Shahih Ayat Tentang Nikah Mut’ah Dalam Mazhab Syi’ah Menurut Ahlus Sunnah
Kemudian ada yang berusaha mementahkan ayat nikah mut’ah ini dengan berbagai hadis yang katanya “mutawatir” tentang haramnya mut’ah. Usaha ini pun termasuk sesuatu yang aneh. Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu saling kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha yang “melelahkan” akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga tersisa satu hadis pengharaman mut’ah pada saat Fathul Makkah yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan mereka menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat dimana mereka membolehkan nikah mut’ah.
Tafsir An Nisaa’ ayat 24 sebagai dalil bagi nikah mut’ah bukanlah mutlak milik syi’ah tetapi termasuk pemahaman sahabat [Ibnu ‘Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti halnya Mujahid [seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.
Yang dapat disimpulkan pada pembahasan kali ini adalah memang terdapat ayat Al Qur’an yang menghalalkan nikah mut’ah yaitu An Nisaa’ ayat 24 dan telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin [sebagai salafus salih] bahwa ayat tersebut memang berkenaan dengan nikah mut’ah. Kalau begitu bagaimana dengan hadis-hadis pengharaman mut’ah? Ada yang mengatakan kalau hadis-hadis ini telah menasakh ayat tentang nikah mut’ah tetapi tentu pernyataan ini masih perlu diteliti kembali, insya Allah akan dibahas hadis-hadis tersebut didalam thread khusus. Kami ingatkan kepada pembaca jika ada yang menganggap penulis menghalalkan nikah mut’ah berdasarkan postingan ini maka orang tersebut jelas terburu-buru. Pembahasan tentang dalil nikah mut’ah ini masih akan berlanjut dan sampai saat itu selesai kami harap jangan ada yang mengatasnamakan penulis soal hukum nikah mut’ah.
Dalam tulisan ini kami tidak sedang menyatakan nikah mut’ah sebagai perkara yang halal secara mutlak sebagaimana yang ada dalam mazhab Syi’ah. Kami hanya menunjukkan kepada para pembaca bahwa dalam mazhab Syi’ah dalil nikah mut’ah tersebut ada dan shahih sesuai dengan standar keilmuan mazhab mereka. Kedudukan pengikut Syi’ah dalam hal ini hanya mengikuti pedoman shahih mereka sama seperti kedudukan pengikut Ahlus sunnah yang mengharamkan nikah mut’ah berdasarkan dalil dalam kitab Ahlus Sunnah.
Dialog Nikah Mut’ah
Oleh: Ayatullah Uzma Sayyid Shadiq Syirazi
Abdullah : Sementara kaum muslimin sepakat akan keharaman nikah mut’ah, mengapa Anda orang Syiah memperbolehkannya ?
Ridha : Berdasarkan ucapan Umar bin khatab bahwa Rasulullah menghalalkan dan memperbolehkan nikah mut’ah. Kamipun menganggapnya boleh.
Abdullah : Memang Nabi Saw bersebda apa ?
Ridha : Jahidz, Qurtubi, Sarkhasi Hanafi, Fakhrurazi dan masih banyak yang lain dari orang-orang terdahulu Ahli Sunnah yang menukil, bahwa Umar dalam khutbahnya berkata: “Dua mut’ah yang sebelumnya pada jaman Nabi Saw telah ada, dan aku larang keduanya dan aku akan menghukum orang yang melakukan keduanya, mut’ah haji(40) dan mut’ah nisa “(41)
Dalam buku sejarahnya Ibnu khalikan menuturkan bahwa Umar bin khatab berkata: “Dua mut’ah yang diperbolehkan pada jaman Nabi saww. dan jaman Abu Bakar, dan aku larang keduanya “.(42)
Apa pendapat anda tentang masalah ini? apakah perkataan umar “dua mut’ah yang telah disebutkan pada jaman Nabi Saw sebagai sesuatu yang halal dan boleh “ ucapan yang benar ataukah bohong?
Abdullah : Jelas Umar berbicara jujur.
Ridha : Apakah anda punya alasan kenapa mengabaikan ucapan Nabi Saw dan mengambil ucapan Umar?
Abdullah : Larangan Umar bin khatab yang menjadi alasan perbuatan ini.
Ridha : Lantas apa maknanya hadis yang berbunyi, “Halalnya Muhammad Saw, halal sampai hari kiamat. Haramnya Muhammad Saw, haram sampai hari kiamat “(43) Inilah salah satu masalah yang menjadi kesepakatan para ulama Islam tanpa kecuali.
Abdullah sejenak terdiam kemudian berpaling kearah Ridha.
Abdullah : Ucapan Anda betul, tetapi bagaimana Umar bisa mengharamkan kedua mut’ah tersebut, apa landasan Umar mengharamkannya?
Ridha : Ini merupakan ijtihad pribadinya. Namun setiap ijtihad yang bertentangan dengan nash, harus di buang dan jangan diterima.
Abdullah : Walaupun ijtihad itu datang dari orang seperti Umar bin Khatab?
Ridha :Walaupun dari orang yang lebih besar dari dia, kita tetap tidak bisa menerimanya. Menurut pendapat Anda, apakah perkataan Tuhan dan Nabi yang berhak diikuti ataukah ucapan Umar?
Abdullah : Apakah dalam al-Quran terdapat ayat yang menjelaskan mut’ah dan kebolehannya ?
Ridha : Tuhan berfirman:“…jika kalian telah bersenang-senang dengannya, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai sebuah kewajiban “ (44)
Allamah Amini membawakan berbagai sumber yang banyak dari kitab-kitab ahli sunnah seperti musnad Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Semuanya menyebutkan sebab turunya aayat berkenaan dengan nikah mut’ah dan meyakini bahwa itu adalah dalil diperbolehkannya mut’ah.(45)
Abdullah : Sampai sekarang, dalam masalah ini saya belum mendengar sedikitpun.
Ridha : Dengan mengkaji kitab berharga al-ghadir, anda akan menemukan lebih dari apa yang saya utarakan. Apakah kehalalan Tuhan dan rasul-Nya bisa tersingkirkan dengan pengharaman umar? Lantas, kita ini termasuk umat siapa, umat Nabi Saw ataukah umat Umar ?!
Abdullah : Jelas, kita adalah umat Nabi Saw dan keutamaan Umar pun karena dia adalah umatnya Nabi Saw.
Ridha : Apa yang menghalangi Anda untuk mengikuti ucapan Nabi Saw ?
Abdullah : Kesepakatan kaum muslimin yang membuat saya berpendapat demikian
Ridha : Tetapi masalah ini bukanlah kesepakatan kaum muslimin.
Abdullah : Bagaimana mungkin ?
Ridha : Sebagaimana yang Anda katakan bahwa orang-orang Syiah memperbolehkan nikah mutah. Jumlah orang Syiah sekarang setengah dari jumlah kaum muslimin, kurang lebih satu milliar orang.(46) Sementara kelompok Syiah ini membolehkan dan menghalalkan nikah mut’ah, bagaimana bisa dikatakan kesepakatan kaum muslimin.
Lebih dari itu, para Imam Ma’sum as yang merupakan keluarga Nabi Saw. sesuai dengan ucapan Nabi Saw, mereka diumpamakan perahunya nabi Nuh as: “Perumpamaan Ahlul Baitku bagi kalian adalah seperti perahu nabi Nuh as., barang siapa yang menaikinya (mengikutinya) maka dia akan selamat, dan barang siapa yang menyimpang dia akan tenggelam “.(47)
Rasululah Saw juga bersabda:“Sesungguhnya aku tinggalkan dua hal yang berharga kitab Allah dan keluargaku ahli baitku. Tidak akan berpisah sampai keduanya bertemu denganku di al-haudl “. (48)
Mengikuti Ahlul Bait, merupakan sebab keselamatan dan mendekatkan diri pada Allah Swt. Sebaliknya, berpaling dari mereka dan mengikuti kepada selainnya mengakibatkan kesesatan. Ahlul Bait membolehkan nikah mut’ah serta terbukti bahwa hukum ini tidaklah dimansukh (dihapus). Orang-orang syiah pun dalam masalah ini mengikuti mereka dan mengamalkan hal itu.
Dalam sebuah riwayat dari Amiril Mu’minin as:“Seandainya Umar tidak melarang mut’ah, tidak akan terjadi perzinahan kecuali orang yang bejad “. (49)
Ucapan Imam Ali as mengandung arti bahwa pengharaman dan pelarangan mut’ah oleh Umar, menyebabkan masyarakat tidak lagi mengamalkannya, dan setiap orang yang tidak mampunyai istri, mereka terpaksa melakukan zina.
Kaum mulimin terdahulu memperbolehkan nikah mut’ah, dimana banyak dari para sahabat dan tabi’in serta kaum muslimin yang didukung ayat al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Mereka menganggap pengharaman Umar adalah batil. Lantas atas dasar apa pengharaman mut’ah menjadi kesepakatan pendapat kaum muslimin dan kesepakan seperti apa ?
Disini saya dibawakan sebagian ucapan dari mereka yang menerima nikah mut’ah
1. Imran bin al-hashin
Dia mengatakan ayat mut’ah ada dalam al-Quran dan ayat yang lain tidak me-nasikh (menghapus) ayat ini. Rasulullah telah memerintahkan hal ini, kami bersamanya melaksanakan haji tamattu’. Setelah wafatnya, beliau tidak pernah melarang kembali tamattu’.Tetapi, seseorang (Umar bin Khatab) setelah wafatnya Nabi Saw menlarangnya berdasarkan pendapatnya sendiri“.(50)
2. Jabir bin Abdullah dan Abu sa’id khudri
Ia menuturkan” Sampai pertengahan khilafah Umar, kami masih melakukan mut’ah, hingga datangnya kejadian yang menimpa Amru bin harist. Setelah itu, Umar melarang masyarakat melakukan hal ini.
3. Abdullah bin Mas’ud
Ibnu Hazm dalam “al-mahalli“ dan Zarqani dalam “syarh al-muatha “ meyakini bahwa Abdullah bin Mas’ud termasuk orang yang tetap membolehkan nikah mut’ah.
Para penghafal hadist juga meriwayatkan darinya : “ Dalam sebuah peperangan kami berada di sisi Rasulullah Saw. Ketiak itu kami tidak bersama istri, lalu mengadu kepada Nabi Saw: Wahai utusan Tuhan, bagaimana kalua kami kebiri diri sendiri ? Beliau melarang melakukannya dan membolehkan untuk nikah mut’ah. Kemudian beliau membacakan ayat:” Janganlah kalian haramkan sesuatu yang telah Allah halalkan buat kalian. “ (51)
4. Abdullah bin Umar
Ahmad bin Hanbal dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Naim al’Raji meriwayatkan seraya berkata: “Aku bersama Abdullah bin Umar, ketika ada seseorang bertanya kepadanya tentang mut’ah, dia berkata: Aku bersumpah demi Tuhan, di jaman Rasulullah Saw kami tidak melakukan zina(52) ( dan kebutuhan kami, kami selesaikan dengan nikah mut’ah ).
5. Salamah bin Umayyah bin Khalaf
Ibnu Hazm dalam “al-mahalli“ dan Zarqani dalam “syarh al-muatha“menukilkan bahwa Salamah membolehkan nikah mut’ah.
6. Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf
Ibnu hazm mengatakan bahwa Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf berpendapat tentang kebolehan nikah mut’ah.
7. Zubair bin al-‘Awwam
Raghib mengatakan bahwa Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas dikarenakan menghalalkan nikah mut’ah mereka mendapat celaan. Ibnu abbas berkata kepadanya (orang yang mencela) tanyakan kepada ibumu bagaimana ia bergaul dengan ayahmu ? Lalu hal ini pun ditanyakan kepada ibunya, sang ibu menjawab : Kamu lahir hasil nikah mut’ah.(53)
Cerita ini menurut Zubair dalil yang kuat akan kebolehan mut’ah.
8. Khalid bin Muhajir bin Khalid Makhzami
Dia duduk disamping seorang lelaki yang menanyakan kepadanya tentang nikah mut’ah. Khalid menjawab bahwa hal itu diperbolehkan. Ibnu Abi Umrah Anshari berkata kepadanya: Pelan-pelan , kenapa begitu mudah Anda memberi fatwa? Khalid berkata: Aku bersumpah demi Tuhan, sesungguhnya perbuatan ini dilakukan pada jaman para penghulu orang yang bertakwa.
9. Amru bin Harist
Hafidl, Abdurrazaq dalam kitabnya”mushannaf“ mengatakan bahwa Abu al-zubair menukilkan dari Jabir yang berkata: Amru bin harist masuk ke kota kufah dan melakukan mut’ah dengan seorang budak perempuan. Ketika perempuan tersebut hamil ia pergi menghadap Umar, lalu Umar menanyakan kejadian ini kepada Amru. Semenjak itu Umar melarang nikah mut’ah”(54)
Selain mereka terdapat beberapa lagi diantaranya:
1. Ubai bin Ka’ab
2. Rabi’ah bin Umayyah
3. Samir ( atau Samrah ) bin Jundub
4. Sa’id bin Jubair
5. Thawus Yamani
6. Atha’ abu Muhammad Madani
7. Sadi
8. Mujahid
9. Zafr bin Ues Madani
Para pembesar di kalangan sahabat yang lain, para tabi’in serta kaum muslimin menghukumi bahwa fatwa dan ijtihad Umar ini bertentangan dengan al-Quran dan sunnah.
Ridha : Wahai Abdullah, setelah penjelasan panjang lebar, apakah masih meyakini bahwa pengharaman nikah mutah merupakan kesepakatan kaum muslimin ?
Abdullah : Maafkan saya, semua yang diutarakan adalah apa yang telah saya dengar dari orang lain. Tetapi tentang benar dan salahnya, saya belum pernah mengkaji dan meneliti. Sekarang saya sampai pada satu kesimpulan bahwa setiap masalah hendaklah dikaji dan diteliti terlebih dahulu, sehingga mencapai kebenaran yang jauh dari fanatik mazhab.
Ridha : Apakah Anda menerima kalau nikah mut’ah itu boleh dan halal ?
Abdullah : Ya, dan saya baru tahu bahwa orang-orang yang mengharamkan nikah mut’ah hanya mengikuti kehendak dan tuntutan dirinya. Al-quran memperbolehkan hal itu serta ayat tentang ini tidak dinaskh oleh ayat lain. Saya juga mengerti bahwa tidak sekedar Umar, bahkan orang yang lebih besar dari diapun tidak berhak merubah hukum Tuhan. Saya sangat heran, bagaimana dan atas dasar apa Umar memberikan fatwa seperti ini. Kalau anda berkenan, beritahukan kepada saya kitab yang secara ilmiah membahas masalah ini sehingga bisa menjauhkan dari fitnah.
Ridha : Beberapa kitab itu antara lain al-Ghadir karya Allamah Amini, al-Nash wa al-Ijtihad dan al-Fushul al-Muhimmah karya almarhum Allamah Syarafuddin dan al-Mut’ah karya ustadz Taufiq Al-fakiki.
Kajilah kitab-kitab ini dengan teliti dan objektif.
Abdullah : Tentu akan saya lakukan dan saya mohon kepada Tuhan untuk memberikan semua kebaikan kepada Anda.
Ridha : Di sini terdapat satu lagi persolan berkaitan dengan Ahli Sunnah yang menerima fatwa Umar yang melarang nikah mut’ah.
Abdullah : apa persoalannya ?
Ridha : Umar, selain melarang nikah mut’ah, juga melarang haji mut’ah. Lalu kenapa Ahli Sunnah membolehkan haji mut’ah, namun melarang nikah mut’ah? jika fatwa Umar itu benar, hendaklah keduanya haram. Jika fatwanya salah maka keduanya boleh dan halal.
Abdullah : Apakah Ahli Sunnah menerima kebolehan haji mut’ah ?
Ridha : Ya, jika mengkaji sumber-sumber tersebut, Anda akan mengetahui hal itu.
Abdullah : Terima kasih.
Subhaana rabbuka rabbi al-izzati ‘amma yashifuun wa salamun ‘ala al-mursalin
wa al-hamdulillahi rabbi al-‘alamiin.
Referensi:
[40] Mut’ah haji : setelah seseorang selesai melakukan umrah haji tamattu’ dan keluar dari ihram, sampai datang waktunya melakukan ihram kembali unutk amal-amal haji tamattu’, ia diperbolehkan melakukan semua mubah yang dilarang dalam waktu ihram.
[41] Jahidz, al-Bayan wa al-Tabyin, jilid 2, hal. 223 ; Tafisr Qurtubi. Jilid 2, hal. 390-391, hadist no 1042 ; al-Mabsuth, kitan haj, bab Qiran dan Fakhrurrazi, tafsir al-kabir, jilid 2, hal. 167 dan jilid 3, hal. 201,202.
[42] Tarikh Ibnu khalikan, jilid 2, hal. 359.
[43] Rasulullah Saw bersabda “ Halal Muhammad halulun ila yaum al-qiamah wa haramuhu haramun ila yaum al-qiamah “ Lihat Sunan Ibnu daud sajestani, jilid 1, hal 6, bab 2, hadist no 12 : ta’dlimu hadisti rasulillah wa al-taghlidh ‘ala man ‘aaridlihi, kafii, jilid 1, hal. 5, hadist no 19 dan wasail al-syi’ah, jilid 18, hal. 124, bab 12, hadist no 47.
[44] An-nisa : 24.
[45] R.K. al-ghadir, jilid 6, hal. 229-236.
[46] Saat ini jumlah kaum muslimin mencapai dua milliard orang, dan setengahnya adalah orang syiah. Anwar Sadat presiden mesir terdahulu, dalam konferensi Islam di Mesir berkata: Sesuai dengan sensus jumlah orang Syiah setengah dari jumlah kaum muslimin.
[47] Bihar al-Anwar, jilid 10, hal. 111, hadist no 1.
[48] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 3, hal. 17, 26 dan 59, jilid 3, hal. 367.
[49] Muhammad bin muslim dari Imam Baqir as. dari Jabir bin Abdullah : Kaum muslimin pergi untuk berperang bersama Rasulullah saww. dan pada waktu itu dihalakan bagi mereka nikah mut’ah, dan setelah itu tidak pernah diharamkan lagi. Ali as. berkata : “ jika seandainya anaknya khatab ( umar ) { dalam mengambil hukum } tidak mendahuluiku maka selain orang-orang bejad tidak akan terjadi perzinahan “.
R.K. bihar al-anwar, jilid 100, hal. 314, bab 10, hadist no 15, tafisr bajma’ al-bayan, jilid 5, hal.9, dengan sanad yang shahih.
[50] Tafsir Qurtubi, jilid 2, hal. 385, hadist no 1026, dalam kelanjutannya, riwayat ini datang dengan nukilan yang lain : ayat mut’ah ( mut’ah haji ) telah ada dalam kitab Allah swt. dan Nabi memerintahkan untuk mengamalkannya serta tidak turun ayat lain yang me-nasikhnya. Nabi juga sampai akhir hidupnya tidak pernah melarang itu, setelah beliau ada seseorang, yang melarangnya. berdasarkan pendapat sendiri.
[51] Al-Maidah : 87 “… wa laa tahrimuu thayyibat maa ahallahu lakum “Lihat Sahih Bukhari, jilid 5, hal. 1953, bab 8, hadist no 4787. “maa yukrahu min al-tibtali wa al-khashai ( dengan sedikit perbedaan ) ; sahih muslim, jilid 3, hal. 192-193, bab nikah al-mut;ah ; sunan al-kubra, jilid 7, hal. 200, bab al-syighar ; al-dar al-manstur, jilid 2, hal. 307, berkenaan dengan tafsir ayat 87 surat al-maidah ( dinukil dari : sembilan dari orang-orang terdahulu [ahli tafsir ] dan para penghafal quran dan hadis serta dari sumber yang lain.
[52] musnad ahmad, jilid 2 hal. 95.
[53] Al-muhaadlaraat, jilid 2, hal 94.
[54] Fath al-baari, jilid 9, hal 141.
Syi’ah Ja’fariyah membolehkan nikah mut’ah berdasar-kan nash Al-Quran, sebagaimana dalam firman-Nya:
Maka istri-istri yang telah kalian nikmati di antara mereka, berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS. An-Nisa [4]:24)
Di samping itu, para sahabat dan orang-orang Islam pada masa Rasulullah saw. sampai pertengahan masa khilafah Umar bin Khaththab telah melakukan nikah mut’ah.
Mut’ah adalah pernikahan syar’i yang persyaratannya sama dengan nikah permanen atau da’im, yaitu:
1. Hendaknya pihak wanita tersebut tidak bersuami, dan membaca shighah ijab, sementara pihak laki-laki melaksanakan shighah Kabul.
2. Pihak laki-laki wajib memberikan harta kepada wanita, yang disebut mahar dalam nikah da’im dan dalam nikah mut’ah disebut upah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran.
3. Wanita harus menjalani iddah (setelah cerai dengan suaminya).
4. Wanita harus menjalani ‘iddah setelah masa mut’ahnya habis. apabila ia melahirkan seorang anak, maka, nasab anak itu ikut kepada ayahnya. Juga seorang wanita hanya dapat memiliki satu suami saja.
5. Dalam pewarisan antara anak dan ayahnya, anak dan ibunya dan begitu juga sebaliknya.
Yang membedakan nikah da’im dengan nikah mut’ah adalah bahwa dalam nikah mut’ah terdapat penentuan masa, tidak adanya kewajiban memberikan nafkah dan masa gilir atas suami untuk sang istri mut’ah, tidak adanya saling mewarisi antara suami dan istri, tidak perlu adanya talak, tetapi cukup dengan habisnya masa yang telah ditentukan, atau menghibahkan sisa masa yang telah di tentukan tersebut.
Hikmah disyariatkannya nikah semacam ini adalah tuntunan yang disyariatkan dan bersyarat untuk kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan setiap kewajiban-kewajiban dalam nikah da’im (permanen), atau karena adanya halangan dari istri yang terjadi akibat kematian atau sebab yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Semua ini masih dalam rangka membina kehidupan yang terhormat dan mulia. Maka itu, nikah mut’ah adalah solusi tingkat pertama bagi kebanyakan problematika sosial yang cukup serius dan berbahaya, dan juga untuk mencegah terperosoknya masyarakat Islam dalam kerusakan dengan menghalalkan segala macam cara.
Terkadang, nikah mut’ah digunakan dengan tujuan agar kedua calon suami istri saling mengenal sebelum memasuki jenjang pernikahan permanen. Hal ini dapat mencegah perjumpaan yang diharamkan, zina, meng-kebiri, atau cara-cara lain yang diharamkan seperti onani, bagi orang yang tidak sabar atas satu orang istri atau lebih dari satu, misalnya, secara ekonomi dan nafkahnya , serta pada saat yang sama dia tidak ingin terjerumus kepada yang haram.
Yang jelas, nikah mut’ah bersandar pada Al-Quran dan sunnah, dan sahabat pernah melakukan itu selama beberapa masa. Kalau sekiranya mut’ah itu adalah zina, maka itu berarti Al-Quran, Nabi dan para sahabat telah menghalalkan zina dan para pelakunya telah berbuat zina dalam masa yang cukup lama. Kami berlindung kepada Allah dari keyakinan seperti ini.
Di samping itu juga, penghapusan hukum nikah mut’ah tersebut tidak berdasarkan Al-Quran dan sunnah, dan tidak ada dalil yang kuat dan jelas.[4]
Akan tetapi, meskipun Syi’ah Ja'fariyah menghalal-kan nikah seperti inu, dengan adanya nash Al-Quran dan sunnah, mereka sangat menganjurkan dan mengutama-kan nikah daim dan menegakkan nilai-nilai keluarga, karena hal itu adalah dasar dan pilar masyarakat yang kuat dan sehat, dan tidak condong kepada nikah sementara yang dalam bahasa syariat dinamakan mut’ah, meskipun halal dan disyariatkan.
Sehubungan dengan itu, Syi’ah Imamiyah bersandar pada Al-Quran, hadis dan pendidikan serta nasehat-nasehat Imam-Imam Ahlul Bait a.s. yang menyembunyi-kan segala penghormatan untuk wanita dan memberikan nilai yang besar kepadanya, dan di bidang kedudukan wanita, masalah-masalahnya serta hak-haknya, terutama dalam pergaulan etika bersamanya, seperti; kepemilikan, nikah, talak, pengasuhan, penyusuan, ibadah, mu’amalat (hukum-hukum syar’i yang mengatur hubungan kepen-tingan individual dan layak untuk di cermati dalam riwayat-riwayat para imam dan fiqih mereka).
Referensi:
[4] . Lihat hadis-hadis mut’ah dalam kitab-kitab Shahih, Sunan dan Musnad yang otentik menurut mazhab-mazhab Islam.
Nikah Mut’ah: Apakah Nabi Pernah Bolehkan Zinah / Maksiat???
Apakah Nabi Muhammad SAW yg maksum pernah membolehkan maksiyat / pelacuran? Hati2 ini masalah aqidah bagi yg menyamakan nikah Mut’ah = Pelacuran.
“Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan (nikah) mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR Muslim)
“Rasulullah SAW pernah memberikan kelonggaran (rukhsah) pada tahun Autas mengenai mut’ah selama 3 (tiga) hari, kemudian beliau melarangnya”. (HR Muslim)
http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/20.-Nikah-Mutah.pdf
Tahun Authas adalah perang Fathu Makkah yang terjadi bulan Ramadhan tahun ke-8 H. 3 tahun sebelum Nabi wafat.
Dari Salamah bin Akwa`Ra, ia berkata : “Rasulullah SAW telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami”. HR Muslim, 9/157, (1405)]
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Ra : “Sesungguhnya Nabi SAW melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[HR Muslim, 9/161, (1407)]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” [Tafsir al Qur`anil ‘Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449)]
Dari berbagai hadits, Nikah Mut’ah pada awal Islam dibolehkan oleh Nabi. Jadi jika kita menyatakan Nikah Mut’ah itu sama dgn perzinahan atau pelacuran, sama saja kita menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai membolehkan perzinahan atau pelacuran dan sebagian sahabat melakukan perzinahan dan pelacuran. Itu namanya menghina Nabi dan sahabat.
Selain waktu nikah yang sudah ditentukan sebelumnya, semua syarat dan rukun Nikah Mut’ah sama dgn Nikah biasa termasuk Iddah selama 3 bulan usai cerai. Artinya seorang wanita hanya melayani seorang suami sewaktu menikah. Tidak boleh seorang istri yang menikah melayani lebih dari 1 pria saat menikah Mut’ah. Usai cerai pun tetap harus menunggu masa iddah selama 3 bulan. Tidak boleh langsung menikah.
Kalau ada nikah kontrak seperti di Puncak Bogor, tapi tidak pakai iddah, itu bukan Nikah Mut’ah, tapi pelacuran.
Baik nikah Mut’ah di Syi’ah atau pun Nikah Misyar di Wahabi (di mana seorang suami boleh tidak menafkahi istrinya) itu tidak lazim di kalangan Aswaja. Bukan pernikahan yang ideal. Jadi harus dihindari sebisa mungkin. Cuma berlebihan menghina Nikah Mut’ah sehingga menyamakannya dengan pelacuran atau zina sama saja dengan menghina Nabi dan sahabat karena ternyata Nabi berulangkali membolehkannya meski berulangkali juga kemudian mengharamkannya pada Futuh Mekkah, perang Khaibar, perang Hunain, bahkan pada Haji Wada’
Jika kita kaji Al Qur’an, bahkan paling tidak ada 4 ayat Al Qur’an yang menyebut kata “MUT’AH”. Jadi menghina “MUT’AH” itu bukan hanya menghina Nabi dan para sahabat, tapi juga menghina Allah. Jangan sampai karena kejahilan dan kebencian kita yang berlebihan pada satu kaum, akhirnya menghina Allah dan RasulNya serta para sahabat.
Berikut 4 ayat Al Qur’an yang mengandung kata “MUT’AH”:
“Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” [Al Ahzab 49]
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al Baqarah:241]
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” [Al Ahzab 29]
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. …” [Al Baqarah:236]
Belajar agama hendaknya di masjid-masjid dan musholla2 terdekat dgn guru-guru yang sanadnya sampai ke Nabi. Bukan cuma dari internet. Banyak website2 internet meski labelnya Islam, tapi dikelola oleh kaum Khawarij yang muncul di akhir zaman (sesudah abad 18 Masehi) yang justru banyak berisi fitnah dan mengadu domba sesama muslim.
Nikah Mut'ah
Syi'ah meyakini bahwa nikah ada dua macam, (1) daim, permanen, dan (2) muwaqqat, temporer. Nikah daim dilakukan untuk waktu yang tak terbatas, sementara nikah muwaqqat atau yang dalam istilah fiqh lebih dikenal dengan sebutan nikah mut'ah masa berlakunya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Nikah mut’ah halal hukumnya dan memiliki banyak kesamaan dengan nikah daim. Antara lain: (1) perlunya mahar, (2) tidak adanya penghalang pada pihak perempuan, (3) ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah anak, di mana anak-anak yang lahir buah nikah mut'ah sama posisinya dengan anak-anak yang lahir hasil nikah daim, sedikitpun tidak berbeda, dan (4) kewajiban iddah sesudah perpisahan. Semua ketentuan di atas diyakini Syi'ah dengan sepenuhnya. Dengan kata lam, nikah mut'ah adalah nikah dalam arti sebenarnya.
Akan tetapi tentu saja ada perbedaan-perbedaannya dengan nikah daim, yaitu antara lain: (1) suami tidak wajib memberi nafkah lahir kepada isteri dan (2) kedua-duanya, suaini-isteri, tidak saling mewarisi. Adapun anak-anak, mereka mewarisi kedua orang tuanya, Demikian pula sebaliknya.
Apa pun persoalannya, kehalalan nikah mut'ah ini dipahami Syi'ah dari al-Quran yang berkata:
Perempuan-perempuan yang kamu nikmati, (menikahinya secara mut'ah) berikanlah maharnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban atasmu.(QS. 4:24)
Mengomentari ayat ini, banyak ahli hadis terkemuka dan mufassir temarna menegaskan bahwa ayat tersebut memang menerangkan kehalalan nikah mut’ah. Antara lain dapat dilihat pada kitab Tafsir Thabari yang banyak mengutip riwayat-riwayat Nabi saw yang menegaskan kehalalan nikah mut’ah ini. Demikian pula kesaksian sejumlah besar sahabat Nabi saw. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kitab Tafsir al-Durr al-Mantsur dan Sunan Baihaqi, di mana keduanya banyak mengutip riwayat-riwayat tentang kehalalan nikah mut’ah. Bahkan dalam kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainnya, banyak diriwayatkan hadis-hadis tentang berjalannya nikah mut’ah pada masa Rasulullah saw, meskipun harus diakui terdapat pula riwayat-riwayat yang berseberangan.
Sejumlah fuqaha Sunni percaya bahwa nikah mut’ah memang halal di zaman Rasulullah saw, tapi kehalalannya sudah dibatalkan atau mansukh. Sebagian lainnya percaya bahwa hingga akhir hayat Rasulullah saw, hukum nikah mut’ah tidak pernah dimansukh, tetap halal. Tetapi kemudian haram karena Khalifah Umar telah membatalkannya. Populer pemyataan Umar:
Dua mut’ah yang dulu halal di zaman Rasulullah, aku haramkan dan akan kuhukum pelakunya, yaitu mut’ah perempuan dan mutab haji.[3]
Dengan demikian ada tiga pendapat di kalangan Sunni mengenai kehalalan nikah mut’ah ini. Pertama, menganggap nikah mut’ah telah dibatalkan kehalalannya sejak zaman Rasulullah saw. Kedua, pembatalannya terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn al-Khattab. Dan ketiga, menolaknya sama sekali; tapi pendapat ketiga ini praktis sedikit sekali.
Perbedaan pandangan seperti ini, sangat lumrah dalam ilmu fiqh. Akan tetapi fuqaha Syi'ah sepakat bahwa nikah mutali halal hukurnnya dan tidak pernah dibatalkan kehalalannya, baik di zaman Rasulullah, apalagi sesudah wafatnya. Bahkan tidak boleh membatalkan suatu hukum yang telah ditetapkan kehalalannya oleh Rasulullah saw.
Syi'ah meyakini bahwa jika kehalalan nikah mut'ah tidak disalahgunakan ia akan memberikan solusi yang sangat baik bagi berbagai problerna sosial, khususnya orang-orang muda yang karena sesuatu dan lain hal belum dapat membina rumah tangga permanen dan para musafir yang terpaksa berpisah dengan keluarganya untuk waktu yang lama karena pekerjaan-pekerjaan mereka. Mengharamkan nikah mut’ah buat kelompok-kelompok ini akan mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuahin maksiat; lebih-lebih di era kita saat ini, dimana usia perkawinan semakin meningkat dan pengumbar-pengumbar syahwat semakin meraja-lela. Karena itu, jika jalan ini ditutup maka pasti akan semakin membuka jalan maksiat.
Tapi kehalalan hukum nikah mut'ah ini tidak boleh disalahgunakan. Tidak boleh dijadikan alat untuk mengumbar hawa nafsu atau menyeret perempuan ke lembah kemaksiatan dan kenistaan. Syiah sangat menentang hal ini dan menentang keras segala praktik macam ini. Tapi penyalahgunaan oleh beberapa budak nafsu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus hukum ini dari akarnya. Itu tidak mungkin. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mencegah penyalagunaan kehalalan hukum nikah ini, bukan menghapusnya.
Mazhab-mazhab fiqih sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang halal. Rasulullah saw menghalalkannya dengan wahyu dari Allah SWT dalam suatu waktu. Mereka hanya berselisih pendapat dalam hal kelanjutan kehalalannya. Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa kehalalan nikah mut'ah itu tetap berlaku dan tidak ada hadis yang menghapuskannya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab yang empat (mazhab-mazhab Ahlusunah) yang mengharamkannya karena ketentuan itu sudah dihapus.
Karena kehalalan nikah mut'ah merupakan hal yang khusus terdapat dalam fiqih Syi'ah, maka kami akan membahasnya dengan bersandar pada Al-Qur'an dan sunah secara garis besar. Sehingga pembaca yang mulia mengetahui asal mula pensyariatannya dan tidak adanya penghapusan (naskh) terhadap apa yang telah ditegaskan Al-Qur'an dan sunah ini. Sedangkan pendapat sebagian ulama bahwa nikah mut'ah itu sama sekali tidak pernah disyariatkan dan pengakuan bahwa hukum tersebut sudah dihapus adalah bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah. Di samping itu, sebagian besar sahabat dan tabi 'in mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan tersebut dihalalkan dan menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menghapuskannya. Hanya 'Umar bin al-Khaththab yang melarangnya menurut inisiatifnya sendiri atau ijtihad pribadi yang tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan'hujah bagi orang lain. Hal serupa berlaku pada mut'ah haji (haji tamattu) yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw.
Nikah mut'ah adalah pernikahan seorang perempuan merdeka jika tidak ada perintang-berupa hubungan nasab, persusuan, status sudah bersuami, dalam masa 'iddah, dan larangan-larangan syariat lainnya-dengan mahar tertentu hingga batas waktu tertentu atas dasar keridhaan dan kesepakatan. Jika batas waktu itu telah berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak. Jika telah bercampur, ia harus menunggu masa 'iddah seperti masa 'iddah dalam talak-bagi yang belum menopous-kalau ia masih mengalami haid. Jika ia tidak mengalami haid, masa 'iddahnya adalah 45 hari.
Anak yang diperoleh dari pernikaan mut'ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayah dan bernasab kepadanya. la juga berhak mendapat warisan yang telah Allah SWT wasiatkan kepada kita dalam Al-Qur'an. Selain itu, ia juga berhak memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah, dan ibu. pemikian pula, kepamanan berkenaan dengan sauara-saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan, paman, dan bibi.
Pendek kata, perempuan yang dinikah mut'ah adalah istri yang hakiki, dan anaknya pun adalah anak yang hakiki. Tidak ada perbedaan di antara dua pernikahan-pernikahan permanen dan pernikahan mut'ah-kecuali satu hal. Yaitu, dalam pernikahan mut'ah tidak ada pewarisan dan pemberian nafkah di antara suamiistri kecuali yang disyaratkan dalam akad nikah, seperti halnya 'azl. Perbedaan-perbedaan parsial ini merupakan perbedaan-perbedaan dalam hukum, bukan dalam esensi.. Sebab, esensi kedua jenis pernikahan itu sama kecuali yang pertama bersifat temporal dan yang kedua bersifat permanen. Selain itu, yang pertama berakhir dengan berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam akad nikah, sedangkan yang kedua berakhir bila terjadi talak atau pembatalan akad nikah.
Kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt telah mensyariatkan pernikahan i.ni dalam masa awal Islam. Tidak seorang pun meragukan prinsip pensyariatannya. Yang menjadi perselisihan pendapat hanyalah dalam hal apakah syariat itu sudah dihapus atau masih tetap berlaku.
Landasan pensyariatannya adalah firman Allah SWT, "... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan ( dalam perkawinan) dua perempuan yang
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri ) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya ( dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. " (QS. an-Nisa' [4]: 23-24)
Ayat ini menjelaskan nikah mut'ah karena beberapa alasan berikut:
Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen
1. Menjadikan Pengulangan Hukum yang Tidak Perlu
Surah ini. yakni surah an-Nisa., menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hak-hak perempuan. Disebutkan jenis-jenis pernikahan pada awal surah dengan susunan khusus. Adapun pernikahan permanen telah ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil; maka (kawinilah) seorang saja. “(QS. an-Nisa [4]: 3)
Tentang hukum-hukum mahar telah disebutkan dalam ayat berikutnya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jikamereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa. [4]: 4)
Allah SWT juga berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk kawin lagi dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. (QS. an-Nisa' [4]: 19)
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan ( menanggung) dosa yang nyata? (QS. an-Nisa' [4]: 20)
Sedangkan tentang menikahi budak-budak telah dijelaskan dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. " ( QS. an-Nisa' [ 4] : 25 )
Firman Allah SWT min ma malakat aymanukum ( dari budak-budak yang kamu miliki) menunjukkan pernikahan majikan dengan budaknya. Hal ini dijelaskan juga dalam firman-Nya, "kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 6)
Firman Allah swt karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka menunjukkan pernikahan budak milik orang lain.
Sampai di sini, selesailah penjelasan tentang jenis-jenis pernikahan. Tidak ada lagi jenis pernikahan yang tersisa selain nikah mut'ah. Itulah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan menyamakan firman Allah: fa mastamt'tum dengan pernikahan permanen. Dan firman Allah: fa atuhunna ujurohunna dengan mahar dan sedekah, menjadikan penyebutan hukum yang berulang-ulang.
Akan dijelaskan kepada Anda keberadaan nikah mut'ah pada pennulaan Islam. Tidaklah pantas Pemberi syariat (Allah) mengabaikan hukumnya.
Orang yang memperhatikan surah tersebut akan mengetahui bahwa ayat-ayatnya menjelaskan jenis-jenis pernikahan dengan susunan khusus. Hal itu tidak terwujud kecuali dengan mengartikan kandungan ayat itu dengan nikah mut'ah, sebagaimana yang tampak pada lahiriah ayat tersebut.
2. Penjelasan para Sahabat tentang Turunnya Ayat Tersebut.
Sejumlah besar ahli hadis menjelaskan bahwa ayat tersebut -turun berkenaan dengan nikah mut'ah. Periwayatan mereka sampai kepada Ibn ' Abbas, Ubay bin Ka 'ab, ‘Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin 'Abdullah al-Anshari, Hubaib bin Abi Tsabit, Sa'id bin Jubair, dan lain-lain dari kalangan ahli hadis yang tidak mungkin merekayasa hadis dan membuat kebohongan.
Para mufasir dan ahli hadis telah menyebutkan turunnya ayat tersebut.
1. Imam mazhab Hanbali, Ahmad bin hanbal, dalam Musnadnya.
2. Abu Ja 'far athThabari dalam Tafsir-nya.
3. Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur'an.
4. Abu Bakar al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
5. Mahmud bin 'Umar az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf
6. Abu Bakar bin Sa'dun al-Qurthubi dalam tafsir Jami' al-Ahkam al-Qur'an.
7. Fakhruddin ar-Razi dalaffi MaJatih al-Ghayb.
Masih banyak lagi ahli hadis dan mufasir yang datang setelah itu hingga masa kita ini. Saya tidak akan memperpanjang pembahasan ini dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Tidak seorang pun menuduh para ulama tersebut dengan menyebutkan apa yang tidak mereka fatwakan. Dengan memperhatikan bukti-bukti ini, tidak diragukan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nikah mut'ah.
Makna ayat itu adalah: Sesungguhnya Allah swt mensyariatkan bagi kamu pernikahan selain yang diharamkan untuk mencari dengan hartamu apa yang dapat melindungimu, memelihara kesucian dirimu, dan mencegahmu dari perzinaan. Jika kamu menikah untuk bersenang-5enang, bayarkanlah maskawinnya kepada mereka.
Pada dasamya, tujuan pernikahan itu adalah untuk memelihara diri. Tujuan itu dapat terwujud melalui semua jenis pernikahan, baik pernikahan permanen, pernikahan mut'ah, maupun pernikahan dengan budak milik orang lain yang disebutkan dalam surah ini dari awal hingga ayat 25.
Inilah yang dipahami setiap orang dari lahiriah ayat-ayat tersebut. Namun, orang-orang yang tidak berhati bening mengambil lahiriah ayat: famlis tamta'tum bihi minhunna fa 'tuhunna ujurahunna (maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) karena dorongan nafsu atau lingkungan yang berusaha menerapkan makna ayat tersebut pada akad pernikahan permanen. Dalam masalah ini ia menyebutkan beberapa keraguan yang tidak berarti apa-apa setelah diberi bantahan. Berikut ini rangkumannya.
Pertama, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk membina keluarga dan meneruskan keturunan. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pernikahan permanen, tidak melalui pernikahan temporal (nikah mut'ah) yang hanya menghasilkan kecuali kepuasan syahwat dan mencurahkan sperma.
Jawab: ia telah mencampur-adukkan antara masalah ini dan manfaat yang dihasilkannya. Apa yang ia sebutkan hanyalah dari aspek hikmah. Padahal, hukum berbeda dengan hikmah. Karena keadaan terpaksa, suatu pernikahan dikatakan sah walaupun dilakukan tanpa memperhatikan tujuan-tujuan di atas, seperti pernikahan dengan perempuan mandul, yang telah menopous, dan anak di bawah urnur. Bahkan kebanyakan orang yang menikah pada usia muda melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk menyalurkan hasrat dan memenuhi dorongan syahwat melalui cara yang sah. Mereka sarna sekali tidak berpikir untuk mencari keturunan walaupun akhirnya keturunan itu mereka peroleh juga. Hal itu tidak merusak keabsahan pernikahan mereka.
Adalah mengherankan, memberikan batas bahwa tujuan nikah mut'ah adalah untuk memenuhi hasrat semata-mata. Padahal, pernikahan tersebut, seperti juga pernikahan permanen, kadang-kadang dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, mengabdi, membina rumah tangga, serta mendidik, menyusui, dan merawat anak-anak walaupun hal seperti itu jarang ditemui.
Karni ingin bertanya kepada orang-orang yang melarang nikah mut'ah, yang menganggap pernikahan tersebut menyalahi hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan pernikahan. Kami bertanya kepada mereka tentang suami-istri yang menikah dengan pernikahan permanen tetapi mereka berniat untuk bercerai setelah dua bulan. Apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak? Saya kira tidak ada seorang pun dari ahli fiqih Islam yang melarang hal itu kecuali apabila ia mengeluarkan fatwa tanpa dalil dan burhan. Dengan demikian, tampaklah dengan jelas keabsahan pernikahan ini. Tidak ada perbedaan antara pernikahan mut’ah dan pernikahan permanen seperti ini selain pada jenis pertama disebutkan jangka waktunya sedangkan pada jenis kedua tidak disebutkan jangka waktunya?
Penulis tafsir al-Manar berkata, "Mengingat adanya penegasan para ulama terdahulu dan para ulama kemudian dalam melarang nikah mut’ah, maka pernikahan (permanen) dengan niat akan bercerai pun harus dilarang. Kalau para ahli fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang dilakukan itu-sementara suami meniatkannya untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak disyaratkan dalam redaksi (shighat) akad, melainkan menyembunyikannya dalam hati-adalah sah, hal itu dipandang sebagai tipuan dan kebohongan. Akad seperti itu lebih pantas dibatalkan daripada akad yang mensyaratkan ditentukannya jangka waktu (dalam redaksinya)."
Kita asumsikan bahwa suami-istri itu rela dengan ketentuan jangka waktu tersebut sehingga tidak terdapat usaha penipuan dan kebohongan. Maka akad pernikahan itu sah tanpa dapat disangkal lagi.
Kedua, menghalalkan nikah mut’ah adalah bertentangan dengan apa yang ditegaskan dalam al-Qur'an, seperti firman Allah swt ketika menyebutkan. sifat-sifat kaum Mukmin, "... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-7)
Yang dimaksud dengan firman-Nya Barangsiapa yang mencari adalah orang-orang yang berpaling dari apa yang telah dihalalkan Allah kepada apa yang diharamkan-Nya. Perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri yang memperoleh hak-hak dari suami, dengan cara yang baik.
Keraguan itu dapat dijawab. Hal itu merupakan pengakuan tanpa bukti. Sebab, ia adalah seorang istri dan ada hukum-hukum yang mengaturnya. Tidak adanya pemberian nafkah dan pembagian harta tidak mengubah statusnya sebagai seorang istri. Perempuan yang berbuat durhaka kepada suami tetap berstatus sebagai istri, tetapi ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan hak pembagian. Seperti itu pula perempuan yang dinikahi dalam usia kanak-kanak. Anehnya, mereka berdalil dengan tidak adanya hukum-hukum yang menafikan esensi tersebut. Padahal, pernikahan mengikatkan antara suami dan istri yang menyebabkan timbulnya sejumlah hukum. Kadang-kadang sebagian hukum itu mengkhususkan sebagian yang lain.
Ketiga, laki-laki yang melakukan nikah mut'ah tidak bermaksud memelihara kesucian diri. Melainkan ia hanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksualnya. Kalaupun ia bertujuan untuk memelihara kesucian dirinya agar tidak jatuh ke dalam perzinaan, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan yang melacurkan dirinya setiap jangka waktu tertentu kepada seorang laki-laki. Keadaan perempuan itu seperti yang dikatakan penyair:
Bola dilempar dengan tongkat perak
laki-laki demi laki-laki menangkapnya.
Jawab: dari mana diketahui bahwa memelihara kesucian diri hanya dilakukan oleh laki-laki~ tidak oleh perempuan. Jika kita asumsikan bahwa akad nikah itu sah, maka dengan cara ini masing-masing dari kedua pihak itu menjaga kesucian dirinya. Jika tidak, tidak diragukan bahwa ia akan jatuh ke dalam perzinaan. Yang dapat memelihara pemuda dan pemudi dari perzinaan adalah salah satu dari tiga hal berikut:
1. Pernikahan permanen.
2. Pernikahan mut'ah dengan cara yang telah disebutkan.
3. Menahan dorong seksual.
Cara pertama, kadang-kadang tidak mudah dilakukan, terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi yang hidup dari uang kiriman yang tidak seberapa dari orangtua mereka atau beasiswa dari pemerintah. Menahan dorongan seksual adalah sesuatu yang tidak mudah. Tidak ada yang dapat melakukannya kecuali orang pemuda dan pemudi yang sempurna. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Maka tidak ada cara lain selain cara kedua. Cara ini dapat memelihara pemuda dan pemudi dari mendatangi rumah-rumah pelacuran.
Agama Islam adalah agama penutup semua agama; Nabinya merupakan penutup para nabi; Kitabnya merupakan penutup semua kitab suci; syariatnya merupakan penutup semua syariat.
Karenanya Islam harus memberikan solusi menurut syariat bagi setiap permasalahan. Dengan cara itu Islam akan memelihara kemuliaan kaum Mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Masalah seksual pada laki-laki dan perempuan tidak mungkin diabaikan oleh agama Islam. Ketika itu, dengan sendirinya muncul pertanyaan berikut.
Apa yang harus dilakukan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak mampu melakukan pernikahan permanen, tetapi kemuliaan dan agama mereka melarang mereka mendatangi rumah-rumah pelacuran, sementara keindahan kehidupan materialistis mengobarkan api syahwat dalam diri mereka? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu mustahil seseorang dapat memelihara kesucian dirinya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Tidak ada lagi cara lain selain menempuh pernikahan mut'ah yang merupakan solusi terbaik untuk menghindari perzinaan. Ada satu ucapan ‘Ali bin Abi Thalib yang selalu terngiang di telinga, yang memperingatkan akan memuncaknya masalah ini jika penanggulangannya dengan cara yang diajarkan Pemberi syariat diabaikan. ' Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali laki-laki atau perempuan yang celaka."
Menyamakan pernikahan mut'ah dengan apa yang disebutkan dalam syair di atas menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap hakikat dan definisi nikah mut'ah. Yang disebutkan dalam syair itu adalah nikah mut’ah periodik yang dituduhkan oleh orang itul dan yang lain kepada Syi’ah. Padahal, kaum Syi’ah sendiri berlepas diri dari kebohongan ini. Sebab, setelah berakhir jangka waktu yang ditentukan, perempuan yang dinikahi mut'ah harus menunggu masa ‘iddah seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, bagaimana mungkin ia menjajakan dirinya setiap saat kepada laki-laki? Mahasuci Allah dari kelancangan mereka dalam membuat dusta dan kebohongan kepada Syi’ah. Isi dari syair itu hanyalah satu bentuk kelancangan terhadap wahyu dan syariat Ilahi. Padahal, para ahli hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa nikah mut'ah itu telah disyariatkan. Kalaupun ada larangan atau penghapusan hukum, hal itu hanyAlah datang setelah nikah mut’ah itu disyariatkan dan dilaksanakan.
Keempat, ayat itu telah dihapus dengan sunah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kapan masa penghapusan itu dilakukan. Berikut ini beberapa pendapat tentang itu:
1. Nikah mut'ah dibolehkan, kemudian dilarang pada saat terjadi Perang Khaybar.
2. Mut'ah tidak dihalalkan kecuali pada 'umrah qadha.
3. Nikah mut'ah dihalalkan, lalu dilarang pada saat Penaklukan kota Makkah.
4. Nikah mut'ah dibolehkan pada saat terjadi peperangan, tetapi kemudian dilarang.
Pernyataan-pernyataan ini menafikan keyakinan adanya penghapusan hukum ( naskh) , sebagaimana penghapusan hukum Al Qur'an dengan hadis ahad yang sangat dilarang. Diriwayatkan sebuah hadis sahih dari 'Imran bin al-Hushain bahwa ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT menurunkan (ayat tentang) nikah mut'ah dan tidak melarangnya. Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukan pernikahan mut'ah dan tidak melarangnya. Kemudian seseorang mengatakan menurut pendapatnya sendiri." Seseorang yang ia maksud ialah 'Umar bin al-Khaththab.
Khalifah kedua itu tidak mengatakan adanya penghapusan. Melainkan ia menetapkan larangan itu berdasarkan pendapatnya sendiri. Kalau ada nas dari Al1ah ' Azza wa Jalla atau dari Rasulullah saw yang menghapusnya, tentu ia menetapkan larangan itu berdasarkan keduanya. Telah tersebar,luas ucapan 'Umar di atas mimbar, "Ada dua mut'ah yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya meIarangnya dan akan menghukum siapa saja yang melakukannya. Yaitu, mut’ah haji dan mut'ah (dalam menikahi) perempuan. Bahkan, seorang ahli kalam mazhab Asy'ariyah menukil dalam Syarh 'ala Syarh at-Tajrid, bahwa 'Umar mengatakan, "Wahai orang-orang, ada tiga hal yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya melarang dan mengharamkannya, serta menghukum siapa saja yangmelakukannya. Yaitu mut'ah haji, mut'ah (dalam menikahi) perempuan, dan (ucapan) hayya 'ala khayril 'amat dalam azan."
Telah diriwayatkan dari Ibn ' Abbas-ia termasuk orang-orang yang menjelaskan kehalalan mut'ah dan membolehkannya-bahwa ia menanggapi orang yang mendebatnya dengan pelarangan dari Abu Bakar dan 'Umar. la berkata, "Hampir turun hujan batu dari langit kepadamu. Saya katakan, 'Rasulullah saw bersabda ...', sedangkan kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan 'Umar berkata ...'"
Bahkan ketika Ibn 'Umar ditanya tentang mut'ah, ia memberi fatwa tentang kehalalannya. Kemudian mereka mempertentangkannya dengan ucapan ayahnya. Tetapi ia bertanya kepada mereka, "Perintah siapakah yang lebih patut diikuti, perintah Rasulullah saw atau perintah 'Umar?"
Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada penghapusan dan pelarangan dari Nabi saw. Yang ada hanyalah pengharaman dari khalifah. Pada dasarnya, pelarangan itu merupakan ijtihad melawan nas yang jelas. Selain itu, sejumlah sahabat terus-menerus menyatakan penolakan mereka terhadapnya dan ketidakpatuhan mereka pada perintahnya itu. Apabila khalifah itu berijtihad karena alasan-alasan yang dilihatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, yang utama bagi orang-orang yang mengikutinya adalah bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam membenarkannya tanpa hujah dan dalil.
Orang-orang yang Menolak Larangan Itu
Telah kami sebutkan bahwa sejumlah besar sahabat dan tabi'in menolak larangan itu dan tidak mengakuinya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
1. ' Ali Amirul Mukminin. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Imam ‘Ali, bahwa Imam ' Ali berkata, "Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
2. ' Abdullah bin 'Umar. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin 'Umar, bahwa ia-setelah ditanya tentang nikah mut'ah-berkata, "Demi Allah, pada zaman Rasulullah saw kami tidak berzina.” Selanjutnya ia berkata, "Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sebelum hari kiamat, pasti muncul al-Masih ad-Dajjal dan tiga puluh pendusta atau lebih.”
3. ' Abdullah bin Mas'ud. AI-Bukhari meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas'ud, bahwa ia berkata, "Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw dan tidak membawa sesuatu apa pun. Lalu kami bertanya, 'Bolehkah kami berkebiri?' Namun, beliau melarang hal itu. Kemudian beliau memberikan keringanan kepada kami agar menikahi perempuan hingga jangka waktu tertentu. Kemudian beliau membaca ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai urang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Ma'idah [4]: 87)
4. 'lmran bin Hushain. Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan hadis darinya. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah. Maka kami melaksanakannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat Al-Qur'an yang mengharamkannya dan beliau pun tidak melarangnnya hingga beliau wafat. Seseorang hanya mengatakan menurut pendapatnya sendiri sekehendak hatinya.
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abu Raja' dari 'Imran bin Hushain. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah dan kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat yang melarangnya dan Nabi saw pun tidak melarangnya hingga beliau wafat.
5. Selain itu, seorang khalifah Abbasiyyah, al-Ma'mun, pada masa pemerintahannya hampir menyerukan penghalalan nikah mut'ah. Namun, ia merasa khawatir akan munculnya fitnah dan perpecahan di tengah kaum Muslim. Ibn Khalkan mengutip ucapan Muhammad bin Manshur: Kami bersama al-Ma'mun dalam suatu perjalanan menuju Syam. Lalu ia memerintahkan agar diserukan penghalalan nikah mut'ah. Kemudian Yahya bin Aktsam berkata kepada saya dan Abu al-' Ayna ' , "Datanglah kepadanya besok pagi-pagi sekali. Kalau kalian melihat kesempatan untuk berbicara maka berbicaralah. Jika tidak, maka diamlah hingga saya masuk." Esok harinya kami menemuinya, sementara ia sedang bersiwak (menyikat gigi). Sambil berjongkok ia berkata, " Ada dua mut'ah yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan zaman Abu Bakar ra tetapi saya malarangnya. Siapakah engkau, berani-beraninya melarang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar ra?" Sambil memberi isyarat kepada Muhammad bin Manshur, Abu al-' Ayna' berkata, "Orang ini berbicara tentang 'Umar bin al-Khaththab, apakah perlu kita jawab?' Namun kami diam saja sampai akhimya. Lalu Yahya bin Aktsam datang. la duduk dan kami pun duduk. Al-Ma'mun bertanya kepada Yahya, "Mengapa aku lihat engkau berubah?" Yahya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, ini adalah perasaan sedih karena sesuatu telah terjadi pada Islam." AI-Ma'mun bertanya, "Apa yang terjadi pada Islam?" Mauhammad bin Manshur men.jawab, "Seruan menghalalkan zina..” Al-Ma'mun bertanya, "Zina?' Muhammad bin Manshur menjawab, "Benar. Nikah mu'tah adalah zina." Al-Manshur be:tanya lagi, Dari mana engkau mengetahui hal ini?" la menjawab, Dari Kitab Allah' Azza wa Jalla dan hadis Rasulullah saw Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orangorang yang menunaihan zahat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya hecuali terhadap istri-istri mereha atau budak yang mereka miliki. Maha sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorangyang melampaui batas" (QS. al-Mu'minun [23]: 1-7). Wahai Amirul Mukminin, apakah perempuan yang dinikah mut'ah itu adalah budak yang dimiliki?" Al-Ma'mun menjawab, "Bukan." Muhammad bin Manshur bertanya lagi, “ Apakah ia istri yang di sisi Allah mewarisi dan mewariskan, serta mempunyai anak (yang dinasabkan kepadanya) , dan dipenuhi syarat-syaratnya?" Al-Ma'mun menjawab, "Tidak." Maka Muhammad bin Manshur berkata, "Maka orang yang melampaui batas dalam kedua hal ini termasuk orang-orang yang melampaui batas (yang disebutkan dalam ayat di atas)."
Saya katakan: Ibn Aktsam telah menyimpang jauh-dan ia termasuk orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada ahlulbait-dengan menganggap bahwa nikah mut'ah termasuk dalam firman Allah SWT, ...kecuali kepada istri-istri mereka dan bahwa tidak adanya pewarisan merupakan takhshish dalam hukum.
Padahal, hal itu tidak menafikan berlaku hukum tersebut. Betapa banyak hal serupa itu, seperti istri yang kafir tidak mewarisi harta suami yang Muslim, begitu pula sebaliknya; istri yang membunuh suaminya tidak mendapat warisan harta darinya, demikian pula sebaliknya. Adapun anak, tentu bemasab kepadanya. Menafikan penasaban anak ini muncul karena ketidaktahuan terhadap hukum nikah mut’ah atau berpura-pura tidak mengetahuinya.
Betapa buruk yang ia ucapkan. la menafsirkan nikah mut’ah dengan perzinaan. Padahal, umat ini telah menerima kehalalannya pada zaman Rasulullah saw dan khalifah pertama. Apakah Ibn Aktsam mengira bahwa Rasulullah saw menghalalkan perzinaan Walaupun dalam jangka waktu yang singkat?
Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari khalifah (‘Umar) sendiri. Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu semata-mata keputusan menurut pendapatnya sendiri, tidak bersandar pada satu ayat atau satu hadis pun.
Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Ibn Abi Nadhrah. la berkata: Ibn .Abbas memerintahkan mut’ah, sedangkan Ibn Zubair melarangnya. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Jabir. Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan mut’ah bersama Rasulullah saw. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia berkata, Sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Maka sempumakanlah haji dan 'umrah dan laksanakanlah pernikahan ini (permanen-penej.). Namun,jika ada" seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertenu (nikah mut'ah), pasti aku akan merajamnya dengan batu.."
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadis dari Abu Nadhrah. la berkata: Saya berkata kepada Jabir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut'ah, sedangkan Ibn 'Abbas memerintahkannya. Maka Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan nikah mut'ah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar. Ketika 'Umar diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak, 'Sesungguhnya Al-Qur'an adalah Al-Qur’an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang rasul. Keduanya memberlakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah saw. Yang pertama adalah mut'ah dalam haji (haji tamattu') dan yang kedua adalah mut'ah (dalam menikahi) perempuan."
Dari hadis-hadis di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut:
1. Kehalalan nikah mut'ah tetap berlaku hingga zaman kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththab hingga saat ia melarangnya.
2. Dengan ijtihadnya sendiri ia memberlakukan pengharaman terhadap apa yang dihalalkan dalam Al-Qur'an dan sunah. Seperti telah diketahui, ijtihadnya-kalaupun dapat disebut ijtihad-adalah hujah yang berlaku bagi dirinya sendiri, tidak berlaku bagi orang lain.
Akhimya, kami katakan: Ketidaktahuan terhadap fiqih Syi'ah menyebabkan banyak penulis mereka-reka perkataan atas nama Syi'ah, khususnya dalam masalah nikah mut'ah yang sedang kita bahas. Mereka melemparkan berbagai pendapat dan hukum-hukum. Hal itu menunjukkan ketidaktahuan dan niat buruk mereka. Ucapan-ucapan itu di antaranya bahwa di antara hukum-hukum nikah mut'ah dalam mazhab Syi'ah adalah tidak adanya hak anak terhadap warisan ayahnya, dan bahwa perempuan yang dinikah mut'ah tidak memiliki masa 'iddah sehingga ia dapat berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain jika ia mau. Karena itu, mereka memandang buruk dan menolak pernikahan mut’ah. Mereka pun mencela orang-orang yang menghalalkannya.
Hakikat yang sebenamya tidak mereka ketahui. Yaitu, Pertama, pernikahan mut'ah menurut Syi’ah adalah seperti pernikahan permanen. Pernikahan itu tidak sah kecuali dilakukan melalui akad yang mengisyaratkan adanya tujuan pernikahan itu secara jelas. Kedua, perempuan yang dinikah mut’ah harus terhindar dari seluruh penghalang (bukan muhrim). Ketiga, anak yang dihasilkan dari pernikahan itu adalah seperti anak yang diperoleh dari pernikahan permanen Dalam hal wajibnya mendapat warisan, pemberian nafkah, dan hak-hak material lainnya. Keempat, perempuan yang dinikah mut’ah itu harus menunggu masa ‘iddah setelah jangka waktu pernikahan itu berakhir dan jika telah bercampur. Apabila suaminya meninggal dunia dan ia berada dalam pemeliharaannya, ia harus menunggu ‘iddah seperti yang berlaku Dalam pernikahan permanen tanpa ada perbedaan. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Suatu hal yang harus kita perhatikan dan kita ketahui dengan jelas adalah bahwa walaupun kaum Syi'ah mempercayai dan meyakini kehalalan nikah mut'ah dan tidak ada sesuatu yang mengharamkannya-itulah yang mereka nyatakan dengan jelas dan tanpa ragu-tetapi mereka tidak serta-merta melaksanakan pernikahan itu kecuali dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang ketat. Hal itu tidak seperti yang digambarkan dan dibayangkan oleh sebagian orang yang tersebar di tengah masyarakat mereka dan dalam bentuk yang sejelek-jeleknya.
Kami dan Doktor Muhammad Fathi Ad-Darini
Akhirnya, saya tahu ada sebuah buku tentang nikah mut'ah yang ditulis oleh As-Sa'ih ' Ali Husain dengan judul al-Ashl fi al Asyya' ...? Walakin al-Mut’ah Haram (Hukum Asal dalam Segala Sesuatu ...Tetapi Mut'ah itu Haram). Buku itu diterbitkan oleh Dar Qutaibah dan diberi kata pengantar oleh Doktor Muhammad Fathi ad-Darini, dekan fakultas Syariah, Universitas Damaskus.
Ada dua hal yang mendorong saya membuat komentar ini, yaitu :
1. Judul buku. Buku itu diberi judul dengan judul yang telah Anda ketahui. Penulisnya berusaha untuk menegaskan bahwa prinsip yang utama dalam segala sesuatu adalah kehalalan, dan mut'ah termasuk di dalamnya. Akan tetapi, ia mengecualikan nikah mut'ah dari prinsip itu dengan dalil tersebut. Kalau tidak begitu, tentu ditetapkan hukumnya sebagai halal. Dengan kata lain, ia berusaha menampakkan kebenaran satu pihak (yang mengatakan tentang kehalAlan mut'ah) untuk sementara tetapi yang prinsip itu berada di pihaknya. Akan tetapi, ia mengecuAlikannya dari prinsip itu dengan dalil yang terputus.
2. Kata pengantar dari Doktor ad-Darini dengan pena suci tanpa umpatan dan celaan kepada lawan yang berpendapat bahwa pernikahan mut'ah itu halal. Sikapnya dalam memelihara etika berdiskusi patut dihargai. Sebenarnya, orang seperti ia sedikit jumlahnya di kAlangan penulis tentang akidah Syi'ah dari sudut pandang Ahlusunah. Kebanyakannya-kecuAli beberapa orang saja di antara mereka-tidak membedakan antara tuduhan dan celaan, dan kadang-kadang mengafirkan-kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri karni.
Dengan itu semua; kami memperhatikan apa yang ditulisnya. Tampaklah bahwa sebagiannya merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, agar pembaca mengetahui butir-butir kesalahan dalam tulisannya, kami sebutkan hal-hal yang paling penting disertai komentar terhadapnya. Sedangkan sebagiannya lagi telah disebutkan ketika mendiskusikan beberapa keraguan.
Tentang judul, kami katakan bahwa para ahli fiqih dan ahli ushul berpendapat bahwa prinsip dalam segala sesuatu adalah kehalalan. Tetapi prinsip itu tidak mencakup darah, harga diri, dan harta karena asalnya adalah keharaman. Hal itu diketahui oleh orang yang sedikit pengetahuan tentang fiqih sekalipun. Oleh karena itu, kami melihat bahwa Allah SWT menetapkan prinsip berkenaan dengan darah adalah keharaman tetapi mengecualikan satu kasus, yaitu pembunuhan yang dibenarkan syariat. Allah swt berfirman, "... dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali (dengan) alasan yang benar" (QS. Al-Furqan [25]: 68). Selain itu, Allah memberikan penjelasan seperti itu berkenaan dengan harga diri dan kelamin. Allah swt berfirman, "... dan orang-orangyang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-6)
Adapun tentang prinsip keharaman berkenaan dengan harta, cukuplah den:gan firman Allah swt, "... janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu" ( QS. anNisa' [4]: 29). Selain itu, Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya." Maka penggunaan harta orang lain adalah haram kecuali jika ia merelakannya.
Berdasarkan hal itu, prinsip berkenaan dengan pernikahan mut'ah yang merupakan upaya untuk menjaga kemaluan adalah haram dan untuk mengecuAlikannnya dari prinsip itu diperlukan dalil, serta pendapat para ahli ushul bahwa prinsip dalam segAla sesuatu adalah kehalalan mengacu pada kasus-kasus selain ini. Yaitu, yang mengacu pada pemanfaatan unsur-unsur alami oleh manusia.
Berdasarkan hal ini juga, apa yang diupayakan penulis buku itu yang menunjukkan keluwesan dalam pembahasannya sejalan dengan pendapat saudaraya dari kaum Syi'ah tentang kehalalan pernikahan mut'ah-menurut prinsip utama. Akan tetapi, dalil-dalil telak mendorongnya untuk menyatakan keharamannya. Hal itu merupakan upaya yang keliru dan tidak pada tempatnya. Saya mengira bahwa penulis itu tidak menguasai masalah-masalah ini.
Buku itu-tanpa bermaksud mengingkari dan mengurangi hak penulisnya-menyerupai sebuah novel, bukan buku fiqih. Selain itu, saya merasa heran, mengapa Doktor ad-Darini mau memberikan kata pengantar untuk buku ini. oleh karena itu, saya merasa tidak perlu mendiskusikan isinya. Kami merasa cukup dengan mengkajinya dari kata pengantarnya saja.
Tentang kata pengantar itu, telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, dalam menjelaskannya kami sertakan juga beberapa komentar setelah mengutipnya bagian demi bagian secara ringkas. Sebab, jika dinukil seluruhnya, tentu akan menyebabkan pembahasan ini menjadi bertele-tele.
Untuk memudahkan pembaca memahami dua paragraf itu, kami memerinci setiap tema dengan memberikan nomor dengan angka Romawi.
I. Hukum-hukum Syariat Mengikuti Kemaslahatan
Profesor itu berkata, "Telah disepakati di antara para ahli ushu1 dan fukaha-yang pendapat-pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad-bahwa hukum-hukum syariat Islam memiliki maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat secara pasti melalui penetapan hukum-hukumNya. Para muhaqqiq telah mengisyaratkan prinsip tersebut, yaitu bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan hamba."
Selanjutnya ia mengatakan, "Imam asy-Syathibi telah menuljs kitab al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah wa Maqashiduha. Di situ ia menegaskan bahwa hukum-hukum syariat, selain aspek-aspek ibadah(ta'abbudiyyah), memiliki tujuan-tujuan yang dikehendaki Pembuat syariat dalam penetapan hukum-Nya. Karena itu, tidak ada artinya wasilah jika wasilah itu menyimpang atau bertentangan dengan tujuannya.
Berikut ini beberapa catatan atas ungkapan di atas.
1.Bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan adalah sesuatu yang dibenarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis dari Keluarga Suci. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (meminum) khamar; berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamardan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). " (QS alMa'idah [5]: 90-91)
Masih banyak ayat-ayat tentang pensyariatan hukum. Isinya menunjukkan kepentingan-kepentingan yang menjadi sebab disyariatkannya suatu hukum.
Tentang hadis-hadis dari para imam ahlulbait, Syekh ash Shaduq Muhammad bin 'Ali bin Babawaih (306-381) telah menghimpunnya dalam sebuah kitab beljudul 'Ilal asy-Syarayi'. Kitab itu memuat ilmu para imam ahlulbait yang sepantasnya dirujuk oleh setiap orang. Kitab itu disusun sebelum asy-Syathibi atau guru-gurunya lahir. Syi'ah Imamiyah terkenal dengan fahamnya yang mengatakan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan karena mengikuti para imam mereka, sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab fiqih dan ushul mereka. Maka menekankan perhatian pada masalah ini adalah seperti memindahkan kurma ke dalam kantung.
2. Syekh al-Asy'ari, imam yang sangat terkenal di kalangan Ahlusunah, termasuk orang-orang yang menolak prinsip di atas dan memandangnya sebagai pembatasan terhadap kehendak Allah swt. la berkeberatan untuk memutlakkannya. Hal ini tampak jelas bagi mereka yang merujuk pada kitab-kitab Asy'ariyah dalam masalah-masalah ushul dan furu'. Mereka mencela orang-orang yang mengatakan bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Tetapi -mengapa profesor ini mengatakan bahwa prinsip tersebut merupakan, pendapat yang telah disepakati di kalangan para ahli ushu1 dan fukaha. Yah, ia membatasi orangorang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan, dengan orang-orang yang pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad.
Saya tidak menyangka bahwa Imam al-Asy'ari dan sejumlah ulama yang mengikutinya termasuk orang-orang yang pendapat mereka tidak dipandang sebagai timbangan Ilmu dan ijtihad.
3. Profesor itu, karena mengikuti Imam asy-Syathibi, mengatakan bahwa prinsip yang mengatakan hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan kecuali masalah-masalah ibadah. Namun, saya tidak melihat adanya pengecualian di situ. Padahal, dalil yang sama menunjukkan bahwa prinsip tersebut berlaku untuk segala hal (termasuk masalah-masalah ibadah). Yaitu, untuk memelihara tindakan Allah SWT dari kesia-siaan. Dalil ini berlaku untuk masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah bukan peribadatan.
Benar, kadang-kadang kita tidak sampai pada tujuan-tujuan yang dimaksud dalam peribadatan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa masalah peribadatan terlepas dari prinsip tersebut. Allah SWT berfirman, "... dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaha [20]: 14). Allah juga berfirman, "Sesungguhnya salat itu mencegah dari. (Perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al-'Ankabut [29]: 45). Tentang puasa, Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. " ( QS. alBaqarah [2] : 183)
Mengecualikan masalah-masalah peribadatan dari prinsip itu sama saja dengan membatasi kaidah akal. Padahal, seperti telah diketahui, kaidah akal tidak dapat dibatasi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hasil dari perkalian dua dengan dua adalah empat (2 x 2 = 4) kecuali dalam kasus tertentu.
Orang-orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum harus mengikuti syarat-syarat dan kriteria-kriteria adalahorang-orang yang berpendapat tentang kehujahan akal dalam istinbath (deduksi) hukum-hukum syariat dalam bab al-Mulazamat al'Aqliyyah (rasional inherent) dan sebagainya. AkAl yang menetapkan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan tidak membedakan antara masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah lain, antara praktik ibadah dan ushul seraya mengatakan bahwa Pembuat syariat itu adalah Yang Mahabijaksana. Zat Yang Mahabijaksana terpelihara tindakan-Nya dari kesia-siaan. Maka hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya mengandung tujuan-tujuan untuk kepentingan hamba-hamba-Nya -dan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengamalkannya dengan benar.
II. Tujuan Utama Pernikahan: Membina Keluarga
Doktor itu mengatakan bahwa pernikahan dalam Islam disyariatkan bagi tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an secara jelas. Semuanya kembali pada pembinaan keluarga utama yang merupakan cikal bakal masyarakat Islam. Dengan sifat-sifat dasarnya herupa kesucian diri, kesucian hadan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial-kemudian untuk menegaskan prinsip tersehut ia berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Selanjutnya ia mengatakan, "Ketika Allah mengaitkan pernikahan dengan naluri seksual, hal itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi dorongan seksual. Melainkan yang Dia maksudkan adalah mengarah kepada terwujudnya tujuan tersebut heserta sifat-sifat dasarnya berupa pembentukan keluarga yang hukum-hukumnya telah ditetapkan secara terperinci dalam Al-Qur'an." Oleh karena itu, pernikahan mut'ah yang luput dari tujuan reproduksi dan pembinaan keluarga menggugurkan tujuan yang dimaksudkan Pembuat syariat dari setiap prinsip disyariatkannya pernikahan itu.
Berikut ini catatan atas ungkapan di atas. Pertama:Profesor ini telah mencampuradukkan 'illat pensyariatan dengan hikmahnya. 'lllat adalah kutub tempat berputamya suatu hukum. Hukum itu berlaku jika ada 'illat. Sebaliknya, hukum itu gugur jika tidak ada 'illat Ini berbeda dengan hikrnah. Kadang-kadang hukum lebih luas daripada hikrnah. Berikut ini penjelasannya.
Pembuat syariat mengatakan, "Jauhilah minuman yang memabukkan." Mabuk merupakan'illat bagi wajibnya menjauhi minuman tersebut dengan bukti adanya keterkaitan di antara keduanya. Selama cairan itu memabukkan, maka hukum itu tetap berlaku. Tetapi, jika cairan itu beruhah menjadi cuka, maka hukum itu pun menjadi gugur.
Dalam ayat lain, Allah swt herfirman, "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allahdan hari akhirat" (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Kandungan ayat ini mengungkapkan bahwa "menahan diri" adalah untuk mengetahui keadaan rahim, apakah mengandung anak atau tidak. Seperti telah diketahui, ini adalah hikrnah dari hukum tersebut, bukan 'illat-nya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa hukum itu lebih luas daripada hikmah. Dalilnya, para fukaha menetapkan hukum wajibnya "menahan diri" untuk mengetahui ada atau tidak adanya kehamilan di dalam rahim perempuan itu. Sepeti itu pula dalam kasus-kasus berikut:
1. Apabila perempuan itu mandul, tidak melahirkan anak.
2. Apabila laki-laki yang mandul.
3. Apabila suami meninggalkannya dalam jangka waktu yang lama, misalnya enam bulan atau lebih, dan kita tahu bahwa tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
4. Apabila melalui pemeriksaan medis, diketahui tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
Ayat itu adalah ayat hukum walaupun tidak ada hikmah dari hukum tersebut. Hal ini tidak menafikan apa yang telah kita sepakati bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Sebab, yang dimaksud adalah kriteria-kriteria untuk kebanyakan kasus, tidak untuk seluruh kasus.
Apabila Anda telah mengetahui perbedaan antara hikmah dan 'illat, Anda akan mengetahui bahwa profesor ini telah mencampuradukkan antara 'illat dan hikmah. Maka pembinaan keluarga, reproduksi, dan solidaritas sosial semuanya muncul dari sisi hukum dengan dalil bahwa Pembuat syariat juga menetapkan hukum sahnya pernikahan walaupun dilakukan bukan untuk tujuan-tujuan di atas, seperti dalam kasus-kasus berikut:
1. Sah pernikahan laki-laki yang mandul dengan perempuan yang subur.
2. Sah pernikahan perempuan yang mandul dengan laki-laki yang subur.
3. Sah pernikahan perempuan yang sudah mengalami menopous.
4. Sah pernikahan anak di bawah umur. .
5. Sah pernikahan seorang pemuda dengan seorang pemudi dengan niat tidak akan memiliki anak sepanjang hidupnya.
Apa, menurut profesor ini, boleh membatalkan pernikahan-pernikahan seperti ini dengan alasan tidak bertujuan untuk membina keluarga?
Padahal sudah jelas, kebanyakan pasangan muda yang menikah melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk memenuhi dorongan seksual dan memperoleh kenikmatan melalui cara yang halal. Mereka tidak berpikir untuk menghasilkan keturunan, walaupun akhimya hal itu diperoleh juga.
Kedua, profesor itu harus membedakan antara orang yang menikah mut'ah untuk tujuan memperoleh keturunan dan membina keluarga beserta sifat-sifat dasarnya berupa kesucian diri, kesucian badan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial dan orang yang menikah untuk memenuhi dorongan seksual semata melalui cara ini.
Adapun, mengapa ditempuh pernikahan sementara atau mut'ah? Karena adanya beberapa kemudahan dalam pernikahan mut'ah yang tidak diperoleh dalam pernikahan permanen.
Profesor itu, seperti kebanyakan orang dari kalangan Ahlusunah yang menulis tentang pernikahan mut'ah, menganggap perempuan yang dinikahi dengan pernikahan mut'ah seperti para pelacur yang selalu membuka pintu rumahnya. Setiap hari, seorang laki-laki menemuinya, dan pada hari itu ia berkumpul dengannya, kemudian laki-laki itu meninggalkannya. Kemudian datang laki-laki lain melakukan hal serupa. Kalau ini makna pernikahan mut'ah, maka Syi'ah Imamiyah serta para imam, para rasul, dan kitab-kitabnya berlepas diri dari syariat yang serupa dengan perzinaan tetapi berbeda nama ini. Akan tetapi, pernikahan mut'ah itu berbeda 100 persen dari pernikahan tersebut. Kadang-kadang ada perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia masih muda dan cantik; di sisi lain, ada laki-laki yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen karena kendala-kendala sosial yang menghadangnya. Bersamaan dengan itu, ia mencari perempuan seperti perempuan tadi, lalu menikahinya dengan beberapa tujuan: pertama, menghindari perzinaan, dan kedua, membina keluarga dengan sifat-sifat yang dimiliki perempuan tersebut.
Sebenamya, pikiran yang tersimpan dalam benak penulis itu dan orang-orang lain tentang pernikahan mut'ah adalah menganggap pernikahan tersebut sama dengan pelacuran di rumah-rumah bordil dan tempat-tempat lainnya. Padahal, tidak mungkin pernikahan seperti itu ditetapkan dengan syariat. Selain itu, pernikahan mut’ah yang disyariatkan tidak seperti itu. Kadangkadang pernikahan mut'ah itu berlangsung hanya sehari semalam. Maka dalam pernikahan mut'ah itu ditetapkan syarat-syarat seperti yang berlaku dalam pernikahan permanen. Namun, pernikahan mut’ah berbeda dengan pernikahan permanen dalam dua hal, yaitu dalam talak dan pemberian nafkah. Sedangkan dalam pewarisan, mereka saling mewariskan. Hal semacam itu menuntut tujuan-tujuan yang dituntut dalam pernikahan pada umumnya. Kami telah menjelaskan hakikat pernikahan mut'ah dalam pembahasan di atas.
Sebenamya, tujuan utama dalam setiap kasus yang diberi keringanan oleh Pembuat syariat dalam hal hubungan kelamin dengan segala bagian-bagiannya hingga pemilikan budak dan kehalalan mencampurinya adalah untuk; memelihara diri agar tidak jatuh ke dalam perzinaan dan pelacuran. Adapun tujuantujuan lain berupa pembinaan keluarga dan solidaritas sosial hanyalah tujuan-tujuan sekunder sebagai suatu konsekuensi baik dimaksudkan oleh suami-istri itu maupun tidak.
Tujuan utama itu terdapat dalam pernikahan mut'ah. Tujuan disyariatkannya pernikahan mut'ah itu adalah untuk memelihara diri dari perbuatan haram bagi orang yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen. Karena itu, telah tersebar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Semoga Allah merahmati 'Umar. Pernikahan mut'ah itu adalah rahmat dari Allah yang diberikan kepada umat Muhammad. Kalau ia tidak melarangnya, niscaya tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kecuali orang yang celaka."
(Scondprince/Syiah-Ali/Kabar-Islamia/Manhaj/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Tulisan ini dibuat dengan tujuan memaparkan kepada para pembaca yang ingin mengenal mazhab Syi’ah secara objektif. Mengapa Syi’ah menghalalkan nikah mut’ah?. Jawaban mereka adalah Al Qur’an dan hadis Ahlul Bait telah menghalalkannya. Kalau kita tanya ayat Al Qur’an mana yang menyatakan tentang nikah mut’ah maka mereka akan menjawab ayat berikut:
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga bagi kamu menikahi] wanita-wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [QS An Nisaa’ : 24].
Sebelumnya dalam salah satu tulisan disini, kami sudah menunjukkan kepada pembaca bahwa terdapat dalil shahih dalam kitab Ahlus Sunnah bahwa An Nisa ayat 24 di atas yaitu lafaz “maka istri-istri yang telah kamu nikmati diantara mereka” merujuk pada nikah mut’ah. Silakan lihat selengkapnya disini.
___________________________________
Adakah Ayat Al Qur’an Tentang Nikah Mut’ah?
Syiah menyatakan kalau nikah mut’ah dihalalkan dan terdapat ayat Al Qur’an yang menyebutkannya yaitu An Nisaa’ ayat 24. Salafy yang suka sekali mengatakan nikah mut’ah sebagai zina berusaha menolak klaim Syiah. Mereka mengatakan ayat tersebut bukan tentang nikah mut’ah.
وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ كِتَابَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآَتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَاضَيْتُمْ بِهِ مِنْ بَعْدِ الْفَرِيضَةِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan [diharamkan juga kamu mengawini] wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki [Allah telah menetapkan hukum itu] sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian [yaitu] mencari istri-istri dengan hartamu untuk dinikahi bukan untuk berzina. Maka wanita [istri] yang telah kamu nikmati [istamta’tum] di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana [An Nisaa’ ayat 24].
Telah diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa “penggalan” An Nisaa’ ayat 24 ini berbicara tentang nikah mut’ah. Hal ini telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin yang dikenal sebagai salafus salih [menurut salafy sendiri]. Alangkah lucunya kalau sekarang salafy membuang jauh-jauh versi salafus salih hanya karena bertentangan dengan keyakinan mereka [kalau nikah mut’ah adalah zina].
Riwayat Para Shahabat Nabi
حدثنا ابن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن أبي مسلمة عن أبي نضرة قال قرأت هذه الآية على ابن عباس “ فما استمتعتم به منهن ” قال ابن عباس “ إلى أجل مسمى ” قال قلت ما أقرؤها كذلك! قال والله لأنزلها الله كذلك! ثلاث مرات
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abi Maslamah dari Abi Nadhrah yang berkata : aku membacakan ayat ini kepada Ibnu Abbas “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum]”, Ibnu Abbas berkata “sampai batas waktu tertentu”. Aku berkata “aku tidak membacanya seperti itu”. Ibnu Abbas berkata “demi Allah, Allah telah mewahyukannya seperti itu” [ia mengulangnya tiga kali] [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih. Para perawinya tsiqat atau terpercaya. Riwayat ini juga disebutkan Al Hakim dalam Al Mustadrak juz 2 no 3192 dan Ibnu Abi Dawud dalam Al Masahif no 185 semuanya dengan jalan dari Syu’bah dari Abu Maslamah dari Abu Nadhrah dari Ibnu Abbas.
- Muhammad bin Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in menyatakan tsiqat. Adz Dzahiliy berkata “hujjah”. Abu Hatim berkata shalih al hadits shaduq”. Abu Arubah berkata “aku belum pernah melihat di Bashrah orang yang lebih tsabit dari Abu Musa [Ibnu Mutsanna] dan Yahya bin Hakim”. An Nasa’i berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Khirasy berkata “Muhammad bin Mutsanna termasuk orang yang tsabit”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Al Khatib berkata “tsiqat tsabit”. Daruquthni berkata “termasuk orang yang tsiqat”. Amru bin ‘Ali menyatakan tsiqat. Maslamah berkata “tsiqat masyhur termasuk hafizh” [At Tahdzib juz 9 no 698]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit” [At Taqrib 2/129]. Adz Dzahabi berkata tsiqat wara’ [Al Kasyf no 5134].
- Muhammad bin Ja’far Al Hudzaliy Abu Abdullah Al Bashriy yang dikenal dengan sebutan Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ali bin Madini berkata “ia lebih aku sukai daripada Abdurrahman [Ibnu Mahdi] dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim berkata dari Muhammad bin Aban Al Balkhiy bahwa Ibnu Mahdi berkata “Ghundar lebih tsabit dariku dalam periwayatan dari Syu’bah”. Abu Hatim, Ibnu Hibban dan Ibnu Sa’ad menyatakan tsiqat. Al Ijli menyatakan ia orang bashrah yang tsiqat dan ia adalah orang yang paling tsabit dalam riwayat dari Syu’bah [At Tahdzib juz 9 no 129].
- Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]
- Abu Maslamah adalah Sa’id bin Yazid bin Maslamah Al Azdi perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Al Ijli, Al Bazzar menyatakan tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [At Tahdzib juz 4 no 168]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 1/367].
- Abu Nadhrah adalah Mundzir bin Malik perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Sa’ad, Ahmad bin Hanbal menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 10 no 528]. Ibnu Hajar menyatakan tsiqat [At Taqrib 2/213].
حدثنا حميد بن مسعدة قال حدثنا بشر بن المفضل قال حدثنا داود عن أبي نضرة قال سألت ابن عباس عن متعة النساء قال أما تقرأ ” سورة النساء ” ؟ قال قلت بلى! قال فما تقرأ فيها ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ؟ قلت لا! لو قرأتُها هكذا ما سألتك! قال : فإنها كذا
Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah yang berkata telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mufadhdhal yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud dari Abi Nadhrah yang berkata : aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang nikah mut’ah. Ibnu Abbas berkata : tidakkah engkau membaca surah An Nisaa’?. Aku berkata “tentu”. Tidakkah kamu membaca “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu”?. Aku berkata “tidak, kalau aku membacanya seperti itu maka aku tidak akan bertanya kepadamu!. Ibnu Abbas berkata “sesungguhnya seperti itulah” [Tafsir Ath Thabari 6/587 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini juga shahih sanadnya. Humaid bin Mas’adah termasuk perawi Ashabus Sunan dan Muslim. Abu Hatim berkata “shaduq”. Ibnu Hibban memasukkanya dalam Ats Tsiqat. Nasa’i menyatakan tsiqat [At Tahdzib juz 3 no 83]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/246]. Adz Dzahabi berkata “shaduq” [Al Kasyf no 1257]. Bisyr bin Mufadhdhal adalah perawi kutubus sittah yang dikenal tsiqat. Abu Hatim, Abu Zur’ah, Nasa’i, Ibnu Hibban, Al Ijli, Ibnu Sa’ad dan Al Bazzar menyatakan ia tsiqat [At Tahdzib juz 1 no 844]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat tsabit ahli ibadah” [At Taqrib 1/130]. Dawud bin Abi Hind adalah perawi Bukhari dalam At Ta’liq, Muslim dan Ashabus Sunan. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Ibnu Ma’in, Al Ijli, Ibnu Khirasy, Ibnu Sa’ad, Abu Hatim dan Nasa’i menyatakan tsiqat. [At Tahdzib juz 3 no 388]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat mutqin [At Taqrib 1/283].
حدثنا عبد الله حدثنا نصر بن علي قال أخبرني أبو أحمد عن عيسى بن عمر عن عمرو بن مرة عن سعيد بن جبير ” فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ” وقال هذه قراءة أبي بن كعب
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Ali yang berkata telah mengabarkan kepadaku Abu Ahmad dari Isa bin ‘Umar dari ‘Amru bin Murrah dari Sa’id bin Jubair “maka wanita yang kamu nikmati [istamta’tum] sampai batas waktu tertentu” ia berkata “ini adalah bacaan Ubay bin Ka’ab” [Al Masahif Ibnu Abi Dawud no 130].
Riwayat ini shahih para perawinya tsiqat. Abdullah adalah Abdullah bin Sulaiman bin Al Asy’at As Sijistani atau yang dikenal dengan Abu Bakar bin Abi Dawud, ia adalah seorang hafizh yang tsiqat dan mutqin [Irsyad Al Qadhi no 576]. Nashr bin Ali Al Jahdhamiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/243]. Abu Ahmad Az Zubairi adalah Muhammad bin ‘Abdullah bin Zubair perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit hanya saja sering salah dalam hadis dari Ats Tsawriy [At Taqrib 2/95]. Isa bin Umar Al Asdiy adalah perawi Tirmidzi dan Nasa’i yang tsiqat [At Taqrib 1/773]. ‘Amru bin Murrah Abu Abdullah Al Kufiy perawi kutubus sittah yang tsiqat dan ahli ibadah [At Taqrib 1/745]. Sa’id bin Jubair Al Asdiy adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih [At Taqrib 1/349].
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Abu Kuraib dari Yahya bin Isa dari Nushair bin Abi Al Asy’at dari Ibnu Habib bin Abi Tsabit dari ayahnya dari Ibnu Abbas. [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Para perawinya tsiqat kecuali Yahya bin Isa Ar Ramliy.
Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi Bukhari dalam Adabul Mufrad, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Ahmad bin Hanbal telah menta’dilnya. Al Ijli menyatakan ia tsiqat tasyayyu’. Abu Muawiyah telah menulis darinya. Nasa’i berkata “tidak kuat”. Ibnu Ma’in berkata dhaif atau tidak ada apa-apanya atau tidak ditulis hadisnya. Maslamah berkata “tidak ada masalah padanya tetapi di dalamnya ada kelemahan”. Ibnu Ady berkata “kebanyakan riwayatnya tidak memiliki mutaba’ah” [At Tahdzib juz 11 no 428]. Ibnu Hajar berkata “jujur sering salah dan tasyayyu’” [At Taqrib 2/311-312]. Adz Dzahabi berkata “shuwailih” [Man Tukullima Fihi Wa Huwa Muwatstsaq no 376]. Ibnu Hibban menyatakan kalau ia jelek hafalannya banyak salah sehingga meriwayatkan dari para perawi tsiqat riwayat bathil tidak berhujjah dengannya [Al Majruhin no 1221]. Kesimpulannya Yahya bin Isa Ar Ramliy adalah perawi yang hadisnya bisa dijadikan syawahid dan mutaba’ah.
Ibnu Jarir juga meriwayatkan bacaan Ubay bin Ka’ab ini dengan jalan sanad dari Ibnu Basyaar dari Abdul A’la dari Sa’id dari Qatadah [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy]. Ibnu Basyaar adalah Muhammad bin Basyaar seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 2/58]. Abdul A’la bin Abdul A’la adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat [At Taqrib 1/551]. Sa’id bin Abi Arubah adalah perawi kutubus sittah seorang hafizh yang tsiqat mengalami ikhtilat dan orang yang paling tsabit riwayatnya dari Qatadah [At Taqrib 1/360]. Qatadah As Sadusiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/26].
Secara keseluruhan riwayat-riwayat ini saling menguatkan dan menunjukkan kalau bacaan tersebut shahih dari Ubay bin Ka’ab. Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas membaca bacaan tersebut dengan“Famastamta’tum bihi minhunna ila ajali musamma”. Adapun perkataan Ibnu Jarir yang menafikan bacaan kedua sahabat ini merupakan kecerobohan yang nyata,
وأما ما روي عن أبيّ بن كعب وابن عباس من قراءتهما ( فما استمتعتم به منهن إلى أجل مسمى ) ، فقراءة بخلاف ما جاءت به مصاحف المسلمين وغير جائز لأحد أن يلحق في كتاب الله تعالى شيئًا لم يأت به الخبرُ القاطعُ العذرَ عمن لا يجوز خلافه
Adapun apa yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Abbas dari bacaan mereka berdua [Famastamta’ tum bihi min hunna ila ajalin musamma], bacaan ini menyelisihi mushhaf kaum muslimin. Tidak diperbolehkan bagi siapapun untuk menambahkan dalam kitab Allah sesuatu yg tidak datang dari khabar yang qath’i dan tidak diperbolehkan menyelisihinya [Tafsir Ath Thabari 6/589 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Komentar Ibnu Jarir ini jika diperhatikan dengan baik jelas mengandung keanehan. Beliau mengesankan kalau Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab memiliki bacaan Al Qur’an yang menyelisihi bacaan kaum muslimin dan mengesankan kalau mereka berdua menambahkan sesuatu dalam Kitab Allah. Jika telah shahih dari Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab soal bacaan itu maka tidak ada gunanya menafikan tanpa dalil. Yang harus dilakukan bukannya menolak riwayat tersebut tetapi bagaimana menafsirkannya agar tidak berkesan “menambahkan sesuatu dalam kitab Allah” atau mengesankan “terjadinya tahrif Al Qur’an” versi Ibnu Abbas dan Ubay.
Masalah seperti ini bukan barang baru bagi para ulama, bacaan tentang nikah mut’ah ini bukan satu-satunya bacaan yang diriwayatkan secara shahih oleh sahabat tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Sebut saja yang paling populer adalah ayat rajam. Telah diriwayatkan oleh sahabat mengenai ayat rajam atau bacaan yang mengandung hukum rajam tetapi tidak nampak dalam mushaf kaum muslimin. Apakah ada ulama yang mengatakan bahwa bacaan itu menyelisihi mushaf kaum muslimin dan mesti ditolak?. Tidak, para ulama menafsirkan kalau bacaan tersebut sudah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak.
Lantas apa susahnya mengatakan hal yang sama untuk bacaan Ibnu Abbas dan Ubay bin Ka’ab di atas. Kita dapat mengatakan kalau bacaan “ila ajalin musamma” telah dinasakh tilawah-nya tetapi matan hukumnya tidak. Buktinya Ibnu Abbas mengakui bahwa ayat ini memang diturunkan oleh Allah SWT dan ia berdalil dengannya ketika ada yang bertanya tentang “nikah mut’ah”.
Syubhat Para Pengingkar
Kemudian ada yang berusaha mementahkan ayat nikah mut’ah ini dengan berbagai hadis yang katanya “mutawatir” tentang haramnya mut’ah. Usaha ini pun termasuk sesuatu yang aneh. Karena pada akhirnya apa yang mereka maksud mutawatir itu saling kontradiktif satu sama lain. Mereka sendiri dengan usaha yang “melelahkan” akhirnya menggeser satu demi satu hadis-hadis tersebut hingga tersisa satu hadis pengharaman mut’ah pada saat Fathul Makkah yang hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat. Jadi apanya yang mutawatir? Dan mereka menutup mata dengan berbagai hadis yang diriwayatkan sahabat dimana mereka membolehkan nikah mut’ah.
Syubhat yang paling lucu adalah pernyataan bahwa An Nisaa’ ayat 24 di atas menggunakan kata istimtaa’ bukannya kata mut’ah dan istimtaa’ menurutnya bukan diartikan mut’ah. Sungguh orang seperti ini patut dikasihani, seharusnya ia membuka dulu berbagai riwayat atau hadis untuk melihat bagaimana Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan para sahabat telah menggunakan kata istimtaa’ untuk menyebutkan nikah mut’ah. Berikut diantaranya:
حدثنا عمرو بن علي قال نا يحيى بن سعيد عن إسماعيل عن قيس عن عبد الله قال كنا نغزو مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وليس معنا نساء فاستأذنه بعضنا أن يستخصي أو قال لو أذنت لنا لاختصينا فلم يرخص لنا ورخص لنا في الاستمتاع بالثوب
Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin ‘Ali yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id dari Ismail dari Qais dari ‘Abdullah yang berkata “kami berperang bersama Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami tidak membawa wanita maka sebagian kami meminta zini untuk mengebiri atau berkata sekiranya diizinkan kepada kami untuk mengebiri maka Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidak mengizinkan kami dan Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] mengizinkan kami untuk Istimtaa’ dengan pakaian [Musnad Al Bazzar 5/294 no 1671 dengan sanad yang shahih].
Apakah maksud dari kata Istimtaa’ dengan pakaian di atas. Apakah maksudnya menikahi wanita secara permanen? Atau maksudnya menikahi wanita secara mut’ah?. Penjelasannya ada dalam hadis berikut:
حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا وكيع عن بن أبي خالد عن قيس عن عبد الله قال كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم ونحن شباب فقلنا يا رسول الله ألا نستخصي فنهانا ثم رخص لنا في ان ننكح المرأة بالثوب إلى الأجل ثم قرأ عبد الله { لا تحرموا طيبات ما أحل الله لكم }
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Ibnu Abi Khalid dari Qais dari Abdullah yang berkata “kami bersama Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] dan kami masih muda, kami berkata “wahai Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] tidakkah kami dikebiri?. Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] melarang kami melakukannya kemudian Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] memberi keringanan kepada kami untuk menikahi wanita dengan pakaian sampai waktu yang ditentukan. Kemudian ‘Abdullah membaca [Al Maidah ayat 87] “janganlah kalian mengharamkan apa yang baik yang telah Allah halalkan kepada kalian” [Musnad Ahmad 1/432 no 4113, Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata “sanadnya shahih dengan syarat Bukhari Muslim].
Maka arti kata Istimtaa’ yang digunakan oleh para sahabat adalah “menikahi seorang wanita sampai batas waktu yang ditentukan”. Tidak hanya di hadis ini, bahkan di hadis-hadis yang dijadikan hujjah pengharaman mut’ah, kata yang digunakan untuk menyebutkan “nikah mut’ah” juga dengan lafal istimtaa’.
Riwayat Para Tabi’in
Tafsir An Nisaa’ ayat 24 sebagai dalil bagi nikah mut’ah bukanlah mutlak milik syi’ah tetapi termasuk pemahaman sahabat [Ibnu ‘Abbas dan Ubay] dan tabiin seperti halnya Mujahid [seorang imam dalam tafsir], As Suddiy dan Al Hakam bin Utaibah.
حدثني محمد بن عمرو قال حدثنا أبو عاصم عن عيسى عن ابن أبي نجيح عن مجاهد فما استمتعتم به منهن قال : يعني نكاح المتعة
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim dari ‘Isa dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid “maka wanita [istri] yang kamu nikmati [istimta’] diantara mereka”, ia berkata yaitu Nikah Mut’ah [Tafsir Ath Thabari 6/586 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Mujahid. Muhammad bin ‘Amru bin ‘Abbas Al Bahiliy adalah syaikh [guru] Ibnu Jarir Ath Thabari, dan dia seorang yang tsiqat [Tarikh Baghdad 4/213 no 1411]. Abu ‘Aashim adalah Dhahhak bin Makhlad Asy Syaibani seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/444]. Isa bin Maimun Al Jurasiy Abu Musa adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 1/776]. Abdullah bin Abi Najih Yasaar Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat dan dikakatan melakukan tadlis [At Taqrib 1/541] tetapi periwayatannya dari Mujahid juga diriwayatkan oleh Bukhari Muslim. Mujahid bin Jabr Al Makkiy adalah perawi kutubus sittah seorang yang tsiqat dan Imam dalam tafsir dan ilmu [At Taqrib 2/159]
حدثنا محمد بن المثنى قال حدثنا محمد بن جعفر قال حدثنا شعبة عن الحكم قال سألته عن هذه الآية والمحصنات من النساء إلا ما ملكت أيمانكم إلى هذا الموضع فما استمتعتم به منهن أمنسوخة هي ؟ قال لا قال الحكم وقال علي رضي الله عنه لولا أن عمر رضي الله عنه نهى عن المتعة ما زنى إلا شقي
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far yang berkata telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al Hakam [Syu’bah] berkata aku bertanya kepadanya tentang ayat “dan [diharamakan juga menikahi] wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki” sampai pada ayat “maka wanita [sitri] yang telah kamu nikmati [istimta’] diantara mereka” apakah telah dihapus [mansukh]?. [Al Hakam] berkata “tidak” kemudian Al Hakam berkata dan Ali radiallahu ‘anhu telah berkata seandainya Umar radiallahu ‘anhu tidak melarang mut’ah maka tidak ada yang berzina kecuali orang yang celaka [Tafsir Ath Thabari 6/588 tahqiq Abdullah bin Abdul Muhsin At Turqiy].
Riwayat ini sanadnya shahih sampai Al Hakam. Muhammad bin Al Mutsanna adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit [At Taqrib 2/129]. Muhammad bin Ja’far Ghundar adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat shahih kitabnya kecuali pernah keliru [At Taqrib 2/63]. Syu’bah bin Hajjaj adalah perawi kutubus sittah yang telah disepakati tsiqat. Syu’bah seorang yang tsiqat hafizh mutqin dan Ats Tsawri menyebutnya “amirul mukminin dalam hadis” [At Taqrib 1/418]. Al Hakam bin Utaibah seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat tsabit faqih dikatakan melakukan tadlis [At Taqrib 1/232]. Riwayat Al Hakam menunjukkan kalau ia sendiri menafsirkan bahwa An Nisaa’ ayat 24 itu berkaitan dengan nikah mut’ah sehingga ketika ditanya apakah ayat tersebut telah dihapus ia menjawab “tidak” dan mengutip perkataan Imam Ali tentang mut’ah.
Kesimpulan:
Yang dapat disimpulkan pada pembahasan kali ini adalah memang terdapat ayat Al Qur’an yang menghalalkan nikah mut’ah yaitu An Nisaa’ ayat 24 dan telah diriwayatkan dari sahabat dan tabiin [sebagai salafus salih] bahwa ayat tersebut memang berkenaan dengan nikah mut’ah. Kalau begitu bagaimana dengan hadis-hadis pengharaman mut’ah? Ada yang mengatakan kalau hadis-hadis ini telah menasakh ayat tentang nikah mut’ah tetapi tentu pernyataan ini masih perlu diteliti kembali, insya Allah akan dibahas hadis-hadis tersebut didalam thread khusus. Kami ingatkan kepada pembaca jika ada yang menganggap penulis menghalalkan nikah mut’ah berdasarkan postingan ini maka orang tersebut jelas terburu-buru. Pembahasan tentang dalil nikah mut’ah ini masih akan berlanjut dan sampai saat itu selesai kami harap jangan ada yang mengatasnamakan penulis soal hukum nikah mut’ah.
Catatan : Terkait dengan musibah yang menimpa saudara kita di Jepang mari kita sama-sama berdoa agar mereka diberikan kesabaran dan bisa melewati masa sulit ini dengan baik.
_____________________________________
Menurut kami, agak rancu jika pengikut Syi’ah ketika berdalil dengan ayat Nikah mut’ah di atas mengambil hujjah dengan riwayat shahih Ibnu ‘Abbaas yang ada dalam kitab Ahlus Sunnah. Mengapa kami katakan rancu karena hadis ahlus sunnah tidaklah menjadi pegangan bagi kaum Syi’ah begitupun sebaliknya. Untuk perkara diskusi dengan pengikut Ahlus Sunnah memang sangat baik jika Syi’ah berhujjah dengan hadis Ahlus Sunnah tetapi ketika diminta dalil di sisi mereka soal Ayat Nikah Mut’ah maka hadis Ibnu ‘Abbas di atas tidak bisa dijadikan hujjah.
Seharusnya yang mereka lakukan adalah membawakan riwayat ahlul bait dalam mazhab Syi’ah sendiri yang menjelaskan kalau ayat tersebut memang tentang Nikah Mut’ah. Begitu banyaknya dari pengikut Syi’ah yang menukil riwayat Ibnu ‘Abbas sehingga berkesan seolah-olah dalam mazhab Syi’ah tidak ada keterangan tentang itu. Oleh karena itu kami berusaha meneliti secara objektif adakah dalil tentang ayat nikah mut’ah di atas dalam kitab hadis Syi’ah.
عدة من أصحابنا، عن سهل بن زياد، وعلي بن إبراهيم، عن أبيه جميعا، عن ابن أبي نجران، عن عاصم بن حميد، عن أبي بصير قال سألت أبا جعفر (عليه السلام) عن المتعة، فقال نزلت في القرآن فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فلا جناح عليكم فيما تراضيتم به من بعد الفريضة
Dari sekelompok sahabat kami dari Sahl bin Ziyaad. Dan dari ‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya, keduanya [Sahl bin Ziyaad dan Ayahnya Aliy bin Ibrahim] dari ‘Ibnu Abi Najraan dari ‘Aashim bin Humaid dari Abi Bashiir yang berkata aku bertanya kepada Abu Ja’far [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah?. Beliau berkata telah turun dalam Al Qur’an “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/448].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- ‘Abdurrahman bin ‘Abi Najraan Abu Fadhl seorang yang tsiqat tsiqat mu’tamad apa yang ia riwayatkan [Rijal An Najasyiy hal 235 no 622].
- ‘Aashim bin Humaid Al Hanaath seorang yang tsiqat shaduq [Rijal An Najasyiy hal 301 no 821].
- Abu Bashiir adalah Laits bin Bakhtariy Al Muradiy seorang yang tsiqat meriwayatkan dari Abu Ja’far dan Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] [Al Mufiid Min Mu’jam Rijal Al Hadits hal 476].
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن علي بن الحسن بن رباط، عن حريز، عن عبد الرحمن بن أبي عبد الله قال سمعت أبا حنيفة يسأل أبا عبد الله (عليه السلام) عن المتعة فقال أي المتعتين تسأل قال سألتك عن متعة الحج فأنبئني عن متعة النساء أحق هي فقال سبحان الله أما قرأت كتاب الله عز وجل؟ فما استمتعتم به منهن فآتوهن أجورهن فريضة فقال أبو حنيفة والله فكأنها آية لم أقرأها قط
Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu ‘Abi Umair dari Aliy bin Hasan bin Rabaath dari Hariiz dari ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah yang berkata aku mendengar Abu Hanifah bertanya kepada Abi ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang Mut’ah. Maka Beliau berkata “apakah engkau bertanya tentang dua Mut’ah?”. [Abu Haniifah] berkata “aku telah bertanya kepadamu tentang Mut’ah haji maka kabarkanlah kepadaku tentang Nikah Mut’ah apakah itu benar?. Beliau berkata “Maha suci Allah, tidakkah engkau membaca Kitab Allah ‘azza wajalla “Maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya sebagai suatu kewajiban”. Abu Haniifah berkata “demi Allah seolah-olah aku belum pernah membaca ayat tersebut” [Al Kafiy Al Kulainiy 5/449-450].
Riwayat di atas sanadnya shahih berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Aliy bin Ibrahim bin Haasyim, tsiqat dalam hadis, tsabit, mu’tamad, shahih mazhabnya [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ibrahim bin Haasyim Al Qummiy seorang yang tsiqat jaliil. Ibnu Thawus pernah menyatakan hadis yang dalam sanadnya ada Ibrahim bin Haasyim bahwa para perawinya disepakati tsiqat [Al Mustadrakat Ilm Rijal Al Hadis, Asy Syahruudiy 1/222].
- Muhammad bin Abi Umair, ia termasuk orang yang paling terpercaya baik di kalangan khusus [Syi’ah] maupun kalangan umum [Al Fahrasat Ath Thuusiy hal 218].
- Aliy bin Hasan bin Rabaath Abu Hasan Al Kuufiy seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 251 no 659].
- Hariiz bin ‘Abdullah As Sijistaniy orang kufah yang tsiqat [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 118].
- ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah adalah seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 30 no 62 biografi Ismail bin Hamaam cucu ‘Abdurrahman bin Abi ‘Abdullah].
Kedua riwayat shahih dalam kitab Syi’ah di atas membuktikan bahwa dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalil kalau ayat An Nisa 24 tersebut adalah berkenaan dengan Nikah Mut’ah.
Syubhat Atas Dalil
Ada syubhat yang disebarkan oleh para pembenci Syi’ah dimana mereka mengatakan bahwa dalam mazhab Syi’ah orang yang menikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan atau ia bukan termasuk muhshan padahal ayat di atas jelas menggunakan lafal muhshiniin. Berikut dalil dalam kitab Syi’ah yang dimaksud:
علي بن إبراهيم، عن أبيه، عن ابن أبي عمير، عن هشام، وحفص بن البختري عمن ذكره، عن أبي عبد الله عليه السلام في الرجل يتزوج المتعة أتحصنه؟ قال: لا إنما ذاك على الشئ الدائم عنده
‘Aliy bin Ibrahim dari Ayahnya dari Ibnu Abi ‘Umair dari Hisyaam dan Hafsh bin Bakhtariy dari orang yang menyebutkannya dari Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang nikah mut’ah apakah itu membuatnya ihshan?. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya hal itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178].
Riwayat di atas dhaif sesuai standar Ilmu Rijal Syi’ah karena di dalam sanadnya terdapat perawi majhul yang tidak disebutkan siapa dia.
أبو علي الأشعري، عن محمد بن عبد الجبار، عن صفوان، عن إسحاق بن عمار قال: سألت أبا إبراهيم عليه السلام عن رجل إذا هو زنى وعنده السرية والأمة يطأها تحصنها الأمة وتكون عنده؟ فقال: نعم إنما ذلك لان عنده ما يغنيه عن الزنى، قلت: فان كانت عنده أمة زعم أنه لا يطأها فقال: لا يصدق، قلت: فإن كانت عنده امرأة متعة أتحصنه؟ قال لا إنما هو على الشئ الدائم عنده
Abu ‘Aliy Al Asy’ariy dari Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar dari Shafwaan dari Ishaaq bin ‘Ammaar yang berkata aku bertanya kepada Abu Ibrahim [‘alaihis salaam] tentang seorang laki-laki yang berzina sedangkan di sisinya terdapat budak wanita yang sudah digaulinya, apakah membuat ihshan, budak wanita yang ada di sisinya?. Beliau berkata “benar, sesungguhnya hal itu karena di sisinya terdapat hal yang mencukupkannya dari zina”. Aku berkata “maka jika di sisinya terdapat budak yang ia mengaku bahwa ia tidak menggaulinya”. Beliau berkata “itu tidak dibenarkan”. Aku berkata “maka jika di sisinya ada istri mut’ah apakah itu membuatnya ihshan”. Beliau berkata “tidak, sesungguhnya itu hanyalah atas sesuatu yang da’im di sisinya” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/178].
Riwayat ini sanadny muwatstsaq berdasarkan standar Ilmu Rijal Syi’ah. Para perawinya tsiqat termasuk Ishaq bin ‘Ammaar hanya saja ia bermazhab menyimpang Fathahiy. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Abu ‘Aliy Al Asy’ariy adalah Ahmad bin Idris seorang yang tsiqat faqih banyak meriwayatkan hadis dan shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228.
- Muhammad bin ‘Abdul Jabbaar seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 391.
- Shafwaan bin Yahya Abu Muhammad Al Bajalliy seorang yang tsiqat tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 197 no 524].
- Ishaaq bin ‘Ammaar adalah seorang yang tsiqat tetapi bermazhab Fathahiy [Al Fahrasat Syaikh Ath Thuusiy hal 54].
Ihshan yang dimaksud dalam riwayat di atas adalah sesuatu yang disifatkan pada seseorang untuk menentukan hukuman yang akan ia peroleh jika ia berzina, kalau disifatkan dengan ihshan maka hukumannya rajam kalau tidak disifatkan dengan ihshan maka hukumannya cambuk. Maka ihshan disini adalah istilah khusus yang memiliki kategori-kategori tertentu yang bisa dilihat dalam berbagai riwayat shahih mazhab Syi’ah.
Terdapat dua pendapat dalam mazhab Syi’ah mengenai apakah status nikah mut’ah itu membuat seseorang disifatkan ihshan atau tidak.
- Pertama dan ini yang masyhur dari para ulama Syi’ah adalah menyatakan secara mutlak bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan ihshan. Dalilnya berdasarkan riwayat di atas dimana mereka memahami lafaz “da’im di sisinya” dengan makna nikah da’im.
- Kedua yaitu ada yang mengatakan bahwa nikah mut’ah juga disifatkan dengan ihshan jika istrinya tersebut menetap bersamanya masih bersamanya sebagai istri dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Dalilnya adalah hadis yang menetapkan kriteria muhshan sebagai orang yang di sisinya terdapat wanita yang mencukupkannya dari zina dan tidak ada halangan untuk menggaulinya. Termasuk hadis di atas menjadi dalil, dimana lafaz “da’im di sisinya” ditafsirkan dengan makna menetap bersamanya.
Dalam tulisan ini kami tidak akan membahas secara lebih rinci pendapat mana yang lebih rajih berdasarkan kaidah ilmu dalam mazhab Syi’ah. Kami akan kembali memfokuskan pada syubhat yang dilontarkan oleh para pembenci Syi’ah.
Syubhat mereka adalah dengan adanya riwayat di atas bahwa nikah mut’ah tidak disifatkan dengan ihshan maka hal ini bertentangan dengan An Nisaa’ ayat 24 yang menyebutkan pernikahan tersebut dengan lafaz muhshiniin. Oleh karena itu An Nisaa’ ayat 24 bukan berbicara tentang Nikah Mut’ah.
Syubhat ini jika dianalisis dengan objektif akan tampak tidak nyambung. Sebenarnya mereka mempertentangkan pikiran mereka sendiri. Mereka hanya melihat kesamaan lafaz tanpa memahami bahwa maksud sebenarnya yang diinginkan oleh setiap lafaz itu berbeda. Lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 itu bermakna orang yang menjaga diri dengan pernikahan. Artinya setiap muslim yang menikah baik itu dengan nikah da’im atau nikah mut’ah maka ia masuk dalam kategori muhshiniin. Apalagi dalam mazhab Syi’ah telah shahih dalilnya bahwa nikah mut’ah masuk kedalam kategori muhshiniin An Nisaa’ ayat 24 sebagaimana telah ditunjukkan sebelumnya.
Adapun lafaz ihshan dalam riwayat di atas terkait istilah yang berkaitan dengan hukum rajam. Lafaz ini memiliki kriteria atau persyaratan sendiri. Dalam mazhab Syi’ah berdasarkan riwayat-riwayat shahih maka tidak semua yang masuk kategori muhshiniin jika berzina disebut ihshan.
Bahkan orang yang tidak menikah tetapi memiliki budak wanita yang bisa digaulinya maka ia masuk dalam kategori ihshan berdasarkan riwayat shahih mazhab Syi’ah di atas, walaupun berdasarkan An Nisaa’ ayat 24 dia belum masuk kategori muhshiniin karena belum menikah. Dan orang yang menikah walaupun dengan nikah da’im [masuk dalam kategori muhshiniin] bisa saja dikatakan bukan ihshan berdasarkan riwayat berikut:
عدة من أصحابنا، عن أحمد بن محمد، عن الحسين بن سعيد، عن فضالة بن أيوب، عن رفاعة، قال: سألت أبا عبد الله عليه السلام عن رجل يزني قبل أن يدخل بأهله أيرجم؟ قال: لا
Dari sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhammad dari Husain bin Sa’id dari Fadhalah bin Ayuub dari Rifa’ah yang berkata aku bertanya kepada Abu ‘Abdullah [‘alaihis salaam] tentang seseorang yang berzina sebelum ia menyetubuhi istrinya, apakah dirajam?. Beliau berkata “tidak” [Al Kafiy Al Kulainiy 7/179].
Di sisi Al Kulainiy lafaz “sekelompok sahabat kami” dari Ahmad bin Muhammad bin Iisa tidak bermakna majhul sebagaimana yang dinukil An Najasyiy,
وقال أبو جعفر الكليني: كل ما كان في كتابي عدة من أصحابنا عن أحمد بن محمد بن عيسى، فهم محمد بن يحيى وعلي بن موسى الكميذاني وداود بن كورة وأحمد بن إدريس وعلي بن إبراهيم بن هاشم
Abu Ja’far Al Kulainiy berkata “setiap apa yang ada dalam kitabku, sekelompok sahabat kami dari Ahmad bin Muhamad bin ‘Iisa maka mereka adalah Muhammad bin Yahya, Aliy bin Muusa Al Kumaydzaaniy, Dawud bin Kawrah, Ahmad bin Idris dan Aliy bin Ibrahim bin Haasyim [Rijal An Najasyiy hal 377-378 no 1026].
Maka dari itu sanad riwayat Al Kafiy di atas kedudukannya shahih berdasarkan standar ilmu Rijal Syi’ah. Berikut keterangan mengenai para perawinya,
- Muhammad bin Yahya Al Aththaar seorang yang tsiqat [Rijal An Najasyiy hal 353 no 946]. Ahmad bin Idris Al Qummiy seorang yang tsiqat faqiih shahih riwayatnya [Rijal An Najasyiy hal 92 no 228]. Aliy bin Ibrahim bin Haasyim seorang yang tsiqat dalam hadis dan tsabit [Rijal An Najasyiy hal 260 no 680].
- Ahmad bin Muhammad bin Iisa Al Qummiy adalah seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 351]
- Husain bin Sa’id bin Hammaad seorang yang tsiqat [Rijal Ath Thuusiy hal 355].
- Fadhalah bin Ayuub Al Azdiy disebutkan oleh An Najasyiy bahwa ia tsiqat dalam hadis dan lurus dalam agamanya [Rijal An Najasyiy hal 310-311 no 850].
- Rifa’ah bin Muusa Al Asdiy meriwayatkan dari Abu ‘Abdullah, seorang yang tsiqat dalam hadisnya [Rijal An Najasyiy hal 166 no 438].
Kesimpulannya adalah lafaz Muhshiniin dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut bukan berarti bermakna ihshaan yang mengharuskan hukuman rajam. Kalau kita melihat ke dalam fiqih ahlus sunnah maka hal serupa ini juga ada yaitu orang yang masuk dalam kategori muhshiniin dengan dasar pernikahan tetapi tidak ditetapkan ihshan. Imam Syafi’i pernah berkata:
وإن أصابها في الدبر لم يحصنها
Dan sesungguhnya menggaulinya [istri] di dubur tidak disifatkan ihshan [Al Umm Asy Syafi’i 8/276].
Yang dimaksudkan oleh Imam Syafi’i adalah seorang laki-laki yang baru menikah dan menggauli istrinya bukan pada kemaluan tetapi pada duburnya kemudian ia berzina maka laki-laki tersebut tidak disifatkan ihshan. Bukankah kondisi ini serupa dengan Nikah Mut’ah yaitu masuk dalam kategori muhshiniin tetapi tidak disifatkan dengan ihshan [berdasarkan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syi’ah].
Contoh lain sebenarnya dapat dilihat dalam An Nisaa’ ayat 24 tersebut. Dalam ayat tersebut digunakan lafaz Istimta’ dan lafaz ini dalam banyak hadis shahih bermakna Nikah Mut’ah. Kemudian bagaimana tanggapan dari sebagian ulama ahlus sunnah. Mereka membantah bahwa lafaz istimta’ disana bermakna nikah mut’ah. Menurut mereka lafaz istimta’ bermakna bersenang-senang atau mencari kenikmatan dan ini juga berlaku pada nikah da’im.
Jadi dengan kata lain mereka mengatakan bahwa Istimta’ di ayat tersebut adalah nikah da’im bukan nikah mut’ah dan menurut mereka, hal ini tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang menggunakan lafaz istimta’ sebagai nikah mut’ah. Bukankah disini mereka sendiri beranggapan bahwa lafaz yang sama antara Al Qur’an dan Hadis tidak selalu menunjukkan arti yang sama. Jadi sebenarnya para pembenci Syi’ah tersebut ketika menyebarkan syubhat di atas mereka secara tidak sadar malah menentang diri mereka sendiri.
Penutup:
Dalam tulisan ini kami tidak sedang menyatakan nikah mut’ah sebagai perkara yang halal secara mutlak sebagaimana yang ada dalam mazhab Syi’ah. Kami hanya menunjukkan kepada para pembaca bahwa dalam mazhab Syi’ah dalil nikah mut’ah tersebut ada dan shahih sesuai dengan standar keilmuan mazhab mereka. Kedudukan pengikut Syi’ah dalam hal ini hanya mengikuti pedoman shahih mereka sama seperti kedudukan pengikut Ahlus sunnah yang mengharamkan nikah mut’ah berdasarkan dalil dalam kitab Ahlus Sunnah.
*****
Dialog Nikah Mut’ah
Oleh: Ayatullah Uzma Sayyid Shadiq Syirazi
Abdullah : Sementara kaum muslimin sepakat akan keharaman nikah mut’ah, mengapa Anda orang Syiah memperbolehkannya ?
Ridha : Berdasarkan ucapan Umar bin khatab bahwa Rasulullah menghalalkan dan memperbolehkan nikah mut’ah. Kamipun menganggapnya boleh.
Abdullah : Memang Nabi Saw bersebda apa ?
Ridha : Jahidz, Qurtubi, Sarkhasi Hanafi, Fakhrurazi dan masih banyak yang lain dari orang-orang terdahulu Ahli Sunnah yang menukil, bahwa Umar dalam khutbahnya berkata: “Dua mut’ah yang sebelumnya pada jaman Nabi Saw telah ada, dan aku larang keduanya dan aku akan menghukum orang yang melakukan keduanya, mut’ah haji(40) dan mut’ah nisa “(41)
Dalam buku sejarahnya Ibnu khalikan menuturkan bahwa Umar bin khatab berkata: “Dua mut’ah yang diperbolehkan pada jaman Nabi saww. dan jaman Abu Bakar, dan aku larang keduanya “.(42)
Apa pendapat anda tentang masalah ini? apakah perkataan umar “dua mut’ah yang telah disebutkan pada jaman Nabi Saw sebagai sesuatu yang halal dan boleh “ ucapan yang benar ataukah bohong?
Abdullah : Jelas Umar berbicara jujur.
Ridha : Apakah anda punya alasan kenapa mengabaikan ucapan Nabi Saw dan mengambil ucapan Umar?
Abdullah : Larangan Umar bin khatab yang menjadi alasan perbuatan ini.
Ridha : Lantas apa maknanya hadis yang berbunyi, “Halalnya Muhammad Saw, halal sampai hari kiamat. Haramnya Muhammad Saw, haram sampai hari kiamat “(43) Inilah salah satu masalah yang menjadi kesepakatan para ulama Islam tanpa kecuali.
Abdullah sejenak terdiam kemudian berpaling kearah Ridha.
Abdullah : Ucapan Anda betul, tetapi bagaimana Umar bisa mengharamkan kedua mut’ah tersebut, apa landasan Umar mengharamkannya?
Ridha : Ini merupakan ijtihad pribadinya. Namun setiap ijtihad yang bertentangan dengan nash, harus di buang dan jangan diterima.
Abdullah : Walaupun ijtihad itu datang dari orang seperti Umar bin Khatab?
Ridha :Walaupun dari orang yang lebih besar dari dia, kita tetap tidak bisa menerimanya. Menurut pendapat Anda, apakah perkataan Tuhan dan Nabi yang berhak diikuti ataukah ucapan Umar?
Abdullah : Apakah dalam al-Quran terdapat ayat yang menjelaskan mut’ah dan kebolehannya ?
Ridha : Tuhan berfirman:“…jika kalian telah bersenang-senang dengannya, maka berikanlah kepada mereka maharnya sebagai sebuah kewajiban “ (44)
Allamah Amini membawakan berbagai sumber yang banyak dari kitab-kitab ahli sunnah seperti musnad Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Semuanya menyebutkan sebab turunya aayat berkenaan dengan nikah mut’ah dan meyakini bahwa itu adalah dalil diperbolehkannya mut’ah.(45)
Abdullah : Sampai sekarang, dalam masalah ini saya belum mendengar sedikitpun.
Ridha : Dengan mengkaji kitab berharga al-ghadir, anda akan menemukan lebih dari apa yang saya utarakan. Apakah kehalalan Tuhan dan rasul-Nya bisa tersingkirkan dengan pengharaman umar? Lantas, kita ini termasuk umat siapa, umat Nabi Saw ataukah umat Umar ?!
Abdullah : Jelas, kita adalah umat Nabi Saw dan keutamaan Umar pun karena dia adalah umatnya Nabi Saw.
Ridha : Apa yang menghalangi Anda untuk mengikuti ucapan Nabi Saw ?
Abdullah : Kesepakatan kaum muslimin yang membuat saya berpendapat demikian
Ridha : Tetapi masalah ini bukanlah kesepakatan kaum muslimin.
Abdullah : Bagaimana mungkin ?
Ridha : Sebagaimana yang Anda katakan bahwa orang-orang Syiah memperbolehkan nikah mutah. Jumlah orang Syiah sekarang setengah dari jumlah kaum muslimin, kurang lebih satu milliar orang.(46) Sementara kelompok Syiah ini membolehkan dan menghalalkan nikah mut’ah, bagaimana bisa dikatakan kesepakatan kaum muslimin.
Lebih dari itu, para Imam Ma’sum as yang merupakan keluarga Nabi Saw. sesuai dengan ucapan Nabi Saw, mereka diumpamakan perahunya nabi Nuh as: “Perumpamaan Ahlul Baitku bagi kalian adalah seperti perahu nabi Nuh as., barang siapa yang menaikinya (mengikutinya) maka dia akan selamat, dan barang siapa yang menyimpang dia akan tenggelam “.(47)
Rasululah Saw juga bersabda:“Sesungguhnya aku tinggalkan dua hal yang berharga kitab Allah dan keluargaku ahli baitku. Tidak akan berpisah sampai keduanya bertemu denganku di al-haudl “. (48)
Mengikuti Ahlul Bait, merupakan sebab keselamatan dan mendekatkan diri pada Allah Swt. Sebaliknya, berpaling dari mereka dan mengikuti kepada selainnya mengakibatkan kesesatan. Ahlul Bait membolehkan nikah mut’ah serta terbukti bahwa hukum ini tidaklah dimansukh (dihapus). Orang-orang syiah pun dalam masalah ini mengikuti mereka dan mengamalkan hal itu.
Dalam sebuah riwayat dari Amiril Mu’minin as:“Seandainya Umar tidak melarang mut’ah, tidak akan terjadi perzinahan kecuali orang yang bejad “. (49)
Ucapan Imam Ali as mengandung arti bahwa pengharaman dan pelarangan mut’ah oleh Umar, menyebabkan masyarakat tidak lagi mengamalkannya, dan setiap orang yang tidak mampunyai istri, mereka terpaksa melakukan zina.
Kaum mulimin terdahulu memperbolehkan nikah mut’ah, dimana banyak dari para sahabat dan tabi’in serta kaum muslimin yang didukung ayat al-Quran dan Hadis Nabi Saw. Mereka menganggap pengharaman Umar adalah batil. Lantas atas dasar apa pengharaman mut’ah menjadi kesepakatan pendapat kaum muslimin dan kesepakan seperti apa ?
Disini saya dibawakan sebagian ucapan dari mereka yang menerima nikah mut’ah
1. Imran bin al-hashin
Dia mengatakan ayat mut’ah ada dalam al-Quran dan ayat yang lain tidak me-nasikh (menghapus) ayat ini. Rasulullah telah memerintahkan hal ini, kami bersamanya melaksanakan haji tamattu’. Setelah wafatnya, beliau tidak pernah melarang kembali tamattu’.Tetapi, seseorang (Umar bin Khatab) setelah wafatnya Nabi Saw menlarangnya berdasarkan pendapatnya sendiri“.(50)
2. Jabir bin Abdullah dan Abu sa’id khudri
Ia menuturkan” Sampai pertengahan khilafah Umar, kami masih melakukan mut’ah, hingga datangnya kejadian yang menimpa Amru bin harist. Setelah itu, Umar melarang masyarakat melakukan hal ini.
3. Abdullah bin Mas’ud
Ibnu Hazm dalam “al-mahalli“ dan Zarqani dalam “syarh al-muatha “ meyakini bahwa Abdullah bin Mas’ud termasuk orang yang tetap membolehkan nikah mut’ah.
Para penghafal hadist juga meriwayatkan darinya : “ Dalam sebuah peperangan kami berada di sisi Rasulullah Saw. Ketiak itu kami tidak bersama istri, lalu mengadu kepada Nabi Saw: Wahai utusan Tuhan, bagaimana kalua kami kebiri diri sendiri ? Beliau melarang melakukannya dan membolehkan untuk nikah mut’ah. Kemudian beliau membacakan ayat:” Janganlah kalian haramkan sesuatu yang telah Allah halalkan buat kalian. “ (51)
4. Abdullah bin Umar
Ahmad bin Hanbal dengan sanadnya dari Abdurrahman bin Naim al’Raji meriwayatkan seraya berkata: “Aku bersama Abdullah bin Umar, ketika ada seseorang bertanya kepadanya tentang mut’ah, dia berkata: Aku bersumpah demi Tuhan, di jaman Rasulullah Saw kami tidak melakukan zina(52) ( dan kebutuhan kami, kami selesaikan dengan nikah mut’ah ).
5. Salamah bin Umayyah bin Khalaf
Ibnu Hazm dalam “al-mahalli“ dan Zarqani dalam “syarh al-muatha“menukilkan bahwa Salamah membolehkan nikah mut’ah.
6. Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf
Ibnu hazm mengatakan bahwa Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf berpendapat tentang kebolehan nikah mut’ah.
7. Zubair bin al-‘Awwam
Raghib mengatakan bahwa Abdullah bin Zubair dan Abdullah bin Abbas dikarenakan menghalalkan nikah mut’ah mereka mendapat celaan. Ibnu abbas berkata kepadanya (orang yang mencela) tanyakan kepada ibumu bagaimana ia bergaul dengan ayahmu ? Lalu hal ini pun ditanyakan kepada ibunya, sang ibu menjawab : Kamu lahir hasil nikah mut’ah.(53)
Cerita ini menurut Zubair dalil yang kuat akan kebolehan mut’ah.
8. Khalid bin Muhajir bin Khalid Makhzami
Dia duduk disamping seorang lelaki yang menanyakan kepadanya tentang nikah mut’ah. Khalid menjawab bahwa hal itu diperbolehkan. Ibnu Abi Umrah Anshari berkata kepadanya: Pelan-pelan , kenapa begitu mudah Anda memberi fatwa? Khalid berkata: Aku bersumpah demi Tuhan, sesungguhnya perbuatan ini dilakukan pada jaman para penghulu orang yang bertakwa.
9. Amru bin Harist
Hafidl, Abdurrazaq dalam kitabnya”mushannaf“ mengatakan bahwa Abu al-zubair menukilkan dari Jabir yang berkata: Amru bin harist masuk ke kota kufah dan melakukan mut’ah dengan seorang budak perempuan. Ketika perempuan tersebut hamil ia pergi menghadap Umar, lalu Umar menanyakan kejadian ini kepada Amru. Semenjak itu Umar melarang nikah mut’ah”(54)
Selain mereka terdapat beberapa lagi diantaranya:
1. Ubai bin Ka’ab
2. Rabi’ah bin Umayyah
3. Samir ( atau Samrah ) bin Jundub
4. Sa’id bin Jubair
5. Thawus Yamani
6. Atha’ abu Muhammad Madani
7. Sadi
8. Mujahid
9. Zafr bin Ues Madani
Para pembesar di kalangan sahabat yang lain, para tabi’in serta kaum muslimin menghukumi bahwa fatwa dan ijtihad Umar ini bertentangan dengan al-Quran dan sunnah.
Ridha : Wahai Abdullah, setelah penjelasan panjang lebar, apakah masih meyakini bahwa pengharaman nikah mutah merupakan kesepakatan kaum muslimin ?
Abdullah : Maafkan saya, semua yang diutarakan adalah apa yang telah saya dengar dari orang lain. Tetapi tentang benar dan salahnya, saya belum pernah mengkaji dan meneliti. Sekarang saya sampai pada satu kesimpulan bahwa setiap masalah hendaklah dikaji dan diteliti terlebih dahulu, sehingga mencapai kebenaran yang jauh dari fanatik mazhab.
Ridha : Apakah Anda menerima kalau nikah mut’ah itu boleh dan halal ?
Abdullah : Ya, dan saya baru tahu bahwa orang-orang yang mengharamkan nikah mut’ah hanya mengikuti kehendak dan tuntutan dirinya. Al-quran memperbolehkan hal itu serta ayat tentang ini tidak dinaskh oleh ayat lain. Saya juga mengerti bahwa tidak sekedar Umar, bahkan orang yang lebih besar dari diapun tidak berhak merubah hukum Tuhan. Saya sangat heran, bagaimana dan atas dasar apa Umar memberikan fatwa seperti ini. Kalau anda berkenan, beritahukan kepada saya kitab yang secara ilmiah membahas masalah ini sehingga bisa menjauhkan dari fitnah.
Ridha : Beberapa kitab itu antara lain al-Ghadir karya Allamah Amini, al-Nash wa al-Ijtihad dan al-Fushul al-Muhimmah karya almarhum Allamah Syarafuddin dan al-Mut’ah karya ustadz Taufiq Al-fakiki.
Kajilah kitab-kitab ini dengan teliti dan objektif.
Abdullah : Tentu akan saya lakukan dan saya mohon kepada Tuhan untuk memberikan semua kebaikan kepada Anda.
Ridha : Di sini terdapat satu lagi persolan berkaitan dengan Ahli Sunnah yang menerima fatwa Umar yang melarang nikah mut’ah.
Abdullah : apa persoalannya ?
Ridha : Umar, selain melarang nikah mut’ah, juga melarang haji mut’ah. Lalu kenapa Ahli Sunnah membolehkan haji mut’ah, namun melarang nikah mut’ah? jika fatwa Umar itu benar, hendaklah keduanya haram. Jika fatwanya salah maka keduanya boleh dan halal.
Abdullah : Apakah Ahli Sunnah menerima kebolehan haji mut’ah ?
Ridha : Ya, jika mengkaji sumber-sumber tersebut, Anda akan mengetahui hal itu.
Abdullah : Terima kasih.
Subhaana rabbuka rabbi al-izzati ‘amma yashifuun wa salamun ‘ala al-mursalin
wa al-hamdulillahi rabbi al-‘alamiin.
Referensi:
[40] Mut’ah haji : setelah seseorang selesai melakukan umrah haji tamattu’ dan keluar dari ihram, sampai datang waktunya melakukan ihram kembali unutk amal-amal haji tamattu’, ia diperbolehkan melakukan semua mubah yang dilarang dalam waktu ihram.
[41] Jahidz, al-Bayan wa al-Tabyin, jilid 2, hal. 223 ; Tafisr Qurtubi. Jilid 2, hal. 390-391, hadist no 1042 ; al-Mabsuth, kitan haj, bab Qiran dan Fakhrurrazi, tafsir al-kabir, jilid 2, hal. 167 dan jilid 3, hal. 201,202.
[42] Tarikh Ibnu khalikan, jilid 2, hal. 359.
[43] Rasulullah Saw bersabda “ Halal Muhammad halulun ila yaum al-qiamah wa haramuhu haramun ila yaum al-qiamah “ Lihat Sunan Ibnu daud sajestani, jilid 1, hal 6, bab 2, hadist no 12 : ta’dlimu hadisti rasulillah wa al-taghlidh ‘ala man ‘aaridlihi, kafii, jilid 1, hal. 5, hadist no 19 dan wasail al-syi’ah, jilid 18, hal. 124, bab 12, hadist no 47.
[44] An-nisa : 24.
[45] R.K. al-ghadir, jilid 6, hal. 229-236.
[46] Saat ini jumlah kaum muslimin mencapai dua milliard orang, dan setengahnya adalah orang syiah. Anwar Sadat presiden mesir terdahulu, dalam konferensi Islam di Mesir berkata: Sesuai dengan sensus jumlah orang Syiah setengah dari jumlah kaum muslimin.
[47] Bihar al-Anwar, jilid 10, hal. 111, hadist no 1.
[48] Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 3, hal. 17, 26 dan 59, jilid 3, hal. 367.
[49] Muhammad bin muslim dari Imam Baqir as. dari Jabir bin Abdullah : Kaum muslimin pergi untuk berperang bersama Rasulullah saww. dan pada waktu itu dihalakan bagi mereka nikah mut’ah, dan setelah itu tidak pernah diharamkan lagi. Ali as. berkata : “ jika seandainya anaknya khatab ( umar ) { dalam mengambil hukum } tidak mendahuluiku maka selain orang-orang bejad tidak akan terjadi perzinahan “.
R.K. bihar al-anwar, jilid 100, hal. 314, bab 10, hadist no 15, tafisr bajma’ al-bayan, jilid 5, hal.9, dengan sanad yang shahih.
[50] Tafsir Qurtubi, jilid 2, hal. 385, hadist no 1026, dalam kelanjutannya, riwayat ini datang dengan nukilan yang lain : ayat mut’ah ( mut’ah haji ) telah ada dalam kitab Allah swt. dan Nabi memerintahkan untuk mengamalkannya serta tidak turun ayat lain yang me-nasikhnya. Nabi juga sampai akhir hidupnya tidak pernah melarang itu, setelah beliau ada seseorang, yang melarangnya. berdasarkan pendapat sendiri.
[51] Al-Maidah : 87 “… wa laa tahrimuu thayyibat maa ahallahu lakum “Lihat Sahih Bukhari, jilid 5, hal. 1953, bab 8, hadist no 4787. “maa yukrahu min al-tibtali wa al-khashai ( dengan sedikit perbedaan ) ; sahih muslim, jilid 3, hal. 192-193, bab nikah al-mut;ah ; sunan al-kubra, jilid 7, hal. 200, bab al-syighar ; al-dar al-manstur, jilid 2, hal. 307, berkenaan dengan tafsir ayat 87 surat al-maidah ( dinukil dari : sembilan dari orang-orang terdahulu [ahli tafsir ] dan para penghafal quran dan hadis serta dari sumber yang lain.
[52] musnad ahmad, jilid 2 hal. 95.
[53] Al-muhaadlaraat, jilid 2, hal 94.
[54] Fath al-baari, jilid 9, hal 141.
*****
Syi’ah Ja’fariyah membolehkan nikah mut’ah berdasar-kan nash Al-Quran, sebagaimana dalam firman-Nya:
فَمَا اسْتَمْتَعْتُم بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Maka istri-istri yang telah kalian nikmati di antara mereka, berikanlah mahar mereka sebagai suatu kewajiban.(QS. An-Nisa [4]:24)
Di samping itu, para sahabat dan orang-orang Islam pada masa Rasulullah saw. sampai pertengahan masa khilafah Umar bin Khaththab telah melakukan nikah mut’ah.
Mut’ah adalah pernikahan syar’i yang persyaratannya sama dengan nikah permanen atau da’im, yaitu:
1. Hendaknya pihak wanita tersebut tidak bersuami, dan membaca shighah ijab, sementara pihak laki-laki melaksanakan shighah Kabul.
2. Pihak laki-laki wajib memberikan harta kepada wanita, yang disebut mahar dalam nikah da’im dan dalam nikah mut’ah disebut upah, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran.
3. Wanita harus menjalani iddah (setelah cerai dengan suaminya).
4. Wanita harus menjalani ‘iddah setelah masa mut’ahnya habis. apabila ia melahirkan seorang anak, maka, nasab anak itu ikut kepada ayahnya. Juga seorang wanita hanya dapat memiliki satu suami saja.
5. Dalam pewarisan antara anak dan ayahnya, anak dan ibunya dan begitu juga sebaliknya.
Yang membedakan nikah da’im dengan nikah mut’ah adalah bahwa dalam nikah mut’ah terdapat penentuan masa, tidak adanya kewajiban memberikan nafkah dan masa gilir atas suami untuk sang istri mut’ah, tidak adanya saling mewarisi antara suami dan istri, tidak perlu adanya talak, tetapi cukup dengan habisnya masa yang telah ditentukan, atau menghibahkan sisa masa yang telah di tentukan tersebut.
Hikmah disyariatkannya nikah semacam ini adalah tuntunan yang disyariatkan dan bersyarat untuk kebutuhan biologis laki-laki dan perempuan yang tidak mampu menjalankan setiap kewajiban-kewajiban dalam nikah da’im (permanen), atau karena adanya halangan dari istri yang terjadi akibat kematian atau sebab yang lainnya, begitu pula sebaliknya. Semua ini masih dalam rangka membina kehidupan yang terhormat dan mulia. Maka itu, nikah mut’ah adalah solusi tingkat pertama bagi kebanyakan problematika sosial yang cukup serius dan berbahaya, dan juga untuk mencegah terperosoknya masyarakat Islam dalam kerusakan dengan menghalalkan segala macam cara.
Terkadang, nikah mut’ah digunakan dengan tujuan agar kedua calon suami istri saling mengenal sebelum memasuki jenjang pernikahan permanen. Hal ini dapat mencegah perjumpaan yang diharamkan, zina, meng-kebiri, atau cara-cara lain yang diharamkan seperti onani, bagi orang yang tidak sabar atas satu orang istri atau lebih dari satu, misalnya, secara ekonomi dan nafkahnya , serta pada saat yang sama dia tidak ingin terjerumus kepada yang haram.
Yang jelas, nikah mut’ah bersandar pada Al-Quran dan sunnah, dan sahabat pernah melakukan itu selama beberapa masa. Kalau sekiranya mut’ah itu adalah zina, maka itu berarti Al-Quran, Nabi dan para sahabat telah menghalalkan zina dan para pelakunya telah berbuat zina dalam masa yang cukup lama. Kami berlindung kepada Allah dari keyakinan seperti ini.
Di samping itu juga, penghapusan hukum nikah mut’ah tersebut tidak berdasarkan Al-Quran dan sunnah, dan tidak ada dalil yang kuat dan jelas.[4]
Akan tetapi, meskipun Syi’ah Ja'fariyah menghalal-kan nikah seperti inu, dengan adanya nash Al-Quran dan sunnah, mereka sangat menganjurkan dan mengutama-kan nikah daim dan menegakkan nilai-nilai keluarga, karena hal itu adalah dasar dan pilar masyarakat yang kuat dan sehat, dan tidak condong kepada nikah sementara yang dalam bahasa syariat dinamakan mut’ah, meskipun halal dan disyariatkan.
Sehubungan dengan itu, Syi’ah Imamiyah bersandar pada Al-Quran, hadis dan pendidikan serta nasehat-nasehat Imam-Imam Ahlul Bait a.s. yang menyembunyi-kan segala penghormatan untuk wanita dan memberikan nilai yang besar kepadanya, dan di bidang kedudukan wanita, masalah-masalahnya serta hak-haknya, terutama dalam pergaulan etika bersamanya, seperti; kepemilikan, nikah, talak, pengasuhan, penyusuan, ibadah, mu’amalat (hukum-hukum syar’i yang mengatur hubungan kepen-tingan individual dan layak untuk di cermati dalam riwayat-riwayat para imam dan fiqih mereka).
Referensi:
[4] . Lihat hadis-hadis mut’ah dalam kitab-kitab Shahih, Sunan dan Musnad yang otentik menurut mazhab-mazhab Islam.
*****
Nikah Mut’ah: Apakah Nabi Pernah Bolehkan Zinah / Maksiat???
Apakah Nabi Muhammad SAW yg maksum pernah membolehkan maksiyat / pelacuran? Hati2 ini masalah aqidah bagi yg menyamakan nikah Mut’ah = Pelacuran.
“Wahai manusia, aku pernah membolehkan kamu melakukan (nikah) mut’ah dengan wanita. Kemudian Allah telah mengharamkan hal itu sampai hari kiamat. Oleh karena itu, jika masih ada yang memiliki wanita yang diperoleh melalui jalan mut’ah maka hendaklah ia melepaskannya dan janganlah kamu mengambil sedikitpun dari apa yang telah kamu berikan kepada mereka.” (HR Muslim)
“Rasulullah SAW pernah memberikan kelonggaran (rukhsah) pada tahun Autas mengenai mut’ah selama 3 (tiga) hari, kemudian beliau melarangnya”. (HR Muslim)
http://mui.or.id/wp-content/uploads/2014/11/20.-Nikah-Mutah.pdf
Tahun Authas adalah perang Fathu Makkah yang terjadi bulan Ramadhan tahun ke-8 H. 3 tahun sebelum Nabi wafat.
Dari Salamah bin Akwa`Ra, ia berkata : “Rasulullah SAW telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami”. HR Muslim, 9/157, (1405)]
Dari Muhammad bin Ali (yang dikenal dengan sebutan Muhammad bin Hanafiah), bahwa ayahnya Ali (bin Abu Thalib) berkata kepada Ibnu Abbas Ra : “Sesungguhnya Nabi SAW melarang mut’ah dan daging keledai pada masa Khaibar”.[HR Muslim, 9/161, (1407)]
Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”Tidak ada keraguan lagi, mut’ah diperbolehkan pada permulaan Islam. Sebagian ulama berpendapat, bahwa ia dihalalkan kemudian dimansukhkan (dihapus), lalu dihalalkan kemudian dimansukhkan. Sebagian yang lain berpendapat, bahwa penghalalan dan pengharaman berlaku terjadi beberapa kali.” [Tafsir al Qur`anil ‘Azhim, Ibnu Katsir, Maktabah Ulum wal Hikam (1/449)]
Dari berbagai hadits, Nikah Mut’ah pada awal Islam dibolehkan oleh Nabi. Jadi jika kita menyatakan Nikah Mut’ah itu sama dgn perzinahan atau pelacuran, sama saja kita menyebut Nabi Muhammad SAW sebagai membolehkan perzinahan atau pelacuran dan sebagian sahabat melakukan perzinahan dan pelacuran. Itu namanya menghina Nabi dan sahabat.
Selain waktu nikah yang sudah ditentukan sebelumnya, semua syarat dan rukun Nikah Mut’ah sama dgn Nikah biasa termasuk Iddah selama 3 bulan usai cerai. Artinya seorang wanita hanya melayani seorang suami sewaktu menikah. Tidak boleh seorang istri yang menikah melayani lebih dari 1 pria saat menikah Mut’ah. Usai cerai pun tetap harus menunggu masa iddah selama 3 bulan. Tidak boleh langsung menikah.
Kalau ada nikah kontrak seperti di Puncak Bogor, tapi tidak pakai iddah, itu bukan Nikah Mut’ah, tapi pelacuran.
Baik nikah Mut’ah di Syi’ah atau pun Nikah Misyar di Wahabi (di mana seorang suami boleh tidak menafkahi istrinya) itu tidak lazim di kalangan Aswaja. Bukan pernikahan yang ideal. Jadi harus dihindari sebisa mungkin. Cuma berlebihan menghina Nikah Mut’ah sehingga menyamakannya dengan pelacuran atau zina sama saja dengan menghina Nabi dan sahabat karena ternyata Nabi berulangkali membolehkannya meski berulangkali juga kemudian mengharamkannya pada Futuh Mekkah, perang Khaibar, perang Hunain, bahkan pada Haji Wada’
Jika kita kaji Al Qur’an, bahkan paling tidak ada 4 ayat Al Qur’an yang menyebut kata “MUT’AH”. Jadi menghina “MUT’AH” itu bukan hanya menghina Nabi dan para sahabat, tapi juga menghina Allah. Jangan sampai karena kejahilan dan kebencian kita yang berlebihan pada satu kaum, akhirnya menghina Allah dan RasulNya serta para sahabat.
Berikut 4 ayat Al Qur’an yang mengandung kata “MUT’AH”:
“Maka berilah mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” [Al Ahzab 49]
“Kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah menurut yang ma’ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” [Al Baqarah:241]
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut’ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” [Al Ahzab 29]
“Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. …” [Al Baqarah:236]
Belajar agama hendaknya di masjid-masjid dan musholla2 terdekat dgn guru-guru yang sanadnya sampai ke Nabi. Bukan cuma dari internet. Banyak website2 internet meski labelnya Islam, tapi dikelola oleh kaum Khawarij yang muncul di akhir zaman (sesudah abad 18 Masehi) yang justru banyak berisi fitnah dan mengadu domba sesama muslim.
*****
Nikah Mut'ah
Syi'ah meyakini bahwa nikah ada dua macam, (1) daim, permanen, dan (2) muwaqqat, temporer. Nikah daim dilakukan untuk waktu yang tak terbatas, sementara nikah muwaqqat atau yang dalam istilah fiqh lebih dikenal dengan sebutan nikah mut'ah masa berlakunya ditetapkan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Nikah mut’ah halal hukumnya dan memiliki banyak kesamaan dengan nikah daim. Antara lain: (1) perlunya mahar, (2) tidak adanya penghalang pada pihak perempuan, (3) ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan masalah anak, di mana anak-anak yang lahir buah nikah mut'ah sama posisinya dengan anak-anak yang lahir hasil nikah daim, sedikitpun tidak berbeda, dan (4) kewajiban iddah sesudah perpisahan. Semua ketentuan di atas diyakini Syi'ah dengan sepenuhnya. Dengan kata lam, nikah mut'ah adalah nikah dalam arti sebenarnya.
Akan tetapi tentu saja ada perbedaan-perbedaannya dengan nikah daim, yaitu antara lain: (1) suami tidak wajib memberi nafkah lahir kepada isteri dan (2) kedua-duanya, suaini-isteri, tidak saling mewarisi. Adapun anak-anak, mereka mewarisi kedua orang tuanya, Demikian pula sebaliknya.
Apa pun persoalannya, kehalalan nikah mut'ah ini dipahami Syi'ah dari al-Quran yang berkata:
Perempuan-perempuan yang kamu nikmati, (menikahinya secara mut'ah) berikanlah maharnya kepada mereka, sebagai suatu kewajiban atasmu.(QS. 4:24)
Mengomentari ayat ini, banyak ahli hadis terkemuka dan mufassir temarna menegaskan bahwa ayat tersebut memang menerangkan kehalalan nikah mut’ah. Antara lain dapat dilihat pada kitab Tafsir Thabari yang banyak mengutip riwayat-riwayat Nabi saw yang menegaskan kehalalan nikah mut’ah ini. Demikian pula kesaksian sejumlah besar sahabat Nabi saw. Hal yang sama juga dapat dilihat pada kitab Tafsir al-Durr al-Mantsur dan Sunan Baihaqi, di mana keduanya banyak mengutip riwayat-riwayat tentang kehalalan nikah mut’ah. Bahkan dalam kitab Shahih Bukhari, Musnad Ahmad, Shahih Muslim, dan kitab-kitab hadis lainnya, banyak diriwayatkan hadis-hadis tentang berjalannya nikah mut’ah pada masa Rasulullah saw, meskipun harus diakui terdapat pula riwayat-riwayat yang berseberangan.
Sejumlah fuqaha Sunni percaya bahwa nikah mut’ah memang halal di zaman Rasulullah saw, tapi kehalalannya sudah dibatalkan atau mansukh. Sebagian lainnya percaya bahwa hingga akhir hayat Rasulullah saw, hukum nikah mut’ah tidak pernah dimansukh, tetap halal. Tetapi kemudian haram karena Khalifah Umar telah membatalkannya. Populer pemyataan Umar:
Dua mut’ah yang dulu halal di zaman Rasulullah, aku haramkan dan akan kuhukum pelakunya, yaitu mut’ah perempuan dan mutab haji.[3]
Dengan demikian ada tiga pendapat di kalangan Sunni mengenai kehalalan nikah mut’ah ini. Pertama, menganggap nikah mut’ah telah dibatalkan kehalalannya sejak zaman Rasulullah saw. Kedua, pembatalannya terjadi pada masa kekhalifahan Umar Ibn al-Khattab. Dan ketiga, menolaknya sama sekali; tapi pendapat ketiga ini praktis sedikit sekali.
Perbedaan pandangan seperti ini, sangat lumrah dalam ilmu fiqh. Akan tetapi fuqaha Syi'ah sepakat bahwa nikah mutali halal hukurnnya dan tidak pernah dibatalkan kehalalannya, baik di zaman Rasulullah, apalagi sesudah wafatnya. Bahkan tidak boleh membatalkan suatu hukum yang telah ditetapkan kehalalannya oleh Rasulullah saw.
Syi'ah meyakini bahwa jika kehalalan nikah mut'ah tidak disalahgunakan ia akan memberikan solusi yang sangat baik bagi berbagai problerna sosial, khususnya orang-orang muda yang karena sesuatu dan lain hal belum dapat membina rumah tangga permanen dan para musafir yang terpaksa berpisah dengan keluarganya untuk waktu yang lama karena pekerjaan-pekerjaan mereka. Mengharamkan nikah mut’ah buat kelompok-kelompok ini akan mendorong mereka melakukan perbuatan-perbuahin maksiat; lebih-lebih di era kita saat ini, dimana usia perkawinan semakin meningkat dan pengumbar-pengumbar syahwat semakin meraja-lela. Karena itu, jika jalan ini ditutup maka pasti akan semakin membuka jalan maksiat.
Tapi kehalalan hukum nikah mut'ah ini tidak boleh disalahgunakan. Tidak boleh dijadikan alat untuk mengumbar hawa nafsu atau menyeret perempuan ke lembah kemaksiatan dan kenistaan. Syiah sangat menentang hal ini dan menentang keras segala praktik macam ini. Tapi penyalahgunaan oleh beberapa budak nafsu tidak dapat dijadikan alasan untuk menghapus hukum ini dari akarnya. Itu tidak mungkin. Karena itu, yang perlu kita lakukan adalah bagaimana mencegah penyalagunaan kehalalan hukum nikah ini, bukan menghapusnya.
*****
Mazhab-mazhab fiqih sepakat bahwa nikah mut'ah adalah pernikahan yang halal. Rasulullah saw menghalalkannya dengan wahyu dari Allah SWT dalam suatu waktu. Mereka hanya berselisih pendapat dalam hal kelanjutan kehalalannya. Syi'ah Imamiyah berpendapat bahwa kehalalan nikah mut'ah itu tetap berlaku dan tidak ada hadis yang menghapuskannya. Pendapat ini berbeda dengan pendapat mazhab-mazhab yang empat (mazhab-mazhab Ahlusunah) yang mengharamkannya karena ketentuan itu sudah dihapus.
Karena kehalalan nikah mut'ah merupakan hal yang khusus terdapat dalam fiqih Syi'ah, maka kami akan membahasnya dengan bersandar pada Al-Qur'an dan sunah secara garis besar. Sehingga pembaca yang mulia mengetahui asal mula pensyariatannya dan tidak adanya penghapusan (naskh) terhadap apa yang telah ditegaskan Al-Qur'an dan sunah ini. Sedangkan pendapat sebagian ulama bahwa nikah mut'ah itu sama sekali tidak pernah disyariatkan dan pengakuan bahwa hukum tersebut sudah dihapus adalah bertentangan dengan Al-Qur'an dan sunah. Di samping itu, sebagian besar sahabat dan tabi 'in mengeluarkan fatwa bahwa pernikahan tersebut dihalalkan dan menyatakan bahwa tidak ada dalil yang menghapuskannya. Hanya 'Umar bin al-Khaththab yang melarangnya menurut inisiatifnya sendiri atau ijtihad pribadi yang tidak dapat dijadikan dalil dan tidak dapat dijadikan'hujah bagi orang lain. Hal serupa berlaku pada mut'ah haji (haji tamattu) yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw.
Nikah mut'ah adalah pernikahan seorang perempuan merdeka jika tidak ada perintang-berupa hubungan nasab, persusuan, status sudah bersuami, dalam masa 'iddah, dan larangan-larangan syariat lainnya-dengan mahar tertentu hingga batas waktu tertentu atas dasar keridhaan dan kesepakatan. Jika batas waktu itu telah berakhir, berakhir pula pernikahan itu tanpa ada talak. Jika telah bercampur, ia harus menunggu masa 'iddah seperti masa 'iddah dalam talak-bagi yang belum menopous-kalau ia masih mengalami haid. Jika ia tidak mengalami haid, masa 'iddahnya adalah 45 hari.
Anak yang diperoleh dari pernikaan mut'ah, baik laki-laki maupun perempuan, mengikuti garis keturunan ayah dan bernasab kepadanya. la juga berhak mendapat warisan yang telah Allah SWT wasiatkan kepada kita dalam Al-Qur'an. Selain itu, ia juga berhak memperoleh warisan dari ibunya, dan memperoleh segala hal yang berkaitan dengan hubungan anak, ayah, dan ibu. pemikian pula, kepamanan berkenaan dengan sauara-saudara laki-laki, saudara-saudara perempuan, paman, dan bibi.
Pendek kata, perempuan yang dinikah mut'ah adalah istri yang hakiki, dan anaknya pun adalah anak yang hakiki. Tidak ada perbedaan di antara dua pernikahan-pernikahan permanen dan pernikahan mut'ah-kecuali satu hal. Yaitu, dalam pernikahan mut'ah tidak ada pewarisan dan pemberian nafkah di antara suamiistri kecuali yang disyaratkan dalam akad nikah, seperti halnya 'azl. Perbedaan-perbedaan parsial ini merupakan perbedaan-perbedaan dalam hukum, bukan dalam esensi.. Sebab, esensi kedua jenis pernikahan itu sama kecuali yang pertama bersifat temporal dan yang kedua bersifat permanen. Selain itu, yang pertama berakhir dengan berakhirnya jangka waktu yang ditentukan dalam akad nikah, sedangkan yang kedua berakhir bila terjadi talak atau pembatalan akad nikah.
Kaum Muslim sepakat bahwa Allah swt telah mensyariatkan pernikahan i.ni dalam masa awal Islam. Tidak seorang pun meragukan prinsip pensyariatannya. Yang menjadi perselisihan pendapat hanyalah dalam hal apakah syariat itu sudah dihapus atau masih tetap berlaku.
Landasan pensyariatannya adalah firman Allah SWT, "... (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan ( dalam perkawinan) dua perempuan yang
yang telah terjadi pada masa lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan (diharamkan juga kamu mengawini) perempuan yang bersuami kecuali budak-budak yang kamu miliki. (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri ) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya ( dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban. Dan tidak mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana. " (QS. an-Nisa' [4]: 23-24)
Ayat ini menjelaskan nikah mut'ah karena beberapa alasan berikut:
Mengartikan Ayat di Atas Untuk Nikah Permanen
1. Menjadikan Pengulangan Hukum yang Tidak Perlu
Surah ini. yakni surah an-Nisa., menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum dan hak-hak perempuan. Disebutkan jenis-jenis pernikahan pada awal surah dengan susunan khusus. Adapun pernikahan permanen telah ditunjukkan Allah SWT dengan firman-Nya. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil; maka (kawinilah) seorang saja. “(QS. an-Nisa [4]: 3)
Tentang hukum-hukum mahar telah disebutkan dalam ayat berikutnya, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jikamereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”(QS. an-Nisa. [4]: 4)
Allah SWT juga berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka untuk kawin lagi dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya. (QS. an-Nisa' [4]: 19)
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan ( menanggung) dosa yang nyata? (QS. an-Nisa' [4]: 20)
Sedangkan tentang menikahi budak-budak telah dijelaskan dalam firman-Nya, "Dan barangsiapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini perempuan merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu. Sebagian kamu adalah dari sebagian yang lain. Karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun perempuan-perempuan yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan pula perempuan yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya. " ( QS. an-Nisa' [ 4] : 25 )
Firman Allah SWT min ma malakat aymanukum ( dari budak-budak yang kamu miliki) menunjukkan pernikahan majikan dengan budaknya. Hal ini dijelaskan juga dalam firman-Nya, "kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 6)
Firman Allah swt karena itu nikahilah mereka dengan seizin tuan mereka menunjukkan pernikahan budak milik orang lain.
Sampai di sini, selesailah penjelasan tentang jenis-jenis pernikahan. Tidak ada lagi jenis pernikahan yang tersisa selain nikah mut'ah. Itulah yang dijelaskan dalam ayat sebelumnya. Sedangkan menyamakan firman Allah: fa mastamt'tum dengan pernikahan permanen. Dan firman Allah: fa atuhunna ujurohunna dengan mahar dan sedekah, menjadikan penyebutan hukum yang berulang-ulang.
Akan dijelaskan kepada Anda keberadaan nikah mut'ah pada pennulaan Islam. Tidaklah pantas Pemberi syariat (Allah) mengabaikan hukumnya.
Orang yang memperhatikan surah tersebut akan mengetahui bahwa ayat-ayatnya menjelaskan jenis-jenis pernikahan dengan susunan khusus. Hal itu tidak terwujud kecuali dengan mengartikan kandungan ayat itu dengan nikah mut'ah, sebagaimana yang tampak pada lahiriah ayat tersebut.
2. Penjelasan para Sahabat tentang Turunnya Ayat Tersebut.
Sejumlah besar ahli hadis menjelaskan bahwa ayat tersebut -turun berkenaan dengan nikah mut'ah. Periwayatan mereka sampai kepada Ibn ' Abbas, Ubay bin Ka 'ab, ‘Abdullah bin Mas'ud, Jabir bin 'Abdullah al-Anshari, Hubaib bin Abi Tsabit, Sa'id bin Jubair, dan lain-lain dari kalangan ahli hadis yang tidak mungkin merekayasa hadis dan membuat kebohongan.
Para mufasir dan ahli hadis telah menyebutkan turunnya ayat tersebut.
1. Imam mazhab Hanbali, Ahmad bin hanbal, dalam Musnadnya.
2. Abu Ja 'far athThabari dalam Tafsir-nya.
3. Abu Bakar al-Jashshash al-Hanafi dalam Ahkam al-Qur'an.
4. Abu Bakar al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra.
5. Mahmud bin 'Umar az-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf
6. Abu Bakar bin Sa'dun al-Qurthubi dalam tafsir Jami' al-Ahkam al-Qur'an.
7. Fakhruddin ar-Razi dalaffi MaJatih al-Ghayb.
Masih banyak lagi ahli hadis dan mufasir yang datang setelah itu hingga masa kita ini. Saya tidak akan memperpanjang pembahasan ini dengan menyebutkan nama-nama mereka.
Tidak seorang pun menuduh para ulama tersebut dengan menyebutkan apa yang tidak mereka fatwakan. Dengan memperhatikan bukti-bukti ini, tidak diragukan bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan nikah mut'ah.
Makna ayat itu adalah: Sesungguhnya Allah swt mensyariatkan bagi kamu pernikahan selain yang diharamkan untuk mencari dengan hartamu apa yang dapat melindungimu, memelihara kesucian dirimu, dan mencegahmu dari perzinaan. Jika kamu menikah untuk bersenang-5enang, bayarkanlah maskawinnya kepada mereka.
Pada dasamya, tujuan pernikahan itu adalah untuk memelihara diri. Tujuan itu dapat terwujud melalui semua jenis pernikahan, baik pernikahan permanen, pernikahan mut'ah, maupun pernikahan dengan budak milik orang lain yang disebutkan dalam surah ini dari awal hingga ayat 25.
Inilah yang dipahami setiap orang dari lahiriah ayat-ayat tersebut. Namun, orang-orang yang tidak berhati bening mengambil lahiriah ayat: famlis tamta'tum bihi minhunna fa 'tuhunna ujurahunna (maka istri-istri yang telah kamu nikmati di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya) karena dorongan nafsu atau lingkungan yang berusaha menerapkan makna ayat tersebut pada akad pernikahan permanen. Dalam masalah ini ia menyebutkan beberapa keraguan yang tidak berarti apa-apa setelah diberi bantahan. Berikut ini rangkumannya.
Pertama, tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk membina keluarga dan meneruskan keturunan. Hal ini hanya dapat terwujud melalui pernikahan permanen, tidak melalui pernikahan temporal (nikah mut'ah) yang hanya menghasilkan kecuali kepuasan syahwat dan mencurahkan sperma.
Jawab: ia telah mencampur-adukkan antara masalah ini dan manfaat yang dihasilkannya. Apa yang ia sebutkan hanyalah dari aspek hikmah. Padahal, hukum berbeda dengan hikmah. Karena keadaan terpaksa, suatu pernikahan dikatakan sah walaupun dilakukan tanpa memperhatikan tujuan-tujuan di atas, seperti pernikahan dengan perempuan mandul, yang telah menopous, dan anak di bawah urnur. Bahkan kebanyakan orang yang menikah pada usia muda melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk menyalurkan hasrat dan memenuhi dorongan syahwat melalui cara yang sah. Mereka sarna sekali tidak berpikir untuk mencari keturunan walaupun akhirnya keturunan itu mereka peroleh juga. Hal itu tidak merusak keabsahan pernikahan mereka.
Adalah mengherankan, memberikan batas bahwa tujuan nikah mut'ah adalah untuk memenuhi hasrat semata-mata. Padahal, pernikahan tersebut, seperti juga pernikahan permanen, kadang-kadang dimaksudkan untuk menghasilkan keturunan, mengabdi, membina rumah tangga, serta mendidik, menyusui, dan merawat anak-anak walaupun hal seperti itu jarang ditemui.
Karni ingin bertanya kepada orang-orang yang melarang nikah mut'ah, yang menganggap pernikahan tersebut menyalahi hikmah yang menjadi tujuan disyariatkan pernikahan. Kami bertanya kepada mereka tentang suami-istri yang menikah dengan pernikahan permanen tetapi mereka berniat untuk bercerai setelah dua bulan. Apakah pernikahan seperti ini sah atau tidak? Saya kira tidak ada seorang pun dari ahli fiqih Islam yang melarang hal itu kecuali apabila ia mengeluarkan fatwa tanpa dalil dan burhan. Dengan demikian, tampaklah dengan jelas keabsahan pernikahan ini. Tidak ada perbedaan antara pernikahan mut’ah dan pernikahan permanen seperti ini selain pada jenis pertama disebutkan jangka waktunya sedangkan pada jenis kedua tidak disebutkan jangka waktunya?
Penulis tafsir al-Manar berkata, "Mengingat adanya penegasan para ulama terdahulu dan para ulama kemudian dalam melarang nikah mut’ah, maka pernikahan (permanen) dengan niat akan bercerai pun harus dilarang. Kalau para ahli fiqih mengatakan bahwa akad nikah yang dilakukan itu-sementara suami meniatkannya untuk jangka waktu tertentu tetapi tidak disyaratkan dalam redaksi (shighat) akad, melainkan menyembunyikannya dalam hati-adalah sah, hal itu dipandang sebagai tipuan dan kebohongan. Akad seperti itu lebih pantas dibatalkan daripada akad yang mensyaratkan ditentukannya jangka waktu (dalam redaksinya)."
Kita asumsikan bahwa suami-istri itu rela dengan ketentuan jangka waktu tersebut sehingga tidak terdapat usaha penipuan dan kebohongan. Maka akad pernikahan itu sah tanpa dapat disangkal lagi.
Kedua, menghalalkan nikah mut’ah adalah bertentangan dengan apa yang ditegaskan dalam al-Qur'an, seperti firman Allah swt ketika menyebutkan. sifat-sifat kaum Mukmin, "... dan orang-orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-7)
Yang dimaksud dengan firman-Nya Barangsiapa yang mencari adalah orang-orang yang berpaling dari apa yang telah dihalalkan Allah kepada apa yang diharamkan-Nya. Perempuan yang dinikah mut’ah bukan istri yang memperoleh hak-hak dari suami, dengan cara yang baik.
Keraguan itu dapat dijawab. Hal itu merupakan pengakuan tanpa bukti. Sebab, ia adalah seorang istri dan ada hukum-hukum yang mengaturnya. Tidak adanya pemberian nafkah dan pembagian harta tidak mengubah statusnya sebagai seorang istri. Perempuan yang berbuat durhaka kepada suami tetap berstatus sebagai istri, tetapi ia tidak berhak mendapatkan nafkah dan hak pembagian. Seperti itu pula perempuan yang dinikahi dalam usia kanak-kanak. Anehnya, mereka berdalil dengan tidak adanya hukum-hukum yang menafikan esensi tersebut. Padahal, pernikahan mengikatkan antara suami dan istri yang menyebabkan timbulnya sejumlah hukum. Kadang-kadang sebagian hukum itu mengkhususkan sebagian yang lain.
Ketiga, laki-laki yang melakukan nikah mut'ah tidak bermaksud memelihara kesucian diri. Melainkan ia hanya bertujuan untuk memuaskan dorongan seksualnya. Kalaupun ia bertujuan untuk memelihara kesucian dirinya agar tidak jatuh ke dalam perzinaan, tetapi tidak demikian halnya dengan perempuan yang melacurkan dirinya setiap jangka waktu tertentu kepada seorang laki-laki. Keadaan perempuan itu seperti yang dikatakan penyair:
Bola dilempar dengan tongkat perak
laki-laki demi laki-laki menangkapnya.
Jawab: dari mana diketahui bahwa memelihara kesucian diri hanya dilakukan oleh laki-laki~ tidak oleh perempuan. Jika kita asumsikan bahwa akad nikah itu sah, maka dengan cara ini masing-masing dari kedua pihak itu menjaga kesucian dirinya. Jika tidak, tidak diragukan bahwa ia akan jatuh ke dalam perzinaan. Yang dapat memelihara pemuda dan pemudi dari perzinaan adalah salah satu dari tiga hal berikut:
1. Pernikahan permanen.
2. Pernikahan mut'ah dengan cara yang telah disebutkan.
3. Menahan dorong seksual.
Cara pertama, kadang-kadang tidak mudah dilakukan, terutama bagi mahasiswa dan mahasiswi yang hidup dari uang kiriman yang tidak seberapa dari orangtua mereka atau beasiswa dari pemerintah. Menahan dorongan seksual adalah sesuatu yang tidak mudah. Tidak ada yang dapat melakukannya kecuali orang pemuda dan pemudi yang sempurna. Tetapi jumlah mereka sangat sedikit. Maka tidak ada cara lain selain cara kedua. Cara ini dapat memelihara pemuda dan pemudi dari mendatangi rumah-rumah pelacuran.
Agama Islam adalah agama penutup semua agama; Nabinya merupakan penutup para nabi; Kitabnya merupakan penutup semua kitab suci; syariatnya merupakan penutup semua syariat.
Karenanya Islam harus memberikan solusi menurut syariat bagi setiap permasalahan. Dengan cara itu Islam akan memelihara kemuliaan kaum Mukmin baik laki-laki maupun perempuan. Masalah seksual pada laki-laki dan perempuan tidak mungkin diabaikan oleh agama Islam. Ketika itu, dengan sendirinya muncul pertanyaan berikut.
Apa yang harus dilakukan mahasiswa dan mahasiswi yang tidak mampu melakukan pernikahan permanen, tetapi kemuliaan dan agama mereka melarang mereka mendatangi rumah-rumah pelacuran, sementara keindahan kehidupan materialistis mengobarkan api syahwat dalam diri mereka? Pada umumnya, dalam keadaan seperti itu mustahil seseorang dapat memelihara kesucian dirinya kecuali orang yang dipelihara oleh Allah. Tidak ada lagi cara lain selain menempuh pernikahan mut'ah yang merupakan solusi terbaik untuk menghindari perzinaan. Ada satu ucapan ‘Ali bin Abi Thalib yang selalu terngiang di telinga, yang memperingatkan akan memuncaknya masalah ini jika penanggulangannya dengan cara yang diajarkan Pemberi syariat diabaikan. ' Ali bin Abi Thalib berkata, “Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali laki-laki atau perempuan yang celaka."
Menyamakan pernikahan mut'ah dengan apa yang disebutkan dalam syair di atas menunjukkan ketidaktahuan orang itu terhadap hakikat dan definisi nikah mut'ah. Yang disebutkan dalam syair itu adalah nikah mut’ah periodik yang dituduhkan oleh orang itul dan yang lain kepada Syi’ah. Padahal, kaum Syi’ah sendiri berlepas diri dari kebohongan ini. Sebab, setelah berakhir jangka waktu yang ditentukan, perempuan yang dinikahi mut'ah harus menunggu masa ‘iddah seperti yang telah disebutkan di atas. Maka, bagaimana mungkin ia menjajakan dirinya setiap saat kepada laki-laki? Mahasuci Allah dari kelancangan mereka dalam membuat dusta dan kebohongan kepada Syi’ah. Isi dari syair itu hanyalah satu bentuk kelancangan terhadap wahyu dan syariat Ilahi. Padahal, para ahli hadis dan ahli tafsir sepakat bahwa nikah mut'ah itu telah disyariatkan. Kalaupun ada larangan atau penghapusan hukum, hal itu hanyAlah datang setelah nikah mut’ah itu disyariatkan dan dilaksanakan.
Keempat, ayat itu telah dihapus dengan sunah. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam menetapkan kapan masa penghapusan itu dilakukan. Berikut ini beberapa pendapat tentang itu:
1. Nikah mut'ah dibolehkan, kemudian dilarang pada saat terjadi Perang Khaybar.
2. Mut'ah tidak dihalalkan kecuali pada 'umrah qadha.
3. Nikah mut'ah dihalalkan, lalu dilarang pada saat Penaklukan kota Makkah.
4. Nikah mut'ah dibolehkan pada saat terjadi peperangan, tetapi kemudian dilarang.
Pernyataan-pernyataan ini menafikan keyakinan adanya penghapusan hukum ( naskh) , sebagaimana penghapusan hukum Al Qur'an dengan hadis ahad yang sangat dilarang. Diriwayatkan sebuah hadis sahih dari 'Imran bin al-Hushain bahwa ia berkata, "Sesungguhnya Allah SWT menurunkan (ayat tentang) nikah mut'ah dan tidak melarangnya. Rasulullah saw memerintahkan kami untuk melakukan pernikahan mut'ah dan tidak melarangnya. Kemudian seseorang mengatakan menurut pendapatnya sendiri." Seseorang yang ia maksud ialah 'Umar bin al-Khaththab.
Khalifah kedua itu tidak mengatakan adanya penghapusan. Melainkan ia menetapkan larangan itu berdasarkan pendapatnya sendiri. Kalau ada nas dari Al1ah ' Azza wa Jalla atau dari Rasulullah saw yang menghapusnya, tentu ia menetapkan larangan itu berdasarkan keduanya. Telah tersebar,luas ucapan 'Umar di atas mimbar, "Ada dua mut'ah yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya meIarangnya dan akan menghukum siapa saja yang melakukannya. Yaitu, mut’ah haji dan mut'ah (dalam menikahi) perempuan. Bahkan, seorang ahli kalam mazhab Asy'ariyah menukil dalam Syarh 'ala Syarh at-Tajrid, bahwa 'Umar mengatakan, "Wahai orang-orang, ada tiga hal yang berlaku pada zaman Rasulullah saw tetapi saya melarang dan mengharamkannya, serta menghukum siapa saja yangmelakukannya. Yaitu mut'ah haji, mut'ah (dalam menikahi) perempuan, dan (ucapan) hayya 'ala khayril 'amat dalam azan."
Telah diriwayatkan dari Ibn ' Abbas-ia termasuk orang-orang yang menjelaskan kehalalan mut'ah dan membolehkannya-bahwa ia menanggapi orang yang mendebatnya dengan pelarangan dari Abu Bakar dan 'Umar. la berkata, "Hampir turun hujan batu dari langit kepadamu. Saya katakan, 'Rasulullah saw bersabda ...', sedangkan kalian mengatakan, 'Abu Bakar dan 'Umar berkata ...'"
Bahkan ketika Ibn 'Umar ditanya tentang mut'ah, ia memberi fatwa tentang kehalalannya. Kemudian mereka mempertentangkannya dengan ucapan ayahnya. Tetapi ia bertanya kepada mereka, "Perintah siapakah yang lebih patut diikuti, perintah Rasulullah saw atau perintah 'Umar?"
Semua itu menunjukkan bahwa tidak ada penghapusan dan pelarangan dari Nabi saw. Yang ada hanyalah pengharaman dari khalifah. Pada dasarnya, pelarangan itu merupakan ijtihad melawan nas yang jelas. Selain itu, sejumlah sahabat terus-menerus menyatakan penolakan mereka terhadapnya dan ketidakpatuhan mereka pada perintahnya itu. Apabila khalifah itu berijtihad karena alasan-alasan yang dilihatnya dan mengeluarkan fatwa berdasarkan alasan-alasan tersebut, yang utama bagi orang-orang yang mengikutinya adalah bersikap hati-hati terhadap masalah ini. Hendaknya mereka tidak berlebih-lebihan dalam membenarkannya tanpa hujah dan dalil.
Orang-orang yang Menolak Larangan Itu
Telah kami sebutkan bahwa sejumlah besar sahabat dan tabi'in menolak larangan itu dan tidak mengakuinya. Di antara mereka adalah sebagai berikut:
1. ' Ali Amirul Mukminin. Dalam hadis yang diriwayatkan ath-Thabari dengan sanad-sanad yang bersambung kepada Imam ‘Ali, bahwa Imam ' Ali berkata, "Kalau 'Umar tidak melarang mut'ah, tentu tidak akan ada yang berzina kecuali orang yang celaka.”
2. ' Abdullah bin 'Umar. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin 'Umar, bahwa ia-setelah ditanya tentang nikah mut'ah-berkata, "Demi Allah, pada zaman Rasulullah saw kami tidak berzina.” Selanjutnya ia berkata, "Demi Allah, saya telah mendengar Rasulullah saw bersabda, 'Sebelum hari kiamat, pasti muncul al-Masih ad-Dajjal dan tiga puluh pendusta atau lebih.”
3. ' Abdullah bin Mas'ud. AI-Bukhari meriwayatkan hadis dari ‘Abdullah bin Mas'ud, bahwa ia berkata, "Kami pergi berperang bersama Rasulullah saw dan tidak membawa sesuatu apa pun. Lalu kami bertanya, 'Bolehkah kami berkebiri?' Namun, beliau melarang hal itu. Kemudian beliau memberikan keringanan kepada kami agar menikahi perempuan hingga jangka waktu tertentu. Kemudian beliau membaca ayat, "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai urang-orang yang melampaui batas. " (QS. al-Ma'idah [4]: 87)
4. 'lmran bin Hushain. Al-Bukhari dalam Shahihnya meriwayatkan hadis darinya. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah. Maka kami melaksanakannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat Al-Qur'an yang mengharamkannya dan beliau pun tidak melarangnnya hingga beliau wafat. Seseorang hanya mengatakan menurut pendapatnya sendiri sekehendak hatinya.
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan hadis dari Abu Raja' dari 'Imran bin Hushain. la berkata, "Turun ayat tentang mut'ah dalam Kitab Allah dan kami mengamalkannya bersama Rasulullah saw. Tidak pemah turun ayat yang melarangnya dan Nabi saw pun tidak melarangnya hingga beliau wafat.
5. Selain itu, seorang khalifah Abbasiyyah, al-Ma'mun, pada masa pemerintahannya hampir menyerukan penghalalan nikah mut'ah. Namun, ia merasa khawatir akan munculnya fitnah dan perpecahan di tengah kaum Muslim. Ibn Khalkan mengutip ucapan Muhammad bin Manshur: Kami bersama al-Ma'mun dalam suatu perjalanan menuju Syam. Lalu ia memerintahkan agar diserukan penghalalan nikah mut'ah. Kemudian Yahya bin Aktsam berkata kepada saya dan Abu al-' Ayna ' , "Datanglah kepadanya besok pagi-pagi sekali. Kalau kalian melihat kesempatan untuk berbicara maka berbicaralah. Jika tidak, maka diamlah hingga saya masuk." Esok harinya kami menemuinya, sementara ia sedang bersiwak (menyikat gigi). Sambil berjongkok ia berkata, " Ada dua mut'ah yang pernah berlaku pada zaman Rasulullah saw dan zaman Abu Bakar ra tetapi saya malarangnya. Siapakah engkau, berani-beraninya melarang apa yang pernah dilakukan Rasulullah saw dan Abu Bakar ra?" Sambil memberi isyarat kepada Muhammad bin Manshur, Abu al-' Ayna' berkata, "Orang ini berbicara tentang 'Umar bin al-Khaththab, apakah perlu kita jawab?' Namun kami diam saja sampai akhimya. Lalu Yahya bin Aktsam datang. la duduk dan kami pun duduk. Al-Ma'mun bertanya kepada Yahya, "Mengapa aku lihat engkau berubah?" Yahya menjawab, "Wahai Amirul Mukminin, ini adalah perasaan sedih karena sesuatu telah terjadi pada Islam." AI-Ma'mun bertanya, "Apa yang terjadi pada Islam?" Mauhammad bin Manshur men.jawab, "Seruan menghalalkan zina..” Al-Ma'mun bertanya, "Zina?' Muhammad bin Manshur menjawab, "Benar. Nikah mu'tah adalah zina." Al-Manshur be:tanya lagi, Dari mana engkau mengetahui hal ini?" la menjawab, Dari Kitab Allah' Azza wa Jalla dan hadis Rasulullah saw Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orangorang yang menunaihan zahat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya hecuali terhadap istri-istri mereha atau budak yang mereka miliki. Maha sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorangyang melampaui batas" (QS. al-Mu'minun [23]: 1-7). Wahai Amirul Mukminin, apakah perempuan yang dinikah mut'ah itu adalah budak yang dimiliki?" Al-Ma'mun menjawab, "Bukan." Muhammad bin Manshur bertanya lagi, “ Apakah ia istri yang di sisi Allah mewarisi dan mewariskan, serta mempunyai anak (yang dinasabkan kepadanya) , dan dipenuhi syarat-syaratnya?" Al-Ma'mun menjawab, "Tidak." Maka Muhammad bin Manshur berkata, "Maka orang yang melampaui batas dalam kedua hal ini termasuk orang-orang yang melampaui batas (yang disebutkan dalam ayat di atas)."
Saya katakan: Ibn Aktsam telah menyimpang jauh-dan ia termasuk orang-orang yang menyembunyikan permusuhan kepada ahlulbait-dengan menganggap bahwa nikah mut'ah termasuk dalam firman Allah SWT, ...kecuali kepada istri-istri mereka dan bahwa tidak adanya pewarisan merupakan takhshish dalam hukum.
Padahal, hal itu tidak menafikan berlaku hukum tersebut. Betapa banyak hal serupa itu, seperti istri yang kafir tidak mewarisi harta suami yang Muslim, begitu pula sebaliknya; istri yang membunuh suaminya tidak mendapat warisan harta darinya, demikian pula sebaliknya. Adapun anak, tentu bemasab kepadanya. Menafikan penasaban anak ini muncul karena ketidaktahuan terhadap hukum nikah mut’ah atau berpura-pura tidak mengetahuinya.
Betapa buruk yang ia ucapkan. la menafsirkan nikah mut’ah dengan perzinaan. Padahal, umat ini telah menerima kehalalannya pada zaman Rasulullah saw dan khalifah pertama. Apakah Ibn Aktsam mengira bahwa Rasulullah saw menghalalkan perzinaan Walaupun dalam jangka waktu yang singkat?
Terdapat banyak hadis yang diriwayatkan dari khalifah (‘Umar) sendiri. Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa pelarangan nikah mut’ah itu semata-mata keputusan menurut pendapatnya sendiri, tidak bersandar pada satu ayat atau satu hadis pun.
Muslim dalam Shahih-nya meriwayatkan hadis dari Ibn Abi Nadhrah. la berkata: Ibn .Abbas memerintahkan mut’ah, sedangkan Ibn Zubair melarangnya. Maka ia menyampaikan hal itu kepada Jabir. Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan mut’ah bersama Rasulullah saw. Ketika ‘Umar menjadi khalifah, ia berkata, Sesungguhnya Allah menghalalkan kepada Rasul-Nya apa yang Dia kehendaki dengan apa yang Dia kehendaki. Maka sempumakanlah haji dan 'umrah dan laksanakanlah pernikahan ini (permanen-penej.). Namun,jika ada" seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk jangka waktu tertenu (nikah mut'ah), pasti aku akan merajamnya dengan batu.."
Imam Ahmad dalam Musnad-nya meriwayatkan hadis dari Abu Nadhrah. la berkata: Saya berkata kepada Jabir bahwa Ibn Zubair melarang nikah mut'ah, sedangkan Ibn 'Abbas memerintahkannya. Maka Jabir menjawab, "Di hadapanku beredar hadis: Kami melaksanakan nikah mut'ah bersama Rasulullah saw dan Abu Bakar. Ketika 'Umar diangkat menjadi khalifah, ia berpidato di hadapan khalayak, 'Sesungguhnya Al-Qur'an adalah Al-Qur’an, dan sesungguhnya Rasulullah saw adalah seorang rasul. Keduanya memberlakukan dua mut’ah pada zaman Rasulullah saw. Yang pertama adalah mut'ah dalam haji (haji tamattu') dan yang kedua adalah mut'ah (dalam menikahi) perempuan."
Dari hadis-hadis di atas dapat ditarik dua kesimpulan berikut:
1. Kehalalan nikah mut'ah tetap berlaku hingga zaman kekhalifahan 'Umar bin al-Khaththab hingga saat ia melarangnya.
2. Dengan ijtihadnya sendiri ia memberlakukan pengharaman terhadap apa yang dihalalkan dalam Al-Qur'an dan sunah. Seperti telah diketahui, ijtihadnya-kalaupun dapat disebut ijtihad-adalah hujah yang berlaku bagi dirinya sendiri, tidak berlaku bagi orang lain.
Akhimya, kami katakan: Ketidaktahuan terhadap fiqih Syi'ah menyebabkan banyak penulis mereka-reka perkataan atas nama Syi'ah, khususnya dalam masalah nikah mut'ah yang sedang kita bahas. Mereka melemparkan berbagai pendapat dan hukum-hukum. Hal itu menunjukkan ketidaktahuan dan niat buruk mereka. Ucapan-ucapan itu di antaranya bahwa di antara hukum-hukum nikah mut'ah dalam mazhab Syi'ah adalah tidak adanya hak anak terhadap warisan ayahnya, dan bahwa perempuan yang dinikah mut'ah tidak memiliki masa 'iddah sehingga ia dapat berpindah dari satu laki-laki ke laki-laki yang lain jika ia mau. Karena itu, mereka memandang buruk dan menolak pernikahan mut’ah. Mereka pun mencela orang-orang yang menghalalkannya.
Hakikat yang sebenamya tidak mereka ketahui. Yaitu, Pertama, pernikahan mut'ah menurut Syi’ah adalah seperti pernikahan permanen. Pernikahan itu tidak sah kecuali dilakukan melalui akad yang mengisyaratkan adanya tujuan pernikahan itu secara jelas. Kedua, perempuan yang dinikah mut’ah harus terhindar dari seluruh penghalang (bukan muhrim). Ketiga, anak yang dihasilkan dari pernikahan itu adalah seperti anak yang diperoleh dari pernikahan permanen Dalam hal wajibnya mendapat warisan, pemberian nafkah, dan hak-hak material lainnya. Keempat, perempuan yang dinikah mut’ah itu harus menunggu masa ‘iddah setelah jangka waktu pernikahan itu berakhir dan jika telah bercampur. Apabila suaminya meninggal dunia dan ia berada dalam pemeliharaannya, ia harus menunggu ‘iddah seperti yang berlaku Dalam pernikahan permanen tanpa ada perbedaan. Dan konsekuensi-konsekuensi lainnya.
Suatu hal yang harus kita perhatikan dan kita ketahui dengan jelas adalah bahwa walaupun kaum Syi'ah mempercayai dan meyakini kehalalan nikah mut'ah dan tidak ada sesuatu yang mengharamkannya-itulah yang mereka nyatakan dengan jelas dan tanpa ragu-tetapi mereka tidak serta-merta melaksanakan pernikahan itu kecuali dengan syarat-syarat dan batasan-batasan yang ketat. Hal itu tidak seperti yang digambarkan dan dibayangkan oleh sebagian orang yang tersebar di tengah masyarakat mereka dan dalam bentuk yang sejelek-jeleknya.
Kami dan Doktor Muhammad Fathi Ad-Darini
Akhirnya, saya tahu ada sebuah buku tentang nikah mut'ah yang ditulis oleh As-Sa'ih ' Ali Husain dengan judul al-Ashl fi al Asyya' ...? Walakin al-Mut’ah Haram (Hukum Asal dalam Segala Sesuatu ...Tetapi Mut'ah itu Haram). Buku itu diterbitkan oleh Dar Qutaibah dan diberi kata pengantar oleh Doktor Muhammad Fathi ad-Darini, dekan fakultas Syariah, Universitas Damaskus.
Ada dua hal yang mendorong saya membuat komentar ini, yaitu :
1. Judul buku. Buku itu diberi judul dengan judul yang telah Anda ketahui. Penulisnya berusaha untuk menegaskan bahwa prinsip yang utama dalam segala sesuatu adalah kehalalan, dan mut'ah termasuk di dalamnya. Akan tetapi, ia mengecualikan nikah mut'ah dari prinsip itu dengan dalil tersebut. Kalau tidak begitu, tentu ditetapkan hukumnya sebagai halal. Dengan kata lain, ia berusaha menampakkan kebenaran satu pihak (yang mengatakan tentang kehalAlan mut'ah) untuk sementara tetapi yang prinsip itu berada di pihaknya. Akan tetapi, ia mengecuAlikannya dari prinsip itu dengan dalil yang terputus.
2. Kata pengantar dari Doktor ad-Darini dengan pena suci tanpa umpatan dan celaan kepada lawan yang berpendapat bahwa pernikahan mut'ah itu halal. Sikapnya dalam memelihara etika berdiskusi patut dihargai. Sebenarnya, orang seperti ia sedikit jumlahnya di kAlangan penulis tentang akidah Syi'ah dari sudut pandang Ahlusunah. Kebanyakannya-kecuAli beberapa orang saja di antara mereka-tidak membedakan antara tuduhan dan celaan, dan kadang-kadang mengafirkan-kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri karni.
Dengan itu semua; kami memperhatikan apa yang ditulisnya. Tampaklah bahwa sebagiannya merupakan pengingkaran terhadap apa yang telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi, agar pembaca mengetahui butir-butir kesalahan dalam tulisannya, kami sebutkan hal-hal yang paling penting disertai komentar terhadapnya. Sedangkan sebagiannya lagi telah disebutkan ketika mendiskusikan beberapa keraguan.
Tentang judul, kami katakan bahwa para ahli fiqih dan ahli ushul berpendapat bahwa prinsip dalam segala sesuatu adalah kehalalan. Tetapi prinsip itu tidak mencakup darah, harga diri, dan harta karena asalnya adalah keharaman. Hal itu diketahui oleh orang yang sedikit pengetahuan tentang fiqih sekalipun. Oleh karena itu, kami melihat bahwa Allah SWT menetapkan prinsip berkenaan dengan darah adalah keharaman tetapi mengecualikan satu kasus, yaitu pembunuhan yang dibenarkan syariat. Allah swt berfirman, "... dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali (dengan) alasan yang benar" (QS. Al-Furqan [25]: 68). Selain itu, Allah memberikan penjelasan seperti itu berkenaan dengan harga diri dan kelamin. Allah swt berfirman, "... dan orang-orangyang menjaga kemaluannya kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. " (QS. al-Mu'minun [23]: 5-6)
Adapun tentang prinsip keharaman berkenaan dengan harta, cukuplah den:gan firman Allah swt, "... janganlah kamu saling memakan harta sesamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu" ( QS. anNisa' [4]: 29). Selain itu, Rasulullah saw bersabda, “Tidak halal harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya." Maka penggunaan harta orang lain adalah haram kecuali jika ia merelakannya.
Berdasarkan hal itu, prinsip berkenaan dengan pernikahan mut'ah yang merupakan upaya untuk menjaga kemaluan adalah haram dan untuk mengecuAlikannnya dari prinsip itu diperlukan dalil, serta pendapat para ahli ushul bahwa prinsip dalam segAla sesuatu adalah kehalalan mengacu pada kasus-kasus selain ini. Yaitu, yang mengacu pada pemanfaatan unsur-unsur alami oleh manusia.
Berdasarkan hal ini juga, apa yang diupayakan penulis buku itu yang menunjukkan keluwesan dalam pembahasannya sejalan dengan pendapat saudaraya dari kaum Syi'ah tentang kehalalan pernikahan mut'ah-menurut prinsip utama. Akan tetapi, dalil-dalil telak mendorongnya untuk menyatakan keharamannya. Hal itu merupakan upaya yang keliru dan tidak pada tempatnya. Saya mengira bahwa penulis itu tidak menguasai masalah-masalah ini.
Buku itu-tanpa bermaksud mengingkari dan mengurangi hak penulisnya-menyerupai sebuah novel, bukan buku fiqih. Selain itu, saya merasa heran, mengapa Doktor ad-Darini mau memberikan kata pengantar untuk buku ini. oleh karena itu, saya merasa tidak perlu mendiskusikan isinya. Kami merasa cukup dengan mengkajinya dari kata pengantarnya saja.
Tentang kata pengantar itu, telah kami sebutkan di atas. Akan tetapi, dalam menjelaskannya kami sertakan juga beberapa komentar setelah mengutipnya bagian demi bagian secara ringkas. Sebab, jika dinukil seluruhnya, tentu akan menyebabkan pembahasan ini menjadi bertele-tele.
Untuk memudahkan pembaca memahami dua paragraf itu, kami memerinci setiap tema dengan memberikan nomor dengan angka Romawi.
I. Hukum-hukum Syariat Mengikuti Kemaslahatan
Profesor itu berkata, "Telah disepakati di antara para ahli ushu1 dan fukaha-yang pendapat-pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad-bahwa hukum-hukum syariat Islam memiliki maksud dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Pembuat syariat secara pasti melalui penetapan hukum-hukumNya. Para muhaqqiq telah mengisyaratkan prinsip tersebut, yaitu bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan hamba."
Selanjutnya ia mengatakan, "Imam asy-Syathibi telah menuljs kitab al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari'ah wa Maqashiduha. Di situ ia menegaskan bahwa hukum-hukum syariat, selain aspek-aspek ibadah(ta'abbudiyyah), memiliki tujuan-tujuan yang dikehendaki Pembuat syariat dalam penetapan hukum-Nya. Karena itu, tidak ada artinya wasilah jika wasilah itu menyimpang atau bertentangan dengan tujuannya.
Berikut ini beberapa catatan atas ungkapan di atas.
1.Bahwa hukum-hukum ditetapkan menurut kepentingan adalah sesuatu yang dibenarkan Al-Qur'an dan hadis-hadis dari Keluarga Suci. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya (meminum) khamar; berjudi, (berkorban untuk ) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamardan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan salat. Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). " (QS alMa'idah [5]: 90-91)
Masih banyak ayat-ayat tentang pensyariatan hukum. Isinya menunjukkan kepentingan-kepentingan yang menjadi sebab disyariatkannya suatu hukum.
Tentang hadis-hadis dari para imam ahlulbait, Syekh ash Shaduq Muhammad bin 'Ali bin Babawaih (306-381) telah menghimpunnya dalam sebuah kitab beljudul 'Ilal asy-Syarayi'. Kitab itu memuat ilmu para imam ahlulbait yang sepantasnya dirujuk oleh setiap orang. Kitab itu disusun sebelum asy-Syathibi atau guru-gurunya lahir. Syi'ah Imamiyah terkenal dengan fahamnya yang mengatakan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan karena mengikuti para imam mereka, sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang merujuk pada kitab-kitab fiqih dan ushul mereka. Maka menekankan perhatian pada masalah ini adalah seperti memindahkan kurma ke dalam kantung.
2. Syekh al-Asy'ari, imam yang sangat terkenal di kalangan Ahlusunah, termasuk orang-orang yang menolak prinsip di atas dan memandangnya sebagai pembatasan terhadap kehendak Allah swt. la berkeberatan untuk memutlakkannya. Hal ini tampak jelas bagi mereka yang merujuk pada kitab-kitab Asy'ariyah dalam masalah-masalah ushul dan furu'. Mereka mencela orang-orang yang mengatakan bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Tetapi -mengapa profesor ini mengatakan bahwa prinsip tersebut merupakan, pendapat yang telah disepakati di kalangan para ahli ushu1 dan fukaha. Yah, ia membatasi orangorang yang berpendapat bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan, dengan orang-orang yang pendapat mereka dipandang sebagai timbangan ilmu dan ijtihad.
Saya tidak menyangka bahwa Imam al-Asy'ari dan sejumlah ulama yang mengikutinya termasuk orang-orang yang pendapat mereka tidak dipandang sebagai timbangan Ilmu dan ijtihad.
3. Profesor itu, karena mengikuti Imam asy-Syathibi, mengatakan bahwa prinsip yang mengatakan hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan kecuali masalah-masalah ibadah. Namun, saya tidak melihat adanya pengecualian di situ. Padahal, dalil yang sama menunjukkan bahwa prinsip tersebut berlaku untuk segala hal (termasuk masalah-masalah ibadah). Yaitu, untuk memelihara tindakan Allah SWT dari kesia-siaan. Dalil ini berlaku untuk masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah bukan peribadatan.
Benar, kadang-kadang kita tidak sampai pada tujuan-tujuan yang dimaksud dalam peribadatan. Akan tetapi, hal itu tidak berarti bahwa masalah peribadatan terlepas dari prinsip tersebut. Allah SWT berfirman, "... dan dirikanlah salat untuk mengingat-Ku" (QS. Thaha [20]: 14). Allah juga berfirman, "Sesungguhnya salat itu mencegah dari. (Perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar" (QS. Al-'Ankabut [29]: 45). Tentang puasa, Allah berfirman, "Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. " ( QS. alBaqarah [2] : 183)
Mengecualikan masalah-masalah peribadatan dari prinsip itu sama saja dengan membatasi kaidah akal. Padahal, seperti telah diketahui, kaidah akal tidak dapat dibatasi. Tidak boleh kita mengatakan bahwa hasil dari perkalian dua dengan dua adalah empat (2 x 2 = 4) kecuali dalam kasus tertentu.
Orang-orang yang berpendapat bahwa hukum-hukum harus mengikuti syarat-syarat dan kriteria-kriteria adalahorang-orang yang berpendapat tentang kehujahan akal dalam istinbath (deduksi) hukum-hukum syariat dalam bab al-Mulazamat al'Aqliyyah (rasional inherent) dan sebagainya. AkAl yang menetapkan bahwa hukum-hukum mengikuti kemaslahatan tidak membedakan antara masalah-masalah peribadatan dan masalah-masalah lain, antara praktik ibadah dan ushul seraya mengatakan bahwa Pembuat syariat itu adalah Yang Mahabijaksana. Zat Yang Mahabijaksana terpelihara tindakan-Nya dari kesia-siaan. Maka hukum-hukum dan syariat-syariat-Nya mengandung tujuan-tujuan untuk kepentingan hamba-hamba-Nya -dan kemaslahatan bagi orang-orang yang mengamalkannya dengan benar.
II. Tujuan Utama Pernikahan: Membina Keluarga
Doktor itu mengatakan bahwa pernikahan dalam Islam disyariatkan bagi tujuan-tujuan utama yang telah ditetapkan dalam Al-Qur'an secara jelas. Semuanya kembali pada pembinaan keluarga utama yang merupakan cikal bakal masyarakat Islam. Dengan sifat-sifat dasarnya herupa kesucian diri, kesucian hadan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial-kemudian untuk menegaskan prinsip tersehut ia berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an.
Selanjutnya ia mengatakan, "Ketika Allah mengaitkan pernikahan dengan naluri seksual, hal itu tidak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi dorongan seksual. Melainkan yang Dia maksudkan adalah mengarah kepada terwujudnya tujuan tersebut heserta sifat-sifat dasarnya berupa pembentukan keluarga yang hukum-hukumnya telah ditetapkan secara terperinci dalam Al-Qur'an." Oleh karena itu, pernikahan mut'ah yang luput dari tujuan reproduksi dan pembinaan keluarga menggugurkan tujuan yang dimaksudkan Pembuat syariat dari setiap prinsip disyariatkannya pernikahan itu.
Berikut ini catatan atas ungkapan di atas. Pertama:Profesor ini telah mencampuradukkan 'illat pensyariatan dengan hikmahnya. 'lllat adalah kutub tempat berputamya suatu hukum. Hukum itu berlaku jika ada 'illat. Sebaliknya, hukum itu gugur jika tidak ada 'illat Ini berbeda dengan hikrnah. Kadang-kadang hukum lebih luas daripada hikrnah. Berikut ini penjelasannya.
Pembuat syariat mengatakan, "Jauhilah minuman yang memabukkan." Mabuk merupakan'illat bagi wajibnya menjauhi minuman tersebut dengan bukti adanya keterkaitan di antara keduanya. Selama cairan itu memabukkan, maka hukum itu tetap berlaku. Tetapi, jika cairan itu beruhah menjadi cuka, maka hukum itu pun menjadi gugur.
Dalam ayat lain, Allah swt herfirman, "Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allahdan hari akhirat" (QS. al-Baqarah [2]: 228)
Kandungan ayat ini mengungkapkan bahwa "menahan diri" adalah untuk mengetahui keadaan rahim, apakah mengandung anak atau tidak. Seperti telah diketahui, ini adalah hikrnah dari hukum tersebut, bukan 'illat-nya. Oleh karena itu, kami memandang bahwa hukum itu lebih luas daripada hikmah. Dalilnya, para fukaha menetapkan hukum wajibnya "menahan diri" untuk mengetahui ada atau tidak adanya kehamilan di dalam rahim perempuan itu. Sepeti itu pula dalam kasus-kasus berikut:
1. Apabila perempuan itu mandul, tidak melahirkan anak.
2. Apabila laki-laki yang mandul.
3. Apabila suami meninggalkannya dalam jangka waktu yang lama, misalnya enam bulan atau lebih, dan kita tahu bahwa tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
4. Apabila melalui pemeriksaan medis, diketahui tidak ada kehamilan dalam rahimnya.
Ayat itu adalah ayat hukum walaupun tidak ada hikmah dari hukum tersebut. Hal ini tidak menafikan apa yang telah kita sepakati bahwa hukum-hukum itu mengikuti kemaslahatan. Sebab, yang dimaksud adalah kriteria-kriteria untuk kebanyakan kasus, tidak untuk seluruh kasus.
Apabila Anda telah mengetahui perbedaan antara hikmah dan 'illat, Anda akan mengetahui bahwa profesor ini telah mencampuradukkan antara 'illat dan hikmah. Maka pembinaan keluarga, reproduksi, dan solidaritas sosial semuanya muncul dari sisi hukum dengan dalil bahwa Pembuat syariat juga menetapkan hukum sahnya pernikahan walaupun dilakukan bukan untuk tujuan-tujuan di atas, seperti dalam kasus-kasus berikut:
1. Sah pernikahan laki-laki yang mandul dengan perempuan yang subur.
2. Sah pernikahan perempuan yang mandul dengan laki-laki yang subur.
3. Sah pernikahan perempuan yang sudah mengalami menopous.
4. Sah pernikahan anak di bawah umur. .
5. Sah pernikahan seorang pemuda dengan seorang pemudi dengan niat tidak akan memiliki anak sepanjang hidupnya.
Apa, menurut profesor ini, boleh membatalkan pernikahan-pernikahan seperti ini dengan alasan tidak bertujuan untuk membina keluarga?
Padahal sudah jelas, kebanyakan pasangan muda yang menikah melalui pernikahan permanen tidak memiliki tujuan kecuali untuk memenuhi dorongan seksual dan memperoleh kenikmatan melalui cara yang halal. Mereka tidak berpikir untuk menghasilkan keturunan, walaupun akhimya hal itu diperoleh juga.
Kedua, profesor itu harus membedakan antara orang yang menikah mut'ah untuk tujuan memperoleh keturunan dan membina keluarga beserta sifat-sifat dasarnya berupa kesucian diri, kesucian badan, kesetiaan, kemenangan, dan solidaritas sosial dan orang yang menikah untuk memenuhi dorongan seksual semata melalui cara ini.
Adapun, mengapa ditempuh pernikahan sementara atau mut'ah? Karena adanya beberapa kemudahan dalam pernikahan mut'ah yang tidak diperoleh dalam pernikahan permanen.
Profesor itu, seperti kebanyakan orang dari kalangan Ahlusunah yang menulis tentang pernikahan mut'ah, menganggap perempuan yang dinikahi dengan pernikahan mut'ah seperti para pelacur yang selalu membuka pintu rumahnya. Setiap hari, seorang laki-laki menemuinya, dan pada hari itu ia berkumpul dengannya, kemudian laki-laki itu meninggalkannya. Kemudian datang laki-laki lain melakukan hal serupa. Kalau ini makna pernikahan mut'ah, maka Syi'ah Imamiyah serta para imam, para rasul, dan kitab-kitabnya berlepas diri dari syariat yang serupa dengan perzinaan tetapi berbeda nama ini. Akan tetapi, pernikahan mut'ah itu berbeda 100 persen dari pernikahan tersebut. Kadang-kadang ada perempuan yang ditinggal mati suaminya, sementara ia masih muda dan cantik; di sisi lain, ada laki-laki yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen karena kendala-kendala sosial yang menghadangnya. Bersamaan dengan itu, ia mencari perempuan seperti perempuan tadi, lalu menikahinya dengan beberapa tujuan: pertama, menghindari perzinaan, dan kedua, membina keluarga dengan sifat-sifat yang dimiliki perempuan tersebut.
Sebenamya, pikiran yang tersimpan dalam benak penulis itu dan orang-orang lain tentang pernikahan mut'ah adalah menganggap pernikahan tersebut sama dengan pelacuran di rumah-rumah bordil dan tempat-tempat lainnya. Padahal, tidak mungkin pernikahan seperti itu ditetapkan dengan syariat. Selain itu, pernikahan mut’ah yang disyariatkan tidak seperti itu. Kadangkadang pernikahan mut'ah itu berlangsung hanya sehari semalam. Maka dalam pernikahan mut'ah itu ditetapkan syarat-syarat seperti yang berlaku dalam pernikahan permanen. Namun, pernikahan mut’ah berbeda dengan pernikahan permanen dalam dua hal, yaitu dalam talak dan pemberian nafkah. Sedangkan dalam pewarisan, mereka saling mewariskan. Hal semacam itu menuntut tujuan-tujuan yang dituntut dalam pernikahan pada umumnya. Kami telah menjelaskan hakikat pernikahan mut'ah dalam pembahasan di atas.
Sebenamya, tujuan utama dalam setiap kasus yang diberi keringanan oleh Pembuat syariat dalam hal hubungan kelamin dengan segala bagian-bagiannya hingga pemilikan budak dan kehalalan mencampurinya adalah untuk; memelihara diri agar tidak jatuh ke dalam perzinaan dan pelacuran. Adapun tujuantujuan lain berupa pembinaan keluarga dan solidaritas sosial hanyalah tujuan-tujuan sekunder sebagai suatu konsekuensi baik dimaksudkan oleh suami-istri itu maupun tidak.
Tujuan utama itu terdapat dalam pernikahan mut'ah. Tujuan disyariatkannya pernikahan mut'ah itu adalah untuk memelihara diri dari perbuatan haram bagi orang yang tidak mampu menempuh pernikahan permanen. Karena itu, telah tersebar hadis yang diriwayatkan dari Ibn ' Abbas: "Semoga Allah merahmati 'Umar. Pernikahan mut'ah itu adalah rahmat dari Allah yang diberikan kepada umat Muhammad. Kalau ia tidak melarangnya, niscaya tidak akan jatuh ke dalam perzinaan kecuali orang yang celaka."
(Scondprince/Syiah-Ali/Kabar-Islamia/Manhaj/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email