Foto: indonesia-zaman-doeloe.blogspot.com
“…….. pada akhirnya tiap periode sejarah adalah akibat daripada proses-proses sebelumnya dan diberikan corak tersendiri oleh keadaan-keadaan tertentu”(Ong Hok Ham)
Mohammad Hatta dalam otobiografinya “Untuk Negeriku” menulis tanggal 9 Maret 1942, secara resmi pemerintah Hindia Belanda yang diwakili Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal Ter Poorten bersumpah di hadapan Panglima Tertinggi Balatentara Dai Nippon Jenderal Imamura. Peristiwa itu menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Pendapat ini berbeda dengan buku-buku sejarah pada umumnya yang menyatakan bahwa Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada tanggal 8 Maret 1942.
Lokasi tanda takluk Belanda itu, yang kini menjadi rumah sejarah, berada di Kompleks Lanud Suryadarma, Kecamatan Kalijati, Kabupaten Subang.
“Apakah tuan bersedia menyerah tanpa syarat?” kata Imamura, yang tertulis dalam naskah perundingan Belanda dan Jepang di Rumah Sejarah tersebut.
“Saya menerima untuk seluruh wilajah Hindia Belanda,” jawab Porter dalam naskah tersebut.
Tanda-tanda Keruntuhan
Tidak ada peristiwa yang tanpa sebab. Tidak ada peradaban, bangsa ataupun negara yang ambruk seketika. Selalu ada gelombang arus sejarah yang melatarinya.
Sejarawan eksentrik, Onghokham dalam bukunya “Runtuhnya Hindia Belanda” memaparkan bahwa ambruknya kekuasaan Belanda di Nusantara tidak terlepas dari rentetan peristiwa yang terjadi sebelumnya. Runtuhnya Hindia Belanda tidak semata-mata karena ekspansi kilat Jepang melainkan juga akibat dari pengeroposan yang secara perlahan menggerogoti kekuatan Belanda.
Menurut Onghokham, keruntuhan rezim kolonial telah terlihat sejak Belanda kembali memberlakukan sikap konservatif sebagai tanggapan atas kekecewaannya terhadap aksi gerakan dari Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Perhimpunan Indonesia (PI) pada pertengahan 1920-an.
Faktor penting selanjutnya adalah ketika Jerman membombardir Eropa Barat. Inilah puncak “keberuntungan” Jepang. Peristiwa ini terjadi ketika Duta Besar Jepang di Belanda menyerahkan nota pada Pemerintah Kerajaan Belanda mengenai pembukaan tentang hubungan ekonomi yang lebih luas antara Jepang dan Hindia Belanda.
Saat itu tentara Nazi Jerman menyerbu Belanda. Ratu Belanda dan pimpinan teras Pemerintah Belanda kemudian mengungsi ke London. Rotterdam dihancurkan dan akibatnya banyak penduduk sipil yang tewas akibat kekejaman itu. Tentara payung Jerman terjun di pusat kota Amsterdam. Negeri kincir angin itu kemudian ambruk. Ratu memproklamirkan kekalahan Belanda. Di tengah peristiwa inilah negoisasi antara Jepang dan Belanda terjadi.
Ketika Belanda nyaris berada di titik nadir, situasi sebaliknya dialami Jepang. Mereka adalah salah satu pemain penting dari Asia dalam politik dunia pada awal abad ke-20.
Ekspansi Jepang sudah dimulai pada akhir abad ke-19. Dimulai dari kemenangan atas China dalam perang China-Jepang pertama (1895). Ekspansi kedua dilanjutkan dari kemenangan atas perang Rusia-Jepang (1905). Kemenangan ini menghasilkan Korea, pengaruh di Manchuria dan Taiwan, dan diakuinya Jepang sebagai kekuatan baru dari Asia.
Jepang menentang pendudukan Barat di Asia. Jepang yang telah tumbuh menjadi salah satu kekuatan besar di Asia menolak konsesi Inggris di Tientsin, China Utara dengan memblokade Inggris. Jepang juga berekspansi ke Pulau Hainan dan Spratley yang mengancam kedaulatan Prancis di Indochina dan memutus jaringan Inggris di Hongkong dengan Singapura.
Itulah kondisi faktual baik di dalam negeri maupun konstelasi internasional yang mengiringi berakhirnya kolonialisme Belanda di Tanah Air.
(Empat-Pilar-MPR/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email