Pesan Rahbar

Home » » Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 3)

Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 3)

Written By Unknown on Saturday 28 November 2015 | 22:19:00


Imam Ali Mengakui Kepemimpinannya : Hujjah Hadis Ghadir Khum

Hadis Ghadir Khum yang menunjukkan kepemimpinan Imam Ali adalah salah satu hadis shahih yang sering dijadikan hujjah oleh kaum Syiah dan ditolak oleh kaum Sunni. Kebanyakan mereka yang mengingkari hadis ini membuat takwilan-takwilan agar bisa disesuaikan dengan keyakinan mahzabnya. Padahal Imam Ali sendiri mengakui kalau hadis ini adalah hujjah bagi kepemimpinan Beliau. Hal ini terbukti dalam riwayat-riwayat yang shahih dimana Imam Ali ketika menjadi khalifah mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berbicara meminta kesaksian soal hadis Ghadir Khum.

عن سعيد بن وهب وعن زيد بن يثيع قالا نشد على الناس في الرحبة من سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم الا قام قال فقام من قبل سعيد ستة ومن قبل زيد ستة فشهدوا انهم سمعوا رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لعلي رضي الله عنه يوم غدير خم أليس الله أولى بالمؤمنين قالوا بلى قال اللهم من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه

Dari Sa’id bin Wahb dan Zaid bin Yutsai’ keduanya berkata “Ali pernah meminta kesaksian orang-orang di tanah lapang “Siapa yang telah mendengar Rasulullah SAW bersabda pada hari Ghadir Khum maka berdirilah?. Enam orang dari arah Sa’id pun berdiri dan enam orang lainnya dari arah Za’id juga berdiri. Mereka bersaksi bahwa sesungguhnya mereka pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda kepada Ali di Ghadir Khum “Bukankah Allah lebih berhak terhadap kaum mukminin”. Mereka menjawab “benar”. Beliau bersabda “Ya Allah barangsiapa yang aku menjadi pemimpinnya maka Ali pun menjadi pemimpinnya, dukunglah orang yang mendukung Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”. [Musnad Ahmad 1/118 no 950 dinyatakan shahih oleh Syaikh Ahmad Syakir].

Sebagian orang membuat takwilan batil bahwa kata mawla dalam hadis Ghadir Khum bukan menunjukkan kepemimpinan tetapi menunjukkan persahabatan atau yang dicintai, takwilan ini hanyalah dibuat-buat. Jika memang menunjukkan persahabatan atau yang dicintai maka mengapa ada sahabat Nabi yang merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya ketika mendengar kata-kata Imam Ali di atas. Adanya keraguan di hati seorang sahabat Nabi menyiratkan bahwa Imam Ali mengakui hadis ini sebagai hujjah kepemimpinan. Maka dari itu sahabat tersebut merasakan sesuatu yang mengganjal di hatinya karena hujjah hadis tersebut memberatkan kepemimpinan ketiga khalifah sebelumnya. Sungguh tidak mungkin ada keraguan di hati sahabat Nabi kalau hadis tersebut menunjukkan persahabatan atau yang dicintai.

عن أبي الطفيل قال جمع علي رضي الله تعالى عنه الناس في الرحبة ثم قال لهم أنشد الله كل امرئ مسلم سمع رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يوم غدير خم ما سمع لما قام فقام ثلاثون من الناس وقال أبو نعيم فقام ناس كثير فشهدوا حين أخذه بيده فقال للناس أتعلمون انى أولى بالمؤمنين من أنفسهم قالوا نعم يا رسول الله قال من كنت مولاه فهذا مولاه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه قال فخرجت وكأن في نفسي شيئا فلقيت زيد بن أرقم فقلت له انى سمعت عليا رضي الله تعالى عنه يقول كذا وكذا قال فما تنكر قد سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول ذلك له

Dari Abu Thufail yang berkata “Ali mengumpulkan orang-orang di tanah lapang dan berkata “Aku meminta dengan nama Allah agar setiap muslim yang mendengar Rasulullah SAW bersabda di Ghadir khum terhadap apa yang telah didengarnya. Ketika ia berdiri maka berdirilah tigapuluh orang dari mereka. Abu Nu’aim berkata “kemudian berdirilah banyak orang dan memberi kesaksian yaitu ketika Rasulullah SAW memegang tangannya (Ali) dan bersabda kepada manusia “Bukankah kalian mengetahui bahwa saya lebih berhak atas kaum mu’min lebih dari diri mereka sendiri”. Para sahabat menjawab “benar ya Rasulullah”. Beliau bersabda “barang siapa yang menjadikan Aku sebagai pemimpinnya maka Ali pun adalah pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya. Abu Thufail berkata “ketika itu muncul sesuatu yang mengganjal dalam hatiku maka aku pun menemui Zaid bin Arqam dan berkata kepadanya “sesungguhnya aku mendengar Ali RA berkata begini begitu, Zaid berkata “Apa yang patut diingkari, aku mendengar Rasulullah SAW berkata seperti itu tentangnya”.[Musnad Ahmad 4/370 no 19321 dengan sanad yang shahih seperti yang dikatakan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 88 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Kata mawla dalam hadis ini sama halnya dengan kata waliy yang berarti pemimpin, kata waly biasa dipakai oleh sahabat untuk menunjukkan kepemimpinan seperti yang dikatakan Abu Bakar dalam khutbahnya. Inilah salah satu hadis Ghadir Khum dengan lafaz Waly.

عن سعيد بن وهب قال قال علي في الرحبة أنشد بالله من سمع رسول الله يوم غدير خم يقول إن الله ورسوله ولي المؤمنين ومن كنت وليه فهذا وليه اللهم وال من والاه وعاد من عاداه وأنصر من نصره

Dari Sa’id bin Wahb yang berkata “Ali berkata di tanah lapang aku meminta dengan nama Allah siapa yang mendengar Rasulullah SAW pada hari Ghadir Khum berkata “Allah dan RasulNya adalah pemimpin bagi kaum mukminin dan siapa yang menganggap aku sebagai pemimpinnya maka ini (Ali) menjadi pemimpinnya dukunglah orang yang mendukungnya dan musuhilah orang yang memusuhinya dan jayakanlah orang yang menjayakannya. [Tahdzib Khasa’is An Nasa’i no 93 dishahihkan oleh Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini].

Dan perhatikan khutbah Abu Bakar ketika ia selesai dibaiat, ia menggunakan kata Waly untuk menunjukkan kepemimpinannya. Inilah khutbah Abu Bakar:

قال أما بعد أيها الناس فأني قد وليت عليكم ولست بخيركم فان أحسنت فأعينوني وإن أسأت فقوموني الصدق أمانة والكذب خيانة والضعيف فيكم قوي عندي حتى أرجع عليه حقه إن شاء الله والقوي فيكم ضعيف حتى آخذ الحق منه إن شاء الله لا يدع قوم الجهاد في سبيل الله إلا خذلهم الله بالذل ولا تشيع الفاحشة في قوم إلا عمهم الله بالبلاء أطيعوني ما أطعت الله ورسوله فاذا عصيت الله ورسوله فلا طاعة لي عليكم قوموا الى صلاتكم يرحمكم الله

Ia berkata “Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai pimpinan atas kalian dan bukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka luruskanlah aku, kejujuran adalah amanah dan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah diantara kalian ia kuanggap kuat hingga aku mengembalikan haknya kepadanya jika Allah menghendaki. Sebaliknya yang kuat diantara kalian aku anggap lemah hingga aku mengambil darinya hak milik orang lain yang diambilnya jika Allah mengehendaki. Tidaklah suatu kaum meninggalkan jihad di jalan Allah kecuali Allah timpakan kehinaan dan tidaklah kekejian tersebar di suatu kaum kecuali adzab Allah ditimpakan kepada kaum tersebut. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan RasulNya maka tiada kewajiban untuk taat kepadaku. Sekarang berdirilah untuk melaksanakan shalat semoga Allah merahmati kalian. [Sirah Ibnu Hisyam 4/413-414 tahqiq Hammam Sa’id dan Muhammad Abu Suailik, dinukil Ibnu Katsir dalam Al Bidayah 5/269 dan 6/333 dimana beliau menshahihkannya].

Terakhir kami akan menanggapi syubhat paling lemah soal hadis Ghadir Khum yaitu takwilan kalau hadis ini diucapkan untuk meredakan orang-orang yang merendahkan atau tidak suka kepada Imam Ali perihal pembagian rampasan di Yaman. Silakan perhatikan hadis Ghadir Khum yang disampaikan oleh Rasulullah SAW kepada banyak orang, tidak ada di sana disebutkan perihal orang-orang yang merendahkan atau mencaci Imam Ali. Kalau memang hadis ghadir khum diucapkan Rasulullah SAW untuk menepis cacian orang-orang terhadap Imam Ali maka Rasulullah SAW pasti akan menjelaskan duduk perkara rampasan di Yaman itu, atau menunjukkan kecaman Beliau kepada mereka yang mencaci Ali. Tetapi kenyataannya dalam lafaz hadis Ghadir Khum tidak ada yang seperti itu, yang ada malah Rasulullah meninggalkan wasiat bahwa seolah Beliau SAW akan dipanggil ke rahmatullah, wasiat tersebut berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali dan berpegang teguh pada Al Qur’an dan ithrati Ahlul Bait. Sungguh betapa jauhnya lafaz hadis tersebut dari syubhat para pengingkar.

Hadis yang dijadikan hujjah oleh penyebar syubhat ini adalah hadis Buraidah ketika ia menceritakan soal para sahabat yang merendahkan Imam Ali. Hadis tersebut bukan diucapkan di Ghadir Khum dan tentu saja Rasulullah SAW akan marah kepada sahabat yang menjelekkan Imam Ali karena Imam Ali adalah pemimpin setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW . Disini Rasulullah SAW mengingatkan Buraidah dan sahabat lain yang ikut di Yaman agar berhenti dari sikap mereka karena Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin sepeninggal Nabi SAW.

عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة قال بعث رسول الله صلى الله عليه و سلم بعثين إلى اليمن على أحدهما علي بن أبي طالب وعلى الآخر خالد بن الوليد فقال إذا التقيتم فعلي على الناس وان افترقتما فكل واحد منكما على جنده قال فلقينا بنى زيد من أهل اليمن فاقتتلنا فظهر المسلمون على المشركين فقتلنا المقاتلة وسبينا الذرية فاصطفى علي امرأة من السبي لنفسه قال بريدة فكتب معي خالد بن الوليد إلى رسول الله صلى الله عليه و سلم يخبره بذلك فلما أتيت النبي صلى الله عليه و سلم دفعت الكتاب فقرئ عليه فرأيت الغضب في وجه رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلت يا رسول الله هذا مكان العائذ بعثتني مع رجل وأمرتني ان أطيعه ففعلت ما أرسلت به فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا تقع في علي فإنه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي وانه منى وأنا منه وهو وليكم بعدي

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah yang berkata “Rasulullah SAW mengirim dua utusan ke Yaman, salah satunya dipimpin Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya dipimpin Khalid bin Walid. Beliau SAW bersabda “bila kalian bertemu maka yang jadi pemimpin adalah Ali dan bila kalian berpisah maka masing-masing dari kalian memimpin pasukannya. Buraidah berkata “kami bertemu dengan bani Zaid dari penduduk Yaman kami berperang dan kaum muslimin menang dari kaum musyrikin. Kami membunuh banyak orang dan menawan banyak orang kemudian Ali memilih seorang wanita diantara para tawanan untuk dirinya. Buraidah berkata “Khalid bin Walid mengirim surat kepada Rasulullah SAW memberitahukan hal itu. Ketika aku datang kepada Rasulullah SAW, aku serahkan surat itu, surat itu dibacakan lalu aku melihat wajah Rasulullah SAW yang marah kemudian aku berkata “Wahai Rasulullah SAW, aku meminta perlindungan kepadamu sebab Engkau sendiri yang mengutusku bersama seorang laki-laki dan memerintahkan untuk mentaatinya dan aku hanya melaksanakan tugasku karena diutus. Rasulullah SAW bersabda “Jangan membenci Ali, karena ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu, ia bagian dariKu dan Aku bagian darinya dan Ia adalah pemimpin kalian sepeninggalKu. [Musnad Ahmad tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 22908 dan dinyatakan shahih].

Syaikh Al Albani berkata dalam Zhilal Al Jannah Fi Takhrij As Sunnah no 1187 menyatakan bahwa sanad hadis ini jayyid, ia berkata:

أخرجه أحمد من طريق أجلح الكندي عن عبد الله بن بريدة عن أبيه بريدة وإسناده جيد رجاله ثقات رجال الشيخين غير أجلح وهو ابن عبد الله بن جحيفة الكندي وهو شيعي صدوق

Dikeluarkan Ahmad dengan jalan Ajlah Al Kindi dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah dengan sanad yang jayyid (baik) para perawinya terpercaya, perawi Bukhari dan Muslim kecuali Ajlah dan dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah Al Kindi dan dia seorang syiah yang (shaduq) jujur.

Justru hadis Buraidah di atas menjadi penguat bahwa Imam Ali adalah pemimpin bagi setiap mukmin (semua sahabat Nabi) sepeninggal Nabi SAW dan sungguh tidak berguna syubhat dari para pengingkar.

*****

Apakah Imam Ali Merasa Paling Berhak Sepeninggal Nabi SAW? : Dalil Kepemimpinan Imam Ali

Diriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Imam Ali mengakui kalau dirinya adalah orang yang paling berhak dalam urusan kepemimpinan sepeninggal Nabi SAW. Tetapi walaupun begitu demi kemaslahatan umat islam, Beliau tetap pada akhirnya memberikan baiat kepada para khalifah yaitu Abu Bakar RA, Umar RA dan Utsman RA. Hal ini tentu saja bertujuan agar tidak terjadi perpecahan di kalangan kaum muslimin. Sebagian orang yang ingkar menjadikan baiat-nya Imam Ali sebagai alasan untuk membenarkan kepemimpinan ketiga khalifah. Sebaik-baik bantahan bagi mereka adalah pernyataan Imam Ali sendiri yang mengakui kalau ia adalah orang yang paling berhak sepeninggal Nabi SAW bukan Abu Bakar, bukan Umar dan bukan pula Utsman.

حدثني روح بن عبد المؤمن عن أبي عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن علياً أتاهم عائداً فقال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم وأنا أحق الناس بهذا الأمر فبايع الناس أبا بكر فاستخلف عمر فبايعت ورضيت وسلمت ثم بايع الناس عثمان فبايعت وسلمت ورضيت وهم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Rawh bin Abdul Mu’min dari Abi Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan berkata “Tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Rasulullah SAW wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini . Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar terus Umar menggantikannya, maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian orang-orangpun membaiat Utsman maka akupun ikut membaiat, pasrah dan menerima. Dan sekarang mereka bingung antara aku dan Muawiyah” [Ansab Al Asyraf Al Baladzuri 1/294].

Atsar di atas shahih. Para perawinya terpercaya. Rawh bin Abdul Mu’min adalah Syaikh atau guru Al Baladzuri dan ia seorang yang tsiqat. Sedangkan perawi lainnya adalah perawi shahih.

* Rawh bin Abdul Mu’min Al Hudzalli adalah Syaikh [guru] Al Bukhari yang tsiqat. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Abu Hatim berkata “shaduq” [At Tahdzib juz 3 no 553]. Adz Dzahabi berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 1594]. Ibnu Hajar berkata “shaduq” [At Taqrib 1/304] dan dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib kalau Rawh bin Abdul Mu’min seorang yang tsiqat [Tahrir At Taqrib no 1963]

* Abu Awanah adalah Wadhdhah bin Abdullah Al Yasykuri seorang perawi kutubus sittah yang tsiqat wafat tahun 176 H. Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad, Ibnu Sa’ad, Ibnu Abdil Barr menyatakan ia tsiqat. [At Tahdzib juz 11 no 204]. Al Ajli menyatakan ia tsiqah [Ma’rifat Ats Tsiqat no 1937]. Ibnu Hajar menyatakan Abu Awanah tsiqat tsabit [At Taqrib 2/283] dan Adz Dzahabi berkata “tsiqat” [Al Kasyf no 6049]

* Khalid bin Mihran Al Hadzdza’ Abu Munazil Al Bashri adalah perawi kutubus sittah yang tsiqat wafat tahun 141 H. Ibnu Ma’in, Nasa’i, Ibnu Hibban dan Al Ijli berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 3 no 224]. Ibnu Hajar menyatakan ia tsiqat [At Taqrib 1/264] dan Adz Dzahabi berkata “tsiqat imam” [Al Kasyf no 1356].

* Abdurrahman bin Abi Bakrah adalah tabiin perawi kutubus sittah yang tsiqat. Ibnu Hibban, Ibnu Sa’ad, Ibnu Khalfun dan Al Ijli berkata “tsiqat” [At Tahdzib juz 6 no 302]. Ibnu Hajar berkata “tsiqat” [At Taqrib 1/563]. Adz Dzahabi menyebutkan kalau ia mendengar dari ayahnya dan Ali [Al Kasyf no 3154].

Atsar Imam Ali di atas memuat pengakuan Imam Ali bahwa Beliau adalah orang yang paling berhak dalam urusan kekhalifahan sepeninggal Nabi SAW. Oleh karena itu bisa dimaklumi bahwa selepas Rasulullah SAW wafat dan orang-orang membaiat Abu Bakar maka Imam Ali tidak memberikan baiat atau menundanya sampai 6 bulan. Imam Ali merasa dirinya yang paling berhak tetapi orang-orang malah membaiat Abu Bakar. Hal ini telah diisyaratkan oleh Rasulullah SAW:

حدثنا أبو حفص عمر بن أحمد الجمحي بمكة ثنا علي بن عبد العزيز ثنا عمرو بن عون ثنا هشيم عن إسماعيل بن سالم عن أبي إدريس الأودي عن علي رضى الله تعالى عنه قال إن مما عهد إلي النبي صلى الله عليه وسلم أن الأمة ستغدر بي بعده

Telah menceritakan kepada kami Abu Hafsh Umar bin Ahmad Al Jumahi di Makkah yang berkata telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdul Aziz yang berkata telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun yang berkata telah menceritakan kepada kami Husyaim dari Ismail bin Salim dari Abi Idris Al Awdi dari Ali Radhiyallahu ‘anhu yang berkata “Diantara yang dijanjikan Nabi SAW kepadaku bahwa Umat akan mengkhianatiku sepeninggal Beliau”. [Al Mustadrak 3/150 no 4676 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].

Selama masa 6 bulan itu ternyata pemerintahan Abu Bakar mengalami berbagai masalah seperti adanya “kaum yang murtad” dan adanya Nabi palsu Musailamah Al Kadzdzab beserta pengikutnya. Berbagai masalah ini dapat dimanfaatkan oleh orang-orang munafik untuk memecah belah umat. Merekapun juga melihat tindakan memisahkan diri yang dilakukan Imam Ali dan hal ini bisa saja dimanfaatkan oleh mereka untuk menyebarkan fitnah perpecahan. Oleh karena itulah setelah 6 bulan Imam Ali memutuskan memberikan baiat untuk menutup celah yang akan dimanfaatkan oleh kaum munafik dan baiat ini adalah demi keutuhan umat islam. Inilah yang dimaksud Imam Ali bahwa ia mengalami penderitaan dan kesulitan sepeninggal Nabi SAW [hal ini telah diberitakan oleh Nabi SAW kepada Imam Ali]. Di satu sisi Beliaulah yang paling berhak tetapi beliau tetap memberikan baiat demi keutuhan umat islam.

أخبرنا أحمد بن سهل الفقيه البخاري ثنا سهل بن المتوكل ثنا أحمد بن يونس ثنا محمد بن فضيل عن أبي حيان التيمي عن سعيد بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم لعلي أما أنك ستلقى بعدي جهدا قال في سلامة من ديني ؟ قال : في سلامة من دينك

Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin Sahl seorang faqih dari Bukhara yang berkata telah menceritakan kepada kami Sahl bin Mutawwakil yang berkata telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Abi Hayyan At Taimi dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas RA yang berkata Nabi SAW berkata kepada Ali “Sesungguhnya kamu akan mengalami kesukaran [bersusah payah] sepeninggalKu”. Ali bertanya “apakah dalam keselamatan agamaku?”. Nabi SAW menjawab “dalam keselamatan agamamu” [Mustadrak Ash Shahihain 3/151 no 4677 dishahihkan oleh Al Hakim dan Adz Dzahabi].

Pernyataan Imam Ali kalau Beliau adalah yang paling berhak sepeninggal Nabi SAW jelas berdasarkan apa yang telah dikatakan oleh Nabi SAW sendiri, diantaranya:

ثنا محمد بن المثنى حدثنا يحيى بن حماد عن أبي عوانة عن يحيى ابن سليم أبي بلج عن عمرو بن ميمون عن ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لعلي أنت مني بمنزلة هارون من موسى إلا أنك لست نبيا إنه لا ينبغي أن أذهب إلا وأنت خليفتي في كل مؤمن من بعدي

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna yang berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad dari Abi ‘Awanah dari Yahya bin Sulaim Abi Balj dari ‘Amr bin Maimun dari Ibnu Abbas yang berkata Rasulullah SAW bersabda kepada Ali “KedudukanMu di sisiKu sama seperti kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja Engkau bukan seorang Nabi. Sesungguhnya tidak sepatutnya Aku pergi kecuali Engkau sebagai KhalifahKu untuk setiap mukmin sepeninggalKu” [As Sunnah Ibnu Abi Ashim no 1188 dengan sanad yang shahih].

Sepeninggal Abu Bakar, Umar ditunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya dan orang-orangpun membaiat Umar. Disini Imam Ali melihat betapa orang-orang menerima keputusan Abu Bakar dan membaiat Umar padahal Imam Ali merasa bahwa Beliau adalah yang paling berhak. Hal inilah yang dinyatakan oleh Beliau sebagai penderitaan dan kesulitan tetapi beliau tetap bersabar dan ikut memberikan baiat pula kepada Umar agar tidak menimbulkan perpecahan di kalangan kaum muslimin.

Sepeninggal Umar, beliau memerintahkan pemilihan khalifah melalui Majelis syura yang ia bentuk. Terdapat berbagai riwayat seputar masalah ini yang terkadang “agak kontroversi” tetapi singkat cerita majelis tersebut mengangkat Utsman sebagai khalifah. Sekali lagi Imam Ali melihat orang-orang memilih Utsman padahal Imam Ali merasa yang paling berhak. Hal inilah yang dinyatakan Imam Ali sebagai penderitaan dan kesulitan yang beliau alami. Tidak ada satupun dikalangan umat yang mengalami penderitaan dan kesulitan seperti itu. Beliau yang berhak tetapi beliau tetap bersabar dan menerima. Tentu saja akhlak seperti ini hanya dimiliki orang-orang khusus.

Perhatikanlah baik-baik masalah kekhalifahan ini sangat rentan untuk menimbulkan perpecahan di kalangan umat. Contoh nyata adalah apa yang terjadi antara Imam Ali dan Muawiyah. Sepeninggal tragedi Utsman, orang-orang membaiat Imam Ali tetapi apa yang dilakukan Muawiyah, ia tidak memberikan baiat dengan alasan naïf “menuntut darah Utsman”. Dan silakan lihat akibatnya sebagian kaum muslimin lebih memihak Muawiyah sehingga terjadilah perpecahan yang disebut “perang shiffin”. Seandainya Muawiyah memberikan baiat kepada Imam Ali dan membantu Imam Ali untuk mencari atau menyelesaikan perkara “pembunuhan Utsman” maka mungkin tidak akan terjadi yang namanya perpecahan.

Inilah bedanya akhlak Imam Ali dan akhlak Muawiyah. Imam Ali merasa dirinya paling berhak dan ketika orang-orang membaiat orang lain, Beliau tidaklah menentang dengan menghimpun atau mempengaruhi banyak orang. Beliau bersikap diam, menunda baiatnya walaupun pada akhirnya membaiat demi mencegah perpecahan Umat. Sedangkan Muawiyah yang tidak ada sedikitpun hak pada dirinya, tidak mau membaiat Imam Ali bahkan menghimpun dan mempengaruhi orang-orang yang akhirnya malah bertentangan dengan Imam Ali sehingga terjadilah perpecahan di kalangan kaum muslimin [perang shiffin]. Semua ini menjadi bukti bahwa masalah kekhalifahan sangat rentan menimbulkan perpecahan dan Imam Ali sebagai orang yang paling arif tentu sangat mengerti akan hal ini berbeda halnya dengan Muawiyah dan pengikutnya. Sehingga sangat bisa dimaklumi kalau salafy nashibi pecinta Muawiyah tidak bisa memahami tindakan dan akhlak Imam Ali. Mereka tidak bisa mengerti “mengapa Imam Ali membaiat jika Beliau merasa paling berhak?”. Bahkan mereka mengatakan mustahil Imam Ali bersikap pengecut seperti itu. Sungguh kasihan, betapa kebodohan mereka membawa mereka kepada perkataan yang mungkar. Imam Ali merasa paling berhak tetapi beliau tetaplah membaiat dan itulah yang diriwayatkan oleh atsar shahih di atas. Imam Ali bahkan menyebutkan hal itu sebagai penderitaan dan kesulitan yang ia alami baik pada masa Abu Bakar, Umar, Utsman dan pada masa pemerintahan Beliau ketika sebagian kaum muslimin ternyata lebih memilih untuk memihak Muawiyah dan menentang Beliau.

Tahrif Perkataan Imam Ali

Sebagian ulama ternyata merasa risih dengan perkataan Imam Ali di atas. Mereka ternyata meriwayatkan atsar ini dengan melakukan tahrif pada kata-kata pengakuan Imam Ali kalau Beliaulah yang paling berhak. Atsar Imam Ali di atas juga diriwayatkan dalam kitab As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal tetapi mengalami tahrif [perubahan]:

حدثني أبي وعبيد الله بن عمر القواريري وهذا لفظ حديث أبي قالا حدثنا يحيى بن حماد أبو بكرنا أبو عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة أن عليا رضي الله عنه أتاهم عائدا ومعه عمار فذكر شيئا فقال عمار يا أمير المؤمنين فقال اسكت فوالله لأكونن مع الله على من كان ثم قال ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت إن رسول الله صلى الله عليه وسلم توفي فذكر شيئا فبايع الناس أبا بكر رضي الله عنه فبايعت وسلمت ورضيت ثم توفي أبو بكر وذكر كلمة فاستخلف عمر رضي الله عنه فذكر ذلك فبايعت وسلمت ورضيت ثم توفي عمر فجعل الأمر إلى هؤلاء الرهط الستة فبايع الناس عثمان رضي الله عنه فبايعت وسلمت ورضيت ثم هم اليوم يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Ayahku dan Ubaidillah bin Umar Al Qawaririiy [dan ini adalah lafaz hadis ayahku] keduanya berkata telah menceritakan kepada kami Yahya bin Hamad Abu Bakar yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah bahwa Ali mendatangi mereka dan bersamanya ada Ammar. Kemudian [Ali] menyebutkan sesuatu, Ammar berkata “Ya Amirul Mukminin”. Ali berkata “diamlah, demi Allah aku bersama Allah, kemudian beliau berkata “tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Ketika Rasulullah wafat [Ali] menyebutkan sesuatu, kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar RA dan akupun membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian Abu Bakar wafat dan [Ali] menyebutkan suatu perkataan terus Umar RA menggantikannya [Ali] menyebutkan hal itu, dan aku membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian Umar wafat dan ia meninggalkan urusan ini kepada enam orang, orang-orang pun membaiat Utsman RA dan aku membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian sekarang hari ini mereka bingung antara Aku dan Muawiyah” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 3/245 no 1315].

حدثني إبراهيم بن الحجاج الناجي بالبصرة أنا أبو عوانة عن خالد الحذاء عن عبد الرحمن بن أبي بكرة قال أتاني وقال مرة أخرى أتانا علي رضي الله عنه عائدا ومعه عمار فذكر كلمة فقال علي والله لأكونن مع الله على من كان ما لقي أحد من هذه الأمة ما لقيت توفي رسول الله صلى الله عليه وسلم فذكر كلمة فبايع الناس أبا بكر فبايعت ورضيت ثم توفي أبو بكر فذكر كلمة فاستخلف عمر فبايعت ورضيت ثم توفي عمر فجعلها يعني عمر شورى فبويع عثمان فبايعت ورضيت ثم هم الآن يميلون بيني وبين معاوية

Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Hajjaj An Naji di Bashrah yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Khalid Al Hadzdza’ dari Abdurrahman bin Abi Bakrah yang berkata Ali mendatangiku terkadang ia berkata Ali mendatangi kami dan bersamanya ada Ammar. Kemudian [Ali] menyebutkan suatu perkataan. Kemudian Ali berkata “demi Allah aku bersama Allah, tidak ada satu orangpun diantara umat ini yang mengalami seperti yang kualami, Rasulullah SAW wafat [Ali] menyebutkan suatu perkataan. Kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar maka aku membaiat dan menerima kemudian Abu Bakar wafat [Ali] menyebutkan suatu perkataan, Umar menggantikannya dan aku membaiat menerima. Kemudian Umar menjadikan Syura, terus membaiat Utsman maka aku membaiat dan menerima. Kemudian sekarang mereka bingung antara Aku dan Muawiyah” [As Sunnah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal 3/246 no 1316].

Kedua atsar inipun shahih. Ayah Abdullah bin Ahmad adalah Ahmad bin Hanbal seorang Al Hafizh Tsiqat Faqih Hujjah [At Taqrib 1/44 no 96] dan Ubaidillah bin Umar Al Qawaririiy seorang yang tsiqat tsabit [At Taqrib 1/637]. Sedangkan Yahya bin Hamad adalah seorang yang tsiqat [At Taqrib 2/300]. Ibrahim bin Hajjaj An Naji adalah gurunya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal seorang yang dinyatakan tsiqat oleh Ibnu Hibban dan Daruquthni [At Tahdzib juz 1 no 200]. Atsar di atas menunjukkan adanya tahrif yaitu lafaz ”menyebutkan sesuatu” atau ”menyebutkan perkataan”. Mustahil Imam Ali berkata seperti itu, yang sebenarnya adalah lafaz itu telah diganti. Perkataan Imam Ali yang sebenarnya disembunyikan dan diganti dengan kata-kata ”menyebutkan sesuatu” atau ”menyebutkan perkataan”. Jika kita memperhatikan riwayat Al Baladzuri sebelumnya maka lafaz yang ditutupi itu adalah ”sayalah yang paling berhak dalam urusan ini”. Mungkin sebagian orang merasa risih dengan lafaz ini sehingga berkepentingan untuk menutup-nutupinya. Jadi lafaz sebenarnya adalah sebagai berikut. Imam Ali berkata:

Tidak ada satupun dari umat ini yang mengalami seperti yang saya alami. Ketika Rasulullah wafat sayalah yang paling berhak dalam urusan ini, kemudian orang-orang membaiat Abu Bakar RA dan akupun membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian Abu Bakar wafat dan sayalah yang paling berhak dalam urusan ini terus Umar RA menggantikannya padahal sayalah yang paling berhak dalam urusan ini dan aku membaiat pasrah dan menerima, kemudian Umar wafat dan ia meninggalkan urusan ini kepada enam orang, orang-orang pun membaiat Utsman RA dan aku membaiat, pasrah dan menerima. Kemudian sekarang hari ini mereka bingung antara Aku dan Muawiyah.

Siapa yang sebenarnya melakukan tahrif dalam kitab As Sunnah itu bisa dibilang kami tidak tahu pasti walaupun kemungkinan yang melakukannya adalah Abdullah bin Ahmad bin Hanbal penulis kitab As Sunnah tersebut. Siapa orangnya bukan masalah yang terlalu penting untuk dibahas disini.


Syubhat Salafy Nashibi

Di antara syubhat salafy nashibi yang mereka alamatkan kepada orang yang mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW adalah Hal ini berarti menuduh para sahabat menyimpang karena para sahabat tidak membaiat Imam Ali malah membaiat orang lain. Konsekuensinya adalah mengkafirkan para sahabat Nabi padahal mereka adalah pembawa risalah bagi umat islam.

Inilah logika ngawur yang tidak memiliki dalil kecuali hanya perkataan sakit hati. Perhatikanlah apakah Imam Ali menyatakan kalau mereka kaum muslim yang membaiat Abu Bakar, Umar dan Utsman itu kafir?. Bagi kami jelas permasalahan ini tidaklah mengkafirkan para sahabat. Jika dikatakan para sahabat keliru maka itu benar tetapi kekeliruan mereka tidaklah sama untuk masing-masing orang. Mereka sahabat yang berduyun-duyun mengajak orang membaiat Abu Bakar tidaklah sama dengan sahabat yang ikut membaiat karena sekelompok sahabat telah membaiat Abu Bakar.

Jika baiat telah ditetapkan oleh sebagian orang dari kaum muslimin maka mereka yang menyelisihi akan beresiko diperangi oleh kaum muslimin tersebut. Jadi dapat dipahami kalau sebagian sahabat berijtihad untuk membaiat Abu Bakar karena ia telah dibaiat terlebih dahulu oleh sebagian orang. Begitu pula dalam kasus Umar, mereka para sahabat hanya mengikuti wasiat Abu Bakar yang menurut mereka baik. Seandainya pun ada sahabat yang menentang penunjukkan Umar maka tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali mengikuti sebagian orang yang telah berbaiat terlebih dahulu kepada Umar. Dalam kasus Utsman penetapan khalifah adalah melalui mekanisme Syura’ yang ditetapkan Khalifah Umar. Tentu saja para sahabat menganggap bahwa keputusan Syura’ lah yang sebaiknya mereka ikuti. Seandainya pun ada yang tidak setuju kepada pengangkatan Utsman maka tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali ikut membaiat khalifah Utsman yang telah dibaiat terlebih dahulu oleh sebagian yang lain. Bagi kami perkara para sahabat membaiat ketiga khalifah adalah ijtihad yang mereka lakukan mungkin baik menurut mereka atau mungkin itulah yang bisa mereka lakukan. Tidak ada urusan bagi kami untuk mengkafirkan mereka para sahabat.

Kepemimpinan Imam Ali telah ditetapkan berdasarkan dalil-dalil shahih. Bagi yang menyelisihi maka sudah jelas keliru dan kekeliruan ini tergantung kadar masing-masing mereka. Bukankah telah diriwayatkan dalam kitab Tarikh sekelompok sahabat yang pada awalnya menolak membaiat Abu Bakar, sebagian mereka berkumpul di rumah Sayyidah Fathimah sehingga Umar berniat mau membakar rumah Sayyidah Fathimah karena perkumpulan ini. Lihatlah baik-baik perkara baiat atau kekhalifahan ini sangat rentan sekali menimbulkan perpecahan bahkan Sayyidah Fathimah putri tercinta Nabi SAW tidak membuat hati Umar gentar.

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بِشْرٍ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ ، حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ ، عْن أَبِيهِ أَسْلَمَ ؛ أَنَّهُ حِينَ بُويِعَ لأَبِي بَكْرٍ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، كَانَ عَلِيٌّ وَالزُّبَيْرُ يَدْخُلاَنِ عَلَى فَاطِمَةَ بِنْتِ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَيُشَاوِرُونَهَا وَيَرْتَجِعُونَ فِي أَمْرِهِمْ ، فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ خَرَجَ حَتَّى دَخَلَ عَلَى فَاطِمَةَ ، فَقَالَ : يَا بِنْتَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، وَاللهِ مَا مِنْ الْخَلْقِ أَحَدٌ أَحَبَّ إِلَيْنَا مِنْ أَبِيك ، وَمَا مِنْ أَحَدٍ أَحَبَّ إِلَيْنَا بَعْدَ أَبِيك مِنْك ، وَأَيْمُ اللهِ ، مَا ذَاكَ بِمَانِعِيَّ إِنَ اجْتَمَعَ هَؤُلاَءِ النَّفَرُ عِنْدَكِ ، أَنْ آمُرَ بِهِمْ أَنْ يُحَرَّقَ عَلَيْهِمَ الْبَيْتُ قَالَ : فَلَمَّا خَرَجَ عُمَرُ جَاؤُوهَا ، فَقَالَتْ : تَعْلَمُونَ أَنَّ عُمَرَ قَدْ جَاءَنِي ، وَقَدْ حَلَفَ بِاللهِ لَئِنْ عُدْتُمْ لَيُحَرِّقَنَّ عَلَيْكُمَ الْبَيْتَ ، وَأَيْمُ اللهِ ، لَيَمْضِيَنَّ لِمَا حَلَفَ عَلَيْهِ ، فَانْصَرِفُوا رَاشِدِينَ فَرُوْا رَأْيَكُمْ ، وَلاَ تَرْجِعُوا إِلَيَّ ، فَانْصَرَفُوا عنها ، فَلَمْ يَرْجِعُوا إِلَيْهَا ، حَتَّى بَايَعُوا لأَبِي بَكْرٍ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bisyr telah menceritakan kepada kami Ubaidillah bin Umar telah menceritakan kepada kami Zaid bin Aslam dari Aslam Ayahnya yang berkata ”Ketika Bai’at telah diberikan kepada Abu Bakar sepeninggal Rasulullah SAW. Ali dan Zubair masuk menemui Fatimah binti Rasulullah, mereka bermusyawarah dengannya mengenai urusan mereka. Sehingga ketika Umar menerima kabar ini Ia bergegas menemui Fatimah dan berkata ”Wahai Putri Rasulullah SAW demi Allah tidak ada seorangpun yang lebih aku cintai daripada ayahmu dan setelah Ayahmu tidak ada yang lebih aku cintai dibanding dirimu tetapi demi Allah hal itu tidak akan mencegahku jika orang-orang ini berkumpul di sisimu untuk kuperintahkan agar rumah ini dibakar bersama mereka yang ada di dalam rumah”. Ketika Umar pergi, mereka datang dan Fatimah berbicara kepada mereka “tahukah kalian kalau Umar datang kemari dan bersumpah akan membakar rumah ini jika kalian kemari. Aku bersumpah demi Allah ia akan melakukannya jadi pergilah dan jangan berkumpul disini”. Oleh karena itu mereka pergi dan tidak berkumpul disana sampai mereka membaiat Abu Bakar [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 14/567 no 38200 dengan sanad shahih sesuai syarat Bukhari Muslim].

Mungkin dalam pandangan Umar apa yang ia lakukan adalah untuk menegakkan kebenaran karena baiat telah ditetapkan kepada Abu Bakar. Jika Putri tercinta Nabi SAW sendiri mendapat perlakuan seperti itu maka apalagi sahabat lain yang kemuliaannya sangat jauh dibawah Sayyidah Fathimah. Sehingga dapat dimaklumi pasca persitiwa ancaman pembakaran rumah Sayyidah Fathimah, sebagian sahabat yang awalnya tidak mau membaiat malah ikut membaiat Abu Bakar. Nah kedudukan mereka ini jelas tidak sama dengan kedudukan sahabat yang dari awal membaiat Abu Bakar atau dari awal mengajak orang berduyun-duyun untuk membaiat Abu Bakar. Salafy tidak bisa memahami perincian seperti ini karena pikiran mereka memiliki arah yang sama yaitu taklid terhadap para ulama mereka.

Apakah salafy nashibi itu menganggap sahabat Nabi tidak bisa salah?. Lantas bagaimana dengan berbagai hadis shahih yang meriwayatkan kesalahan sebagian sahabat. Apakah menyatakan kesalahan sahabat berarti mengkafirkan sahabat? Atau jangan-jangan salafy meyakini kalau para sahabat terbebas dari kesalahan.

Satu lagi syubhat yang dilontarkan oleh Salafy nashibi yaitu mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW adalah akidah syiah rafidhah yang sesat lagi menyesatkan. Hal ini jelas contoh lain betapa pikiran para salafy itu tidak bisa membedakan umum dan khusus, tidak bisa membedakan garis besar dan perincian, tidak bisa membedakan keseluruhan dan sebagian. Perkara Syiah rafidhah meyakini kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW itu sudah jelas tetapi tidak setiap mereka yang mengakui kepemimpinan Imam Ali dikatakan Syiah rafidhah. Kami pribadi mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW dan kami bukanlah Syiah rafidhah. Kami mengakui kepemimpinan Imam Ali sepeninggal Nabi SAW karena dalil-dalil yang sahih menyatakan demikian. Kami berpegang pada dalil bukannya taklid terhadap ulama tertentu.

Apakah ketika sebagian ulama membolehkan menjamak shalat wajib tidak saat berpergian dan tidak pula karena hujan, maka ulama tersebut dikatakan Syiah rafidhah?. Apakah ketika Ibnu Umar dan Ali bin Husain menyatakan lafaz azan Hayya ‘Ala Khayru Amal, maka keduanya dikatakan Syiah rafidhah?. Apakah berpegang pada Kitab Allah dan Itrah Ahlul Bait Rasul, dikatakan syiah rafidhah?. Kemana akal kalian wahai salafy nashibi, tidakkah kalian melihat hadis-hadis shahih telah menyebutkan semua perkara tersebut. Ingat baik-baik yang mengaku berpegang pada Sunnah bukan hanya kalian semata, banyak mahzab lain dan individu-individu lain yang tidak terikat mahzab tertentu juga berjuang untuk berpegang pada sunnah. Jika kesimpulan mereka berbeda dengan kalian maka tidak perlu kalian menjadi seperti orang kerasukan, bantah sana bantah sini seolah kalian pemegang mutlak kebenaran. Ingatlah Agama Islam tidak selebar daun keladi salafy.

(Bersambung)

(Syiahali/Secondprince/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: