Pengarang: Team Wisdoms4all
1. Sekilas Ihwal Keragaman Agama
2. Maktab-maktab dan Keragaman Agama [1]
3. Jalan Lurus atawa Jalan-jalan Lurus?
4. Telaah dan Kritik atas Wacana Pluralisme
5. Menyoroti Wacana Pluralisme Agama
6. Agama dan Kebebasan
7. Mengenal Epistemologi Kaum Liberal
8. Melacak Akar dan Manifesto Liberalisme
9. Antara Pluralisme Agama dan Wahyu
10. Konsekuensi Logis Pluralisme Agama
11. Manusia antara Humanisme Materialis dan Agamis
12. Agama itu Singular atau Plural?
Sekilas Ihwal Keragaman Agama
Mukadimah
Jika kita kaji kehidupan materi, maknawi, individu, dan sosial manusia maka kita akan menyaksikan betapa peran agama dalam dimensi-dimensi ini sangatlah signifikan. Karena itu para pakar dan ahli setiap dari disiplin ilmu-ilmu humaniora tidak dapat mengabaikan begitu saja pengaruh dan sumbangsih agama terhadap kehidupan manusia.
Dalam kajian psikologi dan ilmu kejiwaan, telah dilakukan kajian dan analisa atas dampak dan pengaruh serta aplikasi agama dalam membentuk jiwa manusia dan pengaruhnya atas pembentukan kepribadian serta karakter manusia. Juga dalam disiplin ini ditinjau efek daripada pengamalan agama, ritus-ritus, dan iman serta keyakinan agama dalam kehidupan internal individu.
Dalam menelaah masalah-masalah sosial dan kemasyarakatan, disimpulkan bahwa agama merupakan salah satu fenomena sosial yang langgeng dan berpengaruh, sebagaimana dalam filsafat politik juga diteliti dan diobservasi dampak daripada institusi-institusi agama serta pengaruh mereka dalam kekuasaan.
Penelitian dan pengkajian sejarah memperlihatkan bahwa ketika sebuah agama baru muncul di masyarakat maka daya tolak dan daya terima dalam beragama menjadi bertambah, dan ini menyebabkan timbulnya pertentangan dan perselisihan yang terkadang berlarut-larut dan berkepanjangan. Dari sinilah timbul urgensi perbedaan agama-agama dan perbedaan pengaruh mereka dalam kehidupan para pengikutnya, sehingga mau tidak mau orang-orang yang memiliki jiwa pencarian dan penelitian berupaya mendapatkan penjelasan yang meyakinkan untuk itu.
Kendatipun prinsip kesadaran akan kejamakan agama-agama merupakan suatu perkara lama dan telah melewati berbagai zaman dan generasi, dan para ilmuan dan ulama dari setiap agama telah membahas dan menulis kitab-kitab untuk membuktikan kebenaran agamanya dalam berhadapan dengan agama-agama lainnya, namun di zaman baru ini dikarenakan perubahan disegala aspek yang timbul dalam ilmu, filsafat, dan akhlak dan juga disebabkan perkembangan yang terjadi dalam bidang interaksi dan hubungan yang diikuti oleh ledakan informasi maka permasalahan keragaman agama-agama telah menjadi subyek pembahasan dan pengamatan yang serius di antara penganut agama yang berbeda-beda.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kita hidup di dunia yang memiliki dimensi yang sangat banyak ragamnya, bangsa-bangsa dan warna kulit yang berbeda-beda, bahasa yang bermacam-macam, budaya yang beraneka ragam, agama yang jamak, pemikiran yang berbeda-beda serta hatta kecenderungan dan selera semuanya tidak sama, dan ini merupakan sumber manifestasi dari kejamakan, sehingga apa yang disebut keragaman agama-agama secara aktual tidak bisa dihindari. Dan hari ini salah satu wacana yang sangat penting dan menyita perhatian para sejarawan, filosof, dan teolog adalah masalah perbedaan agama-agama, dan kosa kata seperti diversity, plurality, dan pluralism digunakan secara luas dalam teks-teks pembahasan agama dan mazhab.
Empat Pertanyaan Mendasar
Berikut ini ada empat pertanyaan mendasar dalam berhadapan dengan masalah keragaman agama:
1. Agama-agama yang berbeda-beda, sejauh mana masing-masing dari agama tersebut mempunyai saham kebenaran dan hakikat?
2. Mengapa di sepanjang sejarah bermunculan agama-agama dan mazhab-mazhab yang berbeda-beda? (Mengapa tidak dalam bentuk satu agama dan mazhab?)
3. Faktor apa yang memotivasi, khususnya masyarakat kontemporer, menerima dan menyatakan bahwa pengikut agama-agama lainnya juga mememiliki saham kebenaran dan hakikat?
4. Bagaimana cara beriteraksi dan bermuamalah setiap pengikut sebuah agama dengan pengikut agama-agama lainnya?
Pertanyaan pertama merupakan sebuah pertanyaan epistemologis, pertanyaan yang berkaitan dengan hak dan batil serta kebenaran dan kebohongan klaim dari agama-gama yang berbeda-beda. Meskipun metode pembahasan kita dalam masalah kejamakan agama-agama bukan dari prototipe masalah internal agama dan teologis, dan metode pembahasan yang digunakan adalah metode rasional serta tidak keluar dari kerangka filsafat agama, bahkan dalam menganalisa dan meneliti keyakinan yang berbeda-beda daripada agama-agama, kita mesti menggunakan parameter yang independen dan mandiri dari sebuah agama tertentu, akan tetapi tinjauan ini tidaklah bermakna bahwa masalah hak dan batil serta kebenaran dan kebohongan dari agama-agama yang beragam itu tidak boleh dibicarakan dalam pembahasan ini.
Sebab, filosof sebagaimana teolog juga memiliki seribu kegundahan dan kegelisahan tentang kebenaran hakiki (haqqâniyyah) dari sebuah agama.
Dalam konteks ini maka bisa pandangan sebuah agama tertentu meneliti keyakinan agama-agama lainnya, dimana dalam bentuk ini kajian menjadi pembahasan internal agama dan hujjahnya pun hanya untuk pengikut-pengikut agama tersebut, dan ini bermakna bahwa kajian berada di luar ruang-lingkup filsafat (kecuali jika diungkapkan dalam bentuk istithrâdi).
Pertanyaan kedua berkaitan tentang rahasia kemunculan kejamakan agama, bukan tentang kebenaran atau kebatilan agama-agama; meskipun itu jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan pertama dapat juga menjadi penentu sampai batas tertentu jawaban atas pertanyaan kedua, bahkan kebalikan dari kondisi ini juga adalah benar, yakni posisi kita dalam menghadapi pertanyaan kedua juga bisa berpengaruh sampai batas tertentu atas nasib dan natijah pertanyaan pertama.
Seseorang yang menjawab pertanyaan pertama dengan keyakinan bahwa seluruh agama-agama mendapat saham dari hakikat, maka jawabannya terhadap pertanyaan kedua tentu akan berbeda dengan jawaban seorang yang berpandangan eksklusivisme.
Jawaban Pengikut Eksklusivisme Terhadap Rahasia Kemunculan Kejamakan Agama-agama
Para pengikut eksklusivisme berkaitan dengan masalah ini menyatakan:
1. Agama-agama Ilahi memiliki perbedaan secara gradual, mereka semua memberitakan kesatuan mabda (starting-point) dan maad (ending-point), agama yang datang belakangan mengandung kesempurnaan-kesempurnaan agama-agama sebelumnya ditambah kesempurnaan yang hanya dimiliki olehnya.
Dengan kedatangan agama wahyu baru maka pengikut-pengikut agama (lama) mempunyai taklif beriman kepada nabi baru dan ajaran-ajaran wahyu yang dibawanya, akan tetapi dikarenakan oleh 'inad dan mengikuti hawa nafsu maka sebagian mereka tidak mengamalkan taklif ini.
2. Kerumitan dan kekudusan perkara transendental dari satu sisi dan parameter pemahaman manusia di sisi lain serta komparasinya dengan perkara transendental menyebabkan timbulnya penafsiran yang berbeda-beda, kendatipun dalam agama-agama Ilahi telah diperlihatkan parameter dan tolok ukur yang sahih tentang interpretasi manusia terhadap perkara transendental dan kudsi.[1]
Tinjauan ini dapat dilihat lewat bukti-bukti sejarah dari sudut pandang banyaknya terjadi penyimpangan dan distorsi (tahrif), penyimpangan yang terjadi secara natural, perubahan kapasitas insani, dan perbedaan-perbedaan historis, serta pada saat yang sama dalam masalah hakikat dan kebenaran agama memandang hanya satu agama yang hak secara mutlak dan kebenaran agama-agama lainnya diukur dengan kedekatan mereka terhadap agama yang diyakini mempunyai kebenaran hakiki.
Jawaban Pengikut Pluralisme Tentang Rahasia kemunculan Agama-agama
Para pengikut pluralisme dalam masalah rahasia keragaman agama-agama dan mazhab-mazhab menyatakan: Munculnya kejamakan agama-agama dikarenakan hakikat pada batas dzatnya adalah jamak dan setiap agama menjelaskan satu sudut dari hakikat yang banyak tersebut serta tidak satupun agama yang dapat melihat dan menerangkan seluruh hakikat tersebut; sebab agama adalah suatu perkara human (manusia) dan semua manusia bahkan para nabi terperangkap dalam keterbatasan-keterbatasan makrifat khusus dan setiap orang dapat memandang satu sudut daripada hakikat, maka konklusinya setiap orang melihat satu pojok dari itu, bukan seluruhnya.
Oleh karena itu, secara natural dan dikarenakan oleh beragamnya kaum dan bangsa maka para nabi pun adalah banyak dan natijahnya agama-agama juga adalah banyak dan beragam; sebab Tuhan memberi hidayah pada kaum dan bangsa berdasarkan budaya, tradisi, dan adab khusus setiap kaum dan bangsa serta menurunkan suatu agama yang cocok dengan budaya, tradisi, dan adab kaum dan bangsa tersebut.[2]
Dengan tinjauan ini maka jawaban terhadap pertanyaan pertama dapat dikatakan: Seluruh agama-agama, dengan segenap perbedaan yang mereka miliki, mendapatkan saham akan hakikat dan setiap dari mereka merupakan jalan lurus (mustaqim) untuk mencapai pada Tuhan.
Pertanyaan ketiga sebelumnya berkenaan tentang mengapa di zaman kita ini sekelompok orang menerima kejamakan hakikat-hakikat dan di zaman lalu tidak menerima yang demikian. Dengan kata lain peristiwa apa dan perubahan apa yang terjadi sehingga hari ini sebagian orang memilih pluralisme agama-agama dan membela pandangan tersebut.
Pertanyaan keempat juga mempunyai sisi praktis, bukan teoritis dan kembali pada aspek moralitas, bukan dimensi epistemologis. Yakni bagaimana para penganut agama tertentu bermuamalah dengan pengikut agama-agama lainnya, apakah mesti bertoleransi dan hidup berdampingan menerima perbedaan dengan mereka ataukah menabuh genderang perang serta perselisihan dengan mereka, ini berhubungan dengan cara bersikap dan berprilaku di antara para pengikut agama-agama yang berbeda satu sama lain.
Apa yang dikatakan oleh logika agama dalam hal ini? Apa yang diputuskan oleh logika kemanusiaan dalam menghadapi masalah ini? Semuanya itu terungkap di masyarakat kita sekarang ini dan masuk di bawah pembahasan kejamakan agama atau pluralisme agama. Dan dalam hal ini bermunculan berbagai jawaban tentang empat pertanyaan mendasar tersebut yang tidak kosong dan lepas dari kesalahan dan ambiguitas.
Terma-terma Pluralisme dalam Agama
Ada beberapa terma pluralisme dalam agama yang digunakan dan mempunyai makna yang berbeda, di antaranya:
1. Toleransi di antara pengikut agama-agama yang berbeda
Makna pluralisme dalam hal ini idem dito dengan toleransi, yakni hidup rukun dan bersikap toleran terhadap pengikut agama-agama lainnya demi menghindari perselisihan dan peperangan di antara penganut-penganut agama-agama. Dalam terma ini, kejamakan atau kebhinekaan diterima sebagai kenyataan kemasyarakatan, yakni pengikut setiap agama dan mazhab disatu sisi berkeyakinan bahwa hanya agama dan ajaran mereka saja yang benar serta penyelamat, namun di sisi lain menerima muamalah dan pergaulan kemasyarakatan pengikut agama dan mazhab lain, serta mempunyai sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling toleran.
2. Tersebarnya saham-saham hakikat pada setiap agama
Makna kejamakan agama dan pluralisme agama dalam bentuk ini adalah bahwa hakikat agama yang datang dari Tuhan hanya satu tapi mempunyai wajah dan rupa yang beragam. Perbedaan di antara agama-agama tidak pada tataran substansi tetapi dalam tataran pemahaman setiap agama. Sejumlah orang memahami perkara Tuhan dalam suatu bentuk maka mereka menjadi penganut Yahudi, sekelompok lainnya memahami dalam bentuk lain maka menjadi pengikut Nasrani, dan segolongan lain berikutnya memahami dalam bentuk lain juga maka mereka menjadi orang-orang Islam.[3] Demikian pula pengikut agama-agama lain seperti Majusi, Budha, Tao, Hindu, Kongfucu, dan lainnya, mereka memahami perkara Tuhan dalam bentuk lain sehingga mereka penganut agama-agama tersebut.
Menurut teori ini setiap nabi atau cendekiawan agama memahami dan menjelaskan satu bentuk dari hakikat , dan dari dimensi ini maka timbul sebagian berpandangan tauhid, sebagian trinitas, dan sebagian lagi berpandangan politeisme. Tidak ada seorang pun yang berhak memandang unggul pemahamannya di atas pemahaman lainnya, sebab sesuai dengan pandangan ini tidak satu jalan lurus yang bersifat mutlak benar, akan tetapi terdapat jalan-jalan lurus yang semuanya mengandung kebenaran.
3. Semua agama benar dan hak
Makna kejamakan agama-agama atau pluralisme agama dalam hal ini adalah pandangan bahwasanya hakikat mutlak, kesempurnaan, kebahagiaan, dan keselamatan ukhrawi tidak terbatas pada satu agama dan satu syariat, akan tetapi hakikat mutlak adalah sama di antara semua agama dan syariat. Agama dan syariat yang berbeda-beda pada dasarnya merupakan manifestasi dan mazhar dari hakikat mutlak, dan natijahnya semua agama dan syariat adalah benar dan hak serta memperoleh petunjuk, keselamatan, dan kebahagiaan.
Berbagai Sikap dalam Berhadapan dengan Kejamakan Agama
Dalam berhadapan dengan masalah kejamakan agama, telah muncul berbagai sikap dan pemikiran tentangnya.
1. Para pengikut Naturalisme dengan bersandar pada perbedaan agama-agama, memandang bahwa semuanya itu merupakan hasil mental, bahasa, potensi pikir, dan kejiwaan manusia, dan mereka menghukumi semua itu adalah batil, khayali, dan imajinatif.
2. Para pengikut pandangan kesatuan agama-agama berkeyakinan bahwa substansi agama-agama adalah satu; semuanya berada dalam pencarian hakikat final dan kesempurnaan mutlak; mereka berbeda dalam jelmaan dan menyatu dalam hakikat. Seluruh agama-agama berkeinginan menyampaikan manusia dari penyembahan diri dan egoisme kepada penemuan kebenaran dan penyembahan Tuhan.
3. Para pengikut Inklusivisme juga seperti pengikut eksklusivisme, mereka menegaskan pada kebenaran hanya satu agama, namun juga berpandangan bahwa agama-agama lainnya mempunyai saham dalam hakikat serta berkeyakinan bahwa agama-agama lainnya pada dimensi batin dan dalam bentuk kandungan berserikat dengan agama yang satu tersebut dalam haqqâniyyah. Oleh karena itu, pengikut Inklusivisme dari satu segi juga seperti pengikut pluralisme, yakni mereka berkeyakinan bahwa berkat inayah dan taufik Tuhan dalam bentuk manifestasi-Nya dalam berbagai sisi pada agama-agama maka setiap orang dapat saja mendapatkan keselamatan dan kebahagiaan hatta orang tersebut tidak pernah mendengarkan prinsip agama hak dan tidak mendapatkan pengajaran serta bimbingannya.
4. Para pengikut pluralisme agama-agama memandang bahwa semua agama-agama berada dalam hak dan mengatakan bahwa agama-agama adalah jalan-jalan yang berbeda yang akan berakhir pada tujuan yang satu. Kendatipun hakikat dan realitas itu hanya satu, namun di saat hakikat tersebut tersentuh oleh pemikiran dan pengalaman keagamaan maka ia mendapatkan bentuk keragaman. Oleh karena itu, lantaran seluruh agama-agama mendapatkan saham dari hakikat maka dalam hal keselamatan dan kebahagiaan juga semuanya berserikat.
5. Para pengikut Eksklusivisme berkeyakinan bahwa di antara agama-agama yang ada ini hanya satu yang hak secara mutlak dan yang lainnya adalah batil. Kebenaran, keselamatan, kesempurnaan, dan kebahagiaan serta apa saja yang menjadi tujuan final daripada agama terbatas hanya pada satu agama tertentu, atau hanya bisa diperoleh lewat satu agama khusus. Dan adapun agama-agama yang lain kendatipun mengandung saham kebenaran tetapi dibanding dengan agama hak, semua adalah batil. Oleh karena itu, menurut pengikut mazhab eksklusivis para penganut agama-agma lain, kendatipun mereka taat beragama dan dari tinjauan moralitas mereka adalah orang-orang yang berakhlak baik, namun mereka tetap tidak akan dapat memperoleh kebahagiaan dan keselamatan ukhrawi lewat agama mereka sendiri.
Kelima aliran pemikiran yang kami sebutkan di atas telah mewarnai wacana kejamakan dan keragaman agama, dan saatnya nanti kami akan mengurai teori dan pandangan mereka tentang masalah ini serta berusaha melakukan kritik terhadapnya.
Catatan Kaki:
[1] . Hasan Kâmrân, Takatssur Adyân Dar Buteh-e Naqd, Hal. 17.
[2] . Ibid, Hal. 18.
[3] . Pluralisme Dîni Dar Buteh-e Naqd, Hal. 41
Maktab-maktab dan Keragaman Agama [1]
Salah satu wacana penting mayarakat dunia hari ini yang menyita perhatian, pemikiran, serta daya analisa para filosof, teolog, sosiolog, psikolog, dan bahkan sejarawan adalah masalah perbedaan agama-agama dan keragaman agama-agama. Kosa kata seperti plurality dan pluralism digunakan secara meluas dan mengisi kolom-kolom pembahasan dalam berbagai kajian dan tulisan, khususnya budaya, agama, dan mazhab.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan pandangan berbagai maktab terhadap keragaman agama-agama, objeksi (isykalan) dan kritik atasnya.
A. Naturalisme
Mereka yang dalam berhadapan dengan setiap gejala dan fenomena berusaha menemukan deskripsi tabiinya, dalam berhadapan dengan agama juga memilih motif yang sama. Sebagian pandangan dari naturalisme dalam meninjau agama-agama, melihat agama-agama apapun bentuknya sebagai perkara yang negatif.
Pada hakikatnya mereka memandang bahwa seluruh klaim-klaim kebenaran semua agama adalah batil. Di antara mereka yang memposisikan diri dalam memandang agama demikian ini adalah para pengusung teori sosiologi agama dan pengusung teori psikologi agama.
1. Teori Sosiologi Agama
Para pengusung teori ini, khususnya Emile Durkheim, berusaha dalam berhadapan dengan kenyataan yang disebut agama di samping menerima sebagian dari aspek aplikatif agama dan pengaruh yang diberikannya pada masyarakat, juga mengingkari realitas klaim-klaim agama serta hal-hal yang berhubungan dengan pengalaman keagamaan.
Teori ini mengklaim bahwa para lelaki dan wanita mempunyai perasaan keagamaan ini ketika mereka berdiri berhadapan dengan sesuatu kekuatan yang lebih tinggi yang berada di belakang kehidupan individual mereka serta menuangkan kehendaknya atas mereka dalam bentuk aturan-aturan akhlak. Mereka pada dasarnya berada dalam pusaran suatu kenyataan yang lebih tinggi, namun kenyataan ini sebenarnya bukanlah suatu maujud matafisik, akan tetapi suatu kenyataan natural masyarakat.
Kita manusia sangat bergantung pada masyarakat. Masyarakat dan kelompok seperti satu realitas global dimana dia bersifat meliputi berhadapan dengan tiap-tiap individu. Kekuatan masyarakat sangatlah besar dan dia mampu membebankan keinginanan-keinginannya kepada setiap individu. Masyarakat, dikarenakan ketergantungan individu yang sangat kepadanya maka menjadi sumber asli potensi hidup ruh dan jiwa serta kegemberiaan individu-individu dan dengan kekhususannya ini maka dia terabstraksi menjelma menjadi Tuhan.
Tuhan pada dasarnya hanyalah gaung dan jelmaan dari masyarakat yang membebankan bentuk-bentuk prilaku atas anggota-anggotanya demi keuntungannya. Setiap masyarakat sesuai dengan budaya dan produk pemikiran-pemikirannya mengambil bentuk Tuhan dan model agamanya sendiri. Oleh karena itu sesuatu yang alami bahwa disebabkan landasannya adalah budaya-budaya yang berbeda maka agama juga mendapatkan bentuk kejamakan dan keragamannya.
Objeksi dan Kritik
Teori ini mempunyai beberapa problem dan objeksi (isykalan), di antaranya:
- Teori ini lebih menyerupai pemaparan hipotesa yang tak berdalil dibandingkan suatu teori ilmiah. Yakni tidak terdapat bukti dan dalil cukup yang bisa menguatkan ia sebagai sebuah teori ilmiah.
- Teori ini tidak mampu menjelaskan sebagian dari masalah-masalah penting agama. Sebagai misal, perkara-perkara yang berhubungan dengan perintah dan aturan yang diberikan oleh agama-agam kepada para pengikutnya yang melingkupi setiap kelompok. Seperti perintah yang menyatakan: Cintai dan kasihilah sesama manusia, Maaflkanlah musuh-musuhnya, Senantiasalah berbuat baik kepada semua orang, di sini teori ini tidak punya daya aplikasi dan kehilangan daya pnjelasan. Sebab dalam aturan dan perintah agama seperti ini tidak dapat diklaim bahwa ia hanya memperhatikan manfaat suatu kelompok saja. Menurut perkataan H.H. Farmer: Jika Tuhan hanyalah hegemoni masyarakat dimana bentuk-bentuk prilaku khusus yang menjadi keuntungan masyarakat diserahkan kepada anggota-anggotanya, apakah yang menjadi pangkal dan sumber dari tugas dan taklif yang memestikan kesamaan di antara semua manusia dan meliputi seluruh orang?[1]
- Dengan memperhatikan bahwasanya para nabi itu sebelumnya adalah orang-orang yang menjadi peletak pondasi kaidah-kaidah akhlak dan kaidah-kaidah yang mereka bawa tersebut bertolak belakang dengan kaidah-kaidah akhlak yang sedang berlaku dalam masyarakat maka tidak dapat dikatakan bahwa agama terinspirasi dan berasal dari budaya masyarakat serta kaidah-kaidah akhlaknya adalah kaidah-kaidah akhlak masyarakat itu juga yang terbangun demi untuk menjaga dan melestarikan serta untuk meningkatkan starata hidup anggota-anggota dari kelompok masyarakat itu saja.
- Ketika para nabi bangkit melakukan penentangan terhadap sistem masyarakatnya, mereka tidak merasakan kelemahan dari gerakan dakwahnya dan tidak menghentikan seruannya kepada mereka kendati pun tidak memperoleh sokongan dari kelompok masyarakatnya. Mereka merasakan memiliki sandaran dan pijakan yang sangat kuat dan mereka dengan hati yang teguh serta penuh keseriusan melanjutkan gerakan dakwahnya. Tentu dengan pasti sumber perasaan kuat dan keteguhan hati ini serta semangat dan gelora tidaklah bersumber dari masyarakat.
2. Teori Psikologi Agama
Freud, sebagaimana juga Durkheim memandang bahwa keyakinan dan kepercayaan agama tidak lebih hanyalah ilusi dan khayalan, dengan perbedaan bahwa dia menghitungnya (keyakinan agama) sebagai paling tua, paling kuat, dan paling permanennya kecenderungan-kecenderungan dan harapan-harapan manusia.
Menurut pendapatnya, agama adalah semacam tanggapan dan tindakan pertahanan manusia dalam berhadapan kekuatan-kekuatan yang mengancam dan mengerikan tabiat. Manusia dalam berhadapan kekuatan-kekuatan alam seperti angina topan, banjir, gempa bumi, penyakit, dan kematian sangat tidak mempunyai pertahanan. Kekuatan-kekuatan menakutkan ini, jika hanya perkara alam tabiat yang tak berjiwa, tak mendengar, dan tak melihat maka manusia tidak dapat menuntut keamanan dari mereka. Adapun jika kekuatan-kekuatan ini timbul dari maujud-maujud yang berjiwa, mendengar, dan melihat maka ada secercah harapan untuk dapat mengambil hati maujud-maujud itu dan mendapatkan keamanan dari murka mereka. Dalam bentuk ini manusia dapat memohon pada mereka, memuji mereka, dan memberi kurban kepada mereka sehingga dengan itu mungkin mereka menaruh kasih pada manusia dan mengampuni manusia serta tidak menyampaikan murkanya pada manusia.
Berasaskan itu maka acara- acara peribadatan dan puja-pujian menemukan bentuknya dan berangsur-angsur berubah menjadi agama dan syariat yang komplit.
Refleksi dan tindakan ini bukannya tidak mempunyai dasar dan teladan. Telah menjadi kebiasaan kita sejak usia kanak-kanak, apabila menemukan masalah dan problema memita perlindungan dari bapak yang pengasih. Setelah kita besar kita menyaksikan bahwa sang bapak juga seperti kita. Dia juga tidak mempunyai daya tahan dalam menghadapi kekuatan-kekuatan besar tabii ini, maka tidak ada jalan lain kecuali mencari bapak yang kuat dan langgeng di langit sehingga dia dapat memerankan bapak di bumi dalam melindungi kita. Berangsur-angsur konsep Tuhan Bapak mengkristal dalam benak dan pikiran manusia dan konsep itu kemudian bertahan dan menyebar secara mendunia.
Demikian juga Freud dengan menjelaskan teori psikologi emosi keagamaan, memaparkan permasalahan tentang dosa, perasaan kehambaan, ketakutan, dan keharusan taat. Dia juga menguraikan perasaan dan emosi keagamaan ini dengan menggunakan komprehensi hasud dan iri yang tak disadari sang putra terhdap sang ayah dikarenakan pembatasan hak hanya pada sang ayah dalam mengambil manfaat biologis dari sang ibu.
Objeksi dan Kritik
- Teori Freud secara cepat mendapat kritikan serius dan menjadi bahan kritikan tajam para filosof, psikolog, dan psiko analisis. Kemudian teori dia tentang agama ini dipandang tidak lebih dari suatu hipotesa tak berdasar, imajinatif, dan tanpa dalil atau dipandang sebagai suatu asumsi yang sangat menarik, namun murni hanya sekedar pantasi dan khayal.[2]
- Anggaplah pandangan Freud diterima, tetap saja penafsiran-penafsiran metafisis dan teologis dapat berlaku, sebab seorang teolog atau filosof agama dapat berkata: Tuhan, dapat saja dari jalan pengalaman manusia pada masa kanak-kanaknya dan perasaan bergantung kepada bapak (di bumi) menciptakan konsepsi tersebut dalam pikiran dan benak mereka dalam bentuk Bapak di langit (sesuai dengan pengajaran agama Kristen). Oleh karena itu teori psikologi agama, hatta jika benar, juga tidak mampu menjelaskan kemunculan kejamakan dan keragaman agama-agama.
B. Kesatuan agama-agama
Para pengikut kesatuan agama-agama berkeyakinan bahwa substansi agama-agama adalah satu. Semuanya dalam perjalanan pencarian hakikat tertinggi yang satu, hanya saja semua mereka itu mendapatkan nama-nama yang bermacam-macam. Perbedaan dan keragaman hanya pada tataran zahir, adapun batin seluruh agama adalah mengajak pada kesempurnaan mutlak. Seluruh agama-agama menginginkan manusia keluar dari kondisi lahiriah, ketaklanggengan, dan kefanaan menuju kapada hakikat batin, kelanggengan, dan keabadian. Seluruh agama-agama berkehendak menyampaikan manusia pada ketentraman permanen dan kebahagiaan abadi.
Para pengikut kesatuan agama-agama, yang kebanyakan mereka merupakan pengusung irfan dalam agama-agama, memandang bahwasanya perbedaan yang terdapat dalam agama-agama hanyalah murni perbedaan lahiriah. Menurut mereka agama mempunyai hakikat dan raqiqat, inti dan kulit, serta batin dan zahir.
Perbedaan yang ada hanya pada tataran kulit, zahir, dan raqiqat, bukan pada tataran inti, batin, dan hakikat. Dan para pengikut setiap agama mempunyai taklif untuk melalui zahir dan kulit agama untuk mendapatkan jalan menuju pada batin dan inti agama. Jika ini terjadi maka semuanya akan menemukan sesuatu yang menjadikan mereka satu jalan.
(catatan: perlu distresing di sini bahwasanya penganut irfan dan pemikiran irfani tentunya tidak satu pandangan dalam hal ini, dan klaim yang kita ungkapkan di sini itupun perlu pengkajian yang lebih dalam, khususnya dalam irfan islami, sebab dalam kajian irfan teoirits terdapat paradigma pemikiran yang sangat dalam dan kompleks yang jika tidak dikaji secara menyeluruh dan komprehensip, dengan mudah kita terjebak pada ungkapan-ungkapan irfani yang bersifat partikular).
Berdasarkan pandangan ini maka agama-agama yang bermacam-macam ini masing-masing merupakan suatu jalan yang muktabar (sahih) dan tangga yang kokoh menuju langit maknawi serta akan menyampaikan para pengikut benar mereka pada tujuan yang diinginkan agama. Dengan tinjauan ini maka seluruh kitab-kitab agama tidak lebih dari satu dan tidak mempunyai lebih dari satu tujuan, kendatipun secara zahir adalah berbeda-beda.
Para pengikut kesatuan agama-agama, mereka adalah esensialisme yang bersandar kepada pengalaman keagamaan (religius experience). Bahwasanya bagi pengalaman-pengalaman keagamaan manusia yang berbeda-beda, hanya terdapat satu substansi. Esensialisme berkeyakinan bahwa dapat ditemukan di antara pengalaman-pengalaman irfani dan sufistik titik-titik serta kekhususan-kekhususan yang sama, di antaranya kualitas makrifat, tidak dapat dijelaskan, cepat berlalu, perasaan terefek, perasaan alam tinggi, perasaan perkara yang suci, uluhi, dan perasaan alam transendental.[3]
Objeksi dan Kritik
Kendatipun pendukung esensialisme berupaya memberi warna penyatuan terhadap berbagai pengalaman-pengalaman keagamaan, namun perbedaan-perbedaan yang ada di antara agama-agama sedemikian hingga jauhnya, sehingga melemahkan konsep adanya esensi yang sama di antara mereka. Sebagai ilustrasi apakah mungkin dipersatukan konsep tauhid murni Islam dengan agama-agama politeisme, Hindu, Budha, dan lainnya? Apakah dapat diterima pada saat yang bersamaan antara pandangan Islam dinisbahkan terhadap hadhrat Al-Masih sebagai manusia utusan Tuhan (Nabi dan Rasul Tuhan) dengan pandangan Kristen yang memandang beliau sebagai putra Tuhan serta berkeyakinan bahwa Tuhan menjasad padanya dan juga pandangan Yahudi yang menganggap Nabi Isa bin Maryam bukanlah al-masih yang mereka tunggu, tapi malah memandang dia adalah seorang pembuat bid'ah dalam agama Yahudi, semuanya adalah benar?!
Di samping itu, esensi dan inti agama pada dasarnya tak dapat dibatasi dengan pengetahuan luar manusia (sebagaimana batasan agama itu sendiri tidak dapat ditentukan oleh manusia), sebab sebagaimana dalam ajaran agama itu sendiri antara berbagai dimensi yang terdapat di dalamnya, baik hukum syar'i, aqidah, akhlak, irfan, dan lainnya, semuanya memiliki hubungan yang sangat kuat antara satu sama lainnya. Yakni dalam agama berpegang pada satu dimensi dengan melepaskan dimensi lainnya tidaklah dibenarkan oleh pembawanya (seperti dalam agama Islam adalah nabi Muhammad Saw), dan bahkan untuk mendapatkan kedekatan pada Tuhan, semua dimensi-dimensi agama haruslah benar secara teoritis dan praktis (aqidah dan amal).
Oleh sebab itu penganalogian ajaran agama dengan inti dan kulit adalah analogi yang salah, tetapi penganalogian yang mungkin lebih tepat adalah penganalogian pohon, yang mana pohon memiliki akar, batang, dahan, ranting, serta daun, dan kesemuanya itu mempunyai peran untuk pertumbuhan yang baik dan kelangsungan hidup dari pohon.
Dengan demikian, para pengikut esensialisme ini tidak dapat menetapkan kesahihan konsepnya dengan bersandarkan pada pengalaman-pengalaman keagamaan, dan sebagai konklusinya mereka mesti melepaskan klaim kesatuan agama-agama mereka ataukah mengkonstruksi argumen lain.
Paling maksimal yang dapat ditetapkan oleh pengikut esensialisme ini adalah terdapat sturktur yang serupa di antara manusia-manusia dan keberadaan alam metafisika; akan tetapi kesatuan agama-agama tidaklah tertetapkan dengan dalil-dalil yang mereka ajukan itu.
C. Eksklusivisme
Para pengikut pandangan ini berkeyakinan bahwa kebenaran, keselamatan, kebebasan, kesempurnaan, serta apa saja yang menjadi tujuan akhir dari pada agama, terbatas hanya pada satu agama khusus, atau hanya bisa didapatkan lewat satu agama khusus. Dan adapun agama-agama yang lain meskipun mengandung sebagian hakikat kebenaran tetapi dibanding dengan agama yang hak, semua itu adalah batil.
Oleh sebab itu menurut maktab eksklusivis para pengikut agama-agama lain, meskipun mereka taat beragama, dan dari tinjauan akhlak mereka adalah orang-orang yang berakhlak baik, tetapi mereka tetap tidak akan bisa memperoleh keselamatan lewat agama mereka sendiri.[4] Keyakinan maktab eksklusivis yang paling berpengaruh dan sangat dirasakan oleh pengikut-pengikut agama lain dapat dilihat dalam ajaran Kristen Katolik yang menyatakan di luar dari klisa sama sekali tidak akan ditemukan keselamatan dan kebahagiaan.[5]
Lantas pengikut-pengikutnya memandang bahwa propaganda serta mendorong orang-orang lain untuk menerima ajaran agamanya sebagai suatu tanggung jawab agama dan akhlak serta memandang hak mereka untuk menyampaikan ajaran agamanya kepada pengikut-pengikut agama lainnya demi menjauhkan mereka dari kehidupan yang sesat.
Dalam teologi Kristen, pernyataan teologis yang menjadi landasan eksklusivisme adalah ungkapan yang berbunyi: Kebahagiaan dan keselamatan hanya berada dalam koridor lutf dan inayah Tuhan. Upaya seseorang untuk menyampaikan dirinya pada pantai keselamatan dan kebahagiaan niscaya akan mengalami kegagalan[6], karena itu untuk memperolehnya dia harus menemukan dimana kekuatan pemberi kebahagiaan dan keselamatan (Tuhan) bertajalli. Dalam bentuk ini barulah dia akan mendapatkan perlindungan dan jaminan kebahagiaan serta keselamatan.
Karl Barth (1886-1968 M) mungkin dapat dikenal sebagai wakil dari golongan ekstrim eksklusivisme Kristen. Dia yang dulunya dikenal sebagai transendental protestan, memandang syariat dan tajalli (manifestasi) sebagai dua hal yang saling berhadap-hadapan satu dengan lainnya. Menurut pandangannya syariat adalah suatu usaha manusia untuk mengenal Tuhan dalam tinjauan ketidakakmampuan dan kekurangan dirinya dan dia memandang usaha ini sebagai hal yang mustahil (berhasil) dan tercemar dengan dosa; karena itu dia berkeyakinan bahwa kedamaian hanya dari sisi Tuhan, adalah mungkin; dan usaha ini tercemar dosa dikarenakan buatan manusia telah di dudukkan menggantikan posisi Tuhan.[7]
Dalam pemikiran teologis Karl Barth, Tuhan dalam bentuk mutlak bertajalli dalam diri Al-Masih dan Injil saksi atas makna ini. Dia menempatkan semua agama-agama hatta agama Kristen (sebagian mazhab agama yang dianutnya) berhadapan dengan wahyu, sebab menurutnya semua agama-agama memiliki sumber manusiawi dalam mengenal Tuhan, karena itu tidak mempunyai sumber kewahyuan. Dan karena satu-satunya jalan memakrifati Tuhan adalah wahyu maka beragama dengan syariat sama saja tidak beragama.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pandangan Barth tersebut dilandasi dengan suatu tinjauan teologis yang memandang bahwa makrifat kepada Tuhan hanya dari sisi Dia dan dengan inisiatif Dia (dalam suatu bentuk manifestasi wahyu dari sisi-Nya), makrifat pada-Nya dihasilkan, bukan dari sisi kita dan upaya kita untuk mengenal-Nya (syariat). Menurutnya, hatta tafsiran-tafsiran dari agama Kristen yang memandang Tuhan bertajalli pada diri Al-Masih tidak dalam bentuk mutlak, seperti agama-agama lainnya adalah tertolak dan batil. Natijah dari pandangan Barth ini adalah agama Kristen satu-satunya agama yang muktabar (benar) dan mempunyai tanggung jawab untuk mengajak pengikut-pengikut agama lainnya kepada agama tersebut.[8]
Disamping itu, sangat banyak teolog Kristiani yang berkeyakinan bahwa kebenaran hanya terbatas pada agama Kristen, sedangkan agama-agama lainnya semuanya adalah batil. Pandangan mereka ini disandarkan pada sebagian dari ayat-ayat Injil, di antaranya adalah: "Saya adalah jalan hakikat dan kehidupan, seseorang tidak akan sampai kepada Bapak di langit kecuali dengan perantaraku"[9].
Ayat Injil ini dan ayat-ayat lainnya yang sama kandungannya dengan ayat tersebut senantiasa mempengaruhi pemikiran gereja berhubungan dengan agama-agama lainnya. Dan hasilnya gereja senantiasa memandang mereka orang-orang yang berada dalam kegelapan dan jauh dari cahaya serta hakikat.
Salah seorang dari Pop berkata: Iman menghukumi kita berkeyakinan bahwa hanya ada satu klisa suci Katolik. Kita mempunyai keimanan kuat padanya dan berikrar padanya. Tanpa diragukan di luar darinya tidak ada kebahagiaan dan tidak ada pembebasan dari dosa-dosa.[10]
Selain Karl Barth, teolog masyhur Protestan lainnya seperti Emil Brunner, dan Hendrik Kraemer, juga menegaskan kebenaran mutlak agama Kristen dan menafikan agama-agama lainnya.
Dikalangan pemikir-pemikir Muslim, ungkapan Al-Gazali berikut ini bisa dijadikan sampel dari pandangan eksklusivisme: Kendatipun dalam masalah jauh dan dekatnya pada kebenaran di antara filosof dahulu dan yang kemudian terdapat perbedaan yang besar, namun mereka semua dalam masalah warna kekufuran dan kemulhidan adalah sejalan… karena itu pengkufuran mereka adalah wajib dan orang-orang Muslim yang berfilsafat mengikuti mereka seperti Ibnu Sina, Al-Farabi dan lainnya, juga harus dikafirkan.[11]
Pengkafiran batiniah, larangan shalat di belakang Mu'tazilah, Imamiyyah, Zaidiyyah, Khawarij, dan Jahimiyyah serta pengharaman daging sembelihan mereka dari Al-Baghdadi menambah warna kental terhadap pandangan eksklusivisme dari sebagian barisan ulama Islam.
Sebagai catatan, untuk konteks sekarang ini dapat dikatakan wahabisme dan salafisme merupakan wujud nyata eksklusivisme ekstrim dari firkah Muslim.
Dari paparan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan global bahwa eksklusivisme ekstrim sendiri merupakan suatu arus pemikiran yang mewarnai pemikiran-pemikiran keagamaan dalam suatu agama dan telah mempunyai sejarah yang panjang dan gelap dalam berhubungan dengan pengikut agama-agama dan arus pemikiran agama lainnya.
Berhubungan dengan masalah keragaman agama, menurut eksklusivisme hanya ada satu agama yang datang dari Tuhan dan hanya itulah yang benar, adapun keragaman dan kejamakan agama yang muncul, dikarenakan tidak mengikuti agama hak dari Tuhan dan bahkan mengikuti hawa nafsu, angan dan pemikiran yang sesat, serta pemimpin-pemimpin yang menyesatkan.
Objeksi dan Kritik
Pandangan yang demikian ini dari pengikut eksklusivisme ekstrim telah banyak memunculkan keresahan di kalangan pengikut agama-agama dan mazhab-mazhab lainnya, bahkan dapat dikatakan model pandangan ini telah banyak memunculkan pertentangan keras dan kekacauan di masyarakat. Banyak terjadi bentrokan-bentrokan antara mereka dengan pengikut agama dan mazhab lainnya dan jika kekuasaan berada di tangan mereka maka mereka cenderung menindas pengikut agama dan mazhab yang lainnya.
Keekstriman (keyakinan dan amal) ini terjadi dikarenakan tidak ada pilahan dalam pemikiran mereka antara kebenaran teoritis dan prilaku praktis, yakni tidak ada sama sekali ruang pemisah antara natijah pemikiran dan bagaimana berhubungan dan bermuamalah dengan penganut-penganut agama dan mazhab lainnya. Di samping itu tidak ada sedikitpun ruang pluralis dalam pemikiran dan ruang toleran dalam prilaku yang mereka sisakan.
Pada dasarnya, kita dalam menghadapi masalah keyakinan agama perlu kiranya memilah antara terma kebenaran dan keselamatan dengan terma muamalah dan berhubungan dengan penganut agama lainnya. Masalah kebenaran dan keselamatan adalah masalah nazhari dan teoritis serta kembali pada epistemologi, sedangkan masalah bermuamalah dan berhubungan dengan pengikut agama-agama lainnya kembali pada masalah suluk kaum beragama dinisbahkan dengan penganut-penganut agama-agama lainnya, dan ini tidak boleh dicampur-adukkan.
Untuk bahan renungan dalam masalah ini ada baiknya kami kutipkan ungkapan seorang filosof dan mufassir besar Islam berikut ini : Islam menjadi hak orang-orang yang berakidah benar dan materi agama bagi mereka belum terjelaskan, atau sudah dijelaskan tapi belum terpahami, bagi mereka sangat mungkin memperoleh toleransi, dan mereka itu disebut orang-orang mustadh'afiin.[12]
Pemikir Syahid Muthahari dalam buku Keadilan Ilahi untuk memecahkan masalah orang-orang yang dalam hidupnya senantiasa mencari hakikat kebenaran dan beramal baik, tetapi tidak sampai menemukan agama Islam membagi Islamnya seseorang dengan dua bahagian; Islam fitri dan Islam tasyri'i. Dan menurut beliau orang seperti Descartes adalah seorang Islam (baca; Muslim) fitri, sebab dia senantiasa taslim (menerima) pada argumen benar dan taslim pada kebaikan.
Catatan Kaki:
[1] . John Heik, Falsaf-e Din, Hal. 76-79.
[2] . Ibid, hal. 81-85.
[3] . Hasan Kamran, Takatssur Adyan Dar Buteh-e Naqd, Hal. 25-26.
[4] . Michael Peterson dan lainnya, Akl wa I'tiqad-e Dini, Hal. 402.
[5] . Menukil dari John Heik- Mabâhas-e Pluralisme Dini, Hal. 65.
[6] . Michael Peterson dan lainnya, Akl wa I'tiqad-e Dini, Hal. 402.
[7] . Ibid, Hal. 403.
[8] . Farzad Najafi, Pluralisme Dini, Hal. 64.
[9] . Injil Yuhanna, pasal 14, ayat 6.
[10] . Alar Race, Christians and Religious Pluralism, hal. 10.
[11] . Al-Gazali, Râhnamoy-e Gumrâhân, (terjemahan Al-Munqidzu minaddhalâl), penerjemah: Muhammadi Fulâdand, Hal. 39 dan 42.
[12] . Allamah Thaba-thaba'i, Tule-e Syi'ah, Hal. 8.
Jalan Lurus atawa Jalan-jalan Lurus?
Pluralisme agama merupakan suatu konsep dan pemikiran yang masuk dalam pembahasan teologi baru (kalâm jadîd). Istilah ini sebagaimana istilah-istilah lainnya yang terdapat dalam politik, etika dan moral, psikologi, sosiologi, filsafat dan teologi adalah terhitung istilah-istilah impor dari dunia Barat.
Kata pluralisme sendiri derivasinya dari bahasa Latin "pluralis" yang artinya kecenderungan pada banyak.
Pluralisme agama sebagai suatu perspektif teologi dalam wacana kejamakan agama-agama untuk pertama kalinya terungkap dalam dunia Kristen melalui John Heik (1922-1982). [2] Ia adalah seorang uskup dari suatu firkah kristen yang terdapat di Inggris. Ia banyak bergaul dan bekerja sama dengan orang-orang yang bukan Kristen seperti orang Islam, Hindu, dan Yahudi.
Hubungan dan kerjasama tersebut melahirkan suatu pandangan baru tentang agama-agama dan mazhab-mazhab. Pada akhirnya John Heik mengkritisi ajaran Kristen tentang pembaptisan, pengaruh gereja (pastor) memberi keselamatan pada jamaah, dan keyakinan-keyakinan Kristen lainnya, dan yang paling penting serta paling sentral dari kritik dia adalah keyakinan menitisnya ((hulul) Tuhan (tajassud uluhiyyat) pada diri Nabi Isa As. John Heik berkata: " Saya sampai pada kesimpulan bahwa bentuk keyakinan terhadap hulul dan atau tajassud lahut (alam di atas nasut, dunia) pada nasut (dunia) yakni hulul-nya Tuhan pada diri Isa Masih As. , sebagai suatu bentuk metaphor, majazi, dan atau legenda, bukan sebagai suatu proposisi berbentuk satu hakikat murni". [3]
Yang pasti sebelum John Heik perubahan yang sama pernah terjadi pada gereja Katolik di abad pertengahan, dimana gereja pada zaman tersebut mempunyai keyakinan bahwa hanya orang-orang yang dibaptis gereja saja yang akan menjadi ahli surga, hatta Nabi Musa As, dan Nabi Ibrahim As, bukanlah ahli surga , dan mereka bertempat di suatu tempat yang bernama "Limpu" yang tidak terdapat kenikmatan dan kesengsaraan, kemudian Nabi Isa As. pada hari kiamat memasukkan mereka ke dalam surga. Gereja Katolik kemudian melakukan perubahan tentang pandangan dan tata-cara pembaptisan dengan mencukupkan penyiraman air di atas kepala.
Toleransi dalam masalah agama yang dilakukan oleh gereja katolik sampai tataran memandang pengikut agama lain yang dalam kehidupannya bersih dan bermoral baik, meskipun mereka tidak menerima ajaran agama nasrani tetapi mereka bisa dianggap sebagai pengikut Nabi Isa Masih As, masih dipandang tidak cukup oleh John Heik, sebab pandangan ini masih menjadikan agama Kristen sebagai tolok ukur penerimaan agama-agama. Berasaskan tinjauan ini dia mengungkapkan suatu pandangan tentang kebenaran dan keselamatan semua agama-agama dan pangikut mereka sebagai pluralisme agama-agama.
Beberapa Terma Pluralisme dalam agama
Terma pluralisme dalam agama minimal mempunyai tiga penggunaan yang berbeda:
1.Hidup berdampingan dan toleransi
Pengertian pluralisme dalam hal ini idem dito dengan toleransi, yakni hidup berdampingan secara toleran untuk menghindari pertentangan dan peperangan di antara penganut-penganut agama yang berbeda. Dalam defenisi ini, kejamakan atau kebhinekaan diterima sebagai realitas kemasyarakatan, yakni pengikut masing-masing agama dan mazhab disamping memiliki keyakinan bahwa hanya ajaran dan jalan mereka saja yang benar serta penyelamat, akan tetapi menerima dalam pergaulan kemasyarakatan pengikut agama dan mazhab lain, serta memiliki sikap saling menghargai, saling menghormati dan saling toleran.
2.Menyebarnya bagian-bagian hakikat pada ragam agama
Pluralisme dalam bentuk satu agama yang datang dari Tuhan (hakikat agama adalah satu) namun memiliki wajah dan rupa yang beragam. Perbedaan tidaklah pada substansi agama tapi dalam pemahaman agama. Sejumlah orang memahami perkara Tuhan dalam suatu bentuk maka mereka menjadi penganut Yahudi, sejumlah lainnya memahami dalam bentuk lain maka menjadi pengikut Nasrani, dan sejumlah lain berikutnya memahami dalam bentuk lain juga maka mereka menjadi orang-orang Islam. [4]
Dan demikian pula pengikut agama-agama lain seperti agama Hindu, agama Budha, dan agama Majusi, mereka memahami perkara Tuhan dalam bentuk lain sehingga mereka berkeyakinan pada agama Hindu, agama Budha, atau agama Majusi. Menurut pandangan ini setiap nabi atau ilmuan memahami dan menjelaskan satu bentuk dari hakikat, dan dari sisi inilah muncul sebagian berpandangan tauhid, sebagian trinitas, dan sebagian lagi berpandangan politeisme.
Tidak ada seorang pun berhak melebihkan satu pemahaman di atas pemahaman lainnya, sebab sesuai dengan pandangan ini, kita tidak mempunyai satu jalan lurus (mustaqim) dan bersifat mutlak, tetapi kita mempunyai jalan-jalan lurus (mustaqim) yang semuanya mengandung kebenaran.
3. Kebenaran pada semua agama-agama
Hakikat mutlak, keselamatan dan kebahagiaan akhirat tidak terbatas pada satu agama dan pengikut satu syari'at, tetapi hakikat mutlak adalah sama di antara semua pengikut agama dan syari'at. Agama dan syari'at yang bermacam-macam pada hakikatnya manifestasi dari hak mutlak, dan sebagai hasilnya, semua penganut agama dan syariat menemukan petunjuk dan keselamatan.
Tiga bentuk teori penjelasan terhadap kejamakan agama
Kenyataan yang tak dapat dipungkiri adalah terdapat agama dan syari'at yang berbeda-beda serta bermacam-macam. Sebab itu kita membutuhkan penjelasan yang sempurna terhadap realitas tersebut supaya dapat menyikapi secara benar dalam hubungan dengan keragaman serta perbedaan yang ada.
Dalam hal ini ada tiga bentuk penjelasan serta jawaban dari realitas kejamakan agama-agama:
1. Eksklusivisme
Para pengikut pandangan ini berkeyakinan bahwa kebenaran, keselamatan, kebebasan, kesempurnaan, serta apa saja yang menjadi tujuan akhir dari pada agama, terbatas hanya pada satu agama khusus, atau hanya bisa didapatkan lewat satu agama khusus. Dan adapun agama-agama yang lain meskipun mengandung sebagian hakikat kebenaran tetapi dibanding dengan agama yang hak, semua itu adalah batil. Oleh sebab itu menurut mazhab eksklusivis para pengikut agama-agama lain, meskipun mereka taat beragama, dan dari tinjauan akhlak mereka adalah orang-orang yang berakhlak baik, tetapi mereka tetap tidak akan bisa memperoleh keselamatan lewat agama mereka sendiri.
2. Pluralisme
Pandangan pluralisme merupakan tafsiran dari keragaman dan kejamakan agama-agama dari sudut kebenaran dan keselamatan para penganut agama yang bermacam-macam. Menurut pandangan ini meskipun hakikat dan realitas itu hanya satu, tetapi disaat hakikat tersebut tersentuh dengan pemikiran dan pengalaman keagamaan manusia (religius experience), ia mendapatkan warna dan keragaman. Oleh sebab itu, lantaran semua agama-agama memperoleh bahagian dari hakikat, maka dalam hal keselamatan (salvation) semuanya bersekutu dan bersyarikat.
3. Inklusivisme
Dari satu segi pandangan inklusivisme seperti pandangan eksklusivisme, dalam pengertian pemikiran ini juga berkeyakinan bahwa hanya terdapat satu agama yang hak dan hanya agama itu yang dapat menyelamatkan umat manusia (kebenaran pada agama ini bersifat mutlak). Agama-agama lain juga mempunyai kebenaran, tetapi tidak sama dan tidak sesempurna dengan kebenaran agama yang hak (kebenaran pada agama-agama bersifat relatif).
Dan dari satu segi pandangan ini juga seperti pandangan pluralisme, yakni mereka berkeyakinan bahwa berkat inayah dan taufik Tuhan dalam bentuk manifestasiNya dalam berbagai dimensi pada agama-agama, setiap orang bisa memperoleh keselamatan hatta jika orang tersebut tidak pernah mendengarkan prinsip keyakinan agama hak dan tidak mengetahuinya.
Landasan Pemikiran dan Teologis Pluralisme Agama
Pluralisme agama mempunyai landasan pemikiran epistemologis, dan teologis. Bagian epistemologis menitik-beratkan pada pembuktian kebenaran untuk semua agama-agama, sedangkan bagian teologis lebih banyak mengarah pada pengakuan keselamatan dan kebahagiaan para pengikut dari semua agama-agama.
Demikian pula pluralisme agama dengan menggunakan konsep kesatuan substansi agama-agama, kejamakan hakikat, pemisahan noumen dengan phenomen, relativisme pengetahuan, pengalaman agama, kesetaraan argumen, gradasi dan keberadaan batin hakikat, memaklumatkan kesamaan agama-agama dan mazhab-mazhab dalam meraih hakikat, hidayah serta keselamatan.
Berikut ini landasan paling penting dalam pluralisme agama:
1. Landasan epistemologis
a. Hermeunetik merupakan landasan epistemologi yang paling penting dari pluralisme agama. Orang-orang yang berdalil dengan ini berkata: Kita dalam tataran pemahaman (penetapan atau afirmasi) mengarah pada kejamakan makna-makna, dan antara derajat tsubut (realitas) dan itsbât (penetapan, pembuktian) terdapat suatu hubungan. Keragaman dan kejamakan makna-makna ini mengungkapkan suatu struktur yang zatnya tidak tertentu, dan mendapatkan jalan lewat peristiwa makna-makna yang bermacam-macam. Dan ini menjelaskan bahwa kita dalam alam teks dan simbol secara esensi dan realitas mengarah pada ketiadaan ketentuan. Alam makna secara esensi adalah alam pluralis dan tidak mempunyai makna sesungguhnya, sebab itu bisa mempunyai makna-makna yang jamak, serta teks secara esensi merupakan suatu perkara ambiguitas dan dapat meliputi beberapa makna. [5]
b. Landasan epistemologi yang juga sangat kuat mempengaruhi pluralisme agama datang dari pemikiran Immanuel Kant, yakni pemisahan noumen dengan phenomen, serta terdapatnya jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan dan realitas. Pandangan ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari proposisi-proposisi agama.
2. Landasan teologis
Terdapat beberapa landasan teologis dalam hal ini, dan yang paling penting adalah pengalaman agama, dimana menurut pandangan ini pengalaman agama yakni pengalaman seseorang dalam berhadapan suatau hakikat dari hakikat agama (seperti hakikat Tuhan, malaikat, dll) yang pada umumnya memberi pengaruh akhlak dan emosi. Agama-agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul (alahimus salam), juga merupakan hasil dari pengalaman agama mereka, sebab itu agama tersebut berbeda-beda sesuai hasil dari pengalaman agama mereka.
Landasan teologis lainnya yang juga sangat berpengaruh adalah pemisahan inti dari kulit, substansi agama dari aksidennya. Menurut pandangan ini yang substansi dalam agama dekat pada Tuhan, dan atau proposisi akhlak yang terdapat pada ajaran agama, serta pengalaman agama, bukan proposisi hukum dan syari'at yang sifatnya intrinsik dan eksoterik, oleh sebab itu semua agama-agama memiliki substansi yang sama dan yang berbeda hanyalah aksidennya.
Apa yang menjadi landasan pluralisme agama di atas pada dasarnya tidak dapat kita terima dan benarkan sehingga meruntuhkan keyakinan kita akan kebenaran agama islam dan mensejajarkan agama ini dengan agama-agama lainnya dalam kebenaran teoritis dan praktis. Adapun pandangan hermeunetik itu sendiri sangat beragam dan banyak, dan pandangan yang dapat diterima adalah yang mengakui suatu landasan kaidah (bahasa dan akal) dalam penafsiran suatu teks sehingga makna yang diperoleh adalah makna yang sebenarnya, bukan makna yang ada dalam benak pemikiran setiap dari orang. Sebagai ilustrasi bagaimana menurut anda jika suatu teks kedokteran berada di depan seorang dokter, fisikan, sejarawan, budayawan, antropolog, seniman, dan orang umum lainnya, apakah makna yang terpahami mereka yang berbeda-beda itu semuanya adalah sama? Atau makna yang dipahami oleh seorang dokter yang benar?
Tentu anda sepakat dalam konteks ini bahwa teks kedokteran itu sendiri memiliki makna sebenarnya (sebab jika tidak demikian maka teks tersebut tidak dapat mengantarkan seorang dokter untuk mengetahui jenis dan macam penyakit yang menimpa tubuh manusia), dan orang yang dapat menangkap makna sebenarnya dari teks itu adalah orang yang mengerti dan memahami bidang ilmu tersebut. Dan andaikan makna yang berbeda-beda tersebut dihubungkan dengan pengobatan terhadap seorang pasiaen, maka yang bisa disaksikan adalah kesalahan menangkap makna dan mengantisipasi penyakit yang bisa malah meracuni tubuh si pasien bukan mengobatinya. Demikian pula dalam disiplin agama, para ulama agama (dan di atas semua mereka adalah para nabi dan para maksum As) yang kapabel dalam mengerti dan memahami makna dari pada kitab suci, sehingga mereka dapat memberikan terapi yang tepat terhadap aspek kehidupan beragama pada tataran individu dan masyarakat.
Pemisahan antara noumen dan phenomen tidak berarti semua agama harus sama dari segi kebenaran, sebab kalaupun benar bahwa manusia tidak dapat menjangkau hakikat daripada agama (Tuhan), ini tidak berarti bahwa manusia tidak dapat menjangkau manifestasi daripada Tuhan. Para nabi dan rasul As secara gradasi sejarah membawa pesan Tuhan untuk umat manusia, dan mereka adalah manusia-manusia dari segi pencerapan manifestasi Tuhan mempunyai maqam yang sangat tinggi dan dekat dengan Tuhan, sebagaimana pengakuan dan pembuktian mereka semua lewat mukjizat yang diberikan oleh Tuhan kepadanya. Dan yang paling sempurna diantara mereka semua adalah pembawa risalah terakhir dan agama terakhir, yakni rasulullah Muhammad Saw dengan pembuktian mukjizatnya kitab suci al-Qur'an.
Adapun mengenai pengalaman agama para nabi yang menjadi salah satu landasan teologis pluralisme agama, di sini terjadi kesalahan pandangan dengan menyamakan pengalaman wahyu dengan pengalaman agama. Pengalaman wahyu bukanlah pengalaman agama, dan bukan pula pengalaman irfan dalam pengertian teoritis kedua pengalaman terakhir tersebut. Tetapi pengalaman wahyu adalah suatu pengalaman dalam pengertian yang lebih spesifik, dan terbatas pada nabi-nabi Tuhan yang membawa risalah agama Tuhan.
Inti agama pada dasarnya tak dapat dibatasi dengan pengetahuan luar manusia (sebagaimana batasan agama itu sendiri tidak dapat ditentukan oleh manusia), sebab sebagaimana dalam ajaran agama itu sendiri antara berbagai dimensi yang terdapat didalamnya, baik hukum syar'i, aqidah, akhlak, irfan, dan lainnya, semuanya memiliki hubungan yang sangat kuat antara satu sama lainnya. Yakni dalam agama berpegang pada satu dimensi dengan melepaskan dimensi lainnya akan tetap dicela oleh Tuhan, dan bahkan untuk mendapatkan kedekatan pada Tuhan, semua dimensi-dimensi agama haruslah benar secara teoritis dan praktis (aqidah dan amal). Oleh sebab itu menganalogikan ajaran agama dengan inti dan kulit adalah analogi yang salah, tetapi penganalogian yang mungkin lebih tepat adalah penganalogian pohon, yang mana pohon memiliki akar, batang, dahan, ranting, serta daun, dan kesemuanya itu mempunyai peran untuk pertumbuhan yang baik dan kelangsungan hidup dari pohon.
Cendekiawan Islam dan Pluralisme Agama
Pada masa awal Islam terdapat dialog antara kaum muslimin dengan penganut agama-agama lainnya, dan pada masa itu pula terjadi pertentangan antara pengikut agama baru ini dengan pengikut agama Yahudi, Nasrani, dan Majusi. Metode Al-qur'an dalam hal ini pertama mengajak para penganut agama tersebut untuk menerima agama islam, dan pada tahap berikutnya mengajak mereka untuk kembali pada konsep yang sama yang dimiliki (keyakinan pada Tuhan dan atau tauhid), dan pada tahap akhir mengajak mereka dalam kehidupan toleran yang sesuai dengan syarat-syarat kehidupan masa tersebut. Di masa Imam Ridha As, yakni masa kekuasaan Ma'mun, Imam Ridha As pernah diundang oleh penguasa dalam rangka dialog dengan ulama-ulama Yahudi, Nasrani dan Majusi, dan peristiwa dialog antara agama tersebut berjalan dengan baik serta tercatat dalam sejarah islam.
Ilmuan Islam yang menyentuh pembahasan pluralisme agama terhitung sedikit, dan yang terhitung awal dalam hal ini Muhammad Ghazali yang memiliki semacam kegalauan tentang keselamatan atau kesesatan para pengikut agama dan mazhab yang berbeda-beda yang kebanyakan membentuk masyarakat beragama. Ia dalam kitab al-Munqidzu mina dhalâl menggambarkan perbedaan dalam agama-agama dan mazhab-mazhab ibarat lautan yang dalam yang kebanyakan dari mereka tenggelam kedasar, namun setiap firqah dari mereka tetap mengklaim hanya dia yang akan mendapatkan keselamatan. Imam Ghazali juga dalam karya lainnya punya pandangan jika pengikut Masehi akan memperoleh rahmat Tuhan dan ma'dzur (dimaafkan). Dan dalam pembahasan tersebut juga dia membawakan hadits Nabi Saw tentang kebanyakan pengikut agama-agama dalam keadaan sesat, tetapi hadits tersebut dia berikan tafsiran. [6]
Ikhwân as-Shafa juga termasuk pendahulu yang punya gagasan tentang pluralisme agama, dan salah satu bentuk pandangan mereka dalam masalah ini keyakinan mereka bahwa tidak ada satupun agama yang kosong dari kebenaran. [7] (ibid)
Allamah Thaba-thabai Ra dan muridnya Murtadha Muthahari Ra termasuk orang yang punya pandangan dalam menyentuh pembahasan tersebut di zaman sekarang ini. Allamah Thaba-thabai berkata:" Islam menjadi hak orang-orang yang aqidah benar dan materi agama bagi mereka belum terjelaskan, atau sudah dijelaskan tapi belum terpahami, bagi mereka sangat mungkin memperoleh toleransi, dan mereka itu disebut orang-orang mustadh'afiin. [8]
Syahid Muthahari dalam menghadapi pertanyaan:"Apakah agama selain Islam diterima? Dan atau agama yang diterima terbatas pada Islam? Ia berkata:
"Apakah sesuatu harus bahwa seseorang memiliki satu agama, dan maksimalnya bahwa agama itu memiliki hubungan dengan salah satu dari nabi-nabi utusan, dan tidak ada perbedaan diantara agama-agama langit tersebut? Seperti Muslim, Masehi, Yahudi, dan bahkan Majusi? Ataukah dalam setiap zaman agama hak tidak lebih dari satu? [9]
Dan Syahid Muthahari dalam buku Keadilan Ilahi untuk memecahkan masalah orang-orang yang dalam hidupnya senantiasa mencari hak dan beramal baik, tetapi tidak sampai menemukan agama islam membagi islamnya seseorang dengan dua bahagian;
1. Islam fitri
2. Islam tasyri'i.
Dan menurut beliau orang seperti Descartes adalah seorang Islam (baca; Muslim) fitri, sebab dia senantiasa taslim (menerima) pada argumen benar dan taslim pada kebaikan.
Sebuah Isyarat bentuk Pluralisme dalam bidang Fiqih
Didalam fiqih Islam (khususnya fiqih Syi'ah) disebabkan ketiadaan para maksum As di tengah-tengah umat Islam, maka suatu hal yang wajar menerima pluralisme dalam wilayah terbatas dari hukum-hukum fiqih yang tidak desisif (yaqini) dan tidak fundamental (dharuri). Dalam konteks ini tidak satu pun mujtahid mengatakan bahwa apa yang mereka dapatkan dan yang mereka fatwakan sebagai hukum waqi'i (hukum yang sebenarnya), tetapi mereka mengatakan apa yang didapatkan bagi mereka adalah hujjah, dan dalam pengamalan mempunyai sandaran (sanad) hukum.
Oleh sebab itu dari segi ini para fuqaha Syi'ah mendapat julukan "mukhthi'ah", yakni mereka punya keyakinan bahwa jika sampai pada waqi'i, maka waqi'i (realitas sebenarnya) dan hukum waqi'i menjadi berlaku dan mendapat ganjaran, dan jika salah serta mendapatkan hukum non-waqi'i (sedangkan mereka telah bersungguh-sungguh dalam usaha mendapatkan yang sebenarnya), maka hukum seperti ini adalah ma'dzur bagi mereka.
Eksklusivisme dalam Islam
Agama Islam tidak menerima dakwaan kebenaran agama-agama lain, "Mereka berkata tidak akan masuk surga kecuali orang Yahudi atau Nasrani, itu adalah angan-angan mereka, katakanlah datangkan argument kamu jika kamu adalah orang-orang benar" (Qs al-Baqarah [2]:111), tetapi Islam dari sisi kebenaran mempunyai pandangan eksklusif, "Sesungguhnya agama disisi Tuhan hanyalah Islam…" (Qs. al-Imran [3]:19), "Dan barang siapa mencari agama selain Islam maka tidak akan diterima darinya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang rugi" (Qs. al-Imran [3]:85). Tetapi mungkin saja sebagian orang dapat menemukan dan menggunakan sebagian ayat-ayat suci al-Qur'an untuk pembuktian pluralisme agama, seperti ayat dalam surah al-Kafirun. Namun al-Qur'an dalam hal ini tidak mungkin sama sekali membenarkan pluralisme agama-agama (pembahasan ayat dari surah al-Kafirun akan menyusul). [10]
Agama Islam yang merupakan paling akhir agama Tuhan juga adalah satu-satunya jalan keselamatan dan jalan mustaqim, ayat : "Tunjukilah kami jalan mustaqim, jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat atas mereka, bukan jalan orang-orang dimurkai dan bukan juga jalan orang-orang sesat" (Qs. al-Fatihah [2]: 5-7).
Dalam ayat-ayat ini sifat afirmasi dan negasi kedua-duanya disebutkan, yakni jalan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat Tuhan adalah jalan afirmatif, dan jalan orang-orang yang dimurkai serta jalan orang-orang sesat adalah jalan negatif. Dan dalam surah an-Nisa ayat 69 berkenan orang-orang yang telah mendapatkan nikmat, Tuhan berkata:"Dan barang siapa mentaati Allah dan rasulNya, maka mereka bersama orang-orang yang Allah telah beri nikmat terhadap mereka, dari nabi-nabi, shiddiqin, syuhada, dan orang-orang shaleh, dan mereka adalah sebaik-baiknya teman". Sebaliknya dalam surah al-Maidah ayat 60 berkenan dengan orang-orang yang dimurkai (orang yahudi), Tuhan berfirman:"Orang yang Allah telah melaknatnya dan murka atasnya dan menjadikan di antara mereka kera dan babi", dan begitu pula di surah yang sama ayat 77 tentang orang-orang sesat (orang Nasrani), Tuhan berkata:"….sungguh mereka telah sesat sebelumnya dan menyesatkan kebanyakan serta mereka benar-benar telah sesat dari jalan benar".
Dalam surah al-Fatihah kata "Shirath-Mustaqim" datang dalam bentuk ma'rifah (dikenal), dan huruf alif serta lam dalam kata tersebut bukan untuk jins atau umum, tetapi untuk 'ahd (janji), yakni shirath-mustaqim yang dijanjikan, itulah shirath-tauhid jalan pengesaan dan penyembahan pada Tuhan, sebagaimana pada ayat lainnya Tuhan berkata:"Dan sesungguhnya Allah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia, inilah Shirath-mustaqim" (Qs. Maryam [19]:36). Dan shirath-mustaqim yang dijanjikan ini adalah jalan para nabi As, shiddiqin (orang-orang benar), syuhada (jamak: syahid) dan orang-orang saleh, seperti Tuhan berfirman tentang Nabi Musa As dan Nabi Harun As:"Kami memberi petunjuk pada keduanya shirth-mustaqim" (Qs. as-Shaffat [37]:118). Oleh sebab itu seluruh nabi dan rasul As membawa satu jalan, dan jalan itu shirath-mustaqim tauhid murni yang tidak lebih dari satu.
Surah al-Kâfirun dan pluralisme agama
Mungkin ada orang dengan bersandarkan surah al-Kâfirun menetapkan pluralisme agama dalam agama Islam, sebab dalam surah ini Tuhan berfirman:"Katakanlah wahai orang-orang kafir tidak akan aku sembah apa yang kamu sembah, dan tidak kamu sembah apa yang aku sembah, dan selamanya tidak aku sembah apa yang kamu sembah, dan tidak pula kamu sembah apa yang aku sembah, bagi kamu agama kamu dan bagiku agamaku" (Qs. al-Kafirun [109]:1-6).
Menurut orang yang menetapkan pluralisme agama, makna dari ayat-ayat ini menjelaskan bahwa agama islam untuk orang-orang islam adalah agama terpilih, dan agama-agama selain islam untuk orang-orang non-Islam adalah tetap terhitung terhormat dan mulia, serta setiap orang bisa tetap dalam agama atau ideologi khusus yang dalam batasan masing-masing adalah benar. Tetapi makna yang benar dari ayat-ayat tersebut adalah kebalikan dari pandangan di atas, sebab surah ini bertujuan menolak pandangan pluralisme agama dalam agama, bukan menetapkannya.
Yakni al-Qur'an lewat penjelasan Nabi Saw tidak mengatakan agama kamu dan agama saya adalah sama-sama hak, sehingga pluralisme agama adalah benar, tetapi menafikan pandangan dari pluralisme agama. Salah satu dalil dari itu, surah al-Kafirun diturunkan berkenan peristiwa orang-orang musyrik Mekkah menawarkan dan mengusulkan pada Nabi Saw bahwa satu tahun Nabi Saw dan kaum Muslimin menyembah berhala-berhala mereka, dan satu tahun berikutnya mereka menyembah Tuhan islam, dan tahun ketiga Nabi Saw menyembah berhala-berhala (tuhan-tuhan) mereka, serta pada tahun keempat mereka yang akan menyembah Tuhan kaum Muslimin. Bentuk tawaran dan usulan ini pada hakikatnya suatu bentuk pluralisme, tetapi Tuhan menjelaskan pada rasulNya hak jika bercampur dengan batil maka kehilangan esensi dan hakikatnya, hak harus dalam kemurniannya dan jangan sampai kebatilan mendapat jalan masuk di dalamnya. [11]
Jadi pada dasarnya dari sisi hak dan kebenaran, agama islam tidak menerima agama-agama lain, dan jika hanya karena main-main dan sandiwara menerima kebenaran agama islam, maka lebih baik tidak menerimanya, sebab beragama bukan perkara mudah, tetapi berkenan dengan kesempurnaan insaniah, keselamatan, dan kebahagiaan akhirat. Kesimpulannya surah al-Kafirun bukan mengafirmasikan pluralisme agama, tetapi malah sebaliknya menegasikannya.
Kebenaran dan masalah kebahagiaan akhirat
Apakah hanya orang-orang Muslim atau pengikut agama Islam yang akan masuk surga? Atau pengikut agama-agama lain juga akan mendapatkan keselamatan akhirat dan mendapat ganjaran kebahagiaan surga? Dalam pembahasan sebelumnya diuraikan bahwa agama Islam dari sisi kebenaran dan hak mempunyai pandangan eksklusivisme. Dan ini adalah sesuatu yang benar, yakni diantara agama-agama yang ada hanya satu dari mereka yang hak, dan yang lainnya dimurkai Tuhan atau menyesatkan.
Tetapi perlu diketahui dimensi kebenaran bukanlah dimensi keselamatan, meskipun kebenaran itu sendiri korelasinya adalah keselamatan. Dan jika seseorang dengan pengetahuan dan sengaja mengingkari kebenaran agama hak serta tidak bertaubat, maka layak baginya azab dan siksaan Tuhan di akhirat. Namun melazimkan hal sebaliknya tidaklah benar, yakni tidaklah demikian bahwa hanya orang-orang yang memeluk agama hak dan beramal sesuai tuntunan serta syari'atnya yang akan selamat, tetapi orang-orang yang tidak mendapat kebebasan dan tidak menjangkau pengajaran agama hak, dan kalaupun menjangkau tidak sanggup memahami, seperti anak-anak, orang gila, laki-laki dan perempuan yang lemah pikirannya, mereka ini meskipun tidak beragama hak tidak akan masuk neraka. (Qs. an-Nisa [4]:97-99) Allamah Thabathabai berkenan orang-orang mustadh'afin berkata:"…kemudian dikecualikan dari itu orang-orang mustadh'afin, dan diterima permohonan maaf serta udzur dari mereka yang disebabkan kelemahan…" [12]
Menurut pandangan filosof islam seperti Ibnu Sina dan Mullah Shadra kebanyakan orang-orang yang tidak meyakini kebenaran (agama hak) adalah orang-orang "qâshir" bukan "muqashshir", dan orang-orang seperti ini jika tidak mengenal Tuhan secara hak tidak akan diazab, meskipun juga tidak akan masuk surga. [13] Jadi orang-orang yang hanya akan mendapat siksa adalah orang-orang muqashshir, yakni orang-orang yang mendapat kebebasan, keluasan serta mampu menjangkau pengajaran kebenaran tetapi secara sengaja tidak menghiraukan itu semua.
Allah Swt berfirman:"Dan tidaklah Kami hancurkan suatu qaryah (wilayah) kecuali baginya pengingat (pada kebenaran) dan Kami tidaklah dzalim" (Qs. as-Syu'araa [26]:28-29), yakni orang-orang yang tertimpa azab Tuhan adalah orang-orang yang sebelumnya sudah mendapatkan hujjah yang sempurna tentang kebenaran perkara Tuhan. Oleh sebab itu kita bisa simpulkan bahwa dimensi keselamatan dan kebahagiaan akhirat dalam Islam tidaklah totalitas masalah kebenaran, dalam pengertian dimensi keselamatan lebih luas dari dimensi keyakinan dan beragama hak.
"Dan dengan Rahmat-Mu yang keluasannya meliputi segala sesuatu". [14]
Catatan Kaki:
[2]. Kalâm-e Jadid, Abdul Husain Khusrapanah, hal. 163 .
[3] . Maudu wa Baths darbare Pluralisme Dini , hal.32
[4] . Pluralisme Dini dar bute Naqd, hal.41)
[5] . Pluralisme Adyân , hal.62)
[6] . Bar-rasi-e dar Pluralisme, hal.18)
[7] . Ibid.,
[8] . Tulu'e Syi'ah, Allamah Thaba-thaba'i, hal.8
[9] . Majmu'-e ?tsâr jilid.1 hal.267
[10] . Din Syinâsi , Ayatullah Jawadi Amuli, hal.222
[11] . Ibid.,
[12] . Tafsir al-Mizân, jilid 5, hal.51
[13] . Din Syinâsi , Ayatullah Jawadi Amuli, hal.94
[14] . salah satu penggalan doa Kuma'il.
Telaah dan Kritik atas Wacana Pluralisme
Pluralitas dan kejamakan agama-agama adalah sebuah fakta dan kenyataan historis yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya,bahkan pada tataran tertentu realitas ini seakan-akan telah menjadi keniscayaan sejarah bagi kehidupan kaum religius.Seiring dengan pesatnya laju perkembangan teknologi informasi dan komunikasi global,khususnya dalam beberapa abad terakhir,interaksi dan interrelasi manusia dalam pelbagai bidang kehidupan semakin mudah dan terbuka.Kondisi ini telah menyebabkan keragaman dan kejamakan agama-agama tersebut dapat diamati dan disaksikan dari dekat serta dengan lebih jelas.Paling tidak,secara relatif hal ini telah terpahami dikalangan umat beragama sehingga tak seorang pun diantara mereka yang dapat mengingkari faktualitasnya.
Permasalahan yang kemudian muncul berkenaan dengan pluralitas dan perbedaan-perbedaan yang ada pada agama-agama tersebut adalah masalah kebenaran masing-masing agama. Setidaknya,kebenaran setiap agama memerlukan dua syarat utama: Pertama,doktrin atau ajaran-ajaran yang diyakini oleh penganut agama tersebut bersesuaian dengan realitas.Kedua,pengamalan terhadap perintah dan anjuran-anjuran agama menghasilkan kebahagiaan bagi seseorang.
Dengan melihat adanya kebergantungan kuat syarat kedua dari syarat pertama,dapat disimpulkan bahwa masalah kebenaran agama-agama serta jawaban-jawaban yang telah diberikan,terkait dengan ranah epistemologi dan harus dibedakan dengan masalah kualitas perilaku para penganut masing-masing agama yang merupakan sebuah pertanyaan yang berhubungan dengan ranah akhlak dan sosiologi. Dengan kata lain bahwa perbedaan kualitas perilaku para penganut agama-agama antara satu dengan lainnya bergantung pada jawaban yang kita berikan berkenaan dengan masalah kebenaran agama-agama.Dan jika hanya satu agama yang benar,maka agama tersebut berhak untuk menentukan cara berperilaku kepada para penganut agama-agama lainnya.
Para penganut masing-masing agama secara natural akan membenarkan ajaran-ajaran agama mereka serta memahami bahwa jalan keselamatan hanya terbatas pada keimanan atas ajaran-ajaran tersebut,tentunya dengan pengamalan atas perintah dan anjuran-anjuran agama yang dimaksud.Pandangan yang menyatakan ajaran agama-agama lain salah dan batil adalah jawaban yang masih terbilang klasik(tradisional) dalam masalah kebenaran agama-agama,pluralisme agama yang berpijak pada doktrin kristen dan alam pemikiran liberalisme adalah jawaban lain yang mengemuka belakangan ini.
Berdasarkan pandangan pluralisme agama,agama-agama yang berbeda-beda bahkan ketika mereka memiliki jawaban-jawaban dan reaksi-reaksi beragam terhadap realitas uluhiyah(divine reality),semuanya dapat menjadi modal keselamatan,kebahagiaan dan kesempurnaan bagi para penganutnya.[1]
Mengingat bahwa pandangan ini dipengaruhi oleh aqidah dan kepercayaan-kepercayaan kristen serta bertumpu pada filsafat-filsafat humanistik barat,perlu kiranya untuk mengulas secara global latar belakang dan dasar-dasar kemunculan pemikiran ini.
LATAR BELAKANG DAN DASAR-DASAR KEMUNCULAN PLURALISME AGAMA
A.Eksklusivisme
Bagian utama dan terpenting dari pandangan-pandangan pluralisme berfokus pada pembahasan doktrin keselamatan kristen.Ajaran atau doktrin keselamatan merupakan inti(poros utama) dalam teologi kristen.Manusia dalam kepercayaan kristen secara esensial(dzati) ternoda dan pendosa,dan jalan keselamatan hanya terbatas pada keimanan terhadap Tuhan yang dengan menitis dalam jasad al-Masih dan kemudian disalib,Ia menebus dosa anak-anak-Nya.Jalan keselamatan seperti ini tidak akan ditemui dalam agama-agama yang lain dan bahkan para penganut agama-agama pra kristen pun tidak bisa menikmati keselamatan ini.
Dengan dasar ini slogan-slogan kristen sepanjang abad pertengahan selalu menyerukan bahwa tidak ada keselamatan diluar gereja(extra ecclesian uulla salus).Berdasarkan doktrin dan ajaran-ajaran kristen,bahkan nabi-nabi besar sekalipun seperti Ibrahim dan Musa as. juga tidak memperoleh keselamatan,mereka tinggal dan menunggu dalam suatu tempat bernama Limpu[2] yang mana didalamnya tidak terdapat kelezatan dan kesusahan sedikitpun,hingga dengan inayah Al-Masih as. mereka memperoleh keselamatan.[3] Pandangan ini merupakan jenis eksklusivisme khas kristen yang memiliki perbedaan sangat jelas dengan doktrin dan ajaran-ajaran Islam khususnya dalam hal keselamatan dan kebahagiaan.
B.Inklusivisme
Kritikan-kritikan yang terdapat dalam pemikiran sempit eksklusivisme kristen yang disertai dengan tekanan-tekanan pasca renaissance disebabkan adanya interaksi dan perkenalan antara umat kristen dengan para penganut sejati(shiddiqin) agama-agama lain,memasuki relung gereja.Dan kesemuanya itu menjadi penyebab munculnya pemikiran inklusivisme.
Inklusivisme dapat dipahami sebagai sebuah jalan tengah antara eksklusivisme dan pluralisme.Pada hakikatnya para inklusivis memberikan pembedaan antara kebenaran kepercayaan-kepercayaan agama dengan keselamatan manusia,mereka dalam hubungannya dengan kebenaran kepercayaan-kepercayaan agama adalah eksklusivis,namun dalam kaitannya dengan keselamatan umat manusia mereka lebih dekat dengan pluralisme.
Dengan demikian para inklusivis kristen tetap menekankan bahwa manusia adalah pendosa secara dzati(sejak lahir) dan satu-satunya jalan keselamatan manusia dari dosa adalah menjelmanya Tuhan dalam bentuk manusia(inkarnasi),merasakan siksaan,terhina dan terikat pada salib hingga dengan perbuatan ini Ia membayar tebusan dosa-dosa manusia,dan peristiwa seperti ini melibatkan Isa Al-Masih as. serta merupakan kejadian yang telah nyata.Akan tetapi,agar supaya manusia dapat selamat dan bahagia,mereka tidak perlu mengimani kenyataan sejarah menitisnya Tuhan dalam tubuh Al-Masih.
Tebusan untuk dosa-dosa manusia yang telah terbayar akan mencakup seluruh manusia,oleh karena itu para penganut agama-agama lainnya pun adalah orang-orang yang selamat.Karl Rahner(1904-1984 M) menamai orang-orang seperti ini sebagai orang-orang kristen tanpa nama.
Pandangan inklusivisme yang menyatakan bahwa penganut agama-agama lain pun akan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan telah memuluskan jalan bagi kemunculan pluralisme.John Hick sebagai salah seorang tokoh pemikir utama pluralisme mengingatkan bahwa pluralisme tidaklah terpisah dari inklusivisme dan pada hakikatnya inklusivisme dalam sisi tertentu mengakui kebenaran agama-agama lainnya dan jika kita menyebut penganut agama-agama yang lain sebagai orang-orang kristen tanpa nama,hanyalah sejenis ungkapan kosong(tak bermakna) dan sia-sia.[4]
Apa yang telah dikemukakan sebelumnya adalah latar belakang dan landasan-landasan keagamaan munculnya pemikiran pluralisme yang menunjukkan bahwa pandangan pluralisme terkait erat dengan konsep-konsep khusus kristen seperti dosa dzati,keselamatan dan penebusan.Dari sisi lain pandangan-pandangan baru filsafat dalam beberapa abad terakhir telah menjadi backing pemikiran bagi pandangan ini.
C.Relativisme
Pembedaan antara phenomena dan noumena adalah salah satu diantara capaian-capaian terpenting dalam filsafat Kant(1724-1804 M.) yang menjadi azas dan postulat penting untuk menjelaskan pluralisme.Berdasarkan pandangan ini,kita tidak akan mampu mempersepsi alam sebagaimana ia sesungguhnya ada(maujud).Pemahaman atau persepsi-persepsi kita tidak hanya dihasilkan oleh alam eksternal,tetapi diri manusia pun memiliki peran dalam proses memahami.
Olehnya itu, apa yang kita pahami(realitas internal) dengan apa yang ada di luar(realitas eksternal) berbeda.Pandangan ini oleh John Hick juga diterapkan dalam kaitannya dengan kepercayaan-kepercayaan agama.Hasilnya adalah bahwa realitas uluhiyah tidak dapat dijangkau.Apa yang dipahami oleh setiap manusia sesuai dengan kondisi kemanusiaannya serta dipengaruhi oleh adanya perbedaan-perbedaan kebudayaan.Dengan alasan inilah pada setiap agama terdapat pengungkapan yang khusus tentang realitas uluhiyah dimana dengan mengingat ketiadaan batas dalam masalah uluhiyah,seluruh pengungkapan-pengungkapan tersebut dapat dikatakan benar.
Hadirnya neo-relativisme dalam filsafat,juga telah membukakan jalan untuk merancang pluralisme dalam bidang-bidang akhlak,ilmu-ilmu sosiologi dan politik serta agama.Sebelum kehadiran relativisme dalam masalah-masalah alam eksistensi dan pengetahuan tentangnya,terdapat dominasi pemikiran sejenis absolutisme.Akan tetapi berdasarkan pandangan baru,kejadian-kejadian yang ada tidak bisa kita katakan mutlak.Gerak dan perubahan menguasai seluruh eksistensi(alam keberadaan) dan dengan sebab itulah perbedaan kepercayaan atau keyakinan-keyakinan tentang sesuatu yang tunggal,bersifat alami dan natural.
Demikian pula aliran-aliran yang baru muncul seperti pandangan-pandangan hermeneutik dan atau filsafat-filsafat analisis bahasa(linguistic analysism) yang dalam tinjauan tertentu menguatkan pandangan-pandangan pluralisme agama dimana hal ini akan ditunjukkan dalam penjelasan-penjelasan pluralisme berikutnya.
Sebagaimana yang kita saksikan bahwa pluralisme adalah sebuah pandangan atau pemikiran yang memiliki kesesuaian dengan azas dan tujuan-tujuan liberalisme politik.Liberalisme politik selalu menekankan pada sikap ramah dan toleransi,penghormatan terhadap kebebasan dalam masalah-masalah individu serta dukungan atas pluralisme dalam cara-cara menjalani hidup.
Mengikuti liberalisme politik,jenis teologi liberal secara signifikan muncul dalam ranah teologi protestan.Gagasan-gagasan yang dihasilkan teologi liberal lebih banyak terfokus pada bidang internal dan personalisasi agama.Berdasarkan hal tersebut para liberalis dari kelompok ini berpijak pada pengalaman keagamaan(religious experience) dan masalah-masalah seperti wahyu ditafsirkan sebagai pengalaman keagamaan,mereka memahami bahwa pengalaman keagamaan masing-masing orang dipengaruhi oleh budaya dan kepercayaan-kepercayaan mereka dan dengan cara ini mereka menjelaskan perbedaan-perbedaan agama berdasarkan perbedaan-perbedaan kultur.
Pemisahan antara inti dan serpihan agama juga dijelaskan dalam pandangan ini dan berdasarkan hal itu masalah-masalah seperti kedekatan(qurb) kepada Tuhan dipahami sebagai inti(substansi) sedangkan doktrin atau ajaran-ajaran agama yang menjadi sumber perbedaan agama-agama disebut sebagai serpihan agama yang tidak penting.
Dari apa yang telah diurai sebelumnya berkenaan dengan latar belakang dan dasar-dasar kemunculan pluralisme,menjadi jelas bahwa pemikiran ini dirancang dalam suatu lingkungan khusus dan berpijak pada prakonsepsi-prakonsepsi dan tujuan-tujuan tertentu.Prakonsepsi atau pra-supposisi terpenting yang lebih banyak mendominasi pemikiran-pemikiran filsafat barat adalah humanisme.
Humanisme menyatakan bahwa seluruh fenomena-fenomena dimana agama adalah salah satu diantaranya merupakan suatu fenomena yang bersifat budaya dan memiliki sumber atau akar insani(humanis).Olehnya itu,dalam berhadapan dengan pandangan-pandangan ini kita harus mengkaji dan melihat kembali kritikan-kritikan penting yang telah dilontarkan terhadap empirisisme dan relativisme.
Hingga disini pembahasan tentang latar belakang dan azas-azas kemunculan pluralisme kita akhiri dan selanjutnya kita akan mengurai dan mengupas lebih jauh salah satu dari penjelasan-penjelasan paling penting tentang pluralisme.
PENJELASAN JOHN HICK TENTANG PLURALISME AGAMA
John Hick bukanlah orang pertama kali yang mengawali lahirnya pemikiran pluralisme agama,akan tetapi ia menjadi orang yang sangat penting dalam kajian ini disebabkan upaya perluasan dan pengembangan yang dilakukannya terhadap pemikiran ini dan dengan penjelasan yang lebih segar dan baru ia melakukan pembelaan atasnya.Ia disepanjang kehidupan politik dan keilmuannya senantiasa membaur dan berinteraksi(berdialog) dengan penganut agama-agama yang lain dan dengan alasan inilah ia dapat menyimpulkan bahwa mereka pun[para penganut agama-agama lainnya] adalah pemilik kebenaran.
Dalam penjelasan John Hick tentang pluralisme dikatakan bahwa hakikat atau kebenaran mutlak adalah tidak terbatas dan seseorang tidak dapat mengetahui dan mengalaminya.Sesuatu yang diketahui manusia dari hakikat mutlak adalah terbatas dan terkungkung dalam ketidak mampuan akal dan pikiran manusia.Dalam budaya dan bahasa yang beragam akan ditemukan konsep-konsep dan nama-nama yang berbeda tentang hakikat mutlak dimana dengan mengingat ketiadaan batas dari hakikat mutlak tersebut,maka seluruh pengungkapan dan deskripsi-deskripsi yang ada dapat dinyatakan benar.Deskripsi manusia terhadap hakikat dan kebenaran mutlak menyerupai deskripsi-deskripsi dari sekelompok orang-orang buta tentang seekor gajah dimana mereka hanya mendeskripsikan sesuatu yang dapat mereka raba.Meskipun pendeskripsian mereka berbeda antara satu dengan lainnya,akan tetapi semua deskripsi-deskripsi tersebut adalah benar.[5]
Sesuatu yang dapat ditemukan dalam agama-agama adalah realitas yang tersaksikan(masyhud) dan telah ditafsirkan.Ketika orang-orang beragama memperbincangkan hakikat sebuah realitas,mereka hanya mampu menjelaskan bagaimana realitas tersebut nampak bagi mereka.Oleh sebab itu,sebagian dari mereka menyerukan tauhid dan sebagian lagi menyuarakan dualitas.Dan oleh karena hakikat akhir tidak terbatas,maka seluruh deskripsi dan pengungkapan ini bisa dibenarkan.
John Hick dengan pemilahan inti agama dari serpihannya berkeyakinan bahwa doktrin dan ajaran-ajaran agama bukanlah inti dari agama,akan tetapi inti agama adalah perubahan jati diri manusia.Sesungguhnya kebenaran ajaran-ajaran agama tidak lagi bermakna kesesuaiannya dengan realitas,tetapi ukuran kebenaran mereka(baca:ajaran agama) adalah kemampuannya dalam mengubah manusia,yaitu sebuah perubahan internal dimana manusia terbebaskan dari ego-sentrisme menuju teo-sentrisme. Inti dan mutiara ini terdapat dalam semua agama-agama dan oleh karena itu seluruh agama-agama adalah benar.Adapun perbedaan-perbedaan yang terlihat diantara agama-agama bersumber pada lingkungan budaya tertentu dimana agama-agama tumbuh dan menyempurna.
Apa yang telah diuraikan sebelumnya adalah penjelasan paling masyhur berkenaan dengan pluralisme,namun demikian terdapat pula landasan-landasan lainnya yang pada sisi tertentu membenarkan dan mengemukakan pandangan pluralisme,secara global akan kita bahas sebagian dari yang paling pentingnya.
PENJELASAN LAIN TENTANG PLURALISME
Pandangan atau teori permainan bahasa(language-game) Wittgenstian(1889-1951 M) adalah salah satu diantara bentuk-bentuk pemikiran yang berujung pada pluralisme.Berdasarkan pandangan ini kehidupan manusia memiliki tingkatan-tingkatan atau elemen-elemen yang berbeda.Pada setiap elemen kehidupan terdapat kaidah-kaidah dan aturan-aturan khusus yang berlaku di dalamnya.Sebagaimana halnya dengan kaidah dan aturan-aturan permainan sepak bola yang tidak dapat digeneralkan pada jenis-jenis permainan lainnya,kaidah dan aturan-aturan yang ada pada elemen-elemen kehidupan manusia pun tidak dapat diterapkan secara umum.
Agama merupakan salah satu dari elemen-elemen kehidupan manusia yang memiliki kaidah-kaidah dan aturan-aturan khusus tersendiri.Dalam setiap budaya juga terdapat bahasa keagamaan(religious language) khusus dengan kaidah-kaidah tersendiri dalam menetapkan hukum.Kaidah-kaidah ini dari satu sisi tidak dapat di generalkan namun disisi lain juga tidak bertentangan atau mengalami kontradiksi antara satu dengan lainnya.Misalnya;dalam kristen tidak terlihat adanya satu pun hukum berkenaan dengan Allah,olehnya itu hukum-hukum dan kepercayaan-kepercayaan yang berkenaan dengan Allah yang terdapat dalam Islam adalah terkhususkan untuk Islam.Dengan demikian Islam dan Kristen tidak akan pernah bertentangan dan mengalami kontradiksi antara satu dengan lainnya dan berdasarkan hal inilah perbedaan-perbedaan seluruh agama-agama dapat di jelaskan.
Dalam penjelasan John Hick,perbedaan-perbedaan diantara agama-agama memiliki sumber atau sisi insani(manusiawi),akan tetapi dalam penjelasan sebahagian filosof dan pemikir-pemikir keagamaan lainnya dikemukakan bahwa kebenaran seluruh agama-agama telah diterima dan perbedaan-perbedaan yang ada dijelaskan sebagai takdir Tuhan.Berdasarkan pandangan ini kandungan makna setiap agama ditentukan berdasarkan takdir Ilahi dan disesuaikan dengan kemampuan atau potensi-potensi insaniah(kemanusian),pada hakikatnya perbedaan-perbedaan yang ada bersumber dari takdir Tuhan dan kita tidak boleh mengupayakan usaha-usaha untuk menghilangkannya.[6]
Orang-orang seperti schleiermacher(1768-1834 M.) mengemukakan jawaban-jawaban yang bersifat substansial dalam kaitannya dengan masalah keragaman agama-agama.Berdasarkan pandangan ini,pada setiap agama menitis sebahagian inti atau mutiara agama yang bersifat azali dan abadi,dengan demikian semua agama-agama mengandungi kebenaran.
Terdapat pula penjelasan lain mereka yang dengan memisahkan syariat dari iman,mereka memahami bahwa syariat merupakan produk institusi-institusi keagamaan dan berdasarkan hal ini syariat bersifat tetap(tidak elastis) serta menafikan yang lain.Akan tetapi keimanan agama adalah sebuah pengalaman tanpa henti yang tidak akan berujung pada penafian yang lain.Dalam penjelasan ini hakikat akhir akan memanifestasi dalam bentuk-bentuk yang beragam,dan manifestasi-manifestasi tersebut tidak saling menafikan antara satu dengan lainnya.[7]
Pada dasarnya masih terdapat sederetan pilar-pilar pemikiran yang dalam tinjauan tertentu membenarkan dan menguatkan pluralisme,namun demikian untuk keringkasan pembahasan ini kita tidak akan membahasnya.Dalam pembahasan selanjutnya kita akan mengkaji dan melakukan kritik terhadap pluralisme beserta dalil-dalilnya.
KRITIK ATAS PLURALISME
Sebelum kita mengoyahkan neraca kekuatan dalil-dalil pluralisme,perlu kiranya untuk melihat secara khusus kedudukan epistemik pandangan ini.Pluralisme adalah termasuk salah satu dari bidang-bidang kajian filsafat agama.Filsafat agama seperti halnya dengan filsafat matematika dan filsafat-filsafat cabang lainnya,merupakan jenis pengetahuan tingkat kedua.Sebagai contoh,apabila kita mencermati filsafat [atau ilmu] matematika secara lebih teliti,maka dalam ilmu ini akan terlihat adanya keraguan-keraguan yang sangat penting berkenaan dengan proses atau prosedur kebenaran hukum-hukum matematika.
Akan tetapi para ahli dan pakar matematika tidak pernah menunggu untuk terselesaikannya keraguan-keraguan tersebut dan membenarkan diri mereka untuk menerapkan hukum-hukum matematika sebagai hukum-hukum yang pasti tanpa memperhatikan keraguan-keraguan epistemologis yang ada.Hal yang sama dalam masalah-masalah yang menjadi kajian filsafat agama pun dapat dibenarkan.Orang-orang beriman berhak untuk tidak menunggu terselesaikannya keraguan-keraguan epistemik para filosof agama,dan para filosof agama pun tidak perlu menunggu keraguan-keraguan mereka mempunyai efek dalam kepercayaan-kepercayaan orang-orang mukmin.[8]
Mungkin dengan alasan ini pluralisme sebagai salah satu diantara capaian-capaian penting filsafat agama tidak mempunyai pengaruh yang berarti ditengah-tengah orang-orang beriman.Bahkan John Hick sendiri dengan ia menekankan bahwa pemikirannya merupakan hasil logis dari inklusivisme kristen[9] dengan terpaksa terasingkan dari masyarakat religius kristen.[10]
Ia menegaskan bahwa pluralisme tidak memiliki dalil-dalil yang dapat diterima secara umum(oleh umum)[11] dan hanya merupakan suatu teori.[12] Ia pun mengakui bahwa ia menjelaskan pandangan ini berdasarkan pengamatan dan penelitian pada agama-agama besar dan ini merupakan proses penyimpulan induktif yang tidak sempurna serta tidak dapat mencakup agama-agama yang lebih kecil atau aliran-aliran keagamaan penting lainnya[13]
KRITIK LUAR AGAMA
Pada penjelasan John Hick,dalam tinjauan tertentu ia memberikan pembenaran atas tiadanya kesesuaian alam luar(realitas eksternal) dengan dzehn(realitas internal) dimana hal ini merupakan jenis skeptisisme yang paling nampak dan menjadi kritikan terpenting terhadap pemikiran pluralisme.Sesungguhnya dalam pemaparan John Hick tentang kemustahilan untuk dapat mengetahui hakikat akhir,membuahkan suatu kongklusi bahwa semua agama-agama berada dalam kesalahan dan tak satupun diantara mereka yang benar(shahih).
Apabila kita memperhatikan kisah permisalan(tamsil) gajah secara teliti,akan kita lihat bahwa semua orang-orang buta yang berusaha menjelaskan atau mengungkapkan hakikat gajah tidak ada yang benar dan pada dasarnya tak satu pun diantara mereka yang mengetahui hakikat gajah.
John Hick dari satu sisi memahami bahwa hakikat akhir mustahil untuk dapat diketahui dan dari sisi lain menggambarkan keberadaan-Nya sebagai sesuatu yang pasti,akan tetapi bagaimana mungkin dapat membicarakan eksistensi suatu hakikat yang tidak dapat diketahui serta tidak dapat memperbincangkan sesuatu tentangnya? Jika kita tidak dapat berbicara tentang realitas akhir,lalu apa sesungguhnya yang menjadi perbedaan antara iman dan kufur(atheism)?
Dalam hal kemustahilan untuk mengetahui hakikat akhir,kita perlu melakukan perenungan kembali.Adalah benar bahwa hakikat akhir memiliki wujud yang tak terbatas dan tentu saja manusia disebabkan keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya tidak akan mampu menjangkau wujud tak terbatas serta mempersepsi dzat-Nya,tetapi hal ini sama sekali tidak bermakna bahwa sedikitpun tidak dapat membicarakan sesuatu tentang-Nya.Esensi wujud seperti ini mempunyai sifat-sifat khusus dan tidak memiliki sifat-sifat lainnya.
Dengan melakukan perenungan terhadap konsepsi(mafhum) wujud tak terbatas,kita dapat membahasnya bahwa,apakah mungkin wujud seperti ini menjelma atau menitis(tajassud) dalam tubuh seorang manusia? Apakah ketersiksaan diatas salib bisa dinisbahkan kepada wujud seperti ini? Jawaban orang-orang kristen terhadap kedua pertanyaan ini positif sedangkan jawaban orang-orang muslim adalah negatif.Kedua jawaban tersebut mustahil dapat dinyatakan benar.
Bagaimanapun juga di alam realitas,entah penitisan bagi wujud tak terbatas yang bisa terjadi atau sebaliknya mustahil dapat terjadi.Dan oleh sebab itu dalam pandangan ini hanya satu diantara dua agama Islam atau Kristen yang benar.
Hakikat dan kebenaran agama tidak dapat disimpulkan hanya dalam suatu pengalaman keagamaan(religious experience).Agama-agama mempunyai dimensi-dimensi kesejarahan,sosiologis dan etika yang penting.
Perbedaan agama-agama tidak dapat terangkum hanya dalam deskripsi-deskripsi mereka tentang hakikat akhir.Perbedaan kesejarahan agama-agama begitu sangat dalam dan seluruh pandangan-pandangan mereka tidak dapat dinyatakan benar.Perbedaan-perbedaan ini jika dilihat berdasarkan tinjauan logika,maka hanya satu diantaranya yang dapat dinyatakan benar.Sebagai suatu contoh; Berdasarkan keyakinan Kristen hadzrat Isa Al-Masih as. terbunuh diatas salib akan tetapi berdasarkan kepercayaan Islam beliau tidak terbunuh.Berpegang teguh pada pluralisme dalam perbedaan-perbedaan semacam ini hanya akan berakhir pada kontradiksi.
Dengan melihat adanya kontradiksi-kontradiksi yang ditemui diantara ajaran-ajaran atau doktrin agama-agama yang berbeda-beda,maka seluruh agama-agama tersebut tidak lagi dapat dikatakan sebagai jalan-jalan menuju hakikat yang tunggal.Karena jalan-jalan ini berpijak pada prakonsepsi-prakonsepsi yang memiliki kontradiksi sangat jelas dan tegas,olehnya itu hanya satu diantara mereka yang dapat dinyatakan shahih.
Unsur asli pemikiran John Hick terdapat dalam pandangan dan penjelasan filosofisnya yang mengatakan bahwa mustahil adanya untuk sampai pada hakikat(realitas) - sebagaimana hakikat itu ada(maujud).Pandangan skeptis ini mengemuka dibarat pada saat dimana mereka hanya menerima konsepsi-konsepsi yang dihasilkan melalui indra sebagai konsepsi(mafhum) yang valid dan dapat dipercaya.Dan dengan alasan ini konsepsi-konsepsi seperti sebab dan akibat atau hubungan kesebaban(kausalitas),mereka nyatakan tidak valid atau tidak kredibel.Akan tetapi dalam filsafat Islam konsepsi-konsepsi semisal sebab dan akibat atau ada(wujud) dan tiada(`adam) dihasilkan melalui ilmu khuduri.Sesungguhnya dengan bersandarnya pengetahuan pada ilmu-ilmu khuduri dan badihi(swa bukti) akan menyelesaikan banyak sekali masalah-masalah epistemologi dan hal ini telah diuraikan secara detail dalam berbagai teks atau literatur-literatur filsafat Islam.[14]
Apa yang telah dibahas sebelumnya menunjukkan kesulitan atau adanya problem logika dalam pemikiran pluralisme.Untuk pembahasan selanjutnya kiranya perlu untuk mengamalkan perintah dan anjuran para Imam as. dimana dalam setiap keraguan atau subhat mereka merujukkan kita kepada Al-Qur`an Al-Karim,mari kita membuka kitab Tuhan sembari mendengarkan perkataan wahyu.
Metode dan cara para sahabat Aimmah as. menunjukkan bahwa keimanan mereka tidak pernah tergoyahkan hatta ketika terjadi berbagai subhat yang tidak mampu mereka jawab.Sebagai contoh,dalam suatu diskusi antara Abu Al-Huzail Allaf (wf.235 H) - seorang mutakallim mu`tazilah - dengan Hisyam Ibnu Hakam,Abu Al-Huzail mengajukan syarat kepada Hisyam bahwa: Jika engkau menang dariku maka aku akan merujuk pada mazhabmu dan jika aku menang atasmu maka engkau yang harus merujuk pada mazhabku.Mungkin syarat yang diajukan Abu Al-Huzail ini menunjukkan keyakinannya pada pengetahuan yang dimilikinya,tetapi Hisyam tidak menerima syarat tersebut dan mengajukan syarat lain yang merefleksikan puncak keimanannya,Hisyam dalam menjawab Abu Al-Huzail berkata : Aku akan berdiskusi denganmu,jika aku menang darimu maka merujuklah pada mazhabku dan jika engkau menang dariku maka aku akan merujuk pada imamku.[15] Hisyam dengan syaratnya ini hendak menunjukkan bahwa zona iman jauh lebih luas dari sebatas area dimana didalamnya berlangsung dialog dan perdebatan serta pemunculan berbagai subhat berikut jawaban-jawabannya.Bagaimana pun juga dalam masa dimana kita tidak mampu merujuk langsung kepada para Maksum as. berdasarkan perkataan mereka kita merujuk pada kitab Tuhan dan dengan suatu pandangan keagamaan kita memasuki pembahasan pluralisme.
KRITIK DALAM AGAMA
Al-Qur`an dalam berbagai ayat secara eksplisit menafikan pluralisme "Sesungguhnya agama (yang di ridhoi) disisi Allah hanyalah Islam." [16] dan "Barang siapa mencari agama selain agama Islam,maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya,dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi." [17]
Kita sebagai kaum muslimin dalam setiap harinya berkali-kali memohon kepada Tuhan agar senantiasa diberi petunjuk kepada jalan yang lurus:"Tunjukilah kami jalan yang lurus"(Q.S.Al Fatihah:6) yaitu jalan orang-orang yang mendapat hidayah dimana Tuhan senantiasa memberikan inayah kepada mereka:"Jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka;…"(Q.S.Al Fatihah:7) Akan tetapi terdapat pula kelompok kedua dimana mereka menemukan jalan namun tidak menerimanya:"…Bukan (jalan) mereka yang dimurkai…"(Q.S.Al Fatihah:7) dan kelompok ketiga yang tak menemukan jalan serta kebingungan:"Dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."(Q.S.Al Fatihah:7).
Jabir bin Abdullah Ansari menukilkan : Saya duduk didekat Rasulullah SAAW dimana beliau dengan jari telunjuknya membuat garis lurus dan kemudian menarik dua garis lagi disebelah kiri dan kanannya lalu beliau meletakkan tangannya yang berkah pada garis tengah dan bersabda: "Inilah jalan Allah" dan pada saat itu beliau membacakan ayat ini : "Dan bahwa (yang Aku perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,maka ikutilah dia;dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan(yang lain),karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya." [18]
Selain dari pada apa yang telah dikemukan diatas,dalam banyak ayat shirot atau jalan telah didefenisikan dimana defenisi tersebut tidak sesuai dengan kepercayaan adanya jalan-jalan[lebih dari satu jalan,penj.] yang lurus : "Dan bahwa (yang Aku perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus,maka ikutilah dia","…menunjuki(manusia) kepada jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji" dan ayat-ayat serta riwayat-riwayat lainnya yang mengajak kaum musyrikin khususnya para ahlul kitab kepada Islam,tidak sesuai dengan pluralisme : "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.Katakanlah;sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk(yang benar).Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu ,maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu." [19] demikian pula ayat "Hai ahli kitab,mengapa kamu mengingkari ayat-ayat Allah? Padahal kamu mengetahui(kebenarannya)" [20]
Terdapat banyak ayat yang mengatakan bahwa pesan atau perkataan Al-Qur`an Al-Karim adalah diperuntukkan bagi seluruh masyarakat dan memperkenalkan agama Islam sebagai agama yang abadi : "Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Fuqan(Al-Qur`an) kepada hamba-Nya,agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam" [21] dan "Katakanlah,Hai manusia,sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua,…" [22]
Panggilan "Yaa… ayyuhannas" dalam ayat diatas serta panggilan-panggilan serupa yang terdapat dalam banyak tempat dalam Al-Qur`an yang memposisikan manusia sebagai pendengarnya,menunjukkan salah satu diantara kekhususan-kekhususan Al-Qur`an yang membedakannya dari kitab-kitab suci yang lain.Al-Qur`an Al-Karim adalah satu-satunya kitab yang menjadikan manusia sebagai audiensnya dan kekhususan ini menyebabkan Al-Qur`an dalam kebuntuan-kebuntuan epistemik manusia dizaman sekarang berubah menjadi sumber pengetahuan(ma`rifat) asli manusia.
Meskipun dalam agama-agama lain juga terdapat kitab-kitab suci,namun tak satu pun dari kitab-kitab tersebut menjadikan manusia sebagai audiensnya,apabila kita memperhatikan secara khusus kitab suci umat kristiani,kitab tersebut adalah sekumpulan catatan-catatan sejarah kehidupan para nabi yang dilaporkan oleh beberapa orang dan oleh sebab itu dalam keseluruhan isi kitab suci ini,panggilan "Yaa… ayyuhannas" atau "Yaa… ayyuhal insan" sebagaimana yang terlihat dalam Al-Qur`an Al-karim tidak kita temukan,sebagai contoh dalam Injil Lukas dimulai seperti ini : "Dengan alasan bahwa sangat banyak yang mengulurkan tangannya kearah penulisan(penyusunan) hikayat suatu urusan yang bagi kami telah tersempurnakan,saya pun melihat maslahat bahwa semuanya itu dari awal secara tertib kutulis untukmu wahai Tiplus yang terhormat"
Kalimat-kalimat diatas secara jelas menunjukkan situasi atau keadaan yang menguasai kitab suci kristen serta perbedaan mendasarnya dengan Al-Qur`an Al-Karim.Perbedaan ini terlihat dalam satu per satu ayat-ayat dari kedua kitab tersebut,sebagai salah satu contoh yang cukup jelas,ayat-ayat dari Injil Lukas diatas dapat kita bandingkan dengan ayat Al-Qur`an dibawah ini : "Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur`an) untuk manusia dengan membawa kebenaran;siapa yang mendapat petunjuk,maka (petunjuk itu) untuk dirinya sendiri;dan siapa yang sesat,maka sesungguhnya dia semata-mata sesat buat (kerugian) dirinya sendiri,dan kamu sekali-kali bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka." [23]
Ayat-ayat lain mengatakan bahwa pengingkaran terhadap Rasulullah SAWW adalah juga bentuk pengingkaran terhadap nabi-nabi yang lain.Dan ini benar-benar sangat bertentangan dengan pluralisme : "Jika mereka mendustakan kamu,maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamu pun telah didustakan(pula),…" [24].
Dan adapula ayat yang mengkhususkan atau membatasi kebenaran hanya pada agama Islam dan memperkenalkan orang-orang yang berkeyakinan dengan agama-agama lainnya sebagai orang-orang yang merugi: "Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam,maka sekali-kali tidaklah akan diterima(agama itu) darinya,dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi." [25] ayat ini tidak sesuai dengan pluralime agama.
Ustad Syahid Muthahhari dalam menjelaskan ayat ini menulis : "Jika dikatakan bahwa maksud dari pada Islam tidak terkhusus pada agama kita tetapi yang dimaksudkan adalah ketasliman(ketaatan) pada Tuhan,maka jawabannya adalah bahwa sesunggunya Islam adalah taslim itu sendiri dan agama Islam yakni agama taslim.Akan tetapi hakikat taslim dalam setiap zaman mempunyai bentuk tersendiri,dan pada zaman ini bentuknya adalah suatu agama yang sangat kaya dan berharga yang dimunculkan melalui tangan penutup para Nabi SAWW dan tentunya kata Islam bersesuaian dengannya dan cukup…' dengan kata lain,prasyarat ketaatan atau ketasliman pada Tuhan adalah penerimaan atas perintah-perintah-Nya,dan sangat jelas bahwa perintah terakhir Tuhan itulah yang selalunya mesti dijalankan dan perintah paling akhir dari Tuhan adalah sesuatu yang dibawa oleh rasul-Nya yang terakhir." [26]
JAWABAN ATAS BEBERAPA PERTANYAAN
Dalam pembahasan selanjutnya kita akan mengkaji beberapa subhat(keraguan) penting yang telah diajukan dalam upaya membenarkan atau menguatkan pluralisme.
A.Jika hanya ada satu agama yang benar[agama yang hakiki],maka dengan dalil apa setelah melewati berabad-abad lamanya hingga saat ini,tak satupun agama yang tampak lebih dominan dari agama-agama lainnya? Dengan kata lain,kita menyaksikan adanya kesamaan dalil-dalil diantara agama-agama dimana hal itu telah menyebabkan tetap terjaganya kejamakan atau pluralitas agama disepanjang sejarah.Hal ini menunjukkan bahwa agama-agama ditinjau dari segi kebenarannya berada dalam suatu kondisi yang sama.
Jawab:Kesamaan dalil-dalil menurut tinjauan logika tidak menunjukkan benarnya seluruh klaim atau dakwaan-dakwaan yang ada.sebagai contoh,Islam dan Kristen mempunyai perbedaan-perbedaan dalam banyak kejadian-kejadian sejarah(realitas historis).Kristen mengatakan bahwa yang menjadi qurban nabi Ibrahim as. adalah Ishaq sementara kaum muslimin menyakini bahwa yang menjadi qurbannya adalah Ismail,dari sudut pandang luar,keduanya berpegang teguh pada teks-teks agama mereka sehingga dengan demikian tak satu pun diantara mereka yang meninggalkan kepercayaannya,akan tetapi realitas sejarah hanya membenarkan salah satu dari kedua klaim tersebut dan keduanya tidak dapat dinyatakan benar.
Hanya saja,dengan adanya tinjauan kesejarahan dalam contoh ini maka tidak mungkin untuk dapat menerapkan argumentasi rasional,tetapi dalam masalah-masalah seperti tauhid atau kemustahilan penitisan bagi wujud tak terbatas dapat ditunjukkan dalil-dalil yang besifat pasti(yakini) dan dalam menjelaskan sebab ketidak penerimaan mereka terhadap dalil-dalil yang besifat pasti atau yakini,kita mesti merujukkannya pada penjelasan-penjelasan psykologis dan sosiologis.Jika kita mencermati secara teliti sejarah kebenaran(hakikat),akan terlihat bahwa ketertarikan pada hakikat serta upaya untuk menghindarinya senantiasa mendominasi kehidupan individu dan sosial manusia dan hal ini semakin menambah nilai pentingnya teosentrisme.
B.Bahwa hanya kelompok khusus saja yang mendapatkan hidayah adalah tidak sesuai dengan hidayah umum Tuhan.Sifat Hadi adalah diantara sifat-sifat Ilahi dan mengandungi makna hidayah bagi keseluruhan manusia.
Jawab:Jika kita ingin memberikan jawaban kontra terhadap subhat ini,kita katakan bahwa Tuhan pun adalah Maha pemberi rezki,maka seharusnya tak satu pun manusia atau binatang yang kelaparan sementara kondisinya tidak demikian.Ini menunjukkan bahwa ke-mahahidayah-an Tuhan tidak selalu bermakna bahwa manusia akan memilih jalan hidayah,bahkan ke-Hadi-an Tuhan hanya mengisyaratkan makna bahwa Tuhan senantiasa menunjukkan jalan,dan dalam makna ini tidak ada keraguan dalam hidayah umum Tuhan.
C.Bagaimana mungkin dapat diterima bahwa diantara seluruh orang-orang sholeh didunia yang jumlahnya mencapai milliyaran orang,hanya segolongan kecil syi`ah yang akan memperoleh keselamatan.
Jawab:Hakikat(kebenaran) adalah sesuatu yang diluar dan berhubungan dengan realitas.Realitas tidak akan pernah mengikuti kepercayaan-kepercayaan manusia,bahkan ketika seluruh manusia memiliki kepercayaan yang bertentangan dengan realitas,maka hakikat tidak akan penah berubah atau berganti.Bukankah dahulu selama berabad-abad manusia meyakini bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi.
Meskipun demikian,tidaklah benar bahwa hanya orang-orang syi`ah yang memperoleh keselamatan.Sebelum kedatangan Islam para penganut agama-agama yang lain adalah juga pemilik kebenaran.Pasca kedatangan Islam pun,setiap penentang bukanlah ahli keburukan atau orang yang celaka,bahkan kecelakaan dan nasib buruk selalu beriringan dengan kesalahan atau kelalaian(taqshir) dan menurut pandangan para filosof sepeti Ibnu Sina dan Shadrul Muta`allihin(Mulla Shadra),kebanyakan orang-orang yang tidak mengakui hakikat atau kebenaran adalah lemah(qashir),bukan lalai atau bersalah(muqashir) dan perlu diketahui pula bahwa kebahagian dan nasib buruk memiliki derajat dan tingkatan-tingkatan.[27]
Pluralisme bagi pendukungnya memberikan paedah-paedah seperti kehidupan yang lebih utuh dan selamat,terciptanya kesepahaman antara agama-agama,ternafikannya kekerasan dan fanatisme dsb…,akan tetapi perlu diketahui bahwa kegunaan dan paedah-paedah tidaklah bermakna benar dan shahih.Dari sisi lain kegunaan atau fungsi-fungsi seperti ini dalam pandangan-pandangan yang non-pluralis pun dapat ditemukan dan tidak hanya terkhususkan pada pluralisme.Kita bisa hidup dalam damai dan toleransi dengan penganut agama-agama yang lain dan dalam keadaan ini tetap berpijak pada kebenaran agama tertentu.
Dalam kaitan ini,kita mesti memperhatikan pula kegunaan atau fungsi-fungsi negatif pluralisme.Untuk tercapainya kemufaqatan antara agama-agama,pluralisme memandang tidak perlu untuk memperhatikan seluruh aspek-aspek penting agama dan telah mempersempit atau memperkecil agama sebatas pencarian hakikat atau pengalaman keagamaan,sementara agama-agama juga mempunyai aturan-aturan atau hukum-hukum amaliyah,kemasyarakatan dan etika yang penting.Sesungguhnya dengan menganggab tidak penting adanya pertentangan-pertentangan dan perbedaan-perbedaan aqidah akan mengancam kekuatan amaliyah dan dimensi keimanan agama-agama.Demikian pula,dalam pandangan ini tidak ada ikhtiyar untuk memperhatikan pandangan-pandangan yang bersifat eksklusif dari agama-agama dan juga pada pandangan orang-orang mukmin sendiri tentang kebenaran agamanya.[]
Di terjemahkan oleh Ali Imami dari Pluralisme Dini, karya Ridha Shadiqi (2007)
Catatan Kaki:
[1] Aql wa Itiqade Dini,Hal. 406
[2] Limpo dalam kepercayaan kristen adalah suatu tempat menyerupai alam barzah dimana para nabi seperti nabi Musa as. dan juga anak-anak yang belum di mandi ta`mid tinggal,dan pada tempat ini tidak terdapat kelezatan dan kesusahan.
[3] Muhammad Legenhausen,Ma`refat:Pluralism,barrasi-e didgahe mutafaqqeran-e Islam ,No. 23
[4] John Hick,Mabahats-e Pluralisme Dini,hal.68
[5] Maulana Jalaluddin Rumi(604-672 H.) dalam suatu permisalan(tamsil) yang sama menceritakan tentang sekelompok manusia yang meraba seekor gajah dalam kegelapan,tetapi maksud Maulawi dalam mengangkat permisalan ini adalah untuk menunjukkan ketidak mampuan akal dan keniscayaan adanya wahyu.
[6] Ma`refat:Adyan wa mafhume ghai;mushahebei ba John Hick wa Sayyed Hossein Nasr,No.23
[7] Muhammad Mujtahid Syabastari,Kyan,No.28
[8] Untuk telaah lebih jauh silahkan merujuk pada : Muhammad Jawad Larijani,Tadwin;Hukumat wa Touse-e,Hal. 74-78
[9] John Hick,Mabahets-e Pluralism Dini,Hal. 69
[10] Ibid,Dalam makalah pertama dibawah tema: se iqterah.
[11] John Hick,Kyan;Te`dade Adyan,No.16
[12] John Hick,Mabahets-e Pluralism Dini,Hal. 74
[13] Ibid, Hal.74 dan 85
[14] Murtadha Muthahhari,Sarh-e Mabsut-e Manzumeh,Jilid 2,Hal.66-69 dan Ushul-e Falsafe wa Rawesye Realism,Jilid 2,Hal. 8-9 dan 56-62
[15] Ushul Kafi,Jilid 1,Hal. 170 dan Syaikh Shaduq,Risalatun fi al-ittiqad,Hal. 74
[16] Surah Ali Imran(3):19
[17] Surah Ali Imran(3): 85
[18] Surah Al-An`am(6):153 dan Sunan Ibnu Majah,Jilid 1 Hal. 8 yang dinukil dari: Ayatullah Ma`refat,Andisye-e Hauze;Naqd-e Pluralism Dini,No. 16
[19] Surah Al Baqarah(2) :120
[20] Surah Ali Imran(3):70
[21] Surah Al Furqan(25) :1
[22] Surah Al A`raf(7): 158
[23] Surah Az Zumar(39): 41
[24] Surah Ali Imran(3): 184
[25] Surah Ali Imran(3): 85
[26] Murtadha Muthahhari,Majmu-e Atsar,Jilid 1,Hal. 277
[27] Tentang keselamatan kaum mayoritas,Murthada Muthahhari,Majmu-e Atsar,Jilid 1,Hal. 300
Menyoroti Wacana Pluralisme Agama
Salah satu faktor yang memperkaya ilmu dan pengetahuan masyarakat adalah luasnya jangkauan dialog dan perbincangan ilmiah. Pertumbuhan kuantitatif dan kualitatif suatu gagasan sebenarnya merupakan hasil benturan pendapat dan pertukaran pikiran. Teologi Islam (Ilmu Kalam) juga tidak terlepas dari hukum di atas.
Seiring dengan perjalanan waktu, cakupan disiplin ini menjadi semakin luas. Melalui lontaran pelbagai pendapat dan keyakinan dalam ilmu agama-agama dan teologi, disiplin ini keluar dari keredupan dan kebekuan. Jenis gerakan ilmiah ini menyebabkan pendalaman dalil-dalil dan bukti-bukti mengenai pengetahuan tentang Allah, dan menyebabkan masuknya masalah-masalah baru ke wilayah teologi Islam, seperti masalah wahyu dan keimanan, kriteria kebenaran dalam isu-isu keagamaan, bahasa agama, pluralisme agama dan lain sebagainya.
Makalah ini secara ringkas berusaha menjelaskan dan mengkritik sejumlah pendapat tentang kesatuan dan pluralitas agama-agama, sekalipun upaya untuk menjelaskan secara rinci terhadap hal tersebut dibutuhkan kesempatan lain dan banyak makalah.
Pluralisme adalah aliran dan kecenderungan yang menganggap bahwa dasar dan bangunannya adalah pluralitas, dan memiliki pandangan ke arah kemajemukan. Seorang pluralis mempercayai kemajemukan, dan adanya lebih dari satu kebenaran atau hakikat mutlak. Berbeda dengan seorang pluralis adalah orang yang menyakini kesatuan dan cenderung pada semacam pembatasan agama. Aliran pluralisme terbagi menjadi tiga: pluralisme etika, politik dan agama.
Pluralisme etika menganggap bahwa ada lebih dari satu prinsip dan kriteria baik dan buruk. Hal ini berarti relativitas etika. Sebagai konsekuensinya ialah keharusan adanya toleransi dan fleksibilitas dalam wilayah perbuatan individual dan kolektif. Pluralisme sosial merupakan salah satu kajian filsafat dalam ilmu-ilmu sosial.
Pluralisme ini berkeyakinan bahwa masyarakat berpijak pada sejumlah himpunan bangsa atau etnis. Pluralisme politik merupakan salah satu prinsip dasar bagi demokrasi liberal. Pluralisme politik meyakini bahwa pembagian kekuasaan politik di antara beberapa kelompok dan institusi yang bebas dari pemerintah agar terlibat dalam kancah politik.
Di masa-masa lampau, berbagai agama dan aliran kepercayaan tidak saling mengenal. Kalau pun ada aksi atau reaksi di antara mereka, biasanya didasarkan pada semacam konflik dan pertarungan agama. Jarang sekali ada kajian dan dialog di antara mereka untuk mencapai pengetahuan yang mendalam atau saling memahami. Namun, pada abad terakhir ini telah muncul banyak kajian ilmiah dalam rangka mencapai pengetahuan yang lebih dalam mengenai pelbagai agama.
Salah satu faktor utama yang mendorong kajian-kajian itu adalah timbulnya klaim-klaim yang saling bertolak-belakang di antara agama-agama yang ada. Akibatnya, masuklah masalah baru dalam filsafat agama.
Kalau ingin lebih konkret, kita akan menghadapi pertanyaan berikut: jika ada hipotesis a priori berupa pembatasan kebenaran (exdurisism) pada agama-agama samawi dan lainnya, bagaimana kita dapat membuka jalan keselamatan bagi agama-agama lain?
Jelas, siapapun yang lahir di negeri manapun akan memilih dan mengikuti agama dan aliran yang dominan di sana. Semua agama berbeda-beda pendapat mengenai tujuan akhir dan kebahagian manusia, serta berbeda pendapat dalam menjelaskan fakta-fakta yang berkaitan dengan Allah dan manusia.
John Hick mengatakan: "Sebagian orang beranggapan bahwa masing-masing agama mengajukan berbagai argumen untuk menegaskan kesahihannya. Dengan begitu, satu agama akan menilai agama lain tidak benar. Akibatnya, masing-masing agama senantiasa memiliki banyak argumen dalam rangka menegaskan ketidakbenaran agama (lain) tersebut."
Lebih penting lagi, setiap teolog mengetahui fakta bahwa ada banyak agama dan aliran lain selain agama dan alirannya. Karena itu, dia harus menyatakan sudut-pandangnya mengenai tiap-tiap aliran dan agama tersebut. Dia harus mengenali titik-titik kekhasan dan kesamaan yang ada. Dia harus membanding-bandingkan kesahihan dan kekeliruan masing-masing. Dia harus menggunakan cara-cara yang bijak dan dapat diterima dalam melakukan pembelaan rasional terhadap ajaran-ajaran agama yang terdapat dalam teks-teks suci agamanya.
Dia harus menjawab secara logis segenap keraguan dan sanggahan yang dilontarkan oleh para pengikut agama dan aliran lain. Dia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini: apakah hanya ada satu cara untuk mencapai keselamatan, kebahagiaan dan kebenaran dalam seluruh agama ataukah tidak? Mungkinkah kita mengasumsikan adanya satu substansi bagi seluruh agama? Apakah mungkin menggabungkan berbagai pendapat yang bertentangan mengenai agama melalui dialog atau relativitas, atau yang serupa dengan itu?
Satu hal yang patut diperhatikan adalah bahwa mereka membagi pluralisme agama menjadi dua: pluralisme di dalam satu agama dan di luar satu agama.
Pluralisme di dalam satu agama memandang bahwa seluruh perbedaan tafsir mengenai agama tertentu yang memunculkan berbagai aliran dan sekte merupakan hal yang hakiki dan dapat membawa manusia pada kebahagiaan. Contoh pernyataan ini terdapat pada teori pembenaran (tashwîb) dalam Asy'ariyah dan Muktazilah. Teori ini memunculkan semacam penggabungan antara dua hal yang berkontradiksi.
Pluralisme di luar satu agama adalah pandangan bahwa semua agama yang berbeda-beda itu mengandung kebenaran dan dapat membawa pada kebahagiaan.
Pembagian lain pluralisme adalah keyakinan sebagian orang bahwa tujuan dan kebenaran itu bermacam-macam. Sebagian lain meyakini bahwa adanya satu tujuan dan kebenaran, tetapi jalan menuju tujuan dan kebenaran itu bermacam-macam.
Setelah membeberkan dan menjelaskan inti masalah, kami akan mulai menjelaskan pelbagai pandangan dan kesimpulan yang diajukan oleh para filosof agama dan teolog berkenaan dengan masalah ini. Profesor Richards Gyln-Direktur Pusat Kajian Agama di Universitas Sterling-membahas hampir semua interpretasi ini dalam bukunya "Towards a Theology of Religions."
Salah satu guru besar Hawzah dan Universitas telah membedah buku ini dalam edisi pertama jurnal triwulanan al-Hawzah wa al-Jâmi'ah. Paparan kami di sini akan difokuskan pada makalah tersebut, sekalipun juga menyinggung pendapat sebagian sejumlah pemikir Iran lain.
Pandangan Pertama
Pandangan ini bermuara pada dialog antar-agama. Di antara pendukung pandangan ini adalah John Hick, Ninian Smart, Wilford Cantwell Smith, Raimund dan Panikkar. Kelompok ini berkeyakinan bahwa tidak boleh ada klaim exdurisisme bagi agama tertentu. Harus disadari bahwa keterlibatan intuitif dalam dialog bukan saja tidak akan menghilangkan ketulusan akidah para penganut agama, melainkan jutsru akan menambah kekayaan dan pendalaman budaya keagamaan mereka.
Tampak bahwa pandangan ini lebih menggambarkan toleransi dan kelonggaran daripada kajian filsafat dan teologi. Dengan kata lain, pandangan ini sebenarnya merupakan semacam kecenderungan etis dan psikologis, bukan hasil kajian filosofis dan teologis.
Permasalahan kita adalah apakah semua orang beriman dan beragama akan mendapatkan kebahagiaan hakiki? Ataukah kebahagiaan hakiki itu hanya monopoli satu agama atau aliran tertentu? Kecenderungan untuk dialog antar-agama sama sekali tidak bakal menghapuskan segenap perbedaan yang ada di medan pengetahuan keagamaan. Yang mungkin terjadi adalah sebagian orang beragama dapat menambah dan memperkaya pengetahuan keagamaan, mendekatkan antar agama dan aliran, menciptakan semacam interaksi dan sikap lapang dada di kalangan peneliti, menghilangkan ketegangan sosial di kalangan pemeluk agama, dan pada akhirnya pertanyaan tersebut tetap tidak mendapatkan jawaban.
Patut disebutkan bahwa para pemimpin Islam-khususnya kalangan Imam Syiah-telah memberikan perhatian khusus terhadap tukar pikiran. Mereka berdialog dan berdebat dengan lawan-lawannya secara lapang dada. Mereka melarang para pengikutnya untuk menghadapi lawan-lawannya dengan sikap kasar. Atas dasar ini, muncul ilmu dialog dalam sejarah teologi Syiah. Dalam ilmu ini terdapat tuntunan etika dan logika dalam berdialog dan berdebat.
Ringkasnya, pluralisme tidak semestinya dicampuradukkan dengan toleransi agama. Toleransi merupakan cara penyelesaian praktis demi hidup berdampingan secara bersama-sama, dan demi ketenangan sosial. Dengan kata lain, toleransi sebenarnya sejenis kebebasan dan penghormatan terhadap hak-hak para pengikut agama lain. Solusi ini berbeda dengan pluralisme. Memang benar bahwa seorang pluralis pada tataran praksis cenderung bersikap toleran. Hal itu karena adanya kaitan psikologis antara keyakinan dengan tindakan.
Pandangan Kedua
Pandangan ini melontarkan solusi melalui relativisme. Kelompok ini tidak mengakui kemutlakan dan eksklusivitas di satu pihak, dan di pihak lain -sebagai akibat pengetahuannya mengenai perubahan-perubahan sejarah- menyakini bahwa segala sesuatu dapat mengalami perubahan sejarah. Termasuk dalam hal ini gejala-gejala kebudayaan, pendapat-pendapat keagamaan dan moral. Dengan kata lain, semua agama dengan berbagai bentuknya menjamin keselamatan dan kesejahteraan bagi manusia. Atas dasar itu, manusia tidak boleh mencari-cari perbedaan, tapi memperhatikan aspek-aspek kesamaan dan menjauhi semua yang memecah-belah mereka.
Jawaban yang dilontarkan oleh, antara lain, Ernst Troeltsch, sarjana teologi dan filosof Jerman (1865-1923) dan Arnold Toynbee, sejarawan dan filosof sejarah Inggris (1889-1975), menghadapi sejumlah keberatan ilmiah-epistemologis dan teologis:
Keberatan pertama: jika kelompok ini mengakui perubahan sejarah untuk setiap gejala, dan mengikuti relativisme objektif, maka tidak ada keharusan memegang klaim keselamatan dan kesejahteraan. Padahal, konsep-konsep ini merupakan tujuan akhir semua umat beragama. Ada konsep tetap mengenai tujuan final, yang tidak sejalan dengan perubahan komprehensif sebagaimana dituturkan oleh para penganjur relativisme.
Keberatan kedua: hal itu meniscayakan tiadanya hubungan antara perubahan komprehensif dan sikap menerima aspek-aspek yang sama di antara agama-agama. Andaikata semua fenomena berubah dan tidak tetap, bagaimana mungkin kita membuat satu atau beberapa hal yang disepakati dan tetap di antara semua agama, lalu kita menganjurkan umat beragama untuk memegangnya dan memberikan perhatian padanya.
Keberatan ketiga: berkenaan dengan dasar pemikiran ini sendiri, yaitu bahwa perubahan menyeluruh dalam semua fenomena. Semua pemikir yang realistis tidak menerima pandangan demikian. Karena, korban pertama dari perubahan menyeluruh adalah teori relativisme itu sendiri, sehingga pada akhirnya perubahan menyeluruh itu akan berganti menjadi sesuatu yang tetap.
Keberatan keempat: hingga kini belum dibuktikan ada perkara yang disepakati oleh semua agama, meskipun ada aspek-aspek kesamaan di antara mereka, seperti, pada batas-batas tertentu, keyakinan terhadap keesaan Allah yang disepakati oleh agama Yahudi dan Islam. Akan tetapi, pemahaman terhadap keesaan ini tidak sejalan dengan pemikiran Kristiani. Interpretasi kaum Kristiani terhadap keesaan Allah sejalan dengan ide trinitas.
Pandangan Ketiga
Di antara penganut pandangan ini adalah Schleiermacher dan Carl Gustav Jung. Pandangan ini memberikan jawaban yang substansial. Mereka menerima bahwa harus ada substansi agama.
Schleiermacher mengatakan: "Keragaman agama merupakan sesuatu yang niscaya untuk menunjukkan kekomprehensifan dan kesempurnaan kesatuan transendental agama-agama, sebab setiap agama menampilkan satu bagian dari substansi agama yang azali dan abadi."
Sementara itu, sebagian lain seperti W.E. Hocking meyakini bahwa substansi agama merupakan elemen pemersatu semua agama, tanpa menekankan ciri-ciri khas setiap agama.
Berbeda dengan Freud, Jung memiliki sikap positip terhadap agama. Dia menganggap bahwa substansi agama merupakan kesehatan mental manusia, dan menganggapnya sebagai salah satu unsur alamiah kehidupan manusia.
Pandangan ini juga menuai sejumlah keberatan. Pertama, apa bukti yang menunjukkan adanya satu substansi dalam semua agama? Dengan cara apa satu substansi untuk semua agama itu dapat ditemukan?
Kedua, jika forma (lawan dari substansi) tidak niscaya bagi agama, maka substansi agama juga tidak mungkin dipertahankan. Dengan kata lain, bila kita menerima adanya pembedaan antara forma dan substansi agama, maka kita tidak dapat menolak adanya aspek formal ini. Setiap manusia beragama yang ingin meraih substansi agamanya, tidak ada jalan lain baginya kecuali melalui aspek formalnya. Selain itu, pandangan ini tidak sejalan dengan tujuan pluralisme.
Sebab, setiap agama menyatakan eksklusivitas kebenaran agamanya melalui aspek-aspek formalnya.
Sebagian lain beranggapan bahwa yang dimaksud dengan "penafian keniscayaan aspek-aspek formal" adalah bahwa tiap aspek formal agama mengantarkan insan beragama mencapai substansi bersama. Sebagai contoh, dengan melakukan ekaristi, shalat, berperilaku cara Buddha dan ritus-ritus agama lainnya, manusia akan sampai pada substansi agama. Oleh karena itu, penekanan pada aspek formal merupakan sesuatu yang salah, bahkan sia-sia dan tidak ada manfaatnya.
Akan tetapi, pendapat di atas bukan saja menyimpang dari konsep keberakhiran (khatamiyyah) agama yang merupakan salah satu keniscayaan dalam Islam, melainkan juga tidak sejalan dengan konsep naskh (pembatalan) sebagian syariat yang diakui oleh sebagian besar agama. Karena, salah satu makna pembatalan syariat adalah pembatalan aspek formal, dan bukan pembatalan substansi. Pembatalan aspek formal muncul dari serangkaian tuntutan zaman. Oleh karena itu, sekalipun berpendapat bahwa keselamatan juga terdapat pada agama-agama selain Kristiani, para tokoh agama Katolik memandang bahwa karunia yang luas dan keselamatan yang sempurna hanya dicapai dengan menganut ajaran Kristiani.
Keberatan lain adalah bahwa interpretasi sebagian penganut pandangan yang berpijak pada asumsi adanya kesatuan substansi agama-agama ini didasarkan pada landasan epistemologi. Yaitu, pembedaan antara realitas subjektif dan realitas fenomenologis, dalam pengertian bahwa realitas subjektif bersifat tunggal, namun realitas yang muncul dalam benak bersifat majemuk. Oleh karena itu, substansi agama dapat dianggap sebagai tunggal dan milik bersama, sekalipun cara mencapai substansi itu beragam lantaran perbedaan tradisi, budaya dan wilayah pengetahuan yang bermacam-macam.
Berdasarkan landasan epistemologis ini, pluralisme-yang berpegang pada asumsi adanya kesatuan substansi agama-agama-mengambil kecenderungan idealis dan relatif, sebab aliran realisme didasarkan pada dua asas: perbedaan antara benak dan realitas konkret, serta korespondensi umum antara benak dan realitas konkret. Kesimpulannya, ketidaksesuaian total antara realitas subjektif dan realitas fenomenologis hanya akan berbuntut pada relativisme.
Pandangan Keempat
Pandangan pengalaman inspiratif dan religius. Interpretasi terhadap pandangan ini dilontarkan oleh Paul Tillich, filosof dan teolog Protestan Jerman (1886-1956). Pandangan ini didasarkan pada pengalaman-pengalaman religius secara umum yang tidak terbatas hanya pada orang tertentu atau agama tertentu. Dia berpandangan bahwa ada tiga elemen dasar dalam pengalaman religius manusia, yaitu, elemen kerahasiaan, ketersembunyian dan kegaiban, elemen gnostik (irfani) dan elemen kenabian. Artinya, apabila ketiga elemen tersebut berpadu dan menyatu, maka ketiganya akan melahirkan apa yang disebut dengan agama spiritualitas objektif. Inilah yang dituntut oleh semua agama, sekalipun tidak tampak pada setiap agama historis. Jadi, argumentasi ini bersifat mutlak, dan tidak terbatas pada satu individu atau agama tertentu.
Penjelasannya, pengalaman religius berarti keterkaitan manusia dengan Allah. Dalam pengertian yang lebih umum, pengalaman itu berarti manusia menghadapi sesuatu yang kudus. Jenis pengalaman ini sangat mirip dengan pengalaman indrawi yang memiliki tiga unsur: subjek yang mengalami, objek yang dialami dan analisis subjek terhadap objek yang dialaminya.
Sebelum memberikan evaluasi terhadap pandangan ini, kami akan mengetengahkan perbedaan antara pengalaman religius dan pengalaman indrawi.
Pertama, pengalaman religius berjangkauan luas. Pengalaman ini sangat jarang pada manusia. Dengan kata yang lebih tepat, hanya sedikit orang yang bisa menangkapnya. Sementara itu, pengalaman indrawi mudah dijangkau oleh kebanyakan orang.
Kedua, interpretasi terhadap pelbagai pengalaman serupa ini berbeda-beda dalam satu dan lain situasi. Di samping itu, tidak ada sarana bersama yang disepakati oleh semua agama untuk menjelaskan sahih-tidaknya interpretasi-interpretasi tersebut. Pasalnya, orang yang menganalisis pengalaman-pengalaman religius itu hidup dalam bingkai budaya dan tradisi tertentu yang khas dengan lingkungan mereka sendiri. Faktor-faktor sosial dan lingkungan sangat mempengaruhi setiap analisis. Inilah yang menyebabkan timbulnya perbedaan analisis-analisis tersebut.
Ketiga, pengalaman-pengalaman indrawi sebenarnya sejenis ilmu olahan. Menurut sebagian teori yang diterima dalam epistemologi, ilmu-ilmu empiris atau terapan hanya menghasilkan dugaan atau asumsi. Sebaliknya, pengalaman religius merupakan pengetahuan yang bersifat syuhûdiyyah (penyaksian langsung).
Dalam kaitan ini, subjek yang mengetahui berhubungan secara langsung dengan objek-objeknya, dan memberikan keyakinan hakiki pada subjek yang bersangkutan.
Sementara analisis dan penjelasan terhadap kedua jenis pengalaman ini sama-sama masuk dalam kategori ilmu yang bisa diperoleh. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan dalam analisis kedua jenis pengalaman tersebut.
Keempat, kebanyakan pengalaman keagamaan menghadapi persoalan ketidakmampuan untuk digambarkan. Jelasnya, pengalaman itu tidak dibingkai dalam kerangka ungkapan yang lazim. Inilah mengapa ada syathah (ungkapan ektatis) dalam tasawuf. Pengalaman indrawi tidak mengalami masalah semacam ini.
Kelima, ketenangan, kebahagiaan, kejernihan dan berbagai sifat spiritual yang positip merupakan hasil pengalaman religius yang diperoleh oleh subjek yang bersangkutan. Sementara itu, subjek pengalaman indrawi sama sekali tidak mendapatkan ciri seperti ini.
Keenam, sebagian dari pengalaman religius terlepas dari hal-hal rasional. Artinya, akal tidak mampu memahami dan menganalisisnya. Jika akal masuk dalam wilayah ini, maka yang terjadi seperti yang dilukiskan oleh ahli tasawuf dengan "abu al-fudhûl" (ikut-ikutan). Sebaliknya, pengalaman indrawi pada umumnya merupakan kesimpulan rasional atau konsep rasional.
Dengan mempertimbangkan adanya aspek-aspek persamaan dan perbedaan antara pengalaman religius dan pengalaman indrawi, mungkinkah realisasi satu pengalaman yang sama untuk semua agama? Mungkinkah kita menerima semacam pluralisme agama, atau kesatuan substansi agama? Tampak bahwa cara ini tidak menelorkan hasil yang diinginkan. Sebagaimana berbagai analisis terhadap pengalaman religius dipengaruhi oleh budaya, tradisi, situasi sosial dan keadaan spiritual masing-masing individu, demikian pula hakikat pengalaman religius juga akan dipengaruhi oleh faktor-faktor di atas. Kesimpulannya, pengalaman religius berbeda-beda sebagaimana analisis terhadap pengalaman religius itu juga berbeda-beda.
Jika benar yang dikatakan oleh Paul Tillich bahwa "setiap agama mengambil bagian dari spiritualitas objektif", maka bagaimana dan dengan cara apa hakikat itu dapat diisbatkan? Mungkin akan dijawab, semua agama memiliki bagian dari hakikat itu? Pada kenyataannya, barangkali semua agama mendapatkan realitas sendiri yang berbeda dengan agama-agama lain. Jadi, klaim bahwa semua agama mencapai bagian-bagian terpisah dari satu hakikat merupakan klaim yang tidak berdasar.
Pandangan Kelima
Pandangan ini disebut dengan "antroposentris" atau "mesiah-sentris. Pendapat ini dikemukakan oleh M.M. Thomas, Stanley J. Samartha dan Paul Oevanadan.
Pandangan ini memberikan perhatian pada aspek-aspek kesamaan di antara semua agama dalam perkara-perkara yang berkaitan dengan alam nâsût (alam perikemanusiaan), dan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan humanisasi sisi-sisi kehidupan alam sekarang. Dengan kata lain, kita harus mencari aspek-aspek kesamaan antar berbagai agama dalam masalah-masalah duniawi, tanpa memerhatikan kajian-kajian ilmu lâhût (ketuhanan) dan kehidupan di alam akhirat.
Yang menarik di sini bahwa;
pertama, sebagian besar agama, khususnya agama-agama samawi, memberikan perhatian besar pada kehidupan setelah mati dan alam ketuhanan. Bahkan, sebagian agama menganggapnya sebagai substansi agama. Oleh sebab itu, bagaimana mungkin prinsip ini diabaikan, dan bagaimana mungkin agama-agama itu menerimanya?
Kedua, agama-agama itu sendiri berselisih secara mendasar dalam masalah-masalah alam nâsût dan perikemanusiaan, sedemikian sehingga jarang ada aspek yang disepakati oleh agama-agama itu dalam konteks ini. Dengan kata lain, setiap agama memiliki pandangan-dunia yang unik dan berbeda total dengan pandangan-dunia agama-agama lain. Yang lebih penting lagi, hasil-hasil analisis para peneliti terhadap satu agama dari aspek sejarah dan pengetahuan agama tidaklah seragam. Sebagian menganggap bahwa kehidupan akhirat merupakan tujuan dan substansi agama dan tidak membiarkan agama menjadi bersifat duniawi. Maksudnya, mereka tidak ingin mensekulerisasikan agama. Tentu saja, para peneliti lain menentang kelompok peneliti pertama dalam kaitan dengan pandangan-pandangan ini. Akibatnya, pandangan ini dan premis-premisnya tidak akan menjadikan agama-agama itu berdekatan apalagi bersatu-padu.
Pandangan Keenam
W.A. Christain dalam bukunya Meaning and Truth in Religion, setelah membedakan antara keimanan dan pengetahuan, mengatakan:
"Kepercayaan-kepercayaan religius seperti 'Yesus adalah penyelamat', 'Allah Maha Pengampun', dan 'semua Budhis adalah satu", sekalipun berbeda-beda, tapi tidak ada alasan untuk tidak dapat disatukan. Tentu saja, ada perbedaan keagamaan secara jelas antar-agama dalam beberapa pemberitaan dan permasalahan.
Agama Kristen mengatakan bahwa Yesus adalah penyelamat, sementara Yahudi menyatakan hal yang berbeda. Akan tetapi, apabila kita mencermati apa yang dikehendaki oleh kedua pihak, jelas bagi kita bahwa keduanya tidak saling menggugurkan pernyataan pihak lain. Karena, yang dimaksud oleh Yahudi dengan
Yesus adalah entitas non-Ilahi, dan yang dimaksud oleh kaum Kristen dengan Yesus (al-Masih) adalah penyelamat umat yang berdosa.
Dengan demikian, kita memiliki dua konsep berbeda mengenai Yesus. Dan dua konsep berbeda ini tentu menegaskan dua hukum berbeda.
Meminjam bahasa Wittgenstein, kita dapat mengatakan: "Setiap agama memiliki semacam konsep vital dan permainan bahasa yang unik. Orang Kristen dan Budha adalah dua kelompok yang berbeda. Keduanya mengikuti dua masyarakat, dan tradisi keagamaan yang berbeda. Keduanya berbicara dengan bahasa agama yang berbeda. Masing-masing bahasa memiliki maknanya sendiri dalam bingkai konsep vital keagamaannya yang unik. Dengan teori ini, persoalan yang mengerikan seputar adanya perbedaan di antara agama-agama dapat dipecahkan.
Hanya saja, W. A. Christain menganggap bahwa pemecahan ini bersifat dangkal, mengingat antara Yahudi dan Kristen ada ketidaksesuaian tajam seputar hakikat Isa. Sebagian mengatakan bahwa hakikat itulah yang akan membebaskan Bani Israel, sementara lainnya menolak anggapan ini. Secara umum, pokok masalah inilah yang menjadi sebab utama pecahnya Kristen dari Yahudi. Lebih tepatnya, Christain melihat bahwa perbedaan-perbedaan keagamaan terbagi menjadi dua kelompok perbedaan:
Kelompok pertama perbedaan-perbedaan antar-agama adalah perbedaan predikat yang diberikan pada satu subjek.
Kelompok kedua perbedaan-perbedaan antar-agama adalah perbedaan subjek yang terkait dengan satu predikat, seperti perbedaan dua pernyataan "Allah adalah dasar wujud segala sesuatu" dan "Alam adalah dasar wujud segala sesuatu". Perbedaan inilah yang menyebabkan mereka yang percaya dengan dua pernyataan itu terbagi menjadi dua: kalangan yang bertauhid dan tidak bertauhid. Kesimpulan dan keberatan atas teori Christain adalah bahwa pandangan ini tidak menyelesaikan masalah.
Pandangan Ketujuh
Pandangan ini merupakan kritik terhadap ide agama tunggal yang dilontarkan oleh W.C. Well Smith dalam bukunya Makna dan Tujuan Agama. Pandangan ini secara cermat menolak gagasan agama tunggal. Adalah penyimpangan baru kalau ada orang yang beranggapan bahwa agama Kristen benar atau Islam benar. Hal itu karena Kristen, Budha, Hindu, Islam dan agama-agama lainnya merupakan rekaan dan ciptaan manusia.
Oleh karena itu, daripada berpikir tentang agama-agama atas dasar bahwa agama-agama itu merupakan sistem-sistem yang tidak dapat disatukan, lebih baik kita menganggap kehidupan religius manusia sebagai mata rantai yang kuat di mana di dalamnya terdapat perbedaan-perbedaan luar biasa dan unsur-unsur baru pembentuk kekuatan yang dimunculkan oleh kekuatan yang lebih besar atau lebih kecil. Agama Kristen telah berubah dan menyempurna melalui proses aksi dan reaksi yang rumit terhadap faktor-faktor religius dan non-religius.
Pemikiran-pemikiran Kristiani terbentuk dalam miliu budaya yang dilahirkan oleh filsafat Yunani. Gereja sebagai institusi keagamaan dipengaruhi oleh kekaisaran dan sistem perundang-undangan Romawi. Demikian pula dengan mentalitas Protestan yang merefleksikan karakter etnis Jerman Utara. Artinya, tidaklah mungkin berbicara tentang kebenaran dan kesalahan satu agama manapun. Sebab, semua agama tidak lebih dari gerakan religio-kultural yang terbatas dan unik dalam sejarah manusia, serta merupakan gema perbedaan etnis, watak dan gagasan pemikiran manusia.
Perbedaan-perbedaan antara mentalitas Timur dan Barat yang terlihat jelas dalam bentuk yang berbeda-beda, baik secara intelektual, kebahasaan, sosial, politik dan seni tampak dalam perbedaaan agama-agama Timur dan Barat. Perbedaan antar-agama dapat dibagi menjadi tiga tipe:
1. Perbedaan dalam tipe pengalaman hakikat ketuhanan
2. Perbedaan dalam tipe pandangan filosofis dan teologis mengenai hakikat ketuhanan di atas, atau hasil-hasil pengalaman religius tersebut.
3. Perbedaan dalam tipe pengalaman-pengalaman religius utama.
Dalam perbedaan tipe pertama, prinsip atau tujuan akhir adalah kebaikan dalam bentuk yang tertentu dan jelas. Tujuan ini dikenal dengan berbagai nama, dengan Yahweh, Tuhan, Allah, Krishna dan Shiwa. Barangkali berbagai pengalaman atas realitas yang terbatas maupun tidak terbatas dari tujuan umum itu saling melengkapi dan bisa digabungkan.
Perbedaan tipe kedua merupakan bagian dari sejarah pemikiran manusia yang terus menyempurna. Perbedaan-perbedaan itu akan menghilang seiring dengan berlalunya zaman, lantaran semua perbedaan itu terkait dengan aspek historis dan kultural suatu agama yang senantiasa berubah.
Perbedaan tipe ketiga antar-agama bisa dianggap sebagai penghalang terbesar menuju penyatuan agama-agama. Sebab, masing-masing agama memiliki ajaran dan kitab suci yang di dalamnya hakikat ketuhanan menjelma dan dianggap sakral. Para pengikut suatu agama dituntut untuk mengimani dan menyembahnya tanpa keraguan dan keberatan sedikitpun.
Pandangan ini menimbulkan banyak diskusi dan perdebatan. Kami hanya akan menyinggung sebagiannya berikut ini:
Pertama, Smith telah mengacaukan antara agama dan pengetahuan keagamaan. Sebab, hal yang dapat berubah dan terpengaruh oleh faktor-faktor keagamaan eksternal adalah pengetahuan agama, dan bukan agama itu sendiri. Sebaliknya, agama sebagai teks dan hakikat keagamaan bersifat tetap, tidak berubah, kecuali apabila kita menganggap bahwa teks agama itu sendiri telah mengalami distorsi (tahrîf).
Kedua, tipe perbedaan ketiga antar-agama di atas tidak dapat diselesaikan. Smith sendiri menganggap perbedaan tipe pertama dan kedua tidak dapat diselesaikan. Penyelesaian perbedaan tipe pertama tidak mungkin terjadi karena tiadanya bukti bahwa pengalaman-pengalaman agama terhadap hakikat ketuhanan bisa saling melengkapi. Pasalnya, ada dua kemungkinan dalam menganalisis semua pengalaman tersebut: kemungkinan pertama adalah bahwa setiap agama telah mengalami sebagian dari hakikat-hakikat ketuhanan. Bila memang demikian, maka berbagai pengalaman agama itu dapat dianggap saling melengkapi dan menyempurnakan.
Kemungkinan kedua adalah bahwa setiap agama telah mengalami hakikat ketuhanan yang mandiri. Bila demikian, maka berbagai pengalaman itu tidak dapat dipadukan.
Adanya dua kemungkinan itu menunjukkan bahwa menerima salah satunya tanpa bukti penguat hanya akan berujung pada klaim yang tidak berdasar.
Penyelesaian perbedaan tipe kedua juga tidak berguna. Karena, sejarah juga menunjukkan penyempurnaan pemikiran, bukan hanya hilangnya perbedaan-perbedaan. Sebaliknya, sejarah menunjukkan adanya banyak perbedaan, perkembangan kuantitatif dalam pertentangan berbagai pemikiran dan munculnya sejumlah kecenderungan dalam berbagai ilmu. Semua itu dapat dijadikan dalil yang membenarkan klaim kita.
Akhirnya, penyelesaian yang diketengahkan oleh Kongres Vatikan II yang menyatakan "bahwa orang yang tidak mengetahui kabar gembira tentang Yesus tanpa sengaja tapi ia memohon kepada Allah dengan tulus, orang seperti itu juga mungkin mendapatkan kebahagiaan abadi." Solusi ini hanya bisa mengentaskan problem sosial.
Artinya, solusi itu tidak menyelesaikan persoalan adanya pertentangan antar-agama dari sisi epistemologis dan teologis. Karena, sekalipun bisa diduga bahwa solusi itu berusaha memecahkan masalah kebahagiaan bagi sebagian orang yang menolak agama Kristen, tapi persoalan tentang kebenaran tetap tidak terpecahkan melaluinya. Apalagi, menurut Kongres ini, sebagian orang yang menentang agama Kristen lantaran lebih memilih agama lain tidak akan mendapatkan kebahagiaan abadi.
Pandangan Kedelapan
Pandangan ini lebih menekankan pada keimanan daripada (pelaksanaan) syariat.
Muhammad Mujtahid al-Syabastary dalam menjelaskan pandangan ini mengatakan: "Syariat adalah sekumpulan dogma, tatacara, ritus dan hukum. Manakala lembaga-lembaga dan pusat-pusat religius muncul dalam masyarakat tertentu, sistem kepercayaan dan tingkah laku akan membentuk berbagai aturan, upacara dan tatacara kaku, dan melahirkan masyarakat tertutup dan tidak fleksibel. Siapa saja yang hidup tidak atas dasar sistem keyakinan itu akan disingkirkan."
Sebaliknya, keimanan religius adalah pengalaman dinamis yang tidak berpijak pada pengingkaran pihak lain. Dalam pluralisme religius, kita berbicara tentang kemungkinan adanya kebenaran dalam berbagai agama, bukan kepastian adanya kebenaran dalam seluruh agama. Jadi, pluralisme religius bermakna adanya kebenaran puncak yang menjelma dalam berbagai bentuk. Pluralisme religius sama sekali tidak berarti menerima semua kebenaran yang ada dalam semua agama.
Kesimpulannya, harus ada kritik terus-menerus yang menyertai pluralisme religius. Karena, kebenaran bersifat laten, dan manusia beragama mesti senantiasa hidup bersama kritik.
Lebih lugasnya, syariat yang telah menjadi pranata, ritus, sistem dogmatis dan sosial adalah syariat yang perlu ditolak. Sebaliknya, syariat yang mengiringi dinamika gejala kesejarahan, kemasyarakatan, material dan kebahasaan dari pengalaman religius yang membara merupakan syariat yang perlu diterima.
Karena, jenis syariat ini akan tetap hidup dan sejalan dengan pengalaman keimanan.
Masalah lainnya, pengertian hukum dan sistem sosial di masa permulaan Islam tidak berarti sebuah ilmu sosial dan filsafat hukum. Ungkapan hukum Allah, atau halal dan haram Allah, tidak berarti sistem domestik atau sistem sosial, melainkan penetapan hubungan antara Allah dan manusia. Maksudnya, jika manusia di bidang apapun ingin melakukan perbuatan yang diridhai oleh Allah seperti interaksi dengan istri dan anak, maka dia harus melakukannya menurut bentuk-bentuk tertentu.
Sebenarnya, pelaksanaan perbuatan-perbuatan seperti itu akan memperkuat keimanan seseorang dan demikian pula sebaliknya. Sistem hukum harus ada untuk menata hubungan-hubungan duniawi antara satu individu dengan individu lainnya dan dengan pemerintah. Akan tetapi, mengikuti sistem hukum tersebut bukan merupakan agama. Inti agama adalah penjelasan perbuatan-perbuatan semacam itu, yang pada gilirannya memperkuat atau memperlemah pengalaman religius.
Perbedaan antara Protestan dan Katolik berpijak pada masalah ini pula. Kelompok Protestan lebih memperhatikan pengalaman religius, sementara Katolik lebih memperhatikan legalitas agama.
Intinya, syariat harus keluar dari kondisi kebekuan agar bisa menjadi sistem hukum, sosial, etiket dan tradisi. Dengan demikian, pengalaman keagamaan-keimanan akan menjelma secara praktis. Setelah itu, syariat akan menjadi norma bagi perilaku manusia yang bersumber dari pengalaman keagamaan, dan mencakup semua aspek kehidupan. "Pada saat itu, syariat tidak berhadap-hadapan dengan keimanan, tetapi melengkapinya."
Sekalipun tampak menarik dan indah, solusi Mujtahid al-Syabastary ini menimbulkan sejumlah keberatan:
Pertama, teori ini tidak menuntaskan pertentangan antara berbagai pandangan dan keyakinan. Andaikata kita menerima bahwa syariat harus tidak dipaparkan sebagai sehimpunan tatacara dan aturan suatu sistem kepercayaan dan kemasyarakatan, dan harus dinamis dan sejalan dengan pengalaman keimanan dan religius, dan bahwa dinamika agama diperoleh melalui kesesuaiannya dengan masyarakat dan budaya yang dominan di suatu temapt atau zaman, maka niscaya agama itu akan sejalan dengan dan dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya tersebut. Agama itupun akan seirama dengan pengalaman religius yang lahir dalam masyarakat itu. Mengingat masyarakat dan budaya itu berbeda-beda, maka mau tidak mau akan muncul perbedaan agama dan pengalaman-pengalaman religius. Pada saat itu, kita akan kembali lagi pada inti permasalahan mengenai kebahagiaan dan kebenaran. Yakni, melalui pengalaman religius dan agama mana kebahagiaan dan kebenaran itu dapat dicapai?
Kedua, dalam hipotesisnya, al-Syabastary mengatakan: "Dalam pluralisme, kita berbicara tentang kemungkinan adanya kebenaran dalam berbagai agama, dan bukan kepastian adanya kebenaran dalam semua agama." Jelas bahwa perkataan ini tidak memecahkan persoalan pertentangan antar-agama, sebab yang dimaksud dengan "kemungkinan" di sini adalah kementakan dalam peristilahan umum atau kemungkinan dalam istilah logika. Kemungkinan dalam istilah ini berarti mungkin-ada dan mungkin-tiada. Selain itu, ada banyak pernyataan berita dalam teks-teks agama yang tampak kontradiktif. Kemungkinan adanya kebenaran di semua pernyataan itu berarti menyatunya dua hal yang kontradiktif. Orang-orang Kristen, umpamanya, menganggap bahwa Yesus yang dijanjikan adalah juru selamat manusia, sementara Yahudi dan Muslim menolak hal itu. Apakah mungkin menggambarkan kemungkinan adanya kebenaran dalam agama-agama ini sekalipun dua pernyataan itu berkontradiksi?
Rupa-rupanya al-Syabastary menduga adanya pertentangan antara hubungan manusia dan Allah dan hubungan antar-manusia dengan sistem kepercayaan dan hukum yang dapat menumbuhkan pengalaman religius. Padahal, pertentangan semacam itu tidak ada. Bahkan, halal dan haram dalam urusan domestik yang terwujud dalam sistem keluarga tidak menghalangi terciptanya interaksi yang diridhai oleh Allah dan pengembangan pengalaman religius.
Pandangan Kesembilan
Pandangan ini diprakarsai oleh John Hick untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana mungkin semua konsepsi dan afirmasi agama tentang hakikat ketuhanan itu benar adanya? Ia menjawab: Ada perbedaan antara apa yang nyata dengan sendirinya dan apa yang nyata menurut kita. Penyebab perbedaan itu terdapat dalam fakta bahwa hakikat tertinggi dan Ilahi itu tidak terbatas, sehingga terlalu luas untuk dijangkau oleh kognisi pikiran dan ekspresi manusia.
Pandangan ini menjadi jelas dan lengkap dalam kerangka filsafat Kant yang membedakan antara fenomena dan noumena.
John Hick bertolak dari anekdot mengenai sekelompok orang buta dan gajah. Dalam anekdot itu dikisahkan bahwa masing-masing orang menggambarkan gajah dengan satu ciri tertentu. Hick mengatakan bahwa orang-orang beragama itu mirip dengan sekelompok orang buta tersebut. Ia menyimpulkan bahwa tak satupun agama yang berhak memonopoli keberagamaan atau mengklaim ekslusivitas kebenarannya, lantaran tiap agama mendapatkan sebagian hakikat dalam sisi formalnya.
Keberatan pertama untuk John Hick adalah relativitas teorinya. Sebab, menerima perbedaan antara "hakikat sebagaimana adanya" dan "hakikat sebagaimana yang tampak", dan menolak korespondensi benak dengan realitas eksternal atau antara fenomena dengan noumena sama dengan mengajukan relativitas pengetahuan yang paling menonjol.
Keberatan kedua, mengapa kita harus mengasumsikan bahwa semua orang beragama laksana sekelompok orang buta yang kebetulan menemukan fakta yang disebut dengan "gajah". Boleh jadi setiap orang dari kaum yang beragama mendapatkan fakta khas yang berdiri sendiri.
Keberatan ketiga, jika semua kecenderungan pluralisme meyakini pluralitas kebenaran, maka kecenderungan semacam ini bakal mengarah pada relativitas kebenaran. Hal itu karena sebagian dari berbagai kebenaran itu saling berlawanan. Kecenderungan ini akan berujung pada penerimaan dua hal yang kontradiktif.
Jika kebenaran itu tunggal tapi jalan menuju kepadanya beragam dan bahwa jalan-jalan itu memuat berbagai asumsi epistemologis yang saling bertentangan, maka penerimaan asumsi-asumsi itu akan menyeret manusia kepada relativitas pengetahuan. Anggapan bahwa kebenaran itu tunggal tapi jalan manapun bisa menyampaikan orang pada sebagian sisi keberanan yang tidak sempurna, sehingga tidak meniscayakan penerimaan asumsi-asumsi yang kontradiktif, tidak akan membawa orang pada relativisme.
Pandangan Kesepuluh
Pandangan ini berlandaskan eskatologi yang berpijak pada kriteria kebenaran dan ketepatan yang membedakan antara agama yang benar dan agama yang salah. Tentunya, ada perbedaan dalam menentukan kriteria kebenaran. Sebagian menjadikan etika sebagai kriteria kebenaran, sementara yang lain menjadikan pelbagai pengalaman dan keadaan religius sebagai kriteria kebenaran. Sebagian lain beranggapan bahwa jaminan kebutuhan-kebutuhan dasar sebagai kriteria kebenaran. Kelompok keempat menganggap bahwa kriteria keberana adalah korespondensi atau kesesuaian dengan fakta.
Agaknya, pandangan ini merupakan jawaban paling bagus terhadap pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan di awal makalah ini. Kita tidak perlu bersikukuh mengatakan bahwa semua agama membawa manusia menuju kebahagiaan dan kebenaran. Sebaliknya, kita harus berusaha menemukan agama paling benar berdasarkan kriteria-kriteria logika. Jika hal itu telah terbukti bagi kita, maka kita percaya bahwa kebahagiaan dan kebenaran terdapat dalam kepatuhan kepadanya. Dengan kata lain, setelah keniscayaan agama dan kenabian dalam artian umum itu telah diisbatkan kebenarannya, barulah kita mencari mana kenabian dan kerasulan yang paling benar.
Sebagain cara untuk mengisbatkan kebenaran klaim kenabian seseorang adalah sebagai berikut:
1. Ucapan-ucapannya sesuai dengan akal.
2. Tidak ada pertentangan dan kontradiksi di antara ucapan-ucapannya.
3. Dapat membawa manusia-sesuai dengan keadaannya-pada tujuan luhur, dan menyediakan segenap kebutuhan yang didambakannya.
4. Membuktikan hubungannya dengan alam gaib melalui cara tertentu seperti mukjizat.
Ihwal apa metode untuk mengetahui agama yang paling benar tentunya merupakan kajian yang serius dan tidak cukup untuk dipaparkan dalam makalah ini.
Pada sisi lain, saya melihat bahwa masalah pluralitas atau kesatuan agama masih berupa embrio. Kami hanya berharap dapat membantu perkembangannya melalui kajian-kajian yang berbeda.
Agama dan Kebebasan
Kebebasan merupakan salah satu nilai yang paling asasi bagi umat manusia. Sedemikian sehingga seluruh manusia, siapa pun, dimana pun dan kapan pun memuji apa yang disebut kebebasan. Semenjak tukang sayur hingga insinyur, dari tukang kompor sampai professor, tukang kardus hingga doktorandus semuanya familiar dengan redaksi kebebasan. Hal ini menandaskan bahwa masalah kebebasan ini merupakan masalah universal. Filosof Ilahi dan sosiolog, khususnya pada ranah hukum, politik dan sosiologi juga banyak berbicara ihwal kebebasan.
Kendati pahaman kebebasan merupakan salah satu pahaman yang swa-bukti (badihi) namun untuk sampai kepada kebebasan, kita berhadapan dengan selaksa kepelikan dan kesulitan. Terkait dengan definisi tentang kebebasan, tidak dapat diperoleh definisi yang jelas dan setiap maktab dan filsafat masing-masing memberikan penafsiran berdasarkan pelbagai pra-supposisi mereka sendiri-sendiri; atas dasar ini kesalahpahaman dan perbedaan pendapat dapat kita saksikan dimana-mana.
Muthahhari dalam "Takamul Ijtima'i Insan" berkata: "Kebebasan merupakan salah satu nilai yang paling besar dan transendental manusia; dengan kata lain, kebebasan merupakan bagian dari maknawiyat manusia. Kebebasan bagi manusia merupakan sebuah nilai yang berada di atas nilai-nilai materi. Manusia yang memiliki niliai kemanusiaan rela hidup menderita lapar dan dahaga, bahkan mengorbankan jiwa dan raganya asalkan ia tidak menjadi tawanan seseorang. Manusia yang sedemikian adalah manusia yang hidup bebas dalam kehidupannya."
Sejarah Islam dan contoh-contoh melimpah dari para pembesar agama dapat kita jadikan sebagai penegas dari tuturan Muthahhari ini.
Ketika kita berbicara tentang kebebasan segera muncul dalam benak kita tiga pertanyaan: Apa itu kebebasan? Darimana kebebasan itu bersumber? Dan apa batasan kebebasan itu? Jenis-jenis kebebasan dan tiadanya sinkretisasi di antara jenis kebebasan tersebut. Apakah agama dan kebebasan memiliki pertalian erat? Dan nilai kebebasan apa yang berkembang di Barat dan dalam agama Islam?
Pada artikel sebelumnya, terkait masalah ini, kepada Anda telah disuguhkan dua artikel ihwal "Melacak Akar Sejarah dan Manifesto Liberalisme," "Epistemologi Kaum Liberalisme." Pada kesempatan ini, penulis mengajak Anda untuk membahas masalah penting lainnya yaitu tentang Hubungan Agama dan Kebebasan. Dimana pada tulisan ini kita akan melihat sejauh mana agama dan kebebasan bertautan satu dengan yang lain.
Apa itu Kebebasan?
Masalah kebebasan merupakan sebuah masalah yang menarik bagi manusia. Umumnya ungkapan kita pada kebebasan adalah kebalikan dari kata terpenjara, tertatawan atau terpasung. Barangkali ungkapan ini sudah dikenal oleh manusia di setiap tempat dan waktu. Pada kesempatan yang lalu, kita sedikit mengulas tentang padanan kata kebebasan dalam bahasa Inggris dan Arab, yaitu freedom, liberty, hurriyah dan ikhtiar. Di sini kita tidak akan mengulanginya lagi.
Terkait dengan makna kebebasan terdapat banyak makna yang diberikan. Bahkan disebutkan bahwa makna kebebasan ini melebihi dua ratus definisi.
Hal ini juga diiyakan oleh Montasqiue yang berkata bahwa "Tiada satu pun pikiran yang tidak tertarik pada kebebasan dan tiada satu pun kalimat yang melebihi perbedaan dalam memaknai kebebasan."(Montasqiue)
Demikian juga, kebebasan dalam pandangan Kant adalah kemerdekaan dari segala sesuatu kecuali menjaga aturan moral. (Kant) Atau Spinoza yang mendawuhkan kebebasan sebagai hidup yang mengikuti aturan akal."(Spinoza)
Hobbes dalam mendefinisikan kebebasan berkata "Kebebasan dalam artian sebenarnya adalah tiadanya hambatan-hambatan pada tataran perbuatan; hambatan-hambatan tersebut yang biasanya muncul adalah kekuatan manusia yang ingin melakukan sebuah perbuatan. Atas dasar ini, manusia bebas adalah manusia yang ketika ia berhasrat untuk melakukan sebuah perbutan, ia memiliki kekuatan dan kekuasaan, dan tidak berhadapan dengan hambatan dan rintangan."(Hobbes)
Isaiah Berlin dalam kaitannya dengan kebebasan mentasbihkan: "Barometer kebebasan saya biasanya adalah tatkala tiada orang yang campur tangan dan intervensi dalam setiap aktifitasku." (Isaiah Berlin)
Dalam maktab Liberalisme secara umum, kebebasan yang didefinisikan adalah "kebebasan dari" (freedom from) bukan "kebebasan untuk" (freedom for) .
Liberalisme ghalibnya mendefinisikan kebebasan sehingga pada kondisi-kondisi dimana orang tersebut tidak terpaksa (koersif) atau terikat, tiada orang yang interfensi dalam urusannya, tidak berada di bawah pressure.
Ayatullah Misbah Yazdi dalam kitab Jamia wa Tarikh dengan elegan berdasarkan pandangan dunia Ilah, mendefinisikan kebebasan sebagai berikut, "Kebebasan adalah tiada yang menghalangi jalannya, tiada yang merintangi geraknya, tiada yang menahan kemajuannya." Kemudian berkata lagi, "Setiap maujud yang hidup yang ingin melintasi jalan kesempurnaan salah satu kebutuhannya adalah kebebasan. Oleh itu, kebebasan artinya tiadanya halangan.
Manusia yang bebas adalah manusia berjuang menghilangkan segala hambatan dan rintangan untuk kesempurnaannya. Manusia bebas adalah manusia yang tidak menyerah dengan adanya hambatan dan rintangan ini untuk mencapai kesempurnaan hidupnya."
Dari pelbagai definisi yang diuraikan di atas kita tidak akan meninjau secara kritis definisi-definisi yang diberikan. Di sini penulis ingin mendedah definisi yang disampaikan oleh Ayatullah Misbah Yazdi terkait dengan tema pembahasan kita kali ini.
Darimana Sumber Kebebasan itu?
Ketika kita ingin bertanya tentang sumber kebebasan maka kita dapat berkatan bahwa kebebasan bersumber dari tabiat takwini manusia. Tabiat takwini ini adalah kekuatan yang bernama kehendak (iradah) yang bersemayam dalam diri manusia yang menstimulir perbuatan dan mengaktualisasi segala potensi manusia.
Kehendak adalah sebuah kondisi mental dimana apabila kehendak ini tidak berfungsi maka akan bermuara pada disfungsi indra dan pencerapan manusia dan konsekuensi buruknya adalah sirnanya kemanusiaan manusia.
Dalam perspektif pandangan dunia Ilahi, sumber kebebasan manusia - kebebasan takwini atau tasyri'i - adalah kehendak Ilahi. Dan yang dimaksud dengan kebebasan takwini adalah kondisi pikiran dan mental manusia dalam melakukan sebuah perbuatan atau meninggalkannya. Manusia dalam hal ini merasakan adanya kebebasan tersebut. Artinya dalam melakukan atau meninggalkan perbuatan itu manusia bebas. Menjelaskan kebebasan manusia dari angle pandangan dunia Ilahi bahwa kebebasan ini bersemayam pada nurani manusia. Dan keberadaan manusia serta tipologi takwininya kesemuanya adalah ciptaan Tuhan.
Adapun kebebasan tasyri'i adalah kebebasan yang bertalian dengan harus (must) dan tidak boleh (must not). Kebebasan ini mengedepan pada wilayah kehidupan personal dan sosial. Dan domain kehidupan personal dengan asumsi bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu terpuji dan legal maka tidak terdapat keterbatasan pada ruang kebebasan tersebut. Namun ketika ia melenggang pada wilayah sosial dan memasuki ruang publik, maka kebebasannya terbatas pada kebebasan orang lain.
Bahwa manusia merupakan mahkluk sosial, maka penciptaan dan tabiatnya yang menggerakkannya untuk hidup secara sosial dan berinteraksi dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial manusia memerlukan orang lain. Untuk menunaikan keperluan ini manusia menetapkan aturan dan tata-nilai sehingga kebebasan yang dimilikinya ini tidak menciderai kebebasan orang lain.
Dengan demikian, tabiat dan penciptaan yang memberikan kebebasan kepada manusia untuk berkehendak dan bertindak, namun pada saat yang sama keduanya juga merupakan pembatas kehendak dan perbuatan manusia. Lantaran kebebasan yang dimilikinya bergantung dan terbatas pada kebebasan orang lain. Artinya di sini kebebasan yang dimiliki manusia bermakna kebebasan yang terbatas.
Dalam pandangan dunia Ilahi (divine world view) tiada seorang pun yang memiliki kekuasaan atas orang lain kecuali Tuhan. Hal ini ditegaskan dalam al-Qur'an sebagai pedoman pandangan dunia Ilahi, "." (Qs. Al-An'am [6]:57)
Oleh karena itu, berasaskan kaidah agama (baca: Islam), tiada satu pun hukum, aturan, tatanan yang dapat membatasi kebebasan manusia kecuali Tuhan. Namun berlansungnya kehidupan sosial manusia bergantung pada pengalaman kebebasan dan hak-hak mutual sesama manusia dimana manusia dalam keterbatasan ini tidak memiliki alternatif lain. Aturan, hukum, tatanan, norma yang dianugerahkan Tuhan berupa kebebasan ini adalah untuk manusia guna menyempurna.
Salah seorang orientalis yang cukup fair menilai pandangan ini berkata bahwa, "Dalam agama Islam, kebebasan dan kesetaraan manusia merupakan sebuah hak yang dianugerahkan Tuhan kepadanya. Dan pendelegasian hak ini kepada manusia ini tidak berada dalam kekuasaan manusia lainnya sehingga manusia harus berhutang-budi kepadanya. Seluruh manusia harus mentaati dustur Ilahi dan menghormati kebebasan manusia lainnya."
Batasan Kebebasan?
Jelas bahwa bahwa kita tidak mengenal adanya kebebasan mutlak dan tidak terbatas. Lantaran karakter setiap maujud adalah mengikut pada maujud tersebut. Maujud yang terbatas memiliki sifat yang terbatas. Manusia yang merupakan makhluk terbatas, mau-tak-mau sifat-sifat kesempurnaannya seperti bebas, hidup, ilmu, berkuasa dan berkehendak juga terbatas.
Kant dalam memberikan batasan kebebasan manusia perlu melakukan analogi dan berkata, "Setiap pohon apabila ia berbentuk satu pohon yang berkembang di samping cabang-cabangnya dan mendiami sebuah ruang dan batangnya berkembang secara tidak langsung. Akan tetapi pohon ini di tengah belantara di antara pepohonan secara langsung tumbuh-berkembang ke atas dan di samping pepohonan lainnya, ia mendiami sebuah atmosfer yang sesuai dengan kondisi dirinya dan batangnya aman dari lengkungan dan tetap lurus ke atas tidak bengkok." Yang dapat diadopsi dari analogi Kant ini adalah bahwa kebebasan manusia merupakan sifat esensial dapat tersedia dan berkembang pada wilayah sosial di antara individu yang beragam. Pelbagai kebutuhan esensial dan natural manusia dapat terpenuhi dalam pola-laku sosial seperti pemenuhan sandang, pangan, papan, pendidikan, dan pengobatan. Dalam memenuhi kebutuhan ini manusia bebas namun pada saat yang sama ia terbatas dan tergantung pada kebebasan orang lain.
Kebebasan yang dimiliki manusia ini berkembang pada pola-laku sosial. Kebebasan dalam artian ini merupakan sebuah masalah sosial. Manusia ketika terjun dan berinteraksi langsung dengan makhluk sosial lainnya, di samping ia bebas juga pada saat yang sama terbatas. Ia harus memperhatikan kebebasan orang lain. Lantaran tidak ada kebebasan yang tanpa batasan. Kebebasan tanpa batasan ini bukan saja mustahil tapi juga tidak memiliki makna.
Sebuah perumpamaan sederhana misalnya saya ingin membangun sebuah rumah (papan). Dalam menentukan corak, lebar, tinggi dan warna saya memiliki kebebasan. Namun pada saat yang sama kebebasan saya ini bergantung pada kebebasan orang lain. Membangun rumah asalkan tidak mengganggu kebebasan, ketenangan dan kenyamanan tetangga sebagai makhluk sosial lainnya boleh-boleh saja. Dan saya tidak memiliki kuasa untuk memaksakan, corak, lebar, tinggi dan warna rumah yang saya pilih secara bebas, kepada orang lain.
Apa itu Agama?
Mengingat globalisasi dan generalisasi sebuah definisi dapat menyebabkan munculnya kesalahpahaman terhadap definisi agama yang dimaksud. Oleh itu mengikut pada runutan pembahasan, agama di sini perlu kita definisikan. Ketika ingin mendefinisikan agama kita harus berkata bahwa agama yang dimaksud di sini adalah bukan agama yang dipeluk oleh kebanyakan orang di Eropa yang nota-bene memang telah mengalami disfungsi dan pergerseran makna.
Ihwal agama banyak definisi yang diberikan. Sebagian orang berkata bahwa agama bahkan iman kepada Tuhan sebagai sesuatu yang tidak perlu.
Apa yang kami maksud dari agama adalah bahwa adalah definisi yang selaras dengan Islam. Yaitu sebuah sekumpulan realitas, nilai dan tindakan yang mengantarkan manusia kepada kesempurnaan. Sekumpulan keyakinan, nilai dan tindakan yang menggiring manusia kepada Tuhan dan kesempurnaan pamungkas serta kebahagiaan hakiki manusia ini yang disebut sebagai agama.
Dalam agama Islam, kebebasan yang dibangun adalah berasas pada tauhid dan setelah itu pada akhlak fadhilah. Dengan demikian, kedua asas ini menjelaskan segala aturan dan tata-nilai yang berhubungan dengan perbuatan pribadi manusia dan sosialnya, semenjak urusan partikular hingga urusan yang paling penting, dari pelbagai dimensi.
Kebebasan Filosofis
Di sini kiranya kita perlu terlebih dahulu membahas masalah kebebasan takwini atau filsafat, lantaran kebebasan ini, pada hakikatnya merupakan struktur lain bagi bagian kebebasan lainnya. Dalam pandangan dunia Islam, kebebasan takwini memiliki pijakan agama di bawahnya. Kebebasan takwini, yang juga disebut sebagai kebebasan filsafat, adalah sifat ekistensial dalam spirit dan jiwa seorang manusia dimana manusia dengan sifat ini ia dapat memilih melakukan sebuah pekerjaan atau tidak. Tanpa adanya kebebasan sedemikian, tugas-tugas keagamaan, amaran dan larangan Ilahi, ganjaran dan hajaran ukhrawi akan bertentangan dengan hikmat kebijaksanaan dan keadilan Ilahi. Imam 'Ali As dalam menjawab sebuah pertanyaan berkenaan dengan qadha dan qadar Ilahi bermakna deterministiknya manusia bersabda: "Apabila demikian adanya, maka gugurlah seluruh amaran dan larangan Ilahi, ganjaran dan hajaran." (Nahjul Balaghah, Hikmat 87)
Dalam domain Filsafat dan Teologi, tatkala kita berkata bahwa manusia itu bebas; artinya ia merdeka dan tidak terpaksa. Kendati makna kebebasan ini memiliki makna ekstrem bahwa segala sesuatunya berada dalam kekuasaan manusia.
Dewasa ini, dalam Eksistensialisme, makna kebebasan secara ekstrem ini mengemuka. Salah seorang proponen unggul maktab ini, Jean Paul Sartre, tatkala meletus perang US-Vietnam, berkata: "Apabila aku berkehendak perang Vietnam ini dapat diakhiri." Ungkapan Sartre ini menunjukkan bahwa adanya siklus kehendak manusia dan mendemonstrasikan bahwa manusia sedemikian bebas berkehendak.
Sebagai kebalikannya, adanya kecendrungan-kecendrungan, baik dalam Islam atau pun sebelum Islam, juga pasca Islam yang mengemuka di antara maktab-maktab filsafat.
Keduanya termasuk dalam domain filsafat; artinya bahwa manusia secara takwini (penciptaan) memiliki kekuasaan untuk memilih dalam perbuatan dan pemikiran. Manusia dalam pengertian ini dapat secara bebas memilih untuk beriman dan berakidah; atau sebaliknya, pemikiran dan perbuatan dan imannya mengikut kepada faktor-faktor herederitas (warisan) atau pengaruh lingkungan. Dengan kata lain, apakah manusia pada tataran perbuatan dapat memilih sesuatu dengan kehendak bebas dan merdeka yang dimilikinya? Atau terpaksa dan berangan-angan bahwa ia bebas serta faktor-faktor lainnya yang mendikte dirinya dan sama-sekali tidak memiliki kebebasan?
Dalam masalah ini, dialektika antara freewill dan determinisme mengemuka. Masalah ini tentu saja tidak terkait dengan masalah politik, sosial, hukum dan budaya. Sebagian orang beranggapan bahkan mensopistikasi (fallacy) masalah ini dengan menggunakan terminologi kebebasan dalam filsafat ini pada domain politik dan hukum.
Salah satu makna kebebasan di sini adalah kebebasan takwini manusia. Artinya manusia secara takwini bebas dan merdeka diciptakan. Tentu saja hal ini hanya berlaku pada mereka yang meyakini bahwa manusia adalah makhluk dan beriman kepada Tuhan sebagai Penciptanya. Namun mereka yang tidak beriman kepada Tuhan berkata bahwa manusia merupakan sebuah fenomena yang bisa mengambil keputusan untuk dirinya sendiri dan tidak satu pun faktor yang dapat memaksanya. Sebagai titik-balik dari pandangan ini adalah pandangan yang berkata bahwa tidak, gambaran kebebasan ini adalah sekedar ilusi belaka dan manusia secara takwini adalah makhluk deterministik.
Kebebasan Moral
Beberapa jenis kebebasan yang lain mengedepan dimana dalam bagian ini masalah harus dan tidak boleh (must not) atau bahasa taklifnya adalah wajib dan haram yang memiliki nilai.
Pertama kebebasan yang bermakna bahwa tidak satu pun kekuatan secara moral memaksa manusia untuk melakukan sebuah perbuatan? Atau memilih akhlak yang baik dan buruk atau sistem-sistem nilai merupakan sebuah pilihan? Dengan ungkapan lain, satu perbuatan, terlepas dari permasalahan pemerintahan, konstitusi, secara moral terpuji atau tercela? Apakah manusia secara moral terkondisi atau harus meyakini bahwa berkata jujur itu merupakan sebuah perbuatan baik dan berkata dusta itu merupakan sebuah perbuatan buruk? Atau moralitas tidak memiliki asas dan kita dapat memilih bahwa berkata jujur itu baik atau buruk. Dan pemilihannya terpulang pada kita? Artinya manusia dapat memilih sebuah tata-nilai dimana ia dapat menerima sebuah sistematika nilai dan atau sistem yang menafkan nilai-nilai tersebut?
Kebebasan moral juga memiliki makna yang lain yang telah dikenal dalam kebudayaan kita. Mayorita ulama akhlak tatkala membahasa tentagn ketuamaan akhlak berkata bahwa akar seluruh keutamaan moral adalah kebebasan. Yang dimaksud oleh para ulama ini dari kebebasan ini adalah bahwa manusia harus bebas dari belenggu syahwat dan pasungan kekuatan hewan dan syaitan. Terkadang juga kebebasan moral misalnya pada sebuah sistem moral kita memandang beberapa perbuatan sebagai belenggu misalnya menyembah perut, jabatan, harta, wanita dan tahta. Dan sebagai kebalikannya adalah kemuliaan, iffah, kesucian dan altruis dan ekstrovert dipandang sebagai kebebasan dan kebebasan ini adalah kebebasan moral.
Dari dua ilustrasi kebebasan yang diutarakan di atas yaitu kebebasan filosofis dan kebebasan moral keduanya tidak dibahas dalam pembahasan politik dan sosial.
Kebebasan Hukum
Pembahasan lainya dalam masalah ini adalah bahwa sejauh mana manusia bebas dari sudut pandang hukum? Antara masalah hukum dan masalah moral terdapat perbedaan; di antaranya bahwa masalah moral dapat melulu berkutat pada masalah-masalah invidivual saja. Misalnya manusia sendiri di rumahnya mau menjadi penyembah harta atau tidak; teratur atau tidak. Dalam masalah ini yang mengemuka adalah aturan moral dan norma. Tidak berurusan dengan masalah hukum. Pemerintah tidak berkata bahwa kalian tidak boleh menjadi penyembah harta. Atau ada yang berbuat demikian, pemerintah tidak memiliki wewengan untuk interfensi apatah lagi menghukumnya. Masalah ini tidak ada urusannya dengan pemerintah.
Masalah hukum adalah sebuah masalah yang terkait dengan hubungan sosial antara sesama warga dan ditetapkan untuk menata hubungan sosial ini dimana pemerintah yang menjamin terlaksananya tatanan dan aturan ini.
Dalam masalah hukum ini beberapa persoalan mengedepan bahwa apakah manusia bebas atau tidak? Pertama dari sudut pandang hukum, dalam bidang apa manusia itu bebas? Dari sudut pandang kepemilikan? Dari perspektif masalah keluarga? Dari angle pemilihan warna politik? Campur tangan dalam urusan politik? Bla..blaa..
Apa yang kini semarak dan ramai menjadi bahan diskusi di kafe, seminar, dan majelis taklim adalah kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Pembahasan ini tentu tidak terkait dengan kebebasan filsafat begitu juga dengan kebebasan moral. Di sini yang mengemuka adalah kebebasan dalam perspektif hukum. Misalnya, seberapa jauh seorang warga memiliki kebebasan berekspresi sehingga tidak menjadi persoalan hukum baginya seperti diajukan ke pengadilan, dinyatakan bersalah lalu dijebloskan ke penjara. Apakah kebebasan berekspresi ini juga memiliki aturan main sehingga setiap orang tidak salah-kaprah memaknai kebebasan ini. Sebagai contoh dewasa ini yang berkembang di Barat, seseorang berkata bahwa saya ingin berjalan telanjang di jalan! Tiada satu pun yang memiliki hak bertanya mengapa saya melakukan hal ini; hanya saya yang dapat memutuskan berpakaian atau telanjang ke luar rumah. Sudah barang tentu orang ini tidak dapat dibiarkan melenggang di jalan umum sesuai dengan keinginannya mengingat perilaku asusila yang dibuatnya dapat berimbas pada kerusakan moral masyarakat secara keseluruhan.
Misal yang lain kembali kepada masalah bangunan. Seseorang membangun rumahnya namun di atas tanah orang lain. Tentu dalam masalah ini pemerintah dengan hukum yang ditetapkannya harus mengamankan orang ini karena telah mengambil hak orang lain. Kedua masalah ini di samping bertautan dengan masalah hukum dan moral, juga bertalian dengan agama.
Hubungan antara Agama dan Kebebasan
Dengan memperhatikan pembagian kebebasan yang diutarakan di atas dan yang menjadi sorotan utama pembahasan kita kali ini adalah apa hubungan antara agama dan kebebasan? Apakah keduanya saling bentrokan satu dengan yang lain? Apabila bentrokan satu dengan yang lain, kemudian mana yang harus dikedepankan?
Dengan memperhatikan dengan pembahasan yang dijelaskan bahwa kebebasan ini bertautan dengan masalah harus dan tidak harus (must not); bukan masalah ada dan tiada (baca filsafat). Kebebasan takwini manusia bukan pembahasan dalam masalah ini. Yang menjadi pembahasan kita di sini adalah masalah kebebasan yang berkenaan dengan masalah harus dan tidak harus; masalah kebebasan moral dan kebebasan hukum.
Agama Islam termasuk dalam kategori moral juga kategori hukum. Tatkala disebutkan bahwa apakah perbuatan itu bebas atau tidak? Kita harus berkata bahwa yang dimaksud bebas di sini adalah bebas secara moral atau secara hukum? Dari sudut pandang moral ini domain kebebasan sangat menjuntai.
Dalam perspektif moralitas agama, skop kebebasan sangat terbatas; artinya setiap perkara, setidaknya ada larangan dan perintahnya. Kita meyakini bahwa tiada satu pun gerakan, diam dan tindakan mandiri manusia yang tidak mendapat perhatian agama; apabila perbuatan tersebut berhubungan dengan bahagia atau sengsaranya manusia, maka hal ini pasti mendapat sorotan agama.
Agama menyangkut segala hal. Segala yang berpengaruh dan memiliki andil dalam membahagiakan dan menyengsarakan manusia dimana halal dan haram sebagai konklusinya dibahas dalam agama. Namun berkaitan dengan bagaimananya (kualitas, bentuk dan corak) tiada hubungannya dengan agama. Dalam hal bagaimana bentuk bangunan, dibangun pakai kayu atau batu-bata tiada kaitannya dengan agama; namun ketika bangunan ini mengganggu tetangga, tanahnya adalah tanah rampasan maka masalah ini bertautan dengan agama. Segala yang bertautan dengan halal dan haram, Tuhan ridha atau tidak adalah berkenaan dengan agama. Bahwa model bangunan, berapa luasnya, tingginya dan sebagainya, kita tidak dapat berharap banyak dari agama.
Dari sini dapat kita katakan bahwa agama dan kebebasan satu dengan yang lain terkait secara berkelindan. Titik tolak agama adalah kebebasan. Dan campur tangan agama pada masalah urusan sosial dan mondial setiap pemeluknya. Tentu kebebasan dalam perkara ini bertautan dengan kebebasan moral dan kebebasan hukum dimana agama, karena berkaitan dengan masalah sengsara dan bahagianya manusia, tetap tersangkut di dalamnya.
Nilai Kebebasan Barat dan Islam
Kebebasan merupakan salah satu konsep yang paling mengemuka dan prinsip maktab Liberalisme. Sejauh yang didefinisikan oleh puak Liberalisme. Sementara menurut pemikir yang lain, kebebasan juga harus diberikan signifikansi dengan pahaman-pahaman lainnya seperti kebahagiaan, kesetaran, keadilan sosial, demokrasi, menjaga sistem dan stabilitas dalam sebuah masyarakat.
Dalam Liberalisme tidak satu pun dari pahaman yang disebut belakangan memiliki keterikatan. Menurut Liberalisme, kebebasan bukan merupakan media untuk mencapai satu tujuan politik, namun pada hakikatnya liberalisme itu sendiri merupakan tujuan politik tertinggi. Kebebasan dalam Islam juga sangat mengemuka dan bahkan merupakan sebuah anugerah yang dengannya ia dapat meniti jalan untuk meraup kebahagiaannya.
Kebebasan di Barat bertitik-tolak dari hasrat dan keinginan manusiawi. Filsafat kebebasan mereka adalah humanisme. Dalam Islam kebebasan bertitik tolak dari pandangan dunia Ilahi. Islam tidak hanya berpijak pada humanisme tetapi juga pada makrifat tauhid. Islam memandang tidak satu pun manusia harus menjadi budak manusia lainnya kecuali Tuhan. Sesiapa yang menerima Islam dan asasnya maka ia akan memandang bahwa manusia itu bebas. Dalam Islam nilai kehidupan pada religiusitas, ibadah dan ketaatan kepada Tuhan. Lantaran kebebasannnya bersumber dari Tuhan maka ia tidak layak menjadi hamba bagi manusia lainnya. Kebebasan dalam agama adalah kebebasn yang berporos pada taklif dan tugas-tugas syar'i.
Menurut Ayatullah Ja'far Subhani, di dunia Barat kebebasan memiliki satu syarat dan syarat tersebut adalah sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain. Sementara dalam Islam memiliki dua syarat. Pertama selaras dengan kebebasan yang berkembang di Barat, namun dengan tambahan bahwa kebebasan itu mampu menjamin kebahagiaan manusia. Kebebasan di Barat adalah memenuhi keinginan natural manusia. Apa saja yang menjadi keinginan manusai terjangkau dan ujung-ujungnya adalah penafian taklif. Sementara dalam Islam kebebasan merupakan pijakan taklif. Kebebasan di Barat pelampiasan keinginan sementara dalam Islam menghidupkan nilai-nilai. Kebebasan di Barat adalah berada dalam lingkaran materi sementara dalam Islam berada dalam batasan hak-hak Ilahi. (Ayatullah Ja'far Subhani:2004)
Kalau ingin dibahasakan secara teknis kebebasan yang berkembang di Barat adalah kebebasan dari (freedom from) dan yang diterima oleh Islam adalah kebebasan untuk (freedom for). Lantaran kebebasan yang belakangan adalah kebebasan untuk kesempurnaan manusia itu sendiri. Kebebasan yang berpijak di atas pandangan dunia Tauhid.
Mendatang pembahasan yang akan kita kaji bersama adalah kaitan-kaitan kebebasan dengan masalah-masalah agama seperti kebebasan dan ketaatan pada aturan, kebebasan dan keadilan, agama dan kebebasan berakidah, agama dan kebebasan berpikir, agama dan kebebasan berekspresi. Serta terakhir redaksi-redaksi dan kandungan makna kebebasan yang disinggung dalam al-Qur'an.. Insya Allah..
Catatan Kaki:
1. Takamuli Ijtimai Insan, Ayatullah Syahid Muthahhari
2. The Rise and Decline of Western Liberalism, Anthony Arblaster
3. Din wa Azadi, Ayatullah Misbah Yazdi
4. Jamia wa Tarikh, Ayatullah Misbah Yazdi
5. Humanism in Islam, Marcell Boisard
6. Azadi wa Din Salari, Ayatullah Ja'far Subhani
Mengenal Epistemologi Kaum Liberal
Epistemologi, sebagaimana yang Anda tahu, derivasinya dari bahasa Yunani yang bermakna teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan rangkapan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filsafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek) dan ma'lum (objek). Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan "kebenaran" macam apa yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak dari sebuah pengetahuan, konsep, dan pandangan dunia.
Dalam pembahasan Liberalisme, setelah meninjau secara global kemunculannya, masalah epistemologi yang digunakan sebagai pijakan dalam maktab ini harus dibahas. Tema pertama yang mengemuka dalam pembahasan epistemologi adalah media epistemologi yang digunakan. Kita mengenal semesta ini berdasarkan media-media epistemologi. Setiap maktab yang memperkenalkan medianya, memperkenalkan jenis epistemologi yang mereka gunakan.
Pada kesempatan ini, kita akan melihat jenis epistomologi yang diterapkan dalam maktab Liberalisme.
Karakteristik Epistemologi Liberalisme
Sebagian filosof yang menjadi founding fathter Liberalisme seperti John Locke memperkenalkan indra sebagai media epistemologinya; artinya ia meyakini empirisisme sebagai medianya dalam mencerap pengetahuan dan kebenaran.
Dalam masalah empirisisme mengemuka permasalahan bahwa kita hanya dapat mengenal dan mencerap sesuatu dengan indra kita. Segala sesuatu yang berada di luar ranah persepsi tidak dapat dicerap dan dikenal.
Empirisisme pertama kali diperkenalkan oleh filosof dan negarawan Inggris Francis Bacon dan dikembangkan oleh John Locke, tokoh Empirisisme, sekaligus pendiri Liberalisme, yang mendesain konsep empirisisme ini secara sistemik dalam "Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa akal manusia pada awal lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya padat berisi.
Pengalaman inderawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya lewat observasi dan pemanfaatan seluruh indera manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filosof Empirisisme lainnya adalah Hume. Hume memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi ("a bundle or collection of perceptions"). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan.
Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja. Dalam kaitannya dengan Liberalisme, Hume memproklamirkan Liberalisme sebagai jawaban atas tantangan zaman. Kemunculan Liberalisme merupakan keniscayaan sejarah.(Garandeu, Le Liberalisme)
Sebagian filosof yang lain dari puak Agnotisisme berpandangan bahwa sikap kami di hadapan segala sesuatu selain masalah indrawi dan empirik adalah agnostik. Filosof yang memilih sikap ini tergolong ke dalam maktab Agnotisisme. Artinya mereka tidak menetapkan juga tidak menafikan, lantaran media untuk menetapkan dan menafikan tidak tersedia. Misalnya, berdasarkan pijakan empirisisme, ruh merupakan perkara abstrak itu ada atau tidak, tidak dapat dibuktikan juga tidak dapat dinafikan bahwa ruh itu tidak abstrak.
Sebagian filosof Liberalisme lainnya juga menyokong Rasionalisme; orang-orang yang tergolong dalam maktab filsafat ini memandang akal sebagai media epistemologinya dalam mencerap makrifat dan pengetahuan. Apa yang dicerap oleh akal diterima dan dianggap sebagai pengetahuan dan menafikan apa yang tidak dicerap oleh akal. Media pengenalan manusia adalah akalnya.
Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Hal ini tentu saja bersebarangan dengan aliran Empirisisme yang berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada logika induktif, pengalaman, persepsi dan inderawi.
Aktifitas manusia harus berdasarkan pada akal dan rasionya. Artinya pengenalan akal adalah standar penerimaan harus (must) dan tidak bolehnya (must not) manusia.
Dalam kamus kaum liberal, segala sesuatu harus diuji validitasnya. Seluruhnya tidak serta merta langsung diterima. Segala sesuatu dapat diurai dan dianalisa.
Setiap gagasan dan pandangan dapat diterima melalui ujian. Setiap ujian juga tidak dapat menunjukkan pada kita realitas yang sesungguhnya. Apa yang dikatakan oleh Kant bahwa segala sesuatunya harus dikritisi, maksudnya adalah bahwa agama juga tidak terkecuali harus dikritisi. Sebagaimana yang dilakukannya dimana ia menggiring agama dari domain akal teoritis kepada akal praktis dan menutup pintu gerbang penalaran dan argumentasi atas agama. Dan pada akhirnya mencerabut rasionalitas dari agama.
Media-media Epistemologi
Islam, sebagai sebuah agama dan school of thougth, menjelaskan bahwa untuk mengenal alam semesta dan hakikat benda terdapat tiga cara, ketiga cara tersebut adalah: Indera: Yang paling penting di antara mereka adalah pendengaran dan penglihatan; Akal serta pemikiran: Dalam ruang lingkup yang terbatas dan sesuai dengan landasan-landasan serta dasar-dasarnya yang khusus, akal dapat menyingkap hakikat dengan pasti dan yakin; Wahyu: Dengan perantara manusia pilihan dan memiliki kedudukan yang tinggi dapat menjembatani hubungan manusia dengan alam gaib.
Dua cara yang pertama merupakan hal yang umum yang mana semua manusia dapat mengenal alam semesta melalui keduanya, begitu juga dua cara tersebut dapat membantu manusia dalam memahami syariat. Adapun cara yang ketiga hanya orang-orang khusus yang mendapatkan inayah Ilahi, dan orang-orang tersebut adalah para nabi Allah Swt.
Adapun penggunaan indera hanya untuk hal-hal yang dapat di persepsi dan nampak saja, begitu juga akal dapat kita aplikasikan pada permasalahan yang sifatnya terbatas dan memiliki landasan untuk itu, akan tetapi aplikasi wahyu lebih luas dan mencakup seluruh permasalahan, lebih umum dan luas dari permasalahan akidah dan hukum.
Persoalan yang mengedepan dalam pembahasan epistemologi Liberalisme adalah bahwa maktab ini menolak media epistemologi yang paling penting yaitu wahyu. Sementara di samping media akal dan empiris, kita (minimal bagi kaum Muslimin) meyakini wahyu sebagai media yang lainnya dalam menguak realitas.
Manusia dengan "piranti lunak" akalnya tidak dapat mencerap satu sistematika realitas. Pertama manusia tidak dapat mencerap tujuan pamungkas penciptaan dan kedua jalan untuk mencapai tujuan ini. Kendati sebagian filosof berdasarkan akalnya dapat mencerap tujuan pamungkas penciptaan, namun masyarakat secara umum tidak dapat memahami realitas ini. Terlepas dari semua ini, di antara para filosof terdapat perbedaan pendapat tentang ihwal tujuan akhir penciptaan dimana sekiranya masyarakat umum mengikut kepada filosof, tidak jelas filosof yang mana yang harus diikuti. Sebagian dari filosof ini juga memandang bahwa kehidupan ini tidak memiliki tujuan dan mengklaim bahwa kehidupan ini tidak lain sekedar nihilisme belaka. Masalah ini terkait dengan masalah manusia datang dari mana? Menuju ke mana? Apa yang harus ia lakukan? Dan sebagainya.
Manusia berhadapan dengan pelbagai problema hidup. Di antara problema tersebut adalah pertama, akal cenderung, untuk tidak mengatakan acap kali, berbuat kesalahan dan kekeliruan. Kalau kita membuka lembaran sejarah, para filosof banyak silang pendapat tentang banyak masalah. Silang pendapat ini disebabkan oleh kesalahan akal. Sebagai contoh, sekiranya kita bertanya kepada Plato tentang media apa yang ia gunakan dalam menjelaskan konsep alam imaginasi (mundus imaginalis)? Ia akan menjawab dengan media akal.
Apabila kita bertanya kepada Aristoteles ihwal media apa yang ia gunakan untuk menolak gagasan alam khayal Plato di atas? Juga ia akan menjawab dengan media akal. Misalnya lagi, kita bertanya kepada Farabi terkait dengan media apa yang ia gunakan dalam mengintegrasikan kedua pendapat ini? Ia akan menjawab dengan media akal.
Benar bahwa akal sendiri akan menjumpai kesalahannya, namun terkadang untuk mengenal kesalahan ini memerlukan waktu yang panjang dan tentang filsafat penciptaan manusia ia akan berkonfrontasi dengan selaksa kesulitan. Karena tidak dapat dikatakan kepada manusia bahwa Anda tidak perlu melakukan sesuatu apa pun hingga para filosof bersepakat tentang hal ini dan memberikan resep mujarab kepada kita sehingga dengan mengenal filsafat penciptaan ini kita dapat meraup kesempurnaan.
Manusia yang hidup hingga tujuh puluh atau delapan puluh tahun, ia harus menyampaikan dirinya kepada puncak piramida kesempurnaan dan apabila ia tidak mengenal jalan untuk meraup kesempurnaan maka sudah barang tentu ia tidak akan mencapai kesempurnaan. Kita berkata bahwa Tuhan berdasarkan lutfh-Nya, dengan perantara wahyu, menganugerahkan kepada manusia jalan-jalan untuk mencapai kesempurnaan sehingga manusia dengan berpegang teguh kepadanya ia melesak mencapai kesempurnaan. Oleh karena itu, karena acapkali kita menemukan kesalahan akal membuat kita "berpindah ke lain hati" untuk menjadikan wahyu sebagai media untuk mengenal realitas-realitas dan bahkan Sang Ultimat Realitas; bukan hanya karena akal kerap terjerembab dalam kubangan kesalahan namun juga keterbatasan akal menjelaskan akan adanya media wahyu ini.
Setelah kita membuktikan bahwa kehidupan manusia terus berlanjut pasca kematian dan manusia pada alam akhirat akan terus melanjutkan perjalanan hidupnya dan apa yang dilakukan manusia di dunia ini, hasilnya akan ia tuai di alam sana; masalah ini mengemuka bahwa manusia di ladang dunia ini sedemikian ia beramal sehingga ia dapat memperoleh ganjaran kebaikan di akhirat kelak.
Manusia dengan akalnya dapat membuktikan kehidupan ukhrawi, namun manusia tidak dapat mencerap bagaimana dan teknisnya seperti apa alam akhirat kelak? Apatah lagi mengetahui amalan apa yang harus dikerjakan supaya kehidupan bahagia di akhirat kelak dapat diperoleh? Dari sini saya ingin berkata bahwa Tuhan dengan media wahyu memberikan aturan praktis di tangan manusia sehingga ketika manusia berpegang teguh dengan wahyu tersebut, manusia dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan keselamatan akhirat.
Tiadanya penerimaan wahyu dan konsekuensi keharusan berpegang teguh kepadanya dari para pemikir liberal merupakan salah satu objeksi penting maktab ini. Di samping itu, maktab yang ideal adalah maktab yang mampu sedemikian menariknya sehingga manusia dapat beramal berdasarkan pemahamannya.
Boleh jadi manusia dengan akalnya dapat mengenal realitas-realitas namun ia tidak memiliki keharusan beramal dengannya. Pada maktab Liberalisme tidak terdapat garansi pelaksanaan sehingga manusia dengan apa yang dicerap dan dipahaminya ia amalkan.
Lantaran Liberalisme telah meminggirkan wahyu sebagia media epistemologinya, maktab ini berhadapan dengan pelbagai kesulitan dimana salah satu dari kesulitan tersebut adalah terlalu memuja ilmu. Francis Bacon berkata, "Ilmu setingkat dengan kemampuan dan kekuasaan." August Comte berkata, "Mazhab yang akan diterima oleh manusia pada masa datang adalah mazhab ilmu."
Tatkala wahyu termarginalkan maka manusia terpaksa mencari alternatif pengganti. Para pendukung Liberalisme meletakkan ilmu sebagai pengganti wahyu bagi manusia. Di Barat, orang-orang seperti Freud mengklaim bahwa ilmu harus menggantikan kedudukan Tuhan dan agama. Menurutnya, keyakinan agama merupakan rangkaian nasihat dan khayalan yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Rangkaian ini harus disingkirkan dan alih-alih menjadi penyembah
Tuhan, manusia harus menjadi penyembah ilmu."
Bertrand Russel yang merupakan salah seorang filosof liberal dalam "Science World View" mengemukakan penyembahan pada ilmu dan "madinah fadhilah" (masyarakat berperadaban) ia sebut sebagai "masyarakat ilmu."
Slogan Savere Aude
Boleh jadi slogan penting yang diusung Liberalisme dalam tataran pemikiran adalah slogan yang dihembuskan oleh Kant. Kant dalam artikel ringannya berjudul "What is Enlightenment?" mengklaim bahwa slogan yang terpenting masa Renaissance adalah "Savere aude." (berani berpikir sendiri)
Dalam beberapa tulisan, seorang proponen Liberalisme di tanah Air, acap kali menyitir slogan yang diusung oleh Immanuel Kant ini. Dari sudut pandang epistemologi yang dapat dipahami dari Liberalisme dapat diinferensi dari slogan ini. Sejatinya apa yang menyebab Liberalisme dijuluki sebagai ekstrem lantaran memarginalkan afeksi dan fokus pada akal (sesuatu yang ditolak oleh Romantisme) dan juga memarginalkan revelasi (wahyu), petunjuk agama, otoritas para pembesar gereja, penafian sacred things (hal-hal yang suci), hak-hak Ilahi, dapat dipahami dari slogan "Savere Aude," ini. (Abdulkarim Soroush, Râzdâni wa Rausyanfikri-e Dini)
Liberalisme artinya tiada satu atau seorang pun yang suci. Bebaskan kami dari keburukan segala sesuatu yang suci ini. Demikian kurang lebih pekik seorang liberal. Jangan Anda kemukakan seseorang atau suatu ideologi sehingga menjadi tugas kami untuk memuliakan dan mensucikan mereka. Kami kaum liberal adalah kaum analis bukan kaum pemuja. Kaum kritis bukan kaum nrimo. Beginilah pahaman asli Liberalisme.
Rasionalisme, yang mengutamakan akal, dan boleh disebut sebagai seangkatan dengan Liberalisme bertitik-tolak dari titik ini. Titik yang menegaskan bahwa pekerjaan akal adalah menganalisa bukan memuliakan dan mensucikan. Pekerjaan afeksilah yang mengglorifikasi. Atas alasan inilah tanpa diminta, Liberalisme sangat memandang rendah afeksi. Glorifikasi dan pemuliaan pada seseorang atau sesuatu merupakan bentuk dari afeksi.
Liberalisme semenjak permulaan berupaya melepaskan diri dari segala yang berbau suci. Namun pelepasan diri ini tidak terbatas pada wilayah gereja saja, wilayah para raja juga termasuk wilayah suci, wilayah para pemikir sebelumnya termasuk wilayah suci.
Kalimat yang terkenal pada abad pertengahan adalah "Guru (Plato dan Aristoteles) berkata demikian." Dengan menukil ucapan-ucapan pemikir terdahulu dapat menutup mulut dan membuat orang-orang menjadi tunduk.
Fenomena menukil ucapan guru, yang dikultuskan secara ekstrem, untuk mendiamkan dan membuat orang-orang tunduk acapkali kita temukan dalam kehidupan keseharian kita. Tentu dengan menjadi seorang liberal, Anda didoktrin untuk tidak tunduk terhadap nukilan semacam ini.
Dalam sebuah pandangan global nilai-nilai Liberalisme pada tataran epistemologi dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Segala jenis pengetahuan adalah meragukan. Tiada satu pengetahuan yang memberikan keyakinan. Isaiah Berlin menulis: "Apa yang menjadi tuntutan zaman kita, bukan iman yang kuat. Melainkan sebaliknya suburnya skeptisisme yang tercerahkan, antusias iman terhadap Kristen semakin kurang." (Anthony Arblaster, The Rise and Decline of Western Liberalism)
2. Karena tidak ada pengetahuan yang bersifat defintif dan meyakinkan, maka wujud Tuhan tidak dapat dibuktikan.
3. Ketika berpandangan bahwa wujud Tuhan tidak dapat dibuktikan, maka keharusan adanya nabi untuk memandu dan memberikan petunjuk kepada manusia tidak dapat diterima.
4. Dengan supposisi kenabian diterima, satu agama khusus tidak dapat dipandang benar, misalnya Islam, dan agama-agama yang lain dipandang salah dan batil. Oleh itu, lantaran mustahil bagi manusia untuk sampai pada pengetahuan (kognisi) yang definitif, maka klaim kebenaran atas suatu agama harus dicerabut dari akarnya dan konsekuensinya adalah menerima kebenaran seluruh agama.
5. Dalam tubuh sebuah agama khusus juga kebenaran sebuah mazhab tertentu tidak dapat dibuktikan dan firqah yang lainnya tidak mengandung kebenaran. Misalnya, lantaran pengetahuan definitif tidak mungkin dicapai, maka pemeluk mazhab Syiah tidak dapat mengklaim bahwa mazhabnyalah yang benar dan mazhab-mazhab lainnya dalam kesesatan.
6. Keniscayaan lainnya klaim epistemologis Liberalisme adalah bahwa bahkan dengan menerima satu mazhab tertentu, bacaan dan pemahaman tertentu tentang mazhab itu tidak dapat diterima, bacaan dan pahaman mazhab lain dipandang batil.
7. Mengingat bahwa makrifat definitif mustahil bagi manusia, maka harus diterima bahwa setiap bacaan dan pemahaman dalam perkara sosial, agama dan mazhab tertentu memiliki kebenaran.
8. Keniscaan lainnya klaim epistemologis Liberalisme ini lantaran tidak ada satu pun pengetahuan definitif, tidak satu pun dari klaim dan makrifat yang dapat dijadikan sandaran. Dan karena tidak satu pun klaim yang dapat diandalkan maka ia dapat dikuliti dan diletakkan pada altar kritik.
Banyak aliran pemikiran yang terkait berkelindan dengan Liberalisme ini seperti Humanisme, Individualisme, Agnotisisme, Skeptisme, Utilitarianisme, Rasionalisme, Empirisisme, anti-Tradisionalisme, Modernisme, Pluralisme. Pijakan epistemologi Liberalisme yang dapat kita pahami dari Arblaster adalah Skeptisme yang bersumber dari Rasionalisme.
Meragukan segala sesuatu terkait dengan makrifat dan pengetahuan. Dengan menerima fondasi Liberalisme seperti ini, orang-orang diajak untuk menafikan eksistensi Tuhan, agama, sacred things, dan menyeru pada Pluralisme. Liberalisme sangat menentang adanya pemahaman pembatasan pada satu sumber makrifat. Liberalisme mengajak pada keragaman sumber makrifat. Sebuah ajakan yang belakangan melahirkan ajaran Pluralisme. Bahkan menurut Legenhausen, aliran Pluralisme ini lahir dari rahim dan tumbuh-berkembang dalam pangkuan Liberalisme. (Legenhausen, Islam and Religious Pluralism)
Dari tulisan ringan ini dapat kita katakan bahwa pijakan epistemologi yang dikembangkan oleh kaum liberal adalah epistemologi sinkret antara Empirisisme (indra-persepsi) dan Rasionalisme (akal). Aliran-aliran yang terkait erat dengan Liberalisme ini, meski beragam dan variatif namun bermuara pada salah satu dari kedua media epistemologi ini, indra dan akal. Tentu saja kaum Liberal tidak menggunakan media wahyu sebagai sumber pengenalan dan epistemologi.
Alternatif pengganti wahyu yang ditawarkan kaum Liberal sebagai media epistemologi, bahkan media bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan, adalah sains. Sains yang berpangkal dari olah persepsi dan kerja rasio.
Melacak Akar dan Manifesto Liberalisme
Fenomena Liberalisme merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji, ditelaah, diriset dan kemudian dikritisi. Dalam tulisan ringan ini, kita akan membahas secara global tentang akar sejarah kemunculan Liberalisme dan pada kesempatan berikutnya melontarkan telaah kritis atas fenomena liberalisme dalam dan luar negeri.
Liberalisme merupakan salah satu school of thought yang paling berpengaruh dalam filsafat Barat. Dalam tiga domain, filsafat, ekonomi dan politik kaum liberal menyodorkan pandangan-pandangannya. Dalam ranah politik, Liberalisme menghembuskan nafas kebebasan pribadi dan sosial. Demikian juga pada wilayah ekonomi, pengurangan peran dan kekuasaan pemerintah. Dari sudut pandang pemikiran meyakini bahwa apabila urusan dunia diserahkan kepada proses naturalnya maka seluruh persoalan manusia akan terselesaikan. Pesan utama yang diusung para proponen Liberalisme adalah kebebasan dan pembebasan.
Bebas dari segala yang mengikat sehingga segala keinginannya terpenuhi. Membebaskan manusia dari segala tekanan, ancaman dan hambatan yang menghalanginya memenuhi segala keinginannya.
Sebelum melangkah jauh, ada baiknya pertama-tama kita meninjau liberalisme ini dari sudut pandang terminologi secara leksikal dan teknikal.
Apa itu Liberalisme?
Liberalisme derivatnya dari kata liberal yang bermakna bebas dari batasan, bebas berpikir, leluasa dan sebagainya. Kata ini aslinya mulai dikenali pada abad ke-14 melalui Prancis, Latinnya adalah Liberalis.[1] Dan suffix isme yang melekat setelah kata liberal menunjukkan bahwa "kebebasan berpikir" ini merupakan jenis kecendrungan yang kemudian belakang hari membentuk sebuah maktab. Dari sudut pandang etimologi, liberal dapat dilekatkan pada seseorang yang dalam pandangan-pandangan atau perilaku beragam yang diperbuatnya ia bersikap toleran dan ewuh-pakewuh.[2]
Dengan kata lain, ia tidak bersikap puritan dan fanatik terhadap pandangannya sendiri. Keyakinan terhadap kebebasan pribadi. Pendapat dan sikap politik yang menghendaki terjaganya tingkat kebebasan di hadapan hegemoni pemerintah atau setiap institusi lainnya yang mengancam kebebasan manusia. (Burdeau, Georges, Le Liberalisme, hal. 16)
Isaiah Berlin dalam mendefinisikan liberalism berkata: "Aku memandang liberalisme (kebebasan) itu tiadanya pelbagai penghalang dalam mewujudkan selaksa harapan manusia." (Berlin, Char Maqaleh darbare Azadi; terjemahan Dr. Muh. Ali Muwahhid, hal. 46)
Sebagaimana dari beberapa definisi yang diutarakan di atas jelas bahwa liberalism juga seperti terma-terma humaniora lainnya yang kurang jelas definisinya. Dan karena liberalisme dalam tingkatan yang beragam, seperti digunakan dalam bidang politik, ekonomi, agama, akhlak dan sebagainya. Usaha untuk memasukkan seluruh sisi beragam pemahaman ini dalam sebuah definisi yang ketat merupakan sebuah tindakan berani. Oleh karena itu apabila kita mau-tak-mau ingin menunjukkan definisi liberalism maka kita harus mendefinisikannya secara umum dan global.
Sejatinya liberalisme secara esensi berdiri di atas kredo bahwa manusia adalah bebas, namun kebebasan ini secara praktik dibandingkan dengan kebalikannya akan menjadi jelas. Dari sini, makna liberalisme secara sempurna dapat kita definisikan ketika dibandingkan dengan lawan katanya; seperti dictator, pemerintahan absolut, nasionalisme,
Sejatinya seluruh jenis liberalism memiliki sisi-sisi common yaitu liberalisme digunakan dalam menolak pressing kekuatan luar dengan segala bentuknya dan tujuan dari penolakan ini adalah melontarkan kebebasan pribadi.
Secara global kita telah mengetahui dari apa yang dimaksud dengan liberalisme; akan tetapi untuk sampai pada kesimpulan yang jelas dan transparan, sebelumnya mari kita menengok beberapa penggunaan istilah kebebasan yang ekuivalen dengan terma liberal dan selayang pandang sejarah kemunculan liberalisme.
Penggunaan beberapa Istilah Kebebasan
Penggunaan kata kebebasan merupakan kata umum yang digunakan untuk berbagai tujuan dan keperluan. Ekuivalen kata kebebasan dalam bahasa Arab adalah kalimat "hurriya" dan "ikhtiyar". Sebagaimana padanan katanya dalam bahasa Inggris adalah "freedom" dan "liberty."
Mari kita lihat penggunaan redaksi-redaksi di atas dalam al-Qur'an, terminologi teolog dan juris.
Kalimat "hurriyah" (ism) digunakan pada urusan-urusan berikut ini:
1. Membebaskan (tahrir) budak atau kanis, "Faman Qatala mu'minan khata'an fatahriruhu raqbata mu'minan."
2. Terbebas dari ikatan dan sekat duniawi serta mensucikan diri untuk berkhidmat di jalan Allah. Ayat "Nazhartu laka maa fii batnihi muharriran," adalah tergolong dari makna bebas ini.
Kalimat ikhtiyar (ism) derivatnya dari kata "khair" dan bermakna memilih, pilihan dan baiknya yang dipilih memiliki hubungan niscaya, artinya orang yang memilih memandangnya sebagai sesuatu yang baik dan ideal. Dalam terminologi teolog, ikhtiar bermakna kekuasaan melakukan atau meninggalkan sesuatu.
Dengan demikian ikhtiar digunakan dalam dua hal:
1. Kekuasaan untuk memilih mengerjakan atau meninggalkan yang posisinya lebih dahulu daripada meninggalkan atau mengerjakan (sifat dzati).
2. Memilih melakukan perbuatan atau meninggalkan (sifat perbuatan).
Dalam terminologi para juris terdapat kalimat "khiyar" yang digunakan sebagai hak untuk membatalkan transaksi. Khiyar ini memiliki hukum dan bagian-bagian tertentu. Dari seluruh perkara yang telah disebutkan menandaskan tiadanya keterpaksaan yang menjadi titik-konvergen antara dua peristilahan ini. Dan titik-seberangnya dua peristilahan ini adalah keterpaksaan dan keharusan.
Dari Encarta Dictionary Tools, penggunaan kata "freedom" dan "liberty" dapat kita lihat sebagai berikut:
Kalimat freedom (nomina) biasanya digunakan pada urusan-urusan berikut ini:
1. Kemampuan untuk bertindak secara bebas. Sebuah kondisi yang membuat seseorang mampu untuk bertindak dan hidup berdasarkan pilihannya sendiri, tanpa tunduk kepada segala jenis pembatasan atau pengekangan, misalnya hidup dalam kebebasan dan kebebasan beragama.[3]
2. Bebas dari tawanan penjara atau perbudakan. Bebas atau terselamatkan dari pembatasan secara fisik atau dari tawanan, perbudakan, penjara.[4]
3. Hak untuk berekspresi atau bertindak secara bebas tanpa adanya pembatasan, campur tangan atau ketakutan. Misalnya Berikan mereka kebebasan (freedom) untuk masuk tanpa passport.[5]
4. Hak suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa ada campur tangan, atau dominasi dari bangsa lain[6] (country's right to self-rule).
5. Kondisi batin yang tidak terpengaruh atau tunduk pada sesuatu yang tidak menyenangkan, bebas dari rasa takut.[7]
6. Keterbukaan (frankness) dalam obrolan atau perilaku.[8]
7. Freewill (philosophy free will): Kemampuan untuk menggunakan kebebasan dan membuat pilihan secara bebas. [9]
Demikian juga kata liberty (nomina), yang memang merupakan derivat liberal dari Latin, libertes, biasanya digunakan pada hal-hal berikut ini:
1. Bebas untuk memilih, kebebasan untuk berpikir atau beraksi tanpa pemaksaan:[10]
2. Sinonim dengan Freedom, bebas dari tawanan atau perbudakan.[11]
3. Hak dasar: Hak politik, sosial dan ekonomi yang dimiliki oleh warga suatu bangsa atau seluruh orang.[12] (biasanya digunakan dalam bentuk plural).
Kalau kita memperhatikan penggunaan kata kebebasan, hurriyah, ikhtiyar, freedom dan liberty lawan katanya adalah keterbatasan dan keterpaksaan. Di tanah air, kita melihat seruan para proponen Liberalisme di tanah air dapat didengar dari dua jaringan. Dari Freedom Institute dan JIL yang keduanya menjadikan liberalisme sebagai kiblat gerakannya. Yang pertama mengusung tema liberalisme politik dan ekonomi. Yang kedua dalam bidang pemikiran. Meski keduanya berbeda nama, tapi terlihat dari jajaran pengurusnya, kita melihat orang-orang yang sama. Artinya penggunaan freedom dan liberal pada tataran operasional kegiatan juga tidak jauh berbeda.
Selayang Pandang Sejarah Liberalisme
Kendati kebebasan muncul semenjak munculnya manusia di muka bumi dan dapat dikatakan bahwa manusia semenjak awal penciptaannya, senantiasa mencari kebebasan, namun terdapat gap yang menganga antara kebebasan ini dan definisi-definisi yang disampaikan di atas. Benar bahwa Socrates dapat digolongkan sebagai liberal terunggul pada masanya dan Peter Ablar sebagai liberal pada abad pertengahan, dan bahkan Husein bin Ali merupakan salah seorang pelopor kebebasan manusia yang tidak mau tunduk di hadapan penguasa tiran dan despot.
Akan tetapi kebebasan yang dimaksud di sini berbeda dengan kebebasan yang didefinisikan di atas; karena "Liberalisme" sesuai dengan terma teknisnya merupakan pemahaman yang lahir pada kurun terakhir dan setelah era Renaissance. Kalau mau ditelusuri latar belakang sejarah kemunculan pahaman ini dapat dikatakan bahwa Liberalisme menjejakkan kakinya di pelataran pemikiran dan kredo manusia pada abad 17/18 M.
Menurut satu pendapat bahwa pemikiran atau ideologi Liberalisme selalunya dirujuk kepada Adam Smith, pemikir dan ekonom Scotland, yang begitu dikenali melalui karyanya The Wealth of Nations. Liberalisme dikenali sebagai satu ideologi politik dan konsep pemikiran yang menekankan kepada kebebasan individu, pembatasan kekuasaan kerajaan dan dari segi ekonomi pula menyokong pasaran bebas dan persaingan bebas golongan pemodal (capitalist).
Oleh sebab itu, Liberalisme dan Kapitalisme kadang-kadang dilihat sebagai ideologi yang sinonim disebabkan adanya perkaitan yang kuat dan saling sokong menyokong antara satu sama lain. Dari sudut sejarah, kemunculan Liberalisme ini ada hubungannya dengan keruntuhan Feudalisme di Eropa bermula semasa zaman Renaissance (The Age of Enlightenment) diikuti dengan gerakan politik semasa era Revolusi Perancis.
Liberalisme yang dikaitkan dengan Adam Smith ini selalunya dikenali sebagai Liberalisme Klasik. Dalam konteks peranan kerajaan Liberalisme Klasik ini menekankan konsep Laissez-Faire yang bermaksud kerajaan (pemerintah) yang bersifat lepas tangan. Konsep ini menekankan bahwa kerajaan harus memberi kebebasan berpikir kepada rakyat, tidak menghalang pemilikan harta indidvidu atau kumpulan, kuasa kerajaan yang terbatas dan kebebasan rakyat.
Dapat dikatakan bahwa seruan kebebasan ini diteriakkan setelah abad pertengahan dari lingkaran Reformasi Gereja dan Renaissance dan kemajuan ilmu pengetahuan pada abad 16 dan 17 menjadikan orang-orang lantaran tekanan dan kejumudan para pembesar Gereja ingin membebaskan diri mereka dari segala ikatan dan rantai baik agama, sosial dan pemerintahan. Disebut liberal, yang secara literal berarti, "bebas dari batasan" (free from restrain), menurut Adam Smith, karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa bahwa John Lockelah yang pertama kali menyemai benih pemikiran Liberalisme. Demikian Mikael Grandeu menulis. Kalau dikatakan bahwa liberalisme muncul karena pembelaan terhadap invididualisme dan menentang Markisme maka dengan karakter inilah John Locke dapat dikatakan sebagai pendiri Liberalisme. (Le Liberalisme)
Faktor-faktor Kemunculan Liberalisme
Hume berkata bahwa Liberalisme muncul untuk menjawab tantangan zaman. Kemunculan Liberalisme merupakan keniscayaan sejarah.(Garandeu, Le Liberalisme)
Sebagian orang berkata bahwa terdapat dua factor utama dalam kemunculan Liberalisme dan factor-faktor lain merupakan ikutan dari dua faktor utama ini.
Pemerintah Tiran
Pemerintahan yang terlalu fokus pada dirinya sendiri di Eropa yang memandang dirinya sebagai pemilik jiwa, harta dan kehormatan masyarakat dan seenaknya mengambil keputusan tentang nasib dan masa depan mereka. Sebagai contoh jenis pemerintahan Prancis pada masa Louis 15 dan 16 (abad 18) yang merupakan seorang raja dan aristokrat yang berdasarkan pada tradisi keningratan, raja merupakan wakil Tuhan di muka bumi. Dan tidak seorang pun dibolehkan berkata apa pun tentang sang raja. Louis 16 pada Oktober 1887 di parlemen Paris berkata: "Raja tidak memiliki tanggung jawab apa pun kepada seseorang kecuali kepada Tuhan." (Jack Isaac, Inqilab Buzurgh Faranse, hal. 342)
Raja dan keluarga raja secara terang-terangan melakukan segala jenis pergaulan dan jenis korup harta dan moralitas. Dan rakyat harus berdiam diri menutup mulut di hadapan segala perbuatan tak senonoh dan korup yang mereka lakukan.
Akar pemikiran Louis ini dapat dilacak hingga pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen kala itu mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. Pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan, "Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran.
Perilaku Aparat Gereja
Gereja, alih-alih menjelaskan hakikat agama dan motivator masyarakat untuk melawan tirani dan kezaliman, malah terjerembab dalam kesalahan pahaman dan kekeliruan menjelaskan agama. Atas nama agama para pembesar gereja menerapkan metode kekerasan terhadap agama masyarakat. Berdasarkan keyakinan gereja abad pertengahan, system yang berlaku di muka bumi merupakan system yang berlaku di langit. System ini merupakan system yang dikehendaki oleh Tuhan dan tidak dapat dirubah. Setiap orang, semenjak raja hingga jelata dan pengemis, harus menjalankan peran yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Sejatinya para pembesar gereja senantiasa menjadi penyokong system social dan politik dan sekali-kali tidak dapat menerima adanya penyimpangan. Berkebalikan dari masyarakat baru, tipologi asli abad pertengahan adalah tiadanya kebebasan pribadi. Pada masa ini, setiap orang terpenjara dengan perannya masing-masing dalam mekanisme social." (Erich Fromm, Escape from Freedom, hal. 60)
Seterusnya kemunculan Liberalisme dalam artian yang berkembang ketika itu dapat dilacak pada kelelahan Eropa dari segala tekanan dan kerigidan penguasa. Diperparah oleh ketidakmampuan gereja memberikan penjelasan rasional dan kontra fitrah sehingga membuat mereka merasa ingin lepas dan bebas dari segala tekanan gereja. Mereka bangkit melawan segala hegemoni kekuasaan, agama. Dengan demikian liberalisme dengan definisi pertama yang disebutkan di atas berlawanan dengan keterbatasan atau penafian peran raja, pemerinatah, negara dan aparat gereja. Baik pemerintah itu atas nama pemerintahan Tuhan atau bayangan Tuhan , atau pada tataran pemikiran dan keagamaan atau keunggulan spiritual dan material.
Sejatinya tujuan utama pandangan dunia Liberalisme semenjak kemunculannya, berperang melawan kekuasaan mutlak. Liberalisme pada awalnya bangkit melawan pemerintahan absolute gereja di belahan dunia Barat dan kemudian melawan pemerintahan absolut para raja.
Di atas segalanya, faktor-faktor yang disebutkan di atas saling berkaitan secara berkelindan dan menjadi penyebab munculnya gerakan besar pemikiran dan Renaissance abad 17 di Amerika dan Eropa. Actor-aktor di balik gerakan-gerakan pembebasan ini di Perancis, Montesquieu (1755), Voltaire (1778), dan Rousseau (1778). Dan di Jerman Kant (1804), Goethe (1832). Dan di Inggris, Hume (1776), Locke (1704), Adam Smith (1790) dan di Amerika Jefferson (1826), dan Franklin (1790). Sejatinya konsep dan pemikiran asasi Liberalisme bertitik-tolak dari gerakan Renaissance.
Rukun Liberalisme
Ibarat rukun sebuah agama, liberalisme juga memilki rukun-rukun sebagai berikut:
1. Yang utama adalah person (ashalat al-fard); berkebalikan dengan kehakikan komunitas (ashalat al-Ijtima). Liberalisme memiliki keyakinan mendalam dan nilai-nilai person, penekanan pada hak-hak pribadi di hadapan hak-hak sosial. Dalam pandangan liberalisme, hak-hak pribadi seseorang sekali-kali tidak dapat diabaikan atau dijadikan tumbal hak-hak sosial.
2. Yang utama adalah kerelaan dan kesepakatan; Apabila pemerintahan ingin memiliki legalitas, maka legalitas tersebut harus berdasarkan kerelaan masyarakat dan berdasarkan kontrak sosial - seperti yang dikemukakan Rousseau (1778). Berangkat dari masalah ini, sebaik-baik pemerintahan adalah pemerintahan demokrasi. Lantaran dalam pemerintahan demokrasi yang menjadi poros adalah kerelaan/keridhaan dan kontrak sosial.
3. Bebas dalam memiliki hak memilih; Asas dalam mewujudkan kebebasan sejati berdasarkan maktab ini adalah bahwa setiap orang memiliki kemampuan dan hak untuk memilih atau dua atau beberapa opsi. Dan ia memiliki kebebasan penuh dalam memilih berdasarkan selera dan moodnya sendiri.
4. Bersyarat dan beraturan; Artinya kekuasaan penguasa tidak boleh tidak terbatas tanpa syarat dan batasan, tetapi kekuasannya harus terbatas dan harus berdasarkan syarat-syarat tertentu. Dengan kata lain, kekuasaan, domain penguasa harus tercatat secara jelas dalam sebuah piagam (charter). Atas alasan ini, pemerintahan penguasa harus terbatas dan jalan untuk mewujudkan pemerintahan terbatas adalah pemisahan kekuaasan, eksekutif, yudikatif dan legislative, sebuah konsep yang diintrodusir Montesquieu (1755) untuk pertama kalinnya.
5. Kesamaan dalam memperoleh kesempatan dan fasilitas; Liberalisme sebagaima yang telah ditengarai sebelumnya, memiliki hubungan erat dengan sistem perekonomian kapitalis. Berangkat dari sini, pada domain ekonomi seluruh individu memiliki kesempatan yang sama dalam mendapatkan kesempatan dan fasilitas.
6. Keadilan sosial berdasarkan meritoktrasi; Ganjaran setiap orang dalam memperoleh keuntungan ekonomi harus berdasarkan potensi dan meritokrasinya. Berdasarkan pandangan Liberalisme, harus tercipta sebuah kondisi pada sebuah komunitas sehingga berdasarkan potensi dan kecakapan natural yang mereka miliki, mereka dapat memperoleh keuntungan dan maslahat ekonomi yang ada. ('Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai Siyasi Ma'ashir, hal. 17) Pada hakikatnya, Liberalisme sekali-kali tidak akan menerima keadilan sosial tanpa memandang kebebasan dan hak-hak individu. Oleh karena itu, sebagian orang menggolongkan bahwa salah satu rukun prioritasnya kebebasan invididu atas keadilan sosial; artinya kebebasan individu merupakan tujuan utama dan persamaan sosial merupakan alat dan media untuk sampai pada kebebasan individu. Dengan kata lain, dengan dalih menciptakan keadilan dan persamaan, kebebasan-kebebasan dibatasi atau dieliminir. (Husain Basyiriyah, Darsha-ye Demokrasi baraye Hame, hal. 22-23)
7. Toleran terhadap akidah dan pikiran orang lain; Liberalisme meyakini kebebasan tanpa kait dan syarat dalam ranah pemikiran-pemikiran politik, keyakinan-keyakinan agama dan pandangan-pandangan sosial. Mereka meyakini bahwa hanya dengan bersikap bebas terhadap akidah setiap orang yang dapat mengantar manusia menuju kemajuan dan kesempurnaan. Dalam pandangan kaum Liberalis, tiada satu hakikat (kebenaran) di alam semesta ini, namun hakikat-hakikat dan keragamanlah yang ada.('Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai Siyasi Ma'ashir, hal. 28)
8. Perbedaan pada ranah pribadi dan sosial; Liberalisme senantiasa menggambarkan adanya jarak dan gap antara ranah persoalan pribadi (termasuk kehidupan sosial-ekonomi) dan persoalan umum (termasuk kehidupan politik). Menurut puak liberalism pemerintah tidak diperkenankan melakukan interfensi dan campur tangan dalam persoalan-persoalan pribadi. Dan semakin sedikit intervensi pemerintah dalam ranah eksklusif setiap orang, maka performa pemerintah semakin baik. .('Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai Siyasi Ma'ashir, hal. 28)
9. Dunia sebagai poros dan tujuan (sebagai ganti akhirat); Dalam pandangan Liberalisme, perhatian terhadap nilai-nilai, urusan, dan keyakinan-keyakinan duniawi merupakan poros dan fondasi.
a. Universalisme; Keyakinan bahwa hak dan taklif seluruh manusia memiliki sisi universal, umum dan global. Keyakinan ini bersumber dari fitrah dan tabiat manusia. .('Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai Siyasi Ma'ashir, hal. 31)
b. Masyarakat madani; Pemerintah terbatas dan bersyarat - yang telah disinggung sebelumnya - dan menjaga kebebasan warga kota membutuhkan masyarakat madani yang beragam yang terdiri dari pelbagai kelompok pemikiran, filsafat, mazhab, kebudayaan dan politik. (Husain Basyiriyah, Darsha-ye Demokrasi baraye Hame, hal. 21-22)
c. Kontrol masyarakat; Apriori bahwa pemerintah merupakan keburukan yang tak-terhindarkan adalah salah satu fondasi ideologi Liberalisme. Menurut John Lock, politisi, secara potensial, merupakan makhluk liar. Makhluk liar ini tidak segan-segan menggunakan cara-cara licik untuk memelihara kekuasaan dan kemashalatan pribadinya. Berangkat dari sini, dengan menciptakan pranata dan kontrol masyarakat secara berketerusan dapat mencegah adanya praktik-praktik politisi ini. Dengan demikian, kontrol masyarakat atas penguasa dan politisi merupakan rukun Liberalisme. .('Ali Akbar, Sairi dar Andisyehai Siyasi Ma'ashir, hal. 28)
d. Hak kepemilikan; Liberalisme memandang bahwa hak kepemilikan merupakan media utama dalam menjaga dan memelihara kebebasan politik. Seorang invididu dengan kepemilikan dapat menjaga otonomi individu dan resistensinya terhadap kekuasaan pemerintah. David Hume memandang bahwa kepemilikan merupakan asas dan basic pranata-pranata demokrasi.(idem, hal. 24)
Evaluasi pandangan Liberalisme dalam ranah khusus
Setelah mengulas beberapa rukun Liberalisme secara global, kita akan mengevaluasi lebih jeluk terhadap kandungan mazhab ini, pandangan-pandangan liberalisme. Dan dengan memperhatikan bahwa kita tidak akan dapat membahasnya secara keseluruhan, kita hanya akan membahas yang penting-penting saja dari pandangan liberalisme.
Liberalisme dan humanism
Tipologi nyata gerakan liberalisme dalam maknanya yang lebih luas adalah "individualisme." Semenjak masa Alexander dan seterusnya dimana kebebasan politik telah hilang, individualism berkembang dan mendapatkan reaksi dari para filosof gereja dan Stoicism. (Russel, History of Western Philosophy, jil. 2, hal. 827) "Dari sudut pandang metafisika dan ontologi, liberalisme tergolong sebagai invidualisme. Individualis liberalisme termasuk ontologinya juga moralitasnya. Pahaman ini memandang individu lebih utama, dan fundamental dari masyarakat.(Majalleh Andisye Hauzah, maqalah, Liberalism Andisyeha wa Tahawwul, hal. 41)
Yang dimaksud dengan indiviualisme dalam pandangan filsafat adalah termasuk jenis insansyinasi yang memberikan kebebasan dan kepribadian kepada setiap individu.(idem) Apabila kita memandang individu manusia dari sudut pandang ini, arti dari invidualisme dalam artian filsafatnya akan terlihat. Sebagai lawan dari invidualisme adalah sosialisme dalam artian filsafatnya yang memandang bahwa individu tidak termasuk sebagai bagian dari kumpulan masyarakat.(Kitab-e Naqd, hal. 159)
Liberalisme dengan memberikan keutamaan pada individu, dalam ranah insan syinasi, akan menjumpai pelbagai tipologi dan konsekuensi di antaranya sebagai berikut:
a. Sangat ekstrem menuntut kebebasan; Mengingat bahwa kebebasan dalam mazhab Liberalisme biasanya dalam bentuk "bebas dari segala ikatan yang menghalangi terwujudnya selera setiap orang," maka intervensi dan campur tangan seseorang atau masyarakat sekali-kali tidak dapat diterima. Sejatinya yang membentuk janin Liberalisme adalah penafian terhadap segala jenis ikatan, hambatan dan larangan. (Rajabi, Fatima, Liberalism, hal 25)
b. Ego-sentris dalam urusan masyarakat; Menurut puak Liberalisme dalam menetapkan tatanan dan aturan sosial tiada keharusan untuk mengikuti petunjuk para nabi, keharusan diturunkannya wahyu Ilahi dan syariat, dan mencukupkan diri semata pada informasi dan pengetahuan manusia.
c. Bersikap toleran secara ekstrem; Menurut mazhab Liberalisme manusia dapat meyakini apa pun dan menyebarkan apa pun, sepanjang tidak menggangu kebebasan orang lain, ia dapat melakukan hal itu sesuka hatinya.
d. Berkuasanya selera pribadi; Berdasarkan pada rukun Liberalisme kematangan personal, kebudayaan, perilaku, ekonomi, sosial manusia terletak pada apa yang disenanginya ia dapat melakukan. Seorang liberal tidak menerima ikatan dan belenggu dari siapa pun untuk memenuhi keinginannya. Dengan kata lain, selain keinginannya tiada keinginan yang berlaku.
Akhlak dalam pandangan Liberalisme
Asas Liberalisme dalam ranah akhlak adalah bersandar pada hedonisme. Pemikiran moral Liberalisme ini disempurnakan oleh Lock. Menurut John Lock kriteria baik dan buruk adalah kelezatan atau kesusahan yang dihasilkan darinya; sesuatu dapat disebut baik apabila menyiapkan lahan bagi manusia untuk dapat merasakan kelezatan atau menambah kelezatan dan mengurangi kesusahan. Semakin ia merasakan kelezatan maka semakin bermoral. (Bertrand Russel, History of Western Philosphy:592)
Pandangan Bentham kurang lebih mirip dengan pandangan Locke dalam masalah ini. Menurutnya kebaikan adalah kelezatan atau kebahagiaan.(Bertrand Russel, History of Western Philosophy, jil. 2, hal. 1054). Mill mengikut Bentham berpendapat bahwa kelezatan adalah kebaikan dan kesusahan adalah keburukan(Bertrand Russel, History of Western Philosophy, jil. 2, hal. 1060).
Dengan demikian, Liberalisme dalam tataran kebahagiaan manusia bercorak invidualis dan hedonis. Namun pertanyaan yang harus diajukan di sini adalah bagaimana suatu perbuatan dapat diketahui bahwa ia mengandung kelezatan yang lebih besar atau tanpa kesusahan? Jawaban para puak Liberalisme adalah bahwa tiada satu pun perbuatan dengan sendirinya ideal atau tidak ideal, melainkan etis atau tidak etisnya setiap perbuatan menjadi jelas tatkala perbuatan tersebut telah dilakukan. Menyitir Mill, "Segala sesuatu harus diserahkan pada altar pengalaman empirik dan akal, sepanjang jawabannya belum jelas maka hukum tidak dapat dijatuhkan. Sebelum diuji dan dialami sekali-kali agama, kebebasan seksual atau kitab itu baik untuk dibaca, tidak dapat diketahui baik atau buruk."
Dengan demikian manusia liberal tidak ada yang dipandang suci dan kudus, melainkan dalam maktab ini pengujian akal adalah penting dan lebih penting dari itu adalah pengujian praktik dan empirik.
Kendati Bentham dan John Stuart Mill dalam seluruh pandangan moral dan hal-hal yang berkaitan dengannya tidak seragam, namun maktab keduanya adalah pragmatisme.
Politik dalam pandangan Liberalisme
Mengingat bahwa asas dan fondasi Liberalisme adalah menyediakan kemaslahatan pribadi di atas khayalan dan keinginan-keinginan personal, segala ikatan, kaitan dan keterbatasan. Di tengah-tengah - sebagaimana yang disebutkan sebelumnya - pemerintah merupakan perkara yang menjadi terciptanya keterbatasan bagi setiap orang.
Oleh karena itu, dengan sendirinya konsep tentang pemerintahan bukan merupakan sesuatu yang ideal. Namun juga tidak ada alternatif lain untuk dapat lari dari konsep ini. Lantaran khayalan tak-berkesudahan manusia dan adanya keterbatasan fasilitas, membuat manusia terpaksa harus berperilaku keji terhadap yang lainnya. Kekurangan menjadi sebab persaingan ini, saingan kita atau media untuk mewujudkan khayalan-khayalan itu atau penghambat dalam mewujudkan angan-angan tersebut.
Dengan demikian, alih-alih melakukan koordinasi, tercipta sebuah jenis kontradiksi natural dalam kemaslahatan pribadi dan apabila diinginkan masyarakat
manusia terjagai dari pertentangan natural ini maka mau-tak-mau harus ada intervensi luar. Kalau tidak demikian, tidak akan tercipta sebuah masyarakat yang tetap dan kokoh yang dengan keberadaannya kesenangan dan kemaslahatan pribadi dapat tersedia. Intervensi dari luar ini adalah pranata pemerintah - yang disebutkan sebelumnnya - tidak ideal dan merupakan keburukan dan tidak bisa menghindar darinya. Untuk mencegah pemerintah tidak dictator dan penghalan tersedianya lahan untuk memenuhi angan-angan dan kesenangan pribadi pemikiran Liberalisme pada arsy politik bersandar pada keragaman ideologi dan partai. Keragaman ideologi melalui parlemen inilah demokrasi. Sebuah sistem yang memisahkan tiga lembaga eksekutif, yudikatif dan legislative yang menjaga kebebasan pribadi dan umum serta kebebasan ideologi.
Liberalisme dalam arsy Ekonomi
Setelah tingkatan pertama yang merupakan tingkatan kemenangan dan kemajuan kebebasan berpolitik maka bermulalah kebebasan ekonomi yang dimaksudkan untuk menyempurnakan kebebasan politik. Para ekonom liberal Inggris di bawah Adam Smith adalah orang yang paling berpengaruh yang membentuk Liberalisme Ekonomi. Menurut para ekonom ini, mekanisme otomatis pasar ekonomi, yang ditata oleh aturan supply dan demand, merupakan sebaik-baik penjamin bagi kemajuan ekonomi.
Dan tiada lembaga baik eksklusif swasta atau eksklusif pemerintah dan perusahan-perusahaan pemerintah, yang boleh campur tangan dalam urusan tersebut. Para ekonom ini meyakini bahwa tangan-tangan invisible mereka memberikan kenyamanan pada ekonomi masyarakat. Dan setiap intervensi dan pemerograman yang dapat merisaukan atau menjinakkan tangan invisible tersebut adalah tercela.(Mansur Nashiri, Din wa Azadi)
Liberalisme dalam arsy Agama dan Teologi Kristen
Liberalisme dalam tataran teologi Kristen bukan merupakan kesatuan yang mudah dikenali. Melainkan dari sudut pandang sekte-sekte agama Kristen dan dari sudut pandang negara-negara yang berbeda yang memiliki ragam dan aneka perbedaan. Dari perspektif ini, agak sukar bagi kita untuk menganalisa dan menjelaskan masing-masing jenis Liberalisme dalam agama Kristen.
Tataran Liberalisme keagamaan dalam agama Kristen sedemikian beragam sehingga terdapat perbedaan antara Protestan-Liberal dan Liberal-Protestan. Demikian juga Liberalisme pada dua mazhab besar Kristen, Katolik dan Protestan harus dikaji secara terpisah. Liberalisme di Negara-negara seperti Inggris, Amerika dan Prancis juga harus ditelaah secara terpisah. Dan tentu saja ruang dan waktu yang tersedia pada tulisan ini tidak memungkinkan bagi kita untuk membicarakan hal tersebut.
Jelas bahwa gerakan Renaissance pada abad 18 dengan perlawanan untuk kebebasan politik, sosial dan kebudayaan telah menjadi lahan berseminya secara langsung Liberalisme teologis. Atas alasan ini liberalism dalam ranah politik dapat disebut sebagai sumber kemunculan liberalism dalam domain keagamaan.
Sejatinya bahwa Liberalisme politik muncul dengan prinsip-prinsip tipikal di hadapan segala jenis puritanisme pemikiran keagamaan. Dan peperangan yang meletus adalah akibat dari puritanisme ini. Liberalisme politik mencela puritanisme ini dan mempropagandakan toleransi dan penghormatan terhadap kebebasan dan hak-hak pribadi.
Kemudian sebagian teolog Kristen dengan menyaksikan fenomena dan pandangan baru ini ini bangkit membelanya. (Muhammad Husain Zadeh, Mabani Ma'rifat-e Dini, hal. 96). Namun dengan memperhatikan kemunculan Liberalisme pada pelbagai sekte dan negara Kristen, Protestanisme Liberal merupakan Liberalisme (agama) dimana anggapan sebagian orang ini bersumber dari sikap toleran dan menutup mata terhadap dimensi-dimensi lain Liberalisme. Kendati tidak diragukan bahwa wajah paling penting Liberalisme adalah terdapat pada ajaran Protestanisme.
Para pemikir dan sekte beragam Liberalisme, terlepas dari perbedaan yang mereka miliki, memiliki keragaman pemikiran. Keragaman pemikiran ini terletak pada perlawanan mereka terhadap kaum Tradisionalisme dan tentu saja pada Fundamentalisme.
Sisi keseragaman pemikiran pelbagai maktab Liberalisme agama dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Seluruh kaum liberal menghendaki adanya penafsiran bebas (non-tradisional) terhadap ideologi Kristen;
2. Seluruh kaum liberal, tidak menaruh perhatian terlalu serius pada pelontaran pemikiran teologis dan metode rasional pada ranah teologi;
3. Seluruh kaum liberal, sangat sensitif terhadap pengaruh pengetahuan baru, baik ilmu-ilmu sejarah atau natural, atas keyakinan-keyakinan tradisional. Pada hakikatnya, salah satu factor signifikan pemikiran keagamaan kaum liberal, kritik historis atas kitab suci;
4. Bersandar dan menegaskan pada "pengalaman batin" (inward experience) seseorang. Menurut Schleirmacher agama asasnya adalah kondisi dan perkara hati dimana inti dari semua itu adalah perasaan (feeling). Agama tanpa perasaan tidak dapat bertahan pada posisinya. Dan akhirnya akan berujung pada keyakinan atau moralitas. Berangkat dari pandangan ini, kaum liberal menstressing bahwa asas agama adalah pengalaman keagamaan dan perasaan batin.(Reardon Bernard "M. G. Christian Modernism" dalam: The Encylopedia of Religion (edit. Mircea Eliade), vol. 10, hal. 9)
Poin kekuatan Liberalisme agama tertimbun pada kedua poin ini dimana para pengikutnya meyakini bahwa kebenaran agama Kristen, tanpa kekuatiran kritikan akal pada kadar dan nilainya, dapat diperkenalkan pada dunia moderen. Maktab ini secara tegas menyatakan bahwa agama Kristen muncul dari zaman dan kebudayaan. Agama ini tumbuh-berkembang pada abad 19/20 yang berbeda dengan zaman dan kebudayaan masa itu. Agama Kristen dengan pendekatan tradisionalnya asing dengan era baru ini bahkan tidak dapat dipahami.
Dengan demikian, apabila kita tidak menutup mata terhadap infiltrasi dan pengaruh luas era baru ini serta menaruh perhatian pada dunia moderen maka mau-tak-mau pelbagai keyakinan Kristiani harus ditinjau ulang dengan metode dan pemikiran baru, yang terjadi pasca era Reformasi dalam tataran yang sangat luas.(ibid, hal.12)
Dengan semua ini, Liberalisme teologis, pada akhir abad 19 dan awal abad 20 dengan melakukan infiltrasi pada majelis-majelis gereja mampu menghilangkah wajah buruknya dan dengan terma baru, Modernisme, Liberalisme memasuki pelataran kehidupan agama Kristen. (ibid, hal. 7) Kendati demikian mereka tidak mampu memelihara kekuatan infiltrasinya dan setidaknya semenjak permulaan abad dua puluh, paham Liberalisme memiliki penentang dan orang-orang yang kontra.(ibid, hal. 12)
Di antara kritikan yang dilontarkan kepada Liberalisme agama adalah bahwa maktab ini bahkan dalam bentuk (hipotesa) tidak memperhatikan dosa dan keburukan manusia, tanpa mengindahkan keburukan dosa, dosa-dosa manusia dengan mudah ditafsirkan sebagai kebodohan, kurangnya pengalaman atau ketidaksesuaiannya dengan lingkungan. Kaum liberal memandang manusia dalam pandangan positif dan optimis. Pandangan ini merupakan rangkapan dan sinkret pemahaman-pemamahan Renaissance, ihwal manusia dapat menyempurna dan bahwa manusia dapat berkembang-maju. Pandangan positif ini tentu saja tidak sejalan dengan pandangan ajaran tradisonal Kristen yang menegaskan bahwa esensi manusia adalah pendosa (karena pengaruh tergelincirnya Adam).(ibid, hal.13)
Tentu dalam tulisan ini banyak poin-poin yang belum terjamah dan tereksplorasi dengan baik, seperti pembagian liberalisme politik, ekonomi dan liberalisme kebudayaan. Atau pembagian liberalisme berdasarkan urutan waktu, liberalisme klasik dan neo-liberalisme. Kesemuanya ini membutuhkan ruang dan waktu yang berbeda dimana hal ini akan kami alokasikan pada kesempatan mendatang. Termasuk kritikan-kritikan terhadap paham liberalisme khususnya dalam ranah filsafat dan pemikiran.
Catatan Kaki:
[1]. Bagi yang tertarik mengetahui makna dan penggunaan kata "liberal", silahkan rujuk pada Encarta Dictionary Tools.
[2]. Hornby, A. S, Oxford Advanced Learner's Dictionary, Oxford University Press, 5th edition, 1998-99.
[3]. ability to act freely: a state in which somebody is able to act and live as he or she chooses, without being subject to any undue restraints or restrictions, i.e live in freedom & religious freedom.
[4]. Release from captivity or slavery. Release or rescue from being physically bound, or from being confined, enslaved, captured, or imprisoned.
[5]. Right to act and speak freely, the right to speak or act without restriction, interference, or fear, i.e gave them the freedom to enter without passports.
[6]. a country's right to rule itself, without interference from, or domination by, another country or power.
[7]. Absence of something unpleasant, freedom from fear.
[8]. Openness and friendliness in speech or behavior
[9]. the ability to exercise free will and make choices independently of any external determining force.
[10]. The freedom to think or act without being constrained by necessity or force.
[11]. Freedom from captivity or slavery
[12] . Basic right: a political, social and economic right that belongs to the citizens of a state or to all people.
Antara Pluralisme Agama dan Wahyu
Agama (dalam hal ini ad-din dalam bahsa arab) memiliki makna jalan, balasan, dan kecenderungan.[1] Agama-agama Ilahi turun satu menggantikan lainnya dalam bentuk saling menyempurnakan dengan tekanan pengajaran yang berbeda-beda untuk memberi hidayah dan petunjuk kepada manusia. Karena itu, substansi agama-agama Ilahi adalah hidayah (memberikan petunjuk) dan dalam implementasi tujuan ini tidak ada perbedaan di antara agama-agama Ilahi. Akan tetapi dalam mizan hidayah dan kadar pengajaran, mereka satu sama lain mempunyai perbedaan secara intensitas kuat dan lemah.
Zaman sekarang ini, di dunia Barat terjadi krisis agama dan spiritual. Masyarakat Barat telah mendudukkan manusia pada tempat Tuhan[2], menempatkan para jenius dan pemikir pada kedudukan para nabi, dan menggantikan agama dengan maktab-maktab filsafat sosial. Dan untuk menghapus perbedaan agama-agama Ilahi dan maktab-maktab buatan manusia, mereka melakukan pelbagai distorsi (tahrif) terhadap agama sebagai mukaddimah, di mana pada akhirnya akan muncullah suatu wajah dari pluralisme agama-agama dan maktab-maktab.
Descartes berkeyakinan bahwa hakikat ada pada semua dan tak satupun kelompok yang berrhak membatasi hakikat hanya pada dirinya dan semuanya dalam pemahaman hakikat adalah sama. Tentu ungkapan ini menimbulkan tanda tanya besar bagi kadar validitas sebuah agama. Sementara itu Kant berkeyakinan bahwa di dalam proposisi-proposisi analitis akal teoritis, kita tidak mempunyai kemampuan pengetahuan apriori dan keluarnya hukum-hukum (pembenaran dan pengafirmasian) sebelum pengalaman (eksperimen).
Kendatipun pemikiran-pemikiran ini dalam posisi dan kedudukannya tersendiri dari sudut benar dan salahnya masih perlu dikaji, akan tetapi pemikiran-pemikiran ini biasnya di era sekarang sudah disertai dengan natijah yang sama, yakni pluralisme filsafat, agama, dan akhlak.
Bagaimana Bentuk Hubungan Agama dengan Sejarah?
Tentang hubungan agama dan sejarah, terdapat beberapa pertanyaan urgen yang dapat diutarakan di sini: Apakah keberadaan agama berhubungan dengan sejarah? Apakah dengan kemajuan sejarah agama juga mengalami kesempurnaan? Dalam bentuk ini, apa makna bagi konsep khâtamiyyah (akhir kenabian)?
Apakah pemahaman-pemahaman maknawi dan hakiki dapat menemukan kesempurnaannya lewat perkara-perkara yang berlalu, yakni sejarah? Apa penentu kesempurnaan dalam agama? Apakah sejarah dapat menerangkan faktor ini? Apakah wahyu dan hakikat terjadi lewat sejarah dalam agama? Dan pertanyaan akhir apakah konsepsi Tuhan yang dipersepsi dengan baik oleh para teolog memerlukan perhatian pada aspek kesejarahan?
Dalam menjawab pertanyaan akhir mesti kami katakan bahwa kendatipun pandangan para teolog tentang Tuhan mesti diperoleh dari wahyu dan tidak dari sejarah, akan tetapi terdapat sejumlah filosof seperti Hegel yang menerima kemestian esensial antara sejarah dan wahyu. Dan sejumlah lainnya juga seperti Paul Tilich tidak memandang adanya hubungan niscaya (dharuri) antara wahyu dan sejarah. Meskipun wahyu diperoleh dalam wadah sejarah, tetapi kita tidak mendapatkannya dari sejarah. Sementara sebagian filosof lainnya berkeyakinan bahwa terdapat hubungan yang niscaya antara wahyu dan sejarah.
Sebagian filosof Islam seperti Shadrul Mutaalihin memandang bahwa tinjauan di atas berkenaan dengan aspek kesejarahan wahyu adalah benar dari satu sisi dan tidak benar dari satu sisi.
Jika kita mengambil pemahaman kenabian secara mutlak maka dahulu dan kemudian dalam hal ini tidak menunjukkan atas kesempurnaan dan kekurangan. Misalnya, meskipun Nabi Ya'kub As datang setelah Nabi Ibrahim As, tetapi ini tidak bisa menjadi dalil atas lebih sempurnanya Nabi Ya'kub As ketimbang Nabi Ibrahim As. Dalam hal kesempurnaan para nabi terdapat derajat yang bertingkat-tingkat, tetapi tidak ditinjau dari aspek kesejarahan awal dan akhir kedatangannya (di sini kita meninjau wahyu lebih umum dari kenabian dan risalah dan dalam subyek ini tidak terdapat perbedaan di antara keduanya).
Wahyu tidak mengambil kehujjahannya dari sejarah dan faktor kesejarahan, karena itu kedudukan wahyu lebih atas dari dahulu dan kemudian (baru). Jika seorang teolog ingin berbicara tentang kemajuan dan kemunduran dalam sejarah agama, dia mesti mengisyaratkan dalam pembicaraannya unsur-unsur penting dan spesifik dalam pemahan agama dan wahyu.
Kesempurnaan Agama Islam
Agama Islam sebagai agama akhir dan penutup (khâtam) dari agama-agama samawi merupakan agama yang lebih sempurna dari agama-agama sebelumnya. Dan dalam kata khâtamiyyah sendiri terkandung makna kesempurnaan, sebab ia meliputi keseluruhan kandungan agama-agama sebelumnya. Islam, meliputi seluruh agama-agama dan meta sejarah, ia adalah seluruhnya tanpa ia menjadi bagian dari salah satu dari mereka. Ia adalah keseluruhan kesempurnaan agama-agama dan minus dari kekurangan-kekurangan mereka.
Dalam al-Qur'an, kata " الدين" (ad-din) dinisbahkan terhadap agama Islam, yang mana alif dan lam-nya merupakan alif dan lam istigrâq. Akan tetapi terhadap agama-agama lain, al-Qur'an memakai kata "دينا" (dinan): "Barang siapa yang mencari suatu agama selain Islam maka tidak akan diterima agama darinya, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi" (Qs. Ali Imran [3]: 85). Dari sini jelas bahwa agama-agama selain agama Islam adalah "ََدينا", yakni satu agama. Akan tetapi agama Islam adalah " الدين", yakni keseluruhan kesempurnaan agama-agama.
Menurut Paul Tilich, supaya kita mengetahui bagaimana komprehensi (mafhum) agama menemukan perluasan maka kita butuh kepada komprehensi agama itu sendiri. Akan tetapi apakah pahaman agama itu menyeluruh dan meliputi ataukah partikular, menurutnya, jika komprehensi agama itu tidak meliputi maka ia adalah terbatas dan tidak menyeluruh.
Dan jika konsepsi kita terhadap agama adalah universal maka ia meliputi dan menyeluruh. Namun, jika kita memberi kait terhadap komprehensi agama, kemestian dari ini kita mengasumsikan bahwa seluruh agama-agama adalah terbatas. Komprehensi yang ada pada agama adalah meta sejarah, akan tetapi bahwa ia mempunyai bentuk ini dan bentuk itu, ia adalah historis. Jika agama kita kenal sebagai sesuatu yang menjadi perhatian final dan tertinggi manusia, dalam bentuk ini konsepsi-konsepsi etikal dan logikal agama dari dimensi sebagai penjelas terhadap perkara final akan menjadi sahih dan muktabar. Dalam hal ini, agama Nasrani dan agama-agama selainnya mesti taslim dan menyerah kepada parameter wahyu final.[3]
Menurut kita wahyu pamungkas dan akhir adalah Islam. Akan tetapi mungkin saja para pengikut agama-agama lainnya juga menafsirkan wahyu final itu sesuai dengan cita rasa mereka.
Dalam hal ini kami mengutarakan beberapa dalil dan bukti bahwa agama komprehensip dan wahyu final adalah Islam berikut ini:
1. Agama Islam mengungkapkan gambaran universal, mendunia, dan menyeluruh tentang agama di mana hal ini tidak terungkap dalam agama-agama historis. Sebelumnya kami telah jelaskan bahwa Islam adalah "الد?ن" dan mutlak, bukan "د?نا" dan partikular. Filosof besar Islam Shadrul Mutaalihin, berkenaan dengan ayat-ayat yang berhubungan dengan agama seperti: "Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam" (Qs. Ali Imran [3]: 19), "Barang siapa yang mencari suatu agama selain Islam maka tidak akan diterima agama darinya, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi" (Qs. Ali Imran [3]: 85), dan hadits: "Islam adalah tinggi dan tidak ada yang mengatasinya" menegaskan pandangannya bahwa Islam menghimpun dan meliputi seluruh (kesempurnaan) agama-agama.[4]
2. Hakikat-hakikat yang disebutkan dalam al-Qur'an, sebelumnya telah disebutkan dalam Zabur, kitab Maknun, Suhuf Ulaa, Taurat, dan Injil. Dan ini menurut Shadrul Mutaalihin bukti atas komprehensifnya al-Qur'an.[5] Oleh karena itu, dengan memperhatikan istidlal (reasoning) di atas dapat dikatakan bahwa agama Islam adalah meta sejarah dan meliputi seluruh agama-agama.
3. Dengan memperhatikan serangkaian ayat-ayat al-Qur'an dapat dikatakan bahwa agama khâtam mestilah agama komprehensip dan menyeluruh, seperti ayat yang menyatakan: "Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim)" (Qs. an-Nahl [16]: 89). Saksi (syahid) yakni meliputi, sebagaimana markaz lingkaran meliputi sekitarnya. Yakni dalam ayat ini para nabi menjadi saksi atas umatnya, akan tetapi nabi khâtam Islam Saw adalah saksi atas seluruh umat dan kitabnya adalah kitab yang menjelaskan segala sesuatu (termasuk hakikat-hakikat dan kesempurnaan-kesempurnaan agama yang ada sebelumnya tentunya). Demikian juga ayat yang menyatakan: "…Kami jadikan kamu umat pertengahan supaya kamu menjadi saksi-saksi atas manusia", juga menjelaskan atas kenyataan komprehensifnya agama khâtam dan kemencakupannya atas seluruh agama-agama.
Dengan demikian kaidah yang ada pada eksistensi, yakni "Basîthul hakikah kullul asy-yâ wa laisa bisyain minhâ" (basîth hakiki atau ketakberangkapan hakiki adalah segala sesuatu dan ia bukan sesuatu dari mereka), secara jelas juga berlaku dalam wujud wahyu. Dan ini hanya terkhususkan bagi wahyu (agama) Islam, dimana prinsip dan hakikatnya memiliki dimensi meta historis.
Adapun pandangan pluralisme agama dalam pengertiannya yang berkembang, dimana kelazimannya adalah kesamaan agama-agama Ilahi dan agama-agama non-Ilahi serta tidak adanya keutamaan antara satu agama dengan agama lainnya, berkenaan dengan tinjauan kita tentang agama khâtam dan wahyu final di atas, dapat disimpulkan tentang kebatilan pandangan pluralisme agama-agama tersebut dan memberikan solusi tentang kemestian dan keniscayaan ke-lebih sempurna-an agama khâtam (Islam) dibanding seluruh agama-agama lainnya.
Dan ayat al-Qur'an yang menyatakan: "Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu" (Qs. al-Maidah [5]: 3) adalah dalil bahwa suatu agama dapat menduduki tingkatan final dan akhir dari pergerakan sempurna agama-agama serta hukum-hukum dan undang-undangnya lebih sempurna dari agama-agama lainnya.
Penilaian Al-Qur'an (Islam) Terhadap Kitab-kitab Lainnya
Sebab manusia diciptakan sebagai maujud dinamis dan pencari kesempurnaan, maka pencipta manusia untuk memenuhi kebutuhan substansial manusia ini di sepanjang zaman senantiasa mengundangnya kepada maqam kesempurnaan dan spiritual lewat ajaran dan hidayah para nabi-Nya. Prinsip dasar hidayah para nabi dan pembingbing manusia adalah satu dan bersumber dari satu mabda: "Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya" (Qs. al-Maidah [5]: 44). Tuhan, tentang Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa As berfirman: "… di sii mereka Kitab Taurat yang di dalamnya (ada) hukum Allah…" (Qs. al-Maidah [5]: 43) dan tentang Kitab Injil yang dikirimkan untuk Nabi Isa As berfirman: "Dan Kami menurunkan Injil kepadanya, di dalamnya terdapat petunjuk dan cahaya, dan membenarkan kitab yang sebelumnya yaitu Taurat, dan sebagai petunjuk serta pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa" (Qs. al-Maidah [5]: 46).
Jika ahli kitab menjaga dua kitab ini dari kekotoran distorsi (tahrif) dan mengamalkan segala apa yang diturunkan Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan mendapatkan berkah dari langit dan bumi: "Dan sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan Taurat, Injil, dan apa yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka" (Qs. al-Maidah [5]: 66).
Al-Qur'an mengungkapkan secara terang tentang adanya kekotoran tahrif yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap kitab-kitab sebelumnya: "Di antara orang Yahudi (terdapat golongan orang) yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya …" (Qs. an-Nisa [4]: 46), maksudnya melakukan tahrif terhadap kitab-kitab suci. Demikian juga ayat berikut ini menjelaskan perbuatan mereka yang melakukan tahrif terhadap perkataan-perkataan Tuhan: "Maka apakah kamu sangat mengharapkan mereka akan percaya kepadamu, sedangkan segolongan dari mereka mendengar firman Allah, lalu mereka mengubahnya setelah memahaminya, padahal mereka mengetahuinya?" (Qs. al-Baqarah [2]: 75).
Al-Qur'an, dalam masalah ini sangat mencela perbuatan mereka dan Tuhan melaknat pelaku-pelaku tersebut: "Sungguh, orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, setelah Kami jelaskan kepada manusia dalam Kitab (al-Qur'an), mereka itulah yang dilaknat Allah dan dilaknat (pula) oleh mereka yang melaknat" (Qs. al-Baqarah [2]: 159).
Demikianlah al-Qur'an memandang kitab-kitab sebelumnya sebagai kitab-kitab yang mengandung hidayah, bimbingan, dan petunjuk bagi manusia kepada kesempurnaan dan spiritual. Akan tetapi dikarenakan adanya kekotoran tahrif di dalam kitab-kitab tersebut maka masa berlakunya untuk menuntun manusia sudah berakhir dan digantikan dengan wahyu final dan kitab terakhir yang mengandung kesempurnaan-kesempurnaan kitab-kitab sebelumnya dan minus serta terjaga dari kekotoran distorsi (tahrif).
Oleh karena itu, al-Qur'an, dikarenakan terjaga dari tangan-tangan penahrif dan tidak terjadi di dalamnya pengurangan, penambahan, dan distorsi (tahrif) maka dia menjadi mizan dan tolok ukur kebenaran kandungan dan isi (yang tetap terjaga dari tahrif) bagi kitab-kitab suci lainnya. Berdasarkan ini, penyimpangan-penyimpangan yang ada dapat diluruskan dan penyelewengan ajaran Ilahiah yang disisipkan dapat dibersihkan dengan dimizankan dengan kandungan dan isi dari al-Qur'an.
Di samping itu pembawa wahyu final dan khâtam yaitu Nabi khâtam Muhammad Saw, di banding atas nabi-nabi lainnya mempunyai kesempurnaan, kemuliaan, dan keutamaan yang lebih daripada mereka. Dan dia menjadi muhaimin (penjaga) atas mereka; sebab maqam dan kedudukan Nabi khâtam adalah setingkat dengan wahyu khâtam; sebagaimana para nabi sebelumnya sederajat dengan kitab-kitab suci mereka dan al-Qur'an al-karim adalah muhaimin (penjaga) atas semua kitab-kitab suci: "Dan Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) dengan membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan menjaganya" (Qs. al-Maidah [5]: 48). Oleh karena itu, Rasul khâtam Muhammad Saw adalah muhaimin atas seluruh rasu-rasul Ilahi.[6]
Berdasarkan maqam dan kedudukan Nabi khâtam Islam Saw ini maka al-Qur'an menyatakan: "Dan bagaimanakah, jika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari setiap umat dan Kami mendatangkan engkau (Muhammad) sebagai saksi atas mereka" (Qs. an-Nisa [4]: 41). Yakni, Tuhan mendatangkan saksi (sebelumnya kami telah memaknai saksi adalah meliputi) dalam bentuk mengutus seorang nabi, rasul, atau imam bagi setiap umat yang mengawasi akidah, aturan, dan amal perbuatan mereka dan Nabi khâtam Muhammad Saw adalah saksi atas semua saksi-saksi tersebut, sebab beliau Saw adalah muhaimin atas seluruh nabi, rasul, imam, dan seluruh umat manusia. Karena itu dalam hadits, tentang kedudukan beliau Saw kita baca: Yang paling awal diciptakan Allah adalah cahayaku.[7] Beliau mempunyai kedahuluan esensial atas seluruh ma siwallah dan keniscayaan dari kedahuluan esensial adalah peliputan eksistensial terhadap eksistensi-eksistensi lainnya dan kepenyebaban terhadap sebab-sebab di bawahnya.[8] Oleh karena itu, apa saja di alam imkan ini mencium harum eksistensi maka semua mereka itu berasal dari semerbak wangi hadhrat khâtmi martabat Saw dan dengan perantara cahayanya alam eksitensi imkan ini mendapatkan cahaya dari sumber cahaya yaitu cahaya di atas cahaya (Allah Swt).
Komprehensi Agama dan Khâtamiyyah
Sebelumnya telah kita katakan bahwa agama mempunyai makna taslim, jalan, dan balasan. Agama-agama Ilahi (baca: kitab-kitab Ilahi) diturunkan untuk memberi hidayah pada manusia dan dalam tingkatan-tingkatan kesempurnaan, mereka satu sama lain saling menyempurnakan. Agama-agama Ilahi ditinjau dari dimensi kebenarannya tidak memiliki perbedaan antara satu dan lainnya dan hanya ditinjau dari segi syarat tempat dan zaman dalam mizan program hidayah yang mempunyai intensitas kuat dan lemah. Agama Islam adalah agama Ilahi yang paling akhir diturunkan dan merupakan paling sempurnanya agama Ilahi serta nabinya dan kitabnya merupakan khâtam anbiyâ dan kitab-kitab suci.
Adapun pluralisme agama yang berkembang saat ini tidaklah menerima pengertian agama, kebenaran agama-agama, dan khâtamiyyah (kesempurnaan agama akhir) yang kita maksudkan di atas. Sebab menurut terma mereka tidak ada keunggulan agama-agama Ilahi dibandingkan agama-agama non-Ilahi dan maktab-maktab non-agama. Karena itu pluralisme agama dalam bentuk ini memestikan penurunan derajat agama Ilahi dan mensejajarkan maktab buatan manusia dengan agama yang diturunkan Tuhan serta melakukan distorsi terhadap ajaran agama yang sempurna dengan pengaburan menyandingkannya dengan agama-agama yang telah ternodai tahrif dan bahkan agama atau maktab buatan manusia sekalipun.
Catatan Kaki:
[1] . Ragib Isfahani, Mufradat, Harfe "Dal", Lugat Din.
[2] . Newesyteh Jam'i az Newisandegan, Makatib Falsafi, Bakhsye Positivism, Hal. 40.
[3]. Paul Tilich, Ilahiyyat Sistematik, Jld.1, bagian ketiga, Hal. 168.
[4]. Kherad Nameh Shadra No 25, Hal. 47.
[5]. Kherad Nameh Shadra No 25, Hal. 47.
[6] . Ayatullah Jawadi Amuly, Wahyu wa Nubuwwat dar Qur'an, Hal. 334.
[7] . Allamah Majlisi, Biharul Anwar, Jld. 1, Hal. 97.
[8] . Ayatullah Jawadi Amuly, Wahyu wa Nubuwwat dar Qur'an, Hal. 334.
Konsekuensi Logis Pluralisme Agama
Topik bahasan kita yang terakhir tentang maktab-maktab dan keragaman agama ini merupakan suatu topik yang sangat populer akhir-akhir ini dan menjadi ajang bahan diskusi dan perbincangan dalam berbagai tingkat pendidikan, ilmu, budaya, agama, mazhab, dan sosial.
Tidak diragukan bahwa kita hidup di suatu dunia yang penuh dengan dimensi perbedaan dan keragaman. Sebagaimana yang kita saksikan terdapat bangsa-bangsa dan warna kulit yang beraneka ragam, bahasa yang beraneka-macam, budaya yang berbeda, agama yang multi-corak, ideologi dan pemikiran yang jamak dan berbagai aspek serta dimensi hidup manusia lainnya yang tidak sama. Sekarang kita akan membahas tinjauan pluralisme agama terhadap masalah ini dan mengajukan kritik serta isykalan terhadap teori dan pandangannya.
Penafsiran yang Beragam Terhadap Kejamakan Agama-agama (Pluralisme Agama)
Kenyataan yang ada, kita mempunyai bermacam agama dan kita juga mempunyai sangat banyak pandangan-pandangan (mazhab dan maktab pemikiran) yang bukan agama. Di antara agama-agama yang ada, kita dapat membagi mereka ke dalam dua kelompok. Pertama, agama-agama yang berdasarkan wahyu dan kedua, agama-agama yang tidak berasal dari wahyu. Sementara masing-masing dari dua kelompok agama tersebut, terdapat lagi mazhab-mazhab yang bermacam-macam.
Pertanyaan mendasar yang dapat diajukan kepada setiap pemikir adalah, bagaimana harus ditafsirkan keragaman pandangan-pandangan keagamaan dan bukan keagamaan dari satu sisi dan kejamakan agama-agama yang berbeda dari sisi lain serta juga banyaknya mazhab dalam setiap agama? Sejauh mana saham semua agama-agama ini dalam hakikat dan kebenaran? Apakah semua agama benar ataukah hanya ada satu agama yang benar? Pertanyaan-pertanyaan ini telah mendapatkan jawaban yang berbeda-beda, di antaranya dari inklusivisme, eksklusivisme, dan pluralisme. Pluralisme agama merupakan salah satu jawaban dan tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas.
Pengertian Secara Bahasa dan Istilah dari Pluralisme
Pluralisme mempunyai pengertian secara bahasa dan istilah yang beraneka-macam:
a) Pengertian secara bahasa: Dalam kamus Oxford, pluralisme ditafsirkan dalam bentuk seperti berikut ini:
1. Suatu kehidupan dalam sebuah masyarakat yang dibentuk oleh kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda, di mana kelompok-kelompok ini mempunyai kehidupan politik dan agama yang berbeda. Definisi ini bentuknya menjelaskan suatu fenomena kemasyarakatan.
2. Menerima prinsip bahwa kelompok-kelompok suku-bangsa yang berbeda-beda dapat hidup secara rukun dan damai dalam suatu masyarakat. Definisi ini mengandung suatu ide dan maktab pemikiran.[1]
b) Pengertian secara istilah: Pluralisme secara istilah minimal memiliki empat macam penggunaan:
1. Pluralisme disamakan dengan toleransi, yakni bermakna toleran dan hidup bersama secara rukun untuk mencegah dan mengantisipasi pertikaian dan peperangan.
Dalam definisi ini, keragaman dan kejamakan diterima sebagai suatu realitas kemasyarakatan. Yakni para pengikut masing-masing dari agama dan mazhab, dalam kenyataan mereka memandang bahwa hanya diri mereka yang benar dan ahli selamat, dalam bergaul dan bermasyarakat dengan para pengikut agama dan mazhab lainnya selalu toleran, rukun, dan saling menghormati.
Kita menerima pengertian pluralisme ini. Sebagaimana pluralisme yang terjadi di antara dua firkah dalam satu mazhab, antara dua mazhab dalam satu agama, dan antara dua agama Ilahi serta antara agama-agama non-wahyu. Kita memiliki banyak ayat-ayat yang berkenaan bentuk pluralisme ini, di antaranya: "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (Qs. al-Mumtahanah [60]:
Makna ayat ini adalah berprilakulah secara baik dan adil terhadap orang-orang kafir yang berprilaku secara baik dan adil terhadapmu. Yakni orang-orang yang berbeda denganmu dari segi agama (apatah lagi perbedaan dari segi mazhab dan firkah), bergaullah dengan mereka secara adil, baik, dan toleran selama mereka tidak memerangimu.
2. Pluralisme yang bermakna agama adalah satu. Semua agama datang dari sisi Tuhan, tetapi mempunyai wajah yang berbeda-beda. Perbedaan agama-agama
tidak pada tataran substansi agama, akan tetapi pada arasy pemahaman agama. Sekelompok orang memahami perkara Ilahi dalam satu bentuk maka mereka menjadi Yahudi. Segolongan lainnya memahaminya dalam bentuk lain maka mereka menjadi orang-orang Nasrani. Dan adapun orang-orang Muslim dan pengikut-pengikut agama lainnya memahami perkara-perkara Tuhan dalam bentuk yang berbeda dengan kedua pengikut agama tersebut di atas.
Setiap nabi mempersepsi dan menjelaskan hakikat dalam suatu bentuk tertentu. Karena itu, satu berkata dan berpandangan tauhid dan lainnya (al-'iyâdzu bi-llah) berkata dan berpandangan trinitas. Setiap orang, sesuai dengan persepsi dan pemahamannya, memahami suatu bentuk dari hakikat ini. Dan tidak seorangpun yang mempunyai kelebihan pemahaman dibanding pemahaman yang lainnya. Kita tidak hanya mempunyai satu jalan lurus, tetapi kita mempunyai jalan-jalan lurus dan semua mereka terhitung benar.
Apa yang mampu diraih dan dijangkau oleh manusia, bahkan para nabi, tidak mempunyai jaminan kesahihan secara mutlak dan bukan hakikat tetap Ilahi. Apa yang ada dalam koridor makrifat kita, itu hanyalah hasil dari penangkapan mental (dzihni) masing-masing dari setiap para nabi yang tidak terlepas dari pengetahuan-pengetahuan alami, fisika, kemasyarakatan, politik, dan nilai-nilai yang berkuasa pada setiap zaman dari mereka.
Dalam definisi pluralisme ini, diakui bahwa terdapat satu hakikat yang mutlak dan tetap, akan tetapi hakikat yang berbetuk murni sama sekali tidak sampai ke tangan manusia, termasuk para nabi As. Natijahnya, tidak satupun agama dan maktab yang mengungguli agama dan maktab lainnya. Di dalam satu agama yang sama juga tidak terdapat satu mazhab yang mengungguli mazhab lainnya.
Pandangan ini dinisbahkan dengan muhkamât (hal-hal yang pasti dan tetap) dan dharuriyyât (hal-hal yang mesti dan niscaya) agama tidak dapat dibenarkan dan merupakan tinjauan dan ungkapan yang sangat salah, tetapi dalam bentuk yang sederhana dan dalam batas masalah-masalah teoritis dan hipotesa dapat dikaji lebih jauh. Kami dalam silsilah pembahasan mendatang akan menyinggung masalah ini dan melakukan kritik dan isykalan terhadapnya.
3. Bentuk ketiga makna dari pluralisme adalah bahwa terdapat hakikat yang banyak dan kita tidak memiliki hanya satu hakikat. Berbagai akidah dan keyakinan yang saling bertentangan, terlepas dari perbedaan pemahaman kita, semuanya adalah hakikat dan benar.
Pengertian ini sudah jelas salah dan tidak dapat diterima, sebab hal-hal yang saling kontradiksi adalah sesuatu yang secara aksiomatis invalid (batil). Pluralisme dangan makna ini adalah suatu bentuk konsep yang murni impor dari dunia Barat dan mempunyai akar perbedaan antara teologi Kristen dan gereja dengan hasil penemuan ilmu-ilmu empirik. Karena kita tidak mempunyai masalah dalam hal ini (sebagaimana ajaran gereja dengan hasil penemuan ilmu dan sains), maka kita tidak perlu mengupas dan mengkajinya lebih lanjut.
4. Hakikat, merupakan totalitas dari bagian-bagian dan unsur-unsur, di mana masing-masing dari setiap unsur dan bagian ini ditemukan dalam setiap agama-agama. Oleh karena itu, kita tidak memiliki satu agama yang komprehensip dan utuh, tetapi kita mempunyai keseluruhan agama-agama yang setiap dari mereka memiliki saham hakikat. Dalam agama Islam, hanya sebagian dari hakikat dapat ditemukan. Demikian juga dalam agama Nasrani, bagian yang lain dari hakikat dapat dijumpai dan dalam agama Yahudi, Budha, Hindu, penyembahan berhala, dan lain sebagainya, bagian yang lain dari hakikat dapat ditemukan.
Dengan tinjauan ini maka kita tidak mempunyai satu agama yang sama sekali tidak memiliki saham dari hakikat. Bahkan, dalam setiap agama dapat ditemukan saham dari hakikat dan kebenaran.[2] Oleh karena itu, tidak satupun dari agama-agama yang dapat mengklaim dirinya sebagai agama yang mencapai hakikat secara keseluruhan dan sempurna. Tidak Islam, tidak Nasrani, tidak Yahudi, tidak Budha, dan tidak yang lainnya.
Kita kaum Muslimin tidak dapat menerima pluralisme dengan makna ini, sebab agama Islam merupakan agama yang komprehensip, sempurna, dan meliputi seluruh hakikat-hakikat dan kebenaran yang dimiliki agama-agama lainnya. Agama ini tidak hanya mengandung sebagian dari hakikat, tapi seluruh hakikat yang datang dari Tuhan. Pengkajian dan pengupasan tentang benar dan salahnya masing-masing dari makna pluralisme di atas akan diuraikan pada pembahasan-pembahasan berikutnya berkenaan dengan topik ini.
Latar Belakang Historis Pluralisme
Pandangan kejamakan dan keragaman (pluralisme) yang dinisbahkan kepada agama, merupakan suatu konsep yang dikonstruksi oleh para cendikiawan, pemikir, dan teolog barat yang dipengaruhi oleh suatu pandangan filsafat khusus untuk menjawab dan memecahkan sebagian masalah-masalah akidah dan keyakinan dan juga untuk memecahkan sebagian dari masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul. Jadi pada dasarnya, pluralisme adalah suatu konsep yang terbangun dalam teologi Kristen. Karena itu, jika kita tidak mengetahui teologi Kristen dan perbedaan yang ada di antara firkah-firkah dalam agama ini, maka kita tidak akan dapat memahami secara benar pluralisme.
Agama-agama yang diterima masyarakat dunia, dari segi rasionalitas prinsip dan landasan mereka dapat dibagi ke dalam dua kelompok:
Pertama: Agama-agama yang prinsip dan dasar utamanya adalah rasional. Yakni pembawa dan muballig agama tersebut menunjukkan prinsip dan dasar utama agamanya dan para pengikut mereka, sampai kadar tertentu dalam wilayah persepsi, mengkonsepsi dan membenarkan prinsip dan dasar agama tersebut. Sebagai misal: Keyakinan terhadap keberadaan (wujud) Allah Swt dan wujud inilah yang sebagai mabda, pencipta, pemilik, pengatur, dan penguasa absolut eksistensi. Dia adalah Mahatahu dan Mahakuasa serta di tangan-Nyalah pengaturan alam semesta dan manusia.
Manusia, setelah menempuh kehidupan dunia ini akan memasuki babak lain dari kehidupan yang disebut kehidupan ukhrawi. Bagaimana corak dan warna kehidupan ini -dari segi kebahagiaan dan penderitaan- ditentukan oleh hasil amal perbuatan mereka dalam kehidupan dunia. Prinsip dan dasar ini, semuanya memiliki landasan rasional, yakni alat dan sistem persepsi manusia mampu mengkonsepsi dan menghukumi mereka. Misalnya akidah tentang mabda alam semesta ini bersandarkan kepada prinsip dan hukum kausalitas, dimana konsepsi tentang kaidah ini bahkan akal yang sederhanapun dan bahkan dalam masalah ini bahkan sebagian dari hewan-hewan juga mempersepsinya. Bahwa setiap maujud dan fenomena merupakan hasil dari keseluruhan faktor-faktor dan sebab-sebab, ini adalah suatu perkara badihi (aksiomatis), disaksikan, dan dialami dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, agama-agama yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip ini akan mendapatkan pengakuan rasionalitas, dengan kata lain mendapatkan bagian dan saham pembenaran dan penerimaan akal.
Penerimaan prinsip-prinsip di atas, pada dasarnya dapat dalam bentuk murni analisa akal tanpa butuh kepada perantara lain seperti perasaan, iradah, atau pemisahan wilayah akal dan iman. Akan tetapi dalam teologi Nasrani terdapat bentuk penerimaan prinsip-prinsip tersebut dengan perantara pemisahan wilayah akal (penerimaan dengan argumen rasional) dan wilayah iman (penerimaan dengan murni iman).
Kedua: Agama-agama yang prinsip dan dasar utamanya adalah non-rasional. Maksud kami dari non-rasional atau tidak rasional adalah suatu qadiyyah (proposisi) sedemikian hingga akal manusia tidak mampu menemukannya dan tidak dapat menampungnya. Atau proposisi tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip yang berkuasa secara hukum rasional dalam akal manusia, sehingga natijahnya tidak dapat diterima dan dibenarkan oleh akal kita. Seperti bentuk ungkapan pengikut Nasrani, Isa Masih mempunyai sisi ketuhanan dan juga sisi kemanusiaan (manusia biasa) dan Tuhan adalah satu dzat yang terdiri tiga oknum; bapak, anak, dan ruhul qudus.
Agama-agama dan maktab-maktab seperti maktab Hindu, Budha, dan juga teologi Kristen tidak bisa terhindar dari pilar agama yang non-rasional dan bertolak belakang dengan makrifat. Oleh karena itu, di antara teolog Kristen terdapat orang-orang yang menolak rasionalitas dalam agama sampai batas ekstrim, dimana mereka memutus sama sekali akar pemakaian akal (rasionalitas) dalam masalah haqqaniyyat (kebenaran) agama. Pluralisme agama dalam hal ini merupakan satu bentuk doktrin tentang penjauhan agama dari analisa akal, bahkan bisa dikatakan suatu bentuk permusuhan dengan akal sebagai antitesa dari rasionalisme Decartian.
Richard Swinburne memandang bahwa pembelaan agama secara rasional tidak diperlukan. Swidler, mengambil kadar cakupan kebenaran sedemikian luasnya, sehingga tidak hanya meliputi seluruh agama-agama dari agama tauhid (monoteisme), politeisme, dan penyembahan berhala, bahkan juga memuat maktab-maktab non-agama seprti komunisme ateis. William P. Alston memandang bahwa penalaran yang digunakan untuk memecahkan perbedaan-perbedaan teoritis agama secara keseluruhan adalah tidak mungkin dan memandang ke-posibelan kebenaran pengalaman-pengalaman keagamaan yang saling bertentangan.
Immanuel Kant (1729-1809) menakwilkan bahwa teologi Kristen serupa dengan proposisi-proposisi yang berfaedah. Dia memisahkan antara nomen (hakikat sesuatu) dan phenomen (penampakan sesuatu), serta memandang bahwa terdapat jurang pemisah yang dalam antara pengetahuan dan realitas. Pandangannya ini kemudian menyebabkan pemisahan agama dengan pengetahuan agama, serta menafikan parameter kebenaran dan kesalahan dari proposisi-proposisi agama.
Ludwig Wittgenstein (1889-1951 M), dalam pertengahan abad 20, memandang bahwa keseluruhan akidah dan proposisi-proposisi teologis merupakan aplikasi bahasa dalam dimensi penampakan kebersamaan dalam gambaran kehidupan agama dan sama sekali tidak mempunyai validitas rasional serta tidak dapat meluaskan lingkup kemestiaan teorisnya. Karl Barth (1886-1968 M), membedakan secara makrifat antara hakikat-hakikat ketuhanan dengan pembahasan-pembahasan lainnya dan memandang bahwa segala sesuatu bergantung kepada inayah (Tuhan), karena itu, segala usaha ilmu dan pengetahuan manusia tidak akan memperoleh hasil.
Semua ini merupakan penggalan-penggalan pemikiran yang terpisah-pisah yang menjadi cikal bakal pertentangan epistemologis dalam bab agama, akhlak, dan teologi keagamaan. Di mana salah satu dari konklusi logis dari pertentangan epistemologis tersebut adalah penegasian kebenaran dari semua agama-agama.
Dalam atmosfir keberagamaan Kristen, orang-orang akan berhadapan dengan keimanan kepada prinsip dan dasar teologi yang kontra rasionalitas, akan tetapi pada saat yang sama mereka mesti meyakininya. Dalam agama ini, tujuan adalah kelangsungan hidup, bukan pengetahuan dan menurut perkataan Paulus Rasul: Tuhan memilih orang-orang bodoh alam (dunia) sehingga membuat hina (mempermalukan) para penguasa.[3] Semua ini merupakan suatu motif kontra makrifat, padahal pada hakikatnya agama itu sendiri mesti berasaskan makrifat yang benar. Sebagaimana Tuhan berfirman: "Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali supaya menyembah-Ku"[4], di mana sebagian dari mufassir menjelaskan bahwa pengertian kalimat 'supaya menyembah-Ku' adalah 'supaya mengetahui dan memakrifati-Ku'. Dan dalam hadits kudsi terdapat riwayat: Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi… maka Aku menciptakan makhluk agar Aku diketahui, yakni riwayat ini menjelaskan bahwa asas penciptaan itu sendiri adalah makrifat. Oleh karena itu, sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam agama Islam terdapat berbagai ayat-ayat al-Qur'an dan hadits-hadits Maksumin yang menjelaskan bahwa mizan daripada nilai akidah dan amal adalah derajat tafakkur (rasionalitas) seseorang.
Skeptis dalam Keimanan Kristen serta Natijahnya
Dalam agama Kristen (Nasrani, Kristen), keyakinan mesti bertumpu pada kekuatan iman dan apa yang akal katakan tentang hakikat sesuatu, selama ia bertentangan dengan keimanan maka tidak akan diterima. Oleh karena itu, semuanya mesti meyakini kepada proposisi-proposisi yang tidak rasional sebagai prinsip dan dasar utama agama. Bentuk keimanan seperti ini tidak lain bermakna pengakuan secara lisan, kendatipun pada hakikatnya teradapat penolakan dan pengingkaran secara akal dan kalbu. Dan keimanan seperti ini senantiasa disertai dengan keraguan dan skeptis dan seorang penganut Kristen akan selalu berkata: Saya dalam realitas ketidak berimanan, mesti beriman.
Mereka bahkan untuk keimanan yang disertai dengan keraguan seperti ini juga mengutarakan dampak dan natijahnya, di antaranya:
1. Keraguan adalah faktor dan penyebab mendasar iman dan iman yang tidak goyah dengan keraguan bukanlah iman sejati.
2. Keraguan merupakan penampakan kerendahan hati (tawadhu) dan tanpa kerendahan hati ini maka yang ada pamer keimanan agama dan ini adalah suatu bentuk penaklidan keagamaan.
3. Keraguan adalah penyebab toleransi keberagamaan dan tanpa hasrat kepadanya maka tidak mungkin tercipta toleransi keberagamaan. Yakni, karena semua mempunyai keraguan terhadap prinsip dan dasar agamanya dan memberi kemungkinan bahwa agama lain yang hak, maka itu mereka toleran dengan para pengikut agama-agama lain dan mereka akan hidup saling rukun.[5]
Dengan demikian pada abad 20 muncul pembicaraan tentang kerukunan dan toleransi antara umat beragama. Pada awalnya lebih banyak mengarah kepada dimensi akhlak dan masih sedikit perhatian terhadap dasar dan bangunan teoritisnya. Dan pada tingkat penyebaran agama Kristen, senantiasa dipesankan bahwa jangan mengajak pengikut-pengikut agama lain kepada agama Kristen secara paksa.
Faktor-faktor Terbangunnya Pluralisme Sosial
Setelah meluasnya wilayah hubungan antara masyarakat, khususnya setelah peperangan sengit antara agama-agama, mazhab-mazhab, dan firkah-firkah, baik itu perang salib antara kaum Muslimin dengan kaum Nasrani maupun peperangan antara pengikut mazhab-mazhab Kristen satu sama lain, dan dampak-dampak buruk yang ditinggalkan oleh peperangan ini, maka pemikiran ini menguat bahwa mesti agama-agama dan mazhab-mazhab lain secara resmi diterima dan berdamai dengan mereka serta berpikir tentang kemaslahatan masyarakat, karena itu mesti dibangun kesesuaian di antara mazhab-mazhab dan maktab-maktab yang bermacam-macam.
Di samping itu, sistem kapitalis, setelah mendistorsi akal teoritis dan praktis dan setelah mengenyampingkan tradisi-tradisi keagamaan, dengan bersandarkan kepada akal sebagai alat; yakni menggunakan teknologi dan birokrasi ke arah kekuatan duniawi, maka tidak ada jalan lain masyarakat terpaksa menerima globalisasi dunia. Sistem ini menuntut hubungan, informasi, dan komunikasi yang demikian luas serta meliputi. Dan sebagai natijahnya, ikatan-ikatan, tradisi-tradisi keagamaan, dan budaya-budaya lokal tidak mampu membendung serangan kekuatan besar yang menggelobal dan mendunia ini. Dalam kondisi inilah wacana pluralisme sosial menjadi bahan perbincangan dan sebagai alternatif pemecahan masalah sosial .
Pluralisme Agama Dalam Dunia Kristen
Poin penting pluralisme agama dalam dunia Kristen -liberal- adalah masalah doktrin keselamatan (salvation). Dari sudut pandang gereja, Hadhrat Masih (Isa As) merupakan satu-satunya jalan keselamatan dan jalan yang menyampaikan ke surga. Menurut kaum Kristen Protestan, keselamatan ini hanya diperoleh dari jalan iman. Dalam teologi liberal-Protestan, hubungan mukmin dan amal terputus, sebagaimana diyakini oleh mereka bahwa tidak boleh menunjukkan perasaan di atas akidah dan keyakinan; sebab menurut mereka tidak ada sesuatu yang dinamakan akidah hak yang mesti kita persepsi dan yakini dan meninggalkan hal yang menyalahinya. Kaum Protestan menyatakan agama adalah murni suatu perasaan romantik pribadi dan suatu kecenderungan kalbu yang tidak memiliki parameter untuk dihukumi, dikritik, ditolak, atau diterima. Dalam bentuk pendekatan ini, yang menjadi urgen hanyalah kepemilikan iman, bukan subyek iman.
Cara hidup dan cara beramal serta program dan aturan nilai agama-agama, tidak mempunyai nilai penting sampai batas dapat menjadi sumber pertikaian satu sama lain. Dan apa yang menjadi hal dipertanyakan tentang nasib orang-orang lain (di luar pengikut agama Kristen), dengan konsep pluralisme agama, ke-penghuni-an neraka mereka (para pengikut agama-agama lain selain pengikut agama Kristen) dengan berbagai dalil dan kecenderungannya, menjadi hal yang teringkari dan ternafikan.
Lain lagi halnya dalam gereja Katolik, keselamatan dan masuk surga bagi seseorang hanya dapat diperoleh dengan pelaksanaan upacara khusus. Dalam abad pertengahan, kaum Katolik berkeyakinan bahwa hanya orang yang sudah mandi baptis (dibaptis oleh gereja) yang bisa masuk surga. Menurut mereka, bahkan Nabi Musa As dan Nabi Ibrahim As bukanlah ahli surga, kendati mereka ini sangat dihormati oleh gereja. Mereka ini berada dalam sebuah tempat yang bernama Limpo. Tempat ini berada di antara surga dan neraka dan di sana tidak terdapat kelezatan dan penderitaan. Mereka ini dan orang-orang yang tidak terbaptis tetapi tidak melakukan dosa-dosa besar, tertunda masuk surga dan tinggal di sana sampai Hadhrat Isa As membawa mereka masuk surga pada hari kiamat.
Kemudian terjadi perubahan dalam pandangan gereja, bahwa untuk mandi baptis tidak mesti air disiram di atas kepala, akan tetapi terkadang dengan cara lain juga sudah mencukupi.
Toleran dalam perkara agama dari sisi kaum Katolik sampai pada batas disebutnya sebagai 'Kristen tanpa nama' para pengikut agama-agama bukan Kristen dan menyatakan secara jelas, para pengikut agama lain yang mempunyai kehidupan baik dan bersih, mereka adalah kaum Kristen; kendatipun mereka ini tidak menerima pengajaran dan doktrin Kristen. Natijah ini merupakan hasil penjelasan Konvensi Vatikan II (1962-1965 M). Kemudian salah seorang dari teolog Katolik pada abad 20 bernama Karl Rahner, mengungkapkan bahwa kita mesti memandang sekelompok masyarakat dan agama-agama yang bukan suatu mazhab sebagai orang-orang Kristen. Misalnya jika seorang Muslim, mempunyai kehidupan baik (maksudnya baik dalam amal perbuatan), dia hidup jujur dan bersih, dia juga tidak melakukan perbuatan yang menyalahi ajaran-ajaran Kristen, kita dan Tuhan memandang dia sebagai orang Kristen kendatipun dia tidak melakukan pembaptisan.
John Hick (1922-1982 M), seorang uskup dari sekte Presbyterians yang terdapat di Inggris, mempunyai pengalaman mengajar beberapa tahun di Amerika Serikat dan juga pensiun di sana. Sebelumnya ia di Inggris bagian Timur (Birmingham) banyak bergaul dan bekerja sama dengan orang-orang yang bukan pengikut Kristen seperti orang Islam, Hindu, dan Yahudi. Hubungan dan kerjasama tersebut melahirkan suatu pandangan baru tentang agama-agama dan mazhab-mazhab baginya.
John Hick, sebelum membangun teori pluralisme agama, sebelumnya melakukan kritik terhadap ajaran Kristen tentang pembaptisan, pengaruh gereja memberi keselamatan pada jamaah, dan keyakinan-keyakinan Kristen lainnya. Dan yang paling penting serta paling sentral dari kritiknya adalah keyakinan menitisnya (hulul) Tuhan (tajassud uluhiyyat) pada diri Nabi Isa As. John Hick berkata: " Saya sampai pada kesimpulan bahwa bentuk keyakinan terhadap hulul atau tajassud lahut pada nasut, yakni hulul-nya Tuhan pada diri Isa Masih As, sebagai suatu bentuk metaphor, majazi, dan atau legenda, bukan sebagai suatu proposisi berbentuk satu hakikat murni".[6]
Oleh karena itu, toleransi dalam masalah agama yang dilakukan oleh gereja Katolik sampai batas memandang pengikut agama-agama lain yang dalam kehidupannya bersih dan berakhlak baik, meskipun mereka tidak menerima doktrin dan ajaran Kristen, mereka dianggap sebagai orang-orang Kristen tanpa nama, masih dipandang tidak cukup oleh John Hick, sebab pandangan ini masih menjadikan agama Kristen sebagai tolok ukur dan parameter penerimaan agama-agama dan keselamatan seseorang. Berasaskan tinjauan ini dia mengungkapkan suatu pandangan tentang kebenaran dan keselamatan semua agama-agama dan pangikut mereka sebagai pluralisme agama-agama.
John Hick meletakkan dasar pluralisme agamanya berdasarkan masalah tasybih (penyerupaan), memisahkan pengalaman keagamaan dari penakbiran keagamaan, dan pembicaraan masalah pemahaman mufassir sebagai kesanggupan manusia dalam mengungkapkan kandungan pengalamannya.
Akan tetapi yang perlu diperhatikan, pluralisme agama, hakikatnya secara epistemologis sangat berkaitan dengan penafian dan penegasian makrifat sesuai dengan realitas', karena itu kaum pluralis mempunyai masalah dalam asli makrifat. Pada dasarnya semua orang mengakui bahwa kita tidak akan pernah sampai pada makrifat kunh dzat aqdas Tuhan, sebagaimana Dia Allah Swt, tetapi pembicaraan tidak pada tataran ini, pembicaraan berkenaan dengan batas minimum makrifat, dan kadar makrifat terhadap Allah Swt dalam konteks ini adalah tidak mustahil.
Epistemologi Pluralisme John Hick
Epistemologi pluralisme John Hick memiliki bangunan empirisis dan berdasarkan atas penafian kemungkinan 'pengetahuan sesuai dengan realitas' khususnya dalam konsep agama, karena itu meniscayakan skeptisisme dalam permasalahan agama-agama.
Pandangan ini dipengaruhi oleh romantisisme Schleiermacher (agama merupakan hasil perasaan pribadi dan tidak mempunyai kandungan makrifat), dan pemisahan nomen dan phenomen Immanuel Kant (pintu makrifat tertutup kepada realitas), relativisme pengetahuan, kesetaraan argumen, dan sebagai natijah akhir dari ini, di antaranya:
Pertama: Tidak boleh menegaskan sesuatu sebagai akidah dan keyakinan hak, sebab ini memestikan pembatilan orang-orang lain. Berasaskan tinjauan ini, dasar dan prinsip keyakinan dan makrifat agama-agama (termasuk agama Islam), paling maksimal dalam batas anutan yang tidak didasari oleh aspek keilmiahan, sehingga tidak satupun dari mereka dapat ditetapkan atau dibatilkan. Dan semua agama-agama serta mazhab-mazhab berposisi sama dan mesti semuanya diterima secara resmi.
Kedua: Agama (syariat), yakni dalam hal ini termasuk hukum-hukum fiqhi Islam, juga menjadi penghalang pluralisme agama-agama. Karena itu, tugas praktis ibadah, manasik, dan hukum-hukum fiqhi tidak boleh dipandang sebagai bagian prinsipil dari keberagamaan.
Ketiga: Akhlak juga mempunyai parameter yang berbeda-beda dan dalam banyak hal tidak dapat dihukumi ajaran akhlak mana yang sahih dan ajaran akhlak mana yang tidak sahih. Oleh karena itu, di samping dalam prinsip akidah dan hukum-hukum fiqih, dalam akhlak juga mesti diterima sejenis relativisme.[7]
Dalam bentuk tinjauan ini, yang penting hanyalah kepemilikan iman, bukan subyek iman. Aturan-aturan hidup dan cara beramal serta program dan jadwal agama, tidaklah bernilai sampai batas dapat menjadi sumber pertentangan di antara pengikut masing-masing dari setiap agama. Dengan demikian, tidak satupun agama yang menghitung batil agama-agama lainnya dan seluruh agama-agama akan hidup rukun satu sama lain.
Konsekuensi Logis Pluralisme Agama
Pendistorsian nilai wahyu sampai batas memandangnya sebagai suatu hasil pengalaman psikologis seseorang, penyebab terhapusnya kandungan makrifat dari agama (khususnya dalam ruang lingkup metafisika). Di samping itu, dikesampingkannya syariat amali dari substansi agama dan terpisahkannya agama bahkan dari akhlak, dan sebagai natijahnya kesamaan agama-agama dan semua akidah serta ketidakmungkinan terhukumi mereka (ditetapkan dan dibatilkan), pada dasarnya telah menciptakan suatu bentuk keberagamaan yang minus dari akidah, hukum, dan akhlak yang merupakan konsekuensi logis dari pluralisme agama.
Motif-motif demikian ini, sejak dari zaman dahulu hingga sekarang, dalam berbagai bentuknya seperti penisbahan penyair, penyihir, dan gila kepada para nabi As, wahyu yang dibawa oleh mereka juga mengalami hal yang sama dengan pendefinisian mereka sebagai pengalaman psikologis dan pengalaman internal.
Oleh karena itu, mereka ini kemudian memperkenalkan kenabian sebagai gabungan dari bahasa syair, produk sihir, dan pengalaman psikologis yang bernuansa kegilaan. Dan mereka memandang para nabi As paling maksimal sebagai repormer kemanusiaan yang memiliki kharismatik kepemimpinan, bukan utusan dan rasul Tuhan. Demikianlah dampak-dampak tinjauan pluralisme agama terhadap para nabi As, wahyu, dan kenabian, yang merupakan suatu bentuk pendistorsian dan pendegradasian realitas dan sejarah.
Selanjutnya pembahasan masalah pluralisme agama ini akan dibahas dalam tulisan-tulisan berikutnya dengan menyertakan landasan filosofis, epistemologis, dan teologisnya serta kritikan dan isykalan terhadapnya.
Catatan Kaki:
[1] . Oxford Advanced Learner Dictionary, p. 1062.
[2] . Hasan Kamran, Takatsur Adyân dar Buteh-e Naqd, Hal. 41-42.
[3]. Resâleh Paulus Rasul beh Qarantiyân, Bab awal, Hal. 37.
[4] . Q.S. az-Zariyât [51]: 56.
[5] . Hasan Kamran, Takatsur Adyân dar Buteh-e Naqd, Hal. 46.
[6] . Mudhu wa Bahts Darbâr-e Pluralisme Dini, Hal. 32.
[7] . Hasan Kamran, Takatsur Adyân dar Buteh-e Naqd, Hal. 50.
Manusia antara Humanisme Materialis dan Agamis
Melacak asal-usul manusia menjadi landasan pokok setiap pandangan dunia. Setiap diskusi tentang bagaimana manusia harus hidup membawa kita kembali pada masalah asal-usul manusia. Jawaban yang diberikan ilmu ataupun agama mengenai masalah ini saling bertentangan, sebagaimana yang juga terjadi dengan masalah-masalah lain.
Ilmu memandang asal-usul manusia sebagai akibat dari suatu proses panjang evolusi dari bentuk kehidupan rendah di mana tidak ada perbedaan jelas antara hewan dan manusia. Anggapan ilmu bahwa seseorang adalah manusia ditentukan oleh fakta-fakta material eksternal; berjalan tegak, membuat alat, atau berbicara. Di sini manusia adalah anak alam dan terus demikian adanya. Soal manusia merupakan produk evolusi ataukah "diciptakan" mengarah kepada pertanyaan selanjutnya: siapakah manusia itu? Apakah ia merupakan bagian dari dunia atau sesuatu yang berbeda dari dunia?
Kaum materialisme mempertahankan pendapat bahwa manusia adalah "hewan yang sempurna". Perbedaan antara manusia dan hewan terletak pada tingkatnya, bukan pada kualitasnya. Tidak ada esensi manusia yang spesifik.[1] Hanya ada "konsep histories dan konsep sosial tentang manusia" dan "sejarah yang nyata hanyalah sejarah ekonomi dan sejarah sosial"[2] Manusia adalah sebuah system seperti juga alam, dan tersubordinasikan kepada hukum-hukum alam umum yang tak terelakan. "Manusia adalah produk lingkungan dan pekerjaannya," ujar F. Engels. "Tangan menyebabkan dan mendorong terjadinya perkembangan kehidupan psikologi, penemuan bahasa menandai berakhirnya fase sejarah zoologis dan dimulainya sejarah manusia, demikianlah materialisme, mengurai manusia."[3]
Gagasan ini tampaknya meyakinkan. Tapi juda pada saat yang bersamaan hampir jelas bahwa itu adalah penolakan radikal atas manusia.
Darwin mengambil gambaran manusia yang inpersonal ini dan mendeskripsikan pendakian yang dilakukan manusia melalui nature selection hingga mencapai taraf manusia yang berbicara, membuat alat, dan berjalan tegak. Biologi melengkapi gambaran ini dengan memperlihatkan bahwa segala sesuatu bisa ditelusuri hingga ke bentuk kehidupan awal yang pada gilirannya adalah suatu proses kimia-fisika, suatu permainan konfigurasi molekul-molekul. Hidup, kata hati (perasaan), dan jiwa tidak ada, dan konsekuensinya esensi manusia juga tidak ada.
MANUSIA MATERIALISME
Berjuang untuk meraih kenikmatan dan menghindari kepedihan. Dengan dua kalimat padat inilah, dua pemikir besar materialisme, Epicurus di masa lampau dan Holback di masa modern ini, menjelaskan prinsip-prinsip dasar kehidupan, bukan hanya kehidupan manusia tapi juga kehidupan binatang.
Materialisme selalu menekankan pada hal yang serupa yang terdapat dalam diri manusia maupun binatang, sementara agama menekankan pada hal yang lain. Makna dari beberapa jenis sesembahan dan larangan-larangan yang terdapat dalam agama hanya dipandang sebagai hal-hal yang menggaris wawahi perbedaan ini.
Dalam usahanya untuk menekankan ciri kebinatangan dalam diri manusia, materialisme kadangkala menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekedar perhatian umum terhadap kebenaran. Darwin tidak menganggap manusia sebagai binatang. Alih-alih, ia membuat manusia waspada akan asal-usul kebinatangannya. Di luar "kewaspadaan" ini, ahli-ahli terus berusaha menarik "kesimpulan layak" baik yang sifatnya moral maupun politis: suatu masyarakat manusia tidak lain adalah suatu gerombolan dalam bentuknya yang beradab, dan peradaban adalah kebangkitan manusia; penolakan terhadap pelbagai larangan, penguasaan atas alam, hidup dengan lebih mengandalkan indera ketimbang ruh, dan seterusnya.
SUBSTANSI KEMANUSIAAN
Dengan memantapkan kesatuan atau kesinambungan antara manusia dengan hewan, evolusi menghapuskan perbedaan antara alam dan kebudayaan. Tapi dengan mengambil titik awal yang berbeda, agama memapaankan kembali perbedaan ini. Oleh karena itulah, semenjak peristiwa penciptaan, manusia -beserta keluruh kebudayaan yang melingkupinya- tak henti-hentinya menentang seluruh perkembangan sejarahnya. Inilah mulainya perbedaan antara kebudayaan dan peradaban.
"manusia adalah hewan yang menolak untuk menjadi demikian," esensi seluruh perilaku keagamaan adalah penolakan ini "perhatikan apa yang dilakukan binatang, dan lakukan hal yang berlawanan: binatang melahap apa saja, maka perpuasalah kamu; binatang kawin tanpa aturan, berpantanglah kami; binatang hidup bergerombol, maka engkau harus mencoba hidup sendiri; dan lain-lain. Denga kata lain, mereka hidup denga badan, maka engkau harus hidup dengan ruhmu.
Penolakan atas posisi zoologis, "keinginan negative" yang tidak dapat diterangkan baik teori-teori Darwin maupun rasional, adalah sebuah fakta krusial yang terdapat dalam kehidupan manusia. Kenyataan ini bisa jadi merupakan kutukan atau rahmat bagi manusia, namun itu hanyalah sebuah kualitas khas yang membuat individu menjadi manusia.
Dalam kenyataannya, kesetaraan dan sekaligus ketidaksamaan absolute antara manusia dan binatang memang benar ada. Kita menemukan adanya konformitas dalam aspek biologis dan konstitusionalm, yakni aspek mekanis. Tapi di sisi lain. Tidak ada kesetaraan dalam esensi; seekor binatang tidak bersalah, tidak menanggung dosa, dan secara moral bersifat netral seperti benda-benda. Sementara manusia tidak pernah demikian dan sejak "binatang mengalami humanisasi," sejak "percakapan di pintu surga," atau sejak "kejatuhannya ke bumi" yang terkenal itu, manusia tidak dapat memilih untuk menjadi binatang yang tidak bersalah, manusia "dibebaskan tanpa mempunyai pilihan untuk kembali." Maka setiap solusi Fredian dikesampingkan. Sejak saat itu, ia tidak dapat memilih menjadi seekor binatang atau seorang manusia; ia hanya dapat menjadi manusia atau non-manusia.
Jika manusia hanya merupakan binatang yang paling sempurna, maka hidupnya akan sederhana dan tanpa misteri. Dalam diri manusia bukan hanya kebenaran fundamental, tetapi juga dosa-dosa dan kejahatankita didasarkan pada fakta penciptaan ini. Di sanalah kita menemukan harga diri kita sebagai manusia, perjuangan moral, tragedi-tragedi dan dilema-dilema, ketidakpuasan, kutukan, kekejaman dan kebahagiaan.[4] Binatang tidak mengenal itu semua, dan dalam hal-hal tersebut terletak peristiwa penciptaan-epos.
Masalah penciptaan adalah benar-benar masalah kebebasan manusia. Jika seseorang menerima pernyataan bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dan bahwa semua tindakannya telah ditentukan -baik oleh sesuatu yang berasal dari dalam maupun dari luar dirinya- maka ia akan menganggap bahwa Tuhan tidak dibutuhkan dalampenjelasan dan pemahaman tentang dunia. Jika seseorang memberikan atribut kebebasan kepada manusia, jika ia mengganggap manusia mempunyai beban tanggung jawab, maka ia akan melihat eksistensi Tuhan, baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Hanya Tuhan yang dapat menciptakan mahluk bebas, dan kebebasan hanya timbul dari tindakan penciptaan.
Kebebasan bukanlah akibat atau hasil dari evolusi. Kebebasan dan hasil adalah dua gagasan yang berlainan. Tuhan tidak menghasilkan atau membangun. Ia menciptakan. Kita bisa mengatakan hal serupa kepada seniman, karena seniman yang membangun tidak menciptakan pribadi, kecuali tiruan manusia. Sebuah pribadi tidak dapat dibangun. Bisakah anda bayangkan, bagaimana sebuah potret bisa bermakna tanpa Tuhan. Mungkin, cepat atau lambat, selama abad ini atau setelah sejuta tahun peradaban berlangsung, manusia akan berhasil membuat tiruan dirinya, sejenis robot atau monster, yang sangat mirip dengan pembuatnya.
Robot yang mirip dengan manusia ini mungkin akan sangat mirip dengan manusia, tapi yang pasti, ia tidak akan memiliki kebebasan, dan ia hanya akan sanggup melakukan perintah yang telah dipogramkan untuknya. Di sinilah letaknya kebebasan ciptaan Tuhan yang tidak dapat ditiru atau dibandingkan dengan apapun yang ada sebelum atau sesudah diciptakannya kosmos.
Dalam satu masa keabadian, suatu mahluk bebas mulai ada. Tanpa sentuhan Ilahiah, hasil evolusi tidak akan berbentuk manusia, tapi lebih merupakan binatang yang lebih berkembang, binatang super, suatu mahluk dengan tubuh dan akal manusia tetapi tanpa hati dan kepribadian.
Akan tanpa disertai oleh pertimbangan moral barangkali akan lebih efisien tetapi, pada saat yang bersamaan, lebih kejam. Beberapa orang membayangkan mahluk serupa ini dengan sejenis mahluk yang datang dari planet yang jauh dalam alam semesta ini; sebagian lain memandang sebagai produk peradaban dalam taraf perkembangan yang lebih tinggi. Ada mahluk seperti yang terdapat dalam Faust-nya Goethe. Harus dicatat di sini bahwa tidak ada analogi antara mahluk yang kejam dan acuh tak acuh (homunculus) dengan prilaku criminal yang paling jahat. Manusia bisa memilih untuk bertindak melawan hokum-hukum moral, tetapi sebagai monster ia tidak dapat keluar dari lingkungan moral, melintasi kebaikan dan kejahatan. Manusia tidak dapat "mematikan" dirinya.
Bagaimanapun, manusia itu selalu baik atau buruk, tidak pernah polos, dan inilah yang mungkin menjadi makna puncak dalam kisah-kisah kitab suci mengenai kejatuhan, dosa dan pengampunan. Sejak saat 'pengusirannya' dari Surga, Adam (manusia) tidak dapat melepaskan diri dari kebebasannya dan menjadi sepolos binatang atau malaikat. Ia harus memilih, menggunakan kebebasannya untuk menjadi baik atau menjadi jahat. Singkatnya, menjadi manusia. Kemampuan untuk memilih ini adalah bentuk tertinggi yang mungkin ada dari seluruh eksistensi di alam semesta ini.
PSIKOLOGI DAN JIWA MANUSIA
Manusia mempunyai jiwa, tapi psikologi bukanlah ilmu mengenai jiwa. Tidak akan pernah ada ilmu mengenai jiwa. Psikologi berkaitan dengan beberapa bentuk kehidupan batin. Itulah sebabnya ia dapat berbicara mengenai psiko-fisiologi, psikometri, kesehatan jiwa, dan fisik dari psike. Kemungkinan yang dimiliki psikologi kuantitatif meneguhkan tesis tentang ciri luar, mekanis, dan kuantitatif (yaitu ciri tanpa jiwa) dari pikiran dan perasaan. Psikologi manusia dan hewan mungkin menjadi pelengkap satu sama lain, karena psikologi tidak ada hubungannya dengan jiwa, melainkan dengan manifestasi psikologis. Ini sejalan dengan apa yang ditulis dengan John Watson:
"Psikologi manusia, sebagaimana dipahami dalam behaviorisme, harus dibangun berdasarkan contoh objektif dan [sikologi eksperimental binatang meminjam cara penelaahan, metode, dan tujuannya. Karena itu, tidak ada dua jenis psikologi -manusia dan binatang-yang terpisah oleh tirai besi, tidak mengenal satu sama lain, atau secara mendasar mempunyai objek, metode dan tujuan yang berbeda. Jadi hanya satu psikologi yang mendapat tempat di deretan ilmu-ilmu Alam."[5]
Kutipan ini memerlukan komentar. Jika kita menggunakan istilah dalam Islam, maka kita bisa mengatakan bahwa psikologi adalah ilmu tentang nafs, bukan ilmu tentang ruh. Jadi, merupakan ilmu yang berbeda dalam dataran biologis, bukan personal. Terdapat tiga buah lingkaran: mekanis, biologis dan personal, yang berkaitan dengan tiga tataran realitas; materi, hidup dan kepribadian. Cara berpikir semacan ini mengarah kepada penerapan metode ilmiah, yang selalu mengimplikasikan suatu kausalitas absolute, dan dengan sendirinya hal itu berarti suatu pengingkaran atas kebebasan yang menjadi esensi jiwa. Usaha kita untuk "mempelajari" jiwa membawa kita kepada penolakan atas "subjekstudi". Dan tidak ada jalan kelaur dari lingkaran setan ini.
DIMANAKAH POSISI AGAMA?
Persamaan dan persaudaraan manusia hanya dimungkinkan jika manusia diciptakan oleh Tuhan. Persaudaraan manusia bersifat spiritual, dan bukan fisikal-alamiah atau intelektual. Ia ada sebagai sebuah kualitas moral manusia, sebagai harkat kemanusiaannya, atau sebagai nilai kesetaraan dalam pribadi manusia. Sebaliknya, sebagai makhluk fisikal, mahluk berpikir dan mahluk sosial, sebagai anggota kelompok, kelas dan bangsa manusia sangat tidak sejajar. Jika nilai spiritual manusia tidak dikenali (dan ini adalah karakter keagamaan) maka satu-satunya dasar yang nyata bagi persamaan manusia akan hilang.
Kesejajaran, karenanya, hanya menjadi sepatah kata yang tidak memiliki dasar ata maknam dan karenanya itu akan segera kehilangan makna begitu dihadapkan dengan bukti-bukti tentang ketidak sejajaran manusia, atau dengan keinginan alamiah manusia untuk memerintah dan menaati, dan karenanya menjadi tidak sejajar. Begitu pendekatan keagamaan digeser, maka ruang kosong yang tersedia akan diisi oleh berbagai berbagai bentuk ketidaksejajaran rasial, nasional, sosial dan politik.
Martabat manusia tidak dapat ditemukan dalam biologi, psikologi atau ilmu-ilmu lainnya. Martabat manusia adalah masalah spiritual. Setelah "pengamatan-pengamatan objektif", maka akan lebih mudah bagi ilmu untuk mengkonfirmasikan ketidaksejajaran yang ada dalam manusia, dan dari sinilah "rasisme ilmiah" menjadi dimungkinkan dan bahkan dianggap masuk akal.
Etika Socrates, Pytagoras dan Seneca tidak lebih rendah dibandingkan etika agama, tetapi bagaimanapun tetap ada perbedaan jelas: hanya etika agama yang diwahyukanlah yang mampu mempostulasikan dengan jelas dan tampa ambiguitas kesejajaran manusia sebagai mahluk Tuhan. Bahkan plato pun menerima bahwa sewajarnyalah manusia itu berbeda. Sebaliknya, batu pertama yang mendasari agama wahyu adalah asal-usulnya yang sama, dan karenanya kesejajaran absolute dari semua manusia. Gagasan ini mengandung dampak fundamental bagi perkembangan spiritual, etis dan sosial yang selanjutnya dari manusia. Jika Tuhan tidak ada, maka jelas manusia tidak bisa diharapkan akan bisa sejajar.
Nietzsche mengklaim bahwa agama telah diperalat oleh mereka yang lemah untuk memperdaya mereka yang kuat. Sementara Marx mempertahankan hal sebaliknya. Jika kita menerima bahwa agama adalah suatu mimpi, maka interpretasi Nietzsche tampaknya lebih meyakinkan, karena hanya dalam agamalah si lemah bisa menuntut kesejajaran. Ilmu dan semua yang lain kecuali agama telah meneguhkan ketidaksejajaran tersebut.
Humanisme bukan kedermawanan, pemberi maaf, atau toleransi, meskipun ini semua bisa merupakan akibat dari humanisme. Humanisme terutama adalah penegasan atas manusia dan kebebasannya; yaitu atas nilainya sebagai manusia. Segala sesuatu yang merendahkan kepribadian manusia yang manjatuhkan hingga sederajat dengan benda-benda, adalah tidak manusiawi. Mereduksi manusia hingga tinggal sebagai produsen atau konsumen, bahkan seandainya tiap manusia diberikan tempat dalam system produksi dan konsumsi dan menganggap hanya itulah yang terbaik, adalah bukan pertanda humanisme,melainkan dehumanisasi. Pendidikan juga bisa menjadi tidak manusiawi; jika pendidikan itu berat sebelah, langsung dan mendoktrin; jika ia tidakmengajarkan seseorang untuk berpikir mandiri, jika ia hanya memberikan jawaban-jawaban yang siap pakai, jika ia hanya menyiapkan orang untuk memenuhi fungsi-fungsi ketimbang memperluas cakrawala.
Tanpa agama dan konsep mengenai perjuangan abadi jiwa, tidak ada kepercayaan otentik tentang manusia sebagai nilai tertinggi. Tanpa itu, tidak ada kepercayaan bahwa manusia memiliki kebebasan dan bahwa ia benar-benar ada. Humanisme ateistik adalah sebuak kontradiksi, karena "jika Tuhan tidak ada, maka manusia juga tidak ada" dan jika manusia tidak ada, maka humanisme hanya sebuah kata tanpa makna. Orang yang tidak mengakui oenciptaan manusia sesungguhnya tidak mengerti makna sejati humanisme. Karena ia telah kehilangan standar dasarnya, maka ia akan selalu mereduksi humanisme sampai pada batas produksi barang-barang dan pendistribusiannya.
"Manusia adalah produk lingkungannya" postulat dasar materialisme ini berlaku sebagai titik awal dari semua teori tak manusiawi yang mengikutinya dalam bidang hokum dan sosiologi, dan dalam berbagai praktik manipulasi manusia, yang dalam zaman kita ini mencapai proporsi yang mengerikan pada masa Nazisme dan Stalinisme, Saddanisme dan Bushisme. Semua teori serupa yang sama menggiurkannya tentang keutamaan masyarakat atas individu, tentang kewajiban manusia untuk mengabdi kepada masyarakat yang dikaburkan, dan seterusnya, juga termasuk di sini.
Manusia tidak boleh mengabdi kepada siapa pun, ia tidak boleh menjadi alat. Segala sesuatu selain manusialah yang harus mengabdi kepada manusia, sedangkan manusia hanya boleh mengabdi kepada Tuhan. Inilah makna hakiki dari humanisme; hakekat hewan yang memanusia!.
Catatan Kaki:
[1] . "Tidak ada garis pemisah antara manusia dan binatang buas" John Watson, Psikologi Nilai, hal. 118
[2] . Eksistensialism or Materialism, G. Lukacs. Lih. Sejarah Filsafat, Magnes suseno, 2/43
[3] . Catatan Pinggir 2, G. Gunawan, hal: 99
[4] . Bandingkan dengan QS. 91: 7-8
[5] . lih. Kutipan Membangun Jalan Tengah, Ali Izegbegovic, Mizan 1992
Agama itu Singular atau Plural?
Apabila yang dimaksud agama adalah sekumpulan akidah, akhlak, aturan-aturan dan hukum praktis yang diturunkan Tuhan dan melalui perantara para nabi disampaikan kepada masyarakat maka agama di sini merupakan perkara yang satu dan perbedaan di antara agama adalah terletak pada aturan-aturan partikulir yang sesuai dengan tipologi seseorang atau suatu kaum mengikut tuntutan ruang dan waktu.
Namun apabila yang dimaksud dengan agama adalah agama-agama yang ada di dunia maka tanpa ragu bahwa terdapat ragam dan aneka agama di dunia hari ini. Pada agama-agama beragam ini kendati sebagian dari hakikatnya dapat disaksikan akan tetapi bentuk sempurna hakikat dan tauhid hakiki hanya dapat disaksikan dan dapat ditemukan dalam Islam.
Untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini nampaknya perlu dijelaskan di sini sebagian terma penting seperti esensi agama, makna-makna atau tingkatan-tingkatan agama, agama hakiki, Islam agama konstan, sebab perbedaan syariat dan mazhab, al-Qur'an dan kitab-kitab samawi.
A. Esensi agama
Makna leksikal (lughawi) agama adalah ketaatan, ketundukan, mengikuti, mentaati, berserah diri dan ganjaran. Akan tetapi makna teknikalnya (istilahi) adalah sekumpulan keyakinan, akhlak, aturan dan hukum untuk menata dan mengatur urusan dan membina masyarakat manusia.
B. Makna-makna agama dalam al-Qur'an
Dalam redaksi-redaksi al-Qur'an agama digunakan dalam dua perkara:
1. Segala jenis keyakinan terhadap kekuatan gaib, apakah ia merupakan keyakinan yang hak atau batil: "Lakum dinukum waliya din." (Bagimu agamamu dan bagiku agamaku)
2. Terkhusus untuk agama-agama Ilahi: "Inna al-Din 'indaLlahi al-Islam." (Sesungguhnya agama di sisi Allah itu adalah Islam)
C. Tingkatan dan derajat agama
Dalam pembahasan ini kita fokuskan perhatian kita pada penggunaan terma kedua agama yang terkhusus pada agama-agama samawi dan memiliki pelbagai tingkatan dan derajat yang berbeda:
1. Agama nafs al-amr: Yaitu agama yang terdapat pada ilmu Tuhan dan kehendak Rabbani untuk membimbing manusia ke arah kebahagiaan ini disebut sebagai agama nafs al-amr.
2. Agama mursal: Yaitu agama yang diturunkan oleh Tuhan untuk membimbing manusia ke arah kebahagiaan melalui perantara para nabi.
Agama nafs al-amr itu satu: Lantaran manusia dengan segala perbedaannya secara lahiriah memiliki substansi yang satu. Agama nafs al-amr ini memberikan perhatian ekstra terhadap substansi yang satu ini.
Agama mursal itu banyak dan berbilang:
Kenyataan faktual sejarah agama-agama, kesaksian historis dan bukti al-Qur'an atas banyaknya agama-agama yang diutus kepada manusia berbanding sama dengan bilangan para rasul Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan rasul di sini adalah nabi yang memiliki syariat dan bertugas untuk menyampaikan syariat tersebut kepada manusia.[i]
D. Agama hakiki
Agama yang fungsi dan tujuannya untuk menata urusan masyarakat dan membina manusia, yang selaras pelbagai aturan dan hukumnya dengan kebutuhan ril masyarakat serta sesuai dengan perubahan-perubahan masyarakat dan juga sejalan dengan fitrah dan substansi manusia merupakan kriteria dan teraju kebenaran agama tersebut. Agama semacam ini diturunkan oleh Sosok yang menciptakan manusia dan semesta, memberikan jalinan hubungan antara manusia dan semesta, mahamengetahui dan mampu memberikan petunjuk dan memimpin manusia. Dengan pendahuluan sedemikian maka menjadi maklum bahwa agama yang benar adalah agama yang akidah, akhlak, aturan-aturan dan hukum-hukumnya diturunkan dari sisi Tuhan. Adapun agama yang batil adalah agama yang diatur dan ditata oleh selain Tuhan.[ii]
E. Islam agama konstan
Dalam al-Qur'an, agama yang disebut sebagai agama Ilahi adalah Islam. Al-Qur'an menyuguhkan beberapa argumen terkait dengan konstan dan permanennya agama Ilahi ini. Argumen (burhan) pertama yang disuguhkan al-Qur'an untuk menetapkan konstannya agama (Islam) bersandar pada sumber kepelakuan agama. Argumen ini dapat dicapai dengan menyertakan dua ayat al-Qur'an. Ayat pertama terdapat pada surah Ali Imran yang menyebutkan bahwa: "Inna al-Din 'indaLlahi al-Islam." (Sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam); artinya ketundukan dan kepatuhan di hadapan kebenaran sebagai satu-satunya agama yang diterima di sisi Allah Swt. Ayat kedua pada surah al-Nahl (16) yang menegaskan bahwa: "Maa 'indakum yanfad wama 'Indakum baqi." (apa yang ada di sisimu akan binasa dan apa yang ada di sisi Allah akan langgeng) Argumen yang dapat disuguhkan dari dua ayat ini kesimpulannya adalah bahwa Islam (ketundukan dan kepasrahan) di sisi Allah dan apa yang ada di sisi Allah adalah langgeng dan sentosa. Maka Islam adalah agama yang langgeng dan sentosa. Argumen kedua bersandar pada fitrah manusia yang merupakan sumber penerimaan agama. Artinya bahwa Islam diturunkan untuk membina dan membuat kusuma fitrah manusia bersemi dan fitrah manusia merupakan perkara yang konstan dan tidak akan pernah berubah. Karena itu, agama yang dikemas untuk membina fitrah manusia akan bersifat konstan dan seiring sejalan dengan fitrah manusia yang juga bersifat konstan dan tidak berubah-ubah.
Al-Qur'an terkait dengan hal ini menyebutkan: "Faaqim wajhakum liddini hanifan fitrahtalLahillati fatharan nasa 'alaiha laa tabdilaa lii khalqiLlah." (Hadapkanlah wajahmu pada agama yang lurus demikianlah fitrah Ilahi yang untuknya manusia diciptakan dan dalam penciptaan Tuhan tidak terjadi perubahan). (Qs. Al-Rum [30]:30)
Allah Swt berfirman terkait dengan agama yang satu yang diwasiatkan seluruh nabi ululazmi dan menjadi kesepakatan seluruh syariat Ilahi, "Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah Dia wasiatkan kepada Nuh. Apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa adalah tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada orang yang kembali kepada-Nya." (Qs. Al-Syura [42]:13)[iii]
F. Perbedaan syariat dan mazhab
Konklusi konstannya dan satunya agama Ilahi adalah bukan terletak pada perbedaan atas pokok agama yaitu Islam. Namun terletak pada syariat-syariat dan mazhab-mazhab. Karena pokok agama adalah sejatijnya terletak pada masalah tauhid, wahyu, risalah, kemaksuman ('ishmah), imamah (imamah), keadilan (adalah), barzakh, kiamat dan yang semisal dengan hal-hal ini. Masalah ini merupakan garis-garis universal yang harus ditegakkan manusia berdasarkan pada fitrah dan nurani Ilahianya dimana tujuan dan gerakannya diarahkan berjalan di atas garis-garis tersebut. Akan tetapi perintah-perintah partikulir dan cabang-cabang praktis mengalami perubahan mengikut pada tuntutan ruang dan waktu yang sejalan dengan dimensi-dimensi natural dan material manusia serta tipologi seseorang (personal) dan suatu kaum (tribal).
Dalam al-Qur'an ketika poros ajakan dan seruannya itu adalah pokok agama atau garis-garis universalnya maka yang mengemuka adalah pembenaran para nabi atas nabi yang lainnya. "Mushaddiqân limâ baina yadaih minal kitâb wa muhaiminan 'alaih." Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, sedang kitab ini membenarkan dan menjaga kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya. " (Qs. Al-Maidah [5]:48)
Namun yang berkenaan dengan masalah-masalah partikulir dan cabang maka yang mengemuka adalah masalah banyaknya, perubahan (tabdil), penafsiran dan penganuliran (nasakh). "Likulli ja'alnâ minkum syir'atan wa minhaja." Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. (Qs. Al-Maidah [5]:48)
Ragam syariat dan jalan bercabang atau resep yang berbeda-beda adalah sesuai dengan potensi setiap umat dan sejalan dengan derajat dan kedudukan para nabi mereka. Banyaknya model syariat atau ragam tampilan parasnya semuanya adalah satu hakikat yang menjelma pada lintasan masa dan waktu dari satu dengan yang lain. Atau dengan ungkapan yang lebih tepat sesuai dan sejalan dengan tingkat pemahaman dan pencerapan masyarakat pada garis-garis universal tersebut.
Lantaran wahyu Ilahi memiliki tali yang satu dimana salah satu dari ujung tali tersebut berada di tangan manusia dan tali yang lainnya di tangan Tuhan. Meski manusia lebih jauh melintas jalan ini dan mampu mencapai pemahaman yang lebih tinggi namun tanpa menafikan pemahaman yang rendah atau pemahaman yang rendah menjadi hijab atau penghalang bagi pemahaman yang lebih tinggi.
Inilah tali yang dititahkan Allah kepada manusia supaya berpegang teguh kepadanya. "Wa'tashimu bihabliLlahi jami'an walaa tafarraqu." (Berpegang teguhlah kalian pada tali Allah dan janganlah bercerai-berai, Qs. Ali Imran [3]:103) Tingkatan tali Ilahi ini bermula semenjak dari lafaz-lafaz dan huruf-huruf yang digunakan oleh manusia berlanjut terus hingga derajat "Danâ fatadallâ fakana qaba qausain aw adnâ." (Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah dia dekat [pada Muhammad sejarak] dua ujung busur panah atau lebih dekat [lagi], Qs. Al-Najm [53]:8-9)
Dengan demikian, kapan saja manusia paling paripurna, yang merupakan penutup para nabi dengan kehadirannya, mencapai makam dan derajat ini maka perubahan, penafsiran, pergantian atau penganuliran syariat-syariat yang merupakan lintasan derajat-derajat ini akan berakhir. Dan dengan penyampaian syariat nabi ini maka turunlah firman pamungkas Ilahi, "Alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu 'alaikum ni'mati wa radhitu lakum al-Islâm dina." (Hari ini telah Aku sempurnakan agamamu bagimu dan telah Kucukupkan nikmat-Ku atasmu dan Aku ridha Islam sebagai agamamu, Qs. al-Maidah [5]:3)."[iv]
G. Al-Qur'an dan kitab-kitab Samawi
Pembenaran al-Qur'an atas kitab-kitab para nabi lainnya disertai dengan keunggulan dan penjagaan al-Qur'an atas kitab-kitab tersebut merupakan sebesar-besarnya persembahan terhadap kitab-kitab tersebut dari sisi al-Qur'an. Juris kawakan Syiah, Kasyiful Githa terkait dengan masalah ini berkata, "Apabila tiada Rasulullah Saw dan al-Qur'an maka sekali-kali nama Kristen dan Yahudi tidak akan pernah tersisa.[v] Betapa tidak, karena Taurat dan Injil telah mengalami distorsi dan penyimpangan yang mencirikan Tuhan persis sebagaimana sosok Ya'qub As, dan memperkenalkan para nabi sebagai pemabuk dan wanita-wanita suci mereka tuding sebagai pezina. Tentu saja agama yang memiliki kitab-kitab semacam ini sekali-kali tidak akan pernah bertahan dan langgeng.
Al-Qur'an senantiasa dengan menyebarkan ajaran tauhid menjaga dan melindungi seluruh nabi dari segala macam tudingan seperti ini. Al-Qur'an memuji Nabi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya. Al-Qur'an mencirikan Maryam Azara Sa sebagai wanita suci dan bertutur kata indah tentangnya, "InnaLlâha isthafaki wa tahhirki wastafaki 'ala nisaa al-'Alamin. (Sesungguhnya Allah telah memilihmu berdasarkan substansi jiwamu dan mensucikanmu dan mengutamakanmu atas wanita seantero alam." (Qs. Ali Imran [3]:42).[vi] [Islam Quest]
Catatan Kaki:
[i]. Untuk telaah lebih jauh dan mengetahui ihwal tingkatan-tingkatan agama silahkan Anda lihat: Mabani Kalami Ijtihad, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 383-389.
[ii]. Abdullah Jawadi Amuli, Syariat dar Aine Ma'rifat, hal. 111 dan 112.
[iii]. Ibid, hal. 118-120.
[iv]. Ibid.
[v]. Kasyf al-Githa, Kitâb al-Jihâd, hal. 391.
[vi]. Abdullah Jawadi Amuli, Syariat dar Aine Ma'rifat, hal. 122-123.
(Wisdoms-4-All/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email