Pesan Rahbar

Home » » Penggalan Adzan Yang Dihapus Sang Khalifah: “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” Menjadi “Hayya ‘alal falah”

Penggalan Adzan Yang Dihapus Sang Khalifah: “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” Menjadi “Hayya ‘alal falah”

Written By Unknown on Tuesday, 6 September 2016 | 17:15:00


Oleh: Ayatullah Ja’far Subhani

Syi’ah telah menambahkan seruan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” di dalam azan, maka apa bukti syariat Islam yang mereka ajukan untuk itu?

“Hayya ‘ala khoiril ‘amal” berarti marilah menunaikan sebaik-baik perbuatan. Seruan ini oleh mazhab Syi’ah “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” dipercaya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari azan dan dikumandangkan dua kali setelah seruan “Hayya ‘alal falah”, dan sebagaimana tersurat di dalam hadis-hadis Ahli Bait as seruan ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari azan. Sementara itu, azan yang dipercaya dan diamalkan oleh Ahli Sunnah tidak mengandung seruan tersebut. Maka perlu sekali diperhatikan, muncul dari manakah perbedaan ini dan bagaimanakah terjadinya proses penghapusan seruan itu dari azan?

Sewajarnya untuk kita cermati bersama bahwa pada masa kepemimpinan khalifah kedua, pola pikir atas dasar maslahat membengkak sampai terkadang mengalahkan hukum Allah Swt yang maktub di dalam Al-Qur’an dan sunnah. Sebagai contoh, pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw, khalifah pertama dan bahkan pada paruh pertama masa kepemimpinan khalifah kedua hukum Islam tentang perceraian menetapkan talak tiga dalam satu pertemuan sebagai satu talak, tapi pada paruh kedua kepemimpinan khalifah kedua ketetapan hukum Islam ini diubah menjadi “talak tiga dalam satu pertemuan adalah tiga talak yang sesungguhnya”. Maka berdasarkan perubahan itu, suami yang menyatakan talak tiga dalam satu pertemuan tidak berhak rujuk kepada istri tertalaknya.[1]

Berikutnya kami akan menjelaskan fakta penghapusan pasal “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” dari azan yang terjadi pada periode kepemimpinan khalifah kedua.

Sejarah azan dan ikamah membuktikan bahwa pada masa lampau “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” termasuk pasal atau bagian yang tak tertolakkan dari azan dan ikamah, para pengumandang azan di zaman Rasulullah Saw dan berapa tahun sepeninggal beliau senantiasa menyerukannya dalam azan dan ikamah. Tapi kemudian karena satu dan dua hal bagian itu dihapuskan.

Sayid Murtadha mengatakan, ‘Ulama Ahli Sunnah sendiri telah meriwayatkan bahwa pada zaman Rasulullah Saw, seruan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” dikurnandangkan sebagai bagian dari azan tapi kemudian kalimat itu dihapus.[2]

Kata Ibnu Arabi di dalam kitab Futuhat, “Di Perang Khandaq, tepatnya ketika para sahabat Nabi Saw sedang sibuk menggali parit dan waktu shalat tiba, ada seseorang yang menyeru mereka dengan seruan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal”. Dari sejak itulah sunnah yang bagus ini berjalan.”[3]

Syarafudin Sayyaghi (1221) di kitab Al-Roudh Al-Nadhir menegaskan, “Hakikat yang sebenamya adalah pasal “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” telah disyariatkan di dalam azan. Lebih dari itu, semua ulama sepakat bahwa di waktu Perang Khandaq pasal ini terrnasuk azan.[4]

Ada tiga mazhab besar Islam yang mengakui pasal “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” sebagai bagian dari azan dan ikamah, yaitu Mazhab Syi’ah Imamiyah, Mazhab Zaidiyah, dan Mazhab Isma’iliyah yang seluruhnya merupakan pengikut Ahli Bait as.[5]

Selanjutnya, marilah kita sama-sama menelaah sebagian hadis dan riwayat tentang rnasalah ini:
Muttaqi Hindi di dalam kitab Kanz Al-‘Ummal meriwayatkan dari Al-Mu’jam karya Thabrani bahwa Bilal senantiasa mengurnandangkan azan subuh seraya menyerukan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal”.[6]

Hafidz Alawi Zaidi (367-445) di dalam karya khususnya yang berjudul Al-Adzan bi “Hayya ‘ala Khoiril ‘Amal” meriwayatkan sebuah hadis secara musnad dari seorang sahabat nabi yang bernarna Abu Mahdzurah bahwa Rasulullah Saw telah mengajarkan azan kepadanya, dimana salah satu bagian dari azan tersebut adalah “Hayya ‘ala khoiril ‘amal”.[7]

Para ahli sejarah pun sepakat bahwa Rasulullah Saw mengajarkan azan kepada Abu Mahdzurah sepulang dari Perang Hunain,[8] sementara perang itu sendiri terjadi pada akhir tahun delapan hijriyah dan setelah Fathu Mekah. Fakta sejarah ini membuktikan bahwa sampai saat itu pun seruan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” masih dikumandangkan sebagai bagian dari azan yang disyariatkan oleh Allah Swt.

Itulah tadi dua contoh hadis yang membuktikan keberadaan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” sebagai bagian yang tak terpisahkan dari azan pada masa Rasulullah Saw. Masih banyak sekali hadis atau riwayat lain yang membuktikan masalah ini, dan tentunya karya singkat ini bukan tempat yang tepat untuk menukil semua itu, tapi bagi pembaca yang ingin mengetahuinya secara lebih detil maka karni sarankan untuk membaca dua karya ilmiah yang meneliti riwayat-riwayat dari para sahabat besar Nabi Muhammad Saw dan tabi’in tentang masalah ini, yaitu Al-Adzan bi “Hayya ‘ala Khoiril ‘Amal” karya Hafidz Alawi Zaidi (445- 472) dan Al-l’tisham bi Hablillah karya Imam Qasim bin Muhammad Zaidi (1029 M).

Berdasarkan keterangan di atas, pokok keberadaan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” sebagai bagian dari syariat azan tidak sewajamya untuk diragukan. Sebaliknya, orang-orang yang menghapuskan pasal”Hayya ‘ala khoiril ‘amal” dari syariat azan harus menjelaskan alasan mereka. Tapi sayang, fakta membuktikan bahwa penghapusan itu tidak berlandasan apa-apa kecuali pola pikir personal atas dasar maslahat menurut dia sendiri.

Hafidz Alawi di dalam kitab Al-Adzan bi “Hayya ‘ala Khoiril ‘Amal” meriwayatkan secara musnad dari Hasan bin Yahya bin Husain bin Zaid bin Ali bahwa keluarga atau Ahli Bait Rasulullah Saw sepakat akan keberadaan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” sebagai bagian dari azan, bahkan pada masa kepemimpinan khalifah pertama bagian itu masih tetap dikumandangkan dalam azan, tapi setelah itu khalifah kedua di masa pemerintahannya mengucapkan, “Tinggalkanlah seruan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” agar orang-orang tidak lari dari jihad dengan alasan sibuk shalat.” Dengan demikian, dialah orang pertama yang meninggalkan syariat azan dengan bagian “Hayya ‘ala khoiril ‘amal”.[9]

Peneliti masyhur bemama Sa’dudin Taftazani (712-779) di dalam kitab Syarb. Al-Maqoshid, begitu pula ahli kalam Asy’ari bernama Ala’udin Qusyaji (879), mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Khathab menekankan tiga hal seraya berseru, “Ada tiga hal yang sah (boleh atau wajib) pada zaman Rasulullah Saw tapi aku melarangnya, bahkan aku jatuhi hukuman bagi siapa saja yang melakukannya. Tiga hal tersebut adalah: kawin mut’ah, haji tamattu’, dan pengumandangan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” dalam azan.”[10]

Pola pikir personal khalifah berdasarkan sesuatu yang menurut dirinya sendiri adalah maslahat -sebagaimana tersebut di atas- jelas merupakan ijtihad yang melawan nas (dalil syariat yang pasti; baik dari sisi sumber maupun maknanya), pola pikir personal seperti ini tidak mungkin bisa menjadi asas atau bukti bagi orang lain, bahkan untuk dirinya sendiri juga hal itu masih patut dipertanyakan kebenarannya. Dan bagi generasi muslim setelah dia yang mengetahui fakta sejarah ini, seyogianya mereka mengutamakan sunnah Rasulullah Saw daripada bid’ah yang muncul sepeninggal beliau, lebih lagi ketika tolok ukur yang digunakan dalam pembid’ahan itu telah berubah dan Muslimin tidak dalam keadaan genting jihad militer melawan kaum Kafir atau Musyrik.

Pengukuhan bid’ah bukan perbuatan yang mudah, itulah sebabnya banyak sahabat dan tokoh muslim yang menentang larangan tersebut dan tetap mengumandangkan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” di dalam azan mereka.
Burhanudin Halabi (975-1044 H) di dalam karya sejarahnya menuliskan, “Dalam azan, Abdullah bin Umar dan Ali bin Husain selalu mengumandangkan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” setelah “Hayya ‘alal falah”[11]

Dan mengingat bahwa sejak larangan khalifah kedua pengumandangan pasal ini dipandang sebagai pembangkangan, maka sepanjang sejarah kita menyaksikan adanya dua pihak pendukung dan penentang larangan tersebut.

Setelah kemenangan intifadah keluarga Hasani dan pengikut mereka, Husain bin Ali bin Hasan menjadi pemimpin kota Madinah, dan ketika itu Abdullah bin Hasan Afthas naik ke menara kuburan Nabi Muhammad Saw seraya memerintahkan si pengumandang azan untuk mengucapkan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” di setiap azan.[12]

Di masa kekuasaan Alu (Dinasti) Buwaih yang mempunyai kecenderungan terhadap Mazhab Syi’ah, salah satu syi’ar kaum Syi’ah di kota Baghdad adalah mengucapkan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” pada waktu azan. Begitu Dinasti Saljuqi berhasil merebut kekuasaan, mereka melarang syi’ar itu. Sebaliknya, mereka perintahkan para pengumandang azan untuk mengucapkan “As-sholatu khoirun minan naum”(Shalat lebih baik daripada tidur) setiap azan subuh. Dan ini terjadi tepatnya pada tahun 448.[13]


Referensi:

[1] Perincian tentang masalah ini dapat anda baca di dalam kitab Al-I’tishom bi al-Kitab wa Al-Sunnah, dari halaman 175 sampai dengan 210. Dan sesungguhnya para sejarawan sekaligus ahli hadis sepakat dalam hal ini. Untuk itu, anda juga dapat merujuk kitab Shohih Muslim, jld. 4, bab Talak Tiga Al-Tholaq Al-Tsalist, hadis no. 1 dan 3; Sunan karya Baihaqi, 7/339; Al-Dur Al-Mantsur karya Suyuthi, 11279.
[2] Al-Intishar, 13 7, bab kewajiban untuk mengucapkan “Hayya ‘ala khoiril ‘amal” dalam azan.
[3] Al-Futuhat Al-Makkiyyah, 11400.
[4] Al-Roudh Al-Nadhir, 11542.
[5] Hafidz Alawi di dalam kitab Al-Adzan bi “Hayya ‘ala khoiril ‘amal”, hal. 91.
[6] Kanz Al-‘Ummal, 342, hadis no. 23174.
[7] Al-Adzd bi “Hayya ‘ala khoiril ‘amal”, hal. 26, 27 dan 29; Al-l’tisham bi Hablillah karya Imam Qasim bin Muhammad Zaidi (w. 1029), terbitan Mathabi’ Al-Jam’iyah Omman.
[8] Musnad Ahmad, 3/408.
[9] Al-Adzan bi “Hayya ‘ala khoiril ‘amal”, ha!. 29.
[10] Syarh Maqoshid, 2835; Syarh Tajrid karya Qusyaji, bab Imamah.
[11] Siroh Al-Halabi, 21305.
[12] Abu Faraj Isfahani (284-356) Maqotil Al-Tholibin, Darul Makrifah, hal. 446.
[13] Siroh Al-Halabi, 21305.

(Hauzah-Maya/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: