Pesan Rahbar

Home » » Renaisans dan Perubahan Menyeluruh dalam Pola-pikir

Renaisans dan Perubahan Menyeluruh dalam Pola-pikir

Written By Unknown on Monday 22 February 2016 | 14:06:00


Sejak abad 14, landasan sebuah perubahan menyeluruh telah terbentuk lewat beragam faktor. Pertama, merebaknya nominalisme (kesejatian penamaan) dan pengingkaran atas keberadaan konsep-konsep universal di Inggris dan Perancis, yang berperan efektif menjatuhkan dasar-dasar filsafat. Kedua, percekcokan seputar filsafat alam Aristoteles di Universitas Paris. Ketiga, gemerutu ketakselarasan filsafat dan dogma-dogma Kristen, atau nalar dan agama. Keempat, mencoloknya perseteruan antara penguasa-penguasa masa itu dan otoritas-otoritas Gereja, dan antar-otoritas Gereja sendiri terjadi perselisihan yang berbuntut pada kemunculan Protestantisme. Kelima, menggilanya humanisme dan tendensi untuk berurusan dengan masalah-masalah kehidupan manusia, sembari mencampakkan masalah-masalah metafisika. Dan akhirnya, keenam, pada pertengahan abad ke-15, Kekaisaran Bizantium runtuh, perubahan utuh (secara politik, filosofis, kesusastraan dan keagamaan) mencuat di seluruh penjuru Eropa, dan lembaga-lembaga kepausan diserang dari segala jurusan. Dalam keadaan ini, filsafat skolastik yang lemah itupun menemui nasib akhirnya.

Pada abad 16, minat pada ilmu-ilmu alam dan empiris meningkat pesat, dan temuan-temuan Copernicus, Kepler dan Galileo telah mengguncang dasar-dasar astronomi Ptolemius dan filsafat alam Aristoteles. Singkatnya, semua aspek peri kemanusiaan di Eropa terganggu dan terguncang.

Lembaga-lembaga kepausan berhasil menahan gelombang-gelombang besar ini, dan para ilmuwan dihadapkan pada Inkuisis karena penolakan mereka pada dogma-dogma agama, pandangan-pandangan tentang filsafat alam dan kosmologi seperti yang diakui oleh Gereja berdasar tafsiran Injil dan ajaran-ajaran agama. Banyak ilmuwan yang kemudian dibakar hidup-hidup dengan alasan fanatisme buta dan kepentingan otoritas-otoritas Gereja. Bagaimanapun, pada gilirannya Gereja dan lembaga-lembaga kepausan dimundurkan dengan hina.

Perilaku fanatik dan beringas Gereja Katolik berekor pada sikap negatif masyarakat terhadap otoritas-otoritas Gereja, dan agama secara umum, serta kejatuhan filsafat skolastik, yaitu satu-satunya filsafat yang mengalir pada masa itu. Semua ini selanjutnya melahirkan kehampaan intelektual dan filosofis, dan akhirnya kemunculan skeptisisme modern. Selama proses ini, satu-satunya yang mengalami kemajuan adalah humanisme dan hasrat pada ilmu alam dan empiris di medan budaya, serta kegandrungan pada liberalisme dan demokrasi di medan politik.


Skeptisisme Tahap Kedua

Selama berabad-abad, Gereja menebarkan pelbagai pandangan dan gagasan sejumlah filosof sebagai ajaran-ajaran agama, sehingga orang-orang Kristen menerima semua itu sebagai hal yang pasti dan suci, di antaranya adalah pandangan-pandangan kosmologis Ptolemius dan Aristoteles, yang lantas dijungkirkan oleh Copernicus, dan sarjana-sarjana tidak memihak lain juga menyadari kekeliruan pandangan-pandangan tersebut. Seperti telah kita sebutkan, perlawanan dogmatis dan perilaku keji otoritas-otoritas Gereja terhadap para ilmuwan justru memunculkan reaksi bermusuhan.

Perubahan dalam bermacam pemikiran dan keyakinan serta rontoknya tonggak-tonggak akal dan filsafat (pada Abad Pertengahan) melahirkan guncangan-guncangan jiwa pada banyak sarjana dan membersitkan keragu-raguan dalam benak mereka: Bagaimana kita bisa memastikan bahwa keyakinan-keyakinan kita lainnya tidak galat dan kegalatan itu suatu saat menjadi jelas (seperti dalam kasus ajaran-ajaran Kristen)? Bagaimana kita bisa tahu bahwa teori-teori ilmiah yang baru ditemukan tidak akan dikelirukan suatu hari nanti? Akhirnya, seorang sarjana terpandang bernama Michel Eyquem de Montaigne menuliskan: Bagaimana kita bisa yakin bahwa teori Copernicus tidak akan digugurkan di masa mendatang? Montaigne sekali lagi mengungkapkan keragu-raguan kalangan skeptik dan sophis dengan gaya baru, skeptisisme dibela, dan dengan demikian tahap baru skeptisisme mengemuka.


Nestapa Skeptisisme

Selain merupakan wabah kejiwaan, sikap ragu-ragu juga melahirkan netapa spiritual dan material bagi masyarakat. Pengingkaran nilai ilmu pengetahuan memupuskan harapan bagi kemajuan ilmu dan pembelajaran, menutup ruang nilai-nilai moral dan perannya dalam masyarakat, sekaligus mencerabut landasan intelektual agama. Sebenarnya, pukulan terbesar mengarah pada dogma-dogma agama, keyakinan-keyakinan yang tidak berhubungan dengan urusan-urusan material dan bendawi. Ketika ombak keraguan menerjang relung-relung kalbu masyarakat, keyakinan-keyakinan adialami tentunya menjadi paling rentan terguncang.

Maka itu, skeptisisme merupakan wabah sangat berbahaya dan mengancam seluruh aspek kehidupan masyarakat dengan kehancuran. Seiring dengan penyebaran wabah ini, tidak ada sistem etika, politik dan agama yang dapat tetap stabil, sehingga tersedialah dalih untuk segala macam tindak kejahatan, ketidakadilan dan penindasan. Atas dasar itu, perjuangan melawan skeptisisme adalah tugas semua sarjana dan filosof, sekaligus merupakan tanggungjawab para pemuka agama. Para pendidik, politisi, reformis sosial perlu bekerja keras melawan wabah yang sama.

Pada abad 17, berbagai aktivitas digalang untuk membenahi kerusakan-kerusakan yang diakibatkan Renaisans, termasuk di dalamnya memerangi skeptisisme. Kalangan Gereja cenderung memutus-tuntas kebergayutan agama Kristen pada nalar dan ilmu, dan membentengi ajaran-ajaran agama dengan kalbu dan keimanan (faith). Di sisi lain, para filosof dan cendikiawan berupaya menemukan asas-asas pengetahuan dan nilai yang teguh dan kukuh, sehingga guncangan-guncangan intelektual dan gonjang-ganjing sosial tidak dapat memorak-poradakannya.


Filsafat Modern

Usaha terpenting untuk membebaskan diri dari skeptisisme dan menghidupkan kembali filsafat pada periode ini ialah apa yang dilakukan oleh Rene Descartes, filosof Perancis yang digelari “Bapak Filsafat Modern.” Setelah lama merenung dan meneliti, ia muncul dengan ancangan untuk mengukuhkan kuda-kuda pemikiran filsafat. Prinsip Descartes dapat diringkaskan dalam proposisi terkenalnya: “Saya ragu, maka saya ada,” atau “Saya berpikir, maka saya ada,” yakni, apabila seorang meragukan segala sesuatu, ia tetap tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tak bisa diragukan. Kemudian Descartes mencoba-rumuskan hukum-hukum pikiran yang sebanding dengan hukum-hukum matematika untuk memecahkan masalah-masalah filsafat.

Pada zaman huru-hara intelektual itu, pemikiran dan gagasan Descartes telah menjadi sumber ketentraman bagi banyak cendikia. Sejumlah pemikir besar lain, seperti G. W. Leibniz, Baruch Spinoza, dan Nicolas Malebranche juga berupaya memperkukuh tonggak filsafat modern. Bagaimanapun, upaya-upaya ini tidak berhasil menelurkan sistem filsafat harmonis yang memiliki asas-asas pasti dan kukuh. Pada sisi lain, perhatian sebagian besar cendikiawan telah beralih pada ilmu-ilmu empiris, banyak dari mereka yang tidak berminat pada penelitian soal-soal filsafat dan metafisika. Karena itu, di Eropa tidak terdapat sistem filsafat yang kuat, kukuh dan mantap. Dan meski sewaktu-waktu ada kumpulan gagasan ditawarkan sebagai aliran filsafat yang pada batas tertentu mempunyai penganut, sampai detik ini tidak ada yang benar-benar sanggup tampil mantap secara permanen.


Kemendasaran Pengalaman dan Skeptisisme Modern

Senyampang kebangkitan filsafat rasional dan ditemukannya kembali akal dalam memahami kebenaran di benua Eropa, kecenderungan berlandaskan kemendasaran (fundamentality) indra dan pengalaman yang disebut empirisisme meriap di Inggris.

Bibit-bibit kecenderungan ini sebenarnya berawal pada akhir Abad Pertengahan dan di tangan William asal Ockham, filosof Inggris, pelopor aliran nominalisme, dan sebetulnya juga menyangkal kemendasaran akal. Pada abad 16, Francis Bacon, dan pada abad 17, filosof Inggris Thomas Hobbes, juga sama-sama mengandalkan kemendasaran indra dan pengalaman. Tetapi, mereka yang dikenal sebagai empiris adalah tiga filosof Inggris John Locke, George Berkeley dan David Hume, yang membincangkan soal-soal pengetahuan dari akhir abad 17 sampai sekitar satu abad setelahnya. Di samping menyanggah pandangan-pandangan Descartes ihwal “pengetahuan fitri” (innate knowledge), mereka juga meyakini semua pngetahuan bersumber pada indra dan pengalaman.

Di antara tiga filosof Inggris yang disebut belakangan, John Locke adalah yang paling moderat dan agak rasionalis. Berkeley terang-terangan mendukung kemendasaran nama atau nominalisme, tapi (mungkin secara tak-sadar) ia berpegang pada hukum sebab-akibat yang merupakan prinsip rasional, selain juga memegang pandangan-pandangan yang tidak sejalan dengan kemendasaran indra dan pengalaman. Akan halnya Hume, ia sepenuhnya setia pada kemendasaran indra dan pengalaman dan berbagai ikutannya, termasuk keraguan pada metafisika dan hakikat gejala alam. Dan begitulah awal mula terbentuknya fase ketiga skeptisisme dalam sejarah filsafat Barat.


Filsafat Kritis Kant

Pemikiran Hume termasuk yang membentuk pijakan ide-ide filsafat Kant. Dalam kata-katanya sendiri, “Huma-lah yang membangunkanku dari kelunglaian dokmatisku.” Kant terutama sangat cocok dengan penjelasan Hume ihwal prinsip kausalitas, yang berintikan bahwa pengalaman tidak bisa menandaskan hubungan pasti sebab dan akibat.

Untuk waktu sangat lama, Kant merenungi masalah-masalah filsafat dan menulis sekian banyak esai dan buku. Dia mengajukan gagasan filsafat yang lebih abadi dan lebih bisa diterima dibandingkan dengan gagasan-gagasan sejenisnya. Tetapi, akhirnya dia sampai pada kesimpulan bahwa nalar atau akal teoretis tidak mampu memecahkan soal-soal metafisika dan bahwa kaidah-kaidah rasional hampa nilai ilmiah.

Secara tersurat Kant menyerukan bahwa soal-soal seperti keberadaan Tuhan, keabadian ruh dan kehendak-bebas (free-will) tidak bisa dituntaskan dengan bukti-bukti rasional, tapi keyakinan dan keimanan padanya merupakan implikasi dari penerimaan suatu sistem etika. Dengan kata lain, semua aturan yang diterima melalui nalar praktis merupakan penggugah keimanan kepada Tuhan dan hari kebangkitan, dan bukan sebaliknya. Atas dasar itu, Kant mesti dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali nilai-nilai etika yang telah sedemikian centang-perenang dan hampir lenyap pada masa Renaisans. Tetapi, pada sisi lain, ia juga mesti digolongkan sebagai salah satu faktor pemusnah dasar-dasar filsafat metafisika.

(Syiah-Menjawab/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: