Pesan Rahbar

Home » » KEGAIBAN PANJANG IMAM MAHDI DAN SEBAB-SEBABNYA (BAGIAN 4)

KEGAIBAN PANJANG IMAM MAHDI DAN SEBAB-SEBABNYA (BAGIAN 4)

Written By Unknown on Sunday, 13 December 2015 | 02:30:00




Kerangka Umum Pergerakan Imam Mahdi
TUJUAN umum dari pergerakan Imam Mahdi pada tahap kegaiban panjang adalah menjaga perjalanan umat Islam dan menciptakan kelayakan umat untuk kemunculannya. Tujuan lainnya adalah menegakkan kepentingan yang besar yang tercermin dengan penghentian kezaliman dan kejahatan serta mendirikan pemerintahan Tuhan yang adil di seluruh penjuru dunia dan membentuk masyarakat yang bertauhid secara murni. Semua ini akan kita bahas pada subbab tertentu menyangkut kehidupan Imam Mahdi as pasca kemunculannya.

Dengan kata lain, kerangka umum perjalanan kehidupan Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kemunculannya—pada tahap ini adalah persiapan kemunculannya melalui segala sesuatu yang mencakup hal tersebut seperti mengatur dan menjaga keimanan terhadapnya, memantapkan semangat dan mengukuhkannya di setiap generasi yang terus berganti selama masa kegaiban tersebut. Selain itu, menjaga risalah terakhir dari penyimpangan sekaligus menegakkan hal-hal yang memungkinkan untuk diwujudkan dari tanggung jawab imamah kendatipun hal itu dilakukan dengan metodologi yang beragam yang hal itu lebih banyak tersembunyi pada masa kegaiban pendek.

Dengan demikian, pemanfaatan atas eksistensinya terealisasi persis sebagaimana manusia dapat mengambil manfaat atas keberadaan matahari manakala tertutupi awan gelap.

Inilah tujuan umum dari kehidupannya pada masa kegaiban panjang (kubra) yang akan kita perhatikan secara jelas mengenai pergerakannya pada masa kegaiban ini. Sebelum kita memasuki contoh-contoh gerakangerakan ini, kami akan menyampaikan pandangan umum yang disampaikan sebagian riwayat mengenai sebab kegaiban dan rahasia-rahasianya. Karena jelas bahwa persiapan untuk kemunculan adalah dengan cara menghapus sebab-sebab yang mengharuskan terjadinya kegaiban. Karena itu, pengenalan terhadap sebab-sebab kegaiban akan memberikan pencerahan pergerakan alamiah Imam Mahdi as selama masa tersebut.

Sebab-Sebab Kegaiban Menurut Riwayat
Sejumlah besar hadis membahas mengenai sebabsebab terjadinya kegaiban. Pertama, kami akan memberikan contoh-contoh dari hadis-hadis yang menyebutkan sebab-sebab kegaiban. Perlu dijelaskan di sini bahwa setiap contoh yang kami sebutkan juga terdapat hadis-hadis lainnya yang serupa dengan contoh tersebut yang diriwayatkan dengan sanad yang beragam oleh para perawi hadis.

1) Sudair meriwayatkan dari ayahnya dari Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata,
“Sesungguhnya al-Qaim dari keluarga kami akan mengalami kegaiban yang panjang.” Aku berkata kepada beliau, “Wahai putra Rasulullah saw, mengapa hal itu terjadi?” Beliau menjawab, “Karena Allah Swt enggan kecuali menjadikan peristiwa-peristiwa kegaiban para nabi terdahulu terjadi padanya. Wahai Aba Sudair, Dia pun pasti mengakhiri masa kegaibannya. Allah berfirman:
‘Maka dia akan melalui tingkatan demi tingkatan’ yakni sunah-sunah yang berlaku sebelum kalian.”1

Abdullah bin Fadhl Hasyimi meriwayatkan, dia berkata,
“Aku mendengar Imam Shadiq as berkata, ‘Sesungguhnya pada shahibul amr (Imam Mahdi) akan terjadi kegaiban. Segala bentuk kebatilan akan muncul pada saat itu.’ Aku berkata pada Imam, ‘Jiwaku sebagai tebusanmu, mengapa?’ Imam menjawab, ‘Karena satu perkara yang kami tidak diizinkan untuk menyingkapnya pada kalian.’
Aku berkata, ‘Lalu apa hikmah kegaibannya?’ Imam menjawab, ‘Hikmah dalam kegaibannya seperti hikmah kegaiban-kegaiban yang terjadi pada hujjah-hujjah Allah sebelumnya. Adapun hikmah tersebut tidak akan tersingkap kecuali setelah kemunculannya sebagaimana tidak tersingkap hikmah perbuatan Nabi Khidhir kecuali setelah mereka berdua (Nabi Khidhir dan Nabi Musa—penerj.) berpisah. Wahai putra Fadhl, perkara ini adalah perintah Allah, salah satu rahasia dari rahasia-rahasia Allah, dan kegaiban dari kegaiban Allah. Manakala kita mengetahui bahwa Allah Swt adalah Zat Yang Mahabijaksana, kita meyakini dan membenarkan bahwa seluruh perbuatan-Nya dipenuhi dengan hikmah dan kebijaksanaan. Kendati hikmah itu tidak tersingkap.’”2

2) Zurarah meriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as, beliau berkata, “Sesungguhnya akan terjadi kegaiban bagi al-Qaim sebelum kemunculannya.” Aku bertanya, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Karena takut.” Beliau mengisyaratkan tangannya ke perutnya. Zurarah berkata, “Yang dimaksud adalah pembunuhan.” 3

Abdullah bin Atha meriwayatkan dari Abu Ja’far (Imam Baqir) as. Dia berkata pada Imam, “Sesungguhnya
Syi’ahmu di Irak sangatlah banyak. Demi Allah, tidak ada di antara Ahlulbaitmu seperti dirimu. Lalu mengapa engkau tidak keluar (berperang)?” Imam menjawab,
“Wahai Abdullah bin Atha, sungguh engkau telah melebarkan kedua telingamu bagi nawaqi (kekalahan). Ya, namun aku bukan shahib (pemilik) kalian.” Aku bertanya pada Imam, “Lalu siapa shahib kami?” Imam menjawab, “Perhatikanlah siapa yang kelahirannya tersembunyi dari manusia, maka dialah shahib kalian. Tidak ada seorang pun dari kami yang ditunjuk dengan jari dan disebut dengan lidah kecuali meninggal dalam kesulitan atau terbunuh.”4

3) Di antara hadis-hadis tersebut adalah hadis yang diriwayatkan dari Hasan bin Mahbub bin Ibrahim Kurkhi, dia berkata, “Aku berkata pada Abu Abdillah as atau seseorang berkata kepadanya, ‘Semoga Allah memberikan kemaslahatan kepadamu. Tidakkah aku saat ini kuat dalam agama Allah?’ Imam menjawab, ‘Benar.’ Dia berkata, ‘Lalu mengapa muncul suatu kaum dan mengapa mereka tidak mencegah dan menghentikan mereka?’ Imam menjawab, ‘Satu ayat Al-Quran yang mencegah hal itu.’ Aku berkata, ‘Ayat yang mana?’ Imam menjawab, ‘Firman Allah Swt:
‘Andaikan kalian menghapus, maka Kami akan azab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.’

Sesungguhnya Allah Swt meletakkan benih-benih orang mukmin pada tulang rusuk orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Maka aku tidak dibenarkan untuk membunuh ayah-ayah mereka hingga muncul benih-benih itu. Manakala benihbenih itu telah muncul dan segala sesuatunya telah nampak, saat itu berperang. Begitu pula al-Qaim dari Ahlulbait tidak akan muncul kecuali titipan-titipan Allah muncul. Saat segala sesuatunya telah nampak, saat itulah dia akan berperang.’”5

4) Diriwayatkan dari Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata,
“Demi Allah, tidak akan membantu leher kaliansehingga kalian diseleksi dan dipilih. Kemudian, sesuatu lenyap dari setiap kejatuhan. Tidak akan tersisa dari kalian kecuali peringatan.”
Kemudian Imam membacakan ayat ini. “Apakah kalian mengira kalian semua akan masuk surga sementara Allah mengetahui orang-orang yang berjuang di antara kalian dan mengetahui orang-orang yang sabar.”6

5) Diriwayatkan dari Imam Muhammad Baqir as, beliau berkata,
“Pemerintahan kami adalah pemerintahan terakhir. Ahlulbait tidak akan tersisa bagi mereka satu pemerintahan kecuali akan dipegang oleh kami sehingga mereka tidak mengatakan, ‘Jika mereka melihat kehidupan kami, jika kami berkuasa kami berperilaku seperti sejarah mereka,’ dan itu adalah firman Allah Swt, ‘Sesungguhnya balasan adalah bagi orang-orang yang bertakwa.’”7

6) Diriwayatkan dari Imam Ali Ridha as, beliau berkata— jawaban atas pertanyaan mengenai sebab kegaiban--,
“Agar tidak terjadi pada dirinya sebuah baiat saat ia mengangkat pedang.”8

Makna seperti ini banyak diriwayatkan dari para imam dengan berbagai kalimat. Di antaranya diriwayatkan dari Imam Mahdi as, beliau berkata dalam tauqi’ (pernyataan)-nya ketika menjawab pertanyaan Ishaq bin Yakub,
“Adapun sebab terjadinya kegaiban sesungguhnya Allah Swt berfirman, ‘Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian menanyakan sesuatu yang jika dibuka bagi kalian hal itu akan memburukan kalian.’ (QS. al-Maidah:101).

Sesungguhnya tidak terjadi pada seorang pun dari ayah-ayahku kecuali leher mereka digantung dengan baiat terhadap pemimpin zalim di masanya. Dan aku muncul, saat aku muncul, tidak ada baiat di leherku pada seorang pun dari penguasa yang zalim.”9

7) Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kemunculannya—menyatakan dalam risalah pertamanya kepada Syekh Mufid,
“Jika kami bertempat tinggal di kediaman kami yang jauh dari kediaman orang-orang zalim sesuai dengan petunjuk Allah kepada kami adalah satu kemaslahatan bagi kami dan bagi syi’ah-syi’ah kami yang beriman tentang hal itu, selama pemerintahan dunia berada di tangan orang-orang yang fasik.”10

8) Imam Mahdi as dalam risalah kedua beliau pada Syekh Mufid berkata,
“Andaikan syi’ah-syi’ah kami—semoga Allah memperkenankan mereka dalam ketaatan-Nya—bersatu dari hati untuk melaksanakan janji mereka, maka janji untuk bertemu dengan kami tidak akan lama. Mereka akan segera mendapatkan kebahagiaan dengan menyaksikan kami dengan sebenar-benarnya keyakinan. Penyaksian itu akan membenarkan mereka terhadap kami dan kami pun tidak akan menutup diri dari mereka, kecuali tidak akan bersambung pada kami sesuatu yang tidak kami sukai dan tidak pula sesuatu yang mempengaruhi mereka….”11

Inilah beberapa contoh hadis-hadis yang diriwayatkan dari para imam mengenai sebab kegaiban. Adapun sebab-sebab yang disebutkan dalam hadis-hadis tersebut banyak terjadi pengulangan. Oleh karena itu, kami akan menyebutkan sebab-sebab tersebut dalam delapan poin berikut.

1. Pengumpulan Pengalaman Umat-Umat Terdahulu
Hikmah Allah Swt dalam mengatur ciptaan-Nya menuntut kegaiban Imam Mahdi as sebagaimana hikmah Allah Swt yang menyebabkan kegaiban para nabi pada masa-masa terdahulu. Karena, segala sesuatu yang terjadi pada umat-umat terdahulu, terkumpul dan terjadi pada umat Islam, terjadi pada pemilik syariat yang terakhir. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan dan misi-misi langit, mengharuskan terjadinya kegaiban pada sebagian para nabi disebabkan ketidaksiapan umat menerima misi-misi tersebut. Begitu pula hal ini terjadi pada umat Islam. Untuk merealisasikan tujuan-tujuan langit dan syariat Islam yang terakhir, terjadi pula kegaiban pada washi terakhir, yaitu Imam Mahdi as sehingga umat manusia siap secara sempurna, demi menegakkan tujuan-tujuan tersebut. Jelaslah, alasan ini sangatlah bersifat umum. Bahkan membentuk satu kerangka tersendiri di antara sebab-sebab kegaiban yang disebutkan dalam berbagai hadis-hadis yang sahih.

Yang perlu diperhatikan dari kelompok hadis seperti ini adalah kegaiban yang terjadi merupakan satu rahasia diantara rahasia-rahasia Allah Swt. Rahasia tersebut tidak akan terungkap dengan jelas kecuali setelah kemunculan dan kehadiran Imam Mahdi as mengingat rahasia tersebut tidak dapat mereka ungkapkan kecuali setelah peristiwa kemunculan terjadi. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang sebab-sebab kegaiban, tidak menyebutkan hal itu secara keseluruhan, tetapi memerikan sebagiannya saja.

Adapun sebab-sebab lainnya tidak disebutkan karena tidak menjadi kemaslahatan untuk mengungkapnya sebelum kemunculan beliau Imam Mahdi as—semoga Allah mempercepat kemunculannya—setidaknya bagi umat secara keseluruhan. Kendatipun demikian, keimanan terhadap kegaiban merupakan cabang dari keimanan terhadap hikmah Allah Swt. Sesungguhnya Allah Mahabijaksana yang tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak memiliki tujuan demi kebaikan hamba-hamba-Nya.

2. Faktor Keamanan
Kekhawatiran terjadinya pembunuhan terhadap para nabi terdahulu seperti Nabi Musa as, Nabi Isa as, dan lain-lainnya, mengharuskan terjadinya kegaiban pada mereka. Hal ini juga sangat jelas terjadi pada Imam Mahdi as. Penguasa zalim pada saat itu, yaitu dinasti Bani Abbas, berusaha semaksimal mungkin membunuh beliau sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya.

Alasan ini menjadi pemicu utama terjadinya kegaiban, paling tidak pada masa kegaiban pendek. Teranglah, tujuan kegaiban dalam hal ini adalah menjaga keberadaan Imam, mengingat dirinya adalah hujjah Allah pada mahluk-Nya dan agar bumi tidak kosong dari seseorang yang menegakkan agama Allah, memberi petunjuk pada manusia atas perintah-Nya.

Lalu, apakah sebab pengkhususan kegaiban pada imam ke-12, jika untuk penjagaan pada dirinya karena dia sebagai hujjah Allah, sementara ayah-ayah beliau pun adalah hujjah Allah terhadap makhluk-Nya? Mereka pun menghadapi tekanan-tekanan dan penindasan.

Tidak ada satu pun di antara mereka yang meninggal kecuali dengan pedang atau racun?12 Jawaban atas pertanyaan tersebut, sangatlah jelas. Imam Mahdi as—semoga Allah mempercepat kemunculannya—adalah imam maksum terakhir. Beliau bertanggung jawab untuk mendirikan pemerintahan Islam yang mendunia. Melalui dialah, Allah Swt mewujudkan janjijanji-Nya, yaitu menjayakan Islam di atas agama-agama lainnya, mewariskan bumi pada orang-orang yang saleh.

Dengan demikian, jelaslah Allah Swt harus menjaga Imam sehingga tujuan-tujuan tersebut tercapai. Selain daripada itu, penguasa Bani Abbas berniat membunuhnya ketika masih bayi karena mereka mengetahui tugas-tugas penting yang akan diemban oleh bayi tersebut berupa perbaikan yang mendunia.

Adapun pada tahap kegaiban panjang, sebab ini masih berpengaruh selama belum terpenuhinya faktor-faktor yang dibutuhkan untuk menunaikan tugas-tugas tersebut. Seperti contoh, adanya para pendukung dan lain-lainnya. Beliau akan tetap menjadi target upaya pembunuhan para pemimpin zalim sebelum beliau melaksanakan tugas-tugas penting tersebut, sebagaimana yang terjadi pada ayah-ayah beliau.

Masalah ini sangatlah jelas, seperti yang diungkapkan oleh Imam Muhammad Baqir as kepada Abdullah bin Atha, dalam hadis kedua dari pembahasan yang lalu.

3. Kesempatan untuk Mencapai Kebenaran bagi Seluruh Umat dengan Munculnya “Titipan-Titipan” Allah.
Sesungguhnya, munculnya titipan-titipan Allah berupa benih-benih orang mukmin yang tersimpan dalam tulang rusuk orang-orang kafir merupakan faktor lainnya.

Mungkin yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah pemberian kesempatan kepada seluruh manusia untuk dapat mencapai kebenaran. Dengan demikian, tampak jelas kebenaran ajaran Islam yang dibawa oleh Imam Mahdi as. Pada gilirannya, terbentuklah pribadi-pribadi yang sebelumnya terjerumus dalam keyakinan-keyakinan yang sesat dan penyimpanganpenyimpangan berpaling menuju tujuan-tujuan Imam Mahdi as dan berbaris dalam barisan-barisan para pendukung Imam Mahdi al-Muntazhar—semoga Allah mempercepat kemunculannya.

Jelaslah, faktor inilah yang menyebabkan tertundanya kemunculannya secara langsung. Kemudian faktor ini juga dapat ditasirkan secara tidak langsung—kegaibannya sampai terpenuhinya faktor-faktor pendukung yang dibutuhkan untuk kemunculannya—bahwa kemunculannya dibarengi dengan kemunculan yang mendadak berupa azab-azab yang sangat pedih pada orang-orang yang menyimpang ketika melaksanakan tugas-tugasnya.

4. Pengukuhan Persiapan bagi Generasi Kemunculan Beliau
Sesungguhnya pembeda dan upaya pengukuhan kesiapan orang-orang mukmin untuk kemunculan beliau terealisasi dengan menghadapi kesulitan yang mengharuskan kegaiban beliau. Teranglah, keimanan atas keberadaannya dan keyakinan mengenai kegaibannyapada dasarnya juga merupakan faktor penting dalam menguatkan keimanan. Pasalnya, hal ini merupakan gambaran tingkatan pencapaian spiritual dari tingkatan-tingkatan pembebasan dari hal-hal yang bersifat materi saja. Karena itu, keimanan terhadap hal yang gaib merupakan salah satu sifat pertama orang bertakwa sebagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat pertama Surah al- Baqarah. Hadis-hadis juga menerapkan sifat ini dengan keimanan terhadap Imam

Mahdi—semoga Allah mempercepat kehadirannya—pada masa kegaibannya sehubungan beliau adalah objek terjelas dari kegaiban tesebut. Terlebih jika kita memperhatikan lamanya masa kegaiban tersebut.13

Karena itu, dapat kita perhatikan dalam hadis-hadis, banyak yang menyebutkan pujian-pujian bagi orang mukmin yang hidup pada masa kegaiban yang tetap berpegang teguh pada syariat Islam dan meyakini Imam Mahdi as, meskipun ada keraguan dalam keyakinan yang muncul disebabkan ketidakhadiran beliau yang dapat disaksikan secara langsung.14

Berdasarkan alasan ini, kita dapat memahami bahwa kegaiban merupakan faktor persiapan bagi para pendukung Imam Mahdi as, yaitu dengan cara kokohnya keimanan mereka terhadap kegaiban yang mengandung pembebasan dari kerendahan-kerendahan materi. Selain itu, persiapan kelayakan mereka untuk menolong Imam Mahdi dalam mewujudkan tugas penting beliau berupa kemaslahatan yang sangat besar dan mendunia.

5. Kejelasan Mengenai Kelemahan Aliran-Aliran Lain
Kenyataan mengenai kelemahan aliran atau agama lain untuk mewujudkan kebahagiaan dan kesempurnaan sebuah masyarakat, memiliki keselarasan dalam masyarakat secara umum untuk berperan positif sesuai dengan tugas-tugas penting Imam Mahdi as untuk mencapai kemaslahatan yang besar.

Dengan demikian, hal itu dapat menghilangkan keterbelakangan dari keikutsertaan yang diinginkan untuk merealisasikan tujuan-tujuan ketuhanan khususnya yang menyangkut pelenyapan sloganslogan penganut paham materialisme atau agama-agama yang memiliki pondasi dasar langit namun telah mengalami perubahan dengan berlalunya masa.

6. Menjaga Semangat Penentangan terhadap Kezaliman
Sesungguhnya Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kemunculannya—adalah figur yang memenuhi dunia dengan keadilan sebagaimana sebelumnya dipenuhi dengan kezaliman dan kejahatan. Dialah yang akan meruntuhkan pemerintah yang zalim, penguasa diktator, dengan pedang beliau setelah sempurnanya hujjah terhadap orang-orang yang menyimpang selama masa kegaiban panjang dan setelahnya sebagaimana telah kami jelaskan pada poin sebelumnya.

Dengan demikian, kemunculan beliau dibarengi dengan pergerakan perjuangan total yang tidak mengenal kompromi terhadap orang-orang yang menyimpang.

Sifat ini pula yang dituntut untuk dimiliki pengikut beliau. Mungkin inilah yang dimaksud dan makna yang

diinginkan dalam ungkapan hadis:
“Sehingga tidak ada di lehernya satu baiat pun pada penguasa yang zalim.”

Jelaslah, peran totalitas beliau dan para pengikutnya menyebabkan tekanan-tekanan para penguasa zalim akan semakin besar jika keberadaan beliau nampak sebelum reformasi kebaikan ini berlangsung dan sebelum terpenuhinya kondisi yang diinginkan bagi sebuah pergerakan atau jumlah pendukung yang dibutuhkan. Karena itu, dalam kondisi seperti ini, beliau tidak memiliki pilihan kecuali memusnahkan kezaliman dan membekukan setiap gerakan kepadanya meskipun tidak total sebagaimana kondisi ayah-ayah beliau. Pada kondisi seperti ini banyak sekali bahaya yang muncul seperti pelemahan terhadap semangat menentang kezaliman di kalangan orang-orang mukmin. Mereka melihat bahwa imam mereka yang bertanggung jawab untuk melenyapkan kezaliman secara menyeluruh ternyata diam di hadapan kezaliman. Terlebih-lebih sikap negatif seperti ini tidak menghentikan tipu daya penguasa zalim dan upaya mereka yang terus berlanjut untuk membunuh beliau agar terbebas dari peran imam dalam membalas keburukan yang mereka lakukan.

Ataupun Imam melakukan gerakan untuk mewujudkan tugas-tugas pentingnya sebelum terpenuhi faktorfaktor penting yang harus dimiliki demi keberhasilan. Hal ini berdampak pada terjadinya pembunuhan terhadapnya sebelum terealisasinya satu pun tugas pentingnya dalam mewujudkan kemaslahatan dunia.

Karena itu, kehadiran atau kemunculan Imam Mahdi harus dihindari sebelum sempurnanya kondisi yang dibutuhkan untuk sebuah gerakan reformasi kebaikan terbesar. Dengan metode penyembunyian ini, beliau memungkinkan untuk tetap membangun semangat mempersiapkan faktor-faktor yang dibutuhkan untuk mencapai keberhasilan merealisasikan tugas-tugas beliau ketika muncul.

7. Kemaslahatan Dirinya dan Orang-Orang Mukmin dengan Sebab Kegaiban
Sesungguhnya dalam kegaiban terdapat kemaslahatan bagi diri Imam Mahdi as dan juga bagi orang-orang mukmin. Sebab umum seperti ini menjelaskan salah satu hikmah Allah mengenai kegaiban, yaitu adanya kemaslahatan dalam kegaiban berkenaan dengan masalah imamah. Mungkin juga bermakna bahwa kegaiban adalah metode terbaik yang memungkinkan al-Mahdi as menegakkan tanggung jawab beliau sebagai seorang imam ketika dihadapkan dengan kondisi yang menentang terealisasinya tujuan-tujuan besar revolusi Imam Mahdi as seperti yang kami jelaskan sebelumnya.

Sesungguhnya dalam kegaiban juga terdapat kemaslahatan bagi orang-orang mukmin dan para pengikutnya. Mungkin pernyataan tersebut bermakna membuka peluang penyempurnaan dan persiapan di barisan mereka sekaligus pembenahan pada generasigenerasi selanjutnya sehingga menjadi generasi yang kuat secara kualitas maupun kuantitas dalam menyambut revolusi besar Imam Mahdi as. Atau mungkin yang dimaksud dengan kemaslahatan bagi orang-orang mukmin adalah penjagaan terhadap diri mereka dari kehancuran dan pemusnahan sebelum terealisasinya tujuan reformasi yang diinginkan atau menjaga dari upaya-upaya pelemahan untuk membantu Imam Mahdi sesuai dengan yang diinginkan ketika beliau muncul. Sebagaimana yang terjadi pada, misalnya, sikap orang-orang Muslim terhadap revolusi Imam Husain as dan sikap-sikap mereka sebelumnya, yaitu pada masa kepemimpinan saudaranya, Imam Hasan, dan ayahnya, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as.

8. Tidak Adanya Jumlah Penolong yang Diinginkan
Faktor terakhir adalah tidak tercukupinya jumlah orang yang dibutuhkan secara kualitas maupun kuantitas yang dapat menjadi pendukung beliau dalam melaksanakan tugas-tugas penting. Untuk mewujudkan sebuah reformasi kebaikan yang besar dibutuhkan jumlah pendukung yang cukup yang memiliki tingkat keikhlasan yang tinggi dalam melaksanakan syariat muhammadiyah, memiliki keikhlasan yang tinggi dalam merealisasikan tujuan-tujuan beliau, memiliki pengetahuan yang luas dan memahami tipu daya musuh dengan cara memiliki pengalaman berjuang dalam sebuah pergerakan tentang kekafiran, kefasikan, dan kemunafikan. Inilah sebab-sebab yang menyempurnakan alasan yang disebutkan dalam pembahasan keempat.


Sikap-sikap Imam Mahdi pada Masa Kegaiban Panjang

Sebagaimana yang telah kami isyaratkan pada awal pembahasan, sesungguhnya perjalanan Imam Mahdi as dan perjuangannya pada masa kegaiban panjang berpusat pada tujuan persiapan kehadirannya dan berperan dalam menghapus sebab-sebab yang mengharuskan terjadinya kegaiban pada beliau. Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa beliau berbuat dengan jalan memberikan petunjuk pada umat dan mengumpulkan berita-berita pada generasi-generasi selanjutnya.

Imam Mahdi juga berbuat dengan jalan menyampaikan kebenaran pada seluruh lapisan masyarakat dan menguatkan orang-orang yang berjuang demi menjaga dan menyebarkan agama Islam yang suci. Beliau juga menjaga setiap proses persiapan yang terjadi pada setiap generasi guna kemunculan beliau, menyingkap kelemahan ajaran-ajaran lainnya dalam mewujudkan kebahagiaan bagi manusia, menjaga semangat penentangan terhadap kezaliman, dan melumpuhkan upaya membunuh semangat tersebut.

Semua hal tersebut beliau lakukan namun melalui metode tersembunyi dan tidak nampak. Semuanya akan semakin jelas pada saat kemunculan beliau sebagaimana jelasnya peran beliau dalam berbagai peristiwa yang terjadi untuk merealisasikan tujuan-tujuan tersebut baik melalui sebab-sebab yang tidak diketahui ataupun diketahui namun tidak cukup dalam pemaparan dan penasiran peristiwa itu.


Penjagaan Beliau terhadap Dunia Islam

Imam Mahdi as dalam risalah pertama beliau kepada

Syekh Mufid berkata,
“Sesungguhnya kami mengetahui peristiwa yang terjadi pada kalian, tidak terlewati satu pun berita mengenai kalian. Sesungguhnya kami mengetahui kehinaan yang menimpa kalian sejak kalian sampai orang-orang salaf yang saleh di antara mereka, memperhatikan perjanjian yang dilakukan dari balik punggung mereka seakanakan mereka tidak mengetahui. Kami bukanlah orang-orang yang lalai untuk menjaga kalian, bukan pula orang yang lupa untuk menyebut kalian. Jika tidak karena hal itu, kami akan turun dengan membawa panji-panji pada kalian dan mendukung kalian memerangi musuh.”15

Sesungguhnya Imam Mahdi selalu mengikuti dan memperhatikan kondisi orang-orang mukmin dan beliau juga mengetahui perkembangan yang terjadi pada mereka, upaya-upaya pemisahan dan pelemahan yang mereka hadapi. Kemudian, Imam juga melakukan sikap-sikap tertentu yang dibutuhkan untuk mencegah bahaya yang menimpa orang-orang mukmin dalam berbagai bentuk.

Penjagaan seperti ini merupakan salah satu faktor penting yang ditasirkan sebagai penjagaan para pengikut mazhab Ahlulbait as dan keberlangsungan keberadaan mereka serta perkembangannya di setiap generasi.

Kendatipun upaya-upaya pembersihan dan pemusnahan terhadap mereka semakin gencar. Begitu pula serangan-serangan pemikiran yang ditujukan kepada mereka dalam upaya penentangan terhadap keyakinan dan ajaran Ahlulbait berabad-abad lamanya. Upaya-upaya genosida para pengikut Ahlulbait dan serangan pemikiran yang jelas terhadap mereka yang sangat gencar yang tercatat dalam sejarah Islam, sangatlah kuat dan tidak diragukan lagi bahwa hal ini mampu memusnahkan para pengikut Ahlulbait baik secara fisik maupun pemikiran. Namun, hal itu tidak terjadi karena penjagaan Imam Mahdi as.


Menjaga Islam yang Benar dan Penentuan Ijtihad

Sesungguhnya Imam Mahdi as pada masa kegaiban panjang beliau juga melakukan penjagaan terhadap agama Islam yang suci yang dibawa oleh mazhab Ahlulbait as.

Tanggung jawab ini merupakan salah satu tanggung jawab penting dalam imamah. Salah satu upaya beliau dalam hal ini di masa kegaibannya adalah dengan jalan memperkenankan bagi para ulama untuk melakukan ijtihad dan melarang mereka untuk sepakat dalam kebatilan dengan berbagai bentuknya. Hal ini mengingat bahwa hadis-hadis dan nas-nas mengenai hukum Islam juga terdapat pada orang-orang yang tidak mustahil melakukan kesalahan atau lupa. Begitu pula hadis-hadis dan nas-nas yang didengar dan dinukil oleh orang-orang yang memperbolehkan untuk meninggalkan dan menyembunyikannya. Jika hal ini diperbolehkan pada mereka, maka tidak dapat dipercaya bahwa hal itu dari mereka kecuali dengan adanya imam maksum di belakang mereka yang menyaksikan kondisi mereka, mengetahui keadaan mereka, dan jika mereka salah, beliau meluruskannya, jika mereka lupa, Imam mengingatkan dan jika mereka menutupi, Imam menampakkan kebenaran di hadapan mereka.

Kendatipun Imam Zaman tidak tampak karena berada di balik tirai kegaiban, sehingga mereka tidak mengenali keberadaan beliau, tetapi Imam berada di tengah-tengah mereka, menyaksikan keadaan mereka, mengetahui kondisi mereka. Andaikan mereka enggan untuk menukil atau tersesat dari kebenaran, taqiyah tidak membenarkan dan Allah akan menampakkannya dan mencegah hal itu sehingga kebenaran tampak dan hujjah terbukti bagi seluruh makhluk.16

Yang dimaksudkan dengan tampaknya Imam dan keberadaan beliau di sini, bukanlah kemunculan secara umum. Akan tetapi, kemunculan secara terbatas bagi sebagian para ulama sebatas yang dibutuhkan untuk menjelaskan kebenaran. Ini merupakan salah satu permasalahan yang dibahas oleh para ulama mengenai ijmak. Satu contoh, Allamah Sayid Muhammad Mujahid dalam kitabnya, Mafâtîh al-Ushûl berkata, “…berdasarkan kaidah luthuf yang mengharuskan bagi Allah untuk menentukan seorang Imam, maka kaidah ini juga mengharuskan terjadinya penolakan pada mereka (ulama) jika mereka bersepakat dalam kebatilan dan hal ini merupakan luthuf (kasih sayang) yang paling besar. Jika hal itu tidak dapat dihasilkan dengan jalan kemunculan maka harus dengan cara tersembunyi… Sesungguhnya keberadaan Imam pada masa kegaiban merupakan sebuah kasih sayang yang nyata. Beliau menetapkan segala sesuatu yang memungkinkan untuk diwujudkan dan menghapus penolakan. Kasih sayang seperti ini telah ditetapkan keharusannya sebelum kegaiban dan terus berlanjut setelahnya sesuai dengan koridor dasar (terlebih-lebih) bahwa penukilan yang mutawatir telah menunjukkan keberlangsungan hal itu.”

Mengenai hal ini disebutkan dari Nabi Muhammad saw dan para imam as dengan kalimat atau makna yang berdekatan. Diriwayatkan dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda,
“Sesungguhnya setiap bid’ah akan ditolak dengan keimanan oleh seorang wali dari Ahlulbaitku, seorang wakil yang akan menghapusnya dan mengumumkan kebenaran serta menolak tipu daya para penipu.”

Rasulullah saw bersabda dan dari Ahlulbait as,
“Sesungguhnya bagi mereka di setiap generasi ada seorang adil yang menolak penyimpangan dari orang-orang yang berlebihan, menginginkan kebatilan, dan penakwilan orang-orang jahil terhadap agama.”

Dalam kitab Al-Mustafid diriwayatkan bahwa mereka berkata,
“Sesungguhnya bumi tidak pernah kosong kecuali ada seorang alim di bumi tersebut. Jika orang-orang mukmin menambahkan sesuatu, ia menolaknya dan mengembalikan pada kebenaran. Jika mereka mengurangi sesuatu, ia menyempurnakan. Jika tidak demikian, mereka akan kebingungan dalam urusan mereka, tidak mampu memisahkan kebenaran dari kebatilan.”
Diriwayatkan dari Amirul Mukminin Ali as melalui jalur yang beragam, beliau berkata,
“Ya Allah, Engkau tidak pernah mengosongkan bumi dari seorang yang menegakkan hujjah baik nampak dan terkenal maupun tersembunyi namun mulia sehingga tidak dapat dibatilkan hujjah-Mu dan penjelasan-Mu….”

Pada sebagian riwayat yang lain, beliau berkata,
“Hendaknya di bumi-Mu ada seorang hujjah dari-Mu bagi seluruh makhluk-Mu. Dia yang menunjukkan manusia pada agama-Mu, mengajarkan mereka ilmu-Mu agar hujjah-Mu tidak pernah batil, agar tidak tersesat sebagian di antara mereka setelah Engkau memberi petunjuk kepada mereka melaluinya. Baik dia nampak namun tidak ditaati maupun tersembunyi atau dalam pengawasan atau dirinya gaib dari pandangan manusia saat dia memberi hidayah pada mereka. Sesungguhnya ilmunya dan akhlaknya tetap berada di hati orang-orang mukmin dan dengan itulah mereka berbuat.”

Ketika menasirkan firman Allah Swt:
“Sesungguhnya engkau adalah pemberi peringatan dan bagi setiap kaum ada seorang pemberi petunjuk,”

Disebutkan dalam beberapa riwayat mengenai ayat tersebut bahwa:
“Sesungguhnya pemberi peringatan adalah Rasulullah saw dan di setiap zaman ada seorang imam dari kalangan kami yang memberi petunjuk manusia pada ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw.”

Dalam riwayat lainnya dari para imam Ahlulbait as mengenai ayat di atas disebutkan
“Demi Allah, tidak ada seorang pun dari kami yang pergi (meninggal) kecuali akan tetap ada salah seorang dari kami hingga hari kiamat.”

Diriwayatkan dari Abu Abdillah Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata,
“Sejak Allah Swt ciptakan, bumi tidak pernah kosong dari seorang hujjah Allah baik nampak dan terkenal maupun gaib dan tertutup dan tidak pernah kosong (dari hujjah Allah—peny.) hingga tiba hari kiamat. Jika tidak demikian, maka Allah tidak akan disembah.” Imam ditanya, “Bagaimana manusia dapat mengambil manfaat dari seorang imam yang gaib dan tersembunyi?” Beliau menjawab, “Bagaikan manusia mengambil manfaat dari matahari pada saat tertutupi awan.”

Diriwayatkan dari al-Hujjah al-Qaim al-Mahdi as bahwa beliau berkata,
“Adapun manfaat keberadaanku pada masa kegaibanku bagaikan manfaat matahari manakala tidak bisa dilihat karena ditutupi awan. Sesungguhnya aku adalah penyelamat bagi penduduk bumi, bagaikan bintang yang menjadi pengaman bagi penduduk langit.”

Riwayat-riwayat seperti ini tidak terhitung banyaknya dan seluruhnya mengandung penjelasan ihwal terealisasinya penolakan terhadap kebatilan dan terwujudnya petunjuk pada kebenaran melalui Imam pada masa kegaiban. Jika yang dimaksud dengan keberhasilan semua itu melalui sebab-sebab yang tidak tampak sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadis (manfaat keberadaan seorang imam bagaikan manfaat matahari saat tertutupi awan), maka ia tertolak dengan sangat jelas. Akan tetapi, hal itu tidak menafikan kandungan di dalamnya berupa pemberitaan kebenaran. Hal ini termasuk penyandaran pada sebab….”17

Penetapan Para Fakih di Masa Kegaiban Sebagaimana yang telah kami isyaratkan ketika membicarakan sistem perwakilan atau utusan khusus pada masa kegaiban pendek, sesungguhnya sistem ini merupakan satu bentuk persiapan agar umat merujuk pada masa kegaiban panjang kepada para fakih yang adil yang menjadi cerminan dari diri beliau yang menggantikan mereka sebagai pemimpin yang tampak diperintahkan untuk merujuk seperti yang dijelaskan dalam tauqi’ (pernyataan) beliau yang ditujukan pada Ishaq bin Yakub.

Isi pernyataan beliau adalah:
“Adapun peristiwa-peristiwa yang terjadi merujuklah mengenai hal itu kepada para perawi hadis kami. Sesungguhnya mereka adalah hujjahku terhadap kalian dan aku adalah hujjah Allah atas kalian.”

Para imam Ahlulbait as juga mengisyaratkan sebelumnya mengenai peran penting ini bagi seorang ulama di masa kegaiban panjang. Satu contoh, riwayat yang disampaikan dari Imam Ali Hadi as bahwa beliau berkata,
“Andaikan tidak terdapat seorang ulama setelah kegaiban pemimpin kalian yang menyeru kepadanya, menunjukkan kepadanya, dan lebur pada agamanya dengan hujjah-hujjah Allah serta mengangkat orang-orang yang lemah di antara hamba-hamba Allah dari lingkaran-lingkaran iblis dan tipu dayanya, dari penentangan kaum nawashib (pembenci Ahlulbait), maka tidak tersisa seorang pun kecuali murtad dari agama Allah. Akan tetapi, mereka (ulama) adalah para pengendali hati para pengikut imam yang lemah bagaikan pengendalian seorang nahkoda pada para penumpangnya. Mereka adalah manusia-manusia terbaik di sisi Allah.”18

Dari ucapan beliau yang menyatakan: “Sesungguhnya mereka adalah hujjahku terhadap kalian dan aku adalah hujjah Allah atas kalian.” Dapat disimpulkan bahwa para fakih yang adil pada kenyataannya merupakan penghubung antara umat dan Imam—semoga Allah mempercepat kehadirannya—yaitu satu masalah yang meliputi sebagian yang lain—khususnya bagi mereka yang memiliki status khusus dalam menyelamatkan umat dan memiliki peran khusus dalam pemikiran dan politik atau kepemimpinan—melalui penentuan imam baik secara langsung maupun tidak langsung khususnya dalam sebuah pergerakan yang memiliki pengaruh terhadap perjalanan umat dan gerakan Islam. Seorang fakih seperti ini berperan aktif dalam menentukan pergerakan demi kemaslahatan umat atau berperan untuk mencegah bahaya yang akan menimpa umat. Banyak hadis yang dinukil yang menyebutkan dan menyingkap sebagian peranan para fakih. Namun, lebih banyak peranan yang tidak disebutkan. Sebagian daripada peran tersebut merupakan peran langsung dari Imam dan sebagian lainnya merupakan peran secara tidak langsung melalui salah seorang wakilwakilnya.19

Sahabat-sahabat Imam di Masa Kegaiban Panjang
Dari sejumlah hadis dapat disimpulkan bahwa Imam Mahdi as memiliki sejumlah sahabat yang ikhlas dan berjumpa dengan beliau yang hal ini berlangsung pada masa kegaiban panjang di antara penduduk setiap masa.

Sebagian hadis-hadis menjelaskan bahwa jumlah mereka adalah tiga puluh orang. Syekh Kulaini dalam kitab Al-Kâfî dan Syekh Thusi dalam kitab Al-Ghaybah meriwayatkan satu hadis dari Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata,
“Bagi shahibul amr (Imam Mahdi) terjadi kegaiban dan pada masa kegaibannya, dia memiliki tempat uzlah dan kediaman yang sangat harum serta terdapat tiga puluh orang yang tidak pernah merasa takut.”20

Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Imam Ja’far Shadiq as, beliau berkata,
“Bagi al-Qaim terjadi dua kegaiban. Salah satunya lebih singkat dan yang lainnya lebih lama. Pada kegaiban pertama, tidak ada seorang pun yang mengetahui tempat beliau kecuali orang-orang khusus dari para wakilnya. Adapun pada masa kegaiban lainnya tidak ada seorang pun yang mengetahui tempat beliau kecuali orang-orang khusus dari para pengikutnya.”21

Sebagian hadis menjelaskan bahwa Nabi Khidhir as merupakan salah seorang sahabat Imam Mahdi as dimasa kegaibannya.22 Mungkin Imam Mahdi mendapat bantuan dari mereka para wali—orang-orang yang memiliki tingkatan tertinggi dalam keikhlasan—dalam menegakkan misinya seperti yang telah disebutkan berupa penjagaan terhadap orang-orang mukmin, pengawasan terhadap mereka, dan penentuan para ulama, serta menolak bahaya yang mengancam keimanan sekaligus mempermudah gerakan persiapan sehingga muncul dalam Dunia Islam segala sesuatu yang dapat membantu persiapan kemunculan beliau dan faktor-faktor pendukung yang dibutuhkan untuk merealisasikan hal tersebut.

Perjumpaan dengan Orang-Orang Mukmin pada Masa Kegaiban Panjang
Sesungguhnya perjalanan kehidupan Imam Mahdi as pada masa kegaiban panjang menerangkan bahwa perjumpaan dengan beliau pada masa tersebut tidak hanya terbatas pada jumlah tertentu dari kalangan para wali ikhlas di setiap masa. Bahkan, hal ini juga mencakup selain mereka—meskipun dalam bentuk yang tidak berkesinambungan. Adapun hadis-hadis khusus yang menjelaskan tentang perjumpaan dengan beliau pada masa kegaiban sangat banyak jumlahnya. Bahkan, melampaui batas kemutawatiran. Manakala kita merujuk pada hadis-hadis tersebut dan menelitinya, kita dapat mengetahui bahwa tidak ada kebohongan dan kesalahan pada sejumlah hadis tersebut.23

Mirza Nuri, misalnya, menukil dalam kitab An-Najm ats-Tsaqib seratus riwayat. Beberapa sumber yang lain menyebutkan lebih dari jumlah tersebut. Sebagai penguat akan hal tersebut, terdapat beberapa kisah yang dapat diterima yang tidak diriwayatkan dan juga tidak tercatat dalam sumber-sumber meskipun dinukil melalui perawi-perawi yang dapat dipercaya bahwa Imam Mahdi as berhubungan dengan sejumlah orang mukmin diseluruh penjuru bumi di setiap generasi dengan keberatan mereka agar tidak menjadi perhatian terhadap hal itu dan upaya penyembunyian selama-lamanya. Bahkan, dapat dikatakan bahwa kisah yang dapat diterima yang tidak diriwayatkan lebih banyak dibanding dengan hadis-hadis yang diriwayatkan.

Kisah-kisah yang dapat diterima tersebut mencakup kisah mengenai pemenuhan kebutuhan orang-orang mukmin—sebagaimana sejarah kehidupan ayah-ayah beliau dalam berbagai kebutuhan baik materi maupun spiritual. Begitu pula kisah tersebut mencakup peringatan, wasiat-wasiat pendidikan, penjelasan terhadap kekaburan pengetahuan-pengetahuan ketuhanan atau peringatan terhadap hukum-hukum yang benar dan lain-lain yang merupakan bagian dari tanggung jawab Imam as di setiap masa.

Pengukuhan Keimanan terhadap Keberadaan Beliau
Dengan terjadinya perjumpaan-perjumpaan ini, selain menambah manfaat apa yang telah disebutkan, pengaruh penting menyangkut pengukuhan keimanan terhadap keberadaan beliau juga terwujud dengan perjumpaan tersebut. Pada gilirannya pengalaman-pengalaman seperti itu menghapuskan keraguan-keraguan yang ditujukan terhadap hal tersebut di setiap masa yang hal ini merupakan penguatan perjalanan orang-orang mukmin dalam mempersiapkan kemunculan beliau. Khususnya sebagian besar dari perjumpaan-perjumpaan tersebut biasanya beriringan dengan ditampakkannya sesuatu yang tidak mungkin dapat ditampakkan oleh selain Imam, seperti penjelasan ilmiah yang mendetil atau penampakan karamah yang mampu memupus segala bentuk keraguan mengenai sosok beliau.

Perjumpaan-perjumpaan ini pada sebagian besar kondisi terjadi melalui pengaturan Imam sendiri tanpa disadari oleh orang yang mendapatkan keberuntungan berjumpa dengan beliau. Perjumpaan ini juga bisa diperoleh setelah beberapa waktu—terkadang hingga waktu yang lama—dengan kejujuran dan keseriusan seorang mukmin untuk berjumpa dengan beliau serta keikhlasannya pada Allah Swt dalam melakukan perbuatan-perbuatan yang saleh dengan tujuan tersebut. Sebagaimana pula hal itu dapat terpenuhi dengan jalan menyelesaikan kebutuhan orangorang mukmin yang meminta bantuan kepadanya atau melalui penyeleksian Imam as terhadap harapan-harapan yang diinginkan. Sebagian besar terjadi tanpa disadari oleh orang mukmin tersebut bahwa orang yang ia jumpai adalah Imam Mahdi as dan baru tersadar ketika perjumpaan telah selesai. Semua itu sebagai bentuk penjagaan bagi pondasi dasar kerahasiaan pada masa ini.

Kehadiran di Musim Haji
Hadis-hadis banyak menjelaskan bahwa salah satu sejarah kehidupan beliau pada masa kegaiban adalah kehadiran pada musim haji setiap tahun. Jelaslah, dengan kehadiran pada musim haji yang penting yang terjadi setiap tahun merupakan satu kesempatan yang baik untuk berjumpa dengan orang-orang mukmin dari seluruh penjuru dunia. Imam as menyampaikan penjelasan-penjelasan pada mereka kendatipun beliau tidak memperkenalkan dirinya secara jelas. Musim haji juga merupakan sarana bagi beliau untuk mengenal kondisi-kondisi mereka dari dekat tanpa membutuhkan cara-cara melalui mukjizat.

Sesungguhnya hadis-hadis yang menyebutkan kehadiran Imam Mahdi as pada pertemuan umat Islam tahunan ini, menerangkan bahwa:
“Imam menyaksikan musim haji, melihat mereka namun mereka tidak melihatnya.”24 Yang dimaksudkan dengan hadis ini adalah melihat dengan keterbatasan mengenai sosok beliau. Yakni mereka tidak mengetahui bahwa yang mereka lihat adalah Imam Mahdi mengingat terdapat beberapa riwayat lainnya yang menjelaskan mengenai kehadiran beliau pada musim haji. Sebagian lainnya menjelaskan tentang ketidaktahuan orang-orang yang melihat mengenai sosok beliau secara terbatas dan kurangnya pengetahuan mereka bahwa dirinya adalah keturunan dari Rasulullah saw.25

Taklif-taklif Di Masa Kegaiban Panjang
Hadis-hadis menekankan masalah kewajibankewajiban di masa kegaiban panjang berkenaan dengan hukum dari sisi pelaksanaan yang tercakup di dalamnya segala hal yang berkaitan dengan pergerakan manusia dimasa sekarang. Masa yang penuh dengan ujian-ujian dan kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi sebagai akibat dari ketidakhadiran seorang imam dan tidak adanya kemudahan untuk merujuk kepada beliau dengan mudah.

Pada subbab ini, kita akan membahas secara ringkas satu contoh mencolok mengenai kewajiban ini sesuai dengan pembatasan yang dilakukan oleh hadis-hadis. Namun kita membicarakannya secara terperinci mengenai pentingnya hal itu dan ia merupakan pengejawantahan dari kewajiban-kewajiban yang lainnya. Kewajiban tersebut adalah kewajiban penantian kehadiran Imam—semoga Allah mempercepat kehadirannya—mengingat hal ini merupakan pembahasan yang banyak mengalami kesalahpahaman dengan berbagai bentuknya.

Adapun kewaiban-kewajiban lainnya adalah sebagai berikut:
1. Penguatan terhadap keyakinan mengenai pemimpin di masanya, kegaibannya, kepastian mengenai kemunculannya, dia hidup dan memperhatikan segala urusan, mengetahui segala perbuatan manusia, kondisi yang mereka hadapi, serta beliau menanti terkumpulnya syarat-syarat yang dibutuhkan untuk kemunculannya.

Untuk mendalami pengetahuan-pengetahuan ini, harus dibangun berdasarkan bukti-bukti naqli (nas-nas baik berupa al-Quran maupun hadis) yang sahih dan argumentasi-argumentasi akal yang sehat.

Pentingnya kewajiban ini sangat jelas dalam kondisi ketidakhadiran seorang Imam pada masa kegaiban dan keraguan-keraguan yang timbul karena hal tersebut.

Sebagaimana pula pengaruh yang ditimbulkan dari adanya pengenalan dan pengetahuan tersebut sangat jelas dan dapat disaksikan dalam kehidupan seorang Muslim. Yaitu dengan terdorong untuk melakukan upaya perbaikan yang dibangun untuk kemajuan pribadi maupun masyarakat.

Pengenalan tersebut membentuk satu sikap perbuatan lebih yang serasi dengan kecenderungan dasar untuk berbuat dan merasa dalam penjagaan dan pengawasan imam zamannya. Sesuatu yang beliau saksikan dari kemajuan orang-orang mukmin dapat membahagiakan beliau dan segala bentuk kemunduran dan penyimpangan dari upaya perbaikan yang dibangun dapat menyebabkan kesedihan beliau.

Upaya-upaya perbaikan itu dibangun dengan berpegang teguh pada hukum-hukum Islam, akhlak yang terpuji, dan nilai-nilai dasar keislaman. Terpenuhinya syarat-syarat tersebut merupakan upaya penantian kemunculan beliau agar dapat membangun pemerintahan dimuka bumi ini dan mengangkat manusia melalui pemerintahan beliau.

Kita telah banyak menjumpai hadis-hadis yang memberitakan kegaiban Imam Mahdi as sebelum terjadinya kegaiban tersebut yang mengisyaratkan kewajiban ini. Kita akan menjumpai hadis-hadis mengenai kewajiban penantian ini melalui contoh-contoh lainnya. Lebih-lebih hal ini dapat kita jumpai melalui doa-doa yang sangat dianjurkan untuk dibaca pada masa kegaiban dan sangat ditekankan untuk melakukan kewajiban ini serta mengukuhkan pengetahuan terhadap Imam. Satu contoh, Kulaini dalam kitab Al-Kâfî, meriwayatkan dari Zurarah, bahwa Imam Ja’far Shadiq as berkata,
“Sesungguhnya bagi Al-Qaim terjadi kegaiban…
dia adalah orang yang dianti-nantikan, dia adalah orang yang kelahirannya diragukan.”

Zurarah berkata, “Aku menjadi tebusanmu, jika aku mendapat kesempatan mengalami masa itu, apa yang harus aku lakukan?” Imam menjawab,
“Wahai Zurarah, jika kau mendapati masa tersebut, maka berdoalah dengan doa ini,
“Ya Allah, perkenalkan Diri-Mu padaku, jika Kau tidak mengenalkan diri-Mu, maka aku tidak mengenal Rasul-Mu. Ya Allah, perkenalkan kepadaku Rasul-Mu, Jika Kau tidak mengenalkan Rasul-Mu kepadaku, maka aku tidak mengenal hujjah-Mu. Ya Allah, perkenalkan hujjah-Mu kepadaku, jika Kau tidak memperkenalkan kepadaku hujjah-Mu, maka aku akan tersesat dalam agamaku …”26
Dalam hadis ini, mengisyaratkan pada dasar-dasar keyakinan mengenai keimanan terhadap Imam Zaman dan pengaruh dari pengenalan tersebut.

2. Di antara kewajiban-kewajiban lainnya yang dikuatkan oleh hadis-hadis bagi seorang mukmin di masa kegaiban adalah mengokohkan hubungan batin dengan Imam Mahdi as, berperan aktif sesuai dengan tujuan-tujuan mulia beliau dan mempertahankannya serta memiliki ikatan batin yang dalam dengan kepemimpinan beliau.

Hal-hal seperti inilah yang merupakan kewajiban secara umum yang dikuatkan dan disebutkan dalam berbagai hadis. Misalnya, kewajiban seorang mukmin untuk berdoa untuk beliau demi penjagaan, pertolongan dan memohon untuk dipercepat kemunculan dan kehadiran beliau, memohon kehancuran para musuhnya, bersedekah untuknya, berkesinambungan dalam berziarah kepada beliau dan lain-lainnya seperti yang telah disebutkan dalam berbagai hadis. Ayatullah Sayid Isfahani, mengumpulkan hadis-hadis tersebut dalam kitab beliau Mikyal al-Makârim fî Fawaid Du’a lî al-Qaim. Begitu pula disebutkan dalam kitab beliau Wazha`if al-Anam fî Ghaybat al-Imâm.

3. Menghidupkan perintah ajaran Ahlulbait as,27 yang mencerminkan kepada beliau—semoga Allah mempercepat kemunculannya—dengan perbuatan yang dapat membahagiakan beliau seperti berbuat sesuai dengan ajaran Islam yang suci yang mendorong dirinya, menyebarluaskan pemikiran-pemikiran mereka, mengenalkan keteraniayaan yang mereka alami, berwilâyah kepada mereka dan berlepas diri dari musuh-musuh mereka; berbuat sesuai dengan pesan-pesan dan warisan-warisan mereka; mengedepankan upaya pembelajaran mengenai mereka; menolak untuk merujuk pada para penguasa atau pemerintah yang zalim; merujuk kepada para fakih yang adil yang dijadikan oleh para imam sebagai hujjah mereka bagi umat manusia di zaman kegaiban dan memohon perlindungan pada Allah untuk semua hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah nas:
“Jika kalian menjumpai masa yang tidak melihat mereka (para imam) seorang pun, maka memohonlah perlindungan dari Allah Swt, perhatikanlah sunnah yang kalian jalani, ikuti sunnah itu, cintai semampu kalian mencintai dan bencilah siapa yang kalian benci, maka penyelamat akan segera menjumpai kalian.”28

4. Memperkuat poros keimanan, saling menasehati dalam kebenaran Islam yang suci dan saling menasehati dalam kesabaran. Hal-hal tersebut merupakan salah satu bentuk kewajiban yang ditekankan untuk dilakukan pada masa kegaiban mengingat kesulitankesuliatan yang dihadapi pada masa tersebut dan terus memohon agar tetap berada dalam ajaran Ahlulbait as.

Disebutkan dalam sebuah riwayat, “Akan tiba suatu masa pada manusia, kegaiban imam mereka. Berbahagialah orang-orang yang teguh dalam perkara kami pada masa tersebut…”29

Inilah bentuk-bentuk nyata dari kewajiban-kewajiban khusus di masa kegaiban panjang. Khususnya terhadap sesuatu yang terjadi di masa tersebut atau merupakan bagian dari tanda-tanda kemunculan beliau seperti munculnya gerakan pertolongan al-muwatthi’ah—orang-orang yang mempersiapkan pemerintahan kepada Imam Mahdi as—atau menjauhkan diri dari fitnah Sufyani, atau meningkatnya peringatan ketika kemunculan seagian tanda-tanda yang menunjukkan dekatnya kemunculan al- Mahdi dan lain-lainnya.

Setelah penyampaian ringkas ini, kita membicarakan mengenai kewajiban penantian yang merupakan kewajiban terpenting dan mencakup amal terhadap kewajiban-kewajiban sebelumnya. Kita akan membahasnya pada penjelasan-penjelasan berikut.

Pentingnya Penantian
Hadis-hadis memberikan penekanan yang mendalam mengenai besarnya pengaruh penantian al-faraj yang dalam bentuk umum sesuai dengan kemunculan al-Mahdawi sebagai salah satu bentuk objek yang nyata khususnya menanti kemunculan Imam. Sebagian riwayat menyifati penantian sebagai ibadah terbaik seorang mukmin sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Ali as
“Ibadah seorang mukmin yang paling afdhal adalah menanti al-faraj Allah.”30

Tak pelak lagi, ibadah seorang mukmin lebih baik dari ibadah seorang Muslim. Dengan demikian, menanti kehadiran Imam Mahdi adalah ibadah yang paling afdhal jika hal ini diniatkan untuk beribadah pada Allah Swt dan tidak mengharapkan sesuatu dari dunia. Menanti kemunculan Imam Mahdi merupakan sarana terbaik untuk mendekatkan diri pada Allah Swt. Hal ini diisyaratkan dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq as berkaitan khusus dengan penantian al-faraj Imam Mahdi as. Beliau berkata,
“Berbahagialah pengikut al-Qaim dari kami, yaitu orang-orang yang menanti kemunculan beliau dari kegaibannya dan taat kepadanya disaat kemunculannya. Mereka adalah para wali (awliyâ’) Allah yang tidak merasa takut dan merasa sedih.”31

Oleh karena itu, penantian al-faraj adalah “Kelapangan yang paling agung,”32 sebagaimana disampaikan oleh Imam Sajad bahwa sesungguhnya orang-orang yang menanti termasuk dari golongan wali Allah.

Hadis-hadis mengungkapkan bahwa kebenaran penantian seorang mukmin terhadap kemunculan imam zamannya yang dalam kegaiban mencerminkan keikhlasannya dan kesucian keimanannya dari keraguan.

Imam Muhammad Jawad berkata,
“…Baginya terjadi kegaiban yang memakan waktu yang lama. Orang-orang yang ikhlas menanti kemunculannya sementara orang-orang yang kafir mengingkarinya….”33

Manakala penantian terhadap kemunculan Imam Zaman mencerminkan keikhlasan dan keimanan pada Allah Swt, mempercayai hikmah dan penjagaan-Nya terhadap hamba-hamba-Nya merupakan salah satu tanda berbaik sangka pada Allah. Karena itu, tidak heran jika hadis menyifati hal seperti ini dengan mengatakan, 
“Amal yang paling dicintai oleh Allah.”34

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa penantian terhadap kemunculan Imam Mahdi disebut sebagai “paling afdhal perbuatan umatku.”35

Begitu pula hal tersebut diungkapkan Rasulullah saw. Penantian terhadap kemunculan Imam Mahdi as mengukuhkan keterkaitan manusia dengan Allah Swt dan hubungannya dengan keimanan aplikatif bahwa Allah Swt Mahakuasa untuk menjalankan perintah-Nya dan sesungguhnya Dia berkuasa atas segala sesuatu. Dialah Allah yang mengatur urusan para makhluk-Nya dengan kebijaksanaannya yang penuh kasih sayang terhadap mereka. Hal ini merupakan salah satu hasil penting yang mungkin terdapat kemaslahatan manusia di dalamnya dan membantu manusia menuju proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan merupakan tujuan dari sebagian besar hukum Islam dan seluruh ibadah. Hal itu juga menjadi sebuah syarat diterimanya ibadah. Maka itu, ibadah tidak bernilai jika tidak disandari dengan keimanan dan ketauhidan yang murni yang dikukuhkan dengan adanya penantian terhadap kemunculan Imam. Ini merupakan pengaruh penting dari berbagai pengaruh yang disebutkan dalam hadis-hadis sebagaimana yang disampaikan Imam Ja’far Shadiq as. Beliau berkata,
“Akan aku sampaikan kepada kalian sesuatu yang Allah Swt tidak akan menerima amal ibadah kecuali dengan sesuatu tersebut…Kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, mengikrarkan apa yang diperintahkan oleh Allah serta ber-wilâyah kepada kami dan berlepas diri dari musuh-musuh kami—yakni khusus para imam—pasrah kepada mereka, warak, dan berupaya keras dengan penuh ketenangan serta menanti kehadiran al-Qaim…”36

Hadis-hadis juga menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan penantian dengan sesungguhnya dapat dikategorikan sebagai penanti—dengan berbagai pengaruh yang telah kami sebutkan sebelumnya—yang mendapatkan satu kemenangan besar dengan mencapai tingkatan sebagai sahabat Imam Mahdi seperti yang diisyaratkan Imam Ja’far Shadiq di akhir hadis yang telah kami sebutkan. Beliau mengatakan,
“Siapa yang kegembiraannya adalah sahabat al-Qaim maka hendaknya dia menanti.”
Penantian terhadap kemunculan Imam Mahdi menyebabkan seseorang berhasil mencapai pahala para sahabat Imam yang berjuang bersama beliau. Hal ini dengan jelas disampaikan oleh Imam Ja’far Shadiq ketika beliau menyampaikan,
“Siapa yang meninggal di antara kalian sesuai dengan perintah ini dan menanti kemunculannya, dia bagaikan orang yang berada tenda al-Qaim.”37
Begitu pula ia mendapatkan pahala orang yang mati syahid seperti yang disampaikan oleh Imam Ali as. Beliau berkata,
“Orang-orang yang melaksanakan perintah kami, maka kelak ia bersama kami dalam perlindungan yang suci dan orang-orang yang menanti shahibul amr dari kalangan keluarga kami bagaikan orang yang mengucurkan darahnya di jalan Allah.”38
Bahkan, seseorang yang menanti kehadiran Imam Zaman berhasil mencapai tingkatan tertinggi di antara para syuhada dan orang-orang yang berjuang di jalan Allah.

Imam Shadiq as berkata, “Siapa yang meninggal di antara kalian dan dia menanti shahibul amr, ia bagaikan bersama al-Qaim di tendanya.”

Perawi berkata, “Kemudian Imam berdiam sejenak lalu berkata, ‘Tidak, bahkan ia seperti orang yang berperang bersama beliau dengan pedangnya.’

Kemudian Imam Shadiq as berkata kembali, ‘Tidak, demi Allah, dia bagaikan orang yang mati syahid bersama Rasulullah saw.’”39

Hadis-hadis yang membicarakan mengenai pengaruh yang dihasilkan dari penantian terhadap kemunculan Imam Zaman sangat banyak. Dari hadis-hadis tersebut, dapat dipahami bahwa sebagian di antara hadis-hadis itu menjelaskan pengaruh dalam tingkatan-tingkatan yang menyingkap tentang perbuatan orang-orang mukmin menyangkut penantian yang sesungguhnya. Setiap kali upaya penantian mengalami peningkatan, maka pengaruh yang dihasilkan pun akan bertambah besar. Secara alamiah bahwa masalah ini berhubungan dengan realisasi nyata terhadap hal-hal yang sepatutnya berkenaan dengan penantian. Oleh karena itu, penting sekali untuk mengetahui makna penantian yang sebenarnya.

Hakikat Penantian
Penantian adalah sebuah kondisi psikologis yang memunculkan persiapan terhadap sesuatu yang dinantikan dan lawan kata dari hal itu adalah putus asa. Setiap kali penantian meningkat, maka persiapan semakin banyak.

Tidakkah Anda merasakan jika menanti seseorang yang akan datang, maka akan bertambah pula persiapan Anda ketika kedatangan seseorang itu semakin dekat. Bahkan, mungkin Anda akan mengganti riqad Anda dengan sihad karena besarnya penantian. Dari sisi ini, setiap kali tingkatan penantian mengalami perbedaan maka terjadi pula perbedaan kecintaan terhadap orang yang Anda nantikan.

Manakala kecintaan semakin besar maka bertambah besar pula persiapan menyambut kedatangan orang yang dicintai.

Perpisahan dengan sang kekasih membuatnya sedih. Sampai-sampai orang yang menanti melupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan penjagaan dirinya, dia tidak lagi merasakan apa yang menimpa dirinya dari rasa sakit ataupun tekanan yang menyayat.

Seorang mukmin yang menanti pemimpinnya, manakala penantiannya semakin besar maka semakin besar pula upaya dirinya untuk mempersiapkan baik dengan berbuat warak, berupaya sungguh-sungguh, melakukan pembenahan diri, menghindari akhlak-akhlak yang buruk, menghiasi dengan akhlak-akhlak yang terpuji sehingga ia berhasil menjumpai pemimpinnya, menyaksikan keindahannya di masa kegaibannya. Sebagaimana hal ini terjadi pada sejumlah besar orang saleh. Oleh karena itu, para imam maksum memerintahkan para pengikut mereka, sesuai dengan yang tercantum dalam riwayatriwayat, untuk melakukan upaya pembenahan diri dan melaksanakan segala bentuk ketaatan. Dalam sebuah riwayat yang disampaikan oleh Abu Bashir dari Imam Ja’far Shadiq as yang mengisyaratkan dan menunjukkan kemungkinan terjadinya keberhasilan tersebut dan pahala yang dapat diperoleh. Beliau berkata,
“Siapa yang kebahagiaannya adalah menjadi salah seorang sahabat al-Qaim, maka hendaknya ia menanti dan beramal dengan warak, berakhlak yang baik, dan dia dalam kondisi menanti. Jika ia meninggal dan al-Qaim muncul setelahnya, maka ia akan mendapatkan pahala seperti orang yang berjumpa dengan al-Qaim...”
Tak syak lagi, setiap kali penantian semakin kuat maka orang yang menanti akan mendapatkan tingkatan dan pahala yang lebih besar dari Allah Swt. 40

Dengan demikian, yang dimaksud dengan penantian adalah mengawasi kemunculan dan penegakan pemerintah yang kuat bagi al-Mahdi dari keluarga Nabi saw.

Pemerintahan itulah yang kelak memenuhi bumi dengan keadilan dan kebahagiaan, kejayaan agama di atas agama-agama lain sebagaimana yang difirmankan Allah kepada Nabi-Nya dan menjanjikan hal tersebut. Bahkan, para nabi dan umat-umat terdahulu juga menyampaikan hal ini sebagai berita gembira bahwa akan datang suatu masa yang tidak disembah sesuatu apa pun selain Allah, tidak ada suatu apa pun dari agama yang tersembunyi berada dibalik tirai karena kekhawatiran terhadap seseorang.41

Oleh karena itu, penantian meliputi kondisi hati yang dimunculkan oleh keyakinan dasar yang kokoh mengenai keharusan munculnya al-Mahdi yang dijanjikan. Beliaulah yang merealisasikan tujuan-tujuan para nabi dan risalah yang mereka sampaikan serta mewujudkan harapan-harapan manusia. Kondisi kejiwaan seperti ini memunculkan reaksi dalam bentuk sebuah gerakan dan perbuatan yang berporos pada persiapan dan upaya kelayakan untuk kemunculan sang juru penyelamat yang dinanti-nantikan.

Tidak salah jika riwayat-riwayat memberi penekanan lebih mengenai keharusan menguatkan pengenalan yang benar dan berdasar pada bukti-bukti keyakinan yang berkaitan dengan Imam Mahdi as, kegaibannya, dan kepastian kemunculannya.

Melalui penjelasan di atas, jelas bahwa penantian tidak dianggap benar jika tidak terkumpul tiga unsur yang berkaitan satu sama lain, yaitu keyakinan, kejiwaan, dan spiritualitas. Jika tidak memiliki ketiga unsur tersebut, maka penantian tidak memberi makna apa pun dari sebuah keimanan yang benar kecuali sebuah anganangan yang dibangun berdasarkan logika Bani Israil yang mengatakan,
“Pergilah engkau bersama tuhanmu dan berperanglah sementara kami duduk menanti disini.” (QS. al-Maidah: 24)
Logika ini adalah hasil dari sebuah harapan kebaikan pada diri manusia tanpa berbuat hal-hal yang positif untuk mencapai hal tersebut.42

Oleh sebab itu, kita dapat memperhatikan pada sejumlah hadis yang berbicara mengenai permasalahan penantian adanya penekanan terhadap pengenalan menyangkut Imam Mahdi, peran-peran beliau, dan mengeratkan hubungan yang berkesinambungan dengan beliau pada masa kegaibannya. Hal tersebut dapat diwujudkan sebagai aplikasi nyata terhadap sebuah penantian melalui keharusan berbuat dengan berwilayah padanya, berpegang teguh terhadap syariat yang sempurna sebagaimana yang telah kami jelaskan mengenai kewajiban-kewajiban dan persiapan seorang mukmin sebagai penolong Imam Mahdi—semoga Allah Swt mempercepat kemunculannya—menghiasi diri dengan sifat-sifat perjuangan, keyakinan, dan moralitas yang dibutuhkan untuk membantu mewujudkan tugas-tugas penting beliau, melakukan reformasi yang mendunia. Jika tidak demikian, maka tidak dapat disebut sebagai penantian yang sesungguhnya. Menanti kemunculan Imam Mahdi ada dua bentuk.

Pertama, penantian konstruktif yang menimbulkan sebuah gerakan dan pelaksanaan. Penantian semacam ini adalah ibadah bahkan ibadah paling afdhal.
Kedua, penantian destruktif yang mencegah manusia untuk berbuat. Penantian seperti ini adalah salah satu bentuk ketidakpedulian. Kedua bentuk penantian tersebut merupakan hasil dari pemahaman esensi kemunculan sejarah besar bagi Imam Mahdi yang dijanjikan. Sebagian menasirkan bahwa masalah kemahdian dan kebangkitan yang dijanjikan adalah sebuah bentuk luapan tidak lebih.

Hal itu muncul karena tersebarnya kezaliman, rasialis, perampasan hak-hak, dan kerusakan. Dengan masalah kemahdian dan kebangkitan yang dijanjikan, terjadi sebuah luapan munculnya tangan-tangan gaib untuk mengangkat kebenaran. Dengan demikian, salah satu bentuk bantuan yang dapat dilakukan oleh manusia untuk mempercepat kemunculan Al-Mahdi dan merupakan bentuk terbaik dari sebuah penantian adalah (ketidakpedulian terhadap) penyebaran kerusakan.

Akan tetapi, dari ayat-ayat al-Quran dapat disimpulkan bahwa kemunculan Imam Mahdi yang dijanjikan merupakan satu bentuk upaya di antara upaya-upaya pejuang kebenaran melawan pengikut-pengikut kebatilan yang berakhir pada kemenangan mutlak pembela kebenaran.

Keikutsertaan manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan seperti ini sangat bergantung pada peran aktif mereka dan upaya penggabungan diri di barisan para pembela-pembela kebenaran.

Dari riwayat-riwayat Islami, dapat dipahami bahwa kemunculan al-Mahdi dibarengi dengan pertentangan antara kebahagiaan dan kesengsaraan pada taraf puncak.

Namun, yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah kebahagiaan telah dihancurkan oleh kesengsaraan. Hadis-hadis yang membicarakan tentang sifat-sifat dari para pembela kebenaran yang bergabung dengan Imam sebelum kemunculannya. Meskipun kita gambarkan bahwa mereka memiliki jumlah yang sangat sedikit, tetapi dari sisi kualitas mereka adalah orang-orang mukmin terbaik yang telah mencapai tingkatan para penolong sayyid asy-syuhada (pemimpin para syahid) Imam Husain as. Begitu pula banyak hadis yang membicarakan persiapan untuk revolusi Imam Mahdi dengan serangkaian perlawanan yang dilakukan oleh para pembela kebenaran. Begitu pula sebagian dari riwayat tersebut juga membicarakan mengenai pemerintahan yang didirikan oleh para pembela kebenaran dan pemerintahan itu akan terus berlangsung hingga munculnya revolusi besar dunia melalui Imam Mahdi as.43

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa dalam penantian yang diinginkan oleh syariat ada sejumlah persyaratan yang tanpa persyaratan tersebut penantian tidak terealisir seperti kewajiban-kewajiban penting yang harus dilakukan pada masa kegaiban. Mengenai hal itu telah banyak dibicarakan dalam hadis yang mungkin seluruhnya terkumpul dalam sebuah ucapan Imam Sajjad as ketika beliau membicarakan mengenai masalah kemahdian. Beliau berkata,
“Sesungguhnya para penduduk di zaman kegaibannya yang mengakui keimamahannya dan menanti kemunculannya adalah lebih baik dari seluruh penduduk di setiap masa karena Allah Swt memberi mereka akal dan pemahaman yang menyebabkan kegaiban dihadapan mereka bagaikan sebuah kenyataan. Allah menjadikan mereka pada masa itu bagaikan orang-orang yang berjuang di masa Rasulullah saw dengan pedangnya. Mereka adalah orangorang yang ikhlas yang sebenarnya, pengikut kami sesungguhnya dan para penyeru agama Allah Swt baik secara tersembunyi maupun tampak. 44
Syarat-Syarat Penantian
Berdasarkan nas di atas dan penjelasan-penjelasan sebelumnya, kita dapat menyebutkan beberapa syarat-syarat penantian secara global. Syarat-syarat tersebut juga mengandung penjelasan hal-hal yang harus dilakukan oleh seorang mukmin sehingga dapat disebut sebagai para penanti sesungguhnya. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Memperdalami pengetahuan tentang Imam Mahdi—semoga Allah mempercepat kemunculannya—keimanan pada imamahnya, menegakkan tugas-tugas pentingnya, mengenal perannya dalam sejarah dan sisinya, kewajiban-kewajiban yang ada di dalamnya serta peran mukmin terhadap kewajiban tersebut. Selain itu, menguatkan hubungan dengannya dan mengukuhkan kaitan terhadap perannya dalam sejarah. Hal yang juga patut untuk dilakukan oleh seorang mukmin adalah memperkokoh keyakinan bahwa kemunculannya sangat mungkin terjadi sewaktu-waktu. Hal ini mengharuskan seorang mukmin untuk selalu siap menyambut kedatangannya sewaktu-waktu. Tentunya dengan mempersiapkan kelayakan dirinya untuk dapat ikut serta dalam revolusi beliau.

Untuk mewujudkan persiapan-persiapan yang dibutuhkan ini, sehingga penantian dianggap benar, maka hendaknya seorang mukmin juga menghiasi dirinya dengan sifat-sifat lainnya seperti yang disebutkan oleh Imam Sajjad as. Sifat-sifat tersebut pada dasarnya merupakan syarat lainnya untuk mewujudkan pemahaman penantian pada tataran perbuatan.

2. Menguatkan keikhlasan di berbagai bentuk aplikasi penantian terhadap Imam Zaman dan menyucikan dirinya dari berbagai kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan materi maupun pribadi. Seorang penanti sejati hendaknya menjadikan seluruh amal persiapan dirinya dengan penuh keikhlasan pada Allah Swt, dengan niat beribadah dan upaya mencapai keridhaan-Nya.

Dengan hal tersebut, maka penantian menjadi ibadah paling afdhal. Ayatullah Sayid Muhammad Taqi Isfahani menjelaskan bahwa keikhlasan dalam niat merupakan syarat mutlak dalam menegakkan kewajiban-kewajiban penantian. Pada akhirnya, terpenuhi syarat ini berkaitan langsung dengan persiapan pribadi untuk membantu Imam saat kemunculannya. Ketiadaan keikhlasan menyebabkan seorang penanti tidak memiliki kelayakan yang dibutuhkan untuk memikul segala beban dalam upaya membantu Imam—semoga Allah mempercepat kemunculannya—menegakkan revolusi besarnya.

3. Upaya pembenahan diri dan persiapannya secara sempurna untuk membantu perjuangan Imam as melalui kesungguhan dalam berpegang teguh pada tsaqalain (al-Quran dan keluarga Nabi) dan berakhlak dengan keduanya sehingga dengan hal-hal tersebut seorang mukmin benar-benar menjadi pengikut Imam Mahdi as. Dengan terpenuhinya syarat-syarat kepribadian, ketuhanan, dan perjuangan, seorang mukmin mampu menjadi penolong Imam dalam merealisasikan tujuan-tujuan beliau. Persiapan-persiapan tersebut dalam rangka menanti kehadiran Imam Mahdi as sangat terkait dengan pribadi seorang mukmin.

4. Mengupayakan sebuah gerakan pada tingkatan sosial guna mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi as dengan cara mengajak manusia kembali pada agama Allah yang benar, mendidik para pembela Imam, dan memberikan kabar gembira dengan adanya revolusi besarnya. Dalam hal ini, kita perlu memperhatikan sebuah hadis dari Imam Sajjad as ketika beliau menyifati para penanti yang sesungguhnya, beliau berkata, 
“Mereka adalah para penyeru pada agama Allah baik secara tersembunyi maupun terang-terangan.”
Dalam hadis ini diisyaratkan perlu adanya kesinambungan gerakan para penanti dalam mempersiapkan kemunculan Imam Mahdi as meskipun harus mengalami berbagaikesulitan. Jika kondisi memungkinkan, perlu mengajak manusia kembali pada agama Allah secara terangterangan.

Jika tidak memungkinkan, gerakan tersebut harus tetap dilakukan meski dengan cara tersembunyi sehingga seorang mukmin tidak memberikan toleransi pada dirinya untuk lari dari kewajiban persiapan ini karena menghindari kondisi yang sulit.

Berdasarkan penjelasan di atas, jelas bahwa penantian yang sesungguhnya mengandung gerakan membangun dan berkesinambungan dalam kerangka persiapan kemunculan sang Juru Selamat yang dinanti-nantikan baik secara pribadi maupun sosial meskipun menghadapi kondisi yang tidak kondusif atau sangat sulit. Imam

Khomeini—semoga Allah menyucikan ruhnya—di akhir penjelasannya yang disampaikan dalam sebuah peringatan Nishfu Sya`ban sebelum beliau wafat berkata, “Salam sejahtera baginya (Imam Mahdi yang dijanjikan), salam sejahtera bagi para penantinya yang sesungguhnya, salam sejahtera baginya dalam kegaiban maupun kemunculannya, salam sejahtera bagi orang-orang yang menjumpai masa kemunculannya dengan hakikat yang sesungguhnya yang menghilangkan dahaganya melalui cawan hidayah dan pengetahuannya, salam sejahtera bagi bangsa Iran yang besar yang mempersiapkan kemunculannya dengan berbagai pengorbanan dan kesyahidan….”45

Penantian dan Mengharapkan Kemunculan Secepatnya
Selain penjelasan mengenai kewajiban menanti Imam Mahdi—semoga Allah Swt mempercepat kemunculannya—pada masa kegaibannya bersandarkan pada sejumlah nas-nas syariat yang memerintahkan hal tersebut dalam bentuk kelapangan Ilahi secara umum atau kelapangan secara khusus melalui al-Mahdi, mereka juga menjelaskan tentang keharusan mengharapkan kemunculan Imam

Mahdi di setiap waktu. Hal ini juga didasari oleh nas-nas syariat Islam. Syahid Sayid Muhammad Shadr berkata, “Dari riwayat-riwayat yang menunjukkan adanya kewajiban di masa kegaiban, terdapat pula kewajiban menanti kemunculannya secepatnya dan mengharapkan kemunculannya secepatnya di setiap waktu yang berarti agar kita segera mewujudkannya.”46

Sayid Muhammad Taqi Isfahani setelah menukil sejumlah hadis yang menunjukkan adanya kewajiban menanti secepatnya, beliau berkata, “Yang dimaksud mengharapkan kemunculan di setiap pagi dan petang adalah menanti kemunculan al- Mahdi yang dijanjikan di setiap waktu yang mungkin hal ini bisa terjadi. Kemungkinan terjadinya hal tersebut di setiap bulan maupun tahun adalah hal yang tidak diragukan bergantung pada perintah Zat Yang Maha Mengatur alam. Oleh karena itu, diwajibkan untuk menanti beliau baik secara khusus maupun umum.”47

Kewajiban penantian ini mencakup seluruh umat Muslim sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Sayid Muhammad Isfahani seperti yang telah kami nukil, dikuatkan pula oleh Sayid Muhammad Shadr berdasarkan pada kesepakatan di kalangan umat Islam atas kepastian kemunculan al-Mahdi as. Selain kemutawatiran hadis-hadis yang menyebutkan hal tersebut, beliau mengatakan, “Sehingga menghasilkan keyakinan dengan makna yang ditunjukkan dengan hadis tersebut, dan tidak ada alasan untuk menolaknya di hadapan Allah Swt. Setelah mengetahui bahwa perwujudan saat itu berdasarkan kehendak Allah Swt tanpa adanya campur tangan pendapat dari selainnya, maka mungkin saja setiap waktu Imam Mahdi muncul dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut. Mengingat kemungkinan hal ini bergantung pada kehendak Allah Swt yang bisa terjadi kapan saja. Dalam hal ini, hendaknya tidak terjadi perbedaan mengenai pemaparan mazhab Imamiyah terkait dengan Imam Mahdi dengan pendapat lainnya. Berdasarkan pemaparan tersebut, Allah mengizinkan terjadinya kemunculan setelah penyembunyian.

Adapun berdasarkan pemaparan yang menyatakan bahwa Imam Mahdi as dilahirkan di masa mendatang dan akan bangkit dengan pedang, maka mungkin saja sudah terlahir saat ini dan Allah belum memerintahkannya untuk muncul. Kemungkinan seperti ini dapat terjadi setiap waktu.”48

Bersandarkan pada pandangan tersebut, pada akhirnya dikatakan bahwa kewajiban menanti secepatnya bagi orang-orang yang meyakini adanya sang juru selamat yang dijanjikan, juga menjadi kewajiban bagi agama-agama lainnya.

Permasalahan yang tertinggal saat ini adalah tanda-tanda kemunculan Imam Mahdi as sebagaimana yang dijelaskan dalam riwayat-riwayat. Tanda-tanda tersebut akan muncul sebelum kemunculan Imam Mahdi as. Tanda-tanda itu juga disampaikan ketika menyampaikan mengenai kewajiban untuk menanti secepatnya. Penyampaian tersebut diangkat mengingat bahwa penantian adalah sebuah kepastian dan pada dasarnya hal tersebut merupakan bagian darinya. Sebagaimana masa kemunculan tanda-tanda beliau, menunjukkan sangat dekatnya masa kemunculan beliau, maka syarat-syarat kemunculan dan terpenuhinya kondisi yang diinginkan bagi beliau, sangat mungkin terjadi penyempurnaan di setiap waktu. Sayid Muhammad Shadr berkata, “Sesungguhnya tanda-tanda tersebut sangat mungkin terjadi kapan saja dan sangat mungkin diikuti dengan kemunculan beliau dalam waktu yang singkat. Adapun syarat-syarat kemunculan, mungkin saja terjadi penyempurnaan dan perwujudan terhadap syarat tersebut sewaktu-waktu. Kami mengatakan bahwa adanya kemungkinan seperti ini pada setiap individu, cukup untuk membangkitkan kondisi kejiwaan untuk menanti secepatnya.”49

Kondisi kejiwaan seperti inilah yang diinginkan dalam menanti Imam as untuk segera muncul. Hal itu juga menjadi pendorong bagi seorang mukmin untuk bersegera mempersiapkan dan memenuhi kondisi-kondisi yang dibutuhkan untuk membantu perjuangan Imam Mahdi as dengan cara mempersiapkan dirinya dan orang lain untuk menyucikan diri dan mendidik pribadinya agar memiliki karakter-karakter para penolong Imam Mahdi as.

Hal yang juga dirasakan perlu adalah menyempurnakan pembahasan mengenai kewajiban menanti kemunculannya sebagai sebuah kewajiban penting bagi setiap Muslim pada masa kegaiban. Hal ini juga mengisyaratkan tidak diperkenankannya keputusasaan dari kemunculannya yang juga ditunjukkan dalam dalil-dalil al-Quran secara umum yang juga menjadi bukti keharusan adanya penantian.

Ayatullah Sayid Muhammad Taqi Isfahani membahas topik ini secara terperinci dan juga memaparkan beberapa argumentasi dari nas-nas syariat Islam dan menjelaskan makna yang ditunjukkan bukti-bukti tersebut. Begitu pula hukum-hukum yang dapat disimpulkan dari dalil-dalil tersebut perihal keputusasaan dan pembagiannya yang dapat digambarkan terkait dengan kemunculan Imam Mahdi yang dijanjikan. Secara ringkas, beliau menetapkan keharaman untuk berputus asa dari kemunculan Imam Mahdi as berdasarkan kesepakatan umat Islam mengenai kepastian hal tersebut. Begitu pula diharamkan putus asa terhadap terjadinya kemunculan pada waktu tertentu dan putus asa terhadap dekatnya kemunculan tersebut.50[]


Catatan Kaki:
1. Itsbat al-Hudat, jil.3, hal. 486-487.
2. Kamaluddin, hal.481; ‘Ilal asy-Syarai’, jil.1, hal.245.
3. ‘Ilal asy-Syarai’, jil.1, hal.246; Al-Ghaybah, Nu’mani, hal.176; Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.201.
4. Al-Kâfî, jil.1, hal.342; Al-Ghaybah, Nu’mani, hal.167-168.
5. ‘Ilal asy Syarai’, hal.147; Kamaluddin, hal.641.
6. Qurbul Isnad al-Himyari, hal.162; Bihâr al-Anwâr, jil.52, hal.113.
7. QS. al-A’raf:128. Adapun hadis itu ada dalam kitab Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.282.
8. ‘Ilâl asy-Syarai’, jil.1, hal.245; ‘Uyûn al-Akhbâr ar-Ridhâ’, jil.1, hal.273.
9. Kamaluddin, hal.483; Al-Ghaybah, Syekh Thusi, hal.176.
10. Ma’adin al-Hikmah, jil.2, hal.303; Bihâr al-Anwâr, jil.53, hal.174.
11. Al-Ihtijaj, jil.2, hal.325; Ma’adin al-Hikmah, jil.2, hal.306; Bihâr al-Anwâr, jil.35, hal.176.
12. Al I’tiqad, Syekh Shaduq, hal.99; I’lam al-Wara, Thabarsi, jil.2, hal.297, Bab 5, masalah pertama dari tujuh permasalahan kegaiban; Al-Fushûl al-Muhimmah, hal.272.
13. Kifayat al-Atsar, hal.56; Yanabi’ al-Mawaddah, hal.442.
14. Satu contoh, rujuk hadis yang diriwayatkan dari Imam Musa Kazhim as, ketika menyifati orang-orang mukmin yang tetap teguh pada keyakinannya pada masa kegaiban. Beliau berkata, ……..
“Mereka adalah dari kami dan kami adalah dari mereka. Mereka ridha menjadikan kami sebagai pemimpin mereka dan kamipun ridha menjadikan mereka sebagai pengikut kami. Maka berbahagialah mereka, berbahagialah mereka. Demi Allah, mereka bersama kami, dalam derajat kami kelak di hari kiamat.” Kamaluddin, hal.361; Kifayat al-Atsar, hal.265.
15. Al-Ihtijaj, jil.1, hal.323; Ma’âdin al-Hikmah, jil.2, hal.303.
16. Kanz al-Fawaid, Allamah Karajaki, jil.2, hal.219.
17. Mafâtîh al-Ushûl, hal.496-497 Bab Ijma.
18. Al-Ihtijaj, jil.2, hal.260.
19. Syekh Karimi Jahrami mengumpulkan sejumlah riwayat dalam sebuah kitab yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan judul Ri’ayat al-Imâm al-Mahdi lî al-Maraji’ wa al-‘Ulama Ilm A’lam yang diterbitkan oleh Daru Yassin, Beirut. Adapun kitab yang dicetak dengan bahasa Persia banyak terdapat di Qum.
20. Al-Kâfî, jil.1, hal.240; Al-Ghaybah, Nu’mani, hal.188; Taqrib al-Ma’ârif, Halabi, hal.190.
21. Al-Kâfî, jil.1, hal.240; Al Ghaybah, Nu’mani, hal.110; Taqrib al-Ma’ârif, Halabi, hal.190
22. Kamaluddin, hal.390; Itsbat al-Hudat, jil.3, hal.480.
23. Rujuk Tarikh Ghaybah Sughra, hal.640 dan setelahnya. Rujuk pula Tarikh Ghaybah Kubra, hal.187. Sayid Muhammad Shadr mendiskusikan dalam dua kitab ini mengenai masalah perjumpaan dengan Imam as pada masa kegaiban panjang dan tidak adanya pertentangan dengan pernyataan Imam Mahdi as pada tauqi’ beliau kepada Syekh Samiri mengenai kebohongan orang yang mengklaim perjumpaan pada masa kegaiban panjang. Pembahasan ini juga dilakukan oleh Mirza Nuri dalam bab ke-7 dalam kitab An-Najm ats-Tsaqib, Allamah Majlisi dalam Bihâr al-Anwâr dan ulama-ulama lainnya. Mereka menyatakan dibenarkannya kemungkinan perjumpaan dengan Imam as pada masa kegaiban panjang.
24. Al-Kâfî, jil.1, hal.337 dan 239; Al-Ghaybah, Nu’mani, hal.175.
25. Satu contoh riwayat yang disampaikan Syekh Shaduq dalam kitab Kamaluddin, hal.444.
26. Al-Kâfî, jil.1, hal.337; Ghaybah, Nu’mani, hal.166-167; Kamaluddin, jil.2, hal.342; Ghaybah, Thusi, hal.202.
27. Al-Mahasin, Barqi, hal.173; Al-Kâfî, jil.8, hal. 80; Kamaluddin, hal. 664. Dalam sebuah hadis disebutkan sebuah pujian dari Imam Muhammad Baqir as terhadap orang yang memerangi hawa nafsunya untuk menghidupkan perintah Ahlulbait as.
28. Kamaluddin, hal.328; Bihâr al-Anwâr, jil.51, hal.136.
29. Kamaluddin, hal.330; Bihâr al-Anwâr, jil.52, hal.145.
30. Al Mahasin, Barqi, dan disebutkan juga dalam Bihâr al-Anwâr, jil.52, hal.131.
31. Kamaluddin, hal.357.
32. Kamaluddin, hal.320.
33. Kifâyat al-Atsar, hal.279; Kamaluddin, hal.378.
34. Al-Khishal, Syekh Shaduq, jil.2, hal.610; Kamaluddin, hal.645; Tuhaf al-‘Uqûl, hal.106.
35. Kamaluddin, hal.644.
36. Al-Ghaybah, Nu’mani, hal.200; Itsbat al-Hudat, jil.3, hal.536.
37. Kamaluddin, hal.645.
38. Al Khishal, hal.625 diriwayatkan pula dalam Bihâr al-Anwâr, jil.52, hal.123.
39. Al Mahasin, Barqi, jil.1, hal.278-279, hadis ke-153. Diriwayatkan pula dalam Bihâr al-Anwâr, jil.52, hal.126, hadis ke-18.
40. Mikyal al-Makarim, jil.2, hal.152-153.
41. An-Najm ats-Tsaqib, jil.2, hal.44 dari terjemahan bahasa Arab.
42. Tarikh Ghaybah Kubra, hal.342.
43. Nahdhah wa Tsaura al- Mahdawiyah, Syahid Muthahhari, hal.61-81 dari cetakan berbahasa Persia.
44. Kamaluddin, hal.319.
45. Shahife-Nur, hal.21.
46. Tarikh Ghaibah Kubra, hal.427.
47. Mikyal al-Makârim, jil.2, hal.158-159.
48. Tarikh Ghayibah Kubra, hal.341-342.
49. Tarikh Ghaybah Kubra, hal. 362-363.
50. Mikyal al-Makârim, jil.2, hal.157-162.

(Teladan-Abadi/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: