Pesan Rahbar

Home » » Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 2)

Apa pendapat Syiah tentang riwayat yang menyatakan bahwa sepeninggal sepeninggal Rasulullah saw kekhalifahan berlangsung selama 30 tahun dan jumlah khalifah serta raja adalah 12 orang? (Bagian 2)

Written By Unknown on Saturday 28 November 2015 | 22:06:00


Rasul Suci SAW menyebutkan satu persatu Nama 12 khalifah umat Islam !!! Khalifah Umat Islam Adalah Ahlul Bait

Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!! Gawat !!!!!!!!!!

apapun Hujjah yang akan dilakukan oleh Kaum Ahlusunnah akan semakin menunjukkan kebingungan mereka akan mistery ’12 khalifah umat d dari Quraisy ” dalam hadis Bukhari..

NABi SAW MENYEBUT NAMA 12 KHALiFAH UMAT !! Rasul Suci SAW menyebutkan satu persatu Nama 12 khalifah umat Islam !! Tapi kaum aswaja sunni menggunting hadis sehingga yang muncul hanyalah “umat Islam punya 12 khalifah”

dari Jabir bin Samurah, ia berkata, “Saya masuk bersama ayah saya kepada Nabi SAW. maka saya mendengar beliau berkata, ‘Sesungguhnya urusan ini tidak akan habis sampai melewati dua belas khalifah.’ Jabir berkata, ‘Kemudian beliau berbicara dengan suara pelan. Maka saya bertanya kepada ayah saya, ‘Apakah yang dikatakannya?’ Ia berkata, ‘Semuanya dari suku Quraisy.’ Dalam riwayat yang lain disebutkan, ‘Urusan manusia akan tetap berjalan selama dimpimpin oleh dua belas orang.’ Dalam satu riwayat disebutkan. ‘Agama ini akan senantiasa jaya dan terlindungi sampai dua belas khalifah. (H.R.Shahih Muslim, kitab “kepemimpinan”, bab”manusia pengikut bagi Quraisy dan khalifah dalam kelompok Quraisy”).

Sebelumnya saya ingin menunjukkan sebuah hadis dalam Musnad Ahmad no 3781 diriwayatkan dari Masyruq yang berkata”Kami duduk dengan Abdullah bin Mas’ud mempelajari Al Quran darinya. Seseorang bertanya padanya ‘Apakah engkau menanyakan kepada Rasulullah SAW berapa khalifah yang akan memerintah umat ini?Ibnu Mas’ud menjawab ‘tentu saja kami menanyakan hal ini kepada Rasulullah SAW dan Beliau SAW menjawab ‘Dua belas seperti jumlah pemimpin suku Bani Israil’. Dalam Fath Al Bari Ibnu Hajar Al Asqallani menyatakan hadis Ahmad dengan kutipan dari Ibnu Mas’ud ini memiliki sanad yang baik. Hadis ini juga dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir dalam Takhrij Musnad Ahmad. Merujuk ke hadis di atas ternyata Khalifah untuk umat Islam itu hanya 12 belas.

Mungkinkah Nabi SAW membuat teka teki untuk membingungkan umat ???

Aswaja Sunni tidak tau siapa nama 12 khalifah !!! Lalu bagaimana mereka mempedomani nya ???

Tulisan ini akan membuktikan bahwa 12 khalifah Umat Islam adalah ahlul bait !!!!

Ahlul Bait adalah dari Quraisy, lengkapnya seperti ini Bani Hasyim adalah yang termulia dari suku Quraisy dan Ahlul Bait adalah yang termulia dari Bani Hasyim. Tidak berlebihan kalau dikatakan Ahlul Bait semulia-mulia dari Quraisy . Dalam Hadis Shahih Muslim Kitab keutamaan, Bab keutamaan nasab Nabi no: 2276 diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda Sesungguhnya Allah telah memilih (suku) Kinanah daripada anak keturunan Ismail dan telah memilih (bangsa) Quraisy daripada (suku) Kinanah, dan telah memilih daripada (bangsa) Quraisy Bani Hasyim dan telah memilih aku daripada Bani Hasyim.

dari hadis Tsaqalain maka kelihatan jelas bahwa 12 Imam adalah dari Ithrahti Ahlulbait. Yang memimpin umat islam sesudah Nabi adalah orang yg didelagasikan berdasar petunjuk Allah bukan berdasarkan musyawarah. Musyawarah hanya utk hal hal dunia. Tapi soal agama agar tidak sesat hanya berdasarkan ketentuan Allah dan Rasul. Dan itu bisa kita dapat dalam Alqur’an. Jadi menurut saya 12 Imam adalah Ahlulbait . Rasul katakan dari Bani Quraisy. Dalam bani Quraisy yang mendapat prioritas pertama adalah Ahlulubait Rasul

Nabi Muhammad saw Adalah Penentu Para Imam Mazhab Syi’ah

Seorang peneliti tidak akan dapat meragukan pelajaran sejarah Nabi saww dan pengetahuan sejarah Islam, bahwa Nabi saww telah menentukan para Imam yang ke dua belas (12 Imam as. ) dan beliau telah menetapkan mereka sebagai khalifah-khalifah setelahnya dan menjadi penerima wasiat di tengah umatnya. Telah disebutkan jumlah mereka dalam hadis-hadis shahih Ahlussunnah bahwa mereka itu adalah dua belas orang semuanya dari Quraisy, dan hal itu telah diriwataykan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya. Sebagaimana dalam Sunni telah menyebutkan nama-nama mereka penjelasan Nabi Muhammad saww, bahwa yang pertama adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya ialah putranya yakni al-Hasan as,kemudian saudaranya al-Husein as, sedang yang terakhir ialah al-Mahdi. Sebagaimana tersebut dalam hadis berikut ini :

Shahibu Yanabi’ al-Mawaddah telah meriwayatkan dalam kitabnya, dia berkata, “Seorang Yahudi disebut al-A’tal datang kepada Nabi Muhammad saww, dan ia berkata, “Hai Muhammad, saya menayakan kepadamu perkara-perkara yang telah terdetak dalam dadaku semenjak beberapa waktu, jika engkau dapat menjawabnya niscaya saya akan menyatakan masuk Islam di tanganmu.’Beliau menjawab, ‘Tanyalah! hai Aba Ammarah, maka ia menanyakan beberapa perkara yang sijawab oleh Nabi saww dan ia membenarkan, kemudian ia menanyakan, ‘Beritahukanlah padaku tentang penerimaan wasiatmu, siapakah ia itu? karena tidak seorang Nabi pun kecuali ia mempunyai seorang penerima wasiat, dan sesungguhnya Nabi kami Musa bin Imran telah berwasiat kepada Yusa’ bin Nun.’ Maka beliau bersabda, ‘Sesungguhnya penerima wasiatku adalah ‘Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku al-Hasan dan al-Husein kemudian beliau menyebutkan sembilan Imam dari tulang sulbi al-Husein. ‘Lalu ia berkata, ‘Ya Muhammad, sebutkanlah nama-nama mereka kepadaku!’ Beliau bersabda, “Bila al-Husein telah berlalu maka diganti oleh anaknya “Ali, bila ‘Ali telah berlalu maka diganti anaknya Muhammad, bila Muhammad berlalu maka diganti anaknya Ja’far, Musa, ‘Ali, Muhammad, ‘Ali, Hasan, al Hujjah Muhammad al-Mahdi as, maka itu semuanya adalah dua belas orang Imam.’ Kemudian orang Yahudi itu pun masuk Islam dan ia memuji Allah SWT karena petunjuk-Nya.”1

Seandainya kita mau membuka lembaran kitab-kitab Syi’ah dan apa yang terkandung di dalamnya, dari hal kebenaran khususunya tentang masalah ini niscaya kita akan mendapatkan lebih banyak dari itu. Tapi cukuplah bagi kita sebagai bukti bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah mengakui jumlah para Imam yang ke-12 itu, dan tidak terwujud para Imam itu selain ‘Ali dan anak-anaknya yang telah disucikan. Dan yang dapat menambahkan kayakinan bagi kita ialah, bahwa Imam yang ke-12 dari Ahlulbait itu tidka pernah belajar pada satu orang pun dari para ulama umat ini, tidak ada yang meriwayatkan pada kita baik para ahli tarikh maupun ahli hadis dan sejarawan, bahwa salah seorang Imam dari Ahlulbait itu mendapatkan ilmunya dari sebagian sahabat atau tabi’in sebagaimana halnya para ulama umat dan para imam mereka.

Sebagaimana Abu Hanifah belajar kepada Imam Ja’far ash -Shadiq dan Malik belajar kepada Abu Hanifah sedang Syafi’i mendapat ilmu dari Malik dan ia mengambil darinya, begitu pula Ahmad bin Hanbal. Adapun para imam Ahlulbait maka ilmu mereka adalah merupakan pemberian dari Allah SWT yang mereka mewarisi dari Bapak yang berasal dari datuk mereka, mereka itulah yang diistimewakan oleh Allah SWT dengan firmannya:

“Kemudian kami mewariskan kitab pada orang-orang yang telah kami pilih dari antara hamba-hamba Kami.” (QS.Fathir:32)

sumber :

1. Riwayat al-Qunduzi al-Hanafi dalam kitab Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 440, dan Faraid as-Samthain oleh al-Humawaini dengan sanad dari Ibnu Abbas.

Imam Ja’far ash-Shadiq pernah menyatakan tentang hakikat tersebut sekali waktu dengan ungkapannya, “Sungguh mengherankan orang-orang itu, mereka mengatakan bahwa mereka mengambil ilmu seluruhnya dari Rasulullah saww dan mengamalkannya serta mendapat petunjuk ! Kemudian mereka mengatakan bahwa kami Ahlulbait tidak mengambil ilmu beliau dan tidak mendapat petunjuk, padahal kami adalah keluarga dan keturunan beliau, di rumah kamilah wahyu itu diturunkan dan dari sisi kami ilmu itu keluar kepada manusia, apakah Anda menganggap mereka berilmu dan mendapat petunjuk sedangkan kami bodoh dan tersesat…?”

Ya, bagaimana Imam ash-Shadiq tidak mengherankan mereka itu yang mendakwahkan diri telah mengambil ilmu dari Rasulullah saww, padahal mereka memusuhi Ahlulbait beliau dan pintu ilmunya yang melalui dirinya ilmu itu diberikan, bagaimana tidak mengherankan penempatan nama Ahlussunnah, padahal mereka sendiri penentang sunah itu. Dan bila Syi’ah sebagaimana telah disaksikan oleh sejarah, mereka itu mengistimewakan ‘Ali dan membelanya serta mereka berdiri tegak menentang musuhnya, memerangi orang yang memeranginya, dan damai dengan orang yang damai dengannya dan mereka telah mengambil seluruh ilmu darinya.

Maka Ahulussunnah wal Jama’ah itu tidaklah mengikuti dan ingin membinasakannya, dan mereka telah meneruskan sikap itu terhadap anak keturunan setelahnya dengan pembunuhan, penjara, dan pengusiran. Mereka telah bertentangan dengannya dalam kebanyakan hukum dengan dasar mengikuti para pendakwah ilmu pengetahuan yang mereka itu saling berselisih sesuai dengan pendapat dan ijtihad mereka dalam perkara hukum Allah, lalu mereka menggantikannya sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingan yang mereka tuju.

Bagaimana kita tidak heran terhadap orang-orang yang mendakwahkan diri sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah, sedang mereka merupakan kelompok yang banyak, seperti pengikut Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Hambali yang mereka itu saling berselisih sebagian dengan lainnya dala hukum-hukum fiqih dan menganggap bahwa perselisihan itu adalah merupakan suatu rahmat bagi mereka, sehingga dengan demikian agama Allah SWT menjadi lampiasan hawa nafsu dan pendapat serta sasaran selera diri mereka. Memang benarlah, bahwa mereka adalah kelompok terbanyak yang saling berpecah-belah dalam hukum Allah SWT dan Rasul-Nya, tetapi mereka bersatu dan bersepakat dalam mengesakan kekhalifahan Saqifah yang durhaka dan bersepakat dalam meninggalkan dan menjauhkan keluarga Nabi saww, yang Suci.

Bagaimana kita tidak heran terhadap mereka itu yang membanggakan diri sebagai Ahlussunnah, padahal mereka telah meninggalkan yang berharga yakni Kitabullah dan keluarga Rasul betapapun mereka sendiri telah meriwayatkan hadis tersebut dan menshahihkannya…? Sesungguhnya mereka itu tidak berpegang baik pada Al-Qur’an maupun pada keluarga Rasul, sebab dengan meninggalkan keluarga Rasul yang suci itu berarti mereka telah meninggalkan Al-Qur’an, karena hadis yang mulia menetapkannya bahwa Al-Qur’an dan keluarga Rasul itu tidak pernah berpisah selama-lamanya, sebagaimana Rasulullah telah menyatakan hal itu dengan sabdanya:

Mengenai Muawiyah, terserah apa yang Anda katakan, tidak mengapa, sesungguhnya ia telah meninggalkan Al-Qur’an dan sunah adalah dariku dan aku darinya, siapa yang mencaci ‘Ali sungguh telah mencaciku dan siapa yang mencaciku sungguh ia telah mencaci Allah SWT,” Kita dapati Muawiyah telah mengarahkan cacian dan kutukan padanya ia belum merasa cukup dengan itu sehingga ia memerintahkan seluruh wali-walinya dan para pegawainya untuk mencaci dan mengutuknya, siapa yang menolak di antara mereka maka ia disingkirkan dan dibunuh.

Dan kita telah mengetahui bahwa Muawiyah itu adalah orang yang telah menamakan dirinya dan pengikutnya sebagai Ahlussunnah wal jama’ah dalam rangka menentang penamaan Syi’ah sebagai pengikut kebenaran. Dan sebagian ahli sejarah meriwayatkan bahwa tahun dimana Muawiyah memegang penuh kekuasaan umat Islam, setelah mengadakan perjanjian dengan al-Hasan bin ‘Ali Thalib bin Abi Thalib, maka tahun itu dinamakan tahun jama’ah. Dan keheranan pun akan hilang ketika kita memahami bahwa kata-kata sunah itu tidak dimaksudkan oleh Muawiyah dan pengikutnya kecuali hanyalah pengutukan ‘Ali bin Abi Thalib dari atas mimbar-mimbar Islam pada setiap hari Jumat dan hari Raya.

Apabila Ahlussunnah wal Jama’ah itu merupakan rekayasa Muawiyah bin Abi Sofyan maka kita memohon pada Allah SWT agar mematikan kita di dalam bid’ah rafidhi yang telah dibina oleh ‘Ali bin Abi Thalib dan Ahlulbait (salam atas mereka). Anda tidak usah kaget wahai pembaca yang mulia, bila Ahlul bid’ah dan kesesatan itu menjadi Ahlussunnah wal Jama’ah sedang imam-imam yang suci dari Ahlulbait itu menjadi Ahli bid’ah.

Syi’ah telah menetapkan untuk berimamkan dua belas dari Ahlulbait as, yang pertama ‘Ali bin Abi Thalib, kemudian putranya Hasan dan Husein, kemudian sembilan orang yang maksum dari putra keturunan Husein. Rasulullah telah menetapkan para imam tersebut berulang kali secara terang dan jelas, beliau telah menyebutkan mereka dengan nama-namanya dalam sebagian riwayat yang telah diriwayatkan Syi’ah dan juga dari ulama Sunah.

Sebagian golongan Ahlussunnah sering membantah terhadap riwayat-riwayat tersebutdengan menganggap heran bagaimana mungkin Rasul saww membicarakan tentang hal-hal yang masih gaib, belum ada…? Padahal telah disebutkan dalam firman Allah, “Seandainya aku mengetahui yang gaib niscaya aku telah memperbanyak kebaikan dan tidak akan menyentuhku keburukan.” (QS. al-A’raf: 188) Sebagai jawaban terhadap hal itu, kami katakan bahwa ayat yang mulia tersebut tidak meniadakan bagi Rasul tentang pengetahuannya terhadap yang gaib secara mutlak, itu hanyalah merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik yang meminta pada beliau untuk memberitahukan pada mereka tentang waktu terjadinya kiamat, sedang ketentuan hari kiamat itu, pengetahuannya khusus bagi Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an al-Karim telah disebutkan, “Dia yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak menunjukkan yang gaib itu pada seseorang kecuali pada orang yang Dia ridhai dari pada Rasul…” (QS. al-Jin:26-27) Ini adalah merupakan suatu dalil bahwa Allah SWT menampakkan kegaiban-Nya kepada para Rasul yang telah dipilih. Sebagai contoh dari itu ialah ucapan Nabi Yusuf as kepada temannya dalam tahanan, “Tidak disampaikan padamu berdua makanan yang akan diberikan padamu melainkan aku telah dapat menerangkan jenis makanan itu, sebelum makanan itu sampai padamu, yang demikian itu adalah sebagian dari apa yang diajarkan kepadku oleh Tuhanku…” (QS. Yusuf:37) dan juga firman-Nya, “Maka keduanya menemui seorang dari hamba-hamba Kami yang Kami berikan padanya ilmu dari sisi kami.”(QS. al-Kahfi:65) Ini adalah kisah tentang Hidhir yang bertemu dengan Nabi Musa as, yang mengajarkan ilmu gaib kepada Musa yang tak sabar.

Kaum Muslimin, Syi’ah dan Sunnah tidaklah berselisih tentang Rasulullah saww, mengetahui yang gaib dan telah dicatat perjalanan hidup beliau yang banyak dari hal pemberitahuan yang gaib, seperti sabdanya, “Kasihan Ammar, dia akan dibunuh oleh kelompok durhaka,” dan juga dalam sabdanya kepada Imam ‘Ali as, “Orang-orang terakhir disengsarakan oleh orang yang membunuhmu, memukul kepalamu, lalu darahnya mewarnai janggutmu,” dan sabdanya, “Sesungguhnya anakku Hasan, dengan Allah SWT, akan mendamaikan dua kelompok besar.” Juga sabda beliau kepada Abu Dzar bahwa dia akan mati sendirian dalam pengasingan dan lainnya dari pemberitaan yang banyak. Sebagiannya yang merupakan hadis termasyhur yang telah diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta seluruh periwayat hadis sebagimana telah disebutkan yakni, “Imam-imam setelahku ada dua belas orang semuanya dari Quraisy, dan dalam satu riwayat menyatakan, “Semuanya dari Bani Hasyim.”

Kami telah tetapkan dalam pembahasan terdahulu dari kitab Ma’as Shadiqin dan Kitab Fas Ali Ahl adz-Dzikr bahwa Ulama Sunnah sediri telah mengisyatkan dalam shahih mereka kepada hadis tersebut, yang menunjukkan pada keimanan dua belas dan mereka telah menshahihkannya. Bila ada orang bertanya, mengapa mereka meninggalkan para imam itu dan mengikuti selain mereka dari kalangan Imam Mazhab yang empat? Jawabannya yakni : Karena para pendahulu yang saleh seluruhnya adalah dari kalangan pendukung ketiga Khalifah yang dilahirkan oleh Shaqifah yakni Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Dan sudah jelas mereka meninggalkan Ahlulbait dan memusuhi Imam ‘Ali as, dan anak-anaknya, dan mereka telah menghapuskan sunah Nabi saww dan menggantikannya dengan ijtihad mereka. Hal itu telah menyebabkan terpecahnya umat menjadi dua golongan sepeninggal Rasul secara langsung. Maka para pendahulu yang saleh dan yang mengikuti mereka serta berpandangan dengan pandangan mereka adalah merupakan Ahlussunah wal Jama’ah, dan mereka adalah yang paling banyak di antara umat itu. Sedang kelompok yang paling sedikit adalah ‘Ali dan Syi’ahnya yang telah menentang pembaiatan dan tidak mau menerimanya, lalu mereka menjadi orang-orang yang terbuang dan dikutuk dan mereka Ahlussunnah menyebutnya dengan nama Rawafidh (para pembangkang).

Lantaran Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi orang-orang yang menguasai perjalanan umat sepanjang beberapa abad, dan para penguasa Bani Umayah serta penguasa Bani Abbasiyah seluruhnya adalah pendukung dan pengikut ajaran kekhalifahan binaan Abu Bakar, Umar, dan Utsman serta Muawiyah dan Yazid, maka ketika kekuasaan kekhalifahan telah hancur dan hilang kehebatannya dan berpindah ke tangan raja-raja dan orang-orang ‘ajam barulah terdengar pengumpulan sunah Nabi saww, ketika itu muncullah hadis-hadis tersebut. Telah diusahakan penghapusan dan penyembunyiannya oleh orang-orang generasi pertama dan mereka tidak mampu untuk menghapus dan mendustakannya di masa-masa berikutnya, dan hadis-hadis tersebut tetap tinggal sebagai perkara yang tidak terpahami dan membingungkan menurut mereka, karena kandungannya bertentangan dengan kenyataan yang telah terjadi yang mereka percayai.

Dan sebagian mereka berusaha menyesuaikan antara hadis-hadis itu dengan apa yang telah menjadi kenyataan mereka, lalu mereka menonjolkan diri dengan kecintaan pada Ahlulbait dan kerelaan terhadap mereka. Maka Anda dapat lihat mereka itu setiap kali menyebut Imam ‘Ali as mereka mengucapkan, “Karramallahu wajhahu dan Radhiyallahu anhu,” sehingga dapat mengesankan orang-orang bahwa mereka bukanlah musuh Ahlulbait Nabi saww. Tidak mungkin bagi seorang Muslim sehingga yang munafik sekalipun untuk menampakkan permusuhannya terhadap Ahlulbait Nabi saww, sebab musuh Ahlulbait adalah merupakan musuh Rasulullah saww, dan itu akan mengelurakan mereka dari agama Islam sebagaimana yang tidak dapat disembunyikan lagi.

Dan yang dapat kami pahami dari itusemua yakni, bahwa mereka sebenarnya adalah musuh Ahlulbait Nabi, dan yang kami maksudkan mereka itu ialah para pendahulu orang shaleh yang menamakan dirinya atau dinamakan oleh para pendukungnya dengan “Ahlussunnah wal Jama’ah.” Buktinya ialah, Anda lihat mereka semua bertaqlid pada Mazhab yang empat yang telah dibentuk oleh para Sultan yang berkuasa–akan kami terangkan sebentar lagi– dan tidak ada pada mereka satu hukum agama yang bersandar pada fiqih Ahlulbait atau pada salah seorang Imam yang dua belas. Dan hakikat telah menetapkan bahwa Syi’ah Imamiyah itulah yang merupakan Ahlussunnah Muhammadiyah, sebab mereka itu telah mengikat diri dalam seluruh hukum fiqih mereka pada para Imam Ahlulbait as yang telah mewarisi sunah yang shahih dari datuk mereka Rasulullah saww dan mereka tidak pernah memasukkan ke dalamnya pendapat dan ijtihad serta ucapan-ucapan para khalifah.

Maka tetaplah Syi’ah itu sepanjang zaman melaksanakan ibadah berdasarkan nas-nas dan menolak segala ijtihad yang bertentangan dengan nas. Sebagaimana mereka meyakini kekhalifahan ‘Ali dan putra-putranya adalah karena Nabi saww telah menetapkan hal itu, dan mereka ituyang disebut Khulafa ar-Rasul, betapa pun sebagian mereka tidak mencapai kekhalifahan secara praktis selain Imam ‘Ali as. Mereka semua menolak dan tidak mau mengakui para penguasa yang saling berbagi kekhalifahan dari yang pertama kepada yang berikutnya, sebab dasarnya adalah faltah (ketetapan secara tergesa-gesa yang dipelihara oleh Allah SWT keburukannya, dan disebabkan kekhalifahan itu berdiri demi menentang dan menolak/melawan Allah SWT dan Rasul-Nya. Dan semua orang-orang yang datang berikutnya adalah merupakan kekeluargaan sehingga seseorang tidak menjadi khalifah kecuali dengan ditentukan oleh khalifah pendahulunya, atau secara pembunuhan dan kudeta serta pemaksaan.

Oleh karena itu Ahlussunnah wal Jama’ah terpaksa mengikuti kepemimpinan yang baik dan yang durhaka, sebab mereka menerima semua kekhalifahan para penguasa sehingga yang fasik sekalipun. Berlainan dengan Syi’ah Imamiyah yang telah menetapkan wajibnya kemaksuman Imam, maka tidak sah keimanan umat dan kepemimpinan kecuali bagi Imam yang maksum, dan tidak ada di antara umat ini orang yang maksum selain orang-orang yang telah dibersihkan dari mereka segala noda oleh Allah SWT, dan disucikan dengan sesuci-sucinya.

penutupan kenabian dilengkapi oleh penunjukkan imam Dan kesempurnaan Islam yang universal dan abadi sampai akhir masa bergantung pada pengangkatan para imam.. Konsep imamah demikian ini mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an. Di antara ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi acuan utama adalah ayat ke-3 Al-Ma’idah. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya pada hari ini [yaitu pada hari setelah pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah Rasul saw] telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian, dan telah Aku lengkapi atas kalian nikmat-Ku, dan juga Aku telah ridha bahwa Islam sebagai agama kalian.”

Dari penelaahan terhadap ayat ini berikut tafsir dan sebab turunnya di dalam berbagai kitab tafsir, akan kita dapati bagaimana para ahli tafsir telah bersepakat, bahwa ayat tersebut turun pada haji Wada’, yaitu haji perpisahan (terakhir) Rasul saw yang terjadi beberapa bulan sebelum beliau wafat.

Masih dalam rangkaian ayat tersebut, setelah menyinggung ihwal orang-orang kafir yang telah berputus asa untuk mengadakan penyimpangan terhadap Islam, Allah SWT berfirman, “Pada hari ini orang-orang kafir telah berputus asa dari agama kalian.”

Allah SWT menegaskan bahwa pada hari itu agama Islam dan nikmat wilayah telah Dia lengkapi dan sempurnakan.

Apabila kita cermati dengan baik riwayat-riwayat yang menjelaskan sebab turun ayat tersebut, akan tampak jelas lagi bahwa ikmal dan itmam (penyempurnaan dan pelengkapan), yang disusul oleh keputusasaan orang-orang kafir untuk melakukan penyimpangan terhadap Islam, terwujud dengan diangkatnya seorang khalifah Nabi dari sisi Allah SWT. Karena musuh-musuh Islam menduga, bahwa sepeninggal Rasul saw agama Islam dan para pemeluknya tidak punya pemimpin lagi. Terlebih Rasul sendiri tidak punya seorang putra pun. Dengan demikian, agama Islam akan menjadi lemah dan akan mengalami kehancuran.

Dugaan mereka itu sungguh keliru, karena Islam telah mencapai kesempurnaannya dengan diangkatnya seorang pengganti Rasul yang akan melanjutkan risalah dan perjuangan beliau. Maka, menjadi lengkaplah nikmat Ilahi, sementara segala angan-angan, harapan dan ambisi orang-orang kafir menjadi sirna.

Pengangkatan khalifah Nabi saw itu terjadi tatkala beliau dan rombongan jemaah haji dalam perjalanan pulang mereka dari haji Wada’. Ketika itu, beliau mengumpulkan semua jemaah haji di satu tempat yang dikenal dengan nama “Ghadir Khum”. Pada kesempatan itu, beliau menyampaikan khutbahnya yang panjang. Kepada kaum muslimin beliau bertanya:

“Bukankah aku ini lebih utama daripada diri kalian sendiri?”

Serempak mereka menjawab:

“Benar, ya Rasulullah ….”

Kemudian Nabi saw memegang tangan Ali bin Abi Thalib as dan mengangkatnya di hadapan mereka semua, lalu berkata, “Barang siapa yang menjadikan aku ini sebagai pemimpinnya, maka sungguh Ali adalah pemimpinnya.”

Dengan demikian, Nabi saw telah menetapkan wilayah Ilahiyah itu atas Imam Ali as. Segera setelah itu, seluruh kaum muslimin yang hadir di tempat itu bangkit membaiatnya. Di antara mereka, tidak ketinggalan pula khalifah kedua, Umar bin Khattab. Kepadanya Umar mengucapkan selamat dan berkata, “Engkau beruntung sekali wahai Ali. Kini engkau telah menjadi pemimpinku dan pemimpin seluruh masyarakat yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan.”

Pada hari yang agung tersebut, turunlah ayat yang berbunyi, “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian, dan telah Aku lengkapi pula nikmat-Ku atas kalian, dan Aku pun rela Islam sebagai agama kalian.

Dengan turunnya ayat ini, Rasul saw mengucapkan takbir lalu berkata, “Kesempurnaan kenabianku dan kesempurnaan agama Allah itu terletak pada wilayah Ali sepeninggalku.”

Seorang ulama Ahlusunah terkemuka bernama Al-Juwaini menukil sebuah riwayat, “Ketika ayat tersebut turun, Abu Bakar dan Umar berkata, ‘Ya Rasul Allah, apakah kepemimpinan ini dikhususkan untuk Ali?’

Rasul menjawab, ‘Ya, wilayah (kepemimpinan) ini diturunkan untuknya dan untuk para washi-ku sampai Hari Kiamat.’ Lalu kedua orang itu berkata lagi, ‘Ya Rasul Allah, jelaskanlah kepada kami siapa sajakah mereka itu?’

Beliau menjawab, ‘Mereka itu adalah Ali, ia adalah saudaraku, wazirku, pewarisku, washiku dan khalifahku bagi umatku, dan dialah wali (pemimpin) setiap mukmin sepeninggalku, kemudian setelahnya adalah cucuku Al-Hasan, kemudian cucuku Al-Husein dan kemudian sembilan orang dari putra-putra keturunan Al-Husein secara berurutan. Al-Qur’an senantiasa bersama mereka, sebagaimana mereka selalu bersama Al-Qur’an, keduanya itu tidak akan pernah berpisah hingga mereka menjumpaiku di telaga Surga.”[1]

Kalau kita mengkaji secara seksama beberapa riwayat yang berhubungan dengan pengangkatan Ali as sebagai imam, wali dan washi Rasul saw, kita dapat memahami bahwa Rasul saw sebelum itu telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk mengumumkan secara resmi kepada masyarakat umum tentang Imamah dan wilayah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Akan tetapi, beliau merasa kuatir terhadap protes dan penentangan mereka dalam melakukan perintah Ilahi itu. Beliau kuatir akan anggapan mereka bahwa hal itu adalah ambisi pribadi beliau semata, karenanya ada kemungkinan mereka akan menolaknya.

Untuk itu, Rasul saw menunggu kesempatan yang tepat untuk menyampaikan pesan penting tersebut hingga turunlah ayat ini, “Wahai Rasul, sampaikanlah pesan dan wahyu yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu. Dan jika kamu tidak melaksanakannya, maka berarti kamu tidak menyampaikan seluruh risalah-Nya. Dan janganlah kamu takut, karena Allah akan menjagamu dari kejahatan manusia.” (QS. Al-Ma’idah: 67)

Sejauh yang dapat kita cermati, tampak sebegitu besarnya penekanan Allah SWT atas pentingnya menyampaikan perintah Ilahi itu yang tidak kurang pentingnya daripada perintah-perintah Ilahi lainnya. Bahkan jika perintah tersebut tidak disampaikan, ini sama artinya dengan tidak pernah menyampaikan semua risalah Allah. Lebih dari itu, di dalam ayat di atas terdapat kabar gembira, bahwa Allah senantiasa akan menjaga dan melindungi Nabi saw dari berbagai kejahatan dan perlakuan buruk yang mungkin direncanakan oleh musuh-musuh Allah tatkala mereka mendengar perintah tersebut.

Berbarengan dengan turunnya ayat tersebut, Rasul saw memperoleh kesempatan yang sangat tepat untuk menyampaikan perintah Ilahi yang amat penting itu. Ketika melihat bahwa tidaklah bijak menunda perintah itu, beliau pun segera mengumpulkan kaum muslimin di padang Ghadir Khum untuk menerima pesan-pesan dan wasiat beliau.

Satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa keistimewaan hari “Ghadir” ini terletak pada diumumkannya secara resmi pengangkatan Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan khalayak umat, sekaligus pengambilan baiat dari mereka. Karena sebelum itu, Rasul saw seringkali memberikan isyarat tentang khilafah Ali as dengan berbagai ungkapan dan dalam berbagai kesempatan sepanjang masa kenabian beliau.

Sebagai contoh, pada masa-masa awal bi’tsah (kenabian) Muhammmad saw sebuah ayat turun kepada beliau, “Berikanlah peringatan kepada keluargamu yang terdekat” (QS.As-Syu’ara: 214)

Lantas beliau berseru kepada keluarganya, “Siapakah di antara kalian yang siap menjadi penolongku dalam urusan agamaku ini, aku akan jadikan ia sebagai saudaraku, washi-ku dan khalifahku atas kalian.”

Ahlusunnah dan Syi’ah sepakat, bahwa ketika itu tidak seorang pun dari keluarga Nabi saw yang memberikan jawaban kecuali Imam Ali bin Abi Thalib as.[2]

Demikian juga ketika turun ayat, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan taati pula Ulil Amri (para Imam) di antara kalian.” (QS. An-Nisa’: 59)

Secara tegas Allah SWT mewajibkan semua orang-orang yang beriman untuk mentaati “Ulil Amri” secara mutlak. Dan, menaati mereka sama dengan mentaati Rasulullah

Sekaitan dengan ayat di atas, Jabir bin Abdillah bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang wajib ditaati seperti yang diisyaratkan dalam ayat ini?”

Rasulullah saw menjawab, “Yang wajib ditaati adalah para khalifahku wahai Jabir, yaitu para imam kaum muslimin sepeninggalku nanti. Imam pertama mereka adalah Ali bin Abi Thalib, kemudian Hasan, kemudian Husein, kemudian Ali bin Husein, kemudian Muhammad bin Ali yang telah dikenal di dalam kitab Taurat dengan nama “Al-Baqir” dan engkau akan berjumpa dengannya wahai Jabir. Apabila engkau nanti berjumpa dengannya, maka sampaikanlah salamku kepadanya. Kemudian setelah itu As-Shadiq Ja’far bin Muhammad, kemudian Musa bin Ja’far, kemudian Ali bin Musa, kemudian Muhammad bin Ali, kemudian Ali bin Muhammad, kemudian Hasan bin Ali, kemudian yang terakhir ialah Al-Mahdi bin Hasan bin Ali sebagai Hujjatullah di muka bumi ini dan Khalifatullah yang terakhir.”[3]

Sebagaimana yang baru saja kita simak, Nabi saw telah mengabarkan kepada sahabat beliau yang bernama Jabir bin Abdillah Al-Anshari, bahwa dia kelak akan dapat berjumpa dengan Imam Muhammad Al-Baqir as Dan sejarah mencatat bahwa Allah mengaruniai Jabir umur panjang, ia hidup sampai pada masa Imam Baqir as Ketika berjumpa, ia begitu senang sampaikan salam Rasul saw kepada Imam as.

Abu Bashir dalam sebuah hadis yang diriwayatkannya berkata, “Aku pernah bertanya kepada Aba Abdillah Ja’far Ash-Shadiq as tentang firman Allah SWT, ‘Athi’ullaha Wa Athi’urrasula Wa Ulil Amri minkum.’

Beliau menjawab, “Sesungguhnya ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan khilafah Ali bin Abi Thalib, Hasan dan Husein.”

Kembali aku bertanya, “Akan tetapi mengapa Allah tidak menyebutkan nama Ali dan Ahlulbaitnya di dalam Al-Qur’an?”

Imam Ja’far Ash-Shadiq as menjawab, “Katakanlah kepada mereka, ‘Bahwa ayat-ayat tentang shalat yang turun kepada Nabi sama sekali tidak menjelaskan tentang jumlah rakaatnya; tiga atau pun empat, akan tetapi Nabilah yang menjelaskan ayat-ayat tersebut kepada mereka. Begitu pula ketika turun ayat ini, beliaulah yang menjelaskan bahwa Ulil Amri itu adalah Ali bin Abi Thalib as, dan para imam dari keturunannya. Bahkan ketika Rasulullah saw berwasiat kepada mereka agar tetap berpegang teguh kepada “Kitabullah” dan Ahlubaitnya, yang keduanya itu tidak akan berpisah sampai akhir masa. Nabi saw menambahkan, ‘Janganlah kalian menggurui mereka, karena mereka itu lebih alim dari kalian, dan mereka tidak akan mengeluarkan kalian dari pintu petunjuk dan tidak akan menjerumuskan kalian ke dalam lembah kesesatan.’”

Kalau kita amati dengan baik sabda-sabda Nabi saw yang berhubungan dengan masalah wasiat, akan kita dapati betapa seringnya Nabi saw mengulang-ulang wasiatnya itu. Bahkan di akhir hayat, Nabi saw masih saja mengulang wasiatnya tersebut, “Sesungguhnya aku meninggalkan dua pusaka berharga untuk kalian, yaitu Kitabullah dan Ahlilbaitku. Keduanya itu tidak akan berpisah sehingga menjumpaiku di telaga Surga kelak.”

Perlu diketahui bahwa hadis mengenai wasiat tersebut merupakan hadis yang mutawatir, baik dari Syi’ah Imamiyah maupun dari jalur Ahlusunah wal Jamaah.

Di antara tokoh-tokoh Ahlusunah yang meriwayatkan hadis tersebut adalah At-Turmudzi, An-Nasa’i, Al-Hakim, dll. Ulama yang belakangan ini pun meriwayatkan sebuah hadis lainnya, bahwa Nabi saw. telah bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya perumpamaan Ahlulbaitku bagaikan bahtera Nuh as, siapa yang turut naik bersamanya, ia akan selamat. Dan siapa yang menolaknya, maka ia akan karam.”[4]

Termasuk hadis yang sering diulang-ulang oleh Nabi saw ialah “Wahai Ali, engkau adalah pemimpin bagi setiap mukmin setelah wafatku nanti.”[5]

CATATAN KAKi :
[1] Ghayatul Maram, bab 58, hadis ke-4.
[2] Bisa dirujuk ke ‘Abaqat Al-Anwar dan Al-Ghadir.
[3] Rujuk ke Ghayah al-Maram, jilid 10, hal. 267, Itsbat al-Hudat, jilid 3/123 dan Yanabi’ al-Mawaddah, hal. 494.
[4] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/151.
[5] Rujuk ke Mustadrak al-Hakim, jilid 3/111, 134, Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah, hal. 103, dan Musnad Ibnu Hanbal, jilid 1/331 dan jilid 4/438.

*****

KHALiFAH UMAT iSLAM ADALAH AHLUL BAiT

Masalah Kekhalifahan adalah masalah yang sangat penting dalam Islam. Masalah ini adalah dasar penting dalam penerapan kehidupan keislaman, setidaknya begitu yang saya tahu . Kata Khalifah sendiri menyiratkan makna yang beragam, bisa sesuatu dimana yang lain tunduk kepadanya, sesuatu yang menjadi panutan, sesuatu yang layak diikuti, sesuatu yang menjadi pemimpin, sesuatu yang memiliki kekuasaan dan mungkin masih ada banyak lagi

Saat Sang Rasulullah SAW yang mulia masih hidup maka tidak ada alasan untuk Pribadi Selain Beliau SAW untuk menjadi khalifah bagi umat Islam. Hal ini cukup jelas kiranya karena sebagai sang Utusan Tuhan maka Sang Rasul SAW lebih layak menjadi seorang Khalifah. Sang Rasul SAW adalah Pribadi yang Mulia, Pribadi yang selalu dalam kebenaran, dan Pribadi yang selalu dalam keadilan. Semua ini sudah jelas merupakan konsekuensi dasar yang logis bahwa Sang Rasulullah SAW adalah Khalifah bagi umat Islam.

Lantas bagaimana kiranya jika Sang Rasul SAW wafat? siapakah Sang Khalifah pengganti Beliau SAW? Atau justru kekhalifahan itu sendiri menjadi tidak penting. Pembicaraan ini bisa sangat panjang dan bagi sebagian orang akan sangat menjemukan. Dengan asumsi bahwa kekhalifahan akan terus ada maka Sang khalifah setelah Rasulullah SAW bisa berupa:

* Khalifah yang ditunjuk oleh Rasulullah SAW.
* Khalifah yang diangkat oleh Umat Islam.

Kedua Premis di atas masih mungkin terjadi dan tulisan ini belum akan membahas secara rasional premis mana yang benar atau lebih benar. Tulisan kali ini hanya akan menunjukkan adanya suatu riwayat dimana Sang Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa Ahlul Bait adalah Khalifah bagi Umat Islam. Bagaimana sikap orang terhadap riwayat ini maka itu jelas bukan urusan penulis

Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)

Hadis di atas adalah Hadis Tsaqalain dengan matan yang khusus menggunakan kata Khalifah. Hadis ini adalah hadis yang Shahih sanadnya dan dengan jelas menyatakan bahwa Al Ithrah Ahlul Bait Nabi SAW adalah Khalifah bagi Umat islam. Oleh karena itu Premis bahwa Sang Khalifah setelah Rasulullah SAW itu ditunjuk dan diangkat oleh Rasulullah SAW adalah sangat beralasan.

(Bersambung)

(Syiahali/ABNA/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: