Al-Hasan meriwayatkan bahwa, “Suatu ketika Rasul Saw. pernah memberi nasihat kepada isteri tercintanya, Aisyah ra., ‘Biasakanlah mengetuk pintu syurga. Niscaya ia akan dibukakan untukmu.’ Aisyah pun tampak kebingungan dan bertanya, ‘Bagaimana kami bisa mengetuk pintu syurga?’ Beliau menjawab, ‘dengan rasa lapar dan haus.’”
Ibn Abbas berkata, “Rasul bersabda, ‘Orang yang kenyang perutnya lalu tertidur, hatinya akan mengeras.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Bagi segala sesuatu itu ada zakatnya, dan zakat bagi tubuh adalah rasa lapar.’”
Dalam hadis mursal dikatakan, “Sesungguhnya setan berjalan mengikuti aliran darah anak cucu Adam; karena itu, persempitlah jalan setan itu dengan cara menahan lapar dan haus.”
Nabi Saw. bersabda, “Orang beriman makan dengan satu usus, sedangkan orang munafik makan dengan tujuh usus.”
“Perangilah nafsumu dengan rasa lapar dan haus karena sesungguhnya pahala dalam hal itu seperti pahala berperang di jalan Allah. Tidak ada amal yang lebih dicintai Allah kecuali rasa lapar dan haus.”
Ibnu Abbas pernah bertanya kepada Rasul, “Siapakah manusia yang paling mulia?” Dan beliau menjawab, ‘Orang yang sedikit makan dan sedikit tertawa, serta ridha dengan pakaian sederhana yang menutupi auratnya.”
Al-Hasan berkata, “Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Berpikir adalah sebagian dari ibadah, sedangkan makan secukupnya adalah ibadah penuh.’”
Umar ra. Pernah berkata, “Hati-hatilah terhadap rasa kenyang. Sesungguhnya ia merupakan beban dalam kehidupan dan sumber malapetaka setelah kematian.”
Dan, masih banyak hadis dan riwayat sahabat lainnya yang membahas tentang keutamaan menahan hawa nafsu terkait mengenyangkan perut ini.
Lantas, lapar yang bagaimana yang dimaksud Al-Ghazali?
Dalam hadis panjang yang diriwayatkan oleh Usamah ibn Zaid dan Abu Hurairah disebutkan tentang lapar yang dimaksud Rasul Saw., “Sesunggunya orang yang paling dekat dengan Allah pada Hari Kiamat adalah orang yang sering merasa lapar dan haus di dunia ini, orang yang penuh kasih sayang dan bertakwa kepada Allah—yang ketika hadir mereka tidak dikenal, dan ketika pergi tidak dicari orang. Akan tetapi, bumi mengenal mereka dan para malaikat menolong mereka. Orang lain menyia-nyiakan amal dan akhlak para Nabi, sedangkan mereka melestarikannya. Mereka tidak tergiur pada dunia laksana anjing tergiur melihat bangkai. Mereka hanya makan seperlunya saja, sekadar dapat menyambung nyawa, memakai pakaian yang sederhana. Di kalangan penduduk dunia, terkadang ia dianggap gila, dan berjalan tanpa akal, tetapi justru merekalah yang berakal ketika akal manusia lainnya hilang.”
Dalam Disciplining the Soul: Breaking the Two Desire, Al-Ghazali berusaha menjelaskan makna hadis tersebut.
Menurutnya, mengetuk pintu syurga bisa dilakukan dengan hal-hal yang disebutkan, seperti menahan lapar, haus, bersikap sederhana, dan berakhlak mulia laiknya Rasul.
Menahan lapar dan haus yang dimaksud adalah saat kita mampu untuk makan dan minum sepuasnya, tapi kita justru memilih untuk tidak berlebihan dan tidak melupakan kewajiban kita kepada makhluk yang lainnya. Orang-orang di sekitar yang membutuhkan bantuan. Lebih khusus, Al-Ghazali menawarkan konsep lapar ini agar kita terhindar dari bahaya kekenyangan yang akan merusak hati, pikiran juga kesehatan.
Tidak berlebihan dalam perihal mengisi perut ini dapat dijadikan cara untuk mengetuk pintu syurga, sebab lapar memiliki sedikitnya sepuluh manfaat, di antaranya:
Pertama, menyucikan hati, menajamkan kecerdasan, dan menerangi jiwa. Rasul Saw. bersabda, “Cahaya kebijaksanaan berasal dari rasa lapar. Sedangkan menjauh dari Allah diakibatkan oleh rasa kenyang, dan kedekatan kepada Allah bersumber dari rasa cinta dan sikap penyantun terhadap orang-orang miskin. Oleh karena itu, janganlah engkau makan hingga kenyang karena dengan begitu engkau telah memadamkan cahaya hikmah yang ada di dalam hatimu.”
Kedua, melunakkan hati untuk mendatangkan rasa bahagia. Abu Sulaiman berkata, “Ketika hati lapar dan haus, ia menjadi jernih dan lunak. Tapi, saat kenyang, ia menjadi buta dan keras.”
Ketiga, tumbuhnya rasa malu, sikap rendah hati, dan memunculkan rasa saling berbagi pada sesama manusia. Sebab nafsu makan yang berlebihan merupakan pintu menuju neraka. Sebaliknya, sikap rendah hati dan menjaga perut merupakan pintu menuju syurga, dan modal dasarnya adalah rasa lapar.
Keempat, tidak lupa pada cobaan dan azab Allah, dan tidak menelantarklan orang-orang yang tertimpa musibah.
Kelima, menaklukkan segala nafsu berbuat maksiat, dan mengalahkan jiwa yang senantiasa memerintah berbuat kejahatan. Aisyah berkata, “Rasa lapar adalah salah satu perbendaharaan dari sekian banyak perbendaharaan Allah.”
Keenam, mencegah rasa ingin tidur yang berlebihan.
Ketujuh, mempermudah ketekunan dan menjalankan ibadah.
Kedelapan, kesehatan tubuh dan mencegah penyakit sebagai akibat tidak berlebihan dalam mengisi perut. Harun al Rasyid berkata, “Obat yang tidak mengandung efek samping adalah tidak makan kecuali lapar dam berhenti makan sebelum kenyang.”
Kesembilan, biaya hidup yang ringan. Orang yang tidak berlebihan dalam makanan akan merasa merdeka dan tidak bergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhannya itu.
Kesepuluh, tumbuhnya kebiasaan mendahulukan kepentingan orang lain dan bersedekah kepada orang yang membutuhkan. Inilah yang kemudian menjadi tabungan bagi manusia yang bisa diambil kelak di yaumil akhir.
Yang terpenting, inti dari tidak berlebihan dalam mengisi perut yang dimaksud Al-Ghazali ini tiada lain adalah untuk saling berbagi dan merasakan antar sesamanya. Sebab, bukankah Islam ini berada di titik tengah–Yang berarti mengajarkan umatnya untuk tidak terlalu lapar, juga tidak terlalu kenyang?
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email