syi'ah adalah tidak adanya hak anak terhadap warisan ayahnya, dan bahwa perempuan yang dinikah mut'ah tidak memiliki masa 'iddah sehingga ia dapat berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain jika ia mau. Karena itu, mereka memandang buruk dan menolak pernikahan mut’ah. Mereka pun mencela orang-orang yang menghalalkannya.
Hakikat yang sebenamya tidak mereka ketahui. Yaitu, Pertama, pernikahan mut'ah menurut Syi’ah adalah seperti pernikahan permanen. Pernikahan itu tidak sah kecuali dilakukan melalui akad yang mengisyaratkan adanya tujuan pernikahan itu secara jelas. Kedua, perempuan yang dinikah mut’ah harus terhindar dari seluruh penghalang (bukan muhrim). Ketiga, anak yang dihasilkan dari pernikahan itu adalah seperti anak yang diperoleh dari pernikahan permanen Dalam hal wajibnya mendapat warisan, pemberian nafkah, dan hak-hak material lainnya. Keempat, perempuan yang dinikah mut’ah itu harus menunggu masa ‘iddah setelah jangka waktu pernikahan itu berakhir dan jika telah bercampur. Apabila suaminya meninggal dunia dan ia berada dalam pemeliharaannya, ia harus menunggu ‘iddah seperti yang berlaku Dalam pernikahan permanen tanpa ada perbedaan. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Suatu hal yang harus kita perhatikan dan kita ketahui dengan jelas adalah bahwa walaupun kaum Syi'ah mempercayai dan meyakini kehalalan nikah mut'ah dan tidak ada sesuatu yang mengharamkannya-itulah yang mereka nyatakan dengan jelas dan tanpa ragu-tetapi mereka tidak serta-merta melaksanakan pernikahan itu kecuali dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang ketat. Hal itu tidak seperti yang digambarkan dan dibayangkan oleh sebagian orang yang tersebar di tengah masyarakat mereka dan dalam bentuk yang sejelek-jeleknya.
Kami dan Doktor Muhammad Fathi Ad-Darini
Akhirnya, saya tahu ada sebuah buku tentang nikah mut'ah yang ditulis oleh As-Sa'ih ' Ali Husain dengan judul al-Ashl fi al Asyya' ...? Walakin al-Mut’ah Haram (Hukum Asal dalam Segala Sesuatu ...Tetapi Mut'ah itu Haram). Buku itu diterbitkan oleh Dar Qutaibah dan diberi kata pengantar oleh Doktor Muhammad Fathi ad-Darini, dekan fakultas Syariah, Universitas Damaskus.
Ada dua hal yang mendorong saya membuat komentar ini, yaitu : I. Judul buku. Buku itu diberi judul dengan judul yang telah Anda ketahui. Penulisnya berusaha untuk menegaskan bahwa prinsip yang utama dalam segala sesuatu adalah kehalalan, dan mut'ah termasuk di dalamnya. Akan tetapi, ia mengecualikan nikah mut'ah dari prinsip itu dengan dalil tersebut. Kalau tidak begitu, tentu ditetapkan hukumnya sebagai halal. Dengan kata lain, ia berusaha menampakkan kebenaran satu pihak (yang mengatakan tentang kehalAlan mut'ah) untuk sementara tetapi yang prinsip itu berada di pihaknya. Akan tetapi, ia mengecuAlikannya dari prinsip itu dengan dalil yang terputus.
2. Kata pengantar dari Doktor ad-Darini dengan pena suci tanpa umpatan dan celaan kepada lawan yang berpendapat bahwa pernikahan mut'ah itu halal. Sikapnya dalam memelihara etika berdiskusi patut dihargai. Sebenarnya, orang seperti ia sedikit jumlahnya di kAlangan penulis tentang akidah Syi'ah dari sudut pandang Ahlusunah. Kebanyakannya-kecuAli beberapa orang saja di antara mereka-tidak membedakan antara tuduhan dan celaan, dan kadang-kadang mengafirkan-kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri karni.
Dengan itu semua; kami memperhatikan apa yang ditulisnya. Tampaklah bahwa sebagiannya merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, agar pembaca mengetahui butir-butir kesalahan dalam tulisannya, kami sebutkan hal-hal yang paling penting disertai komentar terhadapnya. Sedangkan sebagiannya lagi telah disebutkan ketika mendiskusikan beberapa keraguan.
Tentang judul, kami katakan bahwa para ahli fiqih dan ahli ushul berpendapat bahwa prinsip dalam segala sesuatu adalah kehalalan. Tetapi prinsip itu tidak mencakup darah, harga diri, dan harta karena asalnya adalah keharaman. Hal itu diketahui oleh orang yang sedikit pengetahuan tentang fiqih sekalipun. Oleh karena itu, kami melihat bahwa Allah SWT menetapkan prinsip berkenaan dengan darah adalah keharaman tetapi mengecualikan satu kasus, yaitu pembunuhan yang dibenarkan syariat. Allah swt berfirman, "... dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali (dengan) alasan yang benar" (QS. Al-Furqan [25]: 68).
Selain itu, Allah memberikan penjelasan seperti itu berkenaan dengan harga diri dan kelamin. Allah swt berfirman, "... dan orang-orangyang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-6).
Adapun tentang prinsip keharaman berkenaan dengan harta, cukuplah den:gan firman Allah swt, "... janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu" ( QS. anNisa' [4]: 29). Selain itu, Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya." Maka penggunaan harta orang lain adalah haram kecuali jika ia merelakannya.
Berdasarkan hal itu, prinsip berkenaan dengan pernikahan mut'ah yang merupakan upaya untuk menjaga kemaluan adalah haram dan untuk mengecuAlikannnya dari prinsip itu diperlukan dalil, serta pendapat para ahli ushul bahwa prinsip dalam segAla sesuatu adalah kehalalan mengacu pada kasus-kasus selain ini. Yaitu, yang mengacu pada pemanfaatan unsur-unsur alami oleh manusia.
Berdasarkan hal ini juga, apa yang diupayakan penulis buku itu yang menunjukkan keluwesan dalam pembahasannya sejalan dengan pendapat saudaraya dari kaum Syi'ah tentang kehalalan pernikahan mut'ah-menurut prinsip utama. Akan tetapi, dalil-dalil telak mendorongnya untuk menyatakan keharamannya. Hal itu merupakan upaya yang keliru dan tidak pada tempatnya. Saya mengira bahwa penulis itu tidak menguasai masalah-masalah ini.
Buku itu-tanpa bermaksud mengingkari dan mengurangi hak penulisnya-menyerupai sebuah novel, bukan buku fiqih. Selain itu, saya merasa heran, mengapa Doktor ad-Darini mau memberikan kata pengantar untuk buku ini. oleh karena itu, saya merasa tidak perlu mendiskusikan isinya. Kami merasa cukup dengan mengkajinya dari kata pengantarnya saja.
Tentang kata pengantar itu, telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, dalam menjelaskannya kami sertakan juga beberapa komentar setelah mengutipnya bagian demi bagian secara ringkas. Sebab, jika dinukil seluruhnya, tentu akan menyebabkan pembahasan ini menjadi bertele-tele.
Untuk memudahkan pembaca memahami dua paragraf itu, kami memerinci setiap tema dengan memberikan nomor dengan angka Romawi.
I. Hukum-hukum Syariat Mengikuti Kemaslahatan
Profesor itu berkata, "Telah disepakati di antara para ahli ushu1 dan fukaha-yang pendapat-pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad-bahwa hukum-hukum syariat Islam memiliki maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat secara pasti melalui penetapan hukum-hukumNya. Para muhaqqiq telah mengisyaratkan prinsip tersebut, yaitu bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan hamba."
Selanjutnya ia mengatakan, "Imam asy-Syathibi telah menuljs kitab al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah wa Maqashiduha. Di situ ia menegaskan bahwa hukum-hukum syariat, selain aspek-aspek ibadah (ta'abbudiyyah), memiliki tujuan-tujuan yang dikehendaki Pembuat syariat dalam penetapan hukum-Nya. Karena itu, tidak ada artinya wasilah jika wasilah itu menyimpang atau bertentangan dengan tujuannya.
Berikut ini beberapa catatan atas ungkapan di atas.
1. Bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan adalah sesuatu yang dibenarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis dari Keluarga Suci. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (meminum) khamar; berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamardan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). " (QS alMa'idah [5]: 90-91)
Masih banyak ayat-ayat tentang pensyariatan hukum. Isinya menunjukkan kepentingan-kepentingan yang menjadi sebab disyariatkannya suatu hukum.
Tentang hadis-hadis dari para imam ahlulbait, Syekh ash Shaduq Muhammad bin 'Ali bin Babawaih (306-381) telah menghimpunnya dalam sebuah kitab beljudul 'Ilal asy-Syarayi'. Kitab itu memuat ilmu para imam ahlulbait yang sepantasnya dirujuk oleh setiap orang. Kitab itu disusun sebelum asy-Syathibi atau guru-gurunya lahir. Syi'ah Imamiyah terkenal dengan fahamnya yang mengatakan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan karena mengikuti para imam mereka, sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab fiqih dan ushul mereka. Maka menekankan perhatian pada masalah ini adalah seperti memindahkan kurma ke dalam kantung.
2. Syekh al-Asy'ari, imam yang sangat terkenal di kalangan Ahlusunah, termasuk orang-orang yang menolak prinsip di atas dan memandangnya sebagai pembatasan terhadap kehendak Allah swt. la berkeberatan untuk memutlakkannya. Hal ini tampak jelas bagi mereka yang merujuk pada kitab-kitab Asy'ariyah dalam masalah-masalah ushul dan furu'. Mereka mencela orang-orang yang mengatakan bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Tetapi -mengapa profesor ini mengatakan bahwa prinsip tersebut merupakan, pendapat yang telah disepakati di kalangan para ahli ushu1 dan fukaha. Yah, ia membatasi orangorang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan, dengan orang-orang yang pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad.
Saya tidak menyangka bahwa Imam al-Asy'ari dan sejumlah ulama yang mengikutinya termasuk orang-orang yang pendapat mereka tidak dipandang sebagai timbangan Ilmu dan ijtihad.
3. Profesor itu, karena mengikuti Imam asy-Syathibi, mengatakan bahwa prinsip yang mengatakan hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan kecuali masalah-masalah ibadah. Namun, saya tidak melihat adanya pengecualian di situ. Padahal, dalil yang sama menunjukkan bahwa prinsip tersebut berlaku untuk segala hal (termasuk masalah-masalah ibadah). Yaitu, untuk memelihara tindakan Allah SWT dari kesia-siaan. Dalil ini berlaku untuk masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah bukan peribadatan.
Benar, kadang-kadang kita tidak sampai pada tujuan-tujuan yang dimaksud dalam peribadatan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa masalah peribadatan terlepas dari prinsip tersebut. Allah SWT berfirman, "... dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaha [20]: 14). Allah juga berfirman, "Sesungguhnya salat itu mencegah dari. (Perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al-'Ankabut [29]: 45). Tentang puasa, Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. " ( QS. alBaqarah [2] : 183)
Mengecualikan masalah-masalah peribadatan dari prinsip itu sama saja dengan membatasi kaidah akal. Padahal, seperti telah diketahui, kaidah akal tidak dapat dibatasi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hasil dari perkalian dua dengan dua adalah empat (2 x 2 = 4) kecuali dalam kasus tertentu.
Orang-orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum harus mengikuti syarat-syarat dan kriteria-kriteria adalahorang-orang yang berpendapat tentang kehujahan akal dalam istinbath (deduksi) hukum-hukum syariat dalam bab al-Mulazamat al'Aqliyyah (rasional inherent) dan sebagainya. AkAl yang menetapkan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan tidak membedakan antara masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah lain, antara praktik ibadah dan ushul seraya mengatakan bahwa Pembuat syariat itu adalah Yang Mahabijaksana. Zat Yang Mahabijaksana terpelihara tindakan-Nya dari kesia-siaan. Maka hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya mengandung tujuan-tujuan untuk kepentingan hamba-hamba-Nya -dan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengamalkannya dengan benar.
II. Tujuan Utama Pernikahan: Membina Keluarga
Doktor itu mengatakan bahwa pernikahan dalam Islam disyariatkan bagi tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an secara jelas. Semuanya kembali pada pembinaan keluarga utama yang merupakan cikal bakal masyarakat Islam. Dengan sifat-sifat dasarnya herupa kesucian diri, kesucian hadan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial-kemudian untuk menegaskan prinsip tersehut ia berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Selanjutnya ia mengatakan, "Ketika Allah mengaitkan pernikahan dengan naluri seksual, hal itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi dorongan seksual. Melainkan yang Dia maksudkan adalah mengarah kepada terwujudnya tujuan tersebut heserta sifat-sifat dasarnya berupa pembentukan keluarga yang hukum-hukumnya telah ditetapkan secara terperinci dalam Al-Qur'an." Oleh karena itu, pernikahan mut'ah yang luput dari tujuan reproduksi dan pembinaan keluarga menggugurkan tujuan yang dimaksudkan Pembuat syariat dari setiap prinsip disyariatkannya pernikahan itu.
Berikut ini catatan atas ungkapan di atas. Pertama:Profesor ini telah mencampuradukkan 'illat pensyariatan dengan hikmahnya. 'lllat adalah kutub tempat berputamya suatu hukum. Hukum itu berlaku jika ada 'illat. Sebaliknya, hukum itu gugur jika tidak ada 'illat Ini berbeda dengan hikrnah. Kadang-kadang hukum lebih luas daripada hikrnah. Berikut ini penjelasannya.
Pembuat syariat mengatakan, "Jauhilah minuman yang memabukkan." Mabuk merupakan'illat bagi wajibnya menjauhi minuman tersebut dengan bukti adanya keterkaitan di antara keduanya. Selama cairan itu memabukkan, maka hukum itu tetap berlaku. Tetapi, jika cairan itu beruhah menjadi cuka, maka hukum itu pun menjadi gugur.
Dalam ayat lain, Allah swt herfirman, "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allahdan hari akhirat" (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Kandungan ayat ini mengungkapkan bahwa "menahan diri" adalah untuk mengetahui keadaan rahim, apakah mengandung anak atau tidak. Seperti telah diketahui, ini adalah hikrnah dari hukum tersebut, bukan 'illat-nya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa hukum itu lebih luas daripada hikmah. Dalilnya, para fukaha menetapkan hukum wajibnya "menahan diri" untuk mengetahui ada atau tidak adanya kehamilan di dalam rahim perempuan itu. Sepeti itu pula dalam kasus-kasus berikut. I. Apabila perempuan itu mandul, tidak melahirkan anak.
2. Apabila laki-laki yang mandul.
3. Apabila suami meninggalkannya dalam jangka waktu yang lama, misalnya enam bulan atau lebih, dan kita tahu bahwa tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
4. Apabila melalui pemeriksaan medis, diketahui tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
Ayat itu adalah ayat hukum walaupun tidak ada hikmah dari hukum tersebut. Hal ini tidak menafikan apa yang telah kita sepakati bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Sebab, yang dimaksud adalah kriteria-kriteria untuk kebanyakan kasus, tidak untuk seluruh kasus.
Apabila Anda telah mengetahui perbedaan antara hikmah dan 'illat, Anda akan mengetahui bahwa profesor ini telah mencampuradukkan antara 'illat dan hikmah. Maka pembinaan keluarga, reproduksi, dan solidaritas sosial semuanya muncul dari sisi hukum dengan dalil bahwa Pembuat syariat juga menetapkan hukum sahnya pernikahan walaupun dilakukan bukan untuk tujuan-tujuan di atas, seperti dalam kasus-kasus berikut:
1. Sah pernikahan laki-laki yang mandul dengan perempuan yang subur.
2. Sah pernikahan perempuan yang mandul dengan laki-laki yang subur.
3. Sah pernikahan perempuan yang sudah mengalami menopous.
4. Sah pernikahan anak di bawah umur. .
5. Sah pernikahan seorang pemuda dengan seorang pemudi dengan niat tidak akan memiliki anak sepanjang hidupnya.
Apa, menurut profesor ini, boleh membatalkan pernikahan-pernikahan seperti ini dengan alasan tidak bertujuan untuk membina keluarga?
Padahal sudah jelas, kebanyakan pasangan muda yang menikah melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk memenuhi dorongan seksual dan memperoleh kenikmatan melalui cara yang halal. Mereka tidak berpikir untuk menghasilkan keturunan, walaupun akhimya hal itu diperoleh juga.
Kedua, profesor itu harus membedakan antara orang yang menikah mut'ah untuk tujuan memperoleh keturunan dan membina keluarga beserta sifat-sifat dasarnya berupa kesucian diri, kesucian badan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial dan orang yang menikah untuk memenuhi dorongan seksual semata melalui cara ini.
Adapun, mengapa ditempuh pernikahan sementara atau mut'ah? Karena adanya beberapa kemudahan dalam pernikahan mut'ah yang tidak diperoleh dalam pernikahan permanen.
Profesor itu, seperti kebanyakan orang dari kalangan Ahlusunah yang menulis tentang pernikahan mut'ah, menganggap perempuan yang dinikahi dengan pernikahan mut'ah seperti para pelacur yang selalu membuka pintu rumahnya. Setiap hari, seorang laki-laki menemuinya, dan pada hari itu ia berkumpul dengannya, kemudian laki-laki itu meninggalkannya. Kemudian datang laki-laki lain melakukan hal serupa. Kalau ini makna pernikahan mut'ah, maka Syi'ah Imamiyah serta para imam, para rasul, dan kitab-kitabnya berlepas diri dari syariat yang serupa dengan perzinaan tetapi berbeda nama ini. Akan tetapi, pernikahan mut'ah itu berbeda 100 persen dari pernikahan tersebut. Kadang-kadang ada perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia masih muda dan cantik; di sisi lain, ada laki-laki yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen karena kendala-kendala sosial yang menghadangnya. Bersamaan dengan itu, ia mencari perempuan seperti perempuan tadi, lalu menikahinya dengan beberapa tujuan: pertama, menghindari perzinaan, dan kedua, membina keluarga dengan sifat-sifat yang dimiliki perempuan tersebut.
Sebenamya, pikiran yang tersimpan dalam benak penulis itu dan orang-orang lain tentang pernikahan mut'ah adalah menganggap pernikahan tersebut sama dengan pelacuran di rumah-rumah bordil dan tempat-tempat lainnya. Padahal, tidak mungkin pernikahan seperti itu ditetapkan dengan syariat. Selain itu, pernikahan mut’ah yang disyariatkan tidak seperti itu. Kadangkadang pernikahan mut'ah itu berlangsung hanya sehari semalam. Maka dalam pernikahan mut'ah itu ditetapkan syarat-syarat seperti yang berlaku dalam pernikahan permanen. Namun, pernikahan mut’ah berbeda dengan pernikahan permanen dalam dua hal, yaitu dalam talak dan pemberian nafkah. Sedangkan dalam pewarisan, mereka saling mewariskan. Hal semacam itu menuntut tujuan-tujuan yang dituntut dalam pernikahan pada umumnya. Kami telah menjelaskan hakikat pernikahan mut'ah dalam pembahasan di atas.
Sebenamya, tujuan utama dalam setiap kasus yang diberi keringanan oleh Pembuat syariat dalam hal hubungan kelamin dengan segala bagian-bagiannya hingga pemilikan budak dan kehalalan mencampurinya adalah untuk; memelihara diri agar tidak jatuh ke dalam perzinaan dan pelacuran. Adapun tujuantujuan lain berupa pembinaan keluarga dan solidaritas sosial hanyalah tujuan-tujuan sekunder sebagai suatu konsekuensi baik dimaksudkan oleh suami-istri itu maupun tidak. Tujuan utama itu terdapat dalam pernikahan mut'ah. Tujuan disyariatkannya pernikahan mut'ah itu adalah untuk memelihara diri dari perbuatan haram bagi orang yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen. Karena itu, telah tersebar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Semoga Allah merahmati 'Umar. Pernikahan mut'ah itu adalah rahmat dari Allah yang diberikan kepada umat Muhammad. Kalau ia tidak melarangnya, niscaya tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kecuali orang yang celaka."
Mengungkap Fakta: Imam Besar Sunni Menghalalkan Zina Asal Wanitanya Dibayar!
Imam Besar Sunni Menghalalkan Zina Asal Wanitanya Dibayar!
Subhanallah, hanya berganti nama akad, perzinahan yang sangat dikecam dan besar dosanya dalam agama islam, dapat disulap oleh Mazhab Islam Sunni menjadi halal.
Inilah yang terjadi! dan inilah yang difatwakan atas nama agama oleh sebuah mazhab besar Ahlusunnah wal Jama’ah (ASWAJA)
Mau tau? Boleh, tapi jangan mencobanya!!
Perhatikan Scan Kitab Dibawah ini:
Penyewa/pengontrak perempuan untuk berzina
Para ulama/ahli fikih Mazhab Hanafi berpendapat: Jika seorang pria menyewa seorang wnita untuk dizinai lalu wanita itu menerima kontrak itu, lalu ia menzinainya, maka baginya tidak ada sangsi hukum Islam/hadd. Ia hanya dita’zir sesuai yang diputuskan imam/penguasa.
Ibnu Jakfari:
saudaraku yang terhormat, tolong Anda perhatikan cermati baik-baik redaksi keterangan/fatwa yang ditulis dalam sub pasal di atas! Penyewa/pengontrak perempuan untuk berzina, bukan sebagai pembantu rumah tangga atau sekretaris… Tapi untuk dijadikan wanita lacur, pemuas syahwat si pria hidung belang berduait… untuk berzina… sekali lagi untuk berzina!!! maka atasnya tidak ada hukuman bagi perzinahan… tapi hanya dita’zir.. mungkin dicambuk entah berapa kali terserah hakim syar’i!
Fatwa ini sangat masyhur diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan diterima oleh para fukaha’ mazhab Hanafi!
Benarkah Asma’ Binti Abu Bakar Melakukan Nikah Mut’ah? Berikut Ringkasannya
Mari Kita Lihat Website Wahabi dengan Judul BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH (http://jaser-leonheart.blogspot.co.id/2012/04/bukti-ibnu-zubair-bukan-anak-hasil.html):
Location : Home » Syubhat » BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH
BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH
Oleh : Al-Akh Dodi ElHasyimi -Hafizhahullah-
PERMASALAHAN PERTAMA :
Dalam statement-nya para Rofidhoh memaparkan bahwa mereka mempunyai bukti-bukti bahwa Asma' Binti Abu Bakar dan Zubair Melakukan Nikah Mut'ah Hingga Melahirkan Anak yang bernama Abdullah bin Zubair, argument/riwayat2 yang mereka kemukakan diantaranya adalah :
Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
"Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut'ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : 'Dahulu aku pernah melakukan nikah mut'ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :'Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur'an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu'"
Referensi : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".
Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;
"Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : "AKU TIDAK MELAHIRKANMU KECUALI MELALUI NIKAH MUT'AH".
Referensi : Ar-Raghib, dalam "Al-Muhadharat", juz 2, hal. 94.
JAWABAN :
Kebohongan, kesalahan dan kebathilan riwayat2 yg dibawakan oleh para Rofidhoh (terutama yg bersumber dan diambil dari keterangan ulama mereka yg bernama Al Fakikiy dalam kitabnya Al Mut’ah hal 56-57 dan diikuti oleh para rofidhoh di Indonesia) dapat dijawab dengan 4 point :
PERCAKAPAN YANG TERJADI ANTARA IBNU ABBAS DAN IBNU ZUBAIR SERTA UCAPAN ASMA’ MENGENAI سطوع المجامر (berhamburannya bara api) ITU BERKAITAN DENGAN MUT’AH HAJI ( HAJI TAMATTU’) DAN SAMA SEKALI TIDAK BERKAITAN DENGAN MUT’AH NISA’.
PENJELASAN : Hadis سطوع المجامر (berhamburannya bara api) yg diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya hal 344-345 mengenai Asma’ dg jalur periwayatan yg berbeda-beda :
“Kami berhaji bersama Rasulullah SAW, dst sampe akhir hadist….”
Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan :
“Berhajilah dengan cara Ifrod dan tinggalkanlah pendapat orang ini-yakni Ibnu Abbas- Maka Ibnu Abbas menjawab, dst sampe akhir hadist…..”
JADI DAPAT DIKETAHUI BAHWA KALIMAT ITU BERKAITAN DENGAN MUT’AH HAJI DAN SAMA SEKALI TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN MUT’AH NISA’.
SEMUA ORANG YANG PERNAH MEMBACA KITAB2 SEJARAH DAN TARIKH AKAN MENEMUKAN BAHWA SY ZUBAIR RA MENIKAHI ASMA’ BINTI ABU BAKAR RA DALAM KEADAAN PERAWAN DAN SETELAH WAFATNYA SY ZUBAIR RA(SUAMINYA) BELIAU TIDAK PERNAH MENIKAH LAGI.
ASMA’ RA MENGANDUNG ABDULLAH BIN ZUBAIR DAN MELAHIRKANNYA DI QUBA’, DAN INILAH KELAHIRAN PERTAMA YG PERNAH TERJADI DALAM ISLAM SEBAGAIMANA KETERANGAN2 YG TELAH MASYHUR KITA KETAHUI, SEDANGKAN MUT’AH TIDAKLAH TERJADI KECUALI SETELAH HIJRAH DAN SEBELUM PERANG KHOIBAR. MAKA PERNIKAHAN ANTARA ASMA’ DENGAN ZUBAIR RADHIYALLAHU ANHUMA ADALAH PERNIKAHAN DAIM ( PERMANEN). KARENA SEANDAINYA MEREKA BERDUA MELAKUKAN MUT’AH, MAKA MEREKA WAJIB MEMISAHKAN MUT’AH INI DAN MEMBEBASKAN JALINANNYA. SEBAGAIMANA SABDA RASULULLAH SAW :
Nabi SAW bersabda : “ maka barangsiapa di sisinya terdapat wanita2 (yg diakadi mut’ah) maka lepaskanlah akad mut’ah itu.
Hadist ini dapat dilihat di kitab :
Ini point yg terpenting !!! mari kita meruju’ kepada kitab Muhadhorotu Al Udaba’ wa Muhawarotu Al Syu’aro ( محاضرات الأدباء ومحاورات الشعراء) juz 3 hal 214 karya Ar Roghib Al Ashbihani yg sering digunakan berhujah oleh para Rofidhoh untuk melancarkan tuduhan mengenai status Ibnu Zubair (Abdullah bin Zubair) cucu Sy Abu Bakar RA sebagai anak hasil mut’ah, karena dalam kitab inilah yang secara shorih (jelas) menyatakan hal ini :
“Sesungguhnya Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah. Ibnu Abbas kemudian berkata kepadanya : "Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : "Demi Allah Aku tidak melahirkanmu kecuali dengan cara mut'ah.”
TERNYATA JELAS SEKALI BAHWA KISAH CERITA DI DALAM KITAB INI SAMA SEKALI TIDAK ADA SANADNYA, TERPUTUS HANYA BEGITU SAJA, SEBAGAIMANA HIKAYAT2 LAIN YANG SERING DITULIS OLEH PARA AHLI SATRA YANG SERING DIGUNAKAN SEBAGAI CARA UNTUK MENJATUHKAN DAN MEMFITNAH, TANPA MEMANDANG APAKAH RIWAYAT YANG DITULIS ITU SHOHIH ATAU KADZDZAB…!!
PERTANYAAN : APAKAH HIKAYAT YANG TERPUTUS SANADNYA SEPERTI INI BISA DIGUNAKAN UNTUK MENETAPKAN HUKUM SYARIAT SECARA HAKIKI, SERTA DIGUNAKAN UNTUK MENENTANG RIWAYAT2 HADIS YANG DISANDARKAN KEPADA KITAB2 HADIS YANG MU’TAMAD ( DAPAT DIJADIKAN PEDOMAN ) ???
TENTU JAWABNYA : TIDAK, SAMA SEKALI TIDAK BISA…!!!
Sebenarnya dari judul kitabnya saja kita bisa menebak dan mengetahui, bahwa kitab ini hanyalah karya sastra dari para sastrawan yang sama sekali tidak bermaksud untuk menjustifikasi akan kebenaran atau tidaknya suatu masalah dari sisi hukum syariat, nama kitabnya adalah Muhadhorotu Al Udaba’ wa Muhawarotu Al Syu’aro ( محاضرات الأدباء ومحاورات الشعراء) yang artinya “KUMPULAN PARA AHLI SASTRA DAN PERCAKAPAN PARA AHLI SYAIR”, namun untuk mengelabui orang awwam, para Rofidhoh dalam menyebutkan kitab ini hanya memutilasi lafadz depannya saja, yaitu Al Muhadhorot, sehingga seolah-olah bahwa kitab ini adalah kitab yang bisa digunakan sebagai pijakan untuk berhujah dan mengambil hukum…!!!!
PENUTUP :
Celaan yang selalu ditampakkan oleh para Rofidhoh (terutama Al Fakiki dalam kitabnya itu) mengenai percakapan yang terjadi antara Ibnu Abbas yang berisi penghinaan dan penjatuhan martabat dari Ibnu Zubair itu sama halnya dengan membohongkan riwayat dari Ibnu Abbas yang terdapat dalam hadis shohih bahwasanya beliau menyifati Ibnu Zubair sebagai : “AFIFUL ISLAM (orang yg bisa menjaga diri dan menjauhkan diri dari hal2 yang tidak baik yang pernah ditemui dalam Islam), QORI-UL QURAN (orang yang hafal dan banyak membaca Al Quran), AYAHNYA ADALAH HAWARY (sahabat istimewa yang membantu dan menolong) RASULULLAH SAW, IBUNYA ADALAH PUTRI ASH SHIDDIQ, NENEKNYA ADALAH SHOFIYAH BIBI RASULULLAH SAW, BIBI DARI AYAHNYA KHODIJAH BINTI KHUWAILID. Bisa dilihat di Shohih Al Bukhori :
PERMASALAHAN KEDUA :
Mengenai Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair yang Sering ditampilkan oleh Para Rofidhoh Untuk Menggulkan Kebolehan Mut’ah :
1. Dari Ayyub berkata :
"Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan: 'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar'.
Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", juz 1, hal. 213.
2. Dari Ibnu Abi Mulaikah :
Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :"Orang-orang mendurhakaimu". Berkata Ibnu Abbas :"Apa sebabnya". Berkata Urwah :"Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut'ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya". Berkata Ibnu Abbas :"Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar".
JAWABAN :
Dari dua riwayat diatas para Rofidhoh seolah-olah ingin menampilkan bahwa dalam debat diatas, kebolehan mut’ah-lah- yang diwakili oleh pendapat sahabat Ibnu Abbas RA- yang diunggulkan, dengan ending (akhir) pembicaraan sebagaimana tersebut diatas. Tetapi ternyata, riwayat2 ini ADALAH HASIL MUTILASI DARI RIWAYAT YANG MASIH ADA KELANJUTANNYA. Mari kita lihat selengkapnya :
Juga dapat dilihat riwayat yang lengkap disini :
Jadi percakapan selengkapnya berbunyi :
Dari Ayyub berkata : "Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah ?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan :'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar. Maka Urwah menjawab : ”SESUNGGUHNYA MEREKA BERDUA ( ABU BAKAR DAN UMAR ) LEBIH MENGETAHUI SUNNAH ( NABI SAW ) DARIPADA DIRIMU. MAKA SANGGAHAN INI MEMBUAT IBNU ABBAS TERDIAM.”
JADI MUTILASI YANG DILAKUKAN PARA ROFIDHOH ADALAH PADA JAWABAN URWAH : ….”SESUNGGUHNYA MEREKA BERDUA ( ABU BAKAR DAN UMAR ) LEBIH MENGETAHUI SUNNAH ( NABI SAW ) DARIPADA DIRIMU. MAKA SANGGAHAN INI MEMBUAT IBNU ABBAS TERDIAM.”
MAKA DENGAN ADANYA RIWAYAT YANG LENGKAP, MAKA KITA AKAN MENGETAHUI ENDING (AKHIR) CERITA INI DENGAN SESUNGGUHNYA, YAITU TENTANG BENARNYA KEHAROMAN MUT’AH. JADI DARI SINI PULA TERBONGKARLAH KELICIKAN PARA ROFIDHOH DALAM BERHUJJAH…!!!
SEMOGA KETERANGAN YANG KAMI SAMPAIKAN DIATAS DAPAT BERMANFAAT…. WALLOHU A’ALAM, WALLOHU AL MUWAFFIQ ILA AQWAMI AL THORIQ.
Untuk para syi’ah dan lainnya yang tidak setuju serta tidak sependapat dengan tulisan kami diatas, silahkan dikomentari dibawah, mari kita diskusikan bersama…!!! Dengan syarat berbicara dengan dasar ilmiyah serta dikemukakan dengan menggunakan dalil dan hujjah, bukan berdebat diatas ludah…..Tafadhdhol !!!!!!
______________________
Demikian Hujjah dari Note Al-Akh Dodi ElHasyimi, Simak Dialog Lengkap Beliau Bersama Saudara-Saudara Ahlus Sunnah Lainnya dengan para kaum sesat agama syi'ah ----->DISINI<-----
Sebelumnya kita lihat disini dalil menurut Al-Qur'an sbb:
Kedudukan Mut'ah halal menurut Al-Qur'an, Sedangkan Haram Menurut Umar bin Khattab. Apakah Umar itu Tuhan Yang menentukan Ayat-Ayat Allah Swt?
Allah Swt Berfirman dalam Al-Qur'an dalam 3 Ayat sbb:
3 Ayat Al-Qur'an Tentang Mut'ah, Al-Baqarah (2:241 dan 2:236) dan Al-Ahzab 33:49
1. Al Baqarah Ayat 241 - 250 Dan Terjemah:
241.
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.
242.
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.
243.
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
244.
Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
245.
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
246.
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
247.
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
248.
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
249.
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
250.
Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".
2. Al Baqarah Ayat 236 Dan Terjemah:
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
Seorang suami yang menjatuhkan talak pada istrinya sebelum bercampur dan sebelum menentukan jumlah maharnya ia tidak dibebani membayar mahar tetapi ia diwajibkan memberi mutah, yaitu pemberian untuk menimbang-rasa bekas istrinya. Besar kecilnya jumlah pemberian tersebut tergantung pada suami, yang kaya sesuai dengan kekayaannya dan yang tidak mampu sesuai pula dengan kadar yang disanggupinya. Pemberian mutah tersebut merupakan suatu kewajiban atas laki-laki yang mau berbuat baik.
3. Al Ahzab Ayat 49 Dan Terjemah:
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
Diantara sahabat wanita yang meyakini kehalalan Nikah Mut’ah adalah Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] dan dia adalah Ibu dari Abdullah bin Zubair. Sebagian tabiin pernah datang kepadanya menanyakan tentang Nikah Mut’ah maka ia menjawab “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut pembahasannya:
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Shaalih bin Waliid An Nursiy keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ab Hafsh ‘Amru bin Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata “kami menemui Asma’ binti Abu Bakar maka kami tanyakan kepadanya tentang Mut’ah maka ia berkata “kami telah melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/103 no 277].
Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya:
1. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal anak seorang imam [Ahmad bin Hanbal] tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/295 no 3205]. Muhammad bin Shaalih bin Waliid tidak ditemukan biografinya.
2. ‘Amru bin ‘Aliy Al Fallaas Abu Hafsh seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/424 no 5081].
3. Abu Dawud adalah Sulaiman bin Dawud Ath Thayaalisiy seorang yang tsiqat hafizh, keliru dalam hadis-hadis [Taqrib At Tahdzib 1/250 no 2550].
4. Syu’bah bin Hajjaaj seorang yang tsiqat hafizh mutqin, Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia amirul mukminin dalam hadis [Taqrib At Tahdzib 1/266 no 2790].
5 Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/530 no 6643].
‘Amru bin Aliy Al Fallaas dalam riwayatnya dari Abu Dawud Ath Thayalisiy memiliki mutaba’ah yaitu:
1. ‘Abdah bin ‘Abdullah Al Khuza’iy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dengan lafaz mut’ah. ‘Abdah bin ‘Abdullah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/369 no 4272].
2. Yunus bin Habiib Al Ashbahaaniy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341 dan Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy no 1731, dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Yunus bin Habiib seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 9/237 no 1000].
3. Mahmuud bin Ghailan Al Marwaziy sebagaimana disebutkan dalam Sunan Nasa’i 3/326 no 5540 dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Mahmuud bin Ghailan seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/522 no 6516].
Berikut riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang menyebutkan lafaz bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah:
Telah menceritakan kepada kami Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawuud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata kami menemui Asmaa’ binti Abi Bakar, maka kami menanyakan kepadanya tentang Nikah Mut’ah maka ia berkata “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Musnad Abu Dawud Ath Thayaalisiy no 1731].
Kedudukan hadis tersebut shahih. Mengenai Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy, Ahmad bin Hanbal menyatakan tidak ada masalah dengannya. Abu Hatim berkata “syaikh”. Nasa’iy berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib 10/123 no 251].
Abu Dawud Ath Thayaalisiy memang dinyatakan bahwa ia pernah keliru dalam sebagian hadisnya tetapi ia pada dasarnya seorang yang tsiqat hafizh dan disini termasuk riwayatnya dari Syu’bah dimana Yahya bin Ma’in berkata bahwa Abu Dawud lebih alim dari Ibnu Mahdiy dalam riwayat dari Syu’bah [Tarikh Ibnu Ma’in, riwayat Ad Darimiy 1/64 no 107]. Hanya saja jika ternukil penyelisihan dalam arti ia tafarrud dalam periwayatan dimana menyelisihi para perawi yang lebih tsiqat atau tsabit dari dirinya maka hal ini bisa menjadi illat [cacat] bagi lafaz yang tafarrud tersebut.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia memberikan keringanan untuk melakukannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu Ibnu Zubair menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberi keringanan tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan tanyakan kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia wanita yang gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan keringanan tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].
Hadis Muslim di atas juga disebutkan dalam Musnad Ahmad 6/348 no 26991, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/77 no 202, Sunan Baihaqiy no 9153, Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dan Tarikh Ibnu Asakir 5/69 semuanya dengan jalan sanad Rauh bin ‘Ubadah dari Syu’bah dari Muslim Al Qurriy.
Rauh bin ‘Ubadah seorang yang tsiqat fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/211 no 1962]. Ternukil juga sebagian ulama yang sedikit membicarakannya seperti Ibnu Mahdiy yang membicarakannya karena kekeliruan dalam sanad hadis. Al Qawaririy yang tidak mau menceritakan hadis dari Rauh. Diriwayatkan dari Abu Hatim yang berkata “tidak dapat berhujjah dengannya”. Nasa’i berkata “tidak kuat” [As Siyaar Adz Dzahabiy 9/409].
Tetapi hal ini tidaklah menjatuhkan kedudukannya. Dalam hal ini kami menukil ulama yang membicarakannya hanya untuk menunjukkan bahwa kedudukan Rauh bin ‘Ubadah tidaklah berbeda dengan kedudukan Abu Dawud Ath Thayaalisiy. Keduanya perawi yang sama-sama tsiqat dan ternukil sedikit kelemahan padanya.
Abu Dawud dalam hadis ini telah berselisih dengan Rauh bin ‘Ubadah. Abu Dawud menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah sedangkan Rauh bin ‘Ubadah menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji. Kemudian Muslim dalam Shahih-nya setelah mengutip hadis Rauh di atas ia menyebutkan hadis berikut:
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad yakni Ibnu Ja’far keduanya dari Syu’bah dengan sanad ini. Adapun ‘Abdurrahman dalam hadisnya disebutkan Mut’ah tanpa mengatakan Mut’ah Haji dan adapun Ibnu Ja’far mengatakan Syu’bah berkata Muslim berkata “aku tidak tahu apakah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].
Muhammad bin Ja’far [Ghundaar] adalah perawi yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].
Kedudukan riwayat Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah pada dasarnya lebih didahulukan dibanding riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy dan Rauh bin ‘Ubadah. Dan ternyata riwayat Muhammad bin Ja’far menyebutkan bahwa Muslim Al Qurriy ragu apakah itu Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah. Hal ini sebenarnya termasuk perkara musykil karena bagaimana bisa Muslim Al Qurriy yang menemui Asma’ dan bertanya kepadanya tentang Mut’ah menjadi ragu atau tidak tahu apakah Mut’ah tersebut adalah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah.
Sebagian para pengingkar demi menolak anggapan Asma’ binti Abu Bakar melakukan nikah mut’ah, maka mereka melemahkan riwayat Abu Dawud dari Syu’bah di atas dengan alasan telah menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdiy, Ghundaar dan Rauh bin ‘Ubadah yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah an nisaa’ [nikah mut’ah].
Hujjah ini bathil dan mengandung penyesatan halus karena dengan alasan yang sama riwayat Rauh bin ‘Ubadah [yang menyebutkan Mut’ah Haji] bisa juga dilemahkan karena menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdi, Ghundaar dan Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah haji.
Cara berhujjah seperti ini keliru. Riwayat Syu’bah hanya berselisih dengan riwayat Rauh bin ‘Ubadah. Adapun riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar yang menyebutkan lafaz Mut’ah saja, tidaklah berselisih secara makna dengan riwayat Syu’bah atau pun Rauh bin ‘Ubadah. Yang manapun yang benar diantara keduanya akan tetap sesuai dengan riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar.
Penyelesaian masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan riwayat Muslim Al Qurriy saja. Harus ada qarinah lain yang menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud Asma’ binti Abu Bakar tersebut apakah nikah Mut’ah atau Mut’ah haji. Terdapat riwayat shahih selain riwayat Muslim Al Qurriy bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah.
Telah menceritakan kepada kami Shaalih bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bisyr dari Sa’id bin Jubair yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Zubair berkhutbah dan ia mencela Ibnu ‘Abbas atas perkataannya tentang Mut’ah. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “tanyakanlah kepada Ibunya jika memang ia benar” maka ia bertanya kepadanya [Ibunya]. [Ibunya] berkata “Ibnu ‘Abbas benar, sungguh hal itu memang demikian”. Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ta’ala ‘anhuma] berkata “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya [nikah mut’ah]” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 3/24 no 4306].
Riwayat Ath Thahawiy di atas sanadnya jayyid. Para perawinya tsiqat dan shaduq berikut keterangan tentang mereka:
1. Shaalih bin ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Al Haarits Al Mishriy termasuk salah satu guru Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abi Hatim berkata “aku mendengar darinya di Mesir dan dia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/408 no 1790]. Dia termasuk guru Ibnu Khuzaimah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/77 no 149]. Dia juga termasuk guru Abu Awanah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Mustakhraj Abu Awanah 2/431 no 1737]. Pendapat yang rajih, ia seorang yang shaduq.
2. Sa’id bin Manshuur adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad berkata “termasuk orang yang memiliki keutamaan dan shaduq”. Ibnu Khirasy dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan tsiqat dan termasuk orang yang mutqin dan tsabit. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaih” [At Tahdzib juz 4 no 148].
3. Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim telah memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979].
4. Abu Bisyr adalah Ja’far bin Iyaas perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, An Nasa’i dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 129]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan termasuk orang yang paling tsabit dalam riwayat Sa’id bin Jubair, Syu’bah melemahkannya dalam riwayat Habib bin Salim dan Mujahid” [At Taqrib 1/160 no 932].
5. Sa’id bin Jubair adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Ath Thabari berkata tsiqat imam hujjah kaum muslimin. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan faqih ahli ibadah memilik keutamaan dan wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349]. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 578].
Lafaz perkataan Ibnu Abbas “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya” menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah Nikah Mut’ah. Tetapi terdapat juga riwayat lain yang menguatkan bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid yaitu bin Abi Ziyaad dari Mujahid yang berkata ‘Abdullah bin Zubair berkata “lakukanlah haji kalian dengan ifrad dan tinggalkanlah perkataan orang ini yaitu Ibnu ‘Abbaas”. Maka berkata Ibnu ‘Abbaas “tidakkah kami menanyakan kepada Ibumu mengenai hal ini”. Maka ia [Ibnu Zubair] mengutus seseorang kepada Ibunya, [Ibunya] berkata “benarlah Ibnu ‘Abbaas, kami keluar bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk melakukan haji, maka Beliau memerintahkan untuk menjadikannya Umrah maka menjadi halal bagi kami apa-apa yang halal hingga bertebaran bara api antara wanita dan pria [Musnad Ahmad 6/344 no 26962].
Hanya saja riwayat di atas sanadnya dhaif karena Yazid bin Abi Ziyaad. Yazid bin Abi Ziyaad Al Qurasyiy termasuk perawi Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak hafizh”. Yahya bin Ma’in berkata “tidak kuat”. Al Ijliy berkata “ja’iz al hadits”. Abu Zur’ah berkata “layyin ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Abu Dawud berkata “tidak diketahui satu orangpun yang meninggalkan hadisnya tetapi selainnya lebih disukai daripadanya”. Ibnu Adiy berkata “orang syi’ah kufah yang dhaif ditulis hadisnya”. Ibnu Hibban berkata “shaduq kecuali ketika tua jelek dan berubah hafalannya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ahmad bin Shalih Al Mishriy berkata “tsiqat dan tidak membuatku heran perkataan yang membicarakannya”. An Nasa’iy berkata “tidak kuat” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 531]. Pendapat yang rajih Yazid bin Abi Ziyaad seorang yang dhaif tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar.
Kalau kita ingin menerapkan metode tarjih maka qarinah bahwa Mut’ah yang dimaksudkan Asma’ binti Abu Bakar adalah Nikah Mut’ah lebih kuat kedudukannya dibanding qarinah yang menunjukkan Mut’ah Haji. Tetapi kalau kita ingin menerapkan metode jamak maka dapat disimpulkan bahwa kedua jenis Mut’ah baik Nikah Mut’ah maupun Mut’ah Haji telah dilakukan dan diyakini kebolehannya oleh Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha]. Terdapat riwayat yang menjadi petunjuk bahwa perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair mencakup kedua jenis Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji], berikut riwayatnya:
Telah menceritakan kepada kami Haamid bin ‘Umar Al Bakraawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waahid yaitu Ibnu Ziyaad dari ‘Aashim dari Abi Nadhrah yang berkata aku berada di sisi Jabir bin ‘Abdullah maka datanglah seseorang dan berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair telah berselisih tentang dua Mut’ah. Maka Jabir berkata “kami telah melakukannya keduanya bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian Umar melarang kami melakukan keduanya maka kami tidak melakukan keduanya” [Shahih Muslim 2/1022 no 1405].
Masih memungkinkan untuk dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang hukum kedua Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji] maka Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair bertanya kepada Ibunya [Asma’ binti Abu Bakar] dan Ia menyatakan bahwa kedua Mut’ah tersebut telah dilakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pendapat ini lebih baik karena menggabungkan semua riwayat yang ada di atas.
Kesimpulannya memang shahih Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] mengakui bolehnya nikah Mut’ah dimana ia bersaksi bahwa ia telah melakukan nikah Mut’ah di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
Tambahan Dari Saya:
Nikah Mut’ah jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman
Pertanyaan yang cukup menyentak dari ulama syiah adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika terbumikan di masyarakat mereka.
tangisilah salah satu sahabat besar Rasulullah SAWW, Zubair bin Awwam, seorang sahabat yang terkenal keberaniannya, suami Asma’ binti Abu Bakar, khalifah pertama. Perkawinan mereka dilakukan melalui kawin mut’ah yang melahirkan Abdullah dan urwah bin Zubair. Juga banyak sahabat yang lain, sebagaimana tercatat dalam buku-buku tarikh Sunni kita. Mengapa anda tidak sekaligus mengkritik Rasulullah karena ‘mengizinkan’ perkawinan mut’ah tersebut dan mengapa Rasulullah SAWW tidak menangisinya? [1]
Mengenai kawin mut’ah, Umar melarangnya, tetapi ayat Al-Quran tidak dapat dibuang. Islam tidak mengajarkan kita untuk mengawini tiap wanita yang kita temui di jalan, kawin biasa, kawin sirri atau kawin mut’ah.
Pernahkah saudara menyaksikan kawin mut’ah di Iran?
Tanyailah Amien Rais atau Lukman Harun yang pernah berkunjung ke Iran. Atau Smith Alhadar, seorang pengamat Timur Tengah terkenal yang pernah mengelilingi Timur Tengah, seorang Sunni dari dulu sampai sekarang, yang pernah tinggal di Saudi Arabia maupun di Iran selama bertahun-tahun.
Apakah saudara-saudara telah menyelidiki berapa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin disini untuk satu bulan samapai tiga tahun? Sudahkah saudara-saudara memeriksa surat nikah mereka?
Seorang kawan menceritakan kepada saya bahwa ia diberi uang Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut’ah ala Wahabi. DIa mencari seorang pelacur dan ‘menasihatinya’ agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya. Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur lain untuk dikawin-kontrakkan kepadanya selama tiga bulan.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak TKI kita yang diperkosa disana ?
Tanpa ditanya, seorang teman yang telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kerajaan Saudi Arabia mengatakan kepada saya bahwa bila para lelaki bisa hamil, maka jumlah kehamilan diluar nikah akan berlipat ganda.
Apakah saudara-saudara punya statistik berapa banyak ulama yang punya istri lebih dari sepuluh dan berapa banyak yang kawin sirri di Indonesia? berapa banyak yang kawin antar agama dan membagi anak-anak dalam dua bagian, sebagian mengikuti agama bapak sebagian mengikuti ibu? Apakah saudara-saudara juga punya statistik serupa dikalangan Syi’ah? Metode berpikir komparatif sangat dibutuhkan dalam berbagai cabang ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbandingan agama atau ilmu perbandingan mazhab.
Saudara-saudara menyatakan bahwa kawin mut’ah haram. Padahal ini jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman Umar. Kalau tidak setuju, kita bahas nanti dibagian lain. Tapi mampukah saudara mengatakan bahwa pelacuran dan lokalisasi pelacuran itu haram dalam Islam? Punyakah saudara-saudara statistik jumlah bayi, yang ayahnya entah berada dimana, yang dibungkus plastik dan dibuang ke selokan-selokan serta tempat-tempat sampah dan yang digugurkan di klinik-klinik yang resmi atau pun tidak, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ?
Mampukah saudar-saudara mengeluarkan fatwa bahwa melacur itu haram dan dengan demikian melokalisasinya juga haram? Dan tahukah saudara-saudara bahwa pelacur-pelacur makin hari makin bertambah? Jangan-jangan saudara takut membuat fatwa yang mengharamkan pelacuran dan menutup lokalisasi tersebut?
Pelacuran tidak akan ada bila tidak ada sekelompok laki-laki ‘pencari seks’ yang hendak memenuhi naluri seks mereka.
Ataukah saudara-saudara takut jangan-jangan para ‘pencari seks’ memasuki jendela-jendela kita dan meperkosa istri dan anak-anak kita, sehingga saudara-saudara meras perlu menghalalkan lokalisasi tersebut? Bukankah berdiam diri dalam masalah ini sama dengan menghalalkan pelacuran, perzinaham dan lokalisasi ?
Say akhawatir saudara-saudara mengharamkannya karena mereka yang menjalankan mut’ah berhujjah dengan nash yang tidak terbantahkan. Sebaliknya menghalalkan pelacuran karena sudah jelas haramnya, meski pun beresiko anak yang lahir kelak tak akan pernah mengetahui bapaknya. Dan pelacuran juga menyulitkan untuk menjajaki, tracing, sumber penyakit kelamin. Kawin mut’ah ada masa iddah-nya, dan suaminya dikenal, sehingga sulit menyebarkan penyakit kelamin. Kalau pun ada, mudah dijajaki. Bukankah penyakit kelamin atau AIDS, terjadi karena menganti-ganti pasangan ?
Silahkan saudara-saudara mencukur jenggot dan kumis dan tinggal di tempat-tempat kost sekitar kampus lalu saksikan dengan mata kepala sendiri sexual behaviour, tingkah laku seks putra-putri saudara. Mungkin saudara-saudar akan pingsan waktu menyaksikan apa yang dilakukan oleh putra saudara-saudara yang tiap hari pulang ke rumah bak pangeran dan perjaka, serta putri bak perawan suci yang baru turun dari kahyangan. Mampukah kita mengucapkan istighfar dan membenarkan perzinahan sementara mengkambinghitamkan kawin mut’ah ?
Punyakah saudara-saudara statistik berapa banyak putra-putri kita yang berzinah, yang melakukan kawin sirri, atau kawin sembunyi-sembunyi ala Sunni atau kawin mut’ah ala Sunni? Sebagian besar mungkin akan menjawab bahwa mereka membaca artikel ‘Mut’ah, Sebuah Perkawinan Alternatif’ dalam sebuah koran ibu kota yang ditulis seorang tokoh Sunni.
Jangan sekali-kali berprasangka buruk, bahwa pemuda-pemuda kita adalah bodoh, lalu kawin mut’ah hanya karena dipengaruhi oleh orang Syi’ah.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak tokoh dan pemuda Sunni kita yang kawin mut’ah ? Darimana mereka mendapat ‘fatwa’ bahwa mut’ah itu halal ?
Jangan menuduh Syi’ah sebagai scape goat, pemikul beban, sebagai ‘kucing hitam’, padahal Sunni sendiri yang mengeluarkan ‘fatwa’ dan kaum Sunni yang melakukan kawin mut’ah menurut versi Sunni sendiri sesuai dengan pandangan kritis.
Justru yang harus menjaga anak-anak gadisnya adalah kaum Syi’ah, bukan Sunni!
Referensi:
[1] Bacalah perdebatan antara Abdullah bin Abbas dan Ibnu Zubair: Ibn Abi’l-Hadid. Syarh Nahju’l-Balaghah, jilid 20, hal, 129-131.
Benarkah Nikah Mut’ah Tidak Dipraktekan Rasulullah saw dan Aimmah?
Seseorang mengirimkan e-mail dan bertanya: apakah Nabi dan Imam Ahlulbait mempraktikan nikah mutah? Benarkah tidak ada dalil yang kuat tentang nikah mutah, khususnya dari para Imam Ahlulbait?
JAWABAN: Kami belum menemukan riwayat atau data sejarah tentang Rasulullah saw dan Aimmah melakukan nikah mut’ah. Meski tidak dipraktekan oleh Rasulullah saw dan Aimmah, tetapi masih bagian dari syariat Islam.
Sejarah menyebutkan praktek nikah mut’ah, berdasarkan hadis dan riwayat dari Ahlusunnah dan Ahlulbait, bahwa terjadi ketika para sahabat jauh dari istri-istrinya dan dalam kondisi perang. Para sahabat yang tidak tahan saat melihat kaum wanita diizinkan oleh Rasulullah saw untuk menikahinya dengan dibatasi waktu. Nikah yang dibatasi waktu inilah yang disebut dengan nikah mut’ah dengan ketentuan rukun dan syarat ditunaikan. Sama dengan ketentuan dalam rukun dan syarat nikah daim, baik monogami maupun poligami.
Nikah mut’ah yang dilakukan sahabat dan diketahui atau dibolehkan oleh Rasulullah saw merupakan taqrir. Meski tidak dicontohkan, tetap masih ada pembenaran dari Rasulullah saw dengan tidak melarang sahabat melakukan nikah mut’ah dan tercantum pula dalam Al-Quran surah Annisa ayat 24.
Memang tidak ada riwayat yang mengitsbatkan Nabi dan para Imam Ahlulbait melakukan nikah mut’ah. Tetapi hal itu bukan menjadikan dalil bahwa nikah mut’ah itu haram. Sebab tidak semua yang halal dilakukan oleh Nabi dan para Imam Ahlulbait seperti halnya Nabi belum pernah merasakan bawang. Lalu, apakah bawang itu haram?
Memang ada sebagian orang yang memperkirakan bahwa sebagian Imam melakukan nikah mut’ah karena mereka istrinya lebih dari empat. Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra telah melakukan nikah mutah dengan seorang perempuan Kufah, Irak. Namun, belum ada keterangan yang menguatkan riwayat tersebut. Mungkin saja istri yang banyak itu budak wanita, bukan istri mutah.
Perlu diketahui, nikah mutah tidak semudah yang dikira oleh orang-orang yang anti Syiah. Dalam fikih mazhab Syiah terdapat syarat dan rukun yang perlu diketahui, dilaksanakan, dan konsekuensi syariatnya.
Beberapa ketentuan nikah mutah, yaitu aqad harus dengan bahasa Arab disebutkan mahar dan zaman (waktu); kalau mahar atas keinginan dan keridhaan wanita; nikah mutah tak ada paksaan (hukum dasarnya mubah, tapi bisa jadi makruh, haram, mustahab/sunah); kalau seorang gadis wajib izin walinya (ayahnya atau kakeknya); tidak boleh dengan perempuan pelacur.
Kalau membuahkan anak maka anaknya sah nasab ke ayahnya dan menjadi tanggungan ayahnya dari sisi nafkah dan pewarisan; tidak saling mewarisi antara suami dan istri kecuali disepakati dari aqad nikah masalah adanya hal semacam pewarisan.
Suami tidak ada kewajiban menafkahi kecuali kalau disyaratkan dalam aqad nikah untuk memberikan semacam nafkah; istri mut’ah adalah istri resmi dan berlaku hukum suami istri.
Setelah selesai masa nikah (waktu) istri harus iddah dua kali haid (kalau hendak menikah lagi) dan sebelum habis masa haid tidak boleh menikah.
Sama dengan nikah permanen (daim), nikah mutah juga ada dalilnya yang terdapat pada surah Annisa ayat 24:
“…. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka. Berikanlah kepada mereka maharnya (sebagai suatu kewajiban).”
Mufasir Al-Fakhru al-Razi menerangkan bahwa: ayat (Annisa ayat 24) ini khusus tentang nikah mutah karena alasan berikut: “Ubayy bin Ka’b dan Abdullah bin Abbas membaca ayat ini iIâ ajalin musammâ (sampai waktu yang ditentukan). Tidak ada sahabat yang menyangkalnya, berarti umat ijma tentang kebenaran qiraatnya.”
Dari Imran bin Hushayn: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Maka tidak turun satu ayat pun yang menasakhnya dan Nabi Muhammad saw tidak melarangnya sampai ia meninggal dunia.”(Musnad Ahmad 4: 436).
Imran bin Hushayn berkata: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Tidak turun ayat sesudahnya yang menasakhnya dan Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukannya. Ia meninggal dunia dan tidak pernah melarangnya. Kemudian seorang lelaki berkata dengan pendapatnya sekehendak hatinya.” (Al-Fakhr 9:51; lihat juga al-Bukhari 3:151, Kitab al-Tafsir, 7:24).
Al-Hakam ditanya tentang surat Annisa ayat 24: “Apakah sudah mansukh?” Ia menjawab: “Tidak.” Lalu ia mengutip ucapan Ali: “Sekiranya Umar tidak melarang mutah, tidak akan ada yang berzinah kecuali orang yang jahat (celaka).” (Tafsir al-Thabari 5:13; al-Fakhr 9:51; al-Durr al-Mantsur 2:486; Tafsir al-Nisaburi 5:16).
Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mutah dan Ibn Abbas ra memerintahkannya. Kami melakukan mutah (pada masa) bersama Rasulullah saw dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar bin Khaththab ra memerintah, pernah berkhotbah: Sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul ini dan sungguh Al-Quran adalah Al-Quran ini. Sesungguhnya ada dua mutah yang ada pada zaman Rasulullah saw, yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama mutah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai watu tertentu, aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua adalah mutah haji (haji tamattu).” (Sunan al Baihaqi 7:206, Muslim dalam bab nikah mutah, Al-Durr 3:487;Al-Fakhr 9:54, Al-Qasimi 5:1192).
Dari hadis tersebut bahwa nikah mut’ah diharamkan oleh Umar bin Khaththab. Mungkin karena posisi Umar menjadi penguasa sehingga bisa membuat kebijakan baru dengan mengharamkannya. Meski diharamkan oleh Umar, nash al-Quran dan hadis tidak terhapus karena kedudukannya lebih kuat dari pada fatwa politik khalifah.
Kalau menelusuri sejarah sahabat diketahui bahwa Abdullah bin Zubair dan Urwah bin Zubair adalah anak hasil nikah mutah antara Zubair bin Awwam dengan Asma binti Abu Bakar. Silakan baca buku Mazhab Kelima karya Prof Muhammad Husain T (penerbit Nur Al-Huda, 2013) bagian lampiran 2: mut’ah (pernikahan temporer) halaman 295.
O.Hashem dalam buku Menjawab Seminar Sehari tentang Syiah menjelaskan banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun.
Ia juga bercerita tentang kawannya yang keturunan Arab diberi uang lima juta rupiah oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mutah ala Wahabi. Dia mencari seorang perempuan yang bisa diajak “main ranjang” dan menasihatinya agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya.
Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan perempuan itu. Ketika ia datang kembali ia akan disuguhkan perempuan nakal yang lain untuk dikawin kontrak selama tiga bulan.
Menurut Hashem, nikah yang disebutkan tidak masuk dalam kategori mutah. Orang-orang Arab menyebutnya misyar(nikah untuk diceraikan kalau sudah tidak diperlukan) dan ada dalam mazhab Wahabi.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa nikah mut’ah masih bagian dari syariat Islam. Meski tidak dicontohkan atau dipraktekan pelaksanaannya oleh Rasulullah saw dan Aimmah, masih bisa dilakukan oleh umat Islam dengan mengacu pada ketentuan dan rukun yang didasarkan pada syariat Islam yang kini masuk dalam kajian ilmu fikih.
Kalau nika mut’ah ada yang menghukumkan sebagai haram , maka ASMA’ BINTI ABUBAKAR sebagai pezina dan melahirkan anak zinaASMA’ BINTI ABUBAKAR NIKAH MUTAH DAN MELAHIRKAN 2 ANAK KESAKSIAN MUSLIM DAN ABU DAWUD(1) Muslim meriwayatkan haji mut’ah dan nikah mut’ah dalam 2 versi:
(1) Ayyub berkata :“Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :’Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut’ah?’. Ibnu Abbas menjawab:’Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah’. Kemudian Urwah mengatakan:’Abubakar dan Umar tidak melakukannya’. Ibnu Abbas menjawab:’Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu.[Ibnu Qoyyim, dalam “Zaadul Ma’ad”, Jilid 1, Hlm 213].
Ibnu Abbas berkata: “Perapian pertama yang menyala dalam mut’ah adalah perapian keluarga Zubair”[Ibn Abdu Rabbih, dalam “Iqdu Al-Farid”, Jilid 4, Hlm 414].
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah
Sudah menjadi kesepakatan segenap kaum muslimin bahwa nikah mut’ah pernah ada pada zaman Rasul sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab standar Sunni maupun Syiah. Disebutkan bahwa Rasul (saww) pernah membolehkan pernikahan jenis tersebut, akan tetapi lantas terjadi perbedaan pendapat diantara para pengikut Islam adakah Rasul sampai akhir hayat beliau tetap membolehkan pernikahan itu ataukah tidak? Sebagian dari mereka mengatakan bahwa sebelum pulangnya Rasul (saww) ke rahmatullah beliau telah melarang pernikahan tersebut atau dengan istilah yang sering dipakai hukum dibolehkannya nikah mut’ah telah mansukh (terhapus). Sebagian lagi mengatakan bahwa sampai akhir hayat beliaupun beliau tidak pernah melarangnya, akan tetapi seorang yang bernama Umar bin Khatab lah yang kemudian melarangnya sewaktu ia menjabat kekhalifahan.
Dari dua pendapat diatas dalam tulisan ini akan dibahas manakah dari pendapat tersebut yang lebih dekat pada kenyataan? Apakah nikah mut’ah telah dimansukh oleh Rasul atau tidak? Kalaulah tidak lantas apakah wewenang dan dasar yang dipakai oleh Umar untuk mengharamkannya? Adakah ia melakukan berdasarkan konsep ijtihad? Sedang Imam Ali (as) –sebagai khalifah keempat ahlissunnah- tidak pernah mengharamkannya? Bolehkah dalam Islam melakukan ijtihad walau bertentangan dengan ayat atau riwayat yang sebagai sumber utama syariat Islam? Kalaulah kita terima bahwa nikah jenis itu haram karena ijtihad Umar kenapa mut’ah haji (haji tamattu’) yang juga diharamkan oleh Umar tetap dianggap halal oleh seluruh kaum muslimin? Bukankah kalau kita menerima ijtihad Umar tentang pelarangan nikah mut’ah berarti juga harus menerima pelarangannya atas mut’ah haji? Lantas apakah alasan ahlissunnah menerima pelarangan nikah mut’ah sedang mut’ah haji tetap mereka halalkan? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang bisa kita munculkan dari permasalahan-permasalahan mut’ah yang sering dipakai sebagai bahan untuk melumatkan mazhab Syi’ah karena hanya Syi’ahlah (imamiah itsna asyariah) yang sampai sekarang ini masih tetap menganggapnya halal.
Yang perlu diingat oleh pembaca yang budiman adalah bahwa kita disini dalam rangka mencari kebenaran akan konsep hukum mut’ah dan lepas dari permasalahan praktis dari hal tersebut, oleh karenanya dalam membahas haruslah didasari oleh argumen dari teks agama ataupun akal dan bukan bersandar pada emosional maupun fanatisme golongan.
Argumentasi dari Kitab-kitab Standar Ahlissunnah akan Pembolehan Nikah Mut’ah
Sebagaimana yang telah singgung diatas bahwa nikah mut’ah pernah disyariatkan oleh Allah (swt) sebagaimana yang telah disepakati oleh seluruh ulama’ kaum muslimin, hal ini sesuai dengan ayat yang berbunyi:
“dan (diharamkan atas kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki, (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapanNya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka (istri-istri) yang telah kamu nikmati (campuri) diantara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”(Qs; An-Nisaa’:24)
Jelas sekali bahwa ayat tersebut berkenaan denga nikah mut’ah sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para perawi hadis dari sahabat-sahabat Rasul seperti: Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Habib bin Abi Tsabit, Said bin Jubair, Jabir bin Abullah al-Anshari (ra) dst.
Pendapat beberapa ulama’ tafsir dan hadis ahlussunnah
Adapun dari para penulis hadis dan penafsir dari ahlussunnah kita sebutkan saja secara ringkas:
1. Imam Ahmad bin Hambal dalam “Musnad Ahmad” jilid:4 hal:436.
2. Abu Ja’far Thabari dalam “Tafsir at-Thabari” jilid:5 hal:9.
3. Abu Bakar Jasshas dalam “Ahkamul-Qur’an” jilid:2 hal:178.
4. Abu bakar Baihaqi dalam “as-Sunan-al-Qubra” jilid:7 hal:205.
5. Mahmud bin Umar Zamakhsari dalam “Tafsir al-Kassyaf” jil:1 hal:360.
6. Fakhruddin ar-Razi dalam “Mafatih al-Ghaib” jil:3 hal:267.
7. dst.
Pendapat beberapa Sahabat (Salaf Saleh) dan Tabi’in
Beberapa ungkapan para sahabat Rasul dan para tabi’in (yang hidup setelah zaman para sahabat) sebagai contoh pribadi-pribadi yang mengingkari akan pelarangan (pengharaman) mut’ah:
Imam Ali bin Abi Thalib, sebagaimana diungkapakan oleh Thabari dalam kitab tafsirnya (lihat: jil:5 hal:9) dimana Imam Ali bersabda: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”.
Riwayat ini sebagai bukti bahwa yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin Khatab, lantas setelah banyaknya kasus perzinaan dan pemerkosaan sekarang ini –berdasarkan riwayat diatas- siapakah yang termasuk bertanggungjawab atas semua peristiwa itu?
Abdullah bin Umar bin Khatab (putera khalifah kedua), sebagaimana yang dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitab musnadnya (lihat: jil:2 hal:95) dimana Abdullah berkata ketika ditanya tentang nikah mut’ah: “Demi Allah, sewaktu kita dizaman Rasul tidak kita dapati orang berzina ataupun serong”. Kemudian berkata, aku pernah mendengar Rasul bersabda: “sebelum datangnya hari kiamat akan muncul masihud-dajjal dan pembohong besar sebanyak tiga puluh orang atau lebih”. Lantas siapakah yang layak disebut pembohong dalam riwayat diatas tadi? Adakah orang yang memutar balikkan syariat Rasul layak untuk dibilang pembohong?
Abdullah bin Masud, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:7 hal:4 kitab nikah bab:8 hadis ke:3), dimana Abdullah berkata: “sewaktu kita berperang bersama Rasulullah sedang kita tidak membawa apa-apa, lantas kita bertanya kepada beliau: bolehkah kita lakukan pengebirian? Lantas beliau melarang kita untuk melakukannya kemudian beliau memberi izin kita untuk menikahi wanita dengan mahar baju untuk jangka waktu tertentu. Saat itu beliau membacakan kepada kami ayat yang berbunyi: “wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mengharamkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kalian dan janganlah kalian melampaui batas…”(Qs Al-Ma’idah:87)
Cobalah renungkan makna ayat dan riwayat diatas lantas hubungkanlah antara penghalalan ataupun pengharaman nikah mut’ah! Manakah dari dua hukum tersebut yang sesuai dengan syariat Allah yang dibawa oleh Rasul?
Imran bin Hashin, sebagaimana yang dinukil oleh al-Bukhari dalam kitab shahihnya (lihat: jil:6 hal:27 kitab tafsir; dalam menafsirkan ayat: faman tamatta’a bil-umrati ilal-hajji (Qs Al-Baqarah)), dimana Imran berkata: “Diturunkan ayat mut’ah dalam kitabullah (Al-Qur’an) kemudian kita melakukannya di zaman Rasul, sedang tidak ada ayat lagi yang turun dan mengharamkannya, juga Rasul tidak pernah melarangnya sampai beliau wafat”. Riwayat seperti diatas juga dinukil oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam kitan musnadnya.
Dua riwayat ini menjelaskan bahwa tidak ada ayat yang menghapus (nasikh) penghalalan mut’ah dan juga sebagai bukti mahwa mut’ah sampai akhir hayat Rasul beliau tidak mengharamkannya.
Ibn Abi Nadhrah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Muslim dalam kitab shahihnya (lihat: jil:4 hal:130 bab:nikah mut’ah hadis ke:8), dimana Ibn abi nadhrah berkata: “Dahulu Ibn abbas memerintahkan (baca:menghalalkan) nikah mut’ah sedang Ibn zubair melarangnya kemudia peristiwa tersebut sampai pada telinga Jabir bin Abdullah al-Anshori (ra) lantas dia berkata: “Akulah orang yang mendapatkan hadis tersebut, dahulu kita melakukan mut’ah bersama Rasulullah akan tetapi setelah Umar berkuasa lantas ia mengumumkan bahwa; “Dahulu Allah menghalalkan buat Rasul-Nya sesuai dengan apa yang dikehendakinya, maka umat pun menyempurnakan haji dan umrah mereka, juga melakukan pernikahan dengan wanita-wanita tersebut, jika terdapat seseorang menikahi seorang wanita untuk jangka wanita tertentu niscaya akan kurajam ia dengan batu”.
Riwayat diatas juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dalam musnadnya (lihat: jil:1 hal:52). Dikatakan bahwa Abi Nadhrah berkata: “Aku berkata kepada Jabir bin Abdullah Anshari (ra), sesungguhnya Ibn zubair melarang nikah mut’ah sedangkan Ibn Abbas membolehkannya”. Kemudian ia (Jabir) mengatakan: “Melalui diriku hadis tersebut didapat, kita telah melakukan mut’ah bersama Rasulullah (saww) juga bersama Abu bakar, akan tetapi setelah berkuasanya Umar, ia (Umar) pun mengumumkannya pada masyarakat dengan ucapan: “Sesungguhnya Al-Qur’an tetap posisinya sebagai Al-Qur’an sedang Rasulullah (saww) tetap sebagai Rasul, ada dua jenis mut’ah yang ada pada zaman Rasul; haji mut’ah dan nikah mut’ah”.
Dua riwayat diatas dengan jelas sekali menyebutkan bahwa pertama orang yang mengharamkan nikah mut’ah adalah Umar bukan Rasul ataupun turun ayat yang berfungsi sebagai penghapus hukum mut’ah sebagaimana yang dikatakan sebagian orang yang tidak mengetahui tentang isi kandungan yang terdapat dalam buku-buku standar mereka sendiri.
Sebagai tambahan kami nukilkan pendapat Fakhrur Razi dalam tafsir al-Kabir, ketika menafsirkan ayat 24 surat an-Nisa. Ar-Razi mengutip ucapan Umar (“ Dua jenis mut’ah yang berlaku di masa rasulullah, yang kini ku larang dan pelakunya akan kuhukum, adalah mutah haji dan mut’ah wanita” ) dalam menetapkan pengharaman nikah mut’ah. Begitu juga tokoh besar dari kamu Asy,ariyah, Imam al-Qausyaji dalam kitab Syarh At-Tajrid, dalam pengharamannya mut’ah adalah ucapan Umar (ucapan Umar: Tiga perkara yang pernah berlaku di zaman Rasulullah, kini kularang, kuharamkan dan kuhukum pelakuknya adalah mut’ah wanita dan mutah haji serta seruan (azan): hayya ‘ala khayr al-‘amal (marilah mengerjakan sebaik-baik amal)). Qusyaji membela tindakan Umar ini, menyatakan bahwa semata-mata takwil atau ijtihad Umar.
Abdullah ibn Abbas, sebagaimana yang dinukil oleh al-Jasshas dalam Ahkamul-Qu’an (jil:2 hal:179), Ibn Rusyd dalam bidayatul mujtahid (jil:2 hal:58), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (jil:2 hal:249), al-Qurtubi dalam tafsirnya (jil:5 hal:130), suyuti dalam tafsirnya (jil:2 hal:140) dikatakan bahwa Ibn Abbas berkata: “semoga Allah merahmati Umar, bukanlah mut’ah kecuali merupakan rahmat dari Allah bagi umat Muhammad (saww) jikalau ia (Umar) tidak melarang mut’ah tersebut niscaya tiada orang yang menghendaki berbuat zina kecuali ia bisa terobati”
Riwayat yang dikemukakan oleh Ibn Khalqan dalam kitab Wafayaatul-A’yaan jil:6 hal:149-150, durrul mantsur jil:2 hal:140, kanzul ummal jil:8 hal:293, tarikh tabari jil:5 hal:32, tarikh Ibn khalkan jil:2 hal:359, tajul-arus jil:10 hal:200. Dan masih banyak lagi riwayat dalam kitab-kitab lainnya, .
Untuk mempersingkat tulisan singkat ini kita cukupkan hanya dengan menyebutkan riwayat-riwayat diatas. Untuk melengkapinya akan kita sebutkan beberapa permasalahan yang sering dilontarkan oleh orang-orang yang tidak paham akan maksud dari hikmah Ilahi tentang penghalalan nikah mut’ah dan kita berusaha untuk menjawabnya secara ringkas.
Soal: Salah satu fungsi pernikahan adalah untuk membina keluarga dan menghasilkan keturunan dan itu hanya bisa terwujud dalam nikah da’im (baca:nikah biasa), sedang nikah mut’ah tujuannya hanya sekedar sebagai pelampiasan nafsu belaka.
Jawab: Jelas sekali bahwa pertanyaan diatas menunjukkan akan adanya percampuran paham antara hukum obyek dengan fungsi/hikmah pernikahan. Yang ia sampaikan tadi adalah berkisar tentang hikmah pernikahan bukan hukum pernikahan. Karena kita tahu bahwa Islam mengatakan bahwa sah saja orang menikah walaupun dengan tidak memiliki tujuan untuk hal yang telah disebutkan diatas, sebagaimana orang lelaki yang sengaja mengawini wanita yang mandul atau wanita tua sehingga tidak terlintas sama sekali dibenaknya untuk mendapat anak dari wanita tersebut ataupun lelaki yang mengawini seorang wanita dengan nikah daim akan tetapi hanya untuk beberapa saat saja-taruhlah dua bulan saja- setelah itu ia talak wanita tersebut. Dua contoh pernikahan tersebut jelas tidak seorang ulama pun yang mengatakan bahwa itu batil hukumnya sebagaimana yang disampaikan oleh penulis tafsir “Al-Manaar” dimana ia mengatakan: “pelarangan para ulama’ terdahulu maupun yang sekarang akan nikah mut’ah mengharuskan juga pelarangan akan nikah dengan niat mentalak (istrinya setelah beberapa saat) walaupun para ahli fiqih sepakat bahwa akad nikah dikatakan sah walaupun ada niatan suami untuk menikahinya hanya untuk saat tertentu saja sedang niat tersebut tidak diungkapkannya saat akat nikah, sedang penyembunyian niat tersebut merupakan salah satu jenis penipuan sehingga hal itu lebih layak untuk dihukumi batil jika syarat niat tadi diungkapkan sewaktu akad dilangsungkan” (Tafsir al-Manaar jil:5 hal:17).
Dari sini kita akan heran melihat orang yang menganggap bahwa mut’ah hanya berfungsi sebagai sarana pelampiasan nafsu belaka dan bukankah dalam nikah da’im pun bisa saja orang berniat untuk pelampiasan nafsu saja, niatan itu semua kembali kepada pribadi masing-masing bukan dari jenis pernikahannya.
Soal: Nikah mut’ah menjadikan wanita tidak dapat menjaga kehormatan dirinya karena ia bisa berganti-ganti pasangan kapanpun ia mau, padahal Islam sangat menekankan penjagaan kehormatan terkhusus bagi para wanita.
Jawab: Justru dalam nikah mut’ah sama seperti nikah da’im dimana bukan hanya wanita yang ditekankan untuk menjaga kehormatannya tapi bagi silelaki pun diharuskan untuk menjaga hal tersebut, karena legalitas pernikahan tersebut sudah ditetapkan dalam syariat maka dengan cara inilah mereka menjaga kehormatan mereka dan tidak menjerumuskan diri mereka keperzinaan. Dalam Islam ada tiga alternatif dalam menangani gejolak nafsu birahi:Nikah da’im, Nikah mut’ah dengan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dan meredam nafsu dengan puasa misalnya.
Sekarang jika seseorang tidak mampu melaksanakan nikah da’im dengan berbagai alasan seperti karena masalah ekonomi, studi ataupun yang lainnya, dan untuk meredam nafsu dengan puasa misalnya iapun tidak mampu atau gejolaknya muncul diwaktu malam yang tidak memungkinkan untuk puasa, maka alternatif terakhir dengan nikah mut’ah tadi. Inilah yang diajarkan Islam kepada pengikutnya karena kita tahu bahwa Islam adalah agama terakhir, syariatnya pun adalah syariat terakhir yang dibawa oleh Nabi terakhir maka ia harus selalu up to date dan universal yang mencakup segala aspek kehidupan manusia yang mampu menjawab apapun kemungkinan yang bakal terjadi, dan ia merupakan agama yang bijaksana dimana salah satu ciri hal yang bijak adalah disaat ia melarang sesuatu maka ia harus memberi jalan keluarnya. Lantas jika seseorang tidak dapat melakukan nikah da’im ataupun meredam nafsunya lantas apa yang harus ia lakukan, sementara Islam melarang penyimpangan seksual jenis apapun? Atau jika ada seorang pemuda ingin mengenal seorang wanita lebih dekat untuk nanti menjadikannya seorang istri dalam masa pendekatan itu –karena boleh jadi gagal karena tidak ada kecocokan- hubungan apakah yang harus ia lakukan sehingga ia dapat berbicara dengan wanita tersebut berdua-duaan sedang Islam melarang berpacaran tanpa ada ikatan pernikahan?
Dan banyak lagi contoh lain yang Islam sebagai agama terakhir dan sebagai agama yang bijak dituntut untuk mampu menjawab tantangan tersebut, jika mut’ah diharamkan lantas kira-kira jalan keluar manakah yang akan diberikan oleh si pengharam mut’ah tadi? Oleh karenanya jangan heran jika Imam Ali (as) mengeluarkan statemen seperti diatas ( Imam Ali: “jika mut’ah tidak dilarang oleh Umar niscaya tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang benar-benar celaka saja”).
Kesalahan besar yang selama ini banyak terdapat pada benak kaum muslimin adalah mereka sering mengidentikkan nikah mut’ah dengan hubungan seksual padahal tidak mesti semacam itu –sebagaimana nikah da’im dengan anak dibawah usia yang diperbolehkan oleh para ahli fiqih semuanya- bisa saja siwanita mensyarati untuk tidak melakukan hal tersebut dalam akad nya sehingga mut’ah hanya sebagai sarana untuk menghilangkan dosa -semasa berkenalan untuk nantinya menikah daim- dengan adanya ikatan pernikahan diantara mereka.
Soal: Adanya beberapa sumber dari ahlussunnah yang menunjukkan adanya pelarangan mut’ah walaupun dari sisi waktu dan tempat pelarangannya berbeda-beda sehingga menjadi argumen bahwa ayat mut’ah (an-Nisaa:23) sudah terhapus dengan riwayat-riwayat itu, seperti:
1. Dibolehkannya mut’ah lantas dilarang pada seusai perang Khaibar.
2. Dibolehkannya nikah mut’ah lantas dilarang pada saat Fathul-Makkah.
3. Hanya dibolehkan pada saat peristiwa Awthas saja.
4. Diperbolehkan pada saat umrah qadha’ saja.
Jawab: Kita bisa katakan bahwa:
1- Ungkapan-ungkapan yang berbeda-beda itu menunjukkan tidak adanya kesepakatan akan pelarangannya karena perbedaan riwayat menunjukkan bahwa riwayat itu tunggal sifatnya (khabar wahid) dan riwayat jenis itu tidak bisa dijadikan sandaran sebagai penghapus hukum yang ada dalam Al-Qur’an, oleh karenanya Imran bin Hashin mengatakan tidak ada riwayat ataupun ayat yang menghapus hukum mut’ah (lihat kembali riwayat Imran diatas).
2- Khalifah kedua sebagai pengharam mut’ah pun tidak menyandaran ijtihadnya –kalaulah itu bisa disebut ijtihad- kepada ayat ataupun riwayat karena memang tidak ada riwayat yang menghapus hukum mut’ah tersebut sehingga dari sinilah menyebabkan banyak sahabat yang menentang keputusan Umar dalam pengharaman mut’ah. Kalau ada ayat atau riwayat yang mengharamkan nikah Mut’ah, kenapa Umar menyandarkan pelarangannya pada diri sendiri? Bukankah dengan menyandarkan pada ayat dan riwayat dari Rasul maka pendapatnya akan lebih kuat?
Soal: Diperbolehkannya melakukan nikah mut’ah adalah sebagaimana diperbolehkannya memakan daging babi yaitu pada saat-saat tertentu saja (dharurat) karena mut’ah sama hukumnya seperti zina yaitu haram, maka sebagaimana haramnya babi dalam saat-saat tertentu halal maka pada saat-saat tertentupun mut’ah halal juga hukumnya.
Jawab: Jelas penyamaan antara diperbolehkannya makan daging babi disaat dharurat berbeda dengan mut’ah, salah satu perbedaannya adalah:
Hukum dharurat hanya pada hal-hal yang mengakibatkan kelangsungan hidup (jiwa) terancam oleh karenanya diperbolehkan makan daging babi sebatas untuk menyambung hidup saja sehingga dilarang untuk makan secara berlebihan, adapun mut’ah apakah ia sama seperti daging babi sehingga jika seseorang tidak mut’ah lantas ia terancam kelangsungan hidupnya?
Kalaupun –walaupun alasan ini tidak dapat diterima- mut’ah bisa disamakan sama seperti daging babi yaitu terkenai hukum dharurat, lantas kenapa banyak sahabat yang melakukan mut’ah saat itu padahal gairah seksual tidak mesti muncul bersamaan sebagaimana rasa lapar?
Kalau dikatakan hukum dharurat itu ada, seharusnya hukum setelah hilang nya dharurat, kembali ke hukum awal nya (haram), akan tetapi yang kita dapati bahwa rasulullah tidak mengharamkan sampai akhir hayatnya. Sehingga tidak benar penghalalan hukum mutah itu dikarenakan dharurat.
Penutup:
Dari sini jelaslah bahwa nikah mut’ah diperbolehkan oleh syariat Islam –yang bersumber dari ayat dan hadis shohih- dimana sepakat kaum muslimin bahwa sumber syariat hanyalah Allah semata sebagaimana ayat yang berbunyi: “keputusan menetapkan suatu hukum hanyalah hak Allah”(Qs Yusuf:67). Sedang Rasul diutus untuk menjelaskannya oleh karenanya apa yang diungkapkan oleh beliau merupakan apa yang sudah disetujui oleh Allah. Rasul bersabda:“dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya, ucapan itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan”(Qs An-Najm:3-4). Oleh karenanya:“apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”(Qs Al-Hasyr:7).
Adapun ucapan para sahabat jika sesuai dengan firman Allah atau ungkapan Rasul maka bisa juga dikategorikan sebagai teks agama, akan tetapi jika tidak maka hal itu telah keluar dari apa yang telah tercantum dari ayat-ayat diatas tadi karena mereka manusia biasa seperti kita yang juga bisa salah sehingga tidak bisa dijadikan rujukan dalam menangani masalah syariat secara independen (mustaqil) tanpa tolok ukur kebenaran yang lain. Karena jika tidak, apa mungkin akan kita jadikan tolok ukur sedang kita dapati banyak pendapat mereka yang saling paradoksal sebagaimana yang kita saksikan tadi, bukankah dalam situasi perbedaan pendapat semacam itu kita diperintahkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul-Nya;“kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir”(Qs An-Nisaa’:59)
Bukanlah Allah dan Rasulnya tetap menghalalkan nikah mut’ah? Sewaktu sumber syariat adalah Al-Qur’an dan Hadis shohih lantas apakah diperbolehkan orang berijtihad –yang lantas hasilnya-hasilnya dianggap sebagai syariat- akan tetapi bertentangan dengan kehendak Allah dan Rasul yang sebagai sumber syariat?, bukankah dalam Al-Qur’an telah ditetapkan bahwa; “dan tidak patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka, dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, sesat yang nyata”(Qs al-Ahzab:36)
Apakah pemberian ketetapan lain yang tidak sesuai dengan ketetapan Allah dan Rasul tersebut tidak dikategorikan sebagai bid’ah -yang berarti mengada-adakan hukum syariat- dimana dalam riwayat disebutkan bahwa semua jenis bid’ah adalah sesat – “kullu bid’atin dholalah” -sehingga tidak ada lagi lubang untuk membagi bid’ah kepada bid’ah yang baik dan yang buruk? Lantas apakah konsekwensi bagi orang ahli bid’ah yang berarti ahli kesesatan yang dalam riwayat tentang bid’ah juga telah disebutkan “wakullu dhalalatin finnaar”? Kemudian apakah kita akan terus mengikuti ahli bid’ah dengan mengharamkan nikah mut’ah? Kalaupun nikah mut’ah haram lantas kenapa kita juga tidak mengharamkan mut’ah haji yang sampai detik ini masih dilakukan oleh semua kaum muslimin dunia padahal ia termasuk yang diharamkan oleh khalifah kedua? Dan masih banyak pertanyaan lain yang harus dijawab oleh saudara-saudara ahlussunnah yang berkisar tentang mut’ah. Renungkanlah dan bacalah saudara-saudaraku.
*****
Tujuan Nikah Mut’ah (fleksibel)
Pernikahan mut’ah tidak dimaksudkan sebagai sautu alternatif untuk pernikahan permanen, tapi sebaliknya merupakan suatu pilihan bagi orang-orang yang tidak mampu memenuhi syarat-syarat pernikahan permanen. Menyatakan bahwa pernikahan permanen pasti memenuhi semua kebutuhan adalah pendapat yang bodoh berdasarkan pengamatan yang cermat atas masyarakat. Imam Ali as, dikutip telah mengucapkan hal berikut tentang ini “Ia (pernikahan fleksibel) dibolehkan dan secara mutlak diizinkan bagi siapapun yang kepadanya Allah belum menyediakan sarana pernikahan permanen sehingga ia bisa disucikan dengan melakukan mut’ah” (Wasa’il, jld 14, hal 449-450).
Di masyarakat modern, pernikahan mut’ah (fleksibel) bisa memenuhi kebutuhan sesorang yang telah melakukan perjalanan untuk waktu yang lama dan membutuhkan persahabatan, atau seseorang yang tidak menemukan pasangan yang tetap.
Demikian juga ia bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan seseorang yang tidak mempunyai sarana-sarana finansial untuk melakukan suatu pernikahan dan kemudian membaiyai istrinya secara finansial. (syarat bahwa si lelaki menjaga pasangannya menurut sarana-sarana finansialnya dan menurut apa yang si perempuan terbiasa tidak punya, diterapkan dalam perkawinan fleksibel).
Janda-janda yang lebih tua yang memiliki sedikit kesempatan menemukan pasangan tetap lain yang lebih realistis bisa lebih mudah mendapatkan pasangan temporer unutk memenuhi kebutuhan persahabatan.
Demikian juga halnya kaum muda yang belia memikul tanggung jawab pernikahan permanen namun khawatir melakukan dosa, bisa bertemu dalam pernikahan mut’ah secara sah. Kasus terakhir tidak dengan sendirinya memberi kebebasan bagi kaum muda untuk secara bebas bercampur baur dengan jenis kelamin yang berbeda dan melakukan hubungan intim.
Suatu syarat yang membenarkan terhadap penyalah gunaan ini adalah syarat dimana seorang perawan mendapatkan izin dari ayahnya untuk melangsungkan hubungan pernikahan, termasuk mut’ah, kecuali jika si ayah menemukan seseorang yang sulit dalam hal itu. Lebih jauh, biasanya diperlukan suatu syarat pernikahan sehingga hubungan seks (bebas) tidak terjadi.
Mut’ah adalah jalan untuk menghindari dosa ketika pernikahan permanen tidaklah mungkin.
Sekarang ini sebagian kaum muslim melakukan dosa sebelum pernikahan mereka dilangsungkan dengan pasangan pernikahan mereka. Islam menjelaskan bahwa saling menyentuh, memandang bagian-bagian tubuh orang lain yang harus ditutup, dan mengunjungi yang belum berpasangan diantara pria dan wanita adalah dosa, kecuali jika mereka sudah menikah atau punya hubungan (nasab) yang erat.
Pertunangan bukanlah pernikahan. Akan tetapi, pasangan-pasangan tersebut melibatkan diri mereka lebih jauh dalam perilaku ini (hubungan intim) yang semestinya terjadi dalam pernikahan. Alternatif logis untuk menghindari dosa adalah hanya dengan melangsungkan pernikahan mut’ah sebelum pernikahan permanen sehingga pasangan tersebut bisa memastikan bahwa mereka saling serasi.
Mut’ah acap disebut sebagai pernikahan demi kenikmatan dan disetarakan dengan prostitusi (pelacuran). Si pria menyerahkan kepada wanita mahar dan mereka saling menikmati dan kemudian melanjutkannya. Tetapi, sesungguhnya, mut’ah mungkin lebih sering terjadi tanpa adanya hubungan seks ketimbang dilakukan demi kepuasan seksual semata. Mut’ah –tidak seperti halnya pernikahan permanen- bisa memiliki syarat-syarat yang diajukan, termasuk (misalnya) syarat yang paling umum, yang berisikan pasangan tidak berhubungan seks. Jadi, tujuan pernikahan mut’ah adalah persahabatan dan mengenal lebih dalam orang lain dan bukan sekedar kesenangan seksual. Mut’ah berbeda dengan prostitusi. Karena didalam mut’ah ada suatu ikatan dihadapan Tuhan dan setiap anak yang lahir dari hubungan tersebut sah!
Ini semua merupakan pengertian dari kata perkawinan. Sebagaimana halnya pernikahan permanen, wanita mempunyai masa penantian (idah) setelah berakhirnya pernikahan sebelumnya dimana ia bisa mengambil pasangan lain. Seorang wanita tidak mungkin mampu mencari uang dari mut’ah karena secara hukum dia pasti memiliki pasangan kurang dari setengah lusin dalam setahun (yakni dengan memasukkan waktu idah di dalamnya).
Dengan cara ini, jelaslah mut’ah tidak sama dengan pelacuran. Pembayaran suatu mas kawin terjadi di dalam mut’ah, tapi tidak sama dengan pelacuran sebab pembayaran itu bukanlah untuk hubungan seks, tapi alih-alih demikian ia serupa dengan tujuan maaskawin yang diserahkan dalam perkawinan permanen. Lebih jauh, ia pun tidak sama dengan pelacuran sebab seorang lelaki tidak diharapkan untuk menikah seorang perempuan dengan melepaskan nilai-nilai akhlak dan terlarang untuk menikahi perempuan non muslim manapun dalam pernikahan fleksibel jika ia (pria) telah dinikahkan dengan seorang muslimah.
Watak sementara dari mut’ah dapat dilihat dari perkataan imam Ali as : “Ia (pernikahan mut’ah) diizinkan dan secara mutlak dibolehkan bagi seseorang yang tidak diberi Allahsarana perkawinan permanen, supaya ia bisa suci dengan pernikahan mut’ah” (Wasail, jld 14, hal 449-450).
Diambil dari buku terjemahan seeking the straight path; reflections of a new muslim karyaDiane (masooma) beaty.
*****
Mengenai Nikah Mut'ahTidak Ada Satupun Ayat yang Menghapuskan Ayat Mut’ah
Seluruh ayat yang menerangkan tentang warisan, talak, iddah tidak dapatdijadikan penghapus (nasikh) ayat yang menerangkan tentang nikah mut'ah[Q.S. An-Nisaa' 24], termasuk juga ayat tentang penjagaan aurat. Mereka menganggap bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah tidak berstatus isteri dikarenakan sebab-sebab tersebut.
Alasan penolakan argumen mereka tersebut adalah :
1. Rasul SAWW menggunakan lafadz "pernikahan" saat berbicara tentang nikahmut'ah ini, seperti :
"Barangsiapa yang mengawini seorang wanita dengan batas waktu maka berilah hak-haknya"
Muslim dalam Shohih-nya juga meriwayatkan hadits yang menggunakan istilah"pernikahan" pada nikah mut'ah, berdasarkan riwayat Abi Nadhrah.Lafadz "pernikahan" tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita yang dinikahi secara mut'ah berstatus sebagai isteri
Ref. :
a. Abdurrozaq, dalam "Mushannaf", juz 7, hal. 504
b. Shohih Muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat Haji dan Umroh".
2. Kalimat sebelum ayat mut'ah itu sendiri adalah :
"Dan dihalalkan bagi kalian untuk mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina"
Yang kemudian dilanjutkan dengan ayat mut'ah (famastamta'tum bihinna...) tersebut.Sehingga jelas sekali bahwa mut'ah merupakan perkawinan bukan perzinaan.Bila "mut'ah" diartikan sebagai "dinikmati/dicampuri", maka mahar mesti diberikan secara penuh setelah wanita tersebut "dicampuri", berdasarkan ayat mut'ah tersebut.
Sementara, semua ahli fikih mengatakan bahwa maharwajib diberikan secara penuh pada wanita setelah ia dinikahi, walaupun wanita tersebut belum "dicampuri".
Sebagaimana firman Allah SWT dalam [Q.S 4:25]
"Nikahilah mereka dengan seijin tuannya dan berikanlah mereka mahar mereka"
Atau dalam [Q.S. 60:10] :
"Dan tidak ada dosa bagi kalian mengawini mereka bila kalian berikan mahar mereka"
Dari sini jelas sekali bahwa mut'ah pada ayat tersebut, adalah pernikahan mut'ah, bukan pengertian yang lain.
Ref. ahlusunnah :Tafsir Ar-Razi, tentang [Q.S. An-Nisaa' 24].
3. Zamakhsyari berkata dalam tafsirnya :
"Kalau kalian bertanya kepadaku apakah ayat mut'ah sudah dihapus (mansukh),maka akan kujawab 'Tidak'. Karena seorang wanita yang dinikahi secara mut'ah dapat disebut sebagai isterinya"
Ref. ahlusunnah : Zamakhsyari, dalam tafsir "Al-Kasysyaf", juz 3, hal.177.
4. Ubay bin Ka'ab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas'ud membaca ayat tersebut dengan tambahan tafsir mereka, yaitu "Ilaa Ajalin Musamma" yang artinya "sampai waktu yang ditentukan".
Ref. ahlusunnah :
a. Thabari, dalam Tafsir "Al-Kabir"
b. Zamakhsyari, dalam kitab "Al-Fa'iq"
c. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya
d. Nawawi, dalam "Syarh Shohih Muslim".
e. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz. 2, hal. 43-44.dll.
5. Banyaknya riwayat yang menyatakan bahwa banyak para sahabat yangmenghalalkan (bahkan melakukan) nikah mut'ah ini, seperti Asma' bintiAbubakar, Zubair bin Awwam, Salamah, Jabir bin Abdullah, Amr bin Harits,Ibnu Abbas, Ibn Mas'ud, dll.
Ref. ahlusunnah :
a. Ibn Hajar Al-Asqolani, dalam "Al-Ishobah", jilid II, hal. 63.
b. Ibnu Hazm, dalam "Al-Mahalli" (sebagaimana dikutip oleh Ibn Hajar).
6. Justru nikah mut'ah ini dilarang pada masa Umar, bahkan dengan ancaman akan dirajam dengan batu.
Ref. :
a. Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404.
b. Shohih Muslim, juz 1, bab "kawin mut'ah saat Haji dan Umroh".
c. Al-Baihaqi, dalam "Sunan Al-Kubro", jilid 7, hal. 206.
d. Shohih Muslim, jilid 1, bab "Nikah Mut'ah".
e. Dr. Ruway'l Ar-Ruhaily, dalam "Fikih Umar 1", penerbit Pustaka Al-Kautsar.
f. Muhammad Abdul Aziz Al-Halawi, dalam "Fatwa dan Ijtihad Umar binKhattab", penerbit Risalah Gusti.
g. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz 2, hal. 43-44.dll.
7. Ayat Mut'ah turun setelah ayat talak, warisan dan ayat-ayat lain yang berkaitan dengan itu. Sehingga mustahil bahwa ayat yang mendahului me-nasakh ayat yang muncul belakangan.
8. Adanya warisan juga bukan kewajiban mutlak yang menentukan sahnya perkawinan, misalkan seorang Muslim yang menikah dengan wanita ahlul kitab,maka si isteri tidak dapat mewarisi harta suaminya. Dan perkawinan mereka tetap sah
Tidak ada saling mewarisi bagi seorang merdeka yang kawin dengan hambasahaya milik orang lain, walaupun ikatan perkawinan mereka tetap ada.Tidak ada saling mewarisi bila ada bila ada persyaratan sebelumnya untuk tidak saling mewarisi yang ditentukan sebelum akad.Isteri yang membunuh suaminya, maka isteri tidak dapat mewarisi hartasuaminya.Sehingga apakah semua itu tidak disebut "perkawinan sah" hanya tidak adanyasaling mewarisi. Tidak kan.
9. Adanya talak juga bukan ciri sahnya pernikahan. Sebab mencampuri budak juga disahkan oleh agama, sementara padanya tidak ada talak. Sehinggahubungan badan dengan budak bukan merupakan perzinaan walaupun tidak adatalak di dalamnya.
10. Mengenai masalah iddah. Dalam nikah mut'ah juga dikenal masa iddah yaitu dua kali bersih dari haid.
11. Imran bin Hushain berkata: Sesungguhnya Allah SWT menurunkan satu ayat tentang nikah mut'ah dan tidak me-nasakh-nya dengan ayat yang lain. Dan kita diperintahkan nikah mut'ah oleh Rasul SAWW. Dan beliau tidakmelarangnya.
Kemudian berkatalah seseorang lelaki dengan ra'yu-nya tentangapa yang dia kehendaki". Yaitu Umar yang melarangnya.
Ref. :Tafsir Ar-Rozi, juz 10, hal. 51/52.
12. Dari Hakam, ketika beliau ditanya apakah ayat mut'ah [Q.S. An-Nisaa' 24]telah di-nasakh, maka beliau menjawab "Tidak".
Ref. :
a. Thabari, dalam Tafsir-nya, juz 5, hal 9.
b. Suyuthi, dalam "Dur Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Abi Hayyan, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 218.
d. Ar-Razi, dalam Tafsir-nya, juz 3, hal. 200.dll.
13. Qurthubi dan As-Syaukani mengatakan bahwa hampir semua ulama menafsirkanayat tersebut [Q.S. An-Nisaa' 24] dengan nikah mut'ah yang sudah ditetapkansejakpermulaan Islam.
Ref :
a. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.
b. Tafsir Syaukani, juz 1, hal. 144.
14. Atha' berkata :"Yang terdapat pada surat An-Nisaa' yang menjelaskan tentang adanya bataswaktu dalam perkawinan, ialah perkawinan mut'ah".
Ref. :Abdurrozaq, dalam "Al-Mukatabat".
15. Hubaib bin Abi Tsabit dan Mujahid juga mengatakan bahwa ayat tersebut [Q.S. An-Nisaa' 24] turun untuk menjelaskan perkawinan mut'ah.
Ref.:
a. Tafsir Ibn Katsir, juz 1, hal. 474.
b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll.
16. Ibnu Abbas berkata :"Mut'ah adalah rahmat Allah bagi umat Muhammad. Bila Umar tidak melarangnya, maka tidak ada orang yang berzina kecuali orang yang celaka".
Ref. :
a. Ibnu Rusyd, dalam "Bidayatul Mujtahid", juz 2, hal. 43-44.
b. Suyuthi, dalam "Durr Al-Mantsur", juz 2, hal. 140.
c. Tafsir Qurthubi, juz 5, hal. 130.dll. Dan masih banyak lagi hujjah-hujjah yang menerangkan bahwa nikah mut'ah merupakan perkawinan yang sah (alias bukan zina). Justru seandainya nikahmut'ah ini tidak dilarang oleh Umar, maka tidak ada yang berzina kecualiorang-orang yang celaka. Dan tidak ada satu ayatpun yang me-nasakh nikah mut'ah.Apalagi diperkuat dengan banyaknya hadits yang menerangkan bahwa nikah mut'ah dihalalkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan yang melarangnya adalah Umar.
Mazhab-mazhab fiqih sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang halal. Rasulullah saw menghalalkannya dengan wahyu dari Allah SWT dalam suatu waktu. Mereka hanya berselisih pendapat dalam hal kelanjutan kehalalannya. Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa kehalalan nikah mut'ah itu tetap berlaku dan tidak ada hadis yang menghapuskannya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab yang empat (mazhab-mazhab Ahlusunah) yang mengharamkannya karena ketentuan itu sudah dihapus.
Karena kehalalan nikah mut'ah merupakan hal yang khusus terdapat dalam fiqih Syi'ah, maka kami akan membahasnya dengan bersandar pada Al-Qur'an dan sunah secara garis besar. Sehingga pembaca yang mulia mengetahui asal mula pensyariatannya dan tidak adanya penghapusan (naskh) terhadap apa yang telah ditegaskan Al-Qur'an dan sunah ini. Sedangkan pendapat sebagian ulama bahwa nikah mut'ah itu sama sekali tidak pernah disyariatkan dan pengakuan bahwa hukum tersebut sudah dihapus adalah bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah. Di samping itu, sebagian besar sahabat dan tabi 'in mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan tersebut dihalalkan dan menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menghapuskannya. Hanya 'Umar bin al-Khaththab yang melarangnya menurut inisiatifnya sendiri atau ijtihad pribadi yang tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan'hujah bagi orang lain. Hal serupa berlaku pada mut'ah haji (haji tamattu) yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw.
Nikah mut'ah adalah pernikahan seorang perempuan merdeka jika tidak ada perintang-berupa hubungan nasab, persusuan, status sudah bersuami, dalam masa 'iddah, dan larangan-larangan syariat lainnya-dengan mahar tertentu hingga batas waktu tertentu atas dasar keridhaan dan kesepakatan. Jika batas waktu itu telah berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak. Jika telah bercampur, ia harus menunggu masa 'iddah seperti masa 'iddah dalam talak-bagi yang belum menopous-kalau ia masih mengalami haid. Jika ia tidak mengalami haid, masa 'iddahnya adalah 45 hari.
Anak yang diperoleh dari pernikaan mut'ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayah dan bernasab kepadanya. la juga berhak mendapat warisan yang telah Allah SWT wasiatkan kepada kita dalam Al-Qur'an. Selain itu, ia juga berhak memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah, dan ibu. pemikian pula, kepamanan berkenaan dengan sauara-saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan, paman, dan bibi.
Pendek kata, perempuan yang dinikah mut'ah adalah istri yang hakiki, dan anaknya pun adalah anak yang hakiki. Tidak ada perbedaan di antara dua pernikahan-pernikahan permanen dan pernikahan mut'ah-kecuali satu hal. Yaitu, dalam pernikahan mut'ah tidak ada pewarisan dan pemberian nafkah di antara suamiistri kecuali yang disyaratkan dalam akad nikah, seperti halnya 'azl. Perbedaan-perbedaan parsial ini merupakan perbedaan-perbedaan dalam hukum, bukan dalam esensi.. Sebab, esensi kedua jenis pernikahan itu sama kecuali yang pertama bersifat temporal dan yang kedua bersifat permanen. Selain itu, yang pertama berakhir dengan berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam akad nikah, sedangkan yang kedua berakhir bila terjadi talak atau pembatalan akad nikah.
Kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt telah mensyariatkan pernikahan i.ni dalam masa awal Islam. Tidak seorang pun meragukan prinsip pensyariatannya. Yang menjadi perselisihan pendapat hanyalah dalam hal apakah syariat itu sudah dihapus atau masih tetap berlaku.
Landasan pensyariatannya adalah firman Allah SWT, "... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan ( dalam perkawinan) dua perempuan yang
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri ) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya ( dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. " (QS. an-Nisa' [4]: 23-24)
Ayat ini menjelaskan nikah mut'ah karena beberapa alasan berikut:
Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen
1. Menjadikan Pengulangan Hukum yang Tidak Perlu
Surah ini. yakni surah an-Nisa., menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hak-hak perempuan. Disebutkan jenis-jenis pernikahan pada awal surah dengan susunan khusus. Adapun pernikahan permanen telah ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil; maka (kawinilah) seorang saja. “(QS. an-Nisa [4]: 3)
Tentang hukum-hukum mahar telah disebutkan dalam ayat berikutnya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa. [4]: 4)
Allah SWT juga berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk kawin lagi dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. (QS. an-Nisa' [4]: 19)
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan ( menanggung) dosa yang nyata? (QS. an-Nisa' [4]: 20)
Sedangkan tentang menikahi budak-budak telah dijelaskan dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. " ( QS. an-Nisa' [ 4] : 25 ).
Firman Allah SWT min ma malakat aymanukum ( dari budak-budak yang kamu miliki) menunjukkan pernikahan majikan dengan budaknya. Hal ini dijelaskan juga dalam firman-Nya, "kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 6) Firman Allah swt karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka menunjukkan pernikahan budak milik orang lain.
Sampai di sini, selesailah penjelasan tentang jenis-jenis pernikahan. Tidak ada lagi jenis pernikahan yang tersisa selain nikah mut'ah. Itulah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan menyamakan firman Allah: fa mastamt'tum dengan pernikahan permanen. Dan firman Allah: fa atuhunna ujurohunna dengan mahar dan sedekah, menjadikan penyebutan hukum yang berulang-ulang.
Akan dijelaskan kepada Anda keberadaan nikah mut'ah pada pennulaan Islam. Tidaklah pantas Pemberi syariat (Allah) mengabaikan hukumnya.
Orang yang memperhatikan surah tersebut akan mengetahui bahwa ayat-ayatnya menjelaskan jenis-jenis pernikahan dengan susunan khusus. Hal itu tidak terwujud kecuali dengan mengartikan kandungan ayat itu dengan nikah mut'ah, sebagaimana yang tampak pada lahiriah ayat tersebut.
2. Penjelasan para Sahabat tentang Turunnya Ayat Tersebut.
Sejumlah besar ahli hadis menjelaskan bahwa ayat tersebut -turun berkenaan dengan nikah mut'ah. Periwayatan mereka sampai kepada Ibn ' Abbas, Ubay bin Ka 'ab, ‘Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin 'Abdullah al-Anshari, Hubaib bin Abi Tsabit, Sa'id bin Jubair, dan lain-lain dari kalangan ahli hadis yang tidak mungkin merekayasa hadis dan membuat kebohongan.
Para mufasir dan ahli hadis telah menyebutkan turunnya ayat tersebut.
Imam mazhab Hanbali, Ahmad bin hanbal, dalam Musnadnya.
1. Abu Ja 'far athThabari dalam Tafsir-nya.
2. Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur'an.
3. Abu Bakar al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
4. Mahmud bin 'Umar az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf.
5. Abu Bakar bin Sa'dun al-Qurthubi dalam tafsir Jami' al-Ahkam al-Qur'an.
6. Fakhruddin ar-Razi dalaffi MaJatih al-Ghayb.
Masih banyak lagi ahli hadis dan mufasir yang datang setelah itu hingga masa kita ini. Saya tidak akan memperpanjang pembahasan ini dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Tidak seorang pun menuduh para ulama tersebut dengan menyebutkan apa yang tidak mereka fatwakan. Dengan memperhatikan bukti-bukti ini, tidak diragukan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nikah mut'ah.
Makna ayat itu adalah: Sesungguhnya Allah swt mensyariatkan bagi kamu pernikahan selain yang diharamkan untuk mencari dengan hartamu apa yang dapat melindungimu, memelihara kesucian dirimu, dan mencegahmu dari perzinaan. Jika kamu menikah untuk bersenang-5enang, bayarkanlah maskawinnya kepada mereka.
Pada dasamya, tujuan pernikahan itu adalah untuk memelihara diri. Tujuan itu dapat terwujud melalui semua jenis pernikahan, baik pernikahan permanen, pernikahan mut'ah, maupun pernikahan dengan budak milik orang lain yang disebutkan dalam surah ini dari awal hingga ayat 25.
Inilah yang dipahami setiap orang dari lahiriah ayat-ayat tersebut. Namun, orang-orang yang tidak berhati bening mengambil lahiriah ayat: famlis tamta'tum bihi minhunna fa 'tuhunna ujurahunna (maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) karena dorongan nafsu atau lingkungan yang berusaha menerapkan makna ayat tersebut pada akad pernikahan permanen. Dalam masalah ini ia menyebutkan beberapa keraguan yang tidak berarti apa-apa setelah diberi bantahan. Berikut ini rangkumannya.
Pertama, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk membina keluarga dan meneruskan keturunan. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pernikahan permanen, tidak melalui pernikahan temporal (nikah mut'ah) yang hanya menghasilkan kecuali kepuasan syahwat dan mencurahkan sperma.
Jawab: ia telah mencampur-adukkan antara masalah ini dan manfaat yang dihasilkannya. Apa yang ia sebutkan hanyalah dari aspek hikmah. Padahal, hukum berbeda dengan hikmah. Karena keadaan terpaksa, suatu pernikahan dikatakan sah walaupun dilakukan tanpa memperhatikan tujuan-tujuan di atas, seperti pernikahan dengan perempuan mandul, yang telah menopous, dan anak di bawah urnur. Bahkan kebanyakan orang yang menikah pada usia muda melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk menyalurkan hasrat dan memenuhi dorongan syahwat melalui cara yang sah. Mereka sarna sekali tidak berpikir untuk mencari keturunan walaupun akhirnya keturunan itu mereka peroleh juga. Hal itu tidak merusak keabsahan pernikahan mereka.
Adalah mengherankan, memberikan batas bahwa tujuan nikah mut'ah adalah untuk memenuhi hasrat semata-mata. Padahal, pernikahan tersebut, seperti juga pernikahan permanen, kadang-kadang dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, mengabdi, membina rumah tangga, serta mendidik, menyusui, dan merawat anak-anak walaupun hal seperti itu jarang ditemui.
Karni ingin bertanya kepada orang-orang yang melarang nikah mut'ah, yang menganggap pernikahan tersebut menyalahi hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan pernikahan. Kami bertanya kepada mereka tentang suami-istri yang menikah dengan pernikahan permanen tetapi mereka berniat untuk bercerai setelah dua bulan. Apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak? Saya kira tidak ada seorang pun dari ahli fiqih Islam yang melarang hal itu kecuali apabila ia mengeluarkan fatwa tanpa dalil dan burhan. Dengan demikian, tampaklah dengan jelas keabsahan pernikahan ini. Tidak ada perbedaan antara pernikahan mut’ah dan pernikahan permanen seperti ini selain pada jenis pertama disebutkan jangka waktunya sedangkan pada jenis kedua tidak disebutkan jangka waktunya?
Penulis tafsir al-Manar berkata, "Mengingat adanya penegasan para ulama terdahulu dan para ulama kemudian dalam melarang nikah mut’ah, maka pernikahan (permanen) dengan niat akan bercerai pun harus dilarang. Kalau para ahli fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang dilakukan itu-sementara suami meniatkannya untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak disyaratkan dalam redaksi (shighat) akad, melainkan menyembunyikannya dalam hati-adalah sah, hal itu dipandang sebagai tipuan dan kebohongan. Akad seperti itu lebih pantas dibatalkan daripada akad yang mensyaratkan ditentukannya jangka waktu (dalam redaksinya)."
Kita asumsikan bahwa suami-istri itu rela dengan ketentuan jangka waktu tersebut sehingga tidak terdapat usaha penipuan dan kebohongan. Maka akad pernikahan itu sah tanpa dapat disangkal lagi.
Kedua, menghalalkan nikah mut’ah adalah bertentangan dengan apa yang ditegaskan dalam al-Qur'an, seperti firman Allah swt ketika menyebutkan. sifat-sifat kaum Mukmin, "... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-7)
Yang dimaksud dengan firman-Nya Barangsiapa yang mencari adalah orang-orang yang berpaling dari apa yang telah dihalalkan Allah kepada apa yang diharamkan-Nya. Perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri yang memperoleh hak-hak dari suami, dengan cara yang baik.
Keraguan itu dapat dijawab. Hal itu merupakan pengakuan tanpa bukti. Sebab, ia adalah seorang istri dan ada hukum-hukum yang mengaturnya. Tidak adanya pemberian nafkah dan pembagian harta tidak mengubah statusnya sebagai seorang istri. Perempuan yang berbuat durhaka kepada suami tetap berstatus sebagai istri, tetapi ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan hak pembagian. Seperti itu pula perempuan yang dinikahi dalam usia kanak-kanak. Anehnya, mereka berdalil dengan tidak adanya hukum-hukum yang menafikan esensi tersebut. Padahal, pernikahan mengikatkan antara suami dan istri yang menyebabkan timbulnya sejumlah hukum. Kadang-kadang sebagian hukum itu mengkhususkan sebagian yang lain.
Ketiga, laki-laki yang melakukan nikah mut'ah tidak bermaksud memelihara kesucian diri. Melainkan ia hanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksualnya. Kalaupun ia bertujuan untuk memelihara kesucian dirinya agar tidak jatuh ke dalam perzinaan, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan yang melacurkan dirinya setiap jangka waktu tertentu kepada seorang laki-laki. Keadaan perempuan itu seperti yang dikatakan penyair:
Bola dilempar dengan tongkat perak
laki-laki demi laki-laki menangkapnya.
Jawab: dari mana diketahui bahwa memelihara kesucian diri hanya dilakukan oleh laki-laki~ tidak oleh perempuan. Jika kita asumsikan bahwa akad nikah itu sah, maka dengan cara ini masing-masing dari kedua pihak itu menjaga kesucian dirinya. Jika tidak, tidak diragukan bahwa ia akan jatuh ke dalam perzinaan. Yang dapat memelihara pemuda dan pemudi dari perzinaan adalah salah satu dari tiga hal berikut:
1. Pernikahan permanen.
2. Pernikahan mut'ah dengan cara yang telah disebutkan.
3. Menahan dorong seksual.
Cara pertama, kadang-kadang tidak mudah dilakukan, terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi yang hidup dari uang kiriman yang tidak seberapa dari orangtua mereka atau beasiswa dari pemerintah. Menahan dorongan seksual adalah sesuatu yang tidak mudah. Tidak ada yang dapat melakukannya kecuali orang pemuda dan pemudi yang sempurna. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Maka tidak ada cara lain selain cara kedua. Cara ini dapat memelihara pemuda dan pemudi dari mendatangi rumah-rumah pelacuran.
Agama Islam adalah agama penutup semua agama; Nabinya merupakan penutup para nabi; Kitabnya merupakan penutup semua kitab suci; syariatnya merupakan penutup semua syariat.
Karenanya Islam harus memberikan solusi menurut syariat bagi setiap permasalahan. Dengan cara itu Islam akan memelihara kemuliaan kaum Mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Masalah seksual pada laki-laki dan perempuan tidak mungkin diabaikan oleh agama Islam. Ketika itu, dengan sendirinya muncul pertanyaan berikut:
Apa yang harus dilakukan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak mampu melakukan pernikahan permanen, tetapi kemuliaan dan agama mereka melarang mereka mendatangi rumah-rumah pelacuran, sementara keindahan kehidupan materialistis mengobarkan api syahwat dalam diri mereka? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu mustahil seseorang dapat memelihara kesucian dirinya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Tidak ada lagi cara lain selain menempuh pernikahan mut'ah yang merupakan solusi terbaik untuk menghindari perzinaan. Ada satu ucapan ‘Ali bin Abi Thalib yang selalu terngiang di telinga, yang memperingatkan akan memuncaknya masalah ini jika penanggulangannya dengan cara yang diajarkan Pemberi syariat diabaikan. ' Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali laki-laki atau perempuan yang celaka."
Menyamakan pernikahan mut'ah dengan apa yang disebutkan dalam syair di atas menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap hakikat dan definisi nikah mut'ah. Yang disebutkan dalam syair itu adalah nikah mut’ah periodik yang dituduhkan oleh orang itul dan yang lain kepada Syi’ah. Padahal, kaum Syi’ah sendiri berlepas diri dari kebohongan ini. Sebab, setelah berakhir jangka waktu yang ditentukan, perempuan yang dinikahi mut'ah harus menunggu masa ‘iddah seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, bagaimana mungkin ia menjajakan dirinya setiap saat kepada laki-laki? Mahasuci Allah dari kelancangan mereka dalam membuat dusta dan kebohongan kepada Syi’ah. Isi dari syair itu hanyalah satu bentuk kelancangan terhadap wahyu dan syariat Ilahi. Padahal, para ahli hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa nikah mut'ah itu telah disyariatkan. Kalaupun ada larangan atau penghapusan hukum, hal itu hanyAlah datang setelah nikah mut’ah itu disyariatkan dan dilaksanakan.
Keempat, ayat itu telah dihapus dengan sunah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kapan masa penghapusan itu dilakukan. Berikut ini beberapa pendapat tentang itu:
1. Nikah mut'ah dibolehkan, kemudian dilarang pada saat terjadi Perang Khaybar.
2. Mut'ah tidak dihalalkan kecuali pada 'umrah qadha.
3. Nikah mut'ah dihalalkan, lalu dilarang pada saat Penaklukan kota Makkah.
4. Nikah mut'ah dibolehkan pada saat terjadi peperangan, tetapi kemudian dilarang.
Pernyataan-pernyataan ini menafikan keyakinan adanya penghapusan hukum ( naskh) , sebagaimana penghapusan hukum Al Qur'an dengan hadis ahad yang sangat dilarang. Diriwayatkan sebuah hadis sahih dari 'Imran bin al-Hushain bahwa ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT menurunkan (ayat tentang) nikah mut'ah dan tidak melarangnya. Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukan pernikahan mut'ah dan tidak melarangnya. Kemudian seseorang mengatakan menurut pendapatnya sendiri." Seseorang yang ia maksud ialah 'Umar bin al-Khaththab.
Khalifah kedua itu tidak mengatakan adanya penghapusan. Melainkan ia menetapkan larangan itu berdasarkan pendapatnya sendiri. Kalau ada nas dari Al1ah ' Azza wa Jalla atau dari Rasulullah saw yang menghapusnya, tentu ia menetapkan larangan itu berdasarkan keduanya. Telah tersebar,luas ucapan 'Umar di atas mimbar, "Ada dua mut'ah yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya meIarangnya dan akan menghukum siapa saja yang melakukannya. Yaitu, mut’ah haji dan mut'ah (dalam menikahi) perempuan. Bahkan, seorang ahli kalam mazhab Asy'ariyah menukil dalam Syarh 'ala Syarh at-Tajrid, bahwa 'Umar mengatakan, "Wahai orang-orang, ada tiga hal yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya melarang dan mengharamkannya, serta menghukum siapa saja yangmelakukannya. Yaitu mut'ah haji, mut'ah (dalam menikahi) perempuan, dan (ucapan) hayya 'ala khayril 'amat dalam azan."
Telah diriwayatkan dari Ibn ' Abbas-ia termasuk orang-orang yang menjelaskan kehalalan mut'ah dan membolehkannya-bahwa ia menanggapi orang yang mendebatnya dengan pelarangan dari Abu Bakar dan 'Umar. la berkata, "Hampir turun hujan batu dari langit kepadamu. Saya katakan, 'Rasulullah saw bersabda ...', sedangkan kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan 'Umar berkata ...'"
Bahkan ketika Ibn 'Umar ditanya tentang mut'ah, ia memberi fatwa tentang kehalalannya. Kemudian mereka mempertentangkannya dengan ucapan ayahnya. Tetapi ia bertanya kepada mereka, "Perintah siapakah yang lebih patut diikuti, perintah Rasulullah saw atau perintah 'Umar?"
Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada penghapusan dan pelarangan dari Nabi saw. Yang ada hanyalah pengharaman dari khalifah. Pada dasarnya, pelarangan itu merupakan ijtihad melawan nas yang jelas. Selain itu, sejumlah sahabat terus-menerus menyatakan penolakan mereka terhadapnya dan ketidakpatuhan mereka pada perintahnya itu. Apabila khalifah itu berijtihad karena alasan-alasan yang dilihatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, yang utama bagi orang-orang yang mengikutinya adalah bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam membenarkannya tanpa hujah dan dalil.
Orang-orang yang Menolak Larangan Itu
Telah kami sebutkan bahwa sejumlah besar sahabat dan tabi'in menolak larangan itu dan tidak mengakuinya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
1. ' Ali Amirul Mukminin. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Imam ‘Ali, bahwa Imam ' Ali berkata, "Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
2. ' Abdullah bin 'Umar. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin 'Umar, bahwa ia-setelah ditanya tentang nikah mut'ah-berkata, "Demi Allah, pada zaman Rasulullah saw kami tidak berzina.” Selanjutnya ia berkata, "Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sebelum hari kiamat, pasti muncul al-Masih ad-Dajjal dan tiga puluh pendusta atau lebih.”
3. ' Abdullah bin Mas'ud. AI-Bukhari meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas'ud, bahwa ia berkata, "Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw dan tidak membawa sesuatu apa pun. Lalu kami bertanya, 'Bolehkah kami berkebiri?' Namun, beliau melarang hal itu. Kemudian beliau memberikan keringanan kepada kami agar menikahi perempuan hingga jangka waktu tertentu. Kemudian beliau membaca ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai urang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Ma'idah [4]: 87).
4. 'lmran bin Hushain. Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan hadis darinya. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah. Maka kami melaksanakannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat Al-Qur'an yang mengharamkannya dan beliau pun tidak melarangnnya hingga beliau wafat. Seseorang hanya mengatakan menurut pendapatnya sendiri sekehendak hatinya.
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abu Raja' dari 'Imran bin Hushain. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah dan kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat yang melarangnya dan Nabi saw pun tidak melarangnya hingga beliau wafat.
5. Selain itu, seorang khalifah Abbasiyyah, al-Ma'mun, pada masa pemerintahannya hampir menyerukan penghalalan nikah mut'ah. Namun, ia merasa khawatir akan munculnya fitnah dan perpecahan di tengah kaum Muslim. Ibn Khalkan mengutip ucapan Muhammad bin Manshur: Kami bersama al-Ma'mun dalam suatu perjalanan menuju Syam. Lalu ia memerintahkan agar diserukan penghalalan nikah mut'ah. Kemudian Yahya bin Aktsam berkata kepada saya dan Abu al-' Ayna ' , "Datanglah kepadanya besok pagi-pagi sekali. Kalau kalian melihat kesempatan untuk berbicara maka berbicaralah. Jika tidak, maka diamlah hingga saya masuk." Esok harinya kami menemuinya, sementara ia sedang bersiwak (menyikat gigi). Sambil berjongkok ia berkata, " Ada dua mut'ah yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan zaman Abu Bakar ra tetapi saya malarangnya. Siapakah engkau, berani-beraninya melarang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar ra?" Sambil memberi isyarat kepada Muhammad bin Manshur, Abu al-' Ayna' berkata, "Orang ini berbicara tentang 'Umar bin al-Khaththab, apakah perlu kita jawab?' Namun kami diam saja sampai akhimya. Lalu Yahya bin Aktsam datang. la duduk dan kami pun duduk. Al-Ma'mun bertanya kepada Yahya, "Mengapa aku lihat engkau berubah?" Yahya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, ini adalah perasaan sedih karena sesuatu telah terjadi pada Islam." AI-Ma'mun bertanya, "Apa yang terjadi pada Islam?" Mauhammad bin Manshur men.jawab, "Seruan menghalalkan zina..” Al-Ma'mun bertanya, "Zina?' Muhammad bin Manshur menjawab, "Benar. Nikah mu'tah adalah zina." Al-Manshur be:tanya lagi, Dari mana engkau mengetahui hal ini?" la menjawab, Dari Kitab Allah' Azza wa Jalla dan hadis Rasulullah saw Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orangorang yang menunaihan zahat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya hecuali terhadap istri-istri mereha atau budak yang mereka miliki. Maha sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorangyang melampaui batas" (QS. al-Mu'minun [23]: 1-7). Wahai Amirul Mukminin, apakah perempuan yang dinikah mut'ah itu adalah budak yang dimiliki?" Al-Ma'mun menjawab, "Bukan." Muhammad bin Manshur bertanya lagi, “ Apakah ia istri yang di sisi Allah mewarisi dan mewariskan, serta mempunyai anak (yang dinasabkan kepadanya) , dan dipenuhi syarat-syaratnya?" Al-Ma'mun menjawab, "Tidak." Maka Muhammad bin Manshur berkata, "Maka orang yang melampaui batas dalam kedua hal ini termasuk orang-orang yang melampaui batas (yang disebutkan dalam ayat di atas)."
Saya katakan: Ibn Aktsam telah menyimpang jauh-dan ia termasuk orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada ahlulbait-dengan menganggap bahwa nikah mut'ah termasuk dalam firman Allah SWT, ...kecuali kepada istri-istri mereka dan bahwa tidak adanya pewarisan merupakan takhshish dalam hukum.
Padahal, hal itu tidak menafikan berlaku hukum tersebut. Betapa banyak hal serupa itu, seperti istri yang kafir tidak mewarisi harta suami yang Muslim, begitu pula sebaliknya; istri yang membunuh suaminya tidak mendapat warisan harta darinya, demikian pula sebaliknya. Adapun anak, tentu bemasab kepadanya. Menafikan penasaban anak ini muncul karena ketidaktahuan terhadap hukum nikah mut’ah atau berpura-pura tidak mengetahuinya.
Betapa buruk yang ia ucapkan. la menafsirkan nikah mut’ah dengan perzinaan. Padahal, umat ini telah menerima kehalalannya pada zaman Rasulullah saw dan khalifah pertama. Apakah Ibn Aktsam mengira bahwa Rasulullah saw menghalalkan perzinaan Walaupun dalam jangka waktu yang singkat?
Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari khalifah (‘Umar) sendiri. Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu semata-mata keputusan menurut pendapatnya sendiri, tidak bersandar pada satu ayat atau satu hadis pun.
Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Ibn Abi Nadhrah. la berkata: Ibn .Abbas memerintahkan mut’ah, sedangkan Ibn Zubair melarangnya. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Jabir. Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan mut’ah bersama Rasulullah saw. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia berkata, Sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Maka sempumakanlah haji dan 'umrah dan laksanakanlah pernikahan ini (permanen-penej.). Namun,jika ada" seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertenu (nikah mut'ah), pasti aku akan merajamnya dengan batu.."
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadis dari Abu Nadhrah. la berkata: Saya berkata kepada Jabir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut'ah, sedangkan Ibn 'Abbas memerintahkannya. Maka Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan nikah mut'ah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar. Ketika 'Umar diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak, 'Sesungguhnya Al-Qur'an adalah Al-Qur’an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang rasul. Keduanya memberlakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah saw. Yang pertama adalah mut'ah dalam haji (haji tamattu') dan yang kedua adalah mut'ah (dalam menikahi) perempuan."
Dari hadis-hadis di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut:
1. Kehalalan nikah mut'ah tetap berlaku hingga zaman kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththab hingga saat ia melarangnya.
2. Dengan ijtihadnya sendiri ia memberlakukan pengharaman terhadap apa yang dihalalkan dalam Al-Qur'an dan sunah. Seperti telah diketahui, ijtihadnya-kalaupun dapat disebut ijtihad-adalah hujah yang berlaku bagi dirinya sendiri, tidak berlaku bagi orang lain.
Akhimya, kami katakan: Ketidaktahuan terhadap fiqih Syi'ah menyebabkan banyak penulis mereka-reka perkataan atas nama Syi'ah, khususnya dalam masalah nikah mut'ah yang sedang kita bahas. Mereka melemparkan berbagai pendapat dan hukum-hukum. Hal itu menunjukkan ketidaktahuan dan niat buruk mereka. Ucapan-ucapan itu di antaranya bahwa di antara hukum-hukum nikah mut'ah dalam mazhab Syi'ah adalah tidak adanya hak anak terhadap warisan ayahnya, dan bahwa perempuan yang dinikah mut'ah tidak memiliki masa 'iddah sehingga ia dapat berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain jika ia mau. Karena itu, mereka memandang buruk dan menolak pernikahan mut’ah. Mereka pun mencela orang-orang yang menghalalkannya.
Hakikat yang sebenamya tidak mereka ketahui. Yaitu, Pertama, pernikahan mut'ah menurut Syi’ah adalah seperti pernikahan permanen. Pernikahan itu tidak sah kecuali dilakukan melalui akad yang mengisyaratkan adanya tujuan pernikahan itu secara jelas. Kedua, perempuan yang dinikah mut’ah harus terhindar dari seluruh penghalang (bukan muhrim). Ketiga, anak yang dihasilkan dari pernikahan itu adalah seperti anak yang diperoleh dari pernikahan permanen Dalam hal wajibnya mendapat warisan, pemberian nafkah, dan hak-hak material lainnya. Keempat, perempuan yang dinikah mut’ah itu harus menunggu masa ‘iddah setelah jangka waktu pernikahan itu berakhir dan jika telah bercampur. Apabila suaminya meninggal dunia dan ia berada dalam pemeliharaannya, ia harus menunggu ‘iddah seperti yang berlaku Dalam pernikahan permanen tanpa ada perbedaan. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Suatu hal yang harus kita perhatikan dan kita ketahui dengan jelas adalah bahwa walaupun kaum Syi'ah mempercayai dan meyakini kehalalan nikah mut'ah dan tidak ada sesuatu yang mengharamkannya-itulah yang mereka nyatakan dengan jelas dan tanpa ragu-tetapi mereka tidak serta-merta melaksanakan pernikahan itu kecuali dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang ketat. Hal itu tidak seperti yang digambarkan dan dibayangkan oleh sebagian orang yang tersebar di tengah masyarakat mereka dan dalam bentuk yang sejelek-jeleknya.
Kami dan Doktor Muhammad Fathi Ad-Darini
Akhirnya, saya tahu ada sebuah buku tentang nikah mut'ah yang ditulis oleh As-Sa'ih ' Ali Husain dengan judul al-Ashl fi al Asyya' ...? Walakin al-Mut’ah Haram (Hukum Asal dalam Segala Sesuatu ...Tetapi Mut'ah itu Haram). Buku itu diterbitkan oleh Dar Qutaibah dan diberi kata pengantar oleh Doktor Muhammad Fathi ad-Darini, dekan fakultas Syariah, Universitas Damaskus.
Ada dua hal yang mendorong saya membuat komentar ini, yaitu : I. Judul buku. Buku itu diberi judul dengan judul yang telah Anda ketahui. Penulisnya berusaha untuk menegaskan bahwa prinsip yang utama dalam segala sesuatu adalah kehalalan, dan mut'ah termasuk di dalamnya. Akan tetapi, ia mengecualikan nikah mut'ah dari prinsip itu dengan dalil tersebut. Kalau tidak begitu, tentu ditetapkan hukumnya sebagai halal. Dengan kata lain, ia berusaha menampakkan kebenaran satu pihak (yang mengatakan tentang kehalAlan mut'ah) untuk sementara tetapi yang prinsip itu berada di pihaknya. Akan tetapi, ia mengecuAlikannya dari prinsip itu dengan dalil yang terputus.
2. Kata pengantar dari Doktor ad-Darini dengan pena suci tanpa umpatan dan celaan kepada lawan yang berpendapat bahwa pernikahan mut'ah itu halal. Sikapnya dalam memelihara etika berdiskusi patut dihargai. Sebenarnya, orang seperti ia sedikit jumlahnya di kAlangan penulis tentang akidah Syi'ah dari sudut pandang Ahlusunah. Kebanyakannya-kecuAli beberapa orang saja di antara mereka-tidak membedakan antara tuduhan dan celaan, dan kadang-kadang mengafirkan-kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri karni.
Dengan itu semua; kami memperhatikan apa yang ditulisnya. Tampaklah bahwa sebagiannya merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, agar pembaca mengetahui butir-butir kesalahan dalam tulisannya, kami sebutkan hal-hal yang paling penting disertai komentar terhadapnya. Sedangkan sebagiannya lagi telah disebutkan ketika mendiskusikan beberapa keraguan.
Tentang judul, kami katakan bahwa para ahli fiqih dan ahli ushul berpendapat bahwa prinsip dalam segala sesuatu adalah kehalalan. Tetapi prinsip itu tidak mencakup darah, harga diri, dan harta karena asalnya adalah keharaman. Hal itu diketahui oleh orang yang sedikit pengetahuan tentang fiqih sekalipun. Oleh karena itu, kami melihat bahwa Allah SWT menetapkan prinsip berkenaan dengan darah adalah keharaman tetapi mengecualikan satu kasus, yaitu pembunuhan yang dibenarkan syariat. Allah swt berfirman, "... dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali (dengan) alasan yang benar" (QS. Al-Furqan [25]: 68).
Selain itu, Allah memberikan penjelasan seperti itu berkenaan dengan harga diri dan kelamin. Allah swt berfirman, "... dan orang-orangyang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-6).
Adapun tentang prinsip keharaman berkenaan dengan harta, cukuplah den:gan firman Allah swt, "... janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu" ( QS. anNisa' [4]: 29). Selain itu, Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya." Maka penggunaan harta orang lain adalah haram kecuali jika ia merelakannya.
Berdasarkan hal itu, prinsip berkenaan dengan pernikahan mut'ah yang merupakan upaya untuk menjaga kemaluan adalah haram dan untuk mengecuAlikannnya dari prinsip itu diperlukan dalil, serta pendapat para ahli ushul bahwa prinsip dalam segAla sesuatu adalah kehalalan mengacu pada kasus-kasus selain ini. Yaitu, yang mengacu pada pemanfaatan unsur-unsur alami oleh manusia.
Berdasarkan hal ini juga, apa yang diupayakan penulis buku itu yang menunjukkan keluwesan dalam pembahasannya sejalan dengan pendapat saudaraya dari kaum Syi'ah tentang kehalalan pernikahan mut'ah-menurut prinsip utama. Akan tetapi, dalil-dalil telak mendorongnya untuk menyatakan keharamannya. Hal itu merupakan upaya yang keliru dan tidak pada tempatnya. Saya mengira bahwa penulis itu tidak menguasai masalah-masalah ini.
Buku itu-tanpa bermaksud mengingkari dan mengurangi hak penulisnya-menyerupai sebuah novel, bukan buku fiqih. Selain itu, saya merasa heran, mengapa Doktor ad-Darini mau memberikan kata pengantar untuk buku ini. oleh karena itu, saya merasa tidak perlu mendiskusikan isinya. Kami merasa cukup dengan mengkajinya dari kata pengantarnya saja.
Tentang kata pengantar itu, telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, dalam menjelaskannya kami sertakan juga beberapa komentar setelah mengutipnya bagian demi bagian secara ringkas. Sebab, jika dinukil seluruhnya, tentu akan menyebabkan pembahasan ini menjadi bertele-tele.
Untuk memudahkan pembaca memahami dua paragraf itu, kami memerinci setiap tema dengan memberikan nomor dengan angka Romawi.
I. Hukum-hukum Syariat Mengikuti Kemaslahatan
Profesor itu berkata, "Telah disepakati di antara para ahli ushu1 dan fukaha-yang pendapat-pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad-bahwa hukum-hukum syariat Islam memiliki maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat secara pasti melalui penetapan hukum-hukumNya. Para muhaqqiq telah mengisyaratkan prinsip tersebut, yaitu bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan hamba."
Selanjutnya ia mengatakan, "Imam asy-Syathibi telah menuljs kitab al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah wa Maqashiduha. Di situ ia menegaskan bahwa hukum-hukum syariat, selain aspek-aspek ibadah (ta'abbudiyyah), memiliki tujuan-tujuan yang dikehendaki Pembuat syariat dalam penetapan hukum-Nya. Karena itu, tidak ada artinya wasilah jika wasilah itu menyimpang atau bertentangan dengan tujuannya.
Berikut ini beberapa catatan atas ungkapan di atas.
1. Bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan adalah sesuatu yang dibenarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis dari Keluarga Suci. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (meminum) khamar; berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamardan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). " (QS alMa'idah [5]: 90-91)
Masih banyak ayat-ayat tentang pensyariatan hukum. Isinya menunjukkan kepentingan-kepentingan yang menjadi sebab disyariatkannya suatu hukum.
Tentang hadis-hadis dari para imam ahlulbait, Syekh ash Shaduq Muhammad bin 'Ali bin Babawaih (306-381) telah menghimpunnya dalam sebuah kitab beljudul 'Ilal asy-Syarayi'. Kitab itu memuat ilmu para imam ahlulbait yang sepantasnya dirujuk oleh setiap orang. Kitab itu disusun sebelum asy-Syathibi atau guru-gurunya lahir. Syi'ah Imamiyah terkenal dengan fahamnya yang mengatakan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan karena mengikuti para imam mereka, sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab fiqih dan ushul mereka. Maka menekankan perhatian pada masalah ini adalah seperti memindahkan kurma ke dalam kantung.
2. Syekh al-Asy'ari, imam yang sangat terkenal di kalangan Ahlusunah, termasuk orang-orang yang menolak prinsip di atas dan memandangnya sebagai pembatasan terhadap kehendak Allah swt. la berkeberatan untuk memutlakkannya. Hal ini tampak jelas bagi mereka yang merujuk pada kitab-kitab Asy'ariyah dalam masalah-masalah ushul dan furu'. Mereka mencela orang-orang yang mengatakan bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Tetapi -mengapa profesor ini mengatakan bahwa prinsip tersebut merupakan, pendapat yang telah disepakati di kalangan para ahli ushu1 dan fukaha. Yah, ia membatasi orangorang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan, dengan orang-orang yang pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad.
Saya tidak menyangka bahwa Imam al-Asy'ari dan sejumlah ulama yang mengikutinya termasuk orang-orang yang pendapat mereka tidak dipandang sebagai timbangan Ilmu dan ijtihad.
3. Profesor itu, karena mengikuti Imam asy-Syathibi, mengatakan bahwa prinsip yang mengatakan hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan kecuali masalah-masalah ibadah. Namun, saya tidak melihat adanya pengecualian di situ. Padahal, dalil yang sama menunjukkan bahwa prinsip tersebut berlaku untuk segala hal (termasuk masalah-masalah ibadah). Yaitu, untuk memelihara tindakan Allah SWT dari kesia-siaan. Dalil ini berlaku untuk masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah bukan peribadatan.
Benar, kadang-kadang kita tidak sampai pada tujuan-tujuan yang dimaksud dalam peribadatan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa masalah peribadatan terlepas dari prinsip tersebut. Allah SWT berfirman, "... dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaha [20]: 14). Allah juga berfirman, "Sesungguhnya salat itu mencegah dari. (Perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al-'Ankabut [29]: 45). Tentang puasa, Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. " ( QS. alBaqarah [2] : 183)
Mengecualikan masalah-masalah peribadatan dari prinsip itu sama saja dengan membatasi kaidah akal. Padahal, seperti telah diketahui, kaidah akal tidak dapat dibatasi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hasil dari perkalian dua dengan dua adalah empat (2 x 2 = 4) kecuali dalam kasus tertentu.
Orang-orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum harus mengikuti syarat-syarat dan kriteria-kriteria adalahorang-orang yang berpendapat tentang kehujahan akal dalam istinbath (deduksi) hukum-hukum syariat dalam bab al-Mulazamat al'Aqliyyah (rasional inherent) dan sebagainya. AkAl yang menetapkan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan tidak membedakan antara masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah lain, antara praktik ibadah dan ushul seraya mengatakan bahwa Pembuat syariat itu adalah Yang Mahabijaksana. Zat Yang Mahabijaksana terpelihara tindakan-Nya dari kesia-siaan. Maka hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya mengandung tujuan-tujuan untuk kepentingan hamba-hamba-Nya -dan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengamalkannya dengan benar.
II. Tujuan Utama Pernikahan: Membina Keluarga
Doktor itu mengatakan bahwa pernikahan dalam Islam disyariatkan bagi tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an secara jelas. Semuanya kembali pada pembinaan keluarga utama yang merupakan cikal bakal masyarakat Islam. Dengan sifat-sifat dasarnya herupa kesucian diri, kesucian hadan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial-kemudian untuk menegaskan prinsip tersehut ia berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Selanjutnya ia mengatakan, "Ketika Allah mengaitkan pernikahan dengan naluri seksual, hal itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi dorongan seksual. Melainkan yang Dia maksudkan adalah mengarah kepada terwujudnya tujuan tersebut heserta sifat-sifat dasarnya berupa pembentukan keluarga yang hukum-hukumnya telah ditetapkan secara terperinci dalam Al-Qur'an." Oleh karena itu, pernikahan mut'ah yang luput dari tujuan reproduksi dan pembinaan keluarga menggugurkan tujuan yang dimaksudkan Pembuat syariat dari setiap prinsip disyariatkannya pernikahan itu.
Berikut ini catatan atas ungkapan di atas. Pertama:Profesor ini telah mencampuradukkan 'illat pensyariatan dengan hikmahnya. 'lllat adalah kutub tempat berputamya suatu hukum. Hukum itu berlaku jika ada 'illat. Sebaliknya, hukum itu gugur jika tidak ada 'illat Ini berbeda dengan hikrnah. Kadang-kadang hukum lebih luas daripada hikrnah. Berikut ini penjelasannya.
Pembuat syariat mengatakan, "Jauhilah minuman yang memabukkan." Mabuk merupakan'illat bagi wajibnya menjauhi minuman tersebut dengan bukti adanya keterkaitan di antara keduanya. Selama cairan itu memabukkan, maka hukum itu tetap berlaku. Tetapi, jika cairan itu beruhah menjadi cuka, maka hukum itu pun menjadi gugur.
Dalam ayat lain, Allah swt herfirman, "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allahdan hari akhirat" (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Kandungan ayat ini mengungkapkan bahwa "menahan diri" adalah untuk mengetahui keadaan rahim, apakah mengandung anak atau tidak. Seperti telah diketahui, ini adalah hikrnah dari hukum tersebut, bukan 'illat-nya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa hukum itu lebih luas daripada hikmah. Dalilnya, para fukaha menetapkan hukum wajibnya "menahan diri" untuk mengetahui ada atau tidak adanya kehamilan di dalam rahim perempuan itu. Sepeti itu pula dalam kasus-kasus berikut. I. Apabila perempuan itu mandul, tidak melahirkan anak.
2. Apabila laki-laki yang mandul.
3. Apabila suami meninggalkannya dalam jangka waktu yang lama, misalnya enam bulan atau lebih, dan kita tahu bahwa tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
4. Apabila melalui pemeriksaan medis, diketahui tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
Ayat itu adalah ayat hukum walaupun tidak ada hikmah dari hukum tersebut. Hal ini tidak menafikan apa yang telah kita sepakati bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Sebab, yang dimaksud adalah kriteria-kriteria untuk kebanyakan kasus, tidak untuk seluruh kasus.
Apabila Anda telah mengetahui perbedaan antara hikmah dan 'illat, Anda akan mengetahui bahwa profesor ini telah mencampuradukkan antara 'illat dan hikmah. Maka pembinaan keluarga, reproduksi, dan solidaritas sosial semuanya muncul dari sisi hukum dengan dalil bahwa Pembuat syariat juga menetapkan hukum sahnya pernikahan walaupun dilakukan bukan untuk tujuan-tujuan di atas, seperti dalam kasus-kasus berikut:
1. Sah pernikahan laki-laki yang mandul dengan perempuan yang subur.
2. Sah pernikahan perempuan yang mandul dengan laki-laki yang subur.
3. Sah pernikahan perempuan yang sudah mengalami menopous.
4. Sah pernikahan anak di bawah umur. .
5. Sah pernikahan seorang pemuda dengan seorang pemudi dengan niat tidak akan memiliki anak sepanjang hidupnya.
Apa, menurut profesor ini, boleh membatalkan pernikahan-pernikahan seperti ini dengan alasan tidak bertujuan untuk membina keluarga?
Padahal sudah jelas, kebanyakan pasangan muda yang menikah melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk memenuhi dorongan seksual dan memperoleh kenikmatan melalui cara yang halal. Mereka tidak berpikir untuk menghasilkan keturunan, walaupun akhimya hal itu diperoleh juga.
Kedua, profesor itu harus membedakan antara orang yang menikah mut'ah untuk tujuan memperoleh keturunan dan membina keluarga beserta sifat-sifat dasarnya berupa kesucian diri, kesucian badan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial dan orang yang menikah untuk memenuhi dorongan seksual semata melalui cara ini.
Adapun, mengapa ditempuh pernikahan sementara atau mut'ah? Karena adanya beberapa kemudahan dalam pernikahan mut'ah yang tidak diperoleh dalam pernikahan permanen.
Profesor itu, seperti kebanyakan orang dari kalangan Ahlusunah yang menulis tentang pernikahan mut'ah, menganggap perempuan yang dinikahi dengan pernikahan mut'ah seperti para pelacur yang selalu membuka pintu rumahnya. Setiap hari, seorang laki-laki menemuinya, dan pada hari itu ia berkumpul dengannya, kemudian laki-laki itu meninggalkannya. Kemudian datang laki-laki lain melakukan hal serupa. Kalau ini makna pernikahan mut'ah, maka Syi'ah Imamiyah serta para imam, para rasul, dan kitab-kitabnya berlepas diri dari syariat yang serupa dengan perzinaan tetapi berbeda nama ini. Akan tetapi, pernikahan mut'ah itu berbeda 100 persen dari pernikahan tersebut. Kadang-kadang ada perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia masih muda dan cantik; di sisi lain, ada laki-laki yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen karena kendala-kendala sosial yang menghadangnya. Bersamaan dengan itu, ia mencari perempuan seperti perempuan tadi, lalu menikahinya dengan beberapa tujuan: pertama, menghindari perzinaan, dan kedua, membina keluarga dengan sifat-sifat yang dimiliki perempuan tersebut.
Sebenamya, pikiran yang tersimpan dalam benak penulis itu dan orang-orang lain tentang pernikahan mut'ah adalah menganggap pernikahan tersebut sama dengan pelacuran di rumah-rumah bordil dan tempat-tempat lainnya. Padahal, tidak mungkin pernikahan seperti itu ditetapkan dengan syariat. Selain itu, pernikahan mut’ah yang disyariatkan tidak seperti itu. Kadangkadang pernikahan mut'ah itu berlangsung hanya sehari semalam. Maka dalam pernikahan mut'ah itu ditetapkan syarat-syarat seperti yang berlaku dalam pernikahan permanen. Namun, pernikahan mut’ah berbeda dengan pernikahan permanen dalam dua hal, yaitu dalam talak dan pemberian nafkah. Sedangkan dalam pewarisan, mereka saling mewariskan. Hal semacam itu menuntut tujuan-tujuan yang dituntut dalam pernikahan pada umumnya. Kami telah menjelaskan hakikat pernikahan mut'ah dalam pembahasan di atas.
Sebenamya, tujuan utama dalam setiap kasus yang diberi keringanan oleh Pembuat syariat dalam hal hubungan kelamin dengan segala bagian-bagiannya hingga pemilikan budak dan kehalalan mencampurinya adalah untuk; memelihara diri agar tidak jatuh ke dalam perzinaan dan pelacuran. Adapun tujuantujuan lain berupa pembinaan keluarga dan solidaritas sosial hanyalah tujuan-tujuan sekunder sebagai suatu konsekuensi baik dimaksudkan oleh suami-istri itu maupun tidak. Tujuan utama itu terdapat dalam pernikahan mut'ah. Tujuan disyariatkannya pernikahan mut'ah itu adalah untuk memelihara diri dari perbuatan haram bagi orang yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen. Karena itu, telah tersebar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Semoga Allah merahmati 'Umar. Pernikahan mut'ah itu adalah rahmat dari Allah yang diberikan kepada umat Muhammad. Kalau ia tidak melarangnya, niscaya tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kecuali orang yang celaka."
*****
Apakah Pernah Islam Mengajarkan Seperti Ini Seperti yang diungkap dalam kitab Sunni:Mengungkap Fakta: Imam Besar Sunni Menghalalkan Zina Asal Wanitanya Dibayar!
Imam Besar Sunni Menghalalkan Zina Asal Wanitanya Dibayar!
Subhanallah, hanya berganti nama akad, perzinahan yang sangat dikecam dan besar dosanya dalam agama islam, dapat disulap oleh Mazhab Islam Sunni menjadi halal.
Inilah yang terjadi! dan inilah yang difatwakan atas nama agama oleh sebuah mazhab besar Ahlusunnah wal Jama’ah (ASWAJA)
Mau tau? Boleh, tapi jangan mencobanya!!
Perhatikan Scan Kitab Dibawah ini:
kitab_fiqh_ala_almadzahib_al-arba'ah_cover
kitab_fiqh_ala_almadzahib_al-arba'ah_1193
Penyewa/pengontrak perempuan untuk berzina
Para ulama/ahli fikih Mazhab Hanafi berpendapat: Jika seorang pria menyewa seorang wnita untuk dizinai lalu wanita itu menerima kontrak itu, lalu ia menzinainya, maka baginya tidak ada sangsi hukum Islam/hadd. Ia hanya dita’zir sesuai yang diputuskan imam/penguasa.
Ibnu Jakfari:
saudaraku yang terhormat, tolong Anda perhatikan cermati baik-baik redaksi keterangan/fatwa yang ditulis dalam sub pasal di atas! Penyewa/pengontrak perempuan untuk berzina, bukan sebagai pembantu rumah tangga atau sekretaris… Tapi untuk dijadikan wanita lacur, pemuas syahwat si pria hidung belang berduait… untuk berzina… sekali lagi untuk berzina!!! maka atasnya tidak ada hukuman bagi perzinahan… tapi hanya dita’zir.. mungkin dicambuk entah berapa kali terserah hakim syar’i!
Fatwa ini sangat masyhur diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan diterima oleh para fukaha’ mazhab Hanafi!
*****
Benarkah Asma’ Binti Abu Bakar Melakukan Nikah Mut’ah? Berikut Ringkasannya
Mari Kita Lihat Website Wahabi dengan Judul BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH (http://jaser-leonheart.blogspot.co.id/2012/04/bukti-ibnu-zubair-bukan-anak-hasil.html):
____________________________________
Location : Home » Syubhat » BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH
BUKTI IBNU ZUBAIR BUKAN ANAK HASIL MUT'AH
Oleh : Al-Akh Dodi ElHasyimi -Hafizhahullah-
PERMASALAHAN PERTAMA :
Dalam statement-nya para Rofidhoh memaparkan bahwa mereka mempunyai bukti-bukti bahwa Asma' Binti Abu Bakar dan Zubair Melakukan Nikah Mut'ah Hingga Melahirkan Anak yang bernama Abdullah bin Zubair, argument/riwayat2 yang mereka kemukakan diantaranya adalah :
Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
"Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut'ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : 'Dahulu aku pernah melakukan nikah mut'ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :'Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur'an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu'"
Referensi : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".
Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;
"Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : "AKU TIDAK MELAHIRKANMU KECUALI MELALUI NIKAH MUT'AH".
Referensi : Ar-Raghib, dalam "Al-Muhadharat", juz 2, hal. 94.
JAWABAN :
Kebohongan, kesalahan dan kebathilan riwayat2 yg dibawakan oleh para Rofidhoh (terutama yg bersumber dan diambil dari keterangan ulama mereka yg bernama Al Fakikiy dalam kitabnya Al Mut’ah hal 56-57 dan diikuti oleh para rofidhoh di Indonesia) dapat dijawab dengan 4 point :
PERCAKAPAN YANG TERJADI ANTARA IBNU ABBAS DAN IBNU ZUBAIR SERTA UCAPAN ASMA’ MENGENAI سطوع المجامر (berhamburannya bara api) ITU BERKAITAN DENGAN MUT’AH HAJI ( HAJI TAMATTU’) DAN SAMA SEKALI TIDAK BERKAITAN DENGAN MUT’AH NISA’.
PENJELASAN : Hadis سطوع المجامر (berhamburannya bara api) yg diriwayatkan Imam Ahmad dalam musnadnya hal 344-345 mengenai Asma’ dg jalur periwayatan yg berbeda-beda :
ثنا عبيدة بن حميد عن يزيد بن أبي زياد ، عن مجاهد ، عن أسماء بنت أبي بكر قالت : حججنا مع رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فأمرنا ، فجعلناها عمرة ، فأحللنا كل الإِحلال حتى سطعت المجامر بين الرجال والنساء
“Kami berhaji bersama Rasulullah SAW, dst sampe akhir hadist….”
Dan Imam Ahmad juga meriwayatkan :
: ثنا محمد بن الفضيل : ثنا يزيد - يعني ابن زياد - عن مجاهد قال : قال عبد الله بن الزبير : « أفردوا بالحج ودعوا قول هذا » - يعني ابن عباس رضي الله عنهما - فقال ابن عباس : ألا تسأل أمك عن هذا » فأرسل إليها فقالت : « صدق ابن عباس ، بمثل الحديث الأول
“Berhajilah dengan cara Ifrod dan tinggalkanlah pendapat orang ini-yakni Ibnu Abbas- Maka Ibnu Abbas menjawab, dst sampe akhir hadist…..”
JADI DAPAT DIKETAHUI BAHWA KALIMAT ITU BERKAITAN DENGAN MUT’AH HAJI DAN SAMA SEKALI TIDAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN MUT’AH NISA’.
SEMUA ORANG YANG PERNAH MEMBACA KITAB2 SEJARAH DAN TARIKH AKAN MENEMUKAN BAHWA SY ZUBAIR RA MENIKAHI ASMA’ BINTI ABU BAKAR RA DALAM KEADAAN PERAWAN DAN SETELAH WAFATNYA SY ZUBAIR RA(SUAMINYA) BELIAU TIDAK PERNAH MENIKAH LAGI.
ASMA’ RA MENGANDUNG ABDULLAH BIN ZUBAIR DAN MELAHIRKANNYA DI QUBA’, DAN INILAH KELAHIRAN PERTAMA YG PERNAH TERJADI DALAM ISLAM SEBAGAIMANA KETERANGAN2 YG TELAH MASYHUR KITA KETAHUI, SEDANGKAN MUT’AH TIDAKLAH TERJADI KECUALI SETELAH HIJRAH DAN SEBELUM PERANG KHOIBAR. MAKA PERNIKAHAN ANTARA ASMA’ DENGAN ZUBAIR RADHIYALLAHU ANHUMA ADALAH PERNIKAHAN DAIM ( PERMANEN). KARENA SEANDAINYA MEREKA BERDUA MELAKUKAN MUT’AH, MAKA MEREKA WAJIB MEMISAHKAN MUT’AH INI DAN MEMBEBASKAN JALINANNYA. SEBAGAIMANA SABDA RASULULLAH SAW :
قال النبي صلى اللّه عليه وسلم : « فمن كان عنده منهن شيء فليخل سبيلها »
Nabi SAW bersabda : “ maka barangsiapa di sisinya terdapat wanita2 (yg diakadi mut’ah) maka lepaskanlah akad mut’ah itu.
Hadist ini dapat dilihat di kitab :
(صحيح مسلم بشرح النووي 5/1/185 سنن أبي داود 1/478 -497 ، مسند الإمام أحمد 3/404 -405 سنن ابن ماجه 1/632 مصنف عبدالرزاق 7/504 الدارمي 1/2/140(
Ini point yg terpenting !!! mari kita meruju’ kepada kitab Muhadhorotu Al Udaba’ wa Muhawarotu Al Syu’aro ( محاضرات الأدباء ومحاورات الشعراء) juz 3 hal 214 karya Ar Roghib Al Ashbihani yg sering digunakan berhujah oleh para Rofidhoh untuk melancarkan tuduhan mengenai status Ibnu Zubair (Abdullah bin Zubair) cucu Sy Abu Bakar RA sebagai anak hasil mut’ah, karena dalam kitab inilah yang secara shorih (jelas) menyatakan hal ini :
إن عبد الله بن الزبير عيّر ابن عباس بتحليله المتعة ، فقال له ابن عباس : سل أمك كيف سطعت المجامر بينها وبين أبيك . فسألها ، فقالت : والله ما ولدتك إلا بالمتعة .
“Sesungguhnya Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah. Ibnu Abbas kemudian berkata kepadanya : "Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : "Demi Allah Aku tidak melahirkanmu kecuali dengan cara mut'ah.”
TERNYATA JELAS SEKALI BAHWA KISAH CERITA DI DALAM KITAB INI SAMA SEKALI TIDAK ADA SANADNYA, TERPUTUS HANYA BEGITU SAJA, SEBAGAIMANA HIKAYAT2 LAIN YANG SERING DITULIS OLEH PARA AHLI SATRA YANG SERING DIGUNAKAN SEBAGAI CARA UNTUK MENJATUHKAN DAN MEMFITNAH, TANPA MEMANDANG APAKAH RIWAYAT YANG DITULIS ITU SHOHIH ATAU KADZDZAB…!!
PERTANYAAN : APAKAH HIKAYAT YANG TERPUTUS SANADNYA SEPERTI INI BISA DIGUNAKAN UNTUK MENETAPKAN HUKUM SYARIAT SECARA HAKIKI, SERTA DIGUNAKAN UNTUK MENENTANG RIWAYAT2 HADIS YANG DISANDARKAN KEPADA KITAB2 HADIS YANG MU’TAMAD ( DAPAT DIJADIKAN PEDOMAN ) ???
TENTU JAWABNYA : TIDAK, SAMA SEKALI TIDAK BISA…!!!
Sebenarnya dari judul kitabnya saja kita bisa menebak dan mengetahui, bahwa kitab ini hanyalah karya sastra dari para sastrawan yang sama sekali tidak bermaksud untuk menjustifikasi akan kebenaran atau tidaknya suatu masalah dari sisi hukum syariat, nama kitabnya adalah Muhadhorotu Al Udaba’ wa Muhawarotu Al Syu’aro ( محاضرات الأدباء ومحاورات الشعراء) yang artinya “KUMPULAN PARA AHLI SASTRA DAN PERCAKAPAN PARA AHLI SYAIR”, namun untuk mengelabui orang awwam, para Rofidhoh dalam menyebutkan kitab ini hanya memutilasi lafadz depannya saja, yaitu Al Muhadhorot, sehingga seolah-olah bahwa kitab ini adalah kitab yang bisa digunakan sebagai pijakan untuk berhujah dan mengambil hukum…!!!!
PENUTUP :
Celaan yang selalu ditampakkan oleh para Rofidhoh (terutama Al Fakiki dalam kitabnya itu) mengenai percakapan yang terjadi antara Ibnu Abbas yang berisi penghinaan dan penjatuhan martabat dari Ibnu Zubair itu sama halnya dengan membohongkan riwayat dari Ibnu Abbas yang terdapat dalam hadis shohih bahwasanya beliau menyifati Ibnu Zubair sebagai : “AFIFUL ISLAM (orang yg bisa menjaga diri dan menjauhkan diri dari hal2 yang tidak baik yang pernah ditemui dalam Islam), QORI-UL QURAN (orang yang hafal dan banyak membaca Al Quran), AYAHNYA ADALAH HAWARY (sahabat istimewa yang membantu dan menolong) RASULULLAH SAW, IBUNYA ADALAH PUTRI ASH SHIDDIQ, NENEKNYA ADALAH SHOFIYAH BIBI RASULULLAH SAW, BIBI DARI AYAHNYA KHODIJAH BINTI KHUWAILID. Bisa dilihat di Shohih Al Bukhori :
صحيح البخاري - (ج 14 / ص 226)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
أَنَّهُ قَالَ حِينَ وَقَعَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ ابْنِ الزُّبَيْرِ قُلْتُ أَبُوهُ الزُّبَيْرُ وَأُمُّهُ أَسْمَاءُ وَخَالَتُهُ عَائِشَةُ وَجَدُّهُ أَبُو بَكْرٍ وَجَدَّتُهُ صَفِيَّةُ
صحيح البخاري - (ج 14 / ص 227)
قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَكَانَ بَيْنَهُمَا شَيْءٌ فَغَدَوْتُ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ
فَقُلْتُ أَتُرِيدُ أَنْ تُقَاتِلَ ابْنَ الزُّبَيْرِ فَتُحِلَّ حَرَمَ اللَّهِ فَقَالَ مَعَاذَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ ابْنَ الزُّبَيْرِ وَبَنِي أُمَيَّةَ مُحِلِّينَ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُحِلُّهُ أَبَدًا قَالَ قَالَ النَّاسُ بَايِعْ لِابْنِ الزُّبَيْرِ فَقُلْتُ وَأَيْنَ بِهَذَا الْأَمْرِ عَنْهُ أَمَّا أَبُوهُ فَحَوَارِيُّ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ الزُّبَيْرَ وَأَمَّا جَدُّهُ فَصَاحِبُ الْغَارِ يُرِيدُ أَبَا بَكْرٍ وَأُمُّهُ فَذَاتُ النِّطَاقِ يُرِيدُ أَسْمَاءَ وَأَمَّا خَالَتُهُ فَأُمُّ الْمُؤْمِنِينَ يُرِيدُ عَائِشَةَ وَأَمَّا عَمَّتُهُ فَزَوْجُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرِيدُ خَدِيجَةَ وَأَمَّا عَمَّةُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَدَّتُهُ يُرِيدُ صَفِيَّةَ ثُمَّ عَفِيفٌ فِي الْإِسْلَامِ قَارِئٌ لِلْقُرْآنِ وَاللَّهِ إِنْ وَصَلُونِي وَصَلُونِي مِنْ قَرِيبٍ وَإِنْ رَبُّونِي رَبُّونِي أَكْفَاءٌ كِرَامٌ فَآثَرَ التُّوَيْتَاتِ وَالْأُسَامَاتِ وَالْحُمَيْدَاتِ يُرِيدُ أَبْطُنًا مِنْ بَنِي أَسَدٍ بَنِي تُوَيْتٍ وَبَنِي أُسَامَةَ وَبَنِي أَسَدٍ إِنَّ ابْنَ أَبِي الْعَاصِ بَرَزَ يَمْشِي الْقُدَمِيَّةَ يَعْنِي عَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ مَرْوَانَ وَإِنَّهُ لَوَّى ذَنَبَهُ يَعْنِي ابْنَ الزُّبَيْرِ
PERMASALAHAN KEDUA :
Mengenai Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair yang Sering ditampilkan oleh Para Rofidhoh Untuk Menggulkan Kebolehan Mut’ah :
1. Dari Ayyub berkata :
"Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan: 'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar'.
Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", juz 1, hal. 213.
2. Dari Ibnu Abi Mulaikah :
Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :"Orang-orang mendurhakaimu". Berkata Ibnu Abbas :"Apa sebabnya". Berkata Urwah :"Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut'ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya". Berkata Ibnu Abbas :"Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar".
JAWABAN :
Dari dua riwayat diatas para Rofidhoh seolah-olah ingin menampilkan bahwa dalam debat diatas, kebolehan mut’ah-lah- yang diwakili oleh pendapat sahabat Ibnu Abbas RA- yang diunggulkan, dengan ending (akhir) pembicaraan sebagaimana tersebut diatas. Tetapi ternyata, riwayat2 ini ADALAH HASIL MUTILASI DARI RIWAYAT YANG MASIH ADA KELANJUTANNYA. Mari kita lihat selengkapnya :
زاد المعاد - (ج 2 / ص 190)
وَقَالَ عَبْدُ الرّازِقِ حَدّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ أَيّوبَ قَالَ قَالَ عُرْوَةُ لِابْنِ عَبّاسٍ أَلَا تَتّقِي اللّهَ تُرَخّصُ فِي الْمُتْعَةِ ؟ فَقَالَ ابْنُ عَبّاسٍ : سَلْ أُمّك يَا عُرَيّةَ . فَقَالَ عُرْوَةُ : أُمّا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ ، فَلَمْ يَفْعَلَا ، فَقَالَ ابْنُ عَبّاسٍ : وَاَللّهِ مَا أَرَاكُمْ مُنْتَهِينَ حَتّى يُعَذّبَكُمْ اللّهُ أُحَدّثُكُمْ عَنْ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَتُحَدّثُونَا عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ؟ فَقَالَ عُرْوَةُ : لَهُمَا أَعْلَمُ بِسُنّةِ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَأَتْبَعُ لَهَا مِنْك
Juga dapat dilihat riwayat yang lengkap disini :
الحاوى الكبير ـ الماوردى - دار الفكر - (ج 9 / ص 836)
وَنَاظَرَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الزُّبَيْرِ عَلَيْهَا مُنَاظَرَةً مَشْهُورَةً ، وَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ : أَهْلَكْتَ نَفْسَكَ ، قَالَ : وَمَا هُوَ يَا عُرْوَةُ ، قَالَ : تُفْتِي بِإِبَاحَةِ الْمُتْعَةِ ، وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ يَنْهَيَانِ عَنْهَا ، فَقَالَ : عَجِبْتُ مِنْكَ ، أُخْبِرُكَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ {صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} وَتُخْبِرُنِي عَنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ ، فَقَالَ لَهُ عُرْوَةُ : إِنَّهُمَا أَعْلَمُ بِالسُّنَّةِ مِنْكَ فَسَكَتَ .
Jadi percakapan selengkapnya berbunyi :
Dari Ayyub berkata : "Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah ?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan :'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar. Maka Urwah menjawab : ”SESUNGGUHNYA MEREKA BERDUA ( ABU BAKAR DAN UMAR ) LEBIH MENGETAHUI SUNNAH ( NABI SAW ) DARIPADA DIRIMU. MAKA SANGGAHAN INI MEMBUAT IBNU ABBAS TERDIAM.”
JADI MUTILASI YANG DILAKUKAN PARA ROFIDHOH ADALAH PADA JAWABAN URWAH : ….”SESUNGGUHNYA MEREKA BERDUA ( ABU BAKAR DAN UMAR ) LEBIH MENGETAHUI SUNNAH ( NABI SAW ) DARIPADA DIRIMU. MAKA SANGGAHAN INI MEMBUAT IBNU ABBAS TERDIAM.”
MAKA DENGAN ADANYA RIWAYAT YANG LENGKAP, MAKA KITA AKAN MENGETAHUI ENDING (AKHIR) CERITA INI DENGAN SESUNGGUHNYA, YAITU TENTANG BENARNYA KEHAROMAN MUT’AH. JADI DARI SINI PULA TERBONGKARLAH KELICIKAN PARA ROFIDHOH DALAM BERHUJJAH…!!!
SEMOGA KETERANGAN YANG KAMI SAMPAIKAN DIATAS DAPAT BERMANFAAT…. WALLOHU A’ALAM, WALLOHU AL MUWAFFIQ ILA AQWAMI AL THORIQ.
Untuk para syi’ah dan lainnya yang tidak setuju serta tidak sependapat dengan tulisan kami diatas, silahkan dikomentari dibawah, mari kita diskusikan bersama…!!! Dengan syarat berbicara dengan dasar ilmiyah serta dikemukakan dengan menggunakan dalil dan hujjah, bukan berdebat diatas ludah…..Tafadhdhol !!!!!!
______________________
Demikian Hujjah dari Note Al-Akh Dodi ElHasyimi, Simak Dialog Lengkap Beliau Bersama Saudara-Saudara Ahlus Sunnah Lainnya dengan para kaum sesat agama syi'ah ----->DISINI<-----
_________________________________
Jawaban Syiah dalam hadis Ahlus Sunnah Sebagai berikut:Sebelumnya kita lihat disini dalil menurut Al-Qur'an sbb:
Kedudukan Mut'ah halal menurut Al-Qur'an, Sedangkan Haram Menurut Umar bin Khattab. Apakah Umar itu Tuhan Yang menentukan Ayat-Ayat Allah Swt?
Allah Swt Berfirman dalam Al-Qur'an dalam 3 Ayat sbb:
3 Ayat Al-Qur'an Tentang Mut'ah, Al-Baqarah (2:241 dan 2:236) dan Al-Ahzab 33:49
1. Al Baqarah Ayat 241 - 250 Dan Terjemah:
241.
وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖحَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut`ah menurut yang ma`ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa.
242.
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ الَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
Demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) supaya kamu memahaminya.
243.
۞ أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ الَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ ۚإِنَّ الَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati; maka Allah berfirman kepada mereka: "Matilah kamu", kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.
244.
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ الَّهِ وَاعْلَمُوا أَنَّ الَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
245.
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ الَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚوَالَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.
246.
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلَإِ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُقَاتِلْ فِي سَبِيلِ الَّهِ ۖقَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلَّا تُقَاتِلُوا ۖقَالُوا وَمَا لَنَا أَلَّا نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ الَّهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِنْ دِيَارِنَا وَأَبْنَائِنَا ۖفَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۗوَالَّهُ عَلِيمٌ بِالظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: "Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah". Nabi mereka menjawab: "Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang." Mereka menjawab: "Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?" Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.
247.
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ الَّهَ قَدْ بَعَثَ لَكُمْ طَالُوتَ مَلِكًا ۚقَالُوا أَنَّىٰ يَكُونُ لَهُ الْمُلْكُ عَلَيْنَا وَنَحْنُ أَحَقُّ بِالْمُلْكِ مِنْهُ وَلَمْ يُؤْتَ سَعَةً مِنَ الْمَالِ ۚقَالَ إِنَّ الَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ ۖوَالَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚوَالَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu". Mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang banyak?" (Nabi mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui.
248.
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَىٰ وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ ۚإِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa oleh Malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.
249.
فَلَمَّا فَصَلَ طَالُوتُ بِالْجُنُودِ قَالَ إِنَّ الَّهَ مُبْتَلِيكُمْ بِنَهَرٍ فَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ فَلَيْسَ مِنِّي وَمَنْ لَمْ يَطْعَمْهُ فَإِنَّهُ مِنِّي إِلَّا مَنِ اغْتَرَفَ غُرْفَةً بِيَدِهِ ۚفَشَرِبُوا مِنْهُ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ ۚفَلَمَّا جَاوَزَهُ هُوَ وَالَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ قَالُوا لَا طَاقَةَ لَنَا الْيَوْمَ بِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ ۚقَالَ الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلَاقُو الَّهِ كَمْ مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ الَّهِ ۗوَالَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Maka tatkala Thalut keluar membawa tentaranya, ia berkata: "Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan suatu sungai. Maka siapa di antara kamu meminum airnya, bukanlah ia pengikutku. Dan barangsiapa tiada meminumnya, kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikutku." Kemudian mereka meminumnya kecuali beberapa orang di antara mereka. Maka tatkala Thalut dan orang-orang yang beriman bersama dia telah menyeberangi sungai itu, orang-orang yang telah minum berkata: "Tak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya." Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata: "Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar."
250.
وَلَمَّا بَرَزُوا لِجَالُوتَ وَجُنُودِهِ قَالُوا رَبَّنَا أَفْرِغْ عَلَيْنَا صَبْرًا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Tatkala mereka nampak oleh Jalut dan tentaranya, merekapun (Thalut dan tentaranya) berdo`a: "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir".
2. Al Baqarah Ayat 236 Dan Terjemah:
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
_____*****____
Turunnya ayat ini menurut riwayat didahului oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi pada seorang sahabat dari kaum Ansar yang menikahi seorang perempuan. Dalam akad nikahnya tidak ditentukan jumlah mahar. Dan sebelum ia bercampur, istrinya tersebut telah ditalaknya. Setelah turun ayat ini maka Nabi memerintahkan kepadanya untuk memberikan mutah (hadiah) kepada bekas istrinya itu meskipun hanya berupa pakaian tutup kepala.Seorang suami yang menjatuhkan talak pada istrinya sebelum bercampur dan sebelum menentukan jumlah maharnya ia tidak dibebani membayar mahar tetapi ia diwajibkan memberi mutah, yaitu pemberian untuk menimbang-rasa bekas istrinya. Besar kecilnya jumlah pemberian tersebut tergantung pada suami, yang kaya sesuai dengan kekayaannya dan yang tidak mampu sesuai pula dengan kadar yang disanggupinya. Pemberian mutah tersebut merupakan suatu kewajiban atas laki-laki yang mau berbuat baik.
3. Al Ahzab Ayat 49 Dan Terjemah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا ۖ فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya.
_________________________________________
Diantara sahabat wanita yang meyakini kehalalan Nikah Mut’ah adalah Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] dan dia adalah Ibu dari Abdullah bin Zubair. Sebagian tabiin pernah datang kepadanya menanyakan tentang Nikah Mut’ah maka ia menjawab “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]”. Berikut pembahasannya:
حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل و محمد بن صالح بن الوليد النرسي قالا : ثنا أبو حفص عمرو بن علي قال : ثنا أبو داود ثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن المتعة فقالت : فعلناها على عهد رسول الله صلى الله عليه و سلم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dan Muhammad bin Shaalih bin Waliid An Nursiy keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Ab Hafsh ‘Amru bin Aliy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abu Dawud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata “kami menemui Asma’ binti Abu Bakar maka kami tanyakan kepadanya tentang Mut’ah maka ia berkata “kami telah melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]” [Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/103 no 277].
Riwayat di atas sanadnya shahih, para perawinya tsiqat. Berikut keterangan mengenai para perawinya:
1. Abdullah bin Ahmad bin Hanbal anak seorang imam [Ahmad bin Hanbal] tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/295 no 3205]. Muhammad bin Shaalih bin Waliid tidak ditemukan biografinya.
2. ‘Amru bin ‘Aliy Al Fallaas Abu Hafsh seorang yang tsiqat hafizh [Taqrib At Tahdzib 1/424 no 5081].
3. Abu Dawud adalah Sulaiman bin Dawud Ath Thayaalisiy seorang yang tsiqat hafizh, keliru dalam hadis-hadis [Taqrib At Tahdzib 1/250 no 2550].
4. Syu’bah bin Hajjaaj seorang yang tsiqat hafizh mutqin, Ats Tsauriy mengatakan bahwa ia amirul mukminin dalam hadis [Taqrib At Tahdzib 1/266 no 2790].
5 Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy seorang yang shaduq [Taqrib At Tahdzib 1/530 no 6643].
‘Amru bin Aliy Al Fallaas dalam riwayatnya dari Abu Dawud Ath Thayalisiy memiliki mutaba’ah yaitu:
1. ‘Abdah bin ‘Abdullah Al Khuza’iy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dengan lafaz mut’ah. ‘Abdah bin ‘Abdullah seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/369 no 4272].
2. Yunus bin Habiib Al Ashbahaaniy sebagaimana disebutkan dalam Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341 dan Musnad Abu Dawud Ath Thayalisiy no 1731, dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Yunus bin Habiib seorang yang tsiqat [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 9/237 no 1000].
3. Mahmuud bin Ghailan Al Marwaziy sebagaimana disebutkan dalam Sunan Nasa’i 3/326 no 5540 dengan lafaz mut’ah an nisaa’. Mahmuud bin Ghailan seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/522 no 6516].
Berikut riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang menyebutkan lafaz bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah:
حدثنا يونس قال حدثنا أبو داود قال حدثنا شعبة عن مسلم القري قال دخلنا على أسماء بنت أبي بكر فسألناها عن متعة النساء فقالت فعلناها على عهد النبي صلى الله عليه وسلم
Telah menceritakan kepada kami Yuunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Dawuud yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata kami menemui Asmaa’ binti Abi Bakar, maka kami menanyakan kepadanya tentang Nikah Mut’ah maka ia berkata “kami melakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] [Musnad Abu Dawud Ath Thayaalisiy no 1731].
Kedudukan hadis tersebut shahih. Mengenai Muslim bin Mikhraaq Al Qurriy, Ahmad bin Hanbal menyatakan tidak ada masalah dengannya. Abu Hatim berkata “syaikh”. Nasa’iy berkata “tsiqat”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Ijliy berkata “tsiqat” [Tahdzib At Tahdzib 10/123 no 251].
Abu Dawud Ath Thayaalisiy memang dinyatakan bahwa ia pernah keliru dalam sebagian hadisnya tetapi ia pada dasarnya seorang yang tsiqat hafizh dan disini termasuk riwayatnya dari Syu’bah dimana Yahya bin Ma’in berkata bahwa Abu Dawud lebih alim dari Ibnu Mahdiy dalam riwayat dari Syu’bah [Tarikh Ibnu Ma’in, riwayat Ad Darimiy 1/64 no 107]. Hanya saja jika ternukil penyelisihan dalam arti ia tafarrud dalam periwayatan dimana menyelisihi para perawi yang lebih tsiqat atau tsabit dari dirinya maka hal ini bisa menjadi illat [cacat] bagi lafaz yang tafarrud tersebut.
حدثنا محمد بن حاتم حدثنا روح بن عبادة حدثنا شعبة عن مسلم القري قال سألت ابن عباس رضي الله عنهما عن متعة الحج فرخص فيها وكان ابن الزبير ينهى عنها فقال هذه أم الزبير تحدث أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رخض فيها فادخلوا عليها فاسألوها قال فدخلنا عليها فإذا امرأة ضخمة عمياء فقالت قد رخص رسول الله صلى الله عليه و سلم فيها
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Haatim yang berkata telah menceritakan kepada kami Rauh bin ‘Ubadaah yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Muslim Al Qurriy yang berkata aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhuma] tentang Mut’ah Haji, maka ia memberikan keringanan untuk melakukannya sedangkan Ibnu Zubair melarangnya. Maka [Ibnu ‘Abbas] berkata “ini Ibu Ibnu Zubair menceritakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberi keringanan tentangnya, masuklah kalian kepadanya dan tanyakan kepadanya”. Maka kamipun masuk menemuinya dan ternyata ia wanita yang gemuk dan buta. Ia berkata “sungguh Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] telah memberikan keringanan tentangnya” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].
Hadis Muslim di atas juga disebutkan dalam Musnad Ahmad 6/348 no 26991, Mu’jam Al Kabir Ath Thabraniy 24/77 no 202, Sunan Baihaqiy no 9153, Mustakhraj Abu Nu’aim 3/341, dan Tarikh Ibnu Asakir 5/69 semuanya dengan jalan sanad Rauh bin ‘Ubadah dari Syu’bah dari Muslim Al Qurriy.
Rauh bin ‘Ubadah seorang yang tsiqat fadhl [Taqrib At Tahdzib 1/211 no 1962]. Ternukil juga sebagian ulama yang sedikit membicarakannya seperti Ibnu Mahdiy yang membicarakannya karena kekeliruan dalam sanad hadis. Al Qawaririy yang tidak mau menceritakan hadis dari Rauh. Diriwayatkan dari Abu Hatim yang berkata “tidak dapat berhujjah dengannya”. Nasa’i berkata “tidak kuat” [As Siyaar Adz Dzahabiy 9/409].
Tetapi hal ini tidaklah menjatuhkan kedudukannya. Dalam hal ini kami menukil ulama yang membicarakannya hanya untuk menunjukkan bahwa kedudukan Rauh bin ‘Ubadah tidaklah berbeda dengan kedudukan Abu Dawud Ath Thayaalisiy. Keduanya perawi yang sama-sama tsiqat dan ternukil sedikit kelemahan padanya.
Abu Dawud dalam hadis ini telah berselisih dengan Rauh bin ‘Ubadah. Abu Dawud menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah sedangkan Rauh bin ‘Ubadah menegaskan dalam riwayatnya bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji. Kemudian Muslim dalam Shahih-nya setelah mengutip hadis Rauh di atas ia menyebutkan hadis berikut:
وحدثناه ابن المثنى حدثنا عبدالرحمن ح وحدثناه ابن بشار حدثنا محمد ( يعني ابن جعفر ) جميعا عن شعبة بهذا الإسناد فأما عبدالرحمن ففي حديثه المتعة ولم يقل متعة الحج وأما ابن جعفر فقال قال شعبة قال مسلم لا أدري متعة الحج أو متعة النساء
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahman. Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad yakni Ibnu Ja’far keduanya dari Syu’bah dengan sanad ini. Adapun ‘Abdurrahman dalam hadisnya disebutkan Mut’ah tanpa mengatakan Mut’ah Haji dan adapun Ibnu Ja’far mengatakan Syu’bah berkata Muslim berkata “aku tidak tahu apakah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah” [Shahih Muslim 2/909 no 1238].
Muhammad bin Ja’far [Ghundaar] adalah perawi yang tsiqat. Ia termasuk perawi yang paling tsabit riwayatnya dari Syu’bah. Ibnu Madini berkata “ia lebih aku sukai dari Abdurrahman bin Mahdiy dalam riwayat Syu’bah”. Ibnu Mahdiy sendiri berkata “Ghundaar lebih tsabit dariku dalam riwayat Syu’bah”. Al Ijliy berkata orang Bashrah yang tsiqat, ia termasuk orang yang paling tsabit dalam hadis Syu’bah” [At Tahdzib juz 9 no 129].
Kedudukan riwayat Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah pada dasarnya lebih didahulukan dibanding riwayat Abu Dawud Ath Thayaalisiy dan Rauh bin ‘Ubadah. Dan ternyata riwayat Muhammad bin Ja’far menyebutkan bahwa Muslim Al Qurriy ragu apakah itu Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah. Hal ini sebenarnya termasuk perkara musykil karena bagaimana bisa Muslim Al Qurriy yang menemui Asma’ dan bertanya kepadanya tentang Mut’ah menjadi ragu atau tidak tahu apakah Mut’ah tersebut adalah Mut’ah Haji atau Nikah Mut’ah.
Sebagian para pengingkar demi menolak anggapan Asma’ binti Abu Bakar melakukan nikah mut’ah, maka mereka melemahkan riwayat Abu Dawud dari Syu’bah di atas dengan alasan telah menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdiy, Ghundaar dan Rauh bin ‘Ubadah yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah an nisaa’ [nikah mut’ah].
Hujjah ini bathil dan mengandung penyesatan halus karena dengan alasan yang sama riwayat Rauh bin ‘Ubadah [yang menyebutkan Mut’ah Haji] bisa juga dilemahkan karena menyelisihi para perawi tsiqat seperti Ibnu Mahdi, Ghundaar dan Abu Dawud Ath Thayaalisiy yang tidak menyebutkan lafaz mut’ah haji.
Cara berhujjah seperti ini keliru. Riwayat Syu’bah hanya berselisih dengan riwayat Rauh bin ‘Ubadah. Adapun riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar yang menyebutkan lafaz Mut’ah saja, tidaklah berselisih secara makna dengan riwayat Syu’bah atau pun Rauh bin ‘Ubadah. Yang manapun yang benar diantara keduanya akan tetap sesuai dengan riwayat Ibnu Mahdiy dan Ghundaar.
Penyelesaian masalah ini tidak bisa hanya mengandalkan riwayat Muslim Al Qurriy saja. Harus ada qarinah lain yang menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud Asma’ binti Abu Bakar tersebut apakah nikah Mut’ah atau Mut’ah haji. Terdapat riwayat shahih selain riwayat Muslim Al Qurriy bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Nikah Mut’ah.
حَدَّثَنَا صَالِحُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَال حدثنا هُشَيمٌ قَال أَخْبَرَنَا أَبُو بِشْر عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَال سَمِعْتُ عَبْدَ اللهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، يَخْطُبُ وَهُوَ يُعَرِّضُ بِابْنِ عَبَّاسٍ، يَعِيبُ عَلَيْهِ قَوْلَهُ فِي الْمُتْعَةِ. فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَسْأَلُ أُمَّهُ إِنْ كَانَ صَادِقًا، فَسَأَلَهَا، فَقَالَتْ صَدَقَ ابْنُ عَبَّاسٍ، قَدْ كَانَ ذَلِكَ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا لَوْ شِئْتُ لَسَمَّيْتُ رِجَالًا مِنْ قُرَيْشٍ وُلِدُوا فِيهَا
Telah menceritakan kepada kami Shaalih bin ‘Abdurrahman yang berkata telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim yang berkata telah mengabarkan kepada kami Abu Bisyr dari Sa’id bin Jubair yang berkata aku mendengar ‘Abdullah bin Zubair berkhutbah dan ia mencela Ibnu ‘Abbas atas perkataannya tentang Mut’ah. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “tanyakanlah kepada Ibunya jika memang ia benar” maka ia bertanya kepadanya [Ibunya]. [Ibunya] berkata “Ibnu ‘Abbas benar, sungguh hal itu memang demikian”. Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ta’ala ‘anhuma] berkata “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya [nikah mut’ah]” [Syarh Ma’aaniy Al Atsaar Ath Thahawiy 3/24 no 4306].
Riwayat Ath Thahawiy di atas sanadnya jayyid. Para perawinya tsiqat dan shaduq berikut keterangan tentang mereka:
1. Shaalih bin ‘Abdurrahman bin ‘Amru bin Al Haarits Al Mishriy termasuk salah satu guru Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abi Hatim berkata “aku mendengar darinya di Mesir dan dia tempat kejujuran” [Al Jarh Wat Ta’dil Ibnu Abi Hatim 4/408 no 1790]. Dia termasuk guru Ibnu Khuzaimah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Shahih Ibnu Khuzaimah 1/77 no 149]. Dia juga termasuk guru Abu Awanah yang diambil hadisnya dalam kitab Shahih-nya [Mustakhraj Abu Awanah 2/431 no 1737]. Pendapat yang rajih, ia seorang yang shaduq.
2. Sa’id bin Manshuur adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ahmad berkata “termasuk orang yang memiliki keutamaan dan shaduq”. Ibnu Khirasy dan Ibnu Numair menyatakan tsiqat. Abu Hatim menyatakan tsiqat dan termasuk orang yang mutqin dan tsabit. Ibnu Hibban memasukkan dalam Ats Tsiqat. Ibnu Qani’ berkata “tsiqat tsabit”. Al Khalili berkata “tsiqat muttafaq ‘alaih” [At Tahdzib juz 4 no 148].
3. Husyaim bin Basyiir seorang perawi kutubus sittah. Ia dinyatakan tsiqat oleh Al Ijli, Ibnu Saad dan Abu Hatim. Ibnu Mahdi, Abu Zar’ah dan Abu Hatim telah memuji hafalannya [At Tahdzib juz 11 no 100]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat tsabit [At Taqrib 2/269]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau Husyaim seorang Hafiz Baghdad Imam yang tsiqat [Al Kasyf no 5979].
4. Abu Bisyr adalah Ja’far bin Iyaas perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, Abu Zur’ah, An Nasa’i dan Al Ijliy menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib Ibnu Hajar juz 2 no 129]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat dan termasuk orang yang paling tsabit dalam riwayat Sa’id bin Jubair, Syu’bah melemahkannya dalam riwayat Habib bin Salim dan Mujahid” [At Taqrib 1/160 no 932].
5. Sa’id bin Jubair adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Abu Qasim Ath Thabari berkata tsiqat imam hujjah kaum muslimin. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat dan menyatakan faqih ahli ibadah memilik keutamaan dan wara’. [At Tahdzib juz 4 no 14]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit faqih” [At Taqrib 1/349]. Al Ijli berkata “tabiin kufah yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 578].
Lafaz perkataan Ibnu Abbas “seandainya aku mau maka aku akan menyebutkan orang-orang dari Quraisy yang lahir darinya” menunjukkan bahwa Mut’ah yang dimaksud dalam riwayat tersebut adalah Nikah Mut’ah. Tetapi terdapat juga riwayat lain yang menguatkan bahwa Mut’ah yang dimaksud adalah Mut’ah Haji.
حدثنا عبد الله حدثني أبى ثنا محمد بن فضيل قال ثنا يزيد يعنى بن أبى زياد عن مجاهد قال قال عبد الله بن الزبير أفردوا بالحج ودعوا قول هذا يعنى بن عباس فقال بن عباس ألا تسأل أمك عن هذا فأرسل إليها فقالت صدق بن عباس : خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه و سلم حجاجا فأمرنا فجعلناها عمرة فحل لنا الحلال حتى سطعت المجامر بين النساء والرجال
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail yang berkata telah menceritakan kepada kami Yaziid yaitu bin Abi Ziyaad dari Mujahid yang berkata ‘Abdullah bin Zubair berkata “lakukanlah haji kalian dengan ifrad dan tinggalkanlah perkataan orang ini yaitu Ibnu ‘Abbaas”. Maka berkata Ibnu ‘Abbaas “tidakkah kami menanyakan kepada Ibumu mengenai hal ini”. Maka ia [Ibnu Zubair] mengutus seseorang kepada Ibunya, [Ibunya] berkata “benarlah Ibnu ‘Abbaas, kami keluar bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] untuk melakukan haji, maka Beliau memerintahkan untuk menjadikannya Umrah maka menjadi halal bagi kami apa-apa yang halal hingga bertebaran bara api antara wanita dan pria [Musnad Ahmad 6/344 no 26962].
Hanya saja riwayat di atas sanadnya dhaif karena Yazid bin Abi Ziyaad. Yazid bin Abi Ziyaad Al Qurasyiy termasuk perawi Bukhariy dalam At Ta’liq, Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud, Nasa’i, dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal berkata “tidak hafizh”. Yahya bin Ma’in berkata “tidak kuat”. Al Ijliy berkata “ja’iz al hadits”. Abu Zur’ah berkata “layyin ditulis hadisnya tetapi tidak dijadikan hujjah”. Abu Hatim berkata “tidak kuat”. Abu Dawud berkata “tidak diketahui satu orangpun yang meninggalkan hadisnya tetapi selainnya lebih disukai daripadanya”. Ibnu Adiy berkata “orang syi’ah kufah yang dhaif ditulis hadisnya”. Ibnu Hibban berkata “shaduq kecuali ketika tua jelek dan berubah hafalannya”. Abu Ahmad Al Hakim berkata “tidak kuat di sisi para ulama”. Ibnu Syahin memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ahmad bin Shalih Al Mishriy berkata “tsiqat dan tidak membuatku heran perkataan yang membicarakannya”. An Nasa’iy berkata “tidak kuat” [Tahdzib At Tahdzib juz 11 no 531]. Pendapat yang rajih Yazid bin Abi Ziyaad seorang yang dhaif tetapi hadisnya bisa dijadikan i’tibar.
Kalau kita ingin menerapkan metode tarjih maka qarinah bahwa Mut’ah yang dimaksudkan Asma’ binti Abu Bakar adalah Nikah Mut’ah lebih kuat kedudukannya dibanding qarinah yang menunjukkan Mut’ah Haji. Tetapi kalau kita ingin menerapkan metode jamak maka dapat disimpulkan bahwa kedua jenis Mut’ah baik Nikah Mut’ah maupun Mut’ah Haji telah dilakukan dan diyakini kebolehannya oleh Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha]. Terdapat riwayat yang menjadi petunjuk bahwa perselisihan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair mencakup kedua jenis Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji], berikut riwayatnya:
حدثنا حامد بن عمرو البكراوي حدثنا عبدالواحد ( يعني ابن زياد ) عن عاصم عن أبي نضرة قال كنت عند جابر بن عبدالله فأتاه آت فقال ابن عباس وابن الزبير اختلفا في المتعتين فقال جابر فعلناهما مع رسول الله صلى الله عليه و سلم ثم نهانا عنهما عمر فلم نعد لهما
Telah menceritakan kepada kami Haamid bin ‘Umar Al Bakraawiy yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Abdul Waahid yaitu Ibnu Ziyaad dari ‘Aashim dari Abi Nadhrah yang berkata aku berada di sisi Jabir bin ‘Abdullah maka datanglah seseorang dan berkata Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair telah berselisih tentang dua Mut’ah. Maka Jabir berkata “kami telah melakukannya keduanya bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] kemudian Umar melarang kami melakukan keduanya maka kami tidak melakukan keduanya” [Shahih Muslim 2/1022 no 1405].
Masih memungkinkan untuk dikatakan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang hukum kedua Mut’ah [Nikah Mut’ah dan Mut’ah Haji] maka Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair bertanya kepada Ibunya [Asma’ binti Abu Bakar] dan Ia menyatakan bahwa kedua Mut’ah tersebut telah dilakukannya di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]. Pendapat ini lebih baik karena menggabungkan semua riwayat yang ada di atas.
Kesimpulannya memang shahih Asma’ binti Abu Bakar [radiallahu ‘anha] mengakui bolehnya nikah Mut’ah dimana ia bersaksi bahwa ia telah melakukan nikah Mut’ah di masa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam].
___________________________________
Tambahan Dari Saya:
Nikah Mut’ah jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman
Pertanyaan yang cukup menyentak dari ulama syiah adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika terbumikan di masyarakat mereka.
tangisilah salah satu sahabat besar Rasulullah SAWW, Zubair bin Awwam, seorang sahabat yang terkenal keberaniannya, suami Asma’ binti Abu Bakar, khalifah pertama. Perkawinan mereka dilakukan melalui kawin mut’ah yang melahirkan Abdullah dan urwah bin Zubair. Juga banyak sahabat yang lain, sebagaimana tercatat dalam buku-buku tarikh Sunni kita. Mengapa anda tidak sekaligus mengkritik Rasulullah karena ‘mengizinkan’ perkawinan mut’ah tersebut dan mengapa Rasulullah SAWW tidak menangisinya? [1]
Mengenai kawin mut’ah, Umar melarangnya, tetapi ayat Al-Quran tidak dapat dibuang. Islam tidak mengajarkan kita untuk mengawini tiap wanita yang kita temui di jalan, kawin biasa, kawin sirri atau kawin mut’ah.
Pernahkah saudara menyaksikan kawin mut’ah di Iran?
Tanyailah Amien Rais atau Lukman Harun yang pernah berkunjung ke Iran. Atau Smith Alhadar, seorang pengamat Timur Tengah terkenal yang pernah mengelilingi Timur Tengah, seorang Sunni dari dulu sampai sekarang, yang pernah tinggal di Saudi Arabia maupun di Iran selama bertahun-tahun.
Apakah saudara-saudara telah menyelidiki berapa banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin disini untuk satu bulan samapai tiga tahun? Sudahkah saudara-saudara memeriksa surat nikah mereka?
Seorang kawan menceritakan kepada saya bahwa ia diberi uang Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mut’ah ala Wahabi. DIa mencari seorang pelacur dan ‘menasihatinya’ agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya. Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan pelacur tersebut. Ia datang kembali dan orang itu menyuguhkan pelacur lain untuk dikawin-kontrakkan kepadanya selama tiga bulan.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak TKI kita yang diperkosa disana ?
Tanpa ditanya, seorang teman yang telah lebih dari sepuluh tahun tinggal di Kerajaan Saudi Arabia mengatakan kepada saya bahwa bila para lelaki bisa hamil, maka jumlah kehamilan diluar nikah akan berlipat ganda.
Apakah saudara-saudara punya statistik berapa banyak ulama yang punya istri lebih dari sepuluh dan berapa banyak yang kawin sirri di Indonesia? berapa banyak yang kawin antar agama dan membagi anak-anak dalam dua bagian, sebagian mengikuti agama bapak sebagian mengikuti ibu? Apakah saudara-saudara juga punya statistik serupa dikalangan Syi’ah? Metode berpikir komparatif sangat dibutuhkan dalam berbagai cabang ilmu, seperti ilmu kedokteran, ilmu perbandingan agama atau ilmu perbandingan mazhab.
Saudara-saudara menyatakan bahwa kawin mut’ah haram. Padahal ini jelas dilakukan di zaman Rasulullah SAWW, zaman Abu Bakar dan sebagian di zaman Umar. Kalau tidak setuju, kita bahas nanti dibagian lain. Tapi mampukah saudara mengatakan bahwa pelacuran dan lokalisasi pelacuran itu haram dalam Islam? Punyakah saudara-saudara statistik jumlah bayi, yang ayahnya entah berada dimana, yang dibungkus plastik dan dibuang ke selokan-selokan serta tempat-tempat sampah dan yang digugurkan di klinik-klinik yang resmi atau pun tidak, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi ?
Mampukah saudar-saudara mengeluarkan fatwa bahwa melacur itu haram dan dengan demikian melokalisasinya juga haram? Dan tahukah saudara-saudara bahwa pelacur-pelacur makin hari makin bertambah? Jangan-jangan saudara takut membuat fatwa yang mengharamkan pelacuran dan menutup lokalisasi tersebut?
Pelacuran tidak akan ada bila tidak ada sekelompok laki-laki ‘pencari seks’ yang hendak memenuhi naluri seks mereka.
Ataukah saudara-saudara takut jangan-jangan para ‘pencari seks’ memasuki jendela-jendela kita dan meperkosa istri dan anak-anak kita, sehingga saudara-saudara meras perlu menghalalkan lokalisasi tersebut? Bukankah berdiam diri dalam masalah ini sama dengan menghalalkan pelacuran, perzinaham dan lokalisasi ?
Say akhawatir saudara-saudara mengharamkannya karena mereka yang menjalankan mut’ah berhujjah dengan nash yang tidak terbantahkan. Sebaliknya menghalalkan pelacuran karena sudah jelas haramnya, meski pun beresiko anak yang lahir kelak tak akan pernah mengetahui bapaknya. Dan pelacuran juga menyulitkan untuk menjajaki, tracing, sumber penyakit kelamin. Kawin mut’ah ada masa iddah-nya, dan suaminya dikenal, sehingga sulit menyebarkan penyakit kelamin. Kalau pun ada, mudah dijajaki. Bukankah penyakit kelamin atau AIDS, terjadi karena menganti-ganti pasangan ?
Silahkan saudara-saudara mencukur jenggot dan kumis dan tinggal di tempat-tempat kost sekitar kampus lalu saksikan dengan mata kepala sendiri sexual behaviour, tingkah laku seks putra-putri saudara. Mungkin saudara-saudar akan pingsan waktu menyaksikan apa yang dilakukan oleh putra saudara-saudara yang tiap hari pulang ke rumah bak pangeran dan perjaka, serta putri bak perawan suci yang baru turun dari kahyangan. Mampukah kita mengucapkan istighfar dan membenarkan perzinahan sementara mengkambinghitamkan kawin mut’ah ?
Punyakah saudara-saudara statistik berapa banyak putra-putri kita yang berzinah, yang melakukan kawin sirri, atau kawin sembunyi-sembunyi ala Sunni atau kawin mut’ah ala Sunni? Sebagian besar mungkin akan menjawab bahwa mereka membaca artikel ‘Mut’ah, Sebuah Perkawinan Alternatif’ dalam sebuah koran ibu kota yang ditulis seorang tokoh Sunni.
Jangan sekali-kali berprasangka buruk, bahwa pemuda-pemuda kita adalah bodoh, lalu kawin mut’ah hanya karena dipengaruhi oleh orang Syi’ah.
Tahukah saudara-saudara berapa banyak tokoh dan pemuda Sunni kita yang kawin mut’ah ? Darimana mereka mendapat ‘fatwa’ bahwa mut’ah itu halal ?
Jangan menuduh Syi’ah sebagai scape goat, pemikul beban, sebagai ‘kucing hitam’, padahal Sunni sendiri yang mengeluarkan ‘fatwa’ dan kaum Sunni yang melakukan kawin mut’ah menurut versi Sunni sendiri sesuai dengan pandangan kritis.
Justru yang harus menjaga anak-anak gadisnya adalah kaum Syi’ah, bukan Sunni!
Referensi:
[1] Bacalah perdebatan antara Abdullah bin Abbas dan Ibnu Zubair: Ibn Abi’l-Hadid. Syarh Nahju’l-Balaghah, jilid 20, hal, 129-131.
____________________________________
Benarkah Nikah Mut’ah Tidak Dipraktekan Rasulullah saw dan Aimmah?
Seseorang mengirimkan e-mail dan bertanya: apakah Nabi dan Imam Ahlulbait mempraktikan nikah mutah? Benarkah tidak ada dalil yang kuat tentang nikah mutah, khususnya dari para Imam Ahlulbait?
JAWABAN: Kami belum menemukan riwayat atau data sejarah tentang Rasulullah saw dan Aimmah melakukan nikah mut’ah. Meski tidak dipraktekan oleh Rasulullah saw dan Aimmah, tetapi masih bagian dari syariat Islam.
Sejarah menyebutkan praktek nikah mut’ah, berdasarkan hadis dan riwayat dari Ahlusunnah dan Ahlulbait, bahwa terjadi ketika para sahabat jauh dari istri-istrinya dan dalam kondisi perang. Para sahabat yang tidak tahan saat melihat kaum wanita diizinkan oleh Rasulullah saw untuk menikahinya dengan dibatasi waktu. Nikah yang dibatasi waktu inilah yang disebut dengan nikah mut’ah dengan ketentuan rukun dan syarat ditunaikan. Sama dengan ketentuan dalam rukun dan syarat nikah daim, baik monogami maupun poligami.
Nikah mut’ah yang dilakukan sahabat dan diketahui atau dibolehkan oleh Rasulullah saw merupakan taqrir. Meski tidak dicontohkan, tetap masih ada pembenaran dari Rasulullah saw dengan tidak melarang sahabat melakukan nikah mut’ah dan tercantum pula dalam Al-Quran surah Annisa ayat 24.
Memang tidak ada riwayat yang mengitsbatkan Nabi dan para Imam Ahlulbait melakukan nikah mut’ah. Tetapi hal itu bukan menjadikan dalil bahwa nikah mut’ah itu haram. Sebab tidak semua yang halal dilakukan oleh Nabi dan para Imam Ahlulbait seperti halnya Nabi belum pernah merasakan bawang. Lalu, apakah bawang itu haram?
Memang ada sebagian orang yang memperkirakan bahwa sebagian Imam melakukan nikah mut’ah karena mereka istrinya lebih dari empat. Disebutkan dalam salah satu riwayat bahwa Imam Ali bin Abi Thalib ra telah melakukan nikah mutah dengan seorang perempuan Kufah, Irak. Namun, belum ada keterangan yang menguatkan riwayat tersebut. Mungkin saja istri yang banyak itu budak wanita, bukan istri mutah.
Perlu diketahui, nikah mutah tidak semudah yang dikira oleh orang-orang yang anti Syiah. Dalam fikih mazhab Syiah terdapat syarat dan rukun yang perlu diketahui, dilaksanakan, dan konsekuensi syariatnya.
Beberapa ketentuan nikah mutah, yaitu aqad harus dengan bahasa Arab disebutkan mahar dan zaman (waktu); kalau mahar atas keinginan dan keridhaan wanita; nikah mutah tak ada paksaan (hukum dasarnya mubah, tapi bisa jadi makruh, haram, mustahab/sunah); kalau seorang gadis wajib izin walinya (ayahnya atau kakeknya); tidak boleh dengan perempuan pelacur.
Kalau membuahkan anak maka anaknya sah nasab ke ayahnya dan menjadi tanggungan ayahnya dari sisi nafkah dan pewarisan; tidak saling mewarisi antara suami dan istri kecuali disepakati dari aqad nikah masalah adanya hal semacam pewarisan.
Suami tidak ada kewajiban menafkahi kecuali kalau disyaratkan dalam aqad nikah untuk memberikan semacam nafkah; istri mut’ah adalah istri resmi dan berlaku hukum suami istri.
Setelah selesai masa nikah (waktu) istri harus iddah dua kali haid (kalau hendak menikah lagi) dan sebelum habis masa haid tidak boleh menikah.
Sama dengan nikah permanen (daim), nikah mutah juga ada dalilnya yang terdapat pada surah Annisa ayat 24:
“…. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka. Berikanlah kepada mereka maharnya (sebagai suatu kewajiban).”
Mufasir Al-Fakhru al-Razi menerangkan bahwa: ayat (Annisa ayat 24) ini khusus tentang nikah mutah karena alasan berikut: “Ubayy bin Ka’b dan Abdullah bin Abbas membaca ayat ini iIâ ajalin musammâ (sampai waktu yang ditentukan). Tidak ada sahabat yang menyangkalnya, berarti umat ijma tentang kebenaran qiraatnya.”
Dari Imran bin Hushayn: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Maka tidak turun satu ayat pun yang menasakhnya dan Nabi Muhammad saw tidak melarangnya sampai ia meninggal dunia.”(Musnad Ahmad 4: 436).
Imran bin Hushayn berkata: “Telah turun ayat mutah dalam Kitab Allah. Tidak turun ayat sesudahnya yang menasakhnya dan Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukannya. Ia meninggal dunia dan tidak pernah melarangnya. Kemudian seorang lelaki berkata dengan pendapatnya sekehendak hatinya.” (Al-Fakhr 9:51; lihat juga al-Bukhari 3:151, Kitab al-Tafsir, 7:24).
Al-Hakam ditanya tentang surat Annisa ayat 24: “Apakah sudah mansukh?” Ia menjawab: “Tidak.” Lalu ia mengutip ucapan Ali: “Sekiranya Umar tidak melarang mutah, tidak akan ada yang berzinah kecuali orang yang jahat (celaka).” (Tafsir al-Thabari 5:13; al-Fakhr 9:51; al-Durr al-Mantsur 2:486; Tafsir al-Nisaburi 5:16).
Dari Jabir bin Abdillah: “Sesungguhnya Ibn Zubayr melarang mutah dan Ibn Abbas ra memerintahkannya. Kami melakukan mutah (pada masa) bersama Rasulullah saw dan bersama Abu Bakar. Ketika Umar bin Khaththab ra memerintah, pernah berkhotbah: Sesungguhnya Rasulullah saw adalah Rasul ini dan sungguh Al-Quran adalah Al-Quran ini. Sesungguhnya ada dua mutah yang ada pada zaman Rasulullah saw, yang sekarang aku larang dan aku hukum pelakunya. Yang pertama mutah perempuan. Kalau aku menemukan seorang lelaki kawin sampai watu tertentu, aku akan binasakan dia dengan batu. Yang kedua adalah mutah haji (haji tamattu).” (Sunan al Baihaqi 7:206, Muslim dalam bab nikah mutah, Al-Durr 3:487;Al-Fakhr 9:54, Al-Qasimi 5:1192).
Dari hadis tersebut bahwa nikah mut’ah diharamkan oleh Umar bin Khaththab. Mungkin karena posisi Umar menjadi penguasa sehingga bisa membuat kebijakan baru dengan mengharamkannya. Meski diharamkan oleh Umar, nash al-Quran dan hadis tidak terhapus karena kedudukannya lebih kuat dari pada fatwa politik khalifah.
Kalau menelusuri sejarah sahabat diketahui bahwa Abdullah bin Zubair dan Urwah bin Zubair adalah anak hasil nikah mutah antara Zubair bin Awwam dengan Asma binti Abu Bakar. Silakan baca buku Mazhab Kelima karya Prof Muhammad Husain T (penerbit Nur Al-Huda, 2013) bagian lampiran 2: mut’ah (pernikahan temporer) halaman 295.
O.Hashem dalam buku Menjawab Seminar Sehari tentang Syiah menjelaskan banyak kaum Wahabi dari Timur Tengah yang kawin di Indonesia untuk satu bulan dan ada yang sampai tiga tahun.
Ia juga bercerita tentang kawannya yang keturunan Arab diberi uang lima juta rupiah oleh seorang Timur Tengah agar dikawinkan mutah ala Wahabi. Dia mencari seorang perempuan yang bisa diajak “main ranjang” dan menasihatinya agar tidak menceritakan profesinya kepada suaminya.
Setelah beberapa bulan, dia tinggalkan perempuan itu. Ketika ia datang kembali ia akan disuguhkan perempuan nakal yang lain untuk dikawin kontrak selama tiga bulan.
Menurut Hashem, nikah yang disebutkan tidak masuk dalam kategori mutah. Orang-orang Arab menyebutnya misyar(nikah untuk diceraikan kalau sudah tidak diperlukan) dan ada dalam mazhab Wahabi.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa nikah mut’ah masih bagian dari syariat Islam. Meski tidak dicontohkan atau dipraktekan pelaksanaannya oleh Rasulullah saw dan Aimmah, masih bisa dilakukan oleh umat Islam dengan mengacu pada ketentuan dan rukun yang didasarkan pada syariat Islam yang kini masuk dalam kajian ilmu fikih.
Di Indonesia, karena hukumnya belum mendukung pada nikah mut’ah maka alangkah baiknya tidak dilakukan oleh umat Islam. Mengikuti ketentuan hukum di Indonesia, bagi yang ingin menambah istri bisa melakukan nikah daim ta’adud (poligami). Tentu dengan ketentuan dan rukun yang harus dipenuhi pula.
Daripada melakukan ibadah atau praktek beragama yang akan menuai kecaman orang yang belum paham, lebih baik menghindar dari masalah. Syariat Islam bukan sekadar nikah mut’ah, masih banyak syariat Islam lainnya yang perlu diwujudkan dan dipraktekan. Seperti menghormati perbedaan mazhab, mengentaskan kemiskinan, dan membantu kaum dhuafa.[]
MENURUT SUNNI WAHABI-ASMA’ BINTI ABUBAKAR , ADALAH WANITA PEZINA!!..
___________________________________
MENURUT SUNNI WAHABI-ASMA’ BINTI ABUBAKAR , ADALAH WANITA PEZINA!!..
Kalau nika mut’ah ada yang menghukumkan sebagai haram , maka ASMA’ BINTI ABUBAKAR sebagai pezina dan melahirkan anak zinaASMA’ BINTI ABUBAKAR NIKAH MUTAH DAN MELAHIRKAN 2 ANAK KESAKSIAN MUSLIM DAN ABU DAWUD(1) Muslim meriwayatkan haji mut’ah dan nikah mut’ah dalam 2 versi:
(a) Dari Syu’bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :“Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut’ah haji. Beliau menjawab:’Boleh’. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab:’Rasul membolehkannya’.”
(b) Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan “mut’ah haji”, melainkan “mut’ah” saja. Menurut Ibnu Ja’far dari Syu’bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :”Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut’ah haji atau nikah mut’ah”.[Sahih Muslim, Jilid 1, Subbab “mut’ah haji”].
(2) Riwayat versi kedua dari Muslim tersebut diperkuat juga dengan riwayat dalam Musnad Abu Dawud, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu’bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan:“Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma’ binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut’ah. Dijawab olehnya:’Kami melakukannya di zaman Rasul’.”
PERDEBATAN IBNU ABBAS DENGAN URWAH DAN ABDULLAH BIN ZUBAIR
(1) Ayyub berkata :“Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :’Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut’ah?’. Ibnu Abbas menjawab:’Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah’. Kemudian Urwah mengatakan:’Abubakar dan Umar tidak melakukannya’. Ibnu Abbas menjawab:’Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu.[Ibnu Qoyyim, dalam “Zaadul Ma’ad”, Jilid 1, Hlm 213].
Dalam hadits ini, kata “mut’ah” adalah “nikah mut’ah”. Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.[Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, Jilid 6, Hlm 404].
(2) Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair :“Adapun tentang mut’ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma’, tentang selendang ‘Ausajah”. Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma’) berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.[Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, Jilid 20, Hlm 130]
(3) Dari Ibnu Abi Mulaikah:Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas:”Orang-orang mendurhakaimu”. Ibnu Abbas menanyakan:”Apa sebabnya”. Berkata Urwah: ”Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut’ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya”.Ibnu Abbas menghardik: ”Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar”.[Ibn Abil Hadid, dalam “Syarh Nahjul Balaghah”, Jilid 20, Hlm 130][Lihat juga Musnad Ahmad, Jilid1, Hlm 337].
(4) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :“Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut’ah. Kemudian Jabir berkata: ”Kami pernah melakukan kedua jenis mut’ah tersebut (mut’ah haji dan nikah mut’ah) bersama Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi”.[Sahih Muslim, Jilid 1, Bab “Nikah Mut’ah”]
(5) Dari Abu Nadhrah, dia berkata:“Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut’ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : ‘Dahulu aku pernah melakukan nikah mut’ah bersama Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan:’Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur’an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut’ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu’”[Sahih Muslim, Jilid 1, Subbab “Masalah kawin Mut’ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh”].
(6) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut’ah.Ibnu Abbas kemudian berkata; “Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu”. Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab : “Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut’ah”.[Ar-Raghib, dalam “Al-Muhadharat”, Jilid 2, Hlm. 94].
(7) Pada riwayat tersebut di atas, pada riwayat Muslim, Ibnu Abbas berkata :“Demi Allah, nikah mut’ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa”. Lalu Abdullah bin Zubair menimpali: “Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya”.[Sahih Muslim, Jilid 4, Hlm 133].
PERNYATAAN IBNU ABBAS LAINNYA
Ibnu Abbas berkata: “Perapian pertama yang menyala dalam mut’ah adalah perapian keluarga Zubair”[Ibn Abdu Rabbih, dalam “Iqdu Al-Farid”, Jilid 4, Hlm 414].
Catatan: “perapian yang menyala” adalah kiasan arab yang berarti “bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri”. Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang “satha’at al-majamir (perapian yang menyala)” ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.[Lihat Musnad Ahmad, Jilid 6, Hlm 348-349].
KESIMPULAN:
(1) Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma’ dan Zubair melakukan nikah mut’ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh
(a) Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan
(b) Urwah ataupun
(c) Abdullah bin Zubair, juga
(d) pernyataan Asma’ sendiri.
(2) Masih banyak referensi lainnya yang mendukung uraian di atas seperti:
(a) Abu Umar, dalam “Al-’Ilm”, Jilid 2, Hlm 196;
(b) Thabari, dalam “Jami’ Al-Bayan”, Jilid 2, Hlm. 239. dll.
Debat Sahabat tentang Nikah Mut'ah
Posted by Admin
Feb 08 Bukti-bukti Asma' dan Zubair Melakukan Nikah Mut'ah
hingga Melahirkan Anak
I. Riwayat Muslim dalam Shohih-nya dan Abu Dawud Thayalisi dalam Musnad-nya.
Dari Syu'bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :
"Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut'ah haji. Beliau menjawab :'Boleh'. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab :"Rasul membolehkannya'."
Dan riwayat tersebut ada dua versi.
Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan "mut'ah haji", melainkan "mut'ah" saja. Dan menurut Ibnu Ja'far dari Syu'bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :"Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut'ah haji atau nikah mut'ah".
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "mut'ah haji".
Hal ini diperkuat juga dengan riwayat pada Musnad Abu Dawud Thayalisi, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu'bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan : "Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma' binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut'ah. Dijawab olehnya : 'Kami melakukannya di zaman Rasul'. "
Ref : Musnad Abu Dawud Thayalisi , juz 1, hal. 309.
II. Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair maupun Abdullah bin Zubair
a) Dari Ayyub berkata :
"Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah ?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan :'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar'.
Ref : Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", juz 1, hal. 213.
Dalam hadits ini, kata "mut'ah" adalah "nikah mut'ah". Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.
Ref. : Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404
Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair : "Adapun tentang mut'ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma', tentang selendang 'Ausajah". Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma') berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.
Ref. : Ibn Abil Hadid, dalam "Syarh Nahjul Balaghah", jilid 20, hal. 130.
Dari Ibnu Abi Mulaikah : Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :"Orang-orang mendurhakaimu". Berkata Ibnu Abbas :"Apa sebabnya". Berkata Urwah :"Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut'ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya". Berkata Ibnu Abbas :"Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar".
Lihat juga :
a. Musnad Ahmad, juz 1, hal. 337.
b. Juga riwayat dari Shohih Muslim, juz 1, bab "Nikah Mut'ah"sebagai berikut :
Dari Abu Nadhrah, dia berkata : "Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut'ah. Kemudian Jabir berkata :"Kami pernah melakukan kedua jenis mut'ah tersebut (mut'ah haji dan nikah mut'ah) BERSAMA Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi".
b) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
"Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut'ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : 'Dahulu aku pernah melakukan nikah mut'ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :'Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur'an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu' "
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".
c) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;"Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab :"Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut'ah".
Ref : Ar-Raghib, dalam "Al-Muhadharat", juz 2, hal. 94.
d) Pada riwayat Muslim :
Pada riwayat tersebut Ibnu Abbas berkata : "Demi Allah, nikah mut'ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa". Lalu Abdullah bin Zubair berkata :"Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya".
Ref : Shohih Muslim, juz 4, hal. 133.
III. Pernyataan Ibnu Abbas di saat yang lain (bukan saat berdebat)
Ibnu Abbas berkata :"Perapian pertama yang menyala dalam mut'ah adalah perapian keluarga Zubair".
Ref : Ibn Abdu Rabbih, dalam "Iqdu Al-Farid", juz 4, hal. 414.
"perapian yang menyala" adalah kiasan arab yang berarti "bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri". Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.
Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang "satha'at al-majamir (perapian yang menyala)" ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.
Lihat : Musnad Ahmad, Jilid 6, hal. 348/349.
Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma' dan Zubair melakukan nikah mut'ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan Urwah ataupun Abdullah bin Zubair, juga pernyataan Asma' sendiri.
Dan sebenarnya masih banyak referensi lainnya yang mendukung, seperti : 1. Abu Umar, dalam "Al-'Ilm", juz 2, hal. 196. 2. Thabari, dalam "Jami' Al-Bayan", juz 2, hal. 239. dll.
Dan sampai detik ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah bahwa Asma' dan Zubair menikah dengan cara SELAIN nikah mut'ah.
NIKAH MUT‘AH DALAM ISLAM
__________________________________
Debat Sahabat tentang Nikah Mut'ah
Posted by Admin
Feb 08 Bukti-bukti Asma' dan Zubair Melakukan Nikah Mut'ah
hingga Melahirkan Anak
I. Riwayat Muslim dalam Shohih-nya dan Abu Dawud Thayalisi dalam Musnad-nya.
Dari Syu'bah dari Muslim Al-Quri, ia berkata :
"Aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang mut'ah haji. Beliau menjawab :'Boleh'. Sedang Ibnu Zubair melarangnya. Sementara ibunya Ibnu Zubair meriwayatkan bahwa Rasulullah membolehkannya, lalu Ibnu Abbas menyuruh Ibnu Zubair untuk menanyakan pada ibunya kalau tidak percaya. Kemudian kami bersama-sama masuk ke rumah beliau, kami dapati dia seorang yang gemuk sekali dan buta matanya. Saat kami bertanya tentang itu, dia menjawab :"Rasul membolehkannya'."
Dan riwayat tersebut ada dua versi.
Versi kedua adalah riwayat lewat Abdurahman. Dalam riwayat lewat Abdurahman ini, tidak disebutkan "mut'ah haji", melainkan "mut'ah" saja. Dan menurut Ibnu Ja'far dari Syu'bah yang mengatakan bahwa Muslim Al-Quri berkata :"Aku tidak tahu apakah yang dia maksud adalah mut'ah haji atau nikah mut'ah".
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "mut'ah haji".
Hal ini diperkuat juga dengan riwayat pada Musnad Abu Dawud Thayalisi, yang meriwayatkan peristiwa tersebut melalui Syu'bah dari Muslim Al-Qurosyi, yang mengatakan : "Kami pada suatu hari mendatangi rumah Asma' binti Abubakar, kemudian kami bertanya padanya tentang nikah mut'ah. Dijawab olehnya : 'Kami melakukannya di zaman Rasul'. "
Ref : Musnad Abu Dawud Thayalisi , juz 1, hal. 309.
II. Perdebatan antara Ibnu Abbas dengan Urwah bin Zubair maupun Abdullah bin Zubair
a) Dari Ayyub berkata :
"Urwah berkata kepada Ibnu Abbas :'Apakah engkau tidak takut pada Allah dengan membolehkan mut'ah ?'. Ibnu Abbas menjawab :'Tanyakan pada ibumu sendiri, hai Urwah'. Kemudian Urwah mengatakan :'Abubakar dan Umar tidak melakukannya'. Ibnu Abbas menjawab :'Demi Allah, aku tidak melihat kamu menjadi lebih baik sampai Allah mengazab kamu. Kami menyampaikan hadits Rasulullah kepada kamu dan kamu menyampaikan hadits Abubakar dan Umar'.
Ref : Ibnu Qoyyim, dalam "Zaadul Ma'ad", juz 1, hal. 213.
Dalam hadits ini, kata "mut'ah" adalah "nikah mut'ah". Hal ini dapat dibuktikan dengan merujuk pada kitab lainnya yang meriwayatkan perdebatan Ibnu Abbas dan Urwah tersebut.
Ref. : Muntakhab Kanzul Ummal di tepi Musnad Ahmad, juz 6, hal. 404
Ibnu Abbas berkata pada Ibnu Zubair : "Adapun tentang mut'ah, tanyakanlah pada ibumu, Asma', tentang selendang 'Ausajah". Kemudian Ibnu Zubair menanyakan selendang tersebut pada ibunya. Dan Ibunya (Asma') berkata pada Ibnu Zubair untuk berhati-hati pada Ibnu Abbas, karena Ibnu Abbas mengetahui rahasia orang-orang Quraisy secara keseluruhan.
Ref. : Ibn Abil Hadid, dalam "Syarh Nahjul Balaghah", jilid 20, hal. 130.
Dari Ibnu Abi Mulaikah : Berkata Urwah bin Zubair kepada Ibnu Abbas :"Orang-orang mendurhakaimu". Berkata Ibnu Abbas :"Apa sebabnya". Berkata Urwah :"Engkau mengeluarkan fatwa bagi mereka tentang dua mut'ah, sedang engkau tahu bahwa Abubakar dan Umar melarang keduanya". Berkata Ibnu Abbas :"Aneh, aku meriwayatkan dari Rasulullah dan mereka meriwayatkan dari Abubakar dan Umar".
Lihat juga :
a. Musnad Ahmad, juz 1, hal. 337.
b. Juga riwayat dari Shohih Muslim, juz 1, bab "Nikah Mut'ah"sebagai berikut :
Dari Abu Nadhrah, dia berkata : "Ketika aku sedang di samping Jabir, mendadak datang seseorang menceritakan perdebatan Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair tentang dua mut'ah. Kemudian Jabir berkata :"Kami pernah melakukan kedua jenis mut'ah tersebut (mut'ah haji dan nikah mut'ah) BERSAMA Rasul SAW. Dan ketika Umar melarangnya, maka kami tidak melakukannya lagi".
b) Dari Abu Nadhrah, dia berkata :
"Ibnu Abbas pernah menganjurkan nikah mut'ah, sementara Ibnu Zubair malah melarangnya. Kemudian persoalan ini aku adukan kepada Jabir bin Abdullah. Berkata Jabir : 'Dahulu aku pernah melakukan nikah mut'ah BERSAMA Rasul SAW, kemudian Umar melarangnya. Umar menegaskan :'Sesungguhnya Allah bisa menghalalkan apa saja kepada utusan-Nya sesuai dengan kehendak-Nya. Al-Qur'an diturunkan kepadanya. Yang penting ialah sempurnakan ibadah haji dan umroh anda seperti yang diperintahkan Allah, untuk-Nya. Barangsiapa berani melakukan nikah mut'ah ini, maka aku akan menghukumnya dengan melempari batu' "
Ref. : Shohih Muslim, juz 1, sub bab "Masalah kawin Mut'ah pada saat menunaikan Haji dan Umroh".
c) Abdullah bin Zubair mencela Ibnu Abbas karena menghalalkan nikah mut'ah.
Ibnu Abbas kemudian berkata ;"Tanyakan pada ibumu bagaimana perapian yang menyala antara ibumu dan ayahmu". Maka Ibnu Zubair bertanya kepada ibunya, dan ibunya menjawab :"Aku tidak melahirkanmu kecuali melalui nikah mut'ah".
Ref : Ar-Raghib, dalam "Al-Muhadharat", juz 2, hal. 94.
d) Pada riwayat Muslim :
Pada riwayat tersebut Ibnu Abbas berkata : "Demi Allah, nikah mut'ah berlaku di zaman Nabi, dilakukan oleh orang-orang yang bertakwa". Lalu Abdullah bin Zubair berkata :"Demi Allah, aku akan rajam engkau dengan batu rumahmu apabila engkau melakukannya".
Ref : Shohih Muslim, juz 4, hal. 133.
III. Pernyataan Ibnu Abbas di saat yang lain (bukan saat berdebat)
Ibnu Abbas berkata :"Perapian pertama yang menyala dalam mut'ah adalah perapian keluarga Zubair".
Ref : Ibn Abdu Rabbih, dalam "Iqdu Al-Farid", juz 4, hal. 414.
"perapian yang menyala" adalah kiasan arab yang berarti "bangkitnya hasrat seksual antara suami dan isteri". Sehingga istilah jelas sekali berhubungan dengan masalah pernikahan.
Hal ini diperkuat dengan riwayat dalam Musnad Ahmad tentang "satha'at al-majamir (perapian yang menyala)" ini, yang berhubungan dengan masalah pernikahan.
Lihat : Musnad Ahmad, Jilid 6, hal. 348/349.
Dari semua uraian di atas, jelas sekali terbukti bahwa Asma' dan Zubair melakukan nikah mut'ah sampai membuahkan keturunan, yaitu Abdullah dan Urwah bin Zubair. Sebagaimana yang diutarakan oleh Ibnu Abbas sendiri, maupun ketika beliau berdebat dengan Urwah ataupun Abdullah bin Zubair, juga pernyataan Asma' sendiri.
Dan sebenarnya masih banyak referensi lainnya yang mendukung, seperti : 1. Abu Umar, dalam "Al-'Ilm", juz 2, hal. 196. 2. Thabari, dalam "Jami' Al-Bayan", juz 2, hal. 239. dll.
Dan sampai detik ini tidak pernah ditemukan dalam sejarah bahwa Asma' dan Zubair menikah dengan cara SELAIN nikah mut'ah.
_________________________________
NIKAH MUT‘AH DALAM ISLAM
Nikah mut'ah disepakati adanya, tetapi tidak disepakati mengenai masih berlakunya. Sebagian ummat Islam meyakininya bahwa nikah mut'ah itu masih berlaku seperti halnya syari'ah-syari'ah yang lainnya. Tetapi sebagiannya beranggapan bahwa nikah mut'ah itu telah dihapus hukumnya (mansûkh). Terjadinya perbedaan ini karena 'Umar bin Al-Khaththâb telah melarangnya pada masa kekuasaannya.
Nikah mut'ah telah disyari'ahkan Allah dan Rasûl-Nya dan diamalkan oleh kaum muslim pada zamannya saw hingga beliau wafat, kemudian mereka mengamalkan setelahnya pada zaman Abû Bakr sampai beliau meninggal, lalu setelahnya 'Umar berkuasa dan mereka terus mengamalkannya hingga dia melarangnya dengan ucapannya di atas minbar, "Ada dua mut'ah yang terjadi di zaman Rasûlullâh dan aku melarang keduanya dan aku akan menjatuhkan hukuman bagi orang yang melakukan keduanya: mut'atul hajji dan mut'aun nisâ`."
Larangan sahabat dan ulama abaikan saja karena tidak ada kaitannya dengan syari'ah Allah dan Rasûl-Nya, dan buat kita cukuplah Al-Qurãn Al-Karîm sebagai dalil dalam kebolehannya, yaitu ayat ke-24 sûrah Al-Nisâ` dan sunnah Rasûlullâh saw. Apa yang dihalalkan Nabi saw halal sampai hari kiamat dan apa yang diharamkannya haram sampai hari kiamat.
عَنْ زُرَارَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْحَلَالِ وَ الْحَرَامِ فَقَالَ حَلَالُ مُحَمَّدٍ حَلَالٌ أَبَداً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَ حَرَامُهُ حَرَامٌ أَبَداً إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يَكُونُ غَيْرُهُ وَ لَا يَجِيءُ غَيْرُهُ. وَ قَالَ قَالَ عَلِيٌّ ع مَا أَحَدٌ ابْتَدَعَ بِدْعَةً إِلَّا تَرَكَ بِهَا سُنَّةً
Dari Zurârah berkata: Saya telah bertanya kepada Abû 'Abdillâh as tentang halal dan haram, maka beliau berkata, "Halal Muhammad adalah halal selamanya sampai hari kiamat, dan haramnya adalah haram selamanya sampai hari kiamat, tidak terjadi yang lainnya dan tidak datang yang selainnya." Dan Dia berkata, "'Ali as telah berkata, 'Seseorang tidak mengadakan suatu bid'ah melainkan dengannya dia tinggalkan satu sunnah.'"
Terhadap nikah mut'ah sebagian orang suka menyebutnya nikah kontrak, semua macam pernikahan hakikatnya kontrak, nikah permanen kontraknya sam-pai mati salah satunya bahkan dapat dipersingkat waktunya dengan thalâk atau khulû'.
Jika suami mati misalnya, istri yang ditinggal-kan sudah bukan istrinya lagi, dia tinggal menunggu masa 'iddah dan berkabung selama empat bulan sepuluh hari, setelah itu dia bisa menikah lagi dengan lelaki lain yang dicintainya kapan saja.
Perbedaan Nikah Permanen dan Nikah Mut'ah
1. Dalam nikah permanen, masa berlaku pernikahan tidak disebutkan sedang dalam nikah mut'ah mesti disebutkan, misalnya untuk sekian hari, sekian bulan, sekian tahun atau sekian puluh tahun.
2. Nikah permanen bisa diperpendek dengan cara menjatuhkan thalâq dari suami atau khulû' dari istri sedang nikah mut'ah bisa diperpanjang setelah masa berlakunya habis.
3. Dalam nikah permanen ada thalâq, dan jika istri di-thalâq suaminya sebanyak tiga kali, maka dia tidak bisa kembali lagi kepada mantan istrinya kecuali dia telah menikah dengan lelaki lain dan bila laki-laki itu telah menceraikannya serta masa 'iddah-nya telah habis, maka suami yang sebelumnya bisa kembali lagi. Dan bila suaminya itu telah menceraikannya sebanyak sembilan kali, maka dia tidak bisa kembali lagi untuk selama-lamanya. Dalam nikah mut'ah tidak ada thalâq, maka dia bisa nikah mut'ah dengan mantan istri-nya berapa kali yang tidak terbatas.
4. Dalam nikah permanen ada pewarisan antara suami dan istri jika salah satunya meninggal sebagaimana dalam Al-Quran, bila istri mati, suami dapat setengah, jika istri punya anak suami dapat seperempat. Bila suami mati, istri dapat seperempat, jika suami punya anak istri dapat seperdelapan.
5. Dalam nikah permanen, jumlah istri dibatasi sampai empat orang istri sedang dalam nikah mut'ah tidak terbatas.
6. Dalam nikah permanen tentang hubungan suami-istri dan nafkah tidak disyaratkan sedang dalam nikah mut'ah bisa disyaratkan untuk tidak melakukan hubungan suami-istri (jimâ') dan ti-dak memberi nafkah.
7. Dalam nikah permanen, istri apabila diceraikan wajib ber-'iddah tiga kali haid sedang dalam nikah mut'ah jika telah habis masanya, istri wajib 'iddah satu kali haid.
8. Dalam nikah permanen istri yang dicerai ketika dalam masa 'iddah-nya wajib dinafkahi sedang dalam nikah mut'ah tidak wajib.
9. Dalam nikah permanen bagi lelaki yang beristri lebih dari satu wajib berlaku adil dalam qismah dan nafqah (kilir dan belanja) sedang dalam nikah mut'ah hal itu tidak mengikat.
Dalil-dalil Nikah Mut'ah
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيْضَةً وَ لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْضِ الْفَرِيْضَةِ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيْمًا حَكِيْمًا
Maka jika kamu nikahi secara mut‘ah dari mereka (sampai waktu tertentu), berikan kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban, dan tidak mengapa buat kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakan-nya setelah menentukan mahar. Sesungguhnya Allah ma-ha mengetahui lagi maha bijaksana.
Dalam Syarh Muslim oleh Al-Nawâwi disebutkan bahwa Ibnu Mas'ud membacanya Famastamta'tum bihi minhunna ilâ ajalin (Maka jika kamu menikahi mereka secara mut'ah sampai suatu waktu). Dalam kitab Tafsir Al-Kabîr dan Al-Kasysyâf disebutkan bahwa Ibnu ‘Abbâs, Ubayy bin Ka'ab, Sa'îd bin Jubair dan Al-Sudi membaca ayat tersebut sebagai berikut:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوْهُنَّ أُجُوْرَهُنَّ...
Maka yang kamu nikahi secara mut‘ah dari mereka sampai waktu tertentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya…
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لاَ جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
Dari Abû Bashîr berkata: Saya bertanya kepada Abû Ja'far as tentang mut'ah. Maka beliau berkata, "Telah turun (dalilnya) dalam Al-Quran, Maka mut'ah yang kalian lakukan dengan mereka (perempuan-perempuan), maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai kewajiban, dan tidaklah mengapa atas kamu terhadap apa yang kamu telah saling merelakannya setelah kewajiban (menentukan mahar itu)."
عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كَانَتِ الْمُتْعَةُ تُفْعَلُ عَلَى عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ رَسُولِ اللَّهِ ص
Dari Al-Zuhri dari 'Urwah bin Al-Zubair ber-kata: Ibnu 'Abbâs telah berkata, "Adalah nikah mut'ah dilaksanakan pada zaman Imâmul Muttaqîn Rasûlullâh saw."
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْأَكْوَعِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ص أَيُّ رَجُلٍ تَمَتَّعَ بِامْرَأَةٍ مَا بَيْنَهُمَا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَإِنْ أَحَبَّا أَنْ يَزْدَادَا ازْدَادَا وَ إِنْ أَحَبَّا أَنْ يَتَتَارَكَا تَتَارَكَا
Dari Salamah bin Al-Akwa' berkata: Rasûlullâh saw telah berkata, "Lelaki yang mana saja yang melakukan nikah mut'ah dengan seorang perempuan dengan waktu di antara mereka berdua tiga hari, maka jika mereka suka menambah, mereka manambah dan apabila mereka ingin meninggalkan, mereka meninggalkan."
وَ عَنْ شُعْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ فَسَأَلْنَاهَا عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَتْ فَعَلْنَاهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ص
Dan dari Syu'bah bin Muslim berkata: Saya datang ke Asmâ` putri Abû Bakr, lalu kami bertanya ke-padanya tentang mut'ah, maka dia berkata, "Kami melakukannya di zaman Rasûlullâh saw."
وَ عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ص وَ أَبِي بَكْرٍ وَ قَالَ مَا زِلْنَا نَتَمَتَّعُ حَتَّى نَهَى عَنْهَا عُمَرُ
Dan dari Abû Nadhrah dari Jâbir berkata, "Kami melakukan nikah mut'ah bersama Rasûlullâh saw dan Abû Bakr." Dan dia berkata, "Senantiasa kami melakukan nikah mut'ah sampai 'Umar melarangnya." Pernikahan macam ini halal bagi orang yang memahami hukum-hukumnya, dan haram bagi orang yang tidak mengetahuinya.
وَ قَالَ الرِّضَا عَلَيْهِ السَّلاََمُ : الْمُتْعَةُ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِمَنْ عَرَفَهَا وَ هِيَ حَرَامٌ عَلَى مَنْ جَهِلَهَا
Dan Al-Ridhâ as berkata, "Mut'ah itu tidak halal kecuali bagi orang yang memahaminya, dan ia itu haram atas orang yang tidak memahaminya."
Nikah mut'ah telah disepakati adanya, tetapi setelah 'Umar bin Al-Khaththâb melarangnya, maka terjadi ikhtilâf (perbedaan pendapat, ada yang pro dan ada yang kontra) hingga sekarang ini, maka ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan.
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ نَزَلَتْ فِي الْقُرْآنِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ لا جُناحَ عَلَيْكُمْ فِيما تَراضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ
Dari Abû Bashîr berkata: Saya bertanya kepada Abû Ja'far as tentang mut'ah, maka beliau berkata, "Telah turun ayatnya di dalam Al-Quran, Apabila kamu mela-kukan nikah mut'ah dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban, dan ti-dak ada dosa bagi kamu apabila kamu saling merelakannya setelah kewajiban."
عَنْ أَبِي مَرْيَمَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ الْمُتْعَةُ نَزَلَ بِهَا الْقُرْآنُ وَ جَرَتْ بِهَا السُّنَّةُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ص
Dari Abû Maryam dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Nikah mut'ah itu, Al-Quran telah turun dengannya, dan sunnah dari Rasûlullâh saw berjalan dengannya."
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَنِيفَةَ يَسْأَلُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ عَنْ أَيِّ الْمُتْعَتَيْنِ تَسْأَلُ قَالَ سَأَلْتُكَ عَنْ مُتْعَةِ الْحَجِّ فَأَنْبِئْنِي عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ أَ حَقٌّ هِيَ قَالَ سُبْحَانَ اللَّهِ أَ مَا تَقْرَأُ كِتَابَ اللَّهِ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً فَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَ اللَّهِ لَكَأَنَّهَا آيَةٌ لَمْ أَقْرَأْهَا قَطُّ
Dari 'Abdurrahmân bin Abû 'Abdillâh berkata: Saya telah mendengar Abû Hanîfah bertanya kepada Abû 'Abdillâh tentang mut'ah, lalu beliau menjawab, "Mut'ah yang mana yang kamu tanyakan?" Dia berkata, "Saya bertanya kepadamu mengenai mut'ah haji, maka kabarkan kepadaku tentang mut'ah perempuan (juga), apakah benar ia." Beliau berkata, "Subhânallâh, tidakkah kamu membaca Kitab Allah, Apabila kamu melakukan ni-kah mut'ah dengan mereka, maka berikanlah kepada me-reka maharnya sebagai suatu kewajiban." Abû Hanîfah berkata, "Demi Allah, sungguh seakan-akan ia itu ayat yang belum pernah saya baca."
عَنِ الْفَضْلِ بْنِ شَاذَانَ عَنِ الرِّضَا ع فِي كِتَابِهِ إِلَى الْمَأْمُونِ مَحْضُ الْإِسْلَامِ شَهَادَةُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِلَى أَنْ قَالَ وَ تَحْلِيلُ الْمُتْعَتَيْنِ اللَّذَيْنِ أَنْزَلَهُمَا اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَ سَنَّهُمَا رَسُولُ اللَّهِ ص مُتْعَةِ النِّسَاءِ وَ مُتْعَةِ الْحَجِّ
Dari Al-Fadhl bin Syâdzân dari Al-Ridhâ as da-lam suratnya kepada Al-Ma`mûn, "Yang benar-benar dari ajaran Islâm adalah kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah—sampai beliau mengatakan---dan menghalalkan dua mut'ah yang Allah turunkan di dalam Kitab-Nya dan Rasûlullâh saw men-sunnah-kannya, yaitu mut'atun nisâ` (nikah mut'ah) dan mut'atul hajj (haji tamattu')."
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ص إِنَّهُمْ غَزَوْا مَعَهُ فَأَحَلَّ لَهُمُ الْمُتْعَةَ وَ لَمْ يُحَرِّمْهَا وَ كَانَ عَلِيٌّ ع يَقُولُ لَوْ لَا مَا سَبَقَنِي بِهِ ابْنُ الْخَطَّابِ يَعْنِي عُمَرَ مَا زَنَى إِلَّا شَقِيٌّ وَ كَانَ ابْنُ عَبَّاسٍ يَقْرَأُ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَ هَؤُلَاءِ يَكْفُرُونَ بِهَا وَ رَسُولُ اللَّهِ ص أَحَلَّهَا وَ لَمْ يُحَرِّمْهَا
Dari Muhammad bin Muslim dari Abû Ja'far as berkata: Jâbir bin 'Abdullâh berkata dari Rasûlullâh saw, sesungguhnya mereka berperang bersama beliau, maka dia menghalalkan mut'ah bagi mereka dan tidak mengharamkannya, dan adalah 'Ali as berkata, "Kalaulah tidak mendahuluiku putra Al-Khaththâb yakni 'Umar, tentu tidak akan ada orang yang berzina selain orang yang celaka." Dan adalah Ibnu 'Abbâs membaca, Maka jika kamu menikahi mereka secara mut'ah sampai waktu ter-tentu, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban. Dan mereka ini mengkufurinya se-dang Rasûlullâh saw menghalalkannya dan dia tidak mengharamkannya."
Mut'ah Terjadi Dengan Dua Perkara
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ لَا تَكُونُ مُتْعَةٌ إِلَّا بِأَمْرَيْنِ أَجَلٍ مُسَمًّى وَ أَجْرٍ مُسَمًّى
Dari Zurârah dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Tidak terjadi nikah mut'ah selain dengan dua perkara: Waktu tertentu dan mahar tertentu."
عَنْ سَمَاعَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ لَا بُدَّ مِنْ أَنْ تَقُولَ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطَ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً الْحَدِيثَ
Dari Samâ'ah dari Abû Bashîr berkata, "Mesti kamu ucapkan padanya syarat-syarat ini: Aku nikahi kamu se-cara mut'ah selama sekian hari dengan sekian dirham."
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ الْفَضْلِ الْهَاشِمِيِّ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ مَهْرٌ مَعْلُومٌ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
Dari Ismâ'îl bin Al-Fadhl Al-Hâsyimi berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh tentang nikah mut'ah, maka beliau berkata, "(Dengan) mahar tertentu sampai waktu tertentu."
Rasûlullâh saw Melakukan Mut'ah
وَ رَوَى الْفَضْلُ الشَّيْبَانِيُّ بِإِسْنَادِهِ إِلَى الْبَاقِرِ ع أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَطَاءٍ الْمَكِّيَّ سَأَلَهُ عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى وَ إِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ الْآيَةَ فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص تَزَوَّجَ بِالْحُرَّةِ مُتْعَةً فَاطَّلَعَ عَلَيْهِ بَعْضُ نِسَائِهِ فَاتَّهَمَتْهُ بِالْفَاحِشَةِ فَقَالَ إِنَّهُ لِي حَلَالٌ إِنَّهُ نِكَاحٌ بِأَجَلٍ فَاكْتُمِيهِ فَأَطْلَعَتْ عَلَيْهِ بَعْضَ نِسَائِهِ
Dan Al-Fadhl Al-Syaibâni telah meriwayatkan dengan isnâd-nya ke Al-Bâqir as bahwa 'Abdullâh bin 'Athâ` Al-Makki bertanya kepadanya tentang firman-Nya yang maha tinggi, Dan (ingatlah) ketika Nabi mera-hasiakan—baca ayat selengkapnya, maka beliau ber-kata, "Sesungguhnya Rasûlullâh saw menikahi perempuan merdeka secara mut'ah, lalu salah seorang istrinya menge-tahuinya, maka dia menuduhnya melakukan perbuatan keji, lalu beliau berkata, 'Sesungguhnya hal itu halal bagiku, sesungguhnya ia itu nikah dengan waktu tertentu, maka raha-siakanlah hal itu.' Kemudian dia memberitahukannya kepada sebagian istri-istrinya."
قَالَ الصَّادِقُ ع إِنِّي لَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَمُوتَ وَ قَدْ بَقِيَتْ عَلَيْهِ خَلَّةٌ مِنْ خِلَالِ رَسُولِ اللَّهِ ص لَمْ يَأْتِهَا فَقُلْتُ فَهَلْ تَمَتَّعَ رَسُولُ اللَّهِ ص قَالَ نَعَمْ وَ قَرَأَ هَذِهِ الْآيَةَ وَ إِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلى بَعْضِ أَزْواجِهِ حَدِيثاً إِلَى قَوْلِهِ ثَيِّباتٍ وَ أَبْكَاراً
Al-Shâdiq as telah berkata, "Sesungguhnya aku benci bagi lelaki bahwa dia mati sedangkan masih ada salah satu perilaku dari perilaku Rasûlullâh saw yang belum dilaksanakan." Saya bertanya, "Apakah Rasulu-llah saw telah melakukan nikah mut'ah?" Beliau menja-wab, "Ya." Dan dia membaca ayat ini, Dan (ingatlah) ketika Nabi merahasiakan pembicaraan kepada sebagian istrinya—sampai firman-Nya—janda dan perawan."
Banyak Sahabat Nabi saw Melakukan Nikah Mut'ah
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ قَالَ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كَانَتِ الْمُتْعَةُ تُفْعَلُ عَلَى عَهْدِ إِمَامِ الْمُتَّقِينَ رَسُولِ اللَّهِ ص.
Dari 'Urwah bin Al-Zubair berkata: Ibnu 'Abbâs telah berkata, "Adalah mut'ah itu dilakukan pada zaman imâmul muttaqîn (imam orang-orang yang ber-taqwâ), yaitu Rasûlullâh saw."
عَنْ شُعْبَةَ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ فَسَأَلْنَاهَا عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَتْ فَعَلْنَاهَا عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ص
Dari Syu'bah bin Muslim berkata: Saya masuk ke rumah Asmâ` binti Abû Bakr, lalu kami bertanya kepadanya tentang nikah mut'ah, maka dia berkata, "Kami melakukannya pada zaman Rasûlullâh saw."
عَنْ أَبِي نَضْرَةَ عَنْ جَابِرٍ قَالَ تَمَتَّعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ص وَ أَبِي بَكْرٍ وَ قَالَ مَا زِلْنَا نَتَمَتَّعُ حَتَّى نَهَى عَنْهَا عُمَرُ
Dari Abû Nadhrah dari Jâbir berkata, "Kami me-lakukan nikah mut'ah bersama Rasûlullâh saw dan Abû Bakr." Dan dia berkata, "Kami senantiasa melaku-kan nikah mut'ah hingga 'Umar melarangnya."
Anjuran Nikah Mut'ah
عَنْ جَابِرٍ قَالَ خَرَجَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ ص فَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ص قَدْ أَذِنَ لَكُمْ فَتَمَتَّعُوا يَعْنِي نِكَاحَ الْمُتْعَةِ
Dari Jâbir berkata: Keluar juru bicara Rasûlullâh saw, lalu dia berkata, "Sesungguhnya Rasûlullâh saw te-lah mengizinkan bagi kalian, maka bersenang-senanglah yakni nikah mut'ah."
عَنْ بَكْرِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ سَأَلْتُهُ عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ إِنِّي لَأَكْرَهُ لِلرَّجُلِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا وَ قَدْ بَقِيَتْ عَلَيْهِ خَلَّةٌ مِنْ خِلَالِ رَسُولِ اللَّهِ ص لَمْ يَقْضِهَا
Dari Bakr bin Muhammad dari Abû 'Abdillâh as dia berkata: Saya telah bertanya kepadanya tentang ni-kah mut'ah, maka beliau menjawab, "Sesungguhnya aku tidak suka kepada lelaki muslim bahwa dia keluar dari du-nia sementara masih ada satu perilaku Rasûlullâh saw yang belum dilaksanakannya."
عَنْ صَالِحِ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ قُلْتُ لِلْمُتَمَتِّعِ ثَوَابٌ قَالَ إِنْ كَانَ يُرِيدُ بِذَلِكَ وَجْهَ اللَّهِ تَعَالَى وَ خِلَافاً عَلَى مَنْ أَنْكَرَهَا لَمْ يُكَلِّمْهَا كَلِمَةً إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ بِهَا حَسَنَةً وَ لَمْ يَمُدَّ يَدَهُ إِلَيْهَا إِلَّا كَتَبَ اللَّهُ لَهُ حَسَنَةً فَإِذَا دَنَا مِنْهَا غَفَرَ اللَّهُ لَهُ بِذَلِكَ ذَنْباً فَإِذَا اغْتَسَلَ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ بِقَدْرِ مَا مَرَّ مِنَ الْمَاءِ عَلَى شَعْرِهِ قُلْتُ بِعَدَدِ الشَّعْرِ قَالَ بِعَدَدِ الشَّعْرِ
Dari Shâlih bin 'Uqbah dari ayahnya dari Abû Ja'far as dia bertanya, "Apakah orang yang melakukan mut'ah mendapat pahala?" Beliau menjawab, "Jika dengan itu dia menginginkan wajah (rela) Allah yang maha tinggi dan dengan maksud menyalahi orang yang menging-karinya, tentu dia tidak berkata-kata dengan satu kata pun melainkan Allah mencatatkan baginya satu kebaikan dengannya, dan tidak mengulurkan tangannya kepadanya me-lainkan Allah mancatatkan baginya satu kebaikan, jikalau dia mendekatinya, Allah mengampuninya satu dosa baginya dengan yang demikian itu, dan apabila dia mandi, Allah mengampuni dengan kadar air yang melalui rambutnya." Saya bertanya, "Dengan sejumlah helai rambut?" Beliau ber-kata, "Dengan sejumlah rambut."
قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ ع إِنَّ النَّبِيَّ ص لَمَّا أُسْرِيَ بِهِ إِلَى السَّمَاءِ قَالَ لَحِقَنِي جَبْرَئِيلُ ع فَقَالَ يَا مُحَمَّدُ ص إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَى يَقُولُ إِنِّي قَدْ غَفَرْتُ لِلْمُتَمَتِّعِينَ مِنْ أُمَّتِكَ مِنَ النِّسَاءِ
Abû Ja'far as berkata: Sesungguhnya Nabi saw tatkala di-isrâ`-kan dengannya ke langit beliau berka-ta, "Jabra`îl as menemuiku, lalu dia berkata, 'Wahai Muha-mmad saw, sesungguhnya Allah yang maha berkah dan ma-ha tinggi berfirman, Sesungguhnya Aku telah mengampuni orang-orang yang melakukan nikah mut'ah dari ummat-mu dari kalangan perempuan."
عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ إِنِّي لَأُحِبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ لَا يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَتَمَتَّعَ وَ لَوْ مَرَّةً وَ أَنْ يُصَلِّيَ الْجُمُعَةَ فِي جَمَاعَةٍ
Dari Hisyâm dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Se-sungguhnya suka kepada laki-laki bahwa dia tidak keluar dari dunia hingga dia melakukan nikah mut'ah walaupun satu kali dan dia shalat Jumat dengan berjama'ah."
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ يُسْتَحَبُّ لِلرَّجُلِ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمُتْعَةَ وَ مَا أُحِبُّ لِلرَّجُلِ مِنْكُمْ أَنْ يَخْرُجَ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى يَتَزَوَّجَ الْمُتْعَةَ وَ لَوْ مَرَّةً
Dari Hisyâm bin Sâlim dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Dianjurkan bagi laki-laki menikah mut'ah, dan aku tidak suka bagi lelaki dari kamu dia keluar dari dunia hingga menikah mut'ah walau satu kali."
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ قَالَ لِي تَمَتَّعْتَ قُلْتُ لَا قَالَ لَا تَخْرُجْ مِنَ الدُّنْيَا حَتَّى تُحْيِيَ السُّنَّةَ
Dari Muhammad bin Muslim dari Abû 'Abdi-llâh as berkata: Beliau berkata kepadaku, "Kamu pernah nikah mut'ah?" Saya berkata, "Belum." Beliau berkata, "Janganlah kamu keluar dari dunia hingga kamu hidupkan sunnah."
عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ الْفَضْلِ الْهَاشِمِيِّ قَالَ قَالَ لِي أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع تَمَتَّعْتَ مُنْذُ خَرَجْتَ مِنْ أَهْلِكَ قُلْتُ لِكَثْرَةِ مَا مَعِيَ مِنَ الطَّرُوقَةِ أَغْنَانِي اللَّهُ عَنْهَا قَالَ وَ إِنْ كُنْتَ مُسْتَغْنِياً فَإِنِّي أُحِبُّ أَنْ تُحْيِيَ سُنَّةَ رَسُولِ اللَّهِ ص
Dari Ismâ'îl bin Al-Fadhl Al-Hâsyimi berkata: Abû 'Abdillâh as berkata kepadaku, "Apakah kamu me-lakukan mut'ah sejak keluar dari keluargamu?" Saya ber-kata, "Karena sering melakukan hubungan intim de-ngan istri yang ada padaku Allah telah mencukupiku darinya." Beliau berkata, "Dan kalaupun kamu merasa cu-kup, maka sesungguhnya aku ingin kamu menghidupkan su-nnah Rasûlullâh saw."
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فَقَالَ لِي يَا أَبَا مُحَمَّدٍ تَمَتَّعْتَ مُنْذُ خَرَجْتَ مِنْ أَهْلِكَ قُلْتُ لَا قَالَ وَ لِمَ قُلْتُ مَا مَعِيَ مِنَ النَّفَقَةِ يَقْصُرُ عَنْ ذَلِكَ قَالَ فَأَمَرَ لِي بِدِينَارٍ قَالَ أَقْسَمْتُ عَلَيْكَ إِنْ صِرْتَ إِلَى مَنْزِلِكَ حَتَّى تَفْعَلَ
Dari Abû Bashîr berkata: Saya masuk kepada Abû 'Abdillâh as, lalu beliau berkata kepadaku, "Wahai Abû Muhammad, apakah kamu telah melakukan mut'ah se-jak kamu keluar dari istrimu?" Saya berkata, "Tidak." Beliau bertanya, "Mengapa?" Saya menjawab, "Saya tidak punya nafkah yang memadai untuk itu." Dia (Abû Ba-shîr) berkata, "Maka beliau menyuruhku dengan satu dinar, beliau berkata, "Aku sumpahi atas kamu jangan ka-mu kembali ke rumahmu hingga kamu melakukan."
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ مَا مِنْ رَجُلٍ تَمَتَّعَ ثُمَّ اغْتَسَلَ إِلَّا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ كُلِّ قَطْرَةٍ تَقْطُرُ مِنْهُ سَبْعِينَ مَلَكاً يَسْتَغْفِرُونَ لَهُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَ يَلْعَنُونَ مُتَجَنِّبَهَا إِلَى أَنْ تَقُومَ السَّاعَةُ
Dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Tidak seorang le-laki pun yang melakukan mut'ah, kemudian dia mandi, me-lainkan Allah jadikan dari setiap tetes air yang menetes da-rinya tujuh puluh malak yang memintakan ampun baginya sampai hari kiamat, dan mereka melaknat orang yang men-jauhinya (menganggap haram) hingga hari kiamat."
Hiburan Orang yang Beriman
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَعْيَنَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ لَهْوُ الْمُؤْمِنِ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ التَّمَتُّعِ بِالنِّسَاءِ وَ مُفَاكَهَةِ الْإِخْوَانِ وَ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ
Dari Zurârah bin A'yan dari Abû Ja'far as berka-ta, "Hiburan orang yang beriman itu dalam tiga perkara: Nikah mut'ah dengan perempuan-perempuan, bercanda dengan saudara-saudara (seiman) dan shalat pada waktu malam."
عَنْ زُرَارَةَ بْنِ أَعْيَنَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ لَهْوُ الْمُؤْمِنِ فِي ثَلَاثَةِ أَشْيَاءَ التَّمَتُّعِ بِالنِّسَاءِ وَ مُفَاكَهَةِ الْإِخْوَانِ وَ الصَّلَاةِ بِاللَّيْلِ
Dari Zurârah bin A'yan dari Abû Ja'far as berkata, "Hiburan orang yang beriman itu dalam tiga perkara: Nikah mut'ah dengan perempuan-perempuan, bercanda de-ngan saudara-saudara (seiman) dan shalat pada waktu ma-lam."
Kalimat Akad Nikah Mut'ah
عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع كَيْفَ أَقُولُ لَهَا إِذَا خَلَوْتُ بِهَا قَالَ تَقُولُ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ لَا وَارِثَةً وَ لَا مَوْرُوثَةً كَذَا وَ كَذَا يَوْماً وَ إِنْ شِئْتَ كَذَا وَ كَذَا سَنَةً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً وَ تُسَمِّي (مِنَ الْأَجْرِ) مَا تَرَاضَيْتُمَا عَلَيْهِ قَلِيلًا كَانَ أَوْ كَثِيراً فَإِذَا قَالَتْ نَعَمْ فَقَدْ رَضِيَتْ وَ هِيَ امْرَأَتُكَ وَ أَنْتَ أَوْلَى النَّاسِ بِهَا الْحَدِيثَ
Dari Abân bin Taghlib berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, bagaimana aku mengucapkannya jika aku menyendiri dengannya? Beliau berkata, "Kamu ucapkan: Aku menikahimu atas dasar Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya tidak ada yang mewariskan dan tidak ada yang diwarisi (tidak ada pewarisan) untuk waktu sekian hari dan jika kamu mau sekiat tahun dengan mahar sekian dirham dan kamu sebutkan (maharnya) yang telah kamu sepakati atasnya baik sedikit maupun banyak, maka bila dia mengucapkan, "Ya." Berarti dia rela dan dia menjadi istrimu, dan kamu menjadi orang yang paling berhak dengannya. "
عَنِ ابْنِ أَبِي نَصْرٍ عَنْ ثَعْلَبَةَ قَالَ تَقُولُ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ نِكَاحاً غَيْرَ سِفَاحٍ وَ عَلَى أَنْ لَا تَرِثِينِي وَ لَا أَرِثَكِ كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً وَ عَلَى أَنَّ عَلَيْكِ الْعِدَّةَ
Dari Ibnu Abî Nashr dari Tsa'labah berkata, "Kamu ucapkan: Aku menikahimu secara mut'ah atas (nama) Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya sebagai pernikahan bukan perzinaan, dan bahwa kamu tidak mewarisiku dan aku tidak mewarisimu selama sekian hari dengan mahar sekian dirham dan wajib bagimu 'iddah (jika telah habis masa pernikahannya)."
عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ قُلْتُ كَيْفَ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ قَالَ يَقُولُ أَتَزَوَّجُكِ كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً فَإِذَا مَضَتْ تِلْكَ الْأَيَّامُ كَانَ طَلَاقُهَا فِي شَرْطِهَا وَ لَا عِدَّةَ لَهَا عَلَيْكَ
Dari Ibnu 'Umair dari Hisyâm bin Sâlim dia ber-kata: Saya bertanya, "Bagaimana seseorang menikah secara mut'ah?" Dia berkata, "Dia mengucapkan: Aku menikahimu sekian hari dengan mahar sekian dirham. Maka apabila hari-hari itu telah berlalu adalah ia thalaq-nya da-lam syaratnya dan tidak ada 'iddah baginya atasmu." Tidak ada 'iddah itu maksudnya tidak ada rujuk, dan kalau ingin memperpanjang waktu tinggal mela-kukan akad lagi dengan mahar yang baru.
عَنْ سَمَاعَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ لَا بُدَّ مِنْ أَنْ يَقُولَ فِيهِ هَذِهِ الشُّرُوطَ أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً كَذَا وَ كَذَا يَوْماً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً نِكَاحاً غَيْرَ سِفَاحٍ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ وَ عَلَى أَنْ لَا تَرِثِينِي وَ لَا أَرِثَكِ وَ عَلَى أَنْ تَعْتَدِّي خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ يَوْماً وَ قَالَ بَعْضُهُمْ حَيْضَةً
Dari Samâ'ah dari Abû Bashîr berkata, "Mesti dia ucapkan syarat ini kepadanya: Aku menikahimu dengan nikah mut'ah selama sekian hari dengan mahar sekian dirham sebagai pernikahan bukan perzinaan di tas Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya dan bahwa kamu tidak mewarisiku dan aku tidak mewarisimu, dan bahwa kamu ber-'iddah empat puluh lima (45) hari.. Dan sebagian mereka mengatakan satu kali haid."
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ الْجَوَالِيقِيِّ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثٍ قَالَ قُلْتُ مَا أَقُولُ لَهَا قَالَ تَقُولُ لَهَا أَتَزَوَّجُكِ عَلَى كِتَابِ اللَّهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ وَ اللَّهُ وَلِيِّي وَ وَلِيُّكِ كَذَا وَ كَذَا شَهْراً بِكَذَا وَ كَذَا دِرْهَماً عَلَى أَنَّ لِيَ اللَّهَ عَلَيْكِ كَفِيلًا لَتَفِيِنَّ لِي وَ لَا أَقْسِمُ لَكِ وَ لَا أَطْلُبُ وَلَدَكِ وَ لَا عِدَّةَ لَكِ عَلَيَّ فَإِذَا مَضَى شَرْطُكِ فَلَا تَتَزَوَّجِي حَتَّى يَمْضِيَ لَكِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً وَ إِنْ حَدَثَ بِكِ وَلَدٌ فَأَعْلِمِينِي
Dari Hisyâm bin Sâlim Al-Jawâlîqi dari Abû 'Abdillâh as dalam sebuah hadîts dia berkata: Saya ber-kata, apa yang mesti saya ucapkan kepadanya (dalam nikah mut'ah)? Beliau berkata, "Kamu ucapkan kepadanya: Aku menikahimu di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, dan Allah waliku dan walimu selama sekian bulan dengan mahar sekian dirham bahwa Allah pelindung bagiku atasmu, kamu sempurnakan bagiku, dan aku tidak membagi (waktu) bagimu dan tidak menuntut anakmu dan tidak ada 'iddah bagimu atasku, maka jika telah berlalu syaratmu, maka janganlah kamu menikah hingga berlalu bagimu empat puluh lima (45) hari, dan jika terjadi anak denganmu, maka bertahukan padaku."
Akad Mut'ah yang Paling Singkat
عن الحسن بن علي بن يقطين قال قال أبو الحسن موسى بن جعفر ع أدنى ما يجزي من القول أن يقول : أَتَزَوَّجُكِ مُتْعَةً عَلَى كِتَابِ اللهِ وَ سُنَّةِ نَبِيِّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ بِكَذَا وَ كَذَا إِلَى كَذَا.
Dari Al-Hasan bin 'Ali bin Yaqthîn berkata: Abû Al-Hasan Mûsâ bin Ja'far as, "Sekurang-kurangnya akad nikah mut'ah itu seseorang mengucapkan (kepada calon istrinya): Atazawwajuki mut'atan 'alâ kitâbillâhi wa sunnati nabiyyihi shallallâhu 'alaihi wa ãlih, bikadzâ wa kadzâ ilâ kadzâ. (Saya menikahimu atas dasar Kitab Allah dan su-nnah Nabi-Nya saw dengan mahar …sampai …)"
Kadzâ wa kadzâ diganti dengan mahar yang telah ditentukan, dan ilâ kadzâ diganti dengan waktu yang disepakati, misalnya bilmahril ma'lûm ilal muddati ma'lûmah (dengan mahar yang telah ditentukan sampai masa yang telah ditentukan).
Jika tidak Menyebutkan Waktu Berarti Nikah Dâ`im
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُكَيْرٍ قَالَ قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثٍ إِنْ سُمِّيَ الْأَجَلُ فَهُوَ مُتْعَةٌ وَ إِنْ لَمْ يُسَمَّ الْأَجَلُ فَهُوَ نِكَاحٌ بَاتٌّ
Dari 'Abdullâh bin Bukair berkata: Abû 'Abdi-llâh as telah berkata dalam sebuah hadîts, "Jika disebutkan tempo, maka ia nikah mut'ah, dan bila tidak disebutkan tempo, maka nikah biasa (bukan nikah mut'ah)."
عَنْ هِشَامِ بْنِ سَالِمٍ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع أَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ مُتْعَةً مَرَّةً مُبْهَمَةً قَالَ فَقَالَ ذَاكَ أَشَدُّ عَلَيْكَ تَرِثُهَا وَ تَرِثُكَ وَ لَا يَجُوزُ لَكَ أَنْ تُطَلِّقَهَا إِلَّا عَلَى طُهْرٍ وَ شَاهِدَيْنِ قُلْتُ أَصْلَحَكَ اللَّهُ فَكَيْفَ أَتَزَوَّجُهَا قَالَ أَيَّاماً مَعْدُودَةً بِشَيْءٍ مُسَمًّى مِقْدَارَ مَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ فَإِذَا مَضَتْ أَيَّامُهَا كَانَ طَلَاقُهَا فِي شَرْطِهَا وَ لَا نَفَقَةَ وَ لَا عِدَّةَ لَهَا عَلَيْكَ الْحَدِيثَ
Dari Hisyâm bin Sâlim berkata: Saya telah ber-kata kepada Abû 'abdillâh as, "Saya menikahi permpu-an dengan pernikahan mut'ah satu kali yang samar." Beliau berkata, "Yang demikian itu menjadi sangat terikat bagimu, kamu mewarisinya dan dia mewarisimu, dan tidak boleh bagimu menceraikannya kecuali dalam keadaan dia suci (dari haid dan tidak digauli) dan ada dua orang saksi laki-laki." Saya bertanya, "Semoga Allah memaslahat-kanmu, bagaimana saya menikahinya?" Beliau berkata, "Beberapa hari yang ditentukan dengan mahar yang dise-butkan dengan sama-sama rela dengannya, maka bila telah berakhir hari-harinya itu thalaq-nya dalam syaratnya dan tidak ada nafkah dan tidak ada 'iddah baginya atasmu."
Tidak Ada Batasan untuk Mahar dan Waktu
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ ع عَنْ مُتْعَةِ النِّسَاءِ قَالَ حَلَالٌ وَ إِنَّهُ يُجْزِي فِيهِ الدِّرْهَمُ فَمَا فَوْقَهُ.
Dari Abû Bashîr berkata: Saya telah bertanya kepada Abû Ja'far as tentang mut'atun nisâ`, beliau ber-kata, "Halal, dan sesungguhnya (maharnya) memadai satu dirham atau lebih."
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ عَنِ الْأَحْوَلِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع أَدْنَى مَا يُتَزَوَّجُ بِهِ الْمُتْعَةُ قَالَ كَفٌّ مِنْ بُرٍّ
Dari Abû Sa'îd Al-Ahwal berkata: Saya telah berkata kepada Abû 'Abdillâh as serendah-redahnya mahar yang digunakan dalam nikah mut'ah, beliau berkata, "Segenggam gandum."
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع كَمِ الْمَهْرُ يَعْنِي فِي الْمُتْعَةِ قَالَ مَا تَرَاضَيَا عَلَيْهِ إِلَى مَا شَاءَا مِنَ الْأَجَلِ
Dari Muhammad bin Muslim berkata: Saya te-lah bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Berapakah ma-har yakni dalam nikah mut'ah?" Beliau berkata, "Apa yang telah disepakati oleh mereka berdua atasnya sampai waktu yang dikehendaki mereka berdua."
عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عُمَرَ فَقَالَتْ إِنِّي زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي فَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُرْجَمَ فَأُخْبِرَ بِذَلِكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ع فَقَالَ كَيْفَ زَنَيْتِ قَالَتْ مَرَرْتُ بِالْبَادِيَةِ فَأَصَابَنِي عَطَشٌ شَدِيدٌ فَاسْتَسْقَيْتُ أَعْرَابِيّاً فَأَبَى أَنْ يَسْقِيَنِي إِلَّا أَنْ أُمَكِّنَهُ مِنْ نَفْسِي فَلَمَّا أَجْهَدَنِيَ الْعَطَشُ وَ خِفْتُ عَلَى نَفْسِي سَقَانِي فَأَمْكَنْتُهُ مِنْ نَفْسِي فَقَالَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ ع تَزْوِيجٌ وَ رَبِّ الْكَعْبَةِ
Dari Abû 'Abdillâh as berkata, "Ada seorang perempuan datang ke 'Umar, lalu dia berkata, 'Sesungguhnya aku telah berzina, maka sucikanlah aku.' Lalu dia menyuruh dengannya untuk dirajam. Maka hal itu dikabarkan kepada Amîrul Mu`minîn as, lalu dia bertanya, 'Bagaimana kamu berzina?' Dia menjawab, 'Saya melewati perkampungan, lalu dahaga yang sangat menimpaku, maka saya meminta air ke seorang a'râbi, tetapi dia enggan memberiku minum kecuali saya memberikan kehormatanku, maka dahaga semakin memayahkanku dan aku takut binasa, dia memberiku minum, kemudian aku berikan kehormatanku kepadanya.' Maka Amîrul Mu`minîn as berkata, 'Itu pernikahan demi pemilik Ka'bah.'"
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع فِي الْمُتْعَةِ قَالَ لَا بُدَّ مِنْ أَنْ يُصْدِقَهَا شَيْئاً قَلَّ أَوْ كَثُرَ وَ الصَّدَاقُ كُلُّ شَيْءٍ تَرَاضَيَا عَلَيْهِ فِي تَمَتُّعٍ أَوْ تَزْوِيجٍ بِغَيْرِ مُتْعَةٍ
Dari Zurârah dari Abû Ja'far as tentang mut'ah berkata, "Mesti memberikan sesuatu kepadanya sedikit atau banyak, dan mahar itu segala sesuatu yang mereka berdia rido atasmya dalam nikah mut'ah atau nikah lain selain mut'ah."
'Iddah Mut'ah
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع أَنَّهُ قَالَ إِنْ كَانَتْ تَحِيضُ فَحَيْضَةٌ وَ إِنْ كَانَتْ لَا تَحِيضُ فَشَهْرٌ وَ نِصْفٌ
Dari Zurârah dari Abû 'Abdillâh as bahwa dia telah berkata, "Jika dia haid, maka satu kali haid, dan jika tidak haid, maka satu bulan setengah."
عَنْ أَبِي الْحَسَنِ الرِّضَا ع قَالَ قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ ع قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً وَ الِاحْتِيَاطُ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ لَيْلَةً
Dari Abû Al-Hasan Al-Ridhâ as berkata: Abû Ja'far as telah berkata, "'Iddah mut'ah itu 45 hari dan hati-hatinya 45 malam."
عَنْ زُرَارَةَ قَالَ عِدَّةُ الْمُتْعَةِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ يَوْماً كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَى أَبِي جَعْفَرٍ ع يَعْقِدُ بِيَدِهِ خَمْسَةً وَ أَرْبَعِينَ فَإِذَا جَازَ الْأَجَلُ كَانَتْ فُرْقَةٌ بِغَيْرِ طَلَاقٍ
Dari Zurârah berkata, "'Iddah mut'ah 45 hari seakan aku melihat kepada Abû Ja'far mengisyaratkan dengan tangannya, maka bila telah lewat waktunya berarti pisah tanpa thalâq."
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْحَجَّاجِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمَرْأَةِ يَتَزَوَّجُهَا الرَّجُلُ مُتْعَةً ثُمَّ يُتَوَفَّى عَنْهَا هَلْ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ فَقَالَ تَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَ عَشْراً وَ إِذَا انْقَضَتْ أَيَّامُهَا وَ هُوَ حَيٌّ فَحَيْضَةٌ وَ نِصْفٌ مِثْلُ مَا يَجِبُ عَلَى الْأَمَةِ الْحَدِيثَ
Dari 'Abdurrahmân bin Al-Hajjâj berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as tentang perempuan yang dinikahi lelaki secara mut'ah, kemudian lelaki itu wafat darinya, "Apakah wajib 'iddah bagi perempuan itu?" Maka beliau berkata, "Dia ber-'iddah empat bulan sepuluh hari, dan jika hari-harinya telah berlalu sedang lelaki itu hidup, maka 'iddah-nya satu kali haid dan setengah semisal yang wajib bagi hamba sahaya."
Perempuan yang Nikah Mut'ah dengan Dukhûl tidak Boleh Menikah dengan Lelaki Lain Kecuali setelah Ha-bis Masa 'Iddah dan Dia Boleh Nikah dengan Mantan Suaminya dalam Masa 'Iddah
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ فِي حَدِيثٍ أَنَّهُ سَأَلَ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع عَنِ الْمُتْعَةِ فَقَالَ إِنْ أَرَادَ أَنْ يَسْتَقْبِلَ أَمْراً جَدِيداً فَعَلَ وَ لَيْسَ عَلَيْهَا الْعِدَّةُ مِنْهُ وَ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِهِ خَمْسَةٌ وَ أَرْبَعُونَ لَيْلَةً
Dari Muhammad bin Muslim dalan sebuah ha-dîts bahwa dia bertanya kepada Abû 'Abdillâh as ten-tang nikah mut'ah, maka belaiu berkata, "Jika dia ingin melakukan akad yang baru, dia bisa lakukan, dan tidak wajib 'iddah bagi perempaun itu dari mntan suaminya, tetapi dia wajib 'iddah dari laki-laki yang lainnya selama 45 malam."
عَنْ أَبِي بَصِيرٍ قَالَ لَا بَأْسَ أَنْ تَزِيدَكَ وَ تَزِيدَهَا إِذَا انْقَطَعَ الْأَجَلُ فِيمَا بَيْنَكُمَا تَقُولُ لَهَا اسْتَحْلَلْتُكِ بِأَجَلٍ آخَرَ بِرِضًا مِنْهَا وَ لَا يَحِلُّ ذَلِكَ لِغَيْرِكَ حَتَّى تَنْقَضِيَ عِدَّتُهَا
Dari Abû Bashîr berkata, "Dia menambahmu dan kamu menambahnya apabila telah terputus tempo di antara kamu berdua, kamu katakan kepadanya, 'Saya minka kamu menghalalkan dengan tempo yang lain.'
Dengan keridoan darinya, dan tidak halal yang demikian itu bagi lelaki selainmu hingga berakhir 'iddah-nya."
Tidak Boleh Nikah Mut'ah dengan Perempuan yang Sedang Di-mut'ah-inya (untuk memperpanjang waktu) kecuali setelah Habis Masanya atau setelah Dihibahkannya
عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمَرْأَةَ مُتْعَةً فَيَتَزَوَّجُهَا عَلَى شَهْرٍ ثُمَّ إِنَّهَا تَقَعُ فِي قَلْبِهِ فَيُحِبُّ أَنْ يَكُونَ شَرْطُهُ أَكْثَرَ مِنْ شَهْرٍ فَهَلْ يَجُوزُ أَنْ يَزِيدَهَا فِي أَجْرِهَا وَ يَزْدَادَ فِي الْأَيَّامِ قَبْلَ أَنْ تَنْقَضِيَ أَيَّامُهُ الَّتِي شَرَطَ عَلَيْهَا فَقَالَ لَا يَجُوزُ شَرْطَانِ فِي شَرْطٍ قُلْتُ كَيْفَ يَصْنَعُ قَالَ يَتَصَدَّقُ عَلَيْهَا بِمَا بَقِيَ مِنَ الْأَيَّامِ ثُمَّ يَسْتَأْنِفُ شَرْطاً جَدِيداً
Dari Abân bin Taghlib berkata: Saya bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Ada lelaki menikah mut'ah dengan perempuan, dia menikahinya untuk waktu sebulan, kemudian niatnya berubah, dia ingin syaratnya itu lebih lama dari sebulan, bolehkah dia menambah maharnya dan menambah hari-harinya sebelum masa-nya yang dia syaratkan berakhir?" Beliau berkata, "Tidak boleh dua syarat dalam satu syarat." Saya bertanya, "Bagaimana dia harus berbuat?" Beliau berkata, "Dia sedekahkan kepadanya sisa waktunya, kemudian dia mulai dengan syarat yang baru."
Nikah Mut'ah dengan Seorang Perempuan Bisa Beru-lang Kali tanpa Batas
عَنْ زُرَارَةَ عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ ع قَالَ قُلْتُ لَهُ الرَّجُلُ يَتَزَوَّجُ الْمُتْعَةَ وَ يَنْقَضِي شَرْطُهَا ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا رَجُلٌ آخَرُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثُمَّ يَتَزَوَّجُهَا الْأَوَّلُ حَتَّى بَانَتْ مِنْهُ ثَلَاثاً وَ تَزَوَّجَتْ ثَلَاثَةَ أَزْوَاجٍ يَحِلُّ لِلْأَوَّلِ أَنْ يَتَزَوَّجَهَا قَالَ نَعَمْ كَمْ شَاءَ لَيْسَ هَذِهِ مِثْلَ الْحُرَّةِ هَذِهِ مُسْتَأْجَرَةٌ وَ هِيَ بِمَنْزِلَةِ الْإِمَاءِ
Dari Zurârah dari Abû Ja'far as dia (Zurârah) berkata: Saya berkata kepadanya, "Ada laki-laki meni-kah mut'ah dan berakhirlah syaratnya, kemudian perempuan itu dinikahi oleh lelaki lain hingga nyata (pi-sah) darinya, kemudian dia dinikahi lagi oleh lelaki yang pertama hingga nyata darinya sebanyak tiga kali, dan perempuan tersebut menikah dengan tiga suami, apakah halal bagi lelaki yang pertama untuk menika-hinya lagi?" Beliau berkata, "Ya, berapa kali saja dia mau ini tidak semisal perempuan merdeka (yang dinikahi secara dâ`im), ini disewa dan ia kedudukannya sebagaimana pernikahan dengan hamba sahaya."
عَنْ عَلِيِّ بْنِ الْحَكَمِ عَنْ أَبَانٍ عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِهِ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي الرَّجُلِ يَتَمَتَّعُ مِنَ الْمَرْأَةِ الْمَرَّاتِ قَالَ لَا بَأْسَ يَتَمَتَّعُ مِنْهَا مَا شَاءَ
Dari 'Ali bin Al-Hakam dari Abân dari sebagian sahabatnya dari Abû 'Abdillâh as tentang lelaki menikah mut'ah dengan satu perempuan berkali-kali, beliau berkata, "Tidak mengapa dia melakukan mut'ah dengannya menurut yang dia mau."
Lelaki yang Menghibahkan Sisa Waktu tidak Boleh Rujuk
عَنْ عَلِيِّ بْنِ رِئَابٍ قَالَ كَتَبْتُ إِلَيْهِ أَسْأَلُهُ عَنْ رَجُلٍ تَمَتَّعَ بِامْرَأَةٍ ثُمَّ وَهَبَ لَهَا أَيَّامَهَا قَبْلَ أَنْ يُفْضِيَ إِلَيْهَا أَوْ وَهَبَ لَهَا أَيَّامَهَا بَعْدَ مَا أَفْضَى إِلَيْهَا هَلْ لَهُ أَنْ يَرْجِعَ فِيمَا وَهَبَ لَهَا مِنْ ذَلِكَ فَوَقَّعَ ع لَا يَرْجِعُ
Dari 'Ali bin Ri`âb berkata, "Saya menulis surat kepadanya bertanya tentang seorang lelaki yang melakukan nikah mut'ah dengan seorang perempuan, kemudian laki-laki itu menghibahkan hari-harinya kepadanya sebelum melakukan hubungan dengannya, apakah dia boleh kembali pada apa yang dia hibahkan baginya dari hal itu?" Maka beliau as menulis jawabannya, "Dia tidak boleh rujuk."
Apabila Perempuan Menghibahkan Maharnya dan Lela-ki memberikan waktunya sebelum Dukhûl
عَنْ زُرْعَةَ عَنْ سَمَاعَةَ قَالَ سَأَلْتُهُ عَنْ رَجُلٍ تَزَوَّجَ جَارِيَةً أَوْ تَمَتَّعَ بِهَا ثُمَّ جَعَلَتْهُ مِنْ صَدَاقِهَا فِي حِلٍّ يَجُوزُ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا قَبْلَ أَنْ يُعْطِيَهَا شَيْئاً قَالَ نَعَمْ إِذَا جَعَلَتْهُ فِي حِلٍّ فَقَدْ قَبَضَتْهُ مِنْهُ فَإِنْ خَلَّاهَا قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بِهَا رَدَّتِ الْمَرْأَةُ عَلَى الرَّجُلِ نِصْفَ الصَّدَاقِ
Dari Zur'ah dari Samâ'ah dia berkata, Saya bertanya kepadanya tentang lelaki menikahi perempuan atau nikah mut'ah denganya, lalu perempuan tersebut membebaskan maharnya, bolehkah lelaki tersebut melakukan dukhûl (hubungan badan) sebelum dia menyerahkan mahar kepadanya?" Dia menjawab, "Boleh, jika perempuan memberikan maharnya, maka hakikatnya dia telah memegangnya darinya, apabila lelaki melepaskannya sebelum dukhûl dengannya, maka perempuan tersebut mengembalikan setengah dari mahar itu kepada laki-laki."
Saksi dan Resepsi tidak Wajib
عَنْ عُمَرَ بْنِ أُذَيْنَةَ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثِ الْمُتْعَةِ قَالَ وَ صَاحِبُ الْأَرْبَعِ نِسْوَةٍ يَتَزَوَّجُ مِنْهُنَّ مَا شَاءَ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَ لَا شُهُودٍ
Dari 'Umar bin Udzaibah dari Abû 'Abdillâh as dalam hadîts mut'ah berkata, "Orang yang punya empat istri bisa menikahi mereka (perempuan yang lain secara mut'ah) menurut yang dia kehendaki tanpa wali dan tanpa saksi."
عَنِ الْحَارِثِ بْنِ الْمُغِيرَةِ قَالَ سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ ع مَا يُجْزِي فِي الْمُتْعَةِ مِنَ الشُّهُودِ فَقَالَ رَجُلٌ وَ امْرَأَتَانِ قُلْتُ فَإِنْ كَرِهَ الشُّهْرَةَ فَقَالَ يُجْزِيهِ رَجُلٌ وَ إِنَّمَا ذَلِكَ لِمَكَانِ الْمَرْأَةِ لِئَلَّا تَقُولَ فِي نَفْسِهَا هَذَا فُجُورٌ
Dari Al-Hârits bin Al-Mughîrah berkata: Saya telah bertanya kepada Abû 'Abdillâh as, "Apa yang memadai dari saksi dalam nikah mut'ah?" Beliau berkata, "Seorang lelaki dan dua orang perempuan." Saya bertanya, "Kalau dia tidak suka banyak orang tahu?" Beliau berkata, "Cukup seorang laki-laki, yang demikian itu supaya perempuan itu tidak mengatakan dalam hatinya: Ini fujûr (zina)."
Anak dalam Nikah Mut'ah Dihubungkan ke Ayahnya
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ع فِي حَدِيثٍ فِي الْمُتْعَةِ قَالَ قُلْتُ أَ رَأَيْتَ إِنْ حَبِلَتْ فَقَالَ هُوَ وَلَدُهُ
Dari Muhammad bin Muslim dari Abû 'Abdi-llâh as dalam hadîts tentang mut'ah dia bertanya, "Apa yang engkau fatwakan jika dia hamil?" Beliau menjawab, "Dia anaknya."
(Mukhtar-Luthfi/Islam-Alternatif/Syiah-Menjawab/Jakfari/Secondprince/Syiah-Ali/Miskat-News/Fatimah/Sunni-Syiah/Abu-Zahra/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email