Pesan Rahbar

Home » » Masjid Jadi Pusat Kegiatan Keagamaan dan Kebudayaan di Thailand

Masjid Jadi Pusat Kegiatan Keagamaan dan Kebudayaan di Thailand

Written By Unknown on Tuesday, 14 February 2017 | 17:25:00


Muslim adalah warga minoritas di tengah mayoritas etnis Thai yang beragama Budha di Thailand. Tidak ada data yang dapat dipertanggungjawabkan mengenai jumlah warga Muslim di negara berpenduduk lebih dari 60 juta jiwa ini. Ada yang menyebut jumlahnya antara enam hingga 15 persen. Namun, ada pula yang memperkirakan hanya dalam kisaran empat persen.

Warga Muslim di negeri gajah yang dulu disebut Siam ini umumnya berdiam di wilayah bagian selatan yang berbatasan langsung dengan Malaysia, seperti Provinsi Pattani, Yala, Satun, Narathiwat, dan Songkhla. Di provinsi-provinsi ini dihuni oleh sekitar 70 - 80 persen Muslim. Selain itu, ada juga yang tersebar di beberapa wilayah, seperti di Provinsi Pattalung, Krabi, dan Nakorn Srithammarat.

Berdasarkan penelitian yang ada, umat Islam di Thailand umumnya terdiri atas dua kelompok etnis. Etnis pertama adalah warga Muslim dari etnis Melayu. Mereka kebanyakan tinggal di kawasan selatan yang berbatasan dengan Malaysia. Sehari-hari mereka berbahasa Yawi, bahasa asli yang mirip dengan bahasa Melayu. Tidak mengherankan bila Muslim yang berdiam di selatan Thailand sangat kental dengan budaya Melayu. Selain karena faktor geografis, juga karena memang rumpun Melayulah yang paling menonjol dalam perjalanan panjang sejarah Muslim Thailand sejak abad ke-13.

Etnis lainnya adalah Muslim Thai keturunan Burma yang merupakan penduduk asli Thailand dan Burma. Mereka umumnya memeluk agama Islam karena hubungan perkawinan. Biasanya dari sisi ekonomi, Muslim Thai lebih mapan. Mereka kebanyakan tinggal di kawasan utara dan tengah negeri yang secara geografis terletak di wilayah Asia Tenggara ini.

Sebagian besar Muslim Thailand, terutama yang tinggal di wilayah selatan, bekerja sebagai nelayan dan petani. Mereka hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan itu ditandai dengan rumah-rumah panggung berbilik bambu yang mereka diami. Mereka taat beribadah. Suasana religius tradisional masih bisa disaksikan di sudut-sudut dusun. Setiap kali adzan berkumandang, mereka segera bergegas menuju masjid. Kostum sarung dan sorban merupakan pakaian keseharian mereka. Di sana terbangun suatu komunitas religius bagaikan sebuah perkampungan pesantren.

Masjid menjadi pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan di Thailand, di samping melalui pusat-pusat pendidikan agama--lazim disebut pondok. Di sekolah agama, bahasa yang digunakan adalah bahasa Melayu dan Arab. Para pemimpin pondok biasanya menaruh perhatian yang besar pada masalah shalat dan hukum-hukumnya serta membaca dan menghafal Alquran.

Masjid Pintu Gerbang--biasa juga disebut Masjid Kerisek--menjadi lambang Islam di negeri ini. Berada di gerbang Istana Negara, masjid ini memiliki lebar 15,10 meter, panjang 29,60 meter, dan tinggi 6,5 meter. Masjid Pintu Gerbang menjadi penghulu masjid-masjid lainnya di Thailand Selatan.

Pada 1935, masjid Pintu Gerbang diangkat menjadi situs negara dan dilarang untuk dijadikan sebagai tempat ibadah. Keputusan itu tidak diterima oleh umat Islam. Setelah berbagai upaya dilakukan, termasuk dengan berdemonstrasi menuntut agar masjid lambang umat Islam itu diizinkan untuk dijadikan tempat ibadah kembali, akhirnya pemerintah memutuskan bahwa masjid tersebut tetap menjadi situs negara, tapi boleh dijadikan sebagai tempat ibadah.

Masjid lain yang menjadi syiar Islam di Thailand adalah Masjid Shalahudin al Ayubi dan Masjid Kulusei. Masjid Shalahudin al Ayubi terletak di Nahofi. Arsitektur bangunannya memiliki kesamaan dengan masjid Madinah dengan dihiasi menara setinggi kira-kira 25 meter. Nama Shalahudin al Ayubi diambil untuk mengenang kemenangan beliau sebagai panglima Islam dalam Perang Salib pada abad
ke-12 M.

Dalam sejarahnya, Muslim di Thailand sudah mendiami tanah negeri itu sejak abad ke-17 setelah kedatangan Sheikh Ahmad Qomi, seorang pedagang dari Iran pada 1602. Sheikh Ahmad Qomi lahir di kota Qom, Iran, tahun 1543 Masehi dan pada tahun 1605, hijrah ke negeri Siam. Ia menikah dengan seorang perempuan keluarga kerajaan dan dianugerahi dua anak laki-laki serta seorang anak perempuan. Seiring dengan perjalanan waktu, Muslim pun berkembang, terutama di wilayah selatan negeri ini.

(Republika/Shabestan/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: