Semua suluk (perjalanan ruhani) sesungguhnya bertujuan menemukan mulianyaRubûbiyyah (Ketuhanan) dan hinanya ‘ubûdiyyah (kehambaan). Ini merupakan tahap awal sekaligus puncak suluk, sehingga kadar suluk setiap orang dapat diukur dengan penghayatannya atas hakikat ini. Bahkan, ukuran kesempurnaan dan kekurangan manusia terletak di sini.
Egoisme, keakuan, pengagungan dan kecintaan pada diri berbanding terbalik dengan kesempurnaan perikemanusiaan seseorang dan akan menjauhkannya dari maqam kedekatan dengan Rubûbiyyah. Sungguh, hijab yang dihasilkan dari keadaan mengagungkan dan menyembah diri ini sangatlah tebal dan gelap. Mengoyak hijab ini lebih sulit daripada mengoyak semua hijab lainnya. Bahkan, pengoyakan semua hijab lain merupakan pengantar untuk mengoyak hijab ini, lantaran pengoyakan hijab (egoisme) ini merupakan kunci induk untuk membuka alam gaib dan alam tampak (syahâdah) serta pintu utama untuk memasuki kesempurnaan ruhaniah mausia.
Selagi seorang hamba masih saja memandang pada dirinya, kesempurnaan dan keindahannya yang palsu, maka dia akan tetap terhijab dan terjauhkan dari Keindahan Mutlak dan Kesempurnaan Sejati Allah. Keluar dari penjara ini adalah syarat pertama untuk bersuluk menuju Allah. Bahkan, neraca keaslian dan kepalsuan suatu riyâdhah(pengolahan ruhaniah) terletak di sini. Maka itu, langkah yang diayunkan pesuluk dengan sikap keakuan dan pengagungan diri dalam selubung egoisme dan cinta-diri pastilah tidak akan berguna karena suluk yang demikian itu tidak akan menuju kepada Allah tetapi kembali kepada ego dan dirinya sendiri. “Sumber segala berhala ada dalam dirimu sendiri.” (Jalaluddin Rumi).
Allah SWT berfirman, “…Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh pahalanya akan tetap ada di sisi Allah…” (an-Nisa’:100).
Hijrah secara formal berarti pergi dari rumah formal menuju Ka’bah atau tempat-tempat suci para kekasih (wali) Allah, sementara hijrah maknawi (substansial) berarti pergi dari rumah diri dan tempat-tinggal dunia menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah menuju Rasul dan para wali Allah adalah juga hijrah menuju Allah. Selagi seorang pesuluk masih cenderung pada dirinya dan belum beranjak dari keakuan dan egoismenya, maka dia tidak bisa disebut sebagai seorang musafir. Selagi ikatan keakuan masih dalam menjerat pesuluk, dinding-dinding kota ego dan tapal-batas cinta-dirinya masih belum lepas dari jiwanya, maka dia secara jelas bukanlah musafir atau muhajir (pelaku hijrah) yang sebenarnya.
Siapa pun yang melangkah dengan kaki ubudiyah dan menyematkan pada ubun-ubunnya lambang kehinaan ubudiyyah pasti akan sampai kepada kemuliaan Rububiyyah. Jalan menuju hamparan hakikat Rububiyyah mesti melalui pengembaraan tingkatan-tingkatan ubudiyyah. Apabila sikap keakuan dan egoisme dalam ubudiyyah seseorang sudah terbasmi habis, maka dia akan menemukan dirinya berada dalam naungan penjagaan Rububiyyah. Setelah itu, hamba ini akan sampai pada suatu maqam dimana Dzat Yang Mahabenar akan menjadi pendengarannya, penglihatannya, tangannya dan kakinya―sebagaimana tertuang dalam hadis yang sahih dan masyhur dalam literatur semua mazhab Islam.
Apabila seorang hamba meninggalkan seluruh campur-tangan dirinya, menyerahkan kekuasaan dirinya sepenuhnya kepada Allah, mengembalikan rumah-dirinya pada Pemiliknya yang sejati dan sirna (fana’) dalam kemuliaan Rububiyyah, maka Pemilik Sejati rumah-diri ini akan mengatur segala urusan dalam rumah tersebut. Dengan demikian, jadilah semua perilaku hamba itu selalu seiring dengan Perilaku Ilahi; matanya akan menjadi mata Ilahi dan dia akan melihat dengan benar (al-haqq); telinganya akan menjadi telinga Ilahi dan dia akan mendengar dengan benar. Dan setiap kali rububiyyah egoistik meningkat, kemuliaan Rububiyyah (Ilahi) dalam dirinya akan menurun. Hal itu lantaran kedua hal ini, kehinaan hamba dan Kemuliaan Tuhan, saling berlawanan. “Dunia dan akhirat itu bagaikan dua wanita yang dimadu.” (Ucapan Sayidina Ali bin Abi Thalib).
Dengan demikian, sudah sewajarnya seorang pesuluk berupaya keras untuk senantiasa mematrikan sifat kehinaan ubudiyyah dan Kemuliaan Rububiyyah dalam sukmanya. Semakin kuat pandangan ini terpatri dalam sukma, semakin bertambah transenden ibadah seseorang dan semakin kuat ruh ibadah memancar dalam dirinya. Selanjutnya, dengan bantuan Dzat Yang Mahabenar dan para wali-Nya yang sempurna, seorang hamba akan sampai kepada esensi ubudiyah dan memperoleh sepercik sinar rahasia ibadah yang sesungguhnya.
Maqam Kemuliaan Rububiyyah yang merupakan inti dan maqam kehinaan ubudiyah yang merupakan kulitnya terlambangkan dengan jelas dalam seluruh ibadah ritual, terutama dalam shalat yang memiliki sifat yang mencakup dan menyeluruh. Kedudukan shalat di antara semua ibadah lainnya bagaikan kedudukan seorang insân kâmil atau kedudukan al-Ism al-A’zham (Nama Teragung Allah)―dan shalat memang adalah al-Ism al-A’zham. Qunut yang merupakan kegiatan sunah dan sujud yang merupakan kegiatan wajib memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri (dalam konteks di atas). Semua itu akan kami singgung dalam pembahasan mendatang, insya Allah.
Ketahuilah bahwa sikap ubudiyyah yang mutlak merupakan tingkat kesempurnaan yang tertinggi dan maqam kemanusiaan yang teratas. Tidak seorangpun mendapatkan kedudukan ini kecuali makhluk Allah yang paling sempurna, yakni Baginda Muhammad saw dan para wali-Nya yang juga sempurna. Nabi saw menempati maqam ini secara mandiri (bi al-ishâlah), sementara para wali lain yang sempurna menempati maqam ini berkat bantuan Nabi saw (bi al-thaba’iyyah). Adapun segenap hamba selain mereka yang sudah bersimpuh dalam ubudiyyah tetap akan memiliki cacat dan kekurangan. M’iraj yang benar-benar mutlak tidak akan dicapai melainkan dengan kaki ubudiyyah semacam ini.
Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Mahasuci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya…” (al-Isra’: 1). Kaki ubudiyyah dan tarikan Rububiyyah yang mengantarkan makhluk suci itu menuju mi’raj kedekatan dan perjumpaan dengan Allah.
Dalam tasyahud shalat yang merupakan kembalinya Nabi saw dari fana’ mutlak yang beliau alami dalam sujudnya, beliau melakukan tawajuh pada ubudiyyah sebelum bertawajuh kepada kerasulannya. Hal ini mungkin merupakan isyarat bahwa maqam kerasulan pun pada hakikatnya adalah inti dari sikap ubudiyyah. Maka Nabi pun paling suka disebut sebagai Abdullah (hamba Allah) ketimbang gelar apapun selainnya.
(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email