Dalam riwayat Syiah disebutkan bahwa Imam Hasan menguasai seluruh bahasa dan dialeknya. Apakah hal ini dapat dipercaya? Katakanlah demikian adanya, lantas mengapa orang-orang Syiah harus heran terhadap orang-orang seperti Abu Huraira yang meriwayatkan ribuan hadis dari Nabi Saw?
Dalam riwayat Syiah disebutkan dari Abi Abdillah, "Sesungguhnya al-Hasan berkata, Allah punya dua kota satu di timur satunya di barat. Kota-kota itu memiliki 70 juta. Satu sama lain berbicara dengan bahasa yang tidak sama dan saya memahami semua bahasa itu. " (Al Kaafi 1/384-385) Sebagian orang berteriak-teriak keheranan karena Abu Hurairah meriwayatkan dari Nabi 6000 riwayat, tapi diam saja dan percaya bahwa Hasan dapat berbicara dengan 70 juta bahasa? Mengapa bisa demikian?
Jawaban Global:
Pada sebagian riwayat disebutkan bahwa para imam kita berbicara dengan bahasa selain bahasa Arab dan bahasa-bahasa lainnya. Para nabi dan para imam mengetahui dan menguasai beragam bahasa tidak memerlukan penjelasan riwayat; karena mereka memiliki ilmu Ilahi. Artinya mereka berhubungan dengan sumber asli ilmu yaitu Allah Swt dan menerima secara langsung ilmu-ilmunya dari Allah Swt.
Dengan penjelasan ini maka jawaban atas pertanyaan kedua Anda juga menjadi jelas; karena kami meyakini bahwa imam berdasarkan ilmu Ilahinya menguasai dan berbicara dengan bahasa-bahasa ini. Mereka tidak ikut kelas tertentu, mendengar dan mempelajarinya atau belajar dari seseorang.
Sebagai bandingannya, disebutkan bahwa Abu Huraira mendengar dari Rasulullah Saw dan setelah mendengarnya ia menghafalkannya dan hal ini yang mengurangi kepercayaan kita atas riwayat-riwayatnya. Di samping itu, pribadi Abu Huraira tidak begitu dapat dipercaya dan ucapan-ucapannya tidak dapat dijadikan sebagai sandaran.
Jawaban Detil:
Pada sebagian riwayat Syiah disebutkan sebagai berikut:
Abu Bashir berkata, "Saya berkata kepada Imam Musa al-Kazhim As, "Semoga jiwaku menjadi tebusanmu! Dengan apakah seorang imam itu dapat dikenal?" tanyaku. Imam Musa menjawab, ‘Dengan beberapa sifat utama.[1] 1. Dengan sesuatu dari ayah yang menunjuknya sehingga menjadi dalil imamah (seperti nash untuknya dan penyerahan ilmu imam kepadanya). 2. Apa pun yang ditanyakan kepadanya maka ia akan menjawab dan apabila mereka diam maka ia yang akan memulai pembicaraan. 3. Ia dapat memberikan berita tentang apa yang akan terjadi di masa datang. 4. Ia dapat berbicara dengan siapa saja dengan bahasa apa saja. Dan setiap bangsa tertentu dapat berbicara dengannya tanpa penerjemah." Imam Musa al-Kazhim kemudian menghimbuhkan, ‘Wahai Aba Muhammad! Sebelum engkau bangkit dari tempat dudukmu, saya akan memberikan sebuah alamat kepadamu. Tidak lama setelah itu, seseorang dari Khurasan memasuki majelis dan orang Khurasan tersebut berbicara dengan Imam Musa dalam bahasa Arab namun Imam menjawabnya dalam bahasa Persia. Orang Khurasan itu berkata, "Semoga jiwaku menjadi tebusanmu! Demi Allah. Saya ragu untuk bercakap-cakap dengan Anda dalam bahasa Persia karena Anda tidak tahu bahasa Persia." Imam Musa menjawab, "Subhanallah! Apabila Aku tidak dapat menjawabmu (dalam bahasamu) lantas keutamaan apa yang Aku miliki?" "Wahai Abu Muhammad! Tiada satu pun ucapan yang tersembunyi bagi imam, tidak percakapan burung, tidak makhluk hidup dan tiada satu pun makhluk yang memiliki ruh (yang tidak diketahui oleh imam). Barang siapa yang tidak memiliki keutamaan ini maka ia bukanlah seorang imam." Pungkas Imam Musa al-Kazhim."[2]
Terapat riwayat lainnya yang memiliki kandungan sama:
Inti riwayat dinukil demikian, "Imam Hasan As bersabda, "Allah Swt memiliki dua kota. Pertama di Timur dan lainnya di Barat. Sekelilingnya terdapat tembok dari besi dan masing-masing memiliki sejuta gerbang dan di dalam setiap gerbang terdapat tujuh puluh juta bahasa. Pembicaraan mereka berdasarkan satu bahasa dan berbeda dengan yang lainnya dan saya mengetahui seluruh bahasa mereka dan apa yang ada pada dua kota itu dan yang mengantarai. Mereka tidak memiliki seorang hujjah selain Aku dan saudaraku, Husain."
Beberapa orang dari Khurasan datang menghadap kepada Imam Shadiq As. Sebelum mereka bertanya berkata dalam dialek bahasa Arab, "Man jama'a malan yahrusuhu adzzabaLlahu ‘ala miqdarihi." (Barang siapa yang menumpuk-numpuk harta maka Allah Swt akan mengazabnya seukuran harta yang ia tumpuk). Orang-orang Khurasan berkata, "Kami tidak paham apa yang Anda sampaikan." Imam Shadiq As berkata dalam bahasa Persia, "har ke daram anduzad jazâyasy dusakh bâsyad" (Barang siapa yang menumpuk-numpuk harta maka Allah Swt akan mengazabnya seukuran harta yang ia tumpuk) kemudian menambahkan, "Allah Swt menciptakan dua kota. Pertama di Barat dan lainnya di Timur yang masing-masing memiliki tujuh puluh ribu penduduk. Setiap kotanya memiliki gerbang besi yang memiliki satu juta pintu dari emas. Masing-masing darinya memiliki dua helai pintu. Tujuh puluh ribu penduduk ini memiliki ragam dialek yang kesemuanya aku ketahui. Tiada hujjah (imam) pada dua kota ini dan pada kota selainnya selain aku dan ayahku serta anak-anakku."[3]
Nah, dalam menjawab pertanyaan di atas, dengan memperhatikan beberapa riwayat, harus dikatakan bahwa:
Para nabi dan imam maksum As memiliki ilmu Ilahi. Artinya ilmu mereka bersambung dengan sumber asli ilmu yaitu Allah Swt. Mereka menerima ilmu-ilmu dari Allah Swt.[4] Karena itu, apabila mereka mau dan kondisi menuntut demikian, mereka dapat berkata-kata dengan ragam bahasa. Demikian juga dalam menetapkan urusan (imam memiliki ilmu Ilahi) ini tidak memerlukan penjelasan riwayat. Dengan menerima inti penjelasan imamah dan ilmu Ilahi para Imam Maksum As maka kita dapat sampai pada keyakinan atas persoalan ini.
Penguasaan para Imam Maksum As atas bahasa-bahasa ini tidak serta-merta bermakna bahwa mereka menyimpan bahasa-bahasa dunia dalam diri mereka. Penguasaan ini bermakna bahwa mereka menyimpan pokok-pokoknya dalam benak mereka dan mereka dapat menggunakannya sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Seperti komputer yang di dalamnya terinstal software ragam bahasa dan dapat digunakan sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Demikian juga mereka dapat menggunakannya apabila dibutuhkan misalnya pada riwayat pertama, orang-orang yang diajak bicara oleh imam tidak mengetahui bahasa Arab dan pada riwayat kedua, imam menggunakan ilmunya ini sebagai bukti atas imamahnya.
Apabila kita menerima sanad riwayat yang menjadi obyek bahasan, maka dapat dikatakan bahwa maksud dari jumlah tertentu kota-kota dan bahasa-bahasa ini, dan lain sebagainya adalah menjelaskan bilangan banyak yang tersebar di pelbagai belahan dunia dan diketahui oleh imam dengan ilmu ladunni yang dimiliki. Karena itu, apabila jumlah bahasa dan dialek, kurang-lebihnya dari jumlah ini tentu saja tidak akan menciderai tuturan dan sabda imam dalam riwayat ini.
Dengan penjelasan ini, jawaban pertanyaan kedua juga menjadi jelas. Abu Huraira berkata bahwa hadis-hadis yang ia nukil adalah hadis-hadis yang didengar dari Rasulullah Saw, meski ia tidak terlalu lama bersama Rasulullah Saw. Hal ini tentu saja menjadi kontradiktif dengan kenyataan yang ada. Kritikan yang dilontarkan atas riwayat-riwayat yang menjadi obyek bahasan (ilmu ladunni imam) tentu tidak relevan. Karena sesuai dengan keyakinan Syiah, imam berdasarkan ilmu Ilahinya mengetahui bahasa-bahasa ini. Mereka tidak ikut kelas tertentu, mendengar dan mempelajarinya atau belajar dari seseorang. Sebagai bandingannya, Abu Huraira dijelaskan mendengar dari Rasulullah Saw dan setelah mendengarnya ia menghafalkannya dan hal ini yang mengurangi kepercayaan kita atas riwayat-riwayatnya. . Di samping itu, pribadi Abu Huraira tidak begitu dapat dipercaya dan ucapan-ucapannya tidak dapat dijadikan sebagai sandaran.[5]
Referensi:
[1]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 285, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H. Muhammad Baqir Majlisi, Mir'ât al-‘Uqul fi Syarh Akhbâr Âli al-Rasûl, Riset dan edit oleh Sayid Hasyim Rasuli, jil. 3, hal. 208, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Kedua, 1404 H.
[2]. Muhammad Yakub Kulaini, al-Kâfi, Riset dan edit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, jil. 1, hal. 462, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Tehran, Cetakan Keempat, 1407 H.
«إِنَّ لِلَّهِ مَدِینَتَیْنِ إِحْدَاهُمَا بِالْمَشْرِقِ وَ الْأُخْرَى بِالْمَغْرِبِ عَلَیْهِمَا سُورٌ مِنْ حَدِیدٍ وَ عَلَى کُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا أَلْفُ أَلْفِ مِصْرَاعٍ وَ فِیهَا سَبْعُونَ أَلْفَ أَلْفِ لُغَةٍ یَتَکَلَّمُ کُلُّ لُغَةٍ بِخِلَافِ لُغَةِ صَاحِبِهَا وَ أَنَا أَعْرِفُ جَمِیعَ اللُّغَاتِ وَ مَا فِیهِمَا وَ مَا بَیْنَهُمَا وَ مَا عَلَیْهِمَا حُجَّةٌ غَیْرِی وَ غَیْرُ الْحُسَیْنِ أَخِی».
[3]. Sa'id bin Abdullah Quthbuddin Rawandi, al-Kharâij wa al-Jarâih, jil. 2, hal. 753, Muassasah Imam Mahdi Ajf, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H; Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 47, hal. 119, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1403 H.
[4] . Silahkan lihat, Ilmu Gaib Para Imam As, Pertanyaan 2775; Ilmu Para Wali Allah, Pertanyaan 189.
[5]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, 973, Kepribadian Abu Hurairah Menurut Para Sahabat.
(Islam-Quest/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email