اَللَّهُمَّ فَرِّجْ عَنْ كُلِّ مَكْرُوْبٍ
Allahumma farrij ’an kulli makrûb
Ya Allah, bebaskanlah setiap orang yang menderita
Arti Kata Makrûb
Makrûb adalah kata benda yang berasal dari kata benda karb yang berarti ”kesedihan yang mendalam”. Allamah Thabathaba’i mengutip Raghib Isfahani, seorang ahli perkamusan al-Quran ternama, dalam karya beliau, Al-Mizan, mengatakan[Allamah Thabathaba’i, Al-Mizan, jil.19, hal.344.]: Karb artinya kesedihan yang mendalam. Misalnya saja kata ”Karbala”. ”Karbala” merupakan sebuah komposisi ”duka yang sangat” (karb) dan ”cobaan” (bala’). Dengan demikian, makrûb berarti adalah orang yang mengalami duka dan kesedihan yang sangat dalam.
Sumber Kesedihan
Kita memohon dengan segala kerendahan hati kepada Allah Swt supaya melepaskan orang-orang yang sangat bersedih dan berduka dari situasi yang sangat menyedihkan itu. barangsiapa yang mendoakan terlepasnya orang-orang yang bersedih dari duka berarti juga mendoakan hilangnya penyebab kesedihan itu. Namun yang harus kita sadari adalah sumber kesedihan itu berbeda-beda, tergantung pada setiap orang yang mengalaminya dan situasinya. Orang-orang yang bertakwa kepada Allah tidak bersedih bila kehilangan kesenangan dunia, sebagaimana dinyatakan dalam surah Yunus ayat 62: Ingatlah, sesungguhnya wali wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Namun mereka merasakan kesedihan yang mendalam ketika melihat orang-orang kafir dan memikirkan akibat perbuatan mereka yang harus mereka hadapi di masa depan, sebagaimana ditegaskan dalam surah Fathir ayat 8: Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka (akibat kekafirannya). Dalam Chehl Hadith, Imam Khomeini berkata:
“…siapa pun yang kian merasakan kebesaran dan kemuliaan Tuhan dan lebih mengetahui kedudukan suci Allah Swt daripada yang lainnya, maka ia semakin menderita dan tersiksa oleh dosa-dosa para makhluk dan perbuatan mereka yang menodai kekudusan Tuhan. Selain itu, orang yang semakin mencintai dan mengasihi makhluk-makhluk Tuhan juga akan semakin tersiksa oleh kondisi dan cara-cara hidup mereka yang brutal dan celaka. Tentu saja, Penutup para nabi saw adalah yang paling sempurna dan lebih tinggi dari nabi-nabi yang lain dan para wali (orang yang dekat di sisi Allah) dalam hal derajat kemuliaan dan kesempurnaan. Karena itu, ketersiksaan dan kesengsaraan beliau jauh lebih besar daripada siapa pun…”
Adakalanya sumber kesedihan itu berbeda-beda bagi orang-orang yang beriman. Misalnya saja, dengan menengok kehidupan Nabi Ayyub as, kita panjatkan doa berikut ini di bulan suci Ramadan [Mulla Sayid Radhiuddin bin Tawus, Iqbal al-A’mal, jil.1, hal.364] :
Wahai Pelunak besi Daud as,
Wahai Pembebas duka Ayyub as yang mendalam,
Doa tersebut menunjukkan bahwa Nabi Ayyub as pernah mengalami suatu penderitaan yang sangat besar semasa hidupnya. Hadis berikut ini barangkali akan memperjelas hal tersebut.
Ali bin Ibrahim meriwayatkan dalam suatu riwayat yang panjang atas wewenang Abu Bashir bahwa Imam Ja’far Shadiq as berkata:
“…maka seluruh tubuhnya (Nabi Ayyub as), kecuali akal dan matanya, terkena penyakit. Lalu iblis meniupnya sehingga penyakit itu menjadi satu luka yang melebar dari kepala hingga kaki. Dia hidup dalam satu masa dalam keadaan seperti itu, memuji dan bersyukur kepada Tuhan, hingga penyakit itu penuh dengan cacing. Ketika seekor cacing jatuh dari tubuhnya, ia menaruhnya kembali seraya berkata, ‘Kembalilah ke tempatmu, darimana Tuhan menciptakanmu.’ Dan penyakit itu mulai membusuk sehingga penduduk kota mengusirnya dan makanannya berasal dari sampah yang dibuang di luar kota itu.”[Diriwayatkan oleh Imam Khomeini dalam 40 Hadis]
Kita lihat pula kehidupan Nabi Nuh as. Ketika menyeru kaumnya, beliau juga merasakan penderitaan yang sangat dalam. Perhatikan ayat berikut ini:
Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar. (QS. al-Anbiya: 76)
Ayat al-Quran di atas memberikan penafsiran yang berbeda-beda tentang sumber kesedihan. Sementara sebagian orang seperti Thabrasi, dalam Majma al-Bayan, menduga bahwa sumber kesedihan Nabi Nuh as disebabkan oleh gangguan kaum beliau. Sedangkan Mulla Kasyani berpendapat bahwa kesedihan Nabi Nuh as dikarenakan gangguan kaum beliau dan bencana banjir yang menimpa mereka. Namun adakalanya kesedihan disebabkan oleh kelemahan iman dan cinta akan dunia. Seseorang yang tidak memiliki kekayaan materi sementara ia melihat orang lain bergelimang harta dan menikmati kemewahan, bisa jadi menderita kesedihan. Orang-orang yang melakukan bunuh diri akibat beban derita kesedihan yang dipikulnya, menunjukkan bahwa ia kurang sabar menanggung penderitaannya atau bahkan tak punya tujuan hidup. Dengan demikian, jelaslah bahwa setiap makrûb itu berbeda-beda.
Karena itu, seorang pendoa harus mengerti betul berbagai sebab duka dan lara manusia dan berdoa kepada Allah dengan ikhlas supaya menghapuskan segala penyebab itu. Misalnya saja bila ada orang yang merasa gelisah karena tidak berlimpah kesenangan dunia, doakanlah agar orang itu berlepas diri dari cinta dunia. Bila ada orang yang menderita kemiskinan, doakanlah agar kebutuhannya terpenuhi sehingga ia dapat kembali bekerja menyelesaikan segala urusannya dan beribadah dengan tenang. Bila ada orang yang menderita penyakit kanker, doakanlah supaya ia sembuh sehingga dapat hidup dengan tenang dan memperoleh manfaat sepenuhnya dari berbuat kebaikan dalam hidupnya sehingga mampu menyiapkan kehidupan akhiratnya.
Mengingat Orang-orang yang Saat Ini Menderita
Menelusuri kembali sejarah dunia saat ini boleh jadi kurang berarti bagi sebagian orang. Mereka pikir, ”Apa yang bisa saya lakukan andaikan banyak orang mati kelaparan di Afghanistan? Saya tidak bermaksud mengurus mereka. Jadi, tak ada beda apakah saya akan mengetahui kondisi mereka yang mengerikan ataukah tidak.” Tentu saja, pemikiran semacam itu hanya bisa keluar dari pandangan yang picik dan sempit. Manusia dikaruniai fitrah yang selalu ingin menolong sesamanya. Berarti, sikap tak peduli atau pengabaian terhadap kondisi orang lain bertentangan dengan fitrah manusia itu sendiri. Ketidakmampuan untuk membantu orang yang tertindas bukanlah sebuah bentuk pengabaian.
Pertama, hati nurani kita selalu ingin tahu keadaan orang lain, sanak saudara kita, yang menderita kesengsaraan di seantero belahan dunia.
Kedua, jika secara materi kita tidak mampu, Allah Yang Mahakuasa akan membukakan pintu doa yang seluas-luasnya untuk kita. Melalui doa-doa untuk kaum fakir miskin inilah, segala penderitaan mereka yang sengsara akan terkurangi dan bahkan hilang.
Ketiga, ada banyak hal yang bisa kita lakukan bersama untuk menghancurkan kekuasaan dunia barat yang arogan. Tapi sayang, kita tidak berusaha melakukannya. Para pebisnis kita yang mengimpor barang-barang dari berbagai negara, seperti Israel, andaikan membelinya dengan harga relatif murah, akan mendorong dihentikannya transaksi perdagangan sehingga pendapatan Israel berkurang dan secara tidak langsung boleh jadi tidak lagi membunuh rakyat Palestina yang tak berdosa. Tapi kenyataannya, banyak dari kita yang justru mempromosikan komoditas produksi negara-negara Barat yang arogan. Seandainya kita memboikot produk-produk tersebut, pasti sekarang negara-negara Barat itu tak akan makmur secara material seperti sekarang ini. Saat ini, seandainya para pemimpin negara-negara Arab bangun dari tidurnya dan berhenti menjadi budak negara-negara Barat, maka perubahan besar akan terjadi di dunia ini.
Tanggung Jawab Individual
Sekarang pertanyaan yang melintas di pikiran kita, ”Apa tugas saya sebagai seorang individu saat berdoa untuk orang-orang yang menderita?” Kita pasti sudah mengerti bahwa kita masing-masing memiliki kekuatan dalam batasan tertentu dan dapat memanfaatkannya secara efektif. Karena itu, marilah kita mengukur kemampuan kita dan segera mengambil tindakan untuk membebaskan orang-orang yang sengsara dan tertindas. Kita berikan dukungan material dan spiritual sepenuhnya kepada mereka. Kita tidak dibebani kewajiban atau tanggung jawab di luar kemampuan kita. Allah berfirman dalam al-Baqarah ayat 286, Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Jadi, jika saya mampu menyokong sebuah keluarga tertentu dan melepaskan mereka dari kesengsaraan, maka saya harus melakukannya. Jika saya seorang presiden di suatu negara tertentu dan mampu menghilangkan keresahan masyarakat yang merasa terganggu dengan kekacauan di antara mereka, maka saya harus melakukannya dengan tertib. Demikian pula dengan yang lainnya. Apa yang harus dilakukan sesuai dengan kemampuan si pendoa. Kalau tidak, maka permohonan doa kita tak akan berarti apa-apa selain komat-kamit lidah belaka atau ekspresi kemunafikan semata. Semoga Allah menyelamatkan kita dari kejahatan semacam itu.
Menyisipkan Kebahagiaan di Hati Orang yang Beriman
Menghilangkan duka seorang yang beriman dan memberinya kebahagiaan merupakan salah satu pokok masalah yang banyak disinggung dalam kitab-kitab hadis kita. Dua di antaranya sebagai berikut:
1. Rasulullah saw diriwayatkan pernah bersabda, “Barangsiapa menjadikan seorang beriman bahagia, sesungguhnya telah menjadikanku bahagia, dan barangsiapa membahagiakanku, sesungguhnya telah membahagiakan Allah.” [Muhammad Ray Syahri, Mizan al-Hikmah, jil.2, hal.1291, Hadis 8465].
2. Rasulullah saw diriwayatkan pernah bersabda, “Sungguh, ada suatu tempat di surga yang disebut ‘Rumah Kegembiraan’ (Dar al-Farah). Tak seorang pun memasukinya kecuali orang yang menjadikan orang-orang beriman di antara anak-anak yatim piatu bahagia.”[ Muhammad Ray Syahri, Mizan al-Hikmah, jil.2, hal.1291, Hadis 8460].
Kesedihan yang Dianjurkan
Beberapa macam kesedihan sangat dianjurkan. Kesedihan dalam kategori ini dapat membawa kita menuju kemakmuran dan kedamaian. Tobat dan rasa menyesal termasuk dalam kesedihan yang dianjurkan. Berkenaan dengan hal ini, Imam Ali bin Abi Thalib as diriwayatkan pernah berkata, ”Kebahagiaan seorang yang beriman ada dalam ketaatannya dan kesedihannya berkenaan dengan dosanya.”[ Muhammad Ray Syahri, Mizan al-Hikmah, jil.2, hal.1291, Hadis 8455].
Tobat adalah salah satu syarat pokok dari enam syarat permohonan ampun atau istigfar yang disebutkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib as dalam Nahj al-Balaghah. Beliau berkata, “Syarat pertama (syarat memohon ampunan) adalah penyesalan akan masa lalu (perbuatan yang salah).”
Dalam Ali Imran ayat 135 juga ditegaskan, Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain daripada Allah?
Dalam Tafsir ash-Shafi, Mulla Faidh Kasyani [Mulla Faidh Kasyani, Tafsir as-Shafi, jil.1, hal.382-384.] meriwayatkan peristiwa berikut ini: Demi singkatnya penulisan ini, kami tidak akan merinci peristiwa tersebut, melainkan hanya menguraikan poin-poin penting saja) ”Pernah sekali di masa hidup Rasulullah saw, tersebutlah seorang pemuda yang dipanggil Bahlul menemui beliau sembari menangis tersedu-sedu. Beliau bertanya kepadanya tentang sebab ia menangis. Ia menjawab bahwa dirinya telah melakukan dosa-dosa yang sedemikian besar sehingga apabila Allah Swt menghukumnya untuk sebagian saja dari dosa itu, maka ia akan masuk neraka. Lalu Rasulullah saw menanyakan beberapa pertanyaan dan Bahlul menjawabnya. Ketika percakapan beliau dan Bahlul mencapai puncaknya, Rasulullah saw bertanya, ’Adakah yang lain selain Yang Maha Besar yang akan mengampuni dosa yang sangat besar?’ Bahlul menjawab, ’Tidak, aku bersumpah demi Allah.’ Lalu Rasulullah saw memintanya untuk mengatakan salah satu dari dosa-dosanya. Bahlul menceritakan kisahnya seperti di bawah ini:
Aku biasa menggali kuburan selama tujuh tahun. Aku mengeluarkan orang mati di kuburan itu dan melepaskan pakaiannya. Pernah suatu kali terjadi, seorang perempuan dari kaum Anshar meninggal dunia. Setelah ia dibawa ke makam dan dikuburkan, keluarganya meninggalkan kuburan itu. Tibalah waktu malam. Aku mendekati kuburannya, menggalinya dan mengeluarkan mayatnya. Lalu aku melepaskan kain kafannya dan meninggalkannya dalam keadaan telanjang di dekat kuburan itu. Aku mulai akan beranjak. Tiba-tiba setan menghasut pikiranku sehingga aku mulai tertarik olehnya. Maka, aku kembali dan lepas kontrol melakukan perbuatan keji terhadapnya. Kemudian aku meninggalkannya dalam keadaan semacam itu. Tiba-tiba aku mendengar sebuah suara dari belakang yang berkata, ’Hai pemuda, terkutuklah kau dari Hakim Hari Pembalasan, suatu hari saat Dia akan menjadikanku dan kamu berdiri dalam keadaan telanjang seperti kau meninggalkanku di antara orang mati dan mengeluarkanku dari kuburanku dan melepaskan kain kafanku dariku dan meninggalkanku dalam keadaan tidak suci… Maka terkutuklah kamu.’
Setelah menceritakan hal itu, Bahlul berkata, ’Karena itulah aku tak berpikir akan pernah mencium aroma surga.’ Mendengar semua itu, Rasulullah saw berkata, ’Menjauhlah dariku, hai pendosa. Aku takut akan terbakar oleh apimu. Betapa dekatnya kau dengan api neraka!’ Maka Bahlul pun meninggalkan Rasulullah saw dan pergi ke Madinah di mana ia mengambil perbekalannya dan pergi ke salah satu bukit. Di sana, ia mengikatkan tangannya ke lehernya dan mulai berdoa dan memohon ampunan sembari menangis dan bertobat. Ia melakukannya selama empat puluh hari empat puluh malam. Dikisahkan bahwa hewan-hewan di sekitarnya juga menangisinya. Ketika empat puluh hari empat puluh malam berakhir, ia mengangkat tangannya ke langit dan berseru, ’Ya Allah, apa yang telah Kau lakukan terhadap keinginanku? Jika Kau menerima permohonanku dan mengampuni kesalahanku, maka beritahukanlah kepada Rasulullah saw melalui wahyu tentang hal itu, dan jika tidak, maka segera turunkanlah api yang akan membakarku atau sebuah hukuman di dunia ini yang akan mengalahkanku dan membebaskanku dari penghinaan Hari Pembalasan.’
Dengan ini, Allah Yang Mahakuasa menurunkan ayat yang telah disebutkan di atas (QS Ali Imran: 135). Setelah wahyu Allah turun, Rasulullah saw pergi ke tempat di mana Bahlul sedang menangis memohon ampunan. (Peristiwa yang sangat menyedihkan itu membuat orang benar-benar menangis. Kami tidak merincinya di sini demi mempersingkat penulisan). Rasulullah saw mendekati pemuda itu dan berkata, ‘Aku memberimu kabar gembira (dari Allah) bahwa kau adalah seorang hamba Allah yang terbebas dari api (neraka).’”
(Kajian-Syiah/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email