Pesan Rahbar

Home » » AL-MAHDI YANG DI JANJIKAN DAN KEGAIBANNYA DALAM HADIS-HADIS YANG DISEPAKATI

AL-MAHDI YANG DI JANJIKAN DAN KEGAIBANNYA DALAM HADIS-HADIS YANG DISEPAKATI

Written By Unknown on Monday 14 December 2015 | 20:10:00


Selain ayat-ayat al-Quran, kita banyak menjumpai hadis-hadis dari Rasulullah saw yang sahih dari sisi riwayat, baik di kalangan Ahlusunnah maupun Syi’ah. Hadis- hadis tersebut menguatkan makna ayat yang telah kami jelaskan sebelumnya, memperjelas hal-hal yang umum, dan menyempurnakan gambaran yang diberikan menyangkut keberadaan Imam Mahdi yang dijanjikan saat ini dan kegaiban beliau serta menjelaskan sosok sebenarnya yang ditujukan ayat-ayat al-Quran dengan menyebutkan sifatsifatnya secara umum.

Dalam hal ini, kami memilih beberapa contoh dari hadis-hadis yang mutawatir atau hadis-hadis yang diriwayatkan dengan sanad-sanad yang sahih menurut Ahlusunnah yang dimuat dalam Kutub as-Sittah (kitab-kitab hadis ternama di kalangan Ahlusunnah—penerj.) yang dijadikan kitab standar hadis di kalangan Ahlusunnah, mengingat berdalil dengan kitab-kitab tersebut lebih memberikan kejelasan dan keyakinan bagi mereka. Melalui penjelasan hadis-hadis tersebut serta mengedepankan objek yang dapat diterima secara akal, (konsep Mahdiisme) tidaklah mungkin dapat diterapkan kecuali kembali pada pandangan Ahlulbait mengenai al-Mahdi al-Muntazhar, khususnya berkenaan dengan masa sekarang ini. Ddalam hal ini Rasulullah saw juga menerangkan dalam hadishadisnya dengan penekanan mendalam seperti yang akan kita saksikan nanti.

Hadis Tsaqalain
Hadis Tsaqalain termasuk hadis yang mutawatir yang diriwayatkan perawi-perawi yang kuat hapalannya di kalangan Ahlusunnah dan Syi’ah dengan sanad yang sahih dari sejumlah besar para sahabat Nabi Muhammad saw. Ibnu Hajar—salah seorang ulama Ahlusunnah—menghitung lebih dari dua puluh orang sahabat yang meriwayatkan hadis ini dan hal ini dimuat dalam kitabnya Shawâ’iq al-Muhriqah.1 Ulama-ulama Ahlusunnah lainnya menghitung lebih dari tiga puluh orang sahabat, seperti yang termuat dalam Sunan Turmudzi.2
Al-Hafizh Abul Fadhl Maqdasi yang terkenal dengan sebutan Ibnu Fisrani—beliau termasuk ulama besar Ahlusunnah—menulis sebuah kitab khusus mengenai jalur periwayatan hadis ini.3
Riwayat tersebut dikuatkan sejumlah penelitian hadis tentang kemutawatiran hadis ini sehingga tidak memberikan ruang sedikit pun untuk memperdebatkan dan meragukannya.
Begitu pula yang dilakukan oleh Allamah Mir Husain Hamid al-Musawi dalam ensiklopedia beliau Abaqat al-Anwâr serta ulama-ulama lainnya.4

Dari riwayat-riwayat hadis ini, dijelaskan bahwa Nabi Muhammad saw berkali-kali mengulang kandungan hadis ini dengan ungkapan atau kata-kata yang hampir sama di berbagai situasi. Salah satunya pada hari Arafah saat haji wada (haji perpisahan), pada hari Ghadir ketika Nabi saw hendak kembali dari haji dan setelah meninggalkan Thaif, ketika berada di Juhfah, dan ketika beliau berkhotbah di masjid Madinah sepulang dari haji serta saat beliau sakit dan berada di kamar beliau. Ketika itu, kamar disesaki oleh para sahabat.5

Semua itu menunjukkan betapa pentingnya wasiat kenabian tersebut yang memuat hadis ini bagi Islam dan kaum Muslimin.

Jika tidak, Rasul saw tidak akan berusaha—beliau mengingatkan kebaikan pada orang-orang mukmin dan beliau penuh dengan cinta dan kasih sayang—memberikan perhatian lebih dengan pengulangan-pengulangan dan menyampaikan hal tersebut di berbagai keadaan yang penting pada saat berkumpulnya sebagian besar umat Islam. Beliau berusaha mengumumkan wasiat ini dan menekankan pada khalayak umum tanpa menunggu seseorang bertanya pada beliau.

Juga dapat disimpulkan dari beberapa riwayat lainnya bahwa kandungan wasiat yang dijelaskan dalam hadis ini memiliki kesesuaian dengan yang ingin dituliskan Rasulullah saw bagi kaum Muslim di hari-hari terakhir hidup beliau.

Ketika beliau meminta pena dan secarik kertas untuk menuliskan sebuah wasiat agar umat tidak tersesat setelah kepergian beliau sebagaimana disebutkan dalam nas hadis “Pena dan kertas” yang diriwayatkan pada Shahih Bukhari.6

dan lainnya. Mereka menolak memenuhi permintaan Rasul saw dan terjadi keributan. Kemudian, Rasulullah saw mengusir mereka semua seperti yang dijelaskan dalam hadis “Tragedi Hari Kamis” tanpa sempat beliau menuliskan wasiatnya. Jika diperhatikan bahwa ungkapan لن تضلُّو بعد “Tidak akan sesat selamanya setelahku” yang disebutkan dalam hadis permintaan beliau untuk menuliskan wasiat merupakan ungkapan yang diulang-ulang dalam Hadis Tsaqalain. Begitu pula Nabi saw sering kali mengulang wasiatnya mengenai keluarganya sebagai poros kebaikan pada Hadis Tsaqalain dan pada wasiat-wasiat beliau pada menit-menit terakhir dari kehidupan beliau yang mulia.

Dari semua itu, tampak jelas bahwa Nabi Muhammad saw ingin mencatatkan kandungan hadis dalam ikatan kenabian guna mencegah perdebatan. Beliau ingin melakukan hal tersebut di hadapan para sahabat beliau untuk menghindari keributan dan memberikan penekanan dalam masalah ini. Semua ini menjelaskan betapa penting kandungan hadis tersebut. Jika tidak, mana mungkin Rasulullah sebagai pembimbing umat manusia yang mulia menekankan sedemikian rupa. Hal ini juga menyingkap nas hadis itu sendiri yang menerangkan bahwa menjalankan pesan-pesan yang terkandung dalam hadis tersebut merupakan jalan keselamatan dari kesesatan sepeninggal beliau. Insya Allah akan diterangkan hal tersebut ketika kita membahas kandungan nas tersebut.

Mengingat kemutawatiran sebuah hadis di kalangan umat Islam memungkinkan penyandaran pada hadis-hadis tersebut dalam masalah-masalah keyakinan sebagaimana telah ditetapkan dalam teologi Islam, maka demikian pula halnya dalam masalah imamah memungkinkan kita bersandar pada hadis ini.

Lafaz yang Mutawatir adalah “Kitab Allah dan Keluargaku”
Lafaz yang mutawatir untuk hadis ini adalah yangmenyebutkan al-Quran dan Ahlulbaitnya atau itrah (keluarga) nabi—shalawat dan salam semoga tercurah pada mereka—sebagai objek dari ats-tsaqalain. Berpegang teguh pada keduanya merupakan keselamatan dari kesesatan

sampai hari kiamat. Sesuai dengan yang diriwayatkan Bukhari dalam kitabnya Tarikh al-Kabir dan Muslim dalam Shahih-nya, Turmudzi dalam Sunan-nya, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya serta al-Hakim dalam kitab Mustadraknya.

Hadis ini diakui kesahihannya melalui syarat-syarat kesahihan menurut Syaikhain (Bukhari dan Muslim) dan Zahabi juga sepakat akan hal itu. Begitu pula ulama-ulama hadis lainnya.7

Riwayat yang disampaikan Muslim dalam kitab Shahih-nya diriwayatkan dari Zaid bin Arqam yang berbunyi, “… Rasulullah saw berdiri untuk berkhotbah dihadapan kami di sebuah lembah yang disebut Khum yang terletak antara Mekkah dan Madinah. Kemudian, beliau memuji dan bersyukur pada Allah, memberi peringatan dan mengingatkan. Lalu, beliau bersabda,

مََّا بَعْدُ، يَُّاهَ لنَّ ا ،ُ فَإِنَّمَ ا نََا بَشَرٌ يَُوْشِ ك يَأْتِيَ سَُوْ بَِّى فَأُجِيْبُ، نَََا تَا فِيْكُمْ ثَقَلَيْنِ : لََُّهُمَا كِتَا للهِ فِِيْ ه لْهُدَ لنُّوْ ،ُ فَخُذُْ بِكِتَا للهِ سْتَمْسِكُوْ بِهِ...َ هَْلُ بَيْ كَُِّرُكُُ م لله هَْلِ بَيْتِى ، كَُِّرُكُُ م للهُ هَْلِ بَيْتِى ، كَُِّرُكُُ م للهُ هَْلِ بَيْتِى

“Amma ba’du. Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah manusia dan telah datang utusan Tuhanku (Jibril) dan aku menerimanya. Aku tinggalkan pada kalian ats- tsaqalain (dua hal yang penting).

Yang pertama adalah kitab Allah (al-Quran) yang memiliki petunjuk dan cahaya maka ambillah dari kitab Allah dan berpeganglah padanya…dan Ahlulbaitku. Aku ingatkan kalian mengenai keluargaku, aku ingatkan kalian mengenai keluargaku, dan aku ingatkan kalian mengenai keluargaku.”8

Turmudzi dalam Sunan-nya meriwayatkan dari Abu Sa’id Khudri dari Rasulullah saw, beliau bersabda,

نِِّى تَا فِيْكُمْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِ لَنْ تَضِلُّوْ بَعْدِ ، حََدُهُمَا عَْظَمُ مِنَ لْآخَر: كِتَا للهِ حَبْلٌ مَمْدُ مِنَ لسَّمَا لَْأَ ،ِْ عَِتْرَتىِ هَْلِ بَيْتِيَ لََنْ يَفْتَرِقَا حَ يَرِ عَلَيَّ لْحَوْ ،َ فَانْظُرُ كَيْفَ تُخَلِّفُوْنِي فِيْهِمَا

“Aku tinggalkan pada kalian sesuatu. Jika kalian berpegang teguh padanya kalian tidak akan sesat sepeninggalku. Salah satu di antara keduanya lebih besar dari lainnya. Kitab Allah (al-Quran) yang merupakan tali pegangan yang terulur dari langit ke bumi dan itrahku (keluargaku). Keduanya tidak akan berpisah sehingga keduanya tiba di telagaku. Hati-hatilah kalian dalam memperlakukan keduanya sepeninggalku.”9

Al-Hakim menyebutkan dalam kitab Mustadrak-nya, Rasulullah saw bersabda,

كَأَنَّنِي قَدْ عُِيْتُ فَأُجِبْتُ، نِِّي تَا فِيْكُمْ لثَّقَلَيْنِ حََدُهُمَا كَْبَرَ مِنَ لْآخَرِ: كَتَا للهِ عَِتْرَتِي هَْلِ بَيْتِي، فَانْظُرُ كَيْفَ تُخَلِّفُوْنِي فِيْهِمَا، فَإِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا (يَتَفَرَّقَا) حَ يَرِ عَلَيَّ لْحَوْ ،َ للهَ مَوْلاَ ، نَََا لَِيُّ كُلِّ مُؤْمِنٍ. مَنْ كُنْتَ مَوْلاَ فَعَلِيٌّ مَوْلاَ .ُ لَلَّهُمَّ مَنْ لَاَ عََا مَنْ عَاَُ

“Sepertinya aku telah dipanggil dan aku menjawab panggilan itu. Aku tinggalkan pada kalian atstsaqalain. Salah satu di antara keduanya lebih besar dari lainnya, yaitu kitab Allah dan itrahku, Ahlulbaitku. Hati-hatilah kalian bagaimana sikap kalian pada keduanya sepeninggalku. Sesungguhnya keduanya tidak akan berpisah hingga datang kepadaku di al-Haudh (telaga). Sesungguhnya Allah adalah Tuanku dan aku adalah pemimpin orang-orang Mukmin. Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, pimpinlah orang yang berkepemimpinan padanya dan musuhilah orang yang bermusuhan dengannya.”10

Ibnu Hajar yang menyebutkan dalam kitab Shawâ’iq al-Muhriqah seperti ini, Rasulullah saw bersabda,

نِّي مخلف فيكم لثَّقلين: كتا لله عترتي هل بيتي، تمسَّكتم بهما لن تضلُّو بعد بد لن يفترقا حتىَّ ير عليَّ لحو ، فلا تقدِّمو هم فتهلكو لا تقصِّر عنهم فتهلكو لا تعلِّمو هم فإنَّهم علم منكم

“Aku tinggalkan pada kalian ats-tsaqalain: kitab Allah dan itrahku, Ahlulbaitku. Jika kalian berpegang teguh pada keduanya, kalian tidak akan sesat sepeninggalku selamanya. Keduanya tidak akan berpisah hingga tiba padaku di telaga (Haudh). Janganlah kalian mendahului keduanya, kalian akan celaka. Janganlah kalian abaikan (mereka), maka kalian akan binasa. Jangan pula kalian ajari mereka karena mereka lebih mengetahui daripada kalian.”11

Penulis-penulis hadis lainnya juga menyebutkan hadis-hadis serupa, tetapi dengan lafaz yang sedikit bebeda dengan hadis ini. Namun, seluruh hadis tersebut menggunakan lafaz كَتَا للهِ هَْلِ بَيْتِي (kitab Allah dan Ahlulbaitku) dan lafaz tersebut adalah lafaz yang mutawatir. Oleh karena itu, kita tidak perlu menganggap dan memperhatikan hadis yang menggunakan lafaz yang menyimpang dan berlawanan dengan ibarat عِتْرَتِي هَْلِ بَيْتِي (itrahku dan Ahlulbaitku) seperti hadis yang menggunakan lafaz سُنَّتِي (Sunnahku). Tujuan penyimpangan dan upaya penyebaran hadis seperti ini, jelas demi kepentingan dan tujuan politik dinasti Bani Umayah dan Bani Abbas. Selain itu, lafaz yang menyimpang ini, tidak diriwayatkan dalam sumber-sumber hadis yang diakui.12 Riwayat pertama, lebih baik secara kualitatif dibanding riwayat ahad (tunggal) yang dhaif yang tidak memberikan ilmu dan amal, khususnya mengenai masalah akidah (keyakinan) yang penting seperti yang dikandung dalam hadis ini.

Kendatipun demikian, anggaplah bahwa lafaz yang menyimpang ini sahih—seperti yang diyakini Ibnu Hajar dalam kitab Shawâiq al-Muhriqah-nya—hal itu tidak bertentangan dengan lafaz yang mutawatir dan tidak mengurangi makna yang ditunjukkan dalam keyakinan yang sangat penting. Bahkan, menyatukan kedua hadis tersebut lebih menguatkan tentang makna hakikat Sunnah Rasulullah saw sebenarnya, yaitu Sunnah Rasul yang berada pada para imam (aimmah) itrah (keluarga) Nabi saw. Mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui mengenai al-Quran dan Sunnah Rasulullah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar ketika ia mengatakan,
“….Dalam riwayat كِتَا للهَِّ سُنَّتِي (Kitab Allah dan Sunnahku) yang disebutkan adalah termasuk hadis-hadis ringkasan atas al-Quran karena Sunnah menjelaskan al-Quran. Dengan demikian, tidak perlu menyebutkannya pada keduanya. Pada akhirnya, adanya perintah untuk berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah atau pada ulama (orang yang paling mengetahui) tentang keduanya dari kalangan keluarga Nabi saw dan dapat disimpulkan dari semua itu adanya kelanggengan pada tiga hal tersebut hingga hari kiamat.” 13

Makna Hadis yang Menunjukkan Adanya Seorang Imam
Makna-makna hadis sangat beragam. Para ulama bersandar pada makna tersebut untuk menetapkan sebagian besar masalah-masalah imamah menurut pandangan ajaran Ahlulbait as.14

Kita membatasi dalam hal ini dengan menyebutkan beberapa hadis yang penting saja, khususnya yang berkaitan dengan topik pembahasan kita kali ini.

1. Hadis yang mulia menjelaskan bahwa jalan keselamatan dari kesesatan setelah Rasulullah saw wafat adalah berpegang teguh pada al-Quran dan itrah keluarga Nabi saw secara bersama-sama sebagaimana sabda beliau, تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا “Jika kalian berpegang teguh pada keduanya,…” Tidak cukup hanya berpegang teguh pada satu saja, artinya bahwa berpegang teguh pada satu di antara keduanya saja tidaklah sempurna dan tidak memberi jaminan untuk selamat dari kesesatan kecuali berpegang teguh pula pada selainnya. Dengan demikian, seseorang yang mengklaim berpegang teguh hanya pada satu saja tidaklah benar karena keduanya

لَنْ يَفْتَرِقَا 

“Tidak akan berpisah.”

2. Hadis juga dengan jelas membatasi penyelamat kedua dengan sabda beliau, تِْرَتِي هَْلِ بَيْتِي “Itrahku, Ahlulbatku.”

Kata itrah, seperti yang dijelaskan para ulama bahasa adalah keturunan manusia. Al-Azhari berkata, “Tsa’lab meriwayatkan dari Ibnu Arabi bahwa kata itrah bermakna putra seorang laki-laki dan keturunannya. Dalam bahasa Arab, tidak diketahui makna lainnya selain makna tersebut.”15

Oleh karena itu, istri-istri Nabi saw dikecualikan dari kata tersebut dalam hadis di atas.
Kendatipun hanya menggunakan kata هْلِ بَيْتِي “Ahlulbaitku” , maka istri-istri nabi tidak termasuk di dalamnya, seperti yang disampaikan Muslim dalam Shahih-nya mengenai hadis tsaqalain. Beliau meriwayatkan hadis tersebut dari Zaid bin Arqam saat dia bertanya siapakah Ahlulbait Nabi? Apakah yang dimaksud adalah istri-istri nabi? Dia berkata, “Bukan. Sesungguhnya istri bersama suami tidak selamanya. Ketika diceraikan, maka wanita tersebut kembali pada ayah dan ibunya atau kembali ke kerabatnya. Ahlulbaitnya adalah keluarga inti dan kerabatnya yang diharamkan sedekah pada mereka sepeninggalnya.”16

Mishdaq (Objek Sesungguhnya) tentang Ahlulbait Rasulullah saw membatasi siapa sesungguhnya Ahlulbait (keluarga) beliau setelah turun ayat tathhir.

Beliau mengkhususkannya pada rumah Fathimah as. Setiap kali beliau melewati kediaman putri beliau Fathimah Zahra as, ketika hendak melaksanakan shalat Subuh selama enam bulan, beliau selalu bersabda,

لصَّلا يا هل لبيت نَّما يريد للهَّ ليذهب عنكم لرِّجس هل لبيت يطهِّر كم تطهير

“Shalat, wahai Ahlulbait. Sesungguhnya Allah ingin menghilangkan dari diri kalian kekotoran wahai Ahlulbait dan menyucikan kalian dengan sesuci-sucinya.”

Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya.17

Selain itu, Rasulullah saw juga menerangkan bahwa mereka adalah Ahlulbait beliau dalam hadis Kisa (mantel) yang sangat terkenal. Hadis tersebut disampaikan oleh istri beliau, yaitu Ummu Salamah ketika Nabi saw mengatakan padanya bahwa dia dalam kebaikan. Akan tetapi, dia (Ummu Salamah) bukan termasuk Ahlulbait Nabi saw. Hadis Kisa juga diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dan juga disampaikan oleh Suyuthi dalam kitab Ad-Durr al-Mantsur dengan berbagai sanad yang sahih sesuai jalur Ahlusunnah.18

Hal yang disepakati juga bahwa Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as termasuk dari Ahlulbait. Kendatipun beliau bukan termasuk dari tulang rusuk Nabi saw sebagaimana yang telah dijelaskan.

Kemaksuman Imam dan Terpenuhinya Syarat-Syarat dalam Hadis
3. Pengetahuan mengenai sosok sesungguhnya dari Ahlulbait dan itrah Nabi saw dalam hadis juga menjelaskan sifat lainnya yang dimiliki oleh pegangan kedua, yaitu mereka terhiasi dengan kemaksuman seperti yang diterangkan ayat tathhir secara jelas.19

Hal ini sesuai dengan makna hadis yang menerangkan kemaksuman pegangan kedua dan menguatkan bahwa keduanya tidak terpisah selamanya dalam kondisi apa pun. Hal ini dapat kita simpulkan dari penggunaan kata لَنْ تَأْبِيدِيَةِ lan ta`bidiyah yang berarti tidak untuk selamanya. Telah disepakati bahwa al-Quran tidak ada kebatilan di dalamnya. Dengan tidak terpisahnya pegangan kedua dari al-Quran, maka hal ini menunjukkan bahwa pegangan kedua pun memiliki kemaksuman. Jika tidak, akan terjadi perpisahan antara al-Quran dan pegangan kedua saat terjadi kesalahan dan dosa atau segala bentuk kebatilan. Inilah yang dinafikan oleh hadis secara jelas dan menjadi satu hal yang menunjukkan keterjagaan itrah (keluarga Nabi saw) sebagai pegangan kedua dari segala noda dan dosa.

Selain itu pula, masalah berpegang teguh pada keduanya merupakan satu kemutlakan—seperti yang dijelaskan dengan tanpa adanya ikatan apa pun—karena hal itu mencakup berbagai kondisi dan masa. Jika terjadinya suatu kesalahan dan dosa atau hal-hal yang bertentangan dengan kemaksuman pada keluarga Nabi saw dimungkinkan, hal ini meniscayakan bahwa perintah Rasul saw untuk berpegang teguh pada keduanya di setiap kondisi meskipun dalam kondisi yang salah. Hal seperti ini bertentangan dengan al-Quran dan ini sebuah kemustahilan.

Sebagaimana yang telah diterangkan, selain orang-orang yang terjaga dari keluarga Rasul saw bukan termasuk objek pegangan kedua yang diperintahkan untuk kita berpegang teguh padanya. Ibnu Hajar ketika mempelajari hadis ini mengatakan, “Adapun diperintahkannya (kita) untuk berpegang teguh pada mereka karena mereka adalah manusia-manusia yang paling mengetahui tentang kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya. Mereka tidak terpisahkan dari al-Quran sehingga tiba di Haud telaga surga, seperti yang diungkapkan hadis setelahnya,

 لَاَ تُعَلِّمُوْ هُمْ فَإِنَّهُمْ عَْلَم مِنْكُمْ 

“Jangan kalian ajari mereka karena mereka lebih mengetahui dari kalian.”

Para ulama lainnya dalam hal ini terbedakan karena Allah Swt menghilangkan dari diri mereka noda dan menyucikan mereka dari dosa dengan sesuci-sucinya. Mereka dimuliakan Allah dengan segala karamah dan keutamaan-keutamaan yang tak terhingga seperti yang telah dijelaskan sebagiannya.”20

Fakta sejarah juga membuktikan keterbatasan terpenuhinya syarat-syarat tersebut setelah Rasulullah saw wafat hanya ada pada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan sebelas imam setelah beliau dari keturunan beliau dan keturunan Sayidah Fathimah Zahra putri Rasulullah saw, seperti halnya nasab Nabi Isa as ke Nabi Ibrahim as melalui jalur anak perempuan. Imamah terkumpul dalam kemaksuman mereka. Seluruh mazhab dari kalangan Ahlusunnah mencintai mereka dan menyucikan mereka. Tidak seorang pun yang menyatakan adanya hal yang bertentangan dengan kemaksuman mereka, kendati pemerintahan zalim di masa mereka berupaya untuk dapat menemukan apa pun kesalahan mereka. Hal ini juga disebutkan dalam fakta sejarah.21

4. Mengingat perintah untuk berpegang teguh pada keduanya adalah perintah secara mutlak dari sisi masa, seperti yang diterangkan hadis dengan ungkapan بعد “Setelahku” tanpa ada ikatan masa tertentu, maka hal ini juga menegaskan keabadian syariat Nabi Muhammad saw hingga hari kiamat karena tidak ada Nabi setelah beliau. Karena al-Quran dijaga oleh Allah Swt, maka itrah (keluarga Nabi saw) sebagai pegangan kedua pendamping al-Quran yang tidak terpisah darinya dijaga pula oleh Allah Swt hingga hari kiamat.

Dari uraian ini, jelaslah hadis mulia ini yang dari sisi tingkatan memiliki derajat kemutawatiran menerangkan dengan jelas keharusan adanya seorang yang memiliki kesamaan dengan Ahlulbait Nabi saw, dihiasi dengan kemaksuman, dan menjadi pendamping al-Quran di setiap masa, sehingga umat dapat berpegang teguh padanya dan pada kitab Allah yang terjaga dengan tujuan mencapai keselamatan dari kesesatan dan menjalankan wasiat Nabi terakhir, yaitu Nabi Muhammad saw. Jika tidak demikian, maka kandungan hadis yang mutawatir yang disampaikan oleh seseorang yang tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya, tidak benar.

Oleh karena itu, seorang imam maksum harus ada dari keluarga Nabi saw di masa sekarang ini sebagai objek pegangan kedua dan memungkinkan untuk berpegang teguh kepadanya. Sebagian besar ulama Ahlusunnah banyak tersadar dengan kenyataan ini dan makna yang ditunjukkan oleh hadis tsaqalain ini. Di antara mereka, ada juga yang terang-terangan menyatakan seperti Ibnu Hajar Haitsami. Beliau mengatakan, “Hadis-hadis yang memerintahkan untuk berpegang teguh pada Ahlulbait mengisyaratkan tidak adanya keterputusan orang yang layak di antara mereka untuk dijadikan sebagai pegangan hingga hari kiamat. Demikian pula, dengan al-Quran. Oleh karena itu, mereka menjadi pengaman bagi penduduk bumi seperti yang disaksikan dalam sebuah hadis:


فِى كُلِّ خَلْفٍ مِ ن مَُّتِي عَدُ مِنْ هَْلِ بَيْتِي

“Pada setiap masa dari umatku, ada seorang yang adil dari Ahlulbaitku...”22

Objek Hadis di Masa Sekarang
Hadis menunjukkan dengan jelas adanya seseorang yang layak dari keluarga Nabi Muhammad saw untuk dijadikan pegangan selain al-Quran pada masa sekarang ini dan disyaratkan pula baginya kemaksuman. Lalu siapa imam tersebut?

Teranglah, pada saat sekarang tidak ada seorang pun yang mengklaim hal itu dan nampak di tengah-tengah kita yang sesuai dengan sifat-sifat yang dijelaskan dalam hadis-hadis. Dengan demikian, kita harus mengatakan bahwa beliau ada tetapi gaib pada masa sekarang. Karena jika kita mengatakan bahwa imam tidak ada, pendapat ini tertolak dengan manusia yang dijelaskan dalam hadis Tsaqalain yang mutawatir. Inilah ringkasan pandangan mazhab Ahlulbait mengenai al-Mahdi yang dijanjikan.

Pandangan tersebut dibangun atas bukti-bukti nakli (ayat dan hadis) dan akli (logika) yang menyatakan keberadaan dan kegaiban beliau dari pandangan mata tanpa menafikan kemungkinan mengambil manfaat dari beliau sebagaimana kita mengambil manfaat dari keberadaan matahari yang tidak dapat dipandang dengan mata karena tertutupi oleh awan yang gelap.

Hadis-hadis Khulafa (Khalifah-Khalifah) Berjumlah Dua Belas
Banyak hadis meriwayatkan mengenai khalifah, pengganti, pemimpin, atau pelindung yang berjumlah dua belas orang. Hadis-hadis itu diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih dan musnad-musnad yang terpercaya di kalangan Ahlusunnah dengan sanad yang sahih dari Jabir bin Samirah sebagaimana hadis-hadis tersebut juga diriwayatkan dari Anas bin Malik, Ibnu Mas’ud, Abdullah bin Umar, dan Hudzaifah bin Yaman. Seluruh sanadnya merujuk pada Rasulullah saw. Kandungan hadis serupa yang diriwayatkan—lebih terperinci—dengan mutawatir melalui jalur Ahlulbait dan telah disebutkan oleh Ayatullah Syekh Luthfullah Shafi adalah lebih dari dua ratus tujuh puluh hadis.23

Hadis-hadis semacam ini termasuk hadis yang muttafaqun ‘alaih (disepakati) di antara mazhab-mazhab dalam Islam dan tidak ada ruang untuk meragukannya pada bagian yang disepakati di antara hadis-hadis tersebut. Namun, dalam hal ini, kami cukup menyebutkan nas-nas yang diriwayatkan dalam kitab-kitab yang diakui di kalangan Ahlusunnah dan membatasi makna yang ditunjukkan serta objeknya—terlepas dari tidak adanya penjelasan atau perincian yang disebutkan dalam hadis-hadis yang diriwayatkan melalui jalur lainnya karena sebab yang jelas—agar kesimpulan yang dihasilkan dapat menjadi bukti bagi semua.

Lafaz-lafaz yang Digunakan dalam Hadis Bukhari dalam kitab Shahih-nya meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir bin Samurah berkata, “Aku mendengar Nabi Muhammad saw bersabda,

 يَكُوْ بَعْدِ ثِْنَا عَشَرَ مَِيرًْ ... 

‘Akan muncul dua belas amir (pemimpin).’ Kemudian, mengatakan satu kalimat yang aku tidak mendengar. Ayahku berkata, ‘Sesungguhnya beliau (Nabi) bersabda,

كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ

‘Seluruhnya dari Quraisy.’”

Muslim juga meriwayatkan dari berbagai jalur dalam kitab Shahih-nya dari Jabir bin Samurah dengan lafaz-lafaz yang beragam di antaranya terdapat lafaz:

...... هَذَ لْأَمْرَ لاَ يَنْقَضِيَ حَ يََّمْضِي ثِْنَا عَشَرْ خَلِيْفَةً ( 1

“Sesungguhnya perkara ini tidak akan terhenti hingga berlalu dua belas khalifah….”

......لاَ يَزَ مَْرُ لنَّ ا مَاضِيًا مَا لََّيْهُمْ ثِْنَا عَشَرْ جَُلاً ( 2

“Urusan manusia akan tetap berlangsung selama belum memimpin pada mereka dua belas orang….”

......لاَ يَزَ لْإِسْلاَ عَزِيْزً ثِْ عَشَرْ خَلِيْفَة ( 3

“Islam akan tetap mulia sampai dua belas khalifah….”

Hadis-hadis tersebut memiliki kesamaan bahwa ia (Jabir) tidak mendengar kelanjutan hadis-hadis tersebut.
Ayahnya memberitahukannya dengan kalimat

 كلُّهم من قريش

“Seluruhnya dari Quraisy.”

Inilah penutup yang disebutkan di sebagian besar nas-nas hadis.

Turmudzi meriwayatkan dengan lafaz

يَكُوْ بَعْدِ ثِْنَا عَشَرَ مَِرًيْ ......

“Akan memimpin setelahku dua belas amir….”

Abu Daud meriwayatkan hadis tersebut dengan lafaz

لاَ يََز هَذَ لدِّيْنُ عَزِيًْز ثِْ عَشَرْ خَلِيْفَةً

“Agama ini akan tetap mulia sampai dua belas khalifah….”

Kemudian, para sahabat bertakbir dan riuh lalu Nabi saw mengucapkan satu kalimat yang tidak terdengar. Aku bertanya pada ayahku, “Wahai ayahku, apa yang beliau katakan?” Beliau bersabda,

 كلُّهم من قريش 

“Seluruhnya dari Quraisy.”

Ahmad bin Hanbal dalam musnadnya juga meriwayatkan dari jalur yang beragam, di antaranya dengan lafaz

لاَ يََز هَذَ لدِّيْنُ قَائِمًا حَ تَقُوْ لسَّاعَةُ

“Agama akan tetap tegak hingga hari kiamat….”

Sebagian hadis menyatakan bahwa yang disabdakan Rasulullah saw adalah:

لاَ يََز هَذَ لدِّيْنُ ظَاهِرً عَلىَ مَنْ ناَ ،َُ لاَ يَضُُّر مُخَالِفٌ لَاَ مُفَا حَ يَمْضىِ مِ ن مَُّتِي ثِْنَى عَشَرْ مَِرًيْ ...

“Agama ini akan tetap nampak bagi orang yang menginginkannya, para penentang tidak akan mampu mencelakainya begitu pula yang meninggalkannya sehingga berlalu dari umatku dua belas amir….”

Dalam riwayat lain, Nabi Muhammad saw bersabda pada hari Arafah dan di hari lainnya pada hari Jumat selepas melempar Jumrah dan sebagian riwayat lain menyebutkan bahwa Rasulullah saw sebelum itu bersabda,

عَْطَى للهُ تَبَا تََعَا حََدُكُمْ خَيْرً فَلْيَبْدَ بِنَفْسِهِ هََْلِهِ نَََا فَرَطَكُمْ عَلىَ لْحَوْ “…

Jika Allah Swt memberi kebaikan pada salah satu di antara kalian hendaknya memulai pada dirinya sendiri terlebih dahulu dan keluarganya, dan aku menantikan di haud (telaga).”

Sebagian riwayat lain menyatakan bahwa orang-orang Quraisy mendatangi Rasulullah saw bertanya pada beliau akan apa yang terjadi setelah itu. Beliau menjawab, “Al-haraj (fitnah).”

Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir meriwayatkan di awal kitab tersebut,

يَكُوْ لِهَِذ لْأُمَّةِ ثِْنَا عَشَرْ قَيِّمًا لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ...

“Akan ada dua belas qayyim (pelindung) bagi umat ini. Orang-orang yang menghinakan mereka tidak akan mampu memberi mudharat pada mereka….”

Muttaqi Hindi meriwayatkan dalam Kanz al-‘Ummal dari Anas bin Malik dengan lafaz

لَنْ يََز هَذَ لدِّيْنُ قَائِمً ا ثِْ عَشَرَ مِنْ قُرَيْشٍ فَإِ هَلَكُْو مَاجَتِ لْأَ بِأَهْلِهَا

“Agama ini akan tetap tegak hingga dua belas orang dari Quraisy. Jika mereka hancur, maka bumi memporakporandakan penghuninya.”24

Hadis-hadis yang Menunjukkan Adanya Imam Mahdi as
Nas-nas di bawah ini diriwayatkan dari sumber-sumber yang diakui (mu`tabar) di kalangan Ahlusunnah. Setelah kami memaparkan nas-nas tersebut, kami akan tetapkan makna yang dapat disimpulkan dari nas-nas tersebut sebagai berikut:

1. Yang dapat disimpulkan dari riwayat-riwayat tersebut adalah riwayat-riwayat itu disampaikan dalam khotbah penting yang disampaikan oleh Rasulullah saw pada kaum Muslim di hari-hari terakhir kehidupan beliau.

Sejumlah riwayat menjelaskan bahwasanya hal itu disampaikan di Arafah pada haji wada. Khotbah itu sendiri memproklamirkan wasiat beliau yang masyhur untuk berpegang teguh pada al-Quran dan keluarga beliau dalam hadis Tsaqalain yang mutawatir yang menunjukkan—seperti yang telah kami jelaskan—kepastian adanya seseorang yang layak dari keluarga Nabi saw yang dapat dijadikan pegangan dan sebagai pendamping al-Quran hingga hari akhir. Haji itu sendiri merupakan perintah Qurani tatkala sampai pada jalan kembali sepulang dari haji tersebut untuk menetapkan Imam Ali sebagai wali dan tempat rujukan bagi orang-orang Muslim sepeninggal beliau.

Keterkaitan antara ketiga hadis ini dan kondisi penyampaiannya di hari-hari terakhir kehidupan beliau, begitu pula kondisi-kondisi yang sangat penting, mengungkapkan betapa pentingnya kandungan yang ada di dalamnya yang berkaitan dengan pemberian hidayah pada umat Islam yang menjamin keselamatan dalam aspek pribadi maupun sosial serta keberlangsungan pergerakan umat Islam setelah Rasulullah saw wafat untuk tetap berada pada shirâth al-mustaqîm dan garis yang terang. Riwayat-riwayat tersebut juga memiliki keserupaan pada topik mendatang yang memiliki peranan di dalamnya.

Karena itu, tidaklah mungkin kita mengatakan bahwa Rasulullah saw ketika menyampaikan hadis-hadis mengenai dua belas imam hanya sekadar pemberitahuan akan fakta sejarah yang terjadi setelah beliau wafat. Penafsiran seperti ini tidaklah mungkin mengingat kondisi yang sangat penting ketika disampaikan kandungan hadis tersebut. Bahkan, dengan jelas hadis ini disampaikan pada hari-hari terakhir kehidupan beliau dalam usaha maksimal beliau memberi petunjuk umat Islam pada sesuatu yang mampu mengangkat mereka dari kesesatan dan penyimpangan setelah beliau. Hal itu merupakan tujuan yang dijelaskan dalam hadis Tsaqalain. Oleh karena itu, penyebutan dua belas imam atau dua belas khalifah dan pemberitahuan akan kemunculan mereka setelah beliau adalah untuk memberi hidayah umat Islam dan menjaga masa depan perjalanan mereka pasca-Rasul serta penyempurnaan hujjah atas mereka. Inilah poin penting yang harus diambil sebagai sebuah pelajaran dalam mempelajari hadis ini dan guna mengenali objek hadis tersebut.

Kaitan Hadis-hadis Haji Wada
2. Berdasarkan kesamaan yang dimiliki pada tiga hadis tersebut dalam satu masalah merupakan bantuan dalam memahami hadis yang menjadi pembahasan, yaitu dengan memperhatikan hubungan hadis ini dengan kedua hadis terakhir yang disampaikan Rasulullah saw pada haji wada itu sendiri atau paling tidak semasa hari-hari terakhir kehidupan beliau.

Pada dasarnya, ketiga hadis tersebut menggambarkan penyempurnaan jalan dalam memberi hidayah umat Islam yang memberikan jaminan keberlangsungan masa depan setelah Rasulullah saw.

Hadis Tsaqalain menerangkan—sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya—bahwa selamat dari kesesatan setelah Rasulullah saw hanya dengan jalan berpegang teguh pada al-Quran dan keluarga beliau. Sesungguhnya di setiap zaman ada seorang laki-laki dari keluarga kalian yang dapat dijadikan sebagai pegangan di samping al-Quran dan merupakan penyelamat dari kesesatan.

Adapun hadis al-Ghadir menjelaskan nama Imam Ali as sebagai wali (pemimpin bagi umat setelah Rasul) mereka wajib berpegang teguh pada wilâyah-nya sebagaimana diwajibkan untuk berpegang teguh pada wilâyah Nabi terakhir. Hal ini ditunjukkan dengan mengambil ikrar dari kaum Muslim bahwa dirinya lebih utama di antara orang Mukmin bahkan dari jiwa mereka sendiri. Kemudian, beliau bersabda,

مَنْ كُنْتُ مَوْْلَا فَهََذ عَلِيٌّ مَوْلَا 

“Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpin maka Ali sebagai pemimpinnya.”25

Adapun hadis dua belas imam menerangkan bahwa agama akan tetap tegak sampai hari kiamat dengan keberadaan mereka para imam. Jumlah mereka tidak bertambah dan tidak berkurang dan hadis tersebut memberi petunjuk untuk berpegang teguh pada mereka.

Dengan demikian, gambaran yang diberikan oleh ketiga hadis tersebut—yang disampaikan dalam pelaksanaan satu haji atau paling tidak pada masa yang sama, yaitu pada hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah saw dalam rangka satu tujuan yakni memberi hidayah umat Islam pada jalan keselamatan dari penyimpangan dan kesesatan setelah beliau—adalah bahwa keselamatan dan kesesatan dan pengajaran akan tegaknya agama akan terwujud dengan berpegang teguh pada al-Quran dan para imam dari keluarga Nabi saw yang suci yang setiap masa tidak pernah kosong dari salah satu di antara mereka. Mereka, para imam, diawali oleh Imam Ali as dan jumlah mereka adalah dua belas imam yang tidak bertambah dan tidak berkurang.

Sosok Dua Belas Khalifah
Ketika kita kembali merujuk pada fakta sejarah Islam, kita tidak mendapatkan sosok yang dihasilkan kecuali dua belas imam Ahlulbait as. Dimulai dengan Imam Ali as dan diakhiri oleh al-Mahdi al-Muntazhar as. Jumlah mereka tidak lebih dari dua belas orang dan tidak pula berkurang. Sosok yang tepat sebagaimana yang dikabarkan Rasulullah saw dan tidak terpalingkan satu pun hanya ada di antara mereka. Hal ini juga sekaligus pembenaran terhadap kenabian Muhammad saw yang telah ditetapkan di kalangan umat Islam seluruhnya.

Umat Islam seluruhnya membuktikan bahwa sebelas imam di antara dua belas imam telah wafat, dan kalangan Imamiyah meyakini bahwa imam ke-12 belum wafat, sementara hadis sebelumnya menaskan keberlangsungan keberadaaan beliau hingga hari kiamat. Oleh karena itu, tidaklah bertentangan pendapat yang menyatakan keberadaan imam ke-12 dan kini dalam masa kegaiban—mengingat seluruhnya sepakat beliau belum muncul—dan tegaknya agama karena keberadaan beliau dan kegaibannya juga menjadi pembenar sesuatu yang telah dinaskan pada hadis sebelumnya. Dengan demikian, hadis ini menjadi bukti akan keberadaan Imam Mahdi dan kegaiban beliau.

Kajian Hadis-hadis secara Mandiri

3. Makna yang ditunjukkan hadis tersebut dapat dijadikan sarana pada hal yang diinginkan melalui kajian hadis di atas secara mandiri tanpa mengaitkannya dengan hadis Tsaqalain dan hadis al-Ghadir. Yakni, hanya bersandar pada makna yang ditunjukkan oleh hadis itu sendiri sesuai dengan yang diriwayatkan dalam kitab-kitab Ahlusunnah. Setelah menggabungkan nas-nas yang ada, terlihat bahwa topik pertama menyangkut pemberitahuan pada umat Islam bahwa ada dua belas manusia sebagai pengganti Nabi Muhammad saw.

Sejalan dengan sabda beliau,

 يكو من بعد 

“Akan muncul setelahku,” yakni dengan adanya rentang waktu antara wafatnya beliau hingga hari kiamat sebagaimana yang dapat disimpulkan dari pembukaan sabda beliau,

 هذلامر لا ينقضي 

“Perkara ini tidak akan berakhir”, seperti hadis yang termuat dalam Shahih Muslim dan lainnya serta makna-makna lain yang menunjukkan hal tersebut.

Dengan demikian, sifat-sifat atau karakter-karakter yang disebutkan dalam hadis-hadis, tidak mungkin dapat diterapkan kecuali pada dua belas manusia setelah Rasul hingga hari kiamat. Jika tidak demikian, mengapa Rasul membatasi hal-hal tersebut hanya pada mereka? Lalu siapa sesungguhnya mereka?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita merujuk pada nas-nas hadis itu sendiri guna mengetahui sifat-sifat yang telah ditetapkan bagi mereka. Kemudian, kita perhatikan pada siapakah dapat diterapkan sifat-sifat tersebut. Adapun sifat yang disebutkan dalam hadis bahwa “mereka adalah umara (pemimpin-pemimpin) dari kalangan kaum Quraisy”, “mereka adalah khulafa (pengganti)”, “langgengnya agama merupakan kemuliaan bagi mereka”, “tegaknya agama karena mereka”, “mereka adalah pelindung umat”, dan “melakukan perlawanan terhadap yang memusuhi mereka”, akan kita pelajari selanjutnya. Sesungguhnya makna dari kata Quraisy sangat jelas.

Mayoritas dari mazhab-mazhab Islam mensyaratkan hal tersebut pada diri seorang imam. Adapun sifat khalifah (pengganti) dan amir (pemimpin), makna yang tergambar dari kedua kata tersebut adalah seseorang yang menggantikan Rasulullah saw dalam memimpin umat Islam atau seseorang yang menangani masalah mereka. Apakah maksud dari sifat ini adalah seorang pemimpin pemerintahan umat Islam secara politik setelah wafat Rasulullah saw?

Jelaslah, makna sifat tersebut tidak dapat diartikan dengan makna di atas karena hal ini menafikan makna hadis lain yang sahih bahkan menurut pandangan saudara kita Ahlusunnah. Hadis tersebut menjelaskan bahwa kekhalifahan seperti ini tidak berkesinambungan setelah wafat Rasulullah saw lebih dari tiga dasawarsa.

Selanjutnya, kekhalifahan berubah menjadi sebuah kerajaan sebagaimana yang dipaparkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim.26

Sementara itu, hadis menjelaskan keberlangsungan mereka dua belas pemimpin hingga hari kiamat. Oleh karena itu, tidak beralasan sekali jika kita membatasi objek-objek hadis pada pemerintahan de facto, yaitu pada mereka yang telah memimpin umat Islam selama ini.


Makna Fakta Sejarah
Selain hal tersebut di atas, fakta sejarah Islam menafikan bahwa makna yang dimaksud dengan khalifah adalah makna seperti ini. Pasalnya, jumlah mereka yang memimpin umat Islam setelah wafat Rasulullah saw dan disebut dengan sebutan khalifah lebih dari dua belas orang.

Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa dua belas manusia yang dimaksud dalam hadis tersebut, mungkin saja termasuk sebagian di antara mereka yang telah memimpin. Mereka adalah orang-orang yang memiliki sifat-sifat yang disampaikan hadis dan tidak hanya sekedar memimpin umat Islam dengan satu jalan atau jalan apa pun yang menjadikan mereka objek dari khulafa atau umara.

Sesungguhnya khilafah atau imarah dengan makna yang terkenal dan digunakan di kalangan umat Islam tertolak dan tidak dapat diterima berdasarkan penjelasan hadis. Mengingat begitu cepatnya perubahan kekhalifahan dengan makna seperti ini sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya, maka hal itu juga meniscayakan terjadinya perbedaan-perbedaan sepanjang sejarah Islam.

Hal ini yang ditentang dengan makna hadis-hadis lainnya sebab objek-objek dari pemahaman-pemahaman seperti ini telah berakhir sejak ratusan tahun yang lalu. Sementara itu, hadis mengisyaratkan bahwa kepemimpinan dua belas manusia tersebut berlangsung hingga hari kiamat tanpa ada kekosongan seperti yang kita saksiakan.

Oleh karena itu, kita harus memahami kata khalifah dalam hadis tersebut lebih luas dari sekedar memimpin pemerintahan secara politik. Yang dimaksud dengan khalifah Rasul dalam hadis ini adalah pewasiatan terhadap agama dan kekuasaan terhadap umat dan memberi petunjuk pada umat untuk menuju jalan yang lurus baik khalifah tersebut memegang tampuk pemerintahan secara langsung maupun tidak. Rasulullah saw melaksanakan kepentingan-kepentingan semacam ini ketika beberapa orang mengikuti dakwahnya secara sembunyi-sembunyi di Mekkah dan ketika memproklamasikan dakwahnya secara terang-terangan dan harus berhadapan dengan gangguan orang-orang musyrik. Begitu pula ketika Nabi saw berhijrah ke Madinah dan mendirikan serta melaksanakan pemerintahannya di sana.

Rasulullah saw adalah pembela dan pelindung agama yang benar dan mengajak manusia pada agama di setiap keadaan. Nabi saw tidak menginginkan dan merasa harus memimpin secara nyata pada sebuah pemerintahan untuk melaksanakan kepentingan-kepentingan tersebut kendati dirinya lebih berhak untuk memimpin pemerintahan secara nyata di setiap kondisi.

Inilah gambaran Rasulullah saw yang diisyaratkan pada mereka, dua belas pemimpin sejumlah pemimpin Bani Israil dan para washi dari Nabi Musa as sebagaimana yang dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal dan lain-lainnya.27

Makna seperti inilah yang ditunjukkan oleh hadis itu sendiri ketika menghubungkan—pada sebagian nas-nas hadis—antara keberadaan mereka dan tegaknya agama, yaitu menjaga agama. Mereka adalah para washi Rasulullah saw dan para khalifah beliau dalam menjaga agama dan pemberi petunjuk pada agama.

Berkesinambungannya Keberadaan Dua Belas Khalifah 
Sifat seperti ini—kebangkitan agama karena mereka—menunjukkan keberlangsungan mereka sejak wafat Rasulullah saw hingga hari kiamat. Pendapat yang mengatakan adanya keterputusan di antara mereka dan kekosongan suatu masa dari salah seorang di antara mereka, berkaitan dengan keberlangsungan agama dikarenakan mereka. Jika pendapat ini diamini, hal ini berimplikasi pada hilangnya Islam dan kekosongan kepemimpinan terjadi di suatu masa. Tentu saja, hal ini bertentangan dengan makna yang ditunjukkan dalam hadis dengan ungkapan

 يَزَ لدِّيْن قَائِم 

“Agama akan tetap berdiri” atau ungkapan hadis lainnya

لاَ يَزَ لدِّيْنًُ عَزِيزًْ 

“Agama akan tetap mulia”.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tidak mungkin objek dari hadis tersebut adalah orang-orang yang terpisah-pisah dalam kurun waktu sepanjang sejarah Islam. Bahkan sebaliknya, hendaknya tidak terjadi kekosongan pada suatu masa dari salah seorang di antara mereka. Dengan demikian, keberadaan mereka terus berlangsung dan berkesinambungan.

Ketika keberadaan mereka menjadi sebab kelanggengan agama, maka hal itu menguatkan makna yang dimaksud dari kata khilafah Rasulullah saw, yakni makna umum sebelumnya yang mencakup derajat pertama. Apa itu?
Pewasiatan terhadap agama yang benar, penjagaan, dan petunjuk terhadap agama serta mengajak pada agama.

Adapun permasalahan kelayakan untuk melaksanakan tugas-tugas perlindungan terhadap umat dan kekuasaan syariat terhadap mereka diambil dari kekuasaan kenabian sebagaimana yang disebutkan dalam hadis al-Ghadir yang telah kami paparkan.

Hal ini meniscayakan mereka untuk mencapai derajat yang tinggi dari ilmu agama dan pengamalan terhadap ilmu tersebut sehingga mereka layak untuk menjaganya, memberi petunjuk atasnya pada seluruh umat. Makna seperti inilah yang diinginkan dan ditunjukkan oleh hadis ketika menyifati mereka dengan ungkapan

 كُلُّهُمْ يَعْمَلْ بِالْهُدَ يِْنِ لْحَقِّ 

“Mereka semua beramal dengan petunjuk Allah dan agama yang hak.” Ungkapan seperti ini terdapat dalam beberapa nas hadis.28

Berdasarkan pandangan sebelumnya, kita dapat memahami sifat setelahnya yang disebutkan dalam beberapa hadis bagi mereka, yaitu bahwa mereka kelak akan mengalami banyak penolakan dalam berbagai bentuk—jika tidak begitu banyak, tidak layak untuk disebutkan—namun tidak akan membahayakan mereka. Yang dimaksud dengan permusuhan dan penentangan yang tidak membahayakan mereka adalah penentangan dan permusuhan yang ditampakkan pada mereka tidak menghalangi mereka untuk merealisasikan kepentingan-kepentingan dan tugas penting mereka dalam menegakkan agama dan kemuliaannya.

Kendati hal itu menimbulkan kesulitan dan senantiasa dihadapi oleh mereka di setiap masa, situasi politik umat Islam sangat memprihatinkan sepanjang sejarah atas apa yang menimpa pada umat Islam baik kehinaan dan ketebelakangan, begitu pula bahwa mereka yang menduduki posisi pemerintahan memiliki perangai yang sangat buruk dan jauh dari makna khilafah rasul yang sesungguhnya. Inilah sifat-sifat khulafa imam duabelas yang dapat diambil dari makna-makna hadis yang diriwayatkan dalam kitab-kitab terbaik dan dapat dipercaya di kalangan saudara kita Ahlusunnah. Lalu pada siapa dapat diterapkan hadis tersebut?

Pemimpin-pemimpin dari Keluarga Nabi adalah Objek yang Sesungguhnya Fakta sejarah membuktikan bahwa satu-satunya objek yang dapat diterapkan adalah para imam dua belas dari kalangan keluarga Nabi Muhammad saw. Mereka yang dikhususkan dengan jumlah tersebut dalam sejarah sebagaimana yang telah diketahui dan akan kita terapkan sifat-sifat tersebut pada mereka.

Bukti-Bukti Penerapan

Pertama, sesungguhnya hadis menunjukkan dengan jelas keharusan terpenuhinya seluruh sifat tersebut pada mereka dua belas khalifah pengganti Rasul sehingga layak bagi mereka dan agama akan tetap tegak karena mereka. Hal ini menunjukkan bahwa mereka secara keseluruhan merupakan manifestasi dari satu jalan, satu landasan dalam mempertahankan agama, menjaga, dan menyampaikannya—sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sifat-sifat ini terpenuhi pada para pemimpin dari keluarga Nabi yang suci. Mereka adalah orang-orang yang ditetapkan bahwa ilmu-ilmu Nabi saw terdapat pada diri mereka dan diwasiatkan untuk berpegang teguh pada mereka untuk mencapai keselamatan dari kesesatan, seperti yang telah dijelaskan dalam hadis Tsaqalain. Sebagian besar umat Islam—di antara mereka adalah para pemimpin empat mazhab—menimba ilmu pengetahuan agama dari mereka sebagaimana yang diterangkan dalam sejarah dan beberapa riwayat dari berbagai golongan dalam Islam menjelaskan bahwa seluruh umat Islam merujuk pada mereka. Umat Islam kekurangan dalam pengetahuan dan mereka kayakan kemiskinan umat Islam tersebut.29

Sejarah kehidupan mereka menyatakan kepiawaian mereka dalam mempertahankan agama Islam dan menyebarkan pengetahuan mereka serta perlindungan mereka terhadap umat Islam ketika mereka diserbu dengan gelombang-gelombang pemikiran selain Islam.

Pembuktian-pembuktian mereka terhadap orang-orang ateis dan pemimpin-pemimpin agama lainnya telah banyak dibukukan di kalangan Muslimin. Seluruhnya membuktikan bahwa tegaknya agama dikarenakan mereka dan pengganti peran Rasulullah saw dalam hal tersebut.

Begitu pula kelayakan mereka untuk memimpin umat Islam sebagaimana yang dinyatakan Dzahabi ketika berbicara mengenai kelayakan Imam Hasan, Imam Husain, Imam Sajjad, dan Imam Baqir as. Kemudian, dia berkata, “Begitu pula Imam Ja’far Shadiq as yang memiliki posisi tertinggi dalam ilmu dan lebih utama dalam hal ini dibanding dengan Abi Ja’far Manshur. Putra beliau, Musa, adalah manusia yang agung, luas pengetahuannya, dan lebih layak untuk menjabat kekhalifahan dibanding dengan Harun.30

Kedua, sejarah mereka sesuai dengan penjelasan hadis mengenai dua belas khulafa yang ditentang dan dimusuhi.
Namun, hal itu tidak membahayakan mereka dalam menegakkan tugas-tugas penting mereka guna menjaga agama dan mempertahankannya sebagaimana dapat kita perhatikan pada paragraf sebelumnya. Sejarah mencatat bahwa mereka menghadapi gangguan dan tekanan dari penguasa yang zalim yang tidak memberikan kesempatan sedikit pun pada mereka sebagaimana yang terjadi pada Imam Husain as dan keluarganya serta pada sahabatnya.
Begitu pula ancaman-ancaman berupa penjara, upaya pembunuhan, dan peracunan merupakan puncak keharusan kegaiban imam terakhir mereka yaitu Imam Mahdi as.
Kendatipun demikian, segala bentuk ancaman, kekerasan, permusuhan, dan penghinaan tidak menghentikan upaya mereka untuk menjaga sunnah kakek mereka Rasulullah saw dan menyampaikannya dengan cara meninggalkan hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mereka dan membukukannya dalam kitab-kitab para ulama pengikut mereka atas segala sesuatu yang dibutuhkan manusia di berbagai kondisi baik individu maupun sosial.31

Ketiga, makna hadis yang menunjukkan keberlangsungan eksistensi mereka secara terus menerus sejak wafatnya kakek mereka, yaitu Rasulullah saw hingga hari kiamat, sesuai dan dapat diterapkan pada mereka. Mata rantai keemasan yang ada pada mereka tidak mungkin dapat diputuskan dengan berbagai serangan musuh dan tekanan yang ditujukan pada mereka. Meskipun hal itu menyebabkan kegaiban imam terakhir mereka, yaitu Imam Mahdi as. Namun, peran beliau terus berlangsung dalam menjaga agama dan menegakkannya di balik tirai kegaibannya dengan berbagai bentuk. Telah ditetapkan bahwa keterhalangan yang terjadi antara manusia dengan keberadaan beliau laksana tertutupnya matahari dari pandangan mata oleh awan tetapi kita tetap mampu mengambil manfaat dari keberadaannya sebagaimana hal ini diterangkan di berbagai hadis.32

Dengan demikian, jelaslah bagaimana keyakinan ajaran Ahlulbait menafsirkan tidak adanya keserasian panjangnya masa antara wafatnya Rasul dan hari kiamat dengan penetapan hadis mengenai jumlah khulafa yang memimpin Islam sejumlah dua belas orang, tidak lebih. Keberlangsungan mereka terus bersambung hingga hari kiamat karena tegaknya agama disebabkan mereka.

Oleh karena itu, hadis tersebut merupakan salah satu hadis yang disepakati kesahihannya di kalangan umat Muslim dan menunjukkan keberadaan imam serta kegaibannya. Hadis tersebut tidak dapat diterapkan pada selain dua belas imam di kalangan keluarga suci Nabi Muhammad saw dan adanya tekanan-tekanan pada mereka yang menyebabkan kegaiban pemimpin terakhir mereka.

Kesepakatan bahwa Al-Mahdi adalah Penutup Dua Belas Khalifah
Pendapat tersebut dikuatkan oleh sejumlah besar ulama Ahlusunnah yang sesuai dengan ajaran Ahlulbait as bahwa al-Mahdi al-Muntazhar adalah khalifah ke-12 dari dua belas khalifah yang diberitakan oleh Rasulullah saw mengenai kepemimpinan mereka, seperti yang dijelaskan Abu Daud dalam Sunan-nya,33 Ibnu Katsir dalam tafsirnya,34 dan lainlain.

Al-Majmâ` al-Fiqhi (kumpulan fikih) yang dibuat untuk menjaga hubungan dalam Dunia Islam menjelaskan hal itu sebagai jawaban atas pertanyaan seorang Muslim dari Kenya mengenai Imam Mahdi yang dijanjikan. Majmâ’ al-Fiqhi menjawab, “Dia (al-Mahdi yang dijanjikan) adalah khulafâ` ar-rasyidîn ke-12 yang diberitakan oleh nabi mengenai mereka di sejumlah hadis-hadis yang sahih….”35

Mungkin penyandaran mereka pada hadis umat yang muncul dan tegak atas perintah Allah yang berbicara mengenai objek yang dibicarakan dalam hadis tentang dua belas imam yang menerangkan bahwa akhir dari pemimpin umat yang akan muncul adalah al-Mahdi yang dijanjikan sebagaimana yang akan kita jelaskan di bawah ini.

Hadis Umat yang Muncul dan Tegak Atas Perintah Allah
Hadis ini termasuk di antara hadis-hadis yang masyhur yang diriwayatkan dalam kutub as-Sittah dan kitab-kitab lainnya yang merupakan kumpulan riwayat-riwayat yang diakui di kalangan saudara kita Ahlusunnah dari berbagai jalur, seperti contoh Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis ini dari 27 jalur.36

Bukhari meriwayatkan hadis tersebut dalam Shahihnya dengan kalimat

لاَ يََز ن اَ مِ ن مَُّتِى ظَاهِرِيْنَ حَتَّى يَاْتِيَهُ م مَُْ ر للهَّ هُمْ ظَاهِرِيْنَ

“Akan selalu ada manusia dari umatku yang tampak sehingga datang pada mereka keputusan Allah dan mereka akan muncul.”37

Bukhari meriwayatkan dalam tarikhnya, Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, Turmudzi, dan Ahmad bin Hanbal serta al-Hakim dan selain mereka meriwayatkannya dengan kalimat,

لاَ تََز طَائِفَةٌ مِ ن مَُّتِى عَلَى لْحَقِّ حَتَّى يَأْتِ ي مَُْ ر للهَِّ عَزَّ جَلَّ

“Akan selalu ada manusia dari umatku yang selalu berada dalam kebenaran sehingga datang keputusan Allah Swt.”38

Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya begitu pula Muslim, Ahmad bin Hanbal, dan Ibnu Majah dengan kalimat,

مَنْ يُرُِ للهَُّ بِهِ خَرًيْ بِفِقْهِهِ ف ىِ لدِّيْنِ لََنْ تََز (مِنْ) هَذِ لْاُمَِّ ة مَُّةٌ قَائِمَةٌ عَلَ ى مَِْ ر للهَِّ, لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِ ي مَُْ ر للهَّ هُمْ ظَاهِرُ عََل ى لنَّ ا 

“Siapa yang menginginkan kebaikan dari Allah dalam memahami agama-Nya, dan akan tetap ada di antara umat ini, sekelompok umat yang menegakkan perintah Allah. Orang-orang yang menentang mereka tidak mampu mencelakai mereka sehingga datang perintah Allah dan mereka akan tampil dihadapan manusia.”39

Muslim, Ahmad bin Hanbal, dan Al Hakim serta lainnya meriwayatkan dari Jabir bin Samurah Nabi saw bersabda:

لاَ يََز هَذَ لدِّيْنُ قَائِمًا تُقَاتِلُ عَلَيْهِ عَصَابَةٌ مِ نَ لْمُسْلِمِيْنَ حَتَّى تَقُوْ لسَّاعَةُ

“Agama ini akan tetap tegak meski terjadi pembunuhan di antara umat Islam hingga tiba hari kiamat.”40 Hadis ini disampaikan oleh Nabi Muhammad saw ketika haji wada. Jabir sendiri juga meriwayatkan hadis dua belas khulafa dari kalangan Quraisy.

Dalam sebuah riwayat dari Muslim disebutkan:

لاَ تََز عَصَابَةٌ مِْ ن مََّتِى يُقَاتِلُو عَل ىَ مَِْ ر للهَِّ قَاهِرِيْنَ لِعَدُ هِِّمْ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَهُْ م لسَّاعَةُ هُمْ عَلَى لَِكَ

“Di antara umatku akan selalu ada orang-orang yang berperang atas perintah Allah yang mereka gagah di hadapan musuh mereka, orang-orang yang menentang mereka tidak mampu membahayakan mereka, sehingga tiba hari kiamat dan mereka akan tetap seperti itu.”41

Dalam sebuah riwayat yang disampaikan Abu Daud, Ahmad bin Hanbal, dan Hakim serta yang lainnya, disebutkan:

لاَ تَبْرَ عَصَابَةٌ مِ ن مَُّتِى ظَاهِرِيْنَ عَلَى لْحَقِّ لاَ يُبَالُو مَنْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَخْرُُ لْمَسِيُْ ح لدَّجَّا فَيُقَاتِلُونَهُ

“Tidak akan muncul dari umatku yang menampakkan kebenaran, tidak mempedulikan orang-orang yang menentang mereka, sehingga turun Isa al-Masih dan Dajjal kemudian mereka saling membunuh.”42

Dalam sebuah riwayat dari Bukhari dalam Tarikhnya, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, dan perawiperawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya sebagaimana yang dikatakan oleh Kisymiri dalam penjelasannya, Nabi saw bersabda:

لاَ تََز طَائِفَةٌ مِ ن مَُّتِى عَلَى لْحَقِّ ظَاهِرِيْنَ عَلَى مَنْ نَوَ هُمْ حَتَّى يَأْتِيَ مَُْ ر للهَِّ تَبَا تَعَاَلى يَنْزِ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ

“Akan tetap ada sekelompok dari umatku yang tetap berada dalam kebenaran, mereka muncul bagi mereka yang menginginkan mereka sehingga datang perintah Allah Swt dan Isa putra Maryam turun.”43

Dalam sebuah riwayat dari Muslim dan Ahmad bin Hanbal disebutkan, Nabi saw bersabda:

لاَ تََز طَائِفَةٌ مِ ن مَُّتِى عَلَى لْحَقِّ ظَاهِرِيْ نَ لَِى يوَْ لْقِيَامَةِ, قَا :َ فَيَنْزِ عِيْسَى بْنُ مَرْيَمَ, فَيَقُوْ مَِيْرُهُمْ تَعَا صَلِّ بِنَا, فَيَقُو :ُ لاَ , بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْ ض مَِيْرٌ لِيُكِْرَ للهَُّ هَذِ لْاُمَّةِ

“Akan selalu tetap ada sekelompok dari umatku yang berada dalam kebenaran dan selalu tampak sampai hari kiamat. Berkata, ‘Isa putra Maryam turun’ pemimpin mereka berkata, ‘Kemarilah salatlah bersama kami.’ Isa berkata, ‘Tidak, sesungguhnya ada di antara kalian seorang imam yang Allah akan memuliakan umat ini.’”44

Hadis tersebut disampaikan pada haji wada sebagaimana yang dijelaskan oleh Jabir bin Samurah yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad serta Hakim sebagaimana di atas. Pada haji wada ini, Rasul saw juga menyampaikan hadis Tsaqalain, hadis al-Ghadir, dan hadis Dua Belas Kalifah.

Dengan demikian, hadis tersebut muncul dalam kerangka ketentuan kenabian guna memberi petunjuk pada umat Islam pada sesuatu yang dapat menjaga perjalanan mereka setelah (ketiadaan) Rasul. Dengan kata lain, pada sesuatu yang menyelamatkan mereka dari kesesatan dan mati dalam kondisi kejahiliahan. Hadis tersebut tidak begitu jauh dari kondisi hadis-hadis sebelumnya.

Bagi orang-orang yang mau memperhatikan serta meneliti hadis ini dan hadis Dua Belas Khulafa, akan jelas bahwa keduanya berbicara mengenai objek yang satu tidak lebih sebagaimana hal ini dapat kita saksikan pada kesamaan di antara keduanya ketika menyebutkan sifat-sifat yang menunjukkan pada satu objek. Terutama yang menjelaskan hubungan tegaknya agama dan penjagaannya dengan keberadaan umat yang tampak dan melaksanakan perintah Allah yang disebutkan dalam hadis kedua dan keberadaan dua belas pemimpin pada hadis pertama karena hal tersebut adalah sisi standar untuk menegakkan agama dan menjadi rujukan dalam mengetahui hakikat agama yang benar dan penentangan terhadap mereka. Hal ini merupakan kesamaan di antara dua hadis dalam penjelasannya bahwa hal itu tidak akan membahayakan pada tugas-tugas penting mereka, yaitu mempertahankan agama yang benar dan menjaganya.

Hadis “umat yang muncul” menguatkan dengan jelas—sebagaimana yang disebutkan dalam nasnya—kandungan yang disebutkan dalam hadis Dua Belas Imam selain keberlangsungan keberadaan mereka hingga hari kiamat. Demikian pula bahwa tugas penting dan mendasar bagi mereka adalah khilafah (mengantikan) Rasulullah saw dalam mempertahankan agama yang benar dan menjaganya. Berkuasa secara nyata ataupun tidak, hal itu tidak mempengaruhi mereka dalam melaksanakan tugas penting ini meskipun mereka lebih layak untuk berkuasa.

Sebagaimana yang dijelaskan bahwa pemimpin terakhir dari umat yang akan muncul ini adalah Imam Mahdi yang dijanjikan—sebagaimana ditunjukkan hal itu dalam hadis Dua Belas Khalifah—hadis tersebut menjelaskan keberlangsungan keberadaannya hingga muncul Isa putra Maryam yang akan menolong pemimpin umat tersebut dan akan shalat (di belakang) pemimpin tersebut. Peristiwa ini terjadi berhubungan dengan Imam Mahdi as—semoga Allah mempercepat kehadiran beliau—dan disepakati dikalangan umat Islam.

Hadis “umat yang muncul” menjelaskan keniscayaan mereka bahwa dua belas imam yang benar adalah orang-orang yang melaksanakan perintah Tuhan sebagaimana diterangkan dalam nas-nas sebelumnya. Mereka adalah manifestasi dari satu jalur yang sama yang sesuai dengan kepemimpinan Rasulullah saw dan penjagaan terhadap syariatnya. Mereka adalah satu jalur yang berkesinambungan dan tidak terputus hingga hari kiamat. Hal inilah yang tidak sesuai dengan kondisi yang terjadi pada sejarah para khalifah dalam pemerintahan Islam yang pernah berkuasa.

Karena itu, sekelompok orang yang lalai akan makna yang ditunjukkan dua hadis sebelumnya berusaha untuk memaksakan objek dua belas pemimpin pada mereka yang telah berkuasa setelah Rasulullah saw wafat dengan jalan apa pun. Mereka menolak dengan penolakan yang aneh namun mereka tidak mampu mengedepankan objek yang sesungguhnya yang sesuai dengan makna yang ditunjukkan oleh hadis dan tidak sesuai pula dengan fakta sejarah yang terjadi. Pendapat-pendapat mereka pun dapat dihitung dan dengan sengaja mereka menakwilkannya sementara hadis dengan jelas menerangkan hal tersebut, memaparkannya dengan sempurna sesuai dengan tujuan Rasulullah saw menyampaikan hal itu pada umat Muslim bahwa mereka adalah manusia-manusia yang menjalankan perintah Allah dan dia adalah hidayah bagi manusia, mengembalikan manusia pada Allah, dan mengajak manusia untuk berpegang teguh pada mereka.

Di manakah kesesuaian dalam langkah dan dalam prilaku serta dalam hal mewakili agama yang benar dan yang sesuai dengan ungkapan sebagai khalifah Rasulullah saw antara Imam Ali dan Muawiyah, atau antara Imam Husain as dan Yazid bin Muawiyah agar mereka semuadapat dianggap sebagai bagian dari khalifah Rasulullah saw yang berjumlah dua belas orang yang akan menegakkan agama? Bagaimana mungkin kita dapat mengatakan bahwa orang seperti Yazid bin Muawiyah atau Walid bin Abdul Malik layak untuk mendapatkan sifat dari Nabi untuk umat yang kelak muncul dan merupakan dua belas pemimpin yang diwasiatkan Rasul bahwa mereka dalam kebenaran dan melaksanakan perintah Allah Swt serta menjadi khalifah Rasul? Bagaimana mungkin kita mengatakan itu semua, sementara kita dapat menyaksikan bahwa mereka adalah orang-orang yang paling jauh dari ilmu agama dan tidak dapat menjadi manifestasi perilaku Rasulullah saw. Ini adalah sebagian dari pendapat yang diketengahkan para ulama sebagai objek-objek dari imam yang berjumlah dua belas orang yang terus bersambung. Namun, mereka lupa untuk menerapkan sifat-sifat lainnya pada mereka seperti yang telah kami paparkan. Bahkan lebih jauh, sebagian para ulama lupa untuk menjelaskan bahwa keberlangsungan mereka adalah keberlangsungan hingga hari kiamat sementara objek-objek yang mereka tampilkan seluruhnya terhenti hingga berakhirnya dinasti Bani Umayah.45

Adapun ulama-ulama yang berusaha menjaga sifat-sifat yang disampaikan oleh hadis namun berusaha menerapkannya pada para penguasa yang telah memerintah dalam sejarah Islam, mereka juga lalai akan makna hadis yang menyatakan keberlangsungan mereka tanpa adanya keterputusan. Mereka melupakan para penguasa setelah Muawiyah hingga sampai pada Umar bin Abdul Aziz dan menjadikannya sebagai pemimpin ke-5 atau ke-6 dari 12 pemimpin. Kemudian, mereka melupakan para penguasa setelahnya karena ini dan itu di kalangan Bani Abbas yang mereka melihat mendekati dengan sifat-sifat yang disebutkan dalam hadis. Kendatipun demikian, mereka tidak dapat menyempurnakan jumlah para pemimpin sehingga Suyuthi mengatakan, “Ada dua pemimpin yang tersisa yang ditunggu-tunggu. Salah satunya adalah al-Mahdi yang dijanjikan dan yang kedua tidak ada seorang pun yang mengetahuinya begitu pula yang lainnya.”46

Mereka tidak perlu melakukan penakwilan yang tidak benar dan membingungkan andaikan mereka mau memperhatikan topik pembahasan yang terdapat dalam hadis-hadis tersebut. Kemudian menyandarkan pada makna-makna yang ditunjukkan dengan jelas yang dapat diterapkan dengan sempurna pada dua belas imam dari keluarga Rasulullah saw. Mengenai pendapat yang mengatakan ketidakterputusan mereka hingga hari kiamat, terdapat keyakinan akan keberadaan imam ke-12 yaitu Imam Mahdi as dan kegaibannya. Kendatipun ia dalam kegaiban namun beliau tetap melakukan tugasnya menjaga agama meskipun melalui cara yang tersembunyi. Akan tetapi upaya tersebut adalah upaya yang sempurna untuk menjadi hujjah Allah pada manusia seluruhnya. Sebagaimana yang dijelaskan dalam berbagai hadis sebelumnya dan begitu pula hadis-hadis yang akan kami sebutkan mendatang. Hadis-hadis yang Menyatakan bahwa Masa Tidak Pernah Kosong dari Imam Quraisy yang Mengangkat Manusia dari Kematian Jahiliah

Hadis-hadis semacam ini juga diriwayatkan oleh dua jalur Ahlusunnah dan Syi’ah. Namun dalam hal ini, kami menukil riwayat yang disampaikan dalam kitab Ahlusunnah yang dapat dipercaya. Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahih mereka, begitu pula Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya dan lain-lainnya dengan sanad-sanad mereka dari Rasulullah saw, beliau bersabda:

لاَ يََز هَذَ لْاَمْرُ فِى قُرَيْشٍ مَا بَقِيَ مَِ ن لنََّ ا ثِْنَا 

“Masalah ini akan tetap berada pada Quraisy selama manusia tetap ada kendati dua orang saja.”47

Bukhari juga meriwayatkan dalam Tarikh-nya, Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkan dalam Musnad-nya, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, Ibnu Abi Syaibah dalam Musnadnya, Thayalisi dalam Musnad-nya, Abu Ya’la, Thabrani, al-Bizar, Haitsami, dan lain-lainnya juga meriwayatkan dengan kalimat yang berbeda-beda dan dengan sanad yang beragam dari Rasulullah saw, beliau bersabda (dengan kalimat dari Haitsami):

مَنْ مَا بِغَي رِ مَِا مَا مِيْتَةً جَاهِلِيَةً مَنْ نَزَ يً دَ مِنْ طَاعَةٍ جَا يَوْ لْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ

“Siapa yang meninggal tanpa seorang imam, maka dia meninggal dalam keadaan mati jahiliah dan siapa yang mengangkat tangan (berlepas diri) dari ketaatan, maka dia akan datang pada hari kiamat tanpa memiliki hujjah pada dirinya.”48

Ibnu Habban memberikan catatan terhadap hadis ini sebagi penjelas makna hadis. Ibnu Habban berkata, “Adapun ucapan Rasulullah saw:

مَا مِيْتَةً جَاهِلِيَةً

‘Meninggal dalam keadaan mati jahiliah’

bermakna, siapa yang meninggal dan tidak meyakini bahwa ada seorang imam bagi dirinya yang mengajak manusia untuk taat kepada Allah Swt sehingga Islam dapat ditegakkan melaluinya ketika terjadi peristiwa dan goncangan, meyakini dalam pembebasan terhadap seseorang yang tidak memiliki sifat seperti yang telah kami sifati, maka dia meninggal dalam keadaan jahiliah.”49

Makna لأمر (al-Amr) dalam al-Quran dan Hadis
Hadis pertama menerangkan mengenai kelanggengan al-Amr (perkara) pada Quraisy selama manusia tetap ada di muka bumi ini, maka bumi tidak pernah kosong dari seseorang dari Quraisy yang menjadi al-amr. Apa yang dimaksudkan dengan al- amr dalam hadis ini? Apakah mungkin dapat ditafsirkan dengan menerima pemerintahan yang terjadi yang berkuasa atas umat Islam?

Paling tidak setelah kejatuhan khilafah Abbasiyah hingga saat ini, tidak ada pemerintahan terhadap umat Islam dari kalangan Quraisy dan hal ini sangat jelas. Karena itu, tidak mungkin kita dapat menafsirkan kata al-amr selain kita mengatakan bahwa hal itu bermakna kekhalifahan secara umum Rasulullah saw dalam pewasiatan terhadap agama, penjagaannya, dan mempertahankannya serta memberi hidayah pada alam semesta. Inilah perkara yang pelakunya layak untuk memimpin umat Islam dan memerintah secara nyata. Dengan demikian kata al Amr dalam hal ini sejenis dengan kata al Amr yang terdapat dalam Surah an-Nisa pada ayat Tha’ah, yaitu firman Allah Swt, Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian pada Allah dan taatlah pada Rasul dan Ulil Amri di antara kalian.(QS. an-Nisa:59)

Ayat ini menegaskan kemaksuman ulil amri karena keikutsertaan mereka dalam perintah untuk taat pada Rasulullah saw karena Allah Swt dalam ayat ini memerintahkan untuk taat pada ulil amri dengan cara kepastian dan keharusan. Siapa yang diperintahkan untuk taat kepadanya dengan kepastian dan keharusan, maka hendaknya dia adalah orang yang terjaga dari segala bentuk kesalahan sebagaimana yang disampaikan Fakhrur Razi dalam tafsirnya.50

Dengan demikian, maka harus ada pada masa sekarang ini seorang dari kalangan Quraisy yang menjadi al-amr yang agama tegak karenanya, dihiasi dengan kemaksuman, dan menjadi pengganti Rasulullah saw dalam masalah penjagaan terhadap agama dan memberi hidayah pada manusia. Pasalnya, masa tidak pernah kosong dari seorang seperti itu sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis sebelumnya. Manakala tidak ada seorang pun yang mengaku sebagai imam yang lahir, maka kita mengatakan bahwa beliau ada namun beliau dalam kegaiban dan beliau melaksanakan tugas-tugasnya dalam menjaga agama sebagai manifestasi dari makna hadis. Inilah keyakinan ajaran Ahlulbait mengenai al-Mahdi dan kegaibannya.

Selain itu, hadis-hadis dua belas khalifah setelah Rasulullah saw membatasi jumlah khalifah hingga hari kiamat hanya dua belas orang saja. Hadis-hadis tersebut dengan jelas menunjukkan makna akan eksistensi Imam Mahdi dan kegaibannya. Karena itu, hadis yang menjelaskan bahwa masa tidak pernah kosong dari seorang imam dari kalangan Quraisy menguatkan makna yang ditunjukkan dalam hadis ini.

Makna yang ditunjukkan oleh hadis tersebut, juga dapat ditopang dengan hadis-hadis yang mengharuskan adanya pengenalan terhadap imam zamannya dan mengikutinya sebagaimana contoh yang telah kami bawakan. Digambarkan bahwa seseorang yang tidak mengetahui tentang imam zamannya dan berlepas diri dari ketaatan kepadanya sebagaimana yang dinaskan, maka orang tersebut tidak memiliki hujjah pada dirinya.

Karena itu, tidak berlebihan ketika kita mengatakan keharusan adanya seorang imam dan memungkinkan bagi kita untuk mengenalnya dan berpegang teguh kepadanya serta kita dapat mentaatinya. Jika tidak demikian, maka hujjah Allah terhadap orang-orang yang lalai untuk mengenalnya dan menaatinya tidaklah memiliki arti karena bagaimana mungkin berhujjah pada sesuatu yang tidak ada. Ketika perintah untuk menaatinya secara mutlak, hal ini menunjukkan kemaksumannya dan hal ini dikuatkan dengan permulaan hadis yang menyatakan bahwa tidak mengenal imam dan tidak berpegang teguh padanya akan menyebabkan seseorang meninggal dalam kondisi jahiliah.

Ketaatan padanya merupakan sebuah kewajiban karena dialah yang mengajak untuk taat pada Allah, dan dengan keberadaannya agama Islam akan tetap tegak sebagaimana dijelaskan Ibnu Habban yang kami nukil dari Abi Hatim dari makna hadis yang jelas tersebut. Oleh karena itu, Abu Hatim menyatakan bahwa ketaatan pada selain imam, yaitu pada orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat ini juga menyebabkan seseorang mati dalam kondisi jahiliah.

Ini yang dapat disimpulkan dari hadis pertama dan kesamaan makna yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut. Keharusan adanya seorang imam maksum dari kalangan Quraisy yang dengannya Islam akan tetap tegak.

Dia mengajak ketaatan pada Allah Swt dan dia adalah ulil amr yang bertanggung jawab menjaga agama yang benar. Manakala pemimpin seperti ini tidak tampak, maka kita harus menyatakan kegaibannya dan pelaksanaan tanggung jawab tersebut dilakukan di balik tirai kegaiban hingga hilang seluruh sebab yang mengharuskan adanya kegaiban. Pada saat itu akan tampak dan akan dibangun sebuah pemerintahan yang adil yang didasari oleh agama yang dia jaga selama ini.

Kita tidak mungkin mengatakan bahwa banyak yang mengalami kegaiban karena hadis-hadis dua belas khalifah membatasi jumlah khalifah Rasulullah saw dengan jumlah tersebut. Satu-satunya objek yang ditetapkan yang sesuai dan dapat diterapkan dengan berbagai syarat yang disimpulkan dari makna-makna hadis tersebut, hanya ada pada para pemimpin dari kalangan Ahlulbait as. Wafatnya imam ke-11 dari kalangan para imam Ahlulbait as telah ditetapkan dalam sejarah dan tidak tersisa dari mereka kecuali imam terakhir di kalangan mereka, yaitu Imam Mahdi yang dijanjikan.51

Dengan demikian, kita menyatakan bahwa beliau terus hidup hingga hari kiamat. Hal ini didasari oleh hadis sebelumnya. Mengingat bahwa di antara pendapat-pendapat yang paling benar adalah bahwa bumi tidak pernah kosong dari seorang hujjah sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Asqalani dalam syarahnya tentang Shahih Bukhari. Ia berkata, “Mengenai Nabi Isa as yang shalat di belakang seorang laki-laki dari umat ini sementara dia berada di akhir zaman dan mendekati hari kiamat merupakan bukti kebenaran pendapat yang menyatakan bahwa bumi tidak pernah kosong dari hujjah Allah. Wallahualam.” 52

Dalam hal ini, perlu diisyaratkan bahwa makna yang ditunjukkan yang dapat disimpulkan dari hadis-hadis yang menyatakan adanya Imam Mahdi dan kegaibannya adalah makna yang jelas, kecuali sebagian orang-orang yang menentang dan memiliki kepentingan untuk berargumentasi dengannya ataupun memerincinya atau tidak berbicara mengenai hal tersebut. Ada pula yang berusaha menggeneralkan makna hadis, menakwilkannya, dan berusaha memalingkannya dari objek sebenarnya disebabkan permusuhan politik yang kita saksikan dalam Dunia Islam. Hal ini juga berpengaruh pada masalah keyakinan dan menjadi sebab yang menyebabkan terancamnya sebagian ahli hadis untuk menukil dan mencatat hadis-hadis sahih lainnya dari Rasulullah saw. Salah satu hadis yang kami utarakan adalah hadis ini dan hadis-hadis yang menjelaskan sosok para imam.

Hal ini terjadi karena kepentingan politik para penguasa Dinasti Umawiyah dan Abbasiyah yang melarang untuk menyebarkan hadis-hadis seperti ini dan mencegah beredarnya buku-buku yang memuat hadis tersebut. Hal ini sangatlah jelas terutama bagi mereka yang mau merujuk pada sejarah Islam.[]

Catatan Kaki:
1. Shawâiq al-Muhriqah, hal.150. cetakan Mesir, Ibnu Hajar menerangkan tentang kemutawatiran hadis ini.
2. Sunan Turmudzi, jil.5, hal.621-622 tentang “Manaqib Ahlulbait Nabi” bab ke-32.
3. Ahl al-bayt fî al-Maktabat al-‘Arabiyah, Sayid Abdul Aziz Thabathaba’i, hal. 277-279.
4. Dar at-Taqrib Islami. Mesir mengeluarkan sebuah risalah lengkap yang ditulis oleh salah seorang anggota tersebut mengenai hadis ini dan menjelaskan pandangan tentang sanad-sanad hadis ini di berbagai kitab-kitab hadis terpercaya di kalangan Ahlusunnah.
5. Shawâiq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar, hal. 148; Ahl al-bayt fî al-Maktabat al-‘Arabiyah, hal.279.
6. Shahih Bukhari, jil.1, hal.37, jil.4, hal.31, jil.4, hal.65-66, jil.5, hal.137, jil.7, hal.9, jil.8, hal.161 cetakan Darul Fikr yang diulang dari cetakan Istanbul. Pada seluruh riwayat tersebut disebutkan kata “Tidak akan sesat selamanya setelahku” yang merupakan kandungan yang ingin beliau tuliskan.
7. Rujuk Talkhis wa Tarib karya Sayid Ali Milani pada bagian khusus mengenai jalur hadis Tsaqalain dari ensiklopedia ‘Abaqât al-Anwâr. Talkhis (ringkasan) ini telah dicetak dua kali. Cetakan pertama dalam dua jilid dan cetakan kedua dalam tiga jilid.
8. Shahih Muslim, jil.4, hadis ke-1873.
9. Sunan Turmudzi, jil.5, hal.662.
10. Al- Mustadrak ‘alâ ash-Shahihayn, jil.3, hal.109.
11. Shawâ’iq al-Muhriqah, hal.150 pada subbab pertama mengenai ayat yang berkenaan dengan mereka.
12. Rujuk Risalah Tsaqalain yang dikeluarkan Darut Taqrib Islamiyah di Mesir hal.18 dan rujuk pula perdebatan Sayid Muhammad Taqi al-Hakim mengenai pengakuan riwayat ini dan kandungan Hadis Tsaqalain dalam masalah Sunnah pada kitab beliau al-Ushûl al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqarin.
13. Shawâ’iq al-Muhriqah, hal.150.
14. Rujuk seperti kitab Hadits Tsaqalain, Tawaturuhu, Fiqhuhu karya Sayid Ali Milani.
15. Mishbâh al- Munir karya Fayyumi, hal.391 kata itrah.
16. Shahih Muslim, jil.2, hal.362.
17. Musnad Ahmad in Hanbal, jil.3, hal.259.
18. Rujuk Shahih Muslim, jil.17, hal.130 yang juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak-nya dan mensahihkan hadis tersebut sesuai syarat kesahihan menurut Bukhari pada jilid 3, hal.146, dan Ad- Durr al-Mantsur karya Suyuthi jil.5, hal.198.
19. Rujuk pembahasan Qurani yang disampaikan Allamah Thabatabai dalam Tafsir al-Mîzân mengenai ayat tersebut dan makna yang ditunjukkan oleh ayat tersebut.
20. Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal.151.
21. Rujuk perihal-perihal mereka—salam sejahtera bagi mereka—yang dimuat oleh para ulama rijal dari Ahlusunnah. Bahkan banyak ulama Ahlusunnah yang menulis kitab-kitab khusus mengenai duabelas imam dari keluarga Nabi Muhammad saw, seperti Ibnu Thulun dan lain-lainnya.
22. Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah, hal.151.
23. Rujuk kitab beliau Muntakhab al-Atsâr fî al-Imâm Tsani ‘Asyar
24. Nas ini dapat dirujuk dan dikenali sumber-sumbernya dalam kitab Muntakhab al-Atsar dan Mu’jam Ahâdits al-Imâm al-Mahdi, jil.2, hal.255-265. Begitu pula kitab Ahâdits al-Mahdi dalam Musnad Ahmad bin Hanbal.
25. Mengenai makna yang ditunjukkan pada hadis al-Ghadir, kemutawatirannya, dan jalur-jalurnya pembaca dapat merujuk Mausu’at al-Ghadir karya Allamah Amini dan juz khusus dalam kitab ‘Abâqat al-Anwar serta kitab-kitab lainnya.
26. Silahkan merujuk pada Mu’jam al-Ahâdits al-Imâm al-Mahdi, jil.1, hal.16-38.
27. Musnad Ahmad ibn Hanbal, jil.1, hal.398; al-Mu’jam al-Kabir karya Thabrani, jil.10, hal.195; Mustadrak al-Hakim, jil.4, hal.501.
28. Fath al-Bari fî Syarhi Shahih Bukhari karya Ibnu Hajar Asqalani, jilid 3, hal.184 Bab “Al-Istikhlaf (Kepemimpinan)”.
29. Silahkan merujuk pada kitab Al-Imâm ash-Shâdiq wa Madzâhib Arba’ah karya Syekh Asad Haidar, dan sejarah yang ditulis mengenai mereka dalam Tarikh Dimisyq karya Ibnu Asakir, dan dalam Tarikh al-Baghdad karya Khatib Baghdadi, ash-Shawâ’iq al-Muhriqah karya Ibnu Hajar, dan kitab Siyâr al- A’lam an-Nubala karya Dzahabi, Wafâyat al-A’yan karya Ibnu Khalqan dan lain-lainnya serta seluruh terjemahan dari mereka seluruhnya dari berbagai golongan Islam.
30. Siyâr al-A’lam an-Nubala, jil.13, hal.120. Rujuk pula apa yang dikumpulkan oleh Syekh Thabarsi dalam kitab al-Ihtijaj kita akan dapati contoh-contoh bagaimana mereka mempertahankan agama Islam dari serangan-serangan pemikiran yang masuk ke dalam Islam.
31. Hadis-hadis tersebut terkumpul dalam sebuah kumpulan hadis besar seperti Bihâr al-Anwâr karya Allamah Majlisi, Wasâ’il asy-Syî’ah karya Hurr Amili.
32. Seperti adanya at-tauqi’at (ketetapan-ketetapan) yang dikeluarkan beliau yang merupakan risalah yang beliau kirim pada orang Mukmin dan merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka berkaitan dengan agama. Ketetapan-ketetapan tersebut dimuat dalam kitab Al-Ghaybah dan juga dapat kita jumpai dalam kitab Kalimât al-Imam al-Mahdi dan ash-Shahifah al-Mahdawiyah dan kitab-kitab lainnya.
33. Rujuk apa yang dinukil oleh Syekh Abdul Muhsin al-‘Ibad pada pembahasan beliau mengenai ‘Aqidatu Ahl as-Sunnah wal atsar fî al-Mahdi al-Muntazhar yang dicetak dalam majalah al-Jâmi’at al-Islâmiyyah, No.3, Th. I, Dzulqaidah, 1388 H.
34. Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, jil.2, hal.34 mengenai penafsiran ayat ke-12 dari Surah al-Maidah.
35. Rujuk naskah yang dicetak untuk memberi fatwa dalam Dunia Islam, al-Majmâ` al-Fiqhi menyebarkan dari kitab Ahâdits al-Mahdi dari Musnad Ahmad ibn Hanbal, hal.162-166.
36. Rujuk kitab Ahadisul Mahdi Mim Musnad Ahmad ibn Hanbal yang dikumpulkan oleh Sayid Muhammad Jawad al-Jalali, hal. 68-76.
37. Shahih Bukhari, jil.4, hal.252.
38. Tarikh al-Bukhari, jil.4, hal.12, hadis ke-1797; Shahih Muslim, jil.3, hal.1523, hadis ke-1920; Sunan Abu Dawud, jil.4, hal.97, hadis ke-4202; Ibn Majah, jil.1, hal.5, bab I, hadis ke-10; Turmudzi, jil.4, hal. 504, hadis ke-2229; Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya, jil.2, hal.321.
39. Shahih Bukhari, jil.9, hal.167; Shahih Muslim, jil.3, hal.1524, hadis ke-1037; Musnad Ahmad, jil.4, hal.101; Ibn Majah, jilid 1, hal.5, bab I, hadis ke-7.
40. Shahih Muslim, hal.1524, hadis ke-1922; Musnad Ahmad, jil.5, hal.92, hadis ke-94; Mustadrak al-Hakim, jil.4, hal.449.
41. Shahih Muslim, jil.3, hal.1524-1525, bab 53, hadis ke-1924.
42. Musnad Ahmad, jil.4, hal.434;l Sunan Abu Dawud, jil.3, hal.4, hadis ke-2484; Mustadrak al- Hakim, jil.2, hal.71.
43. Tarikh al-Bukhari, jil.5, hal. 451, hadis ke-1468; Musnad Ahmad, jil.4, hal.429.
44. Mu’jam Ahâdits al-Imâm al-Mahdi, jil.1, hal.51-67, setiap hadis disebutkan sumber-sumbernya dari berbagai riwayat yang dapat dipercaya di kalangan Ahlusunnah. Sebagian kami pilih dari matannya dan sebagian lainnya kami ambil dari catatan-catatan.
45. Pendapat ini adalah pendapat yang terlemah dan paling jauh dari makna hadis. Kendatipun demikian, pendapat ini dipilih oleh Ibnu Baz dalam catatannya mengenai ceramah Syekh Abdul Muhsin Ibad mengenai al-Mahdi yang dijanjikan. Silahkan merujuk pada majalah Al-Jâmi’ah al-Islamiyah, No.3, Tahun pertama, Dzulqaidah
46. Ini sebagian pendapat. Silahkan merujuk pada Adhwa` ‘alâ Sunnah Muhammadiyah karya Syekh Mahmud Abu Rayyah hal.212, dan rujuk pula diskusi tentang pendapat ini yang disebutkan oleh Syekh Luthfullah Shafi dalam kitab beliau Muntakhab al-Atsar dalam catatan kakinya, Dalâil ash-Shidq, Syekh Muhammad Hasan Muzhaffar, jil.2, hal.315 dan setelahnya sebagaimana yang dipaparkan oleh Hakim Shadruddin Syirazi dalam syarah Ushûl al-Kâfî, hal.463-470 yang dicetak menggunakan tahun hijriah.
47. Shahih Bukhari jil.1, hal.78; Shahih Muslim, jil.3, hal.1452; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jil.2 hal. 29, jil.2 hal. 93, dengan jalur yang berbeda.
48. Tarikh al-Bukhari jil.6 hal.445; Musnad Ahmad ibn Hanbal, jil.3 hal.466, Shahih Ibnu Habban, jil.7 hal.49; Musnad At-Thayalisi, hadis ke-1259, no. 1913;Musnad Abi Syaibah, jil.15 hal.38; Mu’jam al-Kabir, Thabrani, jil.10, hal.350; Mu’jam az-Zawaid, jil.2 hal.252, dari Abi Ya’la dan Bizar serta Thabrani.
49. Shahih Ibn Habban, jil.7 hal.49.
50. Tafsir al-Kabir, jil.10, hal.144, dan rujuk pula pembahasan secara terperinci yang dipaparkan oleh Allamah Thabathabai ketika menafsirkan ayat ini dan makna yang diinginkannya dalam Tafsir al-Mîzân jil.4, hal.387-401.
51. Di sini dapat diperhatikan bahwa seluruh pakar sejarah dari berbagai mazhab Islam yang cenderung pada dua belas imam dari Ahlulbait as menyebutkan tanggal wafat imam ke-11 sementara mengenai Imam Mahdi bin Hasan Askari mereka hanya menyebutkan tanggal kelahirannya saja. Hal ini dibenarkan bahkan oleh orang-orang yang tidak meyakini bahwa beliau adalah Imam Mahdi yang dijanjikan dalam hadis-hadis yang sahih.
52. Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari karya Ibnu Hajar Asqalani, jil.6, hal.385.

(Teladan-Abadi/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: