Diriwayatkan, suatu hari Jalaluddin Rumi berkata kepada putranya: “Kalau orang berkata kepadamu bagaimana tarekatmu? jawab saja, tarekatku adalah sedikit makan, tarekatku adalah ‘mati’ – dalam sinar Ilahi – sebelum mati.”
Keberatan yang muncul dari ‘mati-lah sebelum mati’ kadang muncul ketika memahami kematian sebagai ketiadaan. Padahal, kematian bukan ketiadaan, melainkan perkembangan dan perpindahan; musnah dari satu tingkat untuk memulai hidup di tingkat lain.
Dengan kata lain, kematian adalah ketiadaan (non-eksistensi) relatif, yakni non-eksistensi dari satu tahap demi eksistensi di tahap lain. Manusia tidak akan mengalami kematian mutlak, tetapi hanya akan kehilangan kondisi tertentu dan berlahir ke kondisi lain.
Di sini, kesirnaan itu bersifat relatif. Misalnya, tanah yang berubah menjadi tumbuhan, tidak mengalami kematian mutlak. Tanah itu hanya mengalami kematian relatif, karena forma dan ciri khas tanah sebelumnya sebagai benda mati telah lenyap.
Namun, ia mati dari satu kondisi dan keadaan untuk beroleh kehidupan dalam kondisi lain. Dalam konteks ini, penyair sufistik Jalaluddin Rumi mengungkapkan:
Aku mati dari (keadaan sebagai) benda mati, dan berubah menjadi tetumbuhan
Aku mati dari (keadaan sebagai) tetumbuhan, dan berubah menjadi binatang.
Aku mati sebagai binatang, dan kini berubah menjadi manusia.
Kalau begitu, mengapa aku mesti takut menjadi kurang akibat kematian?
Di tahap akhir, aku akan mati dari (keadaan sebagai) manusia untuk bisa berubah mejadi salah satu sayap malaikat.
Setelah jadi malaikat, aku akan terus mencari ufuk lain.
Karena “segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah-Nya”[]
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email