Pesan Rahbar

Home » » Spiritualitas Islam Untuk Kemanusiaan Universal

Spiritualitas Islam Untuk Kemanusiaan Universal

Written By Unknown on Saturday, 29 July 2017 | 17:08:00

Foto: nedhardy.com

“Sendainya Aku (Allah) ingin tempat, maka langit dan bumi tidak cukup untuk-Ku. Jika cukup, maka qolbunya orang mukmin adalah tempat-Ku.” (Al Hadis)

Kehadiran tasawuf menjadi pro dan kontra, dari dulu hingga kini. Di satu sisi, tasawuf dianggap sebagai obat dan pelipur bagi jiwa manusia, terlebih di tengah-tengah gersangnya kondisi era modern. Tapi di satu sisi juga tasawwuf dianggap sebagai faktor penyebab kemunduran umat islam. Bahkan, ada pula yang menganggap bahwa tasawuf sebagai biang kepasifan dan kejumudan.

Hal ini wajar, mengingat tasawuf bukan hanya berbicara tentang hal bersifat lahir, tapi juga membahas apa-apa yang tidak dapat dilihat dan hanya bisa dirasakan. Pun begitu, dengan maraknya definisi tasawwuf yang beragam, baik secara bahasa maupun istilah.

Secara bahasa, istilah yang berasal dari tiga huruf Arab ini, (sha, wau dan fa), ada yang mengartikan sebagai kesucian, safwe yang berarti orang-orang terpilih, shafwe yang berarti baris atau deret, shuffa yang berarti serambi rendah terbuat dari tanah liat, dan ada pula yang menganggap shuf yang berarti bulu domba.

Sedangkan secara istilah, Imam al Ghazali mengartikannya sebagai budi pekerti. Artinya, jika seseorang memberikan budi pekertinya, berarti ia memberikan bekal atas dirimu dalam bertasawwuf. Orang yang layak disebut bertasawwuf adalah mereka yang berakhlak baik kepada semua makhluk, tak terkecuali.

Syekh Abul Hasan asy-Syadzili, syekh sufi besar dari Afrika Utara, mendefinisikan tasawuf sebagai “praktik dan latihan diri melalui cinta yang dalam dan ibadah untuk mengembalikan diri kepada jalan Tuhan”.

Sahal al-Tustury (w 245) mendefinisikan tasawuf dengan, “orang yang hatinya jernih dari kotoran, penuh pemikiran, terputus hubungan dengan manusia, dan memandang antara emas dan kerikil”.

Syeikh Ahmad Zorruq (m. 1494) dari Maroko, “Ilmu yang denganya Anda dapat memperbaiki hati dan menjadikannya semata-mata bagi Allah, dengan menggunakan pengetahuan anda tentang jalan islam, khususnya fiqih dan pengetahuan yang berkaitan, untuk memperbaiki amal anda dan menjaganya dalam batas-batas syariat islam agar kebijaksanaan menjadi nyata”.

Dan, lain sebagainya.

Pertanyaannya adalah, apa fungsi tasawuf, hingga memunculkan pro dan kontra tersebut?

Sebagaimana yang dikatakan Syekh Muhammad Al-Kurdi, bahwa tujuan tasawuf sesungguhnya adalah untuk lebih dekat dengan Tuhan. Caranya pun beragam. Tasawuf hanya merupakan salah satu jalan untuk menuju-Nya

Dalam tasawuf, menurutnya ada empat tingkatan yang harus dilalui oleh sufi, sebelum dirinya benar-benar dekat dengan Tuhan, yakni tingkatan syariat, thariqat, hakikat, dan makrifat.

Keempat tingkatan ini, diaminkan pula oleh KH. Said Aqil Siradj dalam kuliah umumnya di Program Studi Aqidah Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam kuliah umum yang bertema, “Tasawwuf: Spiritualitas Islam untuk Kemanusiaan Universal”, Kiai Aqil menjelaskan bahwa tasawuf, adalah menggapai kebenaran dan menghilangkan kepalsuan.

Kiai Aqil menghimbau agar umat islam tidak terjebak oleh tipu daya yang terlihat seolah-olah jihad, syiar, ibadah, namun sesungguhnya merupakan kepalsuan yang dibungkus riya.

Menurutnya, tasawuf berarti menerapkan sifat dan nilai-nilai Allah dalam kehidupan kita sehari-hari tanpa perlu adanya pemikiran panjang ketika akan melakukan tindakan. Atau seperti apa yang disebut al Ghazali sebagai akhlak.

Misalnya, sifat maha rozzak-Nya, supaya kita bisa memberikan rezeki untuk kebaikan orang lain. Sifat maha rohman, supaya kita saling mengasihi. Sifat maha ghofur, supaya kita saling memaafkan. Sifat-sifat universal-Nya, supaya kita memberikan cinta untuk semua makhluk, dan sebagainya.

Orang yang mendahulukan kepentingan Allah, maka timbal baliknya Allah akan mendahulukan kepentingannya. Itulah tasawwuf. Masih menurut Kiai Aqil, orang yang bertasawuf tidak dikuasai siapapun dan tidak menguasai siapapun. Tidak merasa benar, dan tidak menyalahkan yang lain.

Sejarah mencatat bahwa, orang yang pertama kali dipanggil sufi bukan orang ahli ibadah, bukan ahli tafsir, bukan ahli hadis, tapi Jabir bin Hayya, yakni orang yang pertama kali menggagas ilmu matematik, al Jabar. Karena perilakunya lillaita’ala. Orang yang kebaikannya tidak mau dikenal oleh semua orang.

Bahkan, untuk menentukan keputusan, ia akan minta pendapat dari gurunya, yakni Ja’far Shodiq.

Perilaku atau akhlaknya yang demikian itulah yang mengantarkannya pada sebutan sufi. Tasawuf adalah revolusi spiritual. Dari yang buruk menjadi baik, dari yang sombong menjadi tawadlu. Dari yang pemarah menjadi penyabar. Hal ini bisa terwujud dengan melalui latihan batin yang terkadang setiap orang berbeda-beda jumlah waktunya.

Oleh karenanya, untuk mencapai dekat dengan Tuhan, kita harus khusyuk. Caranya melalui maqom. Maqom pertama itu taubat. Kata taubat sebetulnya hanya sebagai redaksi. Yang menjadi dasar adalah, sikap kita terhadap Tuhan yang ingin kita jumpai tersebut. Sehingga, pertanyaan ingat Allah berapa jam, lupa Allah berapa jam dalam sehari?, patut menjadi perhatian bagi orang-orang yang ingin menempuh jalan ini.

Dan, untuk mencapai maqom selanjutnya, kita harus meninggalkan penyakit merasa. Karena sebenarnya kita ini tidak ada. Hanya kita ini diadakan oleh yang ADA, jadi yang ada hanyalah yang Ada. Kita ini hanya dipinjamkan, hak guna pakai.

Sehingga, ketika Rabiah al Adawiyah mengatakan bahwa ana anta huwa itu palsu, karena yang sebenar-benarnya aku itu adalah Allah. Ketika semua manusia di muka bumi ini kembali pada yang Punya, maka ketiga panggilan itu kembali pada yang punya. La ila ha illa ana, la ila ha illa anta, la ila ha illa hu, dan yang sebenar-benarnya aku itu adalah Allah, maka kita tidak berhak menyalahkannya.

Pengalaman spiritual yang dirasakan oleh pencetus tasawuf mahabbah ini tidak menjadi jaminan kesamaan bagi para penempuh jalan sufi yang lainnya. Masing-masing mereka memiliki pengalaman tersendiri ketika mendekati Tuhan.

Orang-orang seperti Rabiah ini telah mendapatkan apa yang dinamakan, “wa ma nazala minal hak”, manzilul hak.

Sementara orang-orang yang belum mendapatkan hak dalam hatinya, berpuluh kali pergi haji, memakai sorban sepanjang apa pun, atau hafal quran sekali pun, hatinya tetap mati.

Syariat ada dan penting sebagai aturan bagi manusia agar tidak melenceng dari perintah-Nya. Orang-orang yang sudah mendapatkan manzilul hak, sudah tidak membutuhkan lagi syariat. Karena tanpa syariat pun, ia akan meninggalkan semuanya demi Dia, yang paling dicinta, seperti apa yang dilakukan Rabiah ini.

Mereka sudah takwa, fa al hamaha fuju roha wa takwaha. Mereka sudah qod tabayyana minal rusd, sudah jelas betul mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka sudah wa hadaynahunajdain. Mereka sudah tidak butuh aturan.

Itu sebabnya dalam karya hebatnya Ihya Ulumddin, Imam Ghazali berusaha mengharmoniskan antara syariat dan hakikat.

Sehingga, tasawwuf menurut Kiai Aqil adalah bagaimana caranya agar kita melakukan apa-apa yang dapat mengantarkan pada Allah. Meski Allah sangat dekat dengan kita,

“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya” [QS. Qaaf : 16].

“Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu” [QS. Al-Waqi’ah : 85].

“Sendainya Aku (Allah) ingin tempat, maka langit dan bumi tidak cukup untuk-Ku. Jika cukup, maka qolbunya orang mukmin adalah tempat-Ku.” (Al Hadis)

Namun, pertanyaannya, sampai kapan hati kita menjadi tempat bersemayamnya kebenaran?

“Allah ada di hati kita. Maka carilah Allah dalam hatimu, jangan cari di masjid, jangan cari di ka’bah, jangan cari di Quran, jangan cari di Mekkah atau Madinah. Cukup, gunakan hatimu untuk dapat mengasihi sesama seperti halnya sifat rahman dan rahim-Nya,” pungkasnya.

(Islam-Indonesia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: