Pesan Rahbar

Home » » Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab XII: Pernikahan dan Pembentukan Rumah Tangga

Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab XII: Pernikahan dan Pembentukan Rumah Tangga

Written By Unknown on Saturday 8 October 2016 | 21:22:00


Pada bagian ini, kami akan membagi pembahasan menjadi empat bagian. Pertama, berkenaan dengan pentingnya pernikahan serta pandangan Islam mengenai perlunya isteri- isteri para syuhada menikah kembali.
Kedua, berkenaan dengan dampak pemikahan terhadap anak, serta sikap-sikap yang harus diambil guna mengurangi dan memperkecil dampak tersebut.

Ketiga, berkenaan dengan kehidupan anak-anak tanpa ayah, memilih calon suami yang tidak berdampak negatif terhadap sang anak, dan tugas yang harus diemban ayah tiri terhadap sang anak. Keempat, dampak berpisah dengan sang ibu dan perasaan anak-anak tatkala menghadapi perpisahan.


Keharusan Menikah

Kapanpun dan dengan cara apapun, kematian pasti akan dialami setiap manusia. Setiap orang akan meninggalkan dunia ini dengan beragam cara; di tempat tidur, di medan pertempuran, di gang-gang atau di jalan raya, di rumah sakit, secara terhormat ataupun tidak, dan sebagainya.

Peristiwa kematian orang yang dicintai tentu amat menyakitkan hati dan menciptakan kesedihan serta kedukaan. Bahkan sebagian orang sampai kehilangan harapan dan terus hanyut dalam duka yang tak berkesudahan. Kami sering menjumpai orang yang ditinggal mati seseorang yang dicintai- nya, meninggalkan pekerjaan dan kesibukannya, serta ke- hilangan kehidupannya yang normal; acapkali duduk menyendiri di sudut rumah seraya melantunkan lagu-lagu duka.

Kaum wanita tentu lebih merasakan beban penderitaan ini lantaran memiliki perasaan yang sangat sensitif. Jadinya, mereka seringkali lebih lama mengingat-ingat kematian tersebut. Sebagian darinya bahkan sampai kehilangan semangat hidup demi menjaga kesetiaan dirinya. Hari-hari kehidupannya ia gunakan hanya demi menanti datangnya jemputan kematian dirinya. Karenanya, ia pun sama sekali lupa terhadap keharusan untuk membentuk rumah tangga baru.

Benar, peristiwa kematian orang tercinta amat menyakitkan dan menyedihkan Anda, sehingga menjadikan pikiran Anda selalu kalut. Namun, jangan lupa bahwa setiap orang yang hidup di dunia ini memiliki perhitungannya sendiri-sendiri. Dunia ini merupakan lahan untuk ditanami dan arena untuk bekerja. Masing-masing kita memiliki tugas dan tanggung jawab yang berbeda. Namnn, kita tak dapat meninggalkan atau meng- abaikannya lantaran orang lain.

Di hadapan Allah, Anda tidak dapat menjadikan kematian sang suami sebagai alasan untuk mengabaikan tugas dan kewajiban Anda. Lebih dari itu, Anda malah memiliki tugas dan tanggung jawab yang baru.
Sang suami memang sudah meninggal dunia, namun Tuhan kita tetap hidup. Hubungan tugas dan tanggung jawab kita dengan sang suami telah terputus, namun hubungan Anda dengan Allah masih tetap terjalin dengan utuh. Ya, Anda tetap harus bertanggung jawab kepada masyarakat serta keturunan Anda yang merupakan peninggalan berharga suami Anda yang tercinta.

Berdasarkan itu, setelah beberapa saat tenggelam dalam kesedihan, tangis, dan air mata, Anda harus segera bangkit kembali dan bertanya kepada diri sendiri, “Sekarang, apa tugas saya? Apa yang harus saya lakukan? Apakah saya harus terns tenggelam dalam kesedihan atas kematian tersebut? Ataukah saya harus berusaha menghapus perasaan tersebut demi menunaikan tugas serta kewajiban Ilahi dan Islam?” Ya, secara umum Anda harus mengubah pola pandangan Anda terhadap kehidupan yang tengah Anda jalani.


Hasrat Menikah Kembali

Ya, kami juga memiliki keyakinan yang sama denganAnda boleh jadi minggu depan kematian akan menjemput kami sehingga kami tak perlu repot-repot lagi memikirkan soal pernikahan atau pembentukan rumah tangga baru. Namun, persoalannya adalah masih belum jelas, kapan sebenarnya kematian itu akan menghampiri kita.

Karenanya. kehidupan Anda di masa datang masih samar- samar. Tentu Anda belum tahu, apa yang bakal terjadi esok hari. Dengan demikian, mulai saat ini, Anda harus mengetahui tugas dan kewajiban Anda. Mungkinkah Anda akan terus hidup selama bertahun-tahun dalam keadaan sedih dan duka? Apakah Islam membenarkan tindakan semacam itu? Apakah akal sehat membenarkan Anda tetap hidup menyendiri?

Bila meyakini pandangan bahwa mengarungi kehidupan ini merupakan sebuah tugas yang ditentukan Allah Swt kepada seluruh umat manusia, yang pada saat bersamaan dituntut untuk melangkah di jalur yang telah digariskan Islam, maka Anda harus mengakui bahwa menahan diri dari membangun mahligai pernikahan baru―dengan alasan apapun―merupakan perbuatan tidak terpuji. Sikap dan perbuatan para wanita pembesar dan mujahid di masa awal Islam sungguh amat berbeda dengan sikap dan perilaku kaum wanita di masa sekarang.


Pandangan Islam tentang Pernikahan

Islam tidak mengizinkan seseorang yang ditinggal mati suami atau isterinya, menjadikan kehidupannya serba pahit serta memandang sebelah mata pembentukan rumah tangga baru. Dalam pandangan Islam, hidup tanpa pasangan merupakan sesuatu yang tercela, akan menjadi target bisikan setan, serta menimbulkan berbagai ketidakseimbangan hidup.

Dalam al-Quran, Islam mengeluarkan perintah umum yang berhubungan dengan pernikahan dan pembentukan rumah tangga, “Dan kawinilah orang-orang yang sendirian di antara kamu…” (al-Nûr: 32) Rasa tenang dan tenteram yang muncul berkat pernikahan merupakan tanda-tanda IIahi. Tak satupun manusia yang tidak menginginkan aroma kasih-sayang dan limpahan rahmat yang tercurah dari pernikahan.
Rasul mulia saww menganggap pernikahan sebagai sunahnya, seraya menyabdakan bahwa siapapun yang me- malingkan diri dari sunah ini, maka ia bukan termasuk golongan beliau. Selain itu, beliau juga amat menekankan pelaksanaan pernikahan. Sampai-sampai beliau menyabdakan bahwa orang yang tidak melaksanakan hal demikian, pada hakikatnya termasuk orang-orang yang berbuat dosa. Beliau saww bersabda, “Menikahlah, jika tidak, engkau akan menjadi orang-orang yang berdosa.” (Mustadrak al-Wasâil, juz II, hal. 531)

Islam amat mencela kehidupan tanpa pasangan, serta amat mengharap kaum muslimin melaksanakan penikahan. Pahala ibadah satu rakaat yang dilakukan seseorang yang telah bersuami atau beristeri, 70 kali lipat lebih utama dari ibadah yang dilakukan mereka yang tidak memiliki pasangan hidup. Islam menganggap orang yang paling buruk adalah orang yang tak punya pasangan hidup. Dan seburuk-buruk jenazah adalah yang tidak punya pasangan hidup. Adapun sebaik-baik umat adalah mereka yang melangsungkan pernikahan dan memiliki pasangan hidup (ucapan Imam Ali, Ghurar al-Hikam, Wasâil al-Syi’ah, juz XIV)


Alasan Enggan Menikah

Sekalipun terdapat berbagai anjuran dan pesan yang cukup jelas tentang masalah pernikahan, lalu mengapa sebagian orang tetap merasa enggan menikah lagi? Kenyataan ini bukan hanya terjadi di kalangan isteri para syuhada semata, melainkan juga di kalangan wanita umum.

Sebagian dari mereka mengira bahwa menikah lagi pascakematian suami melambangkan ketidaksetiaan isteri terhadap almarhum suaminya. Lebih lagi, itu dianggap akan mengecewakan hati suami yang telah syahid atau meninggal dunia. Mereka lupa bahwa tolok-ukur dan neraca kehidupan yang diberlakukan di alam sana amat jauh berbeda dengan yang diberlakukan di alam ini. Istilah “tidak setia” merupakan corak pandangan yang berasal dari kebudayaan masyarakat non- muslim.

Sebagian lagi pada dasarnya ingin kembali menikah. Namun mereka khawatir dicemooh dan dicibir masyarakatnya; dituduh tidak setia terhadap almarhum suami, tidak bersedih, dan suka mengumbar hawa nafsu. Kami pikir, kekhawatiran semacam itu sungguh tidak beralasan. Kita tak perlu malu untuk melaksanakan segenap hal yang dibolehkan Allah Swt.

Sebagiannya lagi mengira bahwa menikah kembali setelah kematian suami lebih dimaksudkan untuk mengikuti tuntutan hawa nafsu dan hanya untuk bersenang-senang belaka. Jelas kami tidak menafikan alasan secara mutlak. Sebab, tak tertutup kemungkinan sebagian pihak memang melakukan pernikahan dengan alasan ini. Namun, kami hendak mengatakan bahwa pernikahan bukan berarti menjerumuskan diri ke dalam per- buatan buruk dan tercela. Ya, pernikahan adalah tugas Ilahi dan sunah Nabi saww. Boleh jadi pula keengganan untuk menikah lagi lebih disebabkan trauma terhadap pernikahan sebelumnya yang penuh dengan kesedihan dan penderitaan. Trauma inilah yang menjadikan mereka merasa takut dan khawatir (untuk menikah kembali). Menurut pandangan kami, ketakutan dan ke-khawatiran tersebut sungguh tidak pada tempatnya. Sebab, setiap saat Allah Swt senantiasa mengawasi diri kita. Dan yang terpenting bagi kita adalah selalu menjalankan tugas dan kewajiban yang dibebankan-Nya.

Keengganan menikah kembali dapat juga bersumber dari hilangnya semangat, lemah, lesu, dan sakit-sakitan. Mereka mengira, dengan kematian suami, segalanya telah berakhir, termasuk harapannya. Menurut pendapat kami, pandangan dan prasangka semacam ini amat menyimpang. Dalam kehidupan ini, kita selalu berusaha mengejar cita-cita. Namun, cita-cita tersebut tak akan mati seiring dengan kematian suami. Tuhan Mahahidup. Selama Tuhan masih ada, cita-cita, harapan, dan tujuan hidup juga harus tetap ada. Jika tidak, niscaya seorang akan kehilangan imannya dan menjadi kafir.

Sebagian kaum isteri yang di tinggal mati suami lebih cenderung memperhatikan masalah pendidikan anak-anak dan kondisi kehidupan keluarganya semata. Kami mengenal sejumlah ibu yang memiliki beberapa anak kecil dan remaja. Mereka membayangkan bahwa usia mereka telah lanjut dan telah puas mencicipi kebahagiaan serta kesukaran hidup bersama almarhum suaminya itu.

Karena itu, inilah saatnya bagi mereka untuk mengurus dan memperhatikan anak-anak. Mungkin juga mereka menganggap mustahil mampu menggabungkan pernikahan dengan pendidikan anak, atau merasa kesulitan untuk menemukan lelaki yang dapat mencintai dan dicintai anak-anaknya. Corak pemikiran dan pandangan semacam ini tentu merupakan alasan yang tepat dan masuk akal.


Keharusan Menikah

Dari berbagai bentuk pandangan yang telah kami kemukakan, Anda tentu sedikit-banyak telah mengetahui dengan jelas berbagai alasan yang ada. Lalu, bagaimanakah sikap dan kcputusan yang akan Anda ambil dalam menghadapi kehidupan Anda dan anak-anak Anda di masa depan. Menurut pendapat kami, pernikahan merupakan suatu perkara yang teramat penting dan tidak bisa dielakkan oleh:
1. Anda sendiri, wahai kaum ibu! Sekarang Anda masih muda dan mungkin akan berusia panjang. Tentu Anda akan merasa kesulitan dalam mengarungi lautan kehidupan ini tanpa seorang pendamping, teman dekat, sahabat karib, atau orang yang siap membantu., menolong, dan dapat dijadikan tempat berbagi suka dan duka.
Dalam hal ini, Islam tidak menginginkan Anda menyiksa diri. Apalagi sampai mengganggu keadaan jasmani dan ruhani Anda. Pernikahan bukan hanya untuk pelampiasan hawa nafsu semata, melainkan juga sebagai sarana untuk mereguk cinta dun kasih sayang. Bahkan, pernnikahan merupakan faktor menuju kesempurnaan. Janganlah Anda menyia-nyiakan kesempatan yang ada. Jangan pula Anda membayangkan bahwa bila tidak menikah lagi Anda dapat lebih benyak beribadah kepada Allah. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Jika tidak menikah adalah kemuliaan, maka puteri Nabi Fatimahlah yang paling layak (untuk tidak menikah).”
2. Anak-anak Anda, terlebih yang masih kanak-kanak. Pcngalaman membuktikan bahwa anak-anak yang berusia di bawah enam tahun dan belum mampu memahami peristiwa serta kejadian di sekitarnya, cenderung menyukai seorang lelaki yang dapat dipanggil ayah.
Anak Anda adalah tunas yang baru tumbuh. Bila tak ada seorang tukang kebun yang menjaga dan melindunginya, niscaya dirinya akan layu. Jangan pedulikan orang-orang usil yang mengatakan bahwa dengan menikah lagi. Anda hanya berhasrat mengejar kebahagiaan pribadi. Ketahuilah, ke- bahagiaan dan pertumbuhan sang anak amat bergantung pada pernikahan tersebut; anak akan tumbuh lebih baik, lebih disiplin, dan cenderung mematuhi aturan.
3. Masyarakat umum. Anda adalah wanita suci nan mulia. Tak seorangpun meragukan kemampuan Anda dalam menjaga kesucian diri. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa di tengah- tengah masyarakat terdapat banyak orang yang tidak bermoral yang tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri, gampang dibisiki setan, dan selalu berusaha mencemari kesucian orang lain.
Padahal, pernikahan dapat menyucikan masyarakat, mencegah munculnya gangguan jasmani dan ruhani para individunya, serta menjadikan orang-orang tidak cenderung berbuat cela. Jangan sampai orang-orang amoral itu menyangka Anda tak ubahnya sebatang pohon tanpa tuan sehingga bisa bebas dilempari batu.
Ya, mereka akan memperlakukan Anda semaunya, termasuk mencemari kesucian Anda. Islam tidak membenarkan kita berada di tempat yang dapat menyebabkan kita dituduh yang bukan-bukan. Seorang muslim adalah sosok yang mulia dan terhormat di sisi Allah. Bahkan, kemulian serta harga diri seorang muslim identik dengan harga darahnya (sabda Rasul saww).


Bersegera Menikah

Masih banyak dalil dan argumen lain yang menganjurkan Anda untuk bersegera menikah lagi. Kami yakin, Anda sendiri telah memahami keharusan tersebut. Namun lantaran malu, Anda pun enggan melakukannya.
Perlu kami tegaskan bahwa persoalan ini bukan hanya harus dilakukan, namun juga harus segera dilakukan. Khususnya sewaktu anak-anak Anda masih kecil dan mudah menerima kehadiran ayah baru. Semakin bertambah usia sang anak, semakin besar pula kesulitan yang akan Anda hadapi dalam penikahan baru. Lebih-lebih jika sang anak telah berusia remaja.

Kami yakin tak ada masalah sama sekali bila Anda kembali melahirkan anak. Karenanya, janganlah Anda merasa cemas dan gelisah, mengingat itu merupakan perkara biasa dan alamiah. Bahkan boleh jadi berkat kelahiran anak tersebut, keseimbangan jiwa anak-anak Anda terdahulu bakal terwujud. Sungguh keliru bila hanya dikarenakan sang anak, Anda menunda-nunda pernikahan dan kelahiran anak baru.


Peringatan

Sewaktu Anda telah melangsungkan pernikahan, janganlah sesekali melupakan nasib dan kondisi anak-anak. Janganlah pernikahan Anda hanya berlandaskan pada kenikmatan serta kebahagian sesaat. Sebabnya, itu amat tidak sesuai dengan perikemanusiaan serta berpotensi merusak citra dan harga diri Anda. Janganlah Anda melalaikan tugas-tugas Anda.

Berusahalah untuk selalu melangkahkan kaki dijalan yang diridhai Allah serta mengikuti sunah Nabi-Nya. Keberadaan Anda dan anak-anak Anda tak lain dari amanat Ilahi. Anda harus berusaha sekuat tenaga untuk menjaga dan memelihara amanat tersebut.


Pengaruh Pernikahan terhadap Anak

Kita menyadari bahwa bagi seorang ibu, pernikahan merupakan sesuatu yang amat mendesak. Telah kami sebutkan pula bahwasannya pernikahan akan menyumbangkan manfaat kepada anak-anak dan masyarakat. Namun, perlu diperhatikan bahwa pernikahan itu tak akan selalu berjalan mulus, aman, dan damai. Adakalanya bahkan mendatangkan bahaya bagi anak-anak. Tentunya itu amat bergantung pada sikap anak-anak Anda serta peraturan dan syarat-syarat yang Anda berlakukan kepada mereka.

Bila tidak memiliki anak, niscaya Anda tidak akan meng- alami kesulitan dalam pernikahan Anda itu. Lain hal bila Anda telah memiliki anak. Tak jarang pernikahan ibu menyebabkan sang anak merasa tidak berbahagia serta kurang mendapat curahan kasih dan sayang. Pada gilirannya, ia pun menaruh rasa benci dan dendam terhadapa ayah tirinya. Inilah yang memicu terjadinya berbagai tindak kejahatan. Dalam hal ini, kaum ibu harus memperhatikan betul persoalan tersebut.

Sekalipun segenap kasus dan peristiwa itu mungkin saja terjadi, namun melangsungkan pernikahan masih jauh lebih baik. Anda harus berusaha mati-matian melenyapkan berbagai kendala yang menghadang, serta terus memikirkan nasib anak- anak Anda agar jangan sampai hidup menderita.

Alhasil, pada akhirnya sang anak akan mengetahui juga pernikahan ibunya, yang boleh jadi diterima atau ditolaknya. Ini amat bergantung pada usia, tingkat pemahaman, informasi, serta sikap dan perlakuan sang ibu dan ayah tiri terhadap dirinya.

Tak ada cara lain kecuali menjelaskan persoalan ini kepada anak-anak dengan cara yang masuk akal. Itu dimaksudkan agar mereka mau memahami kenyataan yang ada, sehingga keinginan serta kebutuhan mereka dapat terpenuhi.

Perlu diperhatikan, jangan sampai anak Anda mendengar masalah pernikahan Anda dari lisan orang lain. Sebab, boleh Jadi informasi yang disampaikan itu keliru dan menyesatkan. Karena itu, Anda harus lebih dulu menjelaskan kepada anak- anak Anda tentang hal tersebut, agar mereka merniliki inforrnasi serta mengetahui duduk persoalan yang sesungguhnya.

Kemungkinan lainnya adalah, keluarga dekat Anda me- ngetahui masalah pernikahan Anda, lalu mendiskusikannya di rumah masing-masing. Tentu tidak selamanya rahasia itu dapat ditutup-tutupi dan disimpan rapi. Kemudian muncul pro dan kontra di antara mereka sekaitan dengan rencana pernikahan Anda. Celakanya, perdebatan tersebut didengar anak-anak mereka. Dan sewaktu berjumpa dengan anak-anak Anda, anak- anak mereka pun akan menceritakan isi pembicaraan para orang tuanya itu.
Dengan mendengar semua itu, niscaya anak-anak Anda akan merasa sedih dan kecewa. Karenanya, sejak jauh-jauh hari, Anda seyogianya mengemukakan rencana pernmikahan Anda kepada sanak keluarga Anda. Berilah penjelasan bahwa pernikahan Anda itu tak lain ditujukan demi kemaslahatan dan kepentingan anak-anak. Dengan demikian, pihak keluarga dan sanak kerabat Anda juga pasti akan menyampaikan penjelasan yang baik kepada anak-anak.


Diterima dan Ditolak

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa pernikahan seorang ibu yang memiliki anak berusia enam tahun ke bawah, tidak menimbulkan kesulitan yang berarti bagi sang anak. Sebab, anak seusia ini masih membutuhkan seseorang yang dapat dipanggil ‘ayah’. Bahkan, sebagian dari mereka meminta ibunya mencarikan baginya seorang ayah.

Semakin kecil usia sang anak, semakin mudah pula ia menerima pernikahan ibunya, Bahkan secara berangsur-angsur, ia akan mengenal dan mencintai ayah tirinya.

Berbeda dengan anak-anak berusia di atas enam tahun. Bila mendengar rencana pernikahan ibunya, mereka akan langsung murung, kecewa, dan terpukul jiwanya. Namun Anda jangan terlalu cemas. Sebab pengalaman membuktikan bahawa anak-anak tersebut akan segera menyesuaikan diri dengan suasana yang baru dan menjalin hubungan yang akrab dengan ayah tirinya. Kesulitan baru muncul setelah mereka menginjak usia balig dan remaja; umpama melawan dan menentang ibu dan keluarga barunya. Lebih-lebih bila kebudayaan dan tradisi yang berlaku di tengah-tengah masyarat cenderung menolak pernikahan semacam itu.

Ya, mereka rata-rata tidak rela melihat ibunya menikah lagi. Alasannya mungkin lantaran merasa malu terhadap orang-orang di sekitarnya, atau tidak sudi diperintah dan dilarang ayah tirinya. Mereka merasa bahwa sosok ibu merupakan bagian dari keberadaan mereka, sedangkan ayah tirinya tak lain dari orang asing. Menurut para psikiater, kondisi ini terjadi umumnya dikarenakan anak-anak berusaha membela dan mempertahankan hak-hak ayah kandungnya seraya tidak mengijinkan ibu mereka berada di samping lelaki lain.

Alhasil, perlawanan dan penentangan mereka terhadap pernikahan baru ini, lantaran kesedihan dan kekecewaan, pada gilirannya berdampak negatif terhadap kehidupan dan jiwa anak-anak Anda. Demi meringankan kesedihan tersebut, kami menyarankan Anda untuk terlebih dahulu membuat persiapan yang matang dan memberi pengertian kepada anak-anak Anda. Baru setelah itu Anda dapat melangsungkan pernikahan baru.


Sikap Anak

Seorang anak pasti akan mengambil sikap tertentu (lembut atau kasar, menerima atau menolak) sewaktu menghadapi suasana baru. Sikap dan perilaku anak dalam menghadapi pernikahan (sang ibu) dapat digambarkan sebagai berikut:


1. Menerima

Sikap ini umumnya diperlihatkan seorang anak yang masih kanak-kanak. Sebagaimana telah kami katakana, semakin kecil usia anak, semakin mudah pula dirinya menerima pernikahan baru ibunya. Bahkan tak jarang anaklah yang memaksa ibu untuk menikah lagi.
Sedangkan anak yang lebih besar, khususnya yang telah bersekolah, akan merasa sulit dan berat dalam menerimanya. Bahkan, ia akan berusaha menutup-nutupi agar jangan sampai teman-teman sekolahnya mengetahui pernikahan ibunya. Namun, sebagian anak-anak (remaja maupun dewasa), dikarenakan memiliki kemampuan berpikir yang tinggi, mengetahui persoalan dengan baik, corak pemikirannya bebas dan terbuka, serta berwawasan ke depan, alih-alih menentang dan menolak, mereka malah mendukung habis-habisan pernikahan ibunya.


2. Melawan ibu

Kami menjumpai sejumlah anak yang dengan berbagai alasan, tidak menyetujui pernikahan ibunya, serta melakukan perlawanan dan penentangan; mengeluarkan ancaman, berteriak-teriak, dan membuat kegaduhan. Bahkan di antara mereka yang bertubuh kekar, akan tega mengusir dan me- ngeluarkan ibunya dari rumah, sembari melontarkan hinaan dan cemoohan.
Sikap dan perlakuan yang pada hakikatnya bersumber dari kebodohan, fanatisme, kesombongan, tradisi, dan kebudayaan yang keliru ini tentu akan menjadikan kaum ibu kebingungan. Kalau memang demikian, para ibu harus siap berlapang dada dan menyiapkan rencana yang benar-benar matang sebelum melaksanakan pernikahan barunya.


3. Terikat

Sebagian anak-anak, khususnya yang masih kanak-kanak, merasa bersedih terhadap pernikahan tersebut. Apalagi bila sang ibu kurang berakal, sehingga akhirnya kurang mencurahkan perhatian dan kasih-sayangnya kepada sang anak, serta tidak menjelaskan situasi dan kondisi rumah tangga yang baru dengan semestinya. Anak-anak semacam ini akan memiliki keterikatan yang luar biasa dengan ibunya, sampai-sampai tidak mampu hidup mandiri; tidur, istirahat, makan, dan berpakaiannya, harus ditemani dan dibantu sang ibu. Keterikan ini kian bertambah kuat tatkala sang ibu melahirkan seorang anak dari pernikahan barunya itu. Curahan kasih-sayang ibu terhadap bayinya yang baru lahir itu pada gilirannya akan menjadikan sang anak jatuh sakit dan hidup merana.


4. Mengucilkan diri

Boleh jadi, anak Anda akan cenderung menyendiri dan mengucilkan diri. Kondisi ini tercipta tatkala dirinya merasa tak punya kemampuan untuk menentang dan melawan sang ibu, atau bahkan tak punya keinginan untuk hidup dalam naungan ibunya. Keadaan ini tentu akan memporak-porandakan proses pendidikan dan pembinaan dirinya. Karena itu, sang anak harus buru-buru dibebaskan darinya. Fenomena ini dapat kita jumpai pada anak-anak yang gampang meledak-ledak emosinya atau anak tunggal yang semasa ayahnya masih hidup cukup mendapatkan curahan kasih-sayang. Namun, sebagian besar anak mengucilkan diri lebih diakibatkan terjadinya perubahan sikap, kebiasaan, dan perilaku ibunya yang menikah lagi.


5. Melawan ayah tiri

Demi melawan dan menolak keberadaan ayah tiri, anak- anak kemudian saling bertengkar dan membuat kegaduhan, atau menangis dan merengek tanpa sebab yang jelas. Kalau sang ayah tiri itu orang yang matang dan berpengalaman, tentu Anda tak akan menghadapi persoalan yang serius.
Kesulitan akan muncul sewaktu ia menganggap sikap anak- anak itu sebagai sikap menghina dan melecehkan pribadinya, lalu menghardik dan membentak mereka. Sikap ayah tiri ini tak ubahnya sebuah pukulan telak yang mengenai jiwa anak-anak sehingga teramat sulit disembuhkan.


Sikap-sikap yang Harus Diambil

Betapa banyak persoalan dan kesulitan yang merintangi perjalanan hidup manusia. Semua itu hanya mungkin diatasi oleh keahlian, kecakapan, dan kebijaksanaan Anda. Dalam kesempatan ini, saya akan menguraikan sejumlah persoalan yang perlu Anda perhatikan.

Sekaitan dengan masalah penikahan, seyogianya Anda tidak melakukannya secara mendadak dan terburu-buru sehingga mengejutkan sang anak. Langsungkanlah segera pernikahan Anda sewaktu anak Anda masih kanak-kanak. Ini agar nantinya Anda tidak menghadapi kesulitan yang berarti.

Keluarga dekat dan sanak-kerabat Anda juga harus men- jelaskan kepada sang anak bahwa pernikahan Anda itu dimaksudkan demi kemaslahatan sang anak itu sendiri. Sedapat mungkin, Anda berusaha membuat anak Anda menyenangi ayah tirinya. Selain itu, usahakanlah paling minimal satu bulan setelah pernikahan, Anda tidak merubah suasana rumah. Sebab, perubahan lingkungan akan menjadikan sang anak bersedih dan gelisah.

Di hadapan anak Anda, janganlah memperlihatkan hubungan yang terlalu akrab dengan ayah tirinya. Biarkanlah mereka mengenalnya sendiri secara bertahap dan perlahan- lahan, sehingga jiwa sang anak tetap seimbang dan siap me- nerima kehadiran sang ayah tiri.

Perbesarlah perasaan cinta-kasih Anda terhadap anak-anak. Itu agar mereka tidak merasa terpukul lantaran pernikahan Anda tersebut. Bila anak-anak terlanjur merasa terpukul, pikirkanlah jalan keluar terbaiknya. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Seorang wanita (ibu) berhak atas anaknya tatkala dirinya tidak menikah.” (al-Kafi, juz VI, hal. 45)


lbu, Anak, dan Ayah tiri

Sekarang hanya ada Anda dan anak-anak (setelah sang suami wafat). Namun, ada baiknya kami mengatakan bahwa dalam kehidupannya, anak-anak Anda memerlukan seseorang yang dapat menjadi pendamping hidup Anda. Kehadiran pasangan barn Anda di rumah, tentunya setelah dipersiapkan dengan matang, merupakan faktor yang amat penting dan menentukan nasib keluarga.

Menganggap remeh masalah pernikahan hanya akan memicu munculnya berbagai perselisihan Anda dengan pasangan baru Anda, sehingga akhirnya membuat nasib anak- anak Anda semakin tak tentu arah. Dalam memilih calon suami, selayaknya Anda bermusyawarah dan bertukar pendapat dengan anak-anak Anda terlebih dahulu.

Landasan dan tolok ukur yang digunakan dalam memilih calon suami adalah keimanan, ketaatan dalam menjalankan tuntunan agama, penghormatan nilai-nilai keislaman, ke- pemilikan tanggung jawab dalam mengemban amanat Tuhan, dan, ini yang paling penting, berpengharapan untuk berjuang dan mati di jalan Allah.


Memikirkan Nasib Anak

Dalam menentukan pasangan dan bentuk acara pernikahan, seyogianya Anda bersepakat dengan anak Anda. Kami tidak hendak mengatakan bahwa Anda harus mengabaikan diri Anda. Maksud kami adalah sifat keibuan Anda meniscayakan Anda cenderung rela mengorbankan kepentingan pribadi demi kepentingan anak-anak Anda. Namun bila itu belum memungkinkan (berkorban demi anak), minimal Anda tidak mengabaikan mereka. Jangan sampai Anda hidup berkecukupan, sementara anak-anak Anda hidup kekurangan dan merasa tidak punya tempat berlindung.

Berkenaan dengan anak dan soal merawatnya, seyogianya Anda berkesepakat dengan suami Anda. Kalau bersedia merawat dan membina anak-anak Anda dengan niat men- dekatkan diri kepada Allah, bukan lantaran iba dan kasihan, maka ia layak menjadi pasangan Anda. Bila tidak, segera gagalkan rencana pernikahan itu demi kemaslahatan Anda dan anak-anak.

Masih banyak orang yang bersedia melangkahkan kakinya seiring dengan langkah Anda; bersedia menerima kehadiran anak-anak Anda. Boleh jadi anak-anak merasa bahwa ayah tirinya adalah orang asing. Dalam hal ini, ia (ayah tiri) harus menepis perasaan anak-anak tersebut dengan cara yang etis, seraya benar-benar mencurahkan cinta dan sayangnya kepada mereka dengan sepenuh hati.

Bila tidak demikian, mereka selamanya akan menganggap ayah tirinya sebagai orang asing. Lebih lagi, antara ayah tiri dan anak-anak Anda tak terjalin perasaan senang dan cinta. Karenanya, kaum ibu memiliki tugas dan beban tanggung-jawab yang teramat penting; menyambung dan menyatukan ayah tiri dengan anaknya.
Dengan demikian, usahakanlah agar beberapa minggu sebelum akad nikah, sang ibu memperkenalkan calon suami kepada anak-anak seraya menjalinkan hubungan harmonis di antara mereka. Usahakanlah agar si calon suami itu membelai dan mengelus-elus kepala anak-anak seraya berempati terhadap apa yang sedang mereka rasakan. Niscaya, mereka akan dekat dan merasa senang kepada ayah tirinya.

Sebelum Anda pindah ke rumah suami, hendaklah Anda bertamasya dan berekreasi bersama anak-anak dan suami Anda sekali waktu. Mintalah suami Anda untuk mendengarkan perkataan anak-anak Anda dengan penuh kesabaran dan men- dekatkan diri kepada mereka. Anjurkanlah suami Anda untuk memberikan hadiah, membelikan alat-alat berrnain, menyedia-kan makanan dan minuman, menggendong, serta menciumi. Itu dimaksudkan agar dirinya mampu menarik hati mereka.


Tugas dan Sikap Ayah Tiri

Ayah tiri memiliki dua tugas utama. Pertama, berhubungan dengan tugas keislaman, akhlak, dan kemanusiaannya. Kedua, berhubungan dengan arung kehidupan dan kondisi barunya.

Sekaitan dengan masalah pertama, harus dikatakan bahwa dirinya bertugas dan berkewajiban mengasihi serta berbuat baik kepada anak yatim. Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib berkata, “Kasihanilah orang mulia yang menjadi hina dan orang kaya yang jatuh miskin.” Hendaklah kalian mengasihani orang- orang yang dahulunya kuat namun sekarang jadi lemah; dahulunya kaya, sekarang jadi rniskin. Imam Ali juga berkata, “Ketahuilah, jangan sampai anak yatim meneteskan air mata Kesedihan dalam rumah saat kematian ayahnya dan jangan sampai dirinya merasa tersiksa.”

Jangan sesekali Anda meremehkan air mata anak yatim. Sebabnya, Rasul saww bersabda, “Bila seorang anak yatim menangis, ‘arsy-Nya akan berguncang.” Dalam ungkapan lain, “Bila seorang anak yatim menangis, maka tangisannya itu akan mengguncang ‘arsy al-Rahman (Singgasana al- Rahman).” Tangisan anak yatim akan mengguncang Singgasana Allah! Karenanya, sebagai ayah tiri yang beriman, janganlah Anda sampai mengguncang hatinya (anak yatim).

Adapun sekaitan dengan masalah kedua, Anda seyogianya berusaha menciptakan suasana kehidupan rumah tangga yang dapat mendukung pertumbuhannya. Demi berhasil dalam usaha ini, Anda harus benar-benar menjadi ayahnya, berhubungan dekat dan akrab, menarik simpatinya, serta menyediakan ber- bagai sarana yang dapat menciptakan kesenangan serta kebahagiaannya.


Menghadapi Anak yang Bersikap Buruk

Boleh jadi sang anak tidak menyukai kehidupan barunya, kemudian bersikap lancang kepada Anda. Dalam hal ini, janganlah Anda menghiraukan sikap dan perbuatan lancangnya itu. Ingat, ia masih kanak-kanak, yatim, dan menderita. Dengan bersikap demikian, ia pada dasarnya ingin meringankan beban deritanya.
Tekanan dan sikap keras Anda, ketidakpedulian Anda terhadap sang anak, dan reaksi buruk Anda kepadanya, bukannya akan memperbaik kondisi yang ada. Melainkan malah lebih memperparah keadaan. Sikap semacam itu tidak akan menjulangkan posisi dan kedudukan Anda. Lebih dari itu, akan menjatuhkan pribadi Anda.

Acapkali sang anak membanding-bandingkan kondisi kehidupannya dengan kondisi kehidupan anak-anak yang di sekitarnya. Darinya, ia lalu merasakan adanya kekurangan dalam kehidupannya, dan mulai mencari-cari masalah. Dalam kondisi ini, cinta dan kasih sayang merupakan satu-satunya factor yang dapat membenahi kepribadiannya, menenangkan- pikiran dan batinnya, menumbuhkan semangat hidupnya, serta memelihara keselamatan jasmani, ruhani, dan emosinya.

Kesedihan dan kekecewaan sang anak itu akan tetap terpendam dalam lubuk hatinya, hingga ia suka terbangun dari tidurnya, menangis, dan menjerit, “Aku ingin bertemu ayahku.” Kondisi semacam ini niscaya akan memunculkan kesulitan yang besar dan beban yang amat berat, baik bagi Anda maupun anak Anda.


Kedengkian

Tak tertutup kemungkinan Anda melahirkan anak lagi dalam kehidupan rumah tangga baru Anda. Namun, jangan sampai kelahiran anak tersebut menjadikan Anda melupakan atau membiarkan anak pertama Anda. Sebab, bila Anda menampakkan kecintaan dan kasih yang berlebihan terhadap anak Anda yang baru, bukan hanya menjadikan sang anak pertama mendengki, bahkan akan merasa dirinya telah diabaikan ibunya.
Demi menjaga agar jangan sampai sang anak merasa iri dan dengki, jauh-jauh hari sebelumnya Anda harus menjelaskan bahwa dirinya (si anak pertama) akan memiliki seorang teman bermain. Jelaskan pula bahwa dirinya selalu melekat di hati Anda. Adapun bila Anda memperhatikan bayi mungil tersebut, katakanlah bahwa itu semata-mata dikarenakan sang bayi membutuhkan perawatan. Berusahalah sedapat mungkin agar anak Anda yang pertama tidak sampai iri dan dengki. Sebab selain merugikan dirinya, itu juga akan merugikan sang jabang bayi yang baru lahir.


Masalah Diskriminasi

Kami sama sekali tidak mengharapkan kaum ibu membeda-bedakan antara anak Anda yang satu dengan anak Anda yang lain. Bahkan kami yakin bahwa kaum ibu tidak pernah menyetujui sikap semacam itu. Namun tak dapat dipungkiri bahwa demi mendapatkan perhatian suami barunya, atau merasa letih dalam merawat anak, sebagian kaum ibu lebih cenderung memperhatikan salah satu ankanya saja. Padahal, anak-anak selalu mengharapkan keadilan, serta curahan cinta, kasih, dan sayang ibunya.

Bila merasakan terjadinya pembedaan (diskriminasi), niscaya sang anak akan melakukan tindakan balas dendam. Kalau sudah begitu, hati sang anak akan menjadi keras dan tak punya rasa belas-kasih. Diskriminasi menjadikan sang anak merasa tidak aman, cenderung iri dan dengki, melukai emosinya, bahkan mengenyahkan peran akal dan keyakinannya.

Peringatan ini harus diperhatikan betul oleh para ayah tiri. Sebab, dengan menerima kehadiran anak yatim, dirinya memiliki beban dan tanggung jawab yang amat berat. Dalam hal ini, ia harus menjauhkan diri dari bersikap diskriminatif. Jangan sampai sang anak menyaksikan terjadinya diskriminasi dan ketidakadilan dalam lingkungan keluarganya. Juga jangan sampai ia merasa khawatir bahwa adik barunya itu akan lebih diperhatikan ketimbang dirinya.

Ya, semua itu hanya akan kian mengobarkan api kegelisahan dalam hatinya. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Berlaku adillah di antara anak-anak kalian.”


Nasib Anak-anak

Bila anak-anak yang menyaksikan berbagai tindak ketidakadilan serta sikap dan perilaku buruk dalam rumah tangga barunya itu masih lemah, niscaya mereka akan me- mendam perasaannya serta tidak melakukan perlawanan dalam bentuk apapun. Namun, sewaktu merasa telah memiliki kekuatan, mereka akan segera melakukan berbagai tindak kekerasan dan penyimpangan.

Pengaruh dari kurang terpenuhinya kebutuhan emosi semasa kanak-kanak akan menyebabkan seorang anak suka kencing di tempat tidur (ngompol), menghisap jari, menggigit kuku, mengucilkan diri, diam dan membisu, serta kehilangan keceriaan dan kegembiraan. Sedangkan pada usia remaja, ia akan cenderung melarikan diri dari rumah, berwatak keras dan sulit dinasihati, gemar membantah dan membangkang, suka me-nentang dan melanggar aturan, bergabung dengan kelompok anak-anak nakal, mengganggu orang lain, serta melakukan berbagai tindak penyimpangan lainnya. Dari hasil penelitian terhadap para pelaku tindak kejahatan, diketahui bahwa sebagian besar dari mereka adalah orang-orang yang semasa kanak-kanak tidak terpenuhi kebutuhan emosionalnya serta merasa tidak diperhatikan orang tuanya.


Pisah dari Ibu

Seorang anak memiliki hak untuk dipelihara dan diasuh ibu dan ayah. Sewaktu salah seorang (ayah atau ibu) meninggal dunia, maka hak tersebut harus dipenuhi pihak yang masih hidup. Namun, tentunya tugas untuk memenuhi hak tersebut kian bertambah berat. Pada dasarnya, seorang anak tumbuh dan berkembang dengan ditopang dua buah pilar penyangga, sehingga akhirnya mampu hidup berdikari. Dan tatkala salah satu dari kedua pilar itu ambruk, maka pilar yang masih tegak berdiri mau tak mau harus menyangga beban lebih berat lagi.

Bila setelah kematian atau kesyahidan suami, seorang ibu tidak menikah lagi, maka tugas dan tanggung-jawab mendidik dan merawat sang anak akan berada dipundaknya. Imam Ja’far al-Shadiq berkata, “Wanita lebih berhak terhadap anaknya selama dirinya tidak menikah lagi.” Sekalipun menikah lagi, hak anak terhadap ibunya tidak lantas menjadi gugur. Sang anak tetap berhak mendapatkan asuhan dan perawatan ibunya; sementara sang ibu juga berkewajiban merawat dan mengasuh- nya. Ibu, khususnya setelah kematian suami, harus senantiasa berusaha menghindarkan sang anak dari berbagai ancaman bahaya. Sebab, selain menjadi ibu, dirinya juga harus berperan sebagai ayah.


Kebutuhan Anak terhadap Ibu

Pada dasarnya, seorang anak amat membutuhkan sosok ibu. Bagi anak, dunia tanpa ibu adalah dunia yang kelam, hina, sia- sia, dan menyedihkan. Anak yatim bukan hanya anak yang ditinggal mati orang tuanya. Adakalanya sebutan anak yatim pantas diarahkan kepada seorang anak yang punya ibu namun jauh dari dirinya, serta tidak mengasuh dan merawatnya.

Anak-anak yang tidak mendapat curahan kasih-sayang ibu akan merasa kekurangan. Bahkan di antaranya sampai menderita kelainan jiwa. Pasti Anda sudah merasakan sendiri bagaimana anak Anda enggan ditinggal pergi walau hanya sekejap. Ia ingin selalu bersama Anda. Ingat, semakin kecil usia anak, semakin besar pula kebutuhannya terhadap Anda.

Kebutuhan tersebut kian membesar bila sang anak ke- hilangan ayahnya yang selama ini menjadi tiang penyangga hidupnya yang kokoh. Dalam kondisi semacam ini, ia akan memiliki keterikatan yang amat kuat terhadap Anda. Ya, ia masih kanak-kanak, dan masih menginginkan ibunya. Sungguh tidak berperasaan bila seorang ibu tidak memperhatikan kebutuhan anaknya ini.


Masalah Perpisahan

Salah satu persoalan yang muncul dalam kehidupan rumah tangga adalah rusaknya sendi-sendi keluarga lantaran perceraian atau kematian ayah atau ibu―bahkan keduanya.

Perpisahan tersebut tentunya akan membuat para individu di dalamnya harus menanggung beban penderitaan yang teramat berat. Para anggota keluarga yang sudah dewasa tentu lebih kuat dan tabah dalam menanggungnya. Awalnya, mereka memang menangis, menjerit, dan menumpahkan air mata. Namun, lambat-laun, kejadian itu pun akan terlupakan. Namun, seorang anak―apalagi yang masih kecil―tentu tidak memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.

Sekiranya masalah perpisahan tersebut mustahil di- hindarkan, umpama lantaran kematian kedua orang tua, masalahnya mungkin tidak begitu tragis. Namun, lain hal bila sang ayah dan ibu masih hidup, namun terpisah jauh dari sang anak. Dalam keadaan semacam ini, sang anak dipastikan akan banyak menghadapi benturan.
Kami acapkali menyaksikan anak-anak yang masih punya ibu, namun lantaran hendak menikah lagi, kesulitan ekonomi, atau kesibukan bekerja, hidup menyendiri dan diabaikan ibunya. Padahal, mereka amat bertumpu kepada sang ibunya.


Perasaan Anak terhadap Perpisahan

Seorang anak tentu amat tidak menyukai perpisahan. Dalam hal ini, dirinya merasa telah berbuat kesalahan atau dosa, melakukan perbuatan amoral, atau mengganggu dan menyakiti seseorang, sehingga akhirnya didipisahkan dan dijauhkan dari kedua orang tuanya.

Sang anak merasa dirinya tidak lagi dicintai ibunya. Ia menganggap semua belaian, ciuman, dan kasih-sayang ibunya selama ini hanyalah pura-pura dan palsu belaka. Seluruh perhatian dan hubungan akrab sang ibu dengannya hanyalah dibuat-buat dan bukan didasari ketulusan hati.

Karena itu, sang anak akan berprasangka buruk terhadap berbagai kebaikan yang pernah dilakukan ibunya di masa lalu. Sang anak merasa terhina, sia-sia, tidak berguna, dan tidak punya tempat untuk berlindung. Bila pada suatu hari ibunya datang, lalu menggendong dan memeluknya, sang anak tetap akan berprasangka bahwa semua itu hanyalah bohong belaka. Ya, sang anak akan terus meragukan ibunya dalam segala hal.


Perpisahan Bertahap

Seorang anak tidak mampu menanggung beban perpisahan. Apalagi bila dipisahkan secara paksa; dirinya akan kehilangan semangat, sering berdiam diri dab membisu, tak punya keinginan untuk bermain, sering dilanda kebingungan, dan berusaha mencari sosok yang mampu menenteramkan hatinya.

Berdasarkan itu, seyogianya kaum ibu membawa serta anaknya kemanapun pergi. Bila memiliki rencana untuk menikah lagi, ia harus menyertakan sang anak dalam kehidupan rumah tangganya yang baru. Menurut hemat kami, seorang lelaki yang tidak siap menerima kehadiran anak yatim, sungguh tidak layak menjadi suami Anda.

Namun, lantartan destakan kondisi, kemudian Anda berkeinginan untuk memisahkan anak Anda dan menitipkannya ke orang lain, seyogianya itu tidak dilakukan secara mendadak atau sekaligus, melainkan tahap demi tahap. Itu agar sang anak memiliki kesiapan untuk berpisah dengan Anda. Umpama, Anda bermaksud menitipkan anak Anda di rumah ibu, bibi, paman, atau saudara Anda. Dalam sepuluh hari pertama, ajaklah anak Anda ke rumah mereka sebanyak dua atau tiga kali dan bermalam di sana. Sepuluh hari berikutnya, ajaklah ia ke rumah mereka dan menginap di sana selang dua hari sekali, dan seterusnya.
Perpisahan secara bertahap dan berkala akan meringankan beban perpisahan, dan menjauhkan anak dari perasaan bingung dan resah. Teknik semacam ini banyak diterapkan kaum ibu yang bijak dan pandai.


Menengok Anak

Sekalipun Anda telah berhasil membiasakan sang anak berpisah dengan Anda, namun janganlah Anda melepaskannya begitu saja. Tugas keibuan mengharuskanAnda menengok dan melihat keadaannya. Itu dilakukan minimal sehari sekali.

Dengan terus menanyakan keadaannya, niscaya anak Anda tak akan menganggap dirinya telah Anda abaikan.

Boleh jadi pada suatu hari anak Anda jatuh sakit dan susah beranjak dari tempat tidurnya. Dalam keadaan ini, Anda harus sering mengunjunginya. Bahkan, kalau memang memungkinkan, Anda tidur di sampingnya selama dua atau tiga hari di malam hari. Itu agar anak tidak merasa kesepian serta tak punya perlindungan, sementara penyakit yang dideritanya semakin parah dari hari ke hari. Sejumah hasil penelitian membuktikan bahwa keceriaan dan kegembiraan dapat mempercepat kesembuhan.

Sewaktu Anda menjenguknya, kuasailah diri Anda. Bila sang anak menangis. Anda tak perlu ikut menangis. Usahakan- lah untuk membesarkan hatinya, menenangkannya, dan meyakinkannya bahwa Anda amat mencintainya dan akan tetap setia mengunjunginya.


Tempat Tinggal Tetap Anak

Tentukanlah tempat tinggal dan keluarga angkat sang anak yang bersifat tetap dan tidak berpindah-pindah. Umpama, menyerahkannya kepada ibu kandung atau ibu mertua Anda. Usahakanlah agar sang anak memahami bahwa tempat tinggal tetapnya adalah rumah atau keluarga tersebut. Jangan sampai anak Anda selalu berpindah-pindah dari rumah ke rumah; hari ini di sini, esok di sana.

Mungkin saja sang anak sanggup menanggung beban sebagai anak angkat atau hidup di panti asuhan. Namun, untuk berpindah-pindah tempat dari rumah ke rumah, ia belum tentu senang. Seorang ibu yang bijak tak akan meminta sanak kerabatnya untuk bergiliran menampung dan merawat anaknya; hari ini di rumah fulan, besok di rumah fulan yang lain, dan seterusnya. Perubahan lingkungan, serta situasi dan kondisi yang ada, amat mengganggu ketenangan batin sang anak. Lebih lagi, akan membuatnya tidak memiliki prinsip-prinsip kedisiplinan.


Masa Depan Anak

Perpisahan dalam bentuk apapun akan menimbulkan dampak dan pengaruh yang tidak menyenangkan pada diri sang anak. Di antaranya, munculnya perasaan sakit hati atau depresi mental. Sewaktu berpisah dengan ibunya, seorang anak yang masih kecil akan merasa amat ketakutan serta merasa asing dengan lingkungan barunya.

Benar, seorang anak amat sedih dan gelisah lantaran berpisah (dengan ibunya). Namun, bobot kesedihan dan ke- gelisahan itu berbeda-beda, tergantung dari usia, jenis kelamin, kondisi lingkungan, dan sebagainya. Dalam hal ini, penting bagi kaum ibu untuk memilihkan sang anak tempat tinggal baru yang tenang dan aman, sehingga ia tidak merasa disia-siakan.

Demi mengurangi dampak negatif dari perpisahan pada diri anak, Anda harus menjalin hubungan yang erat dan dekat dengannya; membelai lembut dirinya, menyuapinya makanan, membantunya mengenakan pakaian, menemaninya tidur, dan meyakinkan dirinya bahwa Anda akan tetap setia menjenguk-nya.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: