Pesan Rahbar

Home » » Mendekatkan Diri Kepada Allah Dengan Tafakkur

Mendekatkan Diri Kepada Allah Dengan Tafakkur

Written By Unknown on Sunday, 9 July 2017 | 02:01:00


Dalam kajian tasawuf, tahapan perjalanan ruhani merupakan bagian terpenting untuk diketahui. Catatan sejarah para sufi mencerminkan beragam bahasa bahkan pandangan yang mengekspresikan hakikat perjalanan maknawi ini. Di antara syarat pertama dan utama untuk berjuang melawan diri dan berjalan menuju Allah adalah ‘tafakkur’ atau yang umum dikenal dengan ‘perenungan diri’.

Dalam artikel sederhana ini, tafakkur digunakan dalam arti meluangkan waktu, berapa pun sedikitnya, untuk merenungkan tugas-tugas kita terhadap Sang Pencipta dan Penguasa kita – yang telah menghadirkan kita ke bumi, yang telah menganugerahkan kita seluruh sarana kenikmatan dan kesenangan hidup, yang telah melengkapi kita dengan tubuh yang baik serta pelbagai daya dan indra yang sempurna untuk beragam tujuan.

Semua itu membuat akal manusia terkagum-kagum. Di samping seluruh pemberian dan rahmat tersebut, Dia juga telah mengutus begitu banyak nabi dan menurunkan kitab suci-Nya untuk membimbing dan mengajak kita agar dapat memperoleh rahmat-Nya. Maka, apa kira-kira kewajiban kita teradap Allah, Raja dari segala raja ini?

Apakah semua ini dianugerahkan kepada kita sekedar untuk melayani kehidupan hewani kita dan memuaskan nafsu dan insting kita – yang juga dimiliki oleh seluruh binatang lain -ataukah ada tujuan yang lebih tinggi?

Apakah seluruh nabi Allah, orang-orang arif, para pemikir, dan orang-orang berilmu dari setiap bangsa yang telah mengajak manusia untuk mematuhi prinsip-prinsip rasional dan hukum-hukum Allah, serta meminta manusia untuk meninggalkan seluruh kecenderungan hewaninya dan melepaskan diri dari lingkungan yang fana dan musnah ini adalah musuh-musuh manusia? Ataukah mereka yang tidak mengetahui jalan penyelamatan kita, manusia-manusia yang tenggelam dalam aneka nafsu syahwat ini?

Jika kita merenung dengan akal kita sesaat, kita akan memahami bahwa tujuan dari seluruh rahmat dan anugerah yang ditanamkan ke dalam diri kita adalah sesutu yang lain, yang lebih unggul dan lebih tinggi daripada yang tampak oleh mata. Dunia ini adalah tahap perbuatan dan tujuannya adalah wilayah eksistensi yang lebih tinggi dan lebih agung.

Eksistensi hewani yang rendah ini bukanlah merupakan tujuan itu sendiri. Seorang manusia berakal mesti menilai dirinya sendiri dan merasa sedih atas ketakberdayaan dirinya. Dengan rasa kasihan, ia seharusnya berkata kepada dirinya sendiri.

“Wahai diri yang lalai! Kau telah menyia-nyiakan saat-saat yang berharga dalam hidup singkatmu untuk mengejar keinginan duniawi dan nafsumu. Dan yang bakal kau peroleh hanyalah penyesalan dan rasa kehilangan. Kau harus menyesali perbuatan-perbuatanmu pada masa lalu di hadapan Allah dan memulai perjalanan baru ke tujuan yang telah digariskan oleh-Nya; perjalanan yang akan membawamu kepada kehidupan yang kekal dan kebahagiaan abadi.”

“Kau tidak boleh menukar kenikmatan-kenikmatan singkat ini, yang bahkan sering kali sulit diperoleh, dengan kebahagiaan abadi. Berpikirlah untuk sesaat, wahai diri yang lalai! Kau harus memikirkan keadaan manusia sejak fajar peradaban hingga masa kini. Lihat dan bandingkan penderitaan dan siksaan yang mereka terima dengan kenikmatan dan kesenangan yang mereka perolah dan kau akan melihat bahwa penderitaan dan kesakitan mereka selalu melebihi dan menghilangkan kenikmatan dan kesenangan mereka.”

“Kenikmatan dan kesenangan bukanlah untuk setiap orang dalam kehidupan ini. Orang yang mengajak dan mendorongmu untuk mengejar kenikmatan duniawi dan perolehan materiil jelas adalah salah satu dari kelompok utusan iblis dalam bentuk manusia. Dia selalu mengajak manusia untuk bergabung dengannya dalam menyukai kenikmatan-kenikmatan dan menyatakan keyakinannya terhadap jalan ini.”

“Pada persimpangan jalan ini, wahai diri, kau harus berhenti untuk sesaat dan berpikir apakah utusan iblis itu telah merasa puas dan bahagia dengan keadaannya sendiri; ataukah ini semua hanya menunjukkan bahwa seseorang yang telah terjangkiti oleh sifat buruk itu ingin menularkannya kepada orang lain”

“Wahai diri! Kau mesti memohon keridhaan Allah bagi seluruh perbuatanmu dan terus mengejar keridhaan-Nya. Berdoalah agar seluruh perbuatanmu diridhai oleh-Nya. Di antara Dia dan engkau selalu ada sepercik harapan. Harapan itu akan menjadi nyata dalam niat teguhmu untuk bertempur melawan iblis dan jiwa rendahmu. Perjuangan melawan diri ini akan mengantarmu ke tingkat yang lebih tinggi dan upayakanlah dengan seluruh kemampuanmu untuk mencapainya melalui perjuangan yang sungguh-sungguh.”

Seperti dinyatakan oleh Nabi Muhammad dalam sebuah hadist, bahwa jihad diri adalah jihad akbar yang lebih unggul dibandingkan dengan jihad berperang di jalan Allah. Dalam tahap ini, jihad akbar berarti usaha manusia untuk mengendalikan seluruh daya dan kekuataan fisiknya untuk patuh pada semua perintah Allah dan dibersihkan dari seluruh unsur setan dan kekuatannya dalam diri kita. []

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: