Pesan Rahbar

Home » » Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab XIII: PENANGGUNG JAWAB ANAK-ANAK PARA SYAHID

Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab XIII: PENANGGUNG JAWAB ANAK-ANAK PARA SYAHID

Written By Unknown on Saturday 8 October 2016 | 21:10:00


Pembahasan kita kali ini berkaitan dengan orang yang bertanggung jawab dalam mengurusi anak-anak yatim para syuhada dan dasar-dasar yang harus diperhatikan dalam masalah ini. Pembahasan tentangnya mengandungi empat masalah pokok:
Pertama, berkenaan dengan pandangan Islam. Dalam hal ini kami akan mengemukakan berbagai pandangan al-Quran dan riwayat, serta perbuatan yang diamalkan Imam Ali bin Abi Thalib dalam menangani anak-anak yatim.
Kedua, berkenaan dengan tugas dan tanggungjawab keluarga dan sanak kerabat anak-anak yatim tersebut sekaitan dengan masalah ini.
Ketiga, berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab masyarakat terhadap anak-anak yatim. Dalam bagian ini kami akan memaparkan hal-hal yang mesti dilakukan serta yang harus dihindari dan dijauhi.
Keempat, berkenaan dengan tugas pernerintah Islam dan hal-hal yang mesti dilaksanakan dalam pemeliharaan dan pengelolaan keluarga para syuhada.


Islam dan Anak Yatim

Dalam setiap masyarakat, selalu saja terdapat orang-orang yang situasi dan kondisi kehidupannya tidak normal. Berbagai peristiwa dan problema yang menimpa anggota keluarga dapat menyebabkan terjadinya guncangan sehingga rumah tangga tersebut tak dapat berjalan normal. Banyak sekali peristiwa dan bencana di muka bumi ini yang tak dapat diramalkan, namun pengaruhnya secara pasti akan menimpa masyarakat. Misal, perceraian dan ambruknya sendi-sendi rumah tanggga serta kematian suami, isteri, atau keduanya, sehingga anak-anak menjadi yatim. Semua peristiwa itu akan menimbulkan beragam dampak dan bencana, baik terhadap individu maupun masyarakat.

Banjir, badai, bencana alam, wabah penyakit, serta pertikaian dan perselisihan yang setiap hari terjadi dalam kehidupan kehidupan ini, akan menelan korban cukup banyak dan akan meninggalkan dampak serta pengaruh pada setiap individu dan masyarakat. Faktor paling utama di antaranya adalah peperangan yang dilakukan demi menjaga kehormatan, mempertahankan nilai-nilai keagamaan, harga diri, bahkan terkadang demi memuaskan hawa nafsu belaka. Dalam hal ini, dari kedua belah pihak akan terdapat orang-orang yang mati atau syahid.

Para syahid akan meninggalkan isteri dan anak-anaknya, atau terkadang hanya anak-anak saja, sementara ibunya telah tiada. Mereka adalah anak-anak yatim yang pasti tidak akan mampu hidup tanpa naungan orang tua atau pengasuh. Dalam hal ini, mestilah ada orang yang bertanggung jawab dalam mengasuh dan memelihara mereka.

Sekaitan dengan isteri dan anak-anak yang ditinggal mati tersebut, setiap masyarakat memiliki sikap dan cara yang berbeda. Sebagian masyarakat membiarkan anak-anak tersebut hidup dalam kekurangan dan kesengsaraan, sementara yang lain menempatkan anak-anak tersebut di panti asuhan. Ada juga kelompok masyarakat lain yang sangat menghormati dan memuliakan anak-anak yatim tersebut dengan menempatkannya di rumah mereka sendiri dan merawatnya dengan penuh kasih sayang.


Pandangan dan Sikap Islam

Islam sangat menghormati anak-anak, dari keluarga manapun dan dalam kondisi apapun. Agama ini senantiasa berusaha agar mereka memperoleh pendidikan yang layak, mampu tumbuh dan berkembang secara alami, serta terpenuhi berbagai kebutuhan penghidupannya secara cukup dan wajar.

Hak memperoleh penghidupan dan pendidikan yang layak merupakan hak seluruh umat manusia dan tak ada perbedaan antara yang yatim dengan bukan yatim. Manakala salah seorang dari kedua orang tua masih hidup, maka yang harus ber- tanggungjawab atas pendidikan dan pemeliharaan si anak tak lain dari orang tua yang masih hidup tersebut. Akan tetapi, bila ia tidak mampu, atau melalaikannya, maka orang lainlah yang harus mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut.

Dalam al-Quran dan literatur islami, terdapat banyak aturan dan tuntunan berkenaan dengan hak-hak para yatim serta masalah pembimbingan dan pemeliharaan mereka. Pada dasarnya, mereka harus memperoleh perhatian dari sisi pemeliharaan dan pendidikannya, agar tidak sampai mengalami berbagai musibah, bencana, keterbelakangan, dan penyimpangan. Islam juga menginginkan mereka tumbuh normal sebagaimana anggota masyarakat lainnya, serta bermanfaat dan berguna. Oleh karena itu, perlulah disediakan berbagai sarana yang dapat membantu pertumbuhannya, sehingga nantinya dapat berdikari, dan masyarakat pun memperoleh manfaat darinya.

Islam menganggap masalah pemeliharaan anak yatim sebagai hal yang sangat bajik dan mulia serta menyatakan bahwa sebaik-baik keluarga adalah keluarga yang di dalamnya terdapat anak yatim yang disantuni. Pernyataan ini me- nunjukkan bahwa Islam tidak menginginkan keberadaan panti asuhan anak yatim. Islam menginginkan mereka (anak-anak yatim) dipelihara dan diasuh dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga.


Peringatan al-Quran

Banyak ayat al-Quran yang menyatakan agar kita memperhatikan anak-anak yatim dan tidak mengabaikan hak- hak mereka. Marilah kita perhatikan bersama beberapa kutipan ayat al-Quran berikut ini:
1. ...dan berbuat baiklah kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim... (al-Baqarah: 83)
2. Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan dari yang mengadakan perbaikan. Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana. (al-Baqarah: 220)
3. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim. (al-Mâ’ûn: 1-2)
4. Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang-orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik. (al-Nisâ’: 8)
5. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak- anak yatim secara adil. (al-Nisâ’: 127)
6. Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik. (al-Isra’: 34)
7. Orang yang baik adalah orang yang menginfakkan hartanya untuk anak yatim. (al-Baqarah: 177)
8. Memakan harta anak yatim merupakan dosa besar. (al- Nisâ’: 2)
9. Jangan makan harta anak yatim, kecuali secara patut, bagi yang memang tak mampu. (al-Nisâ’: 6).

Dalam pada itu, masih banyak ayat yang berisikan pesan dan anjuran untuk memperhatikan hak-hak anak yatim, serta tidak melanggar harta dan kehidupan mereka. Bahkan, anak- anak yatim berhak menuntut hak-haknya dari masyarakat.


Pesan Islam dalam Riwayat

Banyak riwayat yang menegaskan tentang pentingnya pemeliharaan anak-anak yatim serta perhatian akan hak-haknya. Riwayat tersebut merupakan penafsiran, penjelasan, dan penjabaran terhadap ayat-ayat di atas. Rasul Mulia saww bersabda, “Sesungguhnya anak-anak yatim memiliki suatu hak.”

Begitu pentingnya masalah pemeliharaan anak yatim sampai-sampai Imam Ali bin Abi Thalib dalam wasiat terakhirnya, tatkala terbaring di atas peraduan, mengatakan, “Ingatlah kepada Allah, ingatlah kepada Allah, tentang nasib anak-anak yatim. Janganlah kalian melalaikan makanannya dan janganlah kalian menyakiti jiwanya.”

Banyak lagi riwayat sejenis yang disampaikan para imam maksum lainnya, yang rangkuman isinya adalah agar kita tidak mencoreng kehormatan dan tidak menjadikan mereka menderita. Sebab, tetesan air matanya akan mendatangkan siksaan bagi kita dan perlindungan atas mereka merupakan tugas dan kewajiban setiap muslim.


Pahala Memelihara Anak Yatim

Islam menganjurkan kita untuk memelihara dan mem- perhatikan kehidupan anak-anak yatim. Bahkan seandainya pun Islam tidak menganjurkannya, rasa kemanusiaan akan menuntut kita untuk senantiasa memperhatikan kehidupan mereka. Apalagi, jika mereka adalah anak-anak para syuhada. Selain dituntut Islam, kita juga dituntut oleh keyakinan dan akidah kita agar memperhatikan mereka.

Dalam pada itu, Allah Swt tidak akan melupakan pahala orang-orang yang merawat dan memelihara mereka. Rasul Mulia saww, seraya menunjukkan kedua jarinya ke arah sahabat beliau, bersabda, “Aku dan pemelihara anak yatim laksana dua jari ini; bersama-sama di dalam surga.” Dalam sabda yang lain, beliau saww menegaskan bahwa orang yang tangannya mengelus kepala anak yatim, akan memperoleh ampunan Allah atas berbagai kesalahannya sejumlah rambut yang diusap tangannya itu. Beliau saww juga menegaskan bahwa Allah Swt akan memberikan kedudukan dan pahala atas biaya yang digunakan dalam merawat dan membesarkan anak yatim.

Bahkan, Islam meyakini bahwa bersikap lembut terhadap anak-anak yatim akan memberikan pengaruh pada emosi seseorang. Mereka yang berhati keras dapat diobati kekerasan- nya dengan bersikap lembut terhadap anak-anak yatim dan mengelus kepalanya. Rasulullah saww bersabda, “Siapapun di antara kalian yang merasa memiliki hati yang keras, hendaklah mendekati anak yatim, lalu hersikap lembut terhadapnya, mengusap kepalanya, maka hatinya akan (berubah) menjadi lembut dengan seizin Allah.”


Perilaku Nabi Mulia saww

Berkaitan dengan sikap dan perilaku Nabi Mulia saww, banyak dinukil bahwa beliau senantiasa berupaya memelihara dan merawat setiap anak yatim. Bahkan, di antara alasan pernikahan beliau saww dengan berbagai wanita yang telah berumur, seperti Ummu Salamah dan lain-iain, adalah untuk memelihara anak-anak yatimnya dan menyelamatkannya dari berbagai bentuk penyimpangan.

Rasulullah saww banyak merawat anak yatim, bahkan manakala ada di antaranya yang meninggal dunia, beliau sangat bersedih, menangis, dan meneteskan air mata. Ketika ada yang menanyakan kesedihan dan tangisan beliau, pada sebuah kesempatan, Rasul saww menjawab, “Anak ini amat pemarah; saya telah berusaha menjalin hubungan baik dengannya dan Allah juga telah menetapkan pahala bagi saya. Sekarang pahala tersebut menjadi terputus.”

Suatu hari, Nabi saww menyaksikan sekelompok anak yang tengah sibuk bermain. Tiba-tiba pandangan beliau tertuju pada seorang anak yang diam menyendiri dan dalam keadaan menangis. Beliau saww bertanya kepadanya tentang penyebab ia menangis. Anak tersebut kemudian menjawab, “Anak-anak itu telah menghina saya dengan mengatakan bahwa saya tidak mempunyai ayah; mereka tidak mengajak saya bermain bersama.” Rasulullah saww membelai dan mengusap rambut- nya, seraya bersabda, “Janganlah engkau menangis, aku adalah ayahmu dan Fathimah adalah saudarimu dan...”


Perilaku Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib

Selama masa kehidupannya, Imam Ali bin Abi Thalib telah menunjukkan amal perbuatan dan perilaku yang sangat terpuji berkenaan dengan anak-anak yatim. Tentu, Anda pernah men- dengar kisah kehidupan beliau ketika memegang tampuk kepemimpinan; setiap malam beliau keluar dari rumahnya dengan membawa sekarung makanan untuk dibagi-bagikan ke setiap rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim, tanpa mengenalkan diri. Setelah kesyahidan beliau, banyak di antara mereka yang baru menyadari bahwa beliaulah pembawa makanan tersebut.

Anda tentu pernah mendengar bahwa suatu ketika beliau membawakan bejana air seorang ibu dari anak-anak yatim dan mengantarkannya ke rumah ibu tersebut. Setelah itu, beliau pun mengantarkan gandum dan kurma ke rumah wanita itu. Di sana, beliau bermain bersama anak-anak yatim, membelai, dan mengelus kepalanya. Kemudian, beliau membuatkan mereka roti dan menyuapinya suap demi suap ditambah beberapa butir kurma.

Di masa kepemimpinannya, suatu hari, beliau mencelupkan jemarinya ke dalam madu dan menyuapkannya ke mulut anak-anak yatim, seraya berkata, “Saya adalah ayah bagi anak-anak yatim. Oleh karena itu, saya mesti mencurahkan kasih sayang seorang ayah terhadap mereka.” Masih banyak lagi sikap dan perbuatan para pemuka Islam terhadap anak-anak yatim. Semua itu merupakan pelajaran dan teladan bagi kita tentang bagaimana semestinya bersikap dalam menghadapi anak-anak yatim.


Bahaya Melalaikan Anak Yatim

Melalaikan dan tak memperhatikan masalah anak-anak yatim, akan menimbulkan pelbagai bahaya dan malapetaka. Dengan begitu, mereka tidak memperoleh pendidikan dan bimbingan selayaknya, sehingga akan berada di tubir ke- tergelinciran dan penyirnpangan. Berbagai potensi dan bakatnya takkan dapat berkembang sewajarnya.

Kelak mereka akan menambah beban masyarakat. Berbagai dampak yang muncul, seperti penyimpangan moral dan seksual, sebagai akibat tak diperolehnya pendidikan dan perawatan yang baik, akan menimpa seluruh individu masyarakat.

Di samping itu, masyarakat akan mendapatkan sanksi dan balasan dari Allah Swt atas kelalaiannya itu. Allah mem- peringatkan mereka yang kaya dan mampu bahwa mereka akan mengalami nasib yang buruk:
Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya kamu tidak memuliakan anok yatim. (al-Fajr: 17).

Alhasil, masyarakat yang tidak memperhatikan sesamanya, lebih-lebih tidak memperhatikan kehormatan dan kemuliaan agama dan masyarakatnya, tidak akan memperoleh rahmat Allah di dunia ini. Dan, di akhirat, mereka akan menghadapi bencana dan malapetaka.


Keluarga dan Sanak Kerabat

Berbagai perubahan yang terjadi dalam sendi kehidupan keluarga, dapat mengguncang jiwa anak dan menjadikannya kehilangan keseimbangan serta cenderung melakukan berbagai penyimpangan. Beban yang dideritanya akan menjadi semakin berat manakala ayahnya meninggal dunia, sementara ia mengetahui kesulitan yang akan dihadapinya di kehidupan mendatang.

Kesulitan yang dihadapi seorang anak akan semakin berat lagi tatkala ibunya meninggal dunia, baik setelah kematian sang ayah atau perceraian. Dalam kondisi semacam ini, si anak akan menghadapi kesulitan yang berlipat ganda.

Perpisahan dengan ibunya, setelah kematian sang ayah, akan menjadikan si anak kehilangan segalanya. Sebab, ada kemungkinan setelah ayahnya meninggal dunia, ia akan merasa tenang dalam pangkuan dan pelukan ibunya. Namun, pabila juga kehilangan tempat berlindung satu-satunya itu, ia akan merasa tidak lagi dapat memperoleh kasih sayang. Adakalanya, ia akan mencari-cari masalah, mengalami kesulitan tidur, dan cenderung mencari perhatian orang lain.


Tanggung Jawab Umum

Sekaitan dengan anak yang menderita gangguan ini, semua lapisan masyarakat bertanggung jawab untuk mengasuh dan memeliharanya. Memang, yang paling layak dan utama dalam memperhatikan kebutuhan hidupnya adalah ayah atau ibunya. Akan tetapi, setelah mereka berdua, tiada yang berkewajiban memperhatikan. memenuhi, dan mencukupi kebutuhan mereka adalah para sanak kerabat, masyarakat, dan pemerintah.

Pabila sang ayah meninggal dunia, sang ibu tetap tidak akan mampu mengurusi masalah pendidikan anak-anaknya seorang diri. Terlebih, beberapa orang ibu, setelah kematian suaminya, terpukul jiwanya sehingga tak mampu hidup tenang dan bahagia serta tak sanggup bersikap rasional. Bila wanita semacam ini dibiarkan mengurusi anak-anaknya seorang diri, maka itu berarti, kita telah menjadikan anak-anaknya tak mampu melangkah secara baik di jalan pertumbuhan menuju kesempurnaan.


Tugas Khusus Sanak Kerabat

Para sanak kerabat syahid diharapkan untuk memperhatikan anak-anak dari orang-orang yang telah mengorbankan nyawanya demi tegaknya ajaran dan nilai-nilai Islam, dengan cara menanyakan berbagai hal yang mereka butuhkan kemudian berusaha sekuat tenaga memenuhinya. Mereka juga harus menanyakan beban yang tengah dipikul isteri para syahid itu dan berupaya meringankannya.

Merupakan beban dan penderitaan yang amat berat, bila setelah kematian suami, para sanak kerabat tidak lagi datang menjenguk keluarga yang ditinggal mati. Atau, mereka hanya datang menjenguk keluarga yang tertimpa musibah di hari-hari pertamanya saja, setelah itu mengabaikannya. Dengan begitu, keluarga yang ditinggal mati akan menghadapi berbagai kesulitan hidup, mengalami tekanan batin, dan kehilangan perasaan senang dan bahagianya.


Peran Kaum Lelaki dalam Keluarga

Setelah kematian ayahnya, seorang anak memerlukan seorang laki-laki yang kurang-lebih dapat berperan sebagai pengganti ayahnya. Karenanya, mestilah dipilihkan salah seorang dari sanak kerabat yang disenangi serta memiliki hubungan dekat dengan si anak, seperti kakek, paman, dan lain- lain. Ini merupakan hal yang sangat penting demi menanamkan kedisiplinan pada diri si anak. Sebab, ia amat membutuhkan seseorang yang dapat mengarahkannya pada jalan yang benar dan mencegahnya dari berbagai pelanggaran norma-norma kehidupan.

Anak-anak, bahkan semasa ayahnya masih hidup, akan merasa senang dan bahagia manakala kakek, paman dari pihak ayah, dan paman dari pihak ibu, datang mengunjungi mereka. Terlebih, bila anak-anak dalam keadaan sakit dan terbaring di tempat tidur. Kehadiran orang-orang semacam itu akan sangat menyenangkan hatinya, terutama bila mereka datang dengan membawa oleh-oleh berupa makanan, buah-buahan, mainan, dan lain-lain. Atau, paling tidak, mereka akan menggendong, memeluk, mencium, dan memberikan kehangatan dalam kehidupannya.

Setelah kematian sang ayah atau perceraian orang tuanya, kebiasaan seperti itu semestinya terns berlanjut. Para sanak kerabat haruslah meningkatkan kasih sayangnya. Tentunya dengan catatan, kasih sayang tersebut tidak mendorong si anak ke arah penyelewengan dan kerusakan. Atau, kasih sayang tersebut dimanfaatkan oleh si anak untuk meraih keinginan dan tujuan yang tidak baik dan tercela. Alhasil, kaum laki-laki sanak kerabat, haruslah mampu mengisi kekosongan sang ayah dan memberikan kehangatan dalam diri si anak.


Anak dalam Keluarga

Telah kami katakan bahwa rasa kehilangan lantaran kematian ayah masih belumlah seberapa, bila sang ibu mampu mengelola kehidupan dan menggantikan posisi sang ayah. Yakni, menjalankan kedua tugas sekaligus, sebagai bapak dan ibu. Kesulitan akan dihadapi si anak bila ibunya harus berpisah dengannya, baik lantaran kematian, menikah lagi, atau lainnya. Dalam keadaan semacam itu, kesulitan dan penderitaan yang harus dihadapi si anak menjadi berkali-kali lipat. Dan dalam hal ini, para sanak kerabat memiliki tugas dan tanggung jawab yang amat berat.

Kita dapat menyaksikan adanya anak-anak yang di- tempatkan di panti asuhan anak yatim. Dengan demikian, ibunya akan merasa ringan dan keluarga serta sanak familinya tidak merasa berat. Di pembahasan lalu, telah kami kemukakan bahwa kami tidak melihat adanya kebaikan dan maslahat bila anak-anak berada di panti asuhan.

Tempat hakiki dan utama bagi seorang anak adalah keluarganya sendiri. Akan tetapi, jika sendi-sendi keluarganya hancur berantakan, maka si anak mestilah ditempatkan dalam sebuah keluarga terdekat yang mampu menjalin hubungan baik dan hangat dengannya. Apa salahnya bila anak yang terlantar itu tinggal di rumah kakek, paman, atau bibinya yang merawatnya sebagaimana anaknya sendiri?

Pabila seorang anak hidup dalam sebuah keluarga besar, ia akan dapat hidup normal. Bahkan, bila berada di rumahnya sendiri, yang di dalamnya terdapat beberapa saudara atau saudari, sang anak niscaya akan semakin terhindar dari pelbagai benturan dan semakin merasa aman. Mereka akan saling menenangkan dan meringankan beban derita serta saling mengarahkan ke jalan yang benar. Adalah kesulitan besar bagi seorang anak, bila dirinya hidup seorang diri dan tak me- nyaksikan gelak tawa dan kegembiraan orang lain. Dalam kondisi semacam itu, kehidupannya akan menjadi sulit dan tak menyenangkan.


Dukungan dan Pembinaan Anak

Jika kita mampu mempertahankan kondisi kehidupan anak sebagaimana sebelum kematian ayahnya atau sebelum perpisahan dengan ibunya, maka itu cukup baik dan sempurna. Kesulitan akan dihadapi si anak ketika kondisinya berubah dan berantakan, dan merasa dirinya tengah menghadapi bencana dan malapetaka. Akan tetapi, bila kita tidak mampu menciptakan kondisi hidup secara lebih baik dan layak, maka, minimal, kita berusaha agar ia hidup layak seperti kita; makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatannya tercukupi serta memperoleh kesempatan bermain dan beraktivitas. Di samping itu, kita jangan melupakan sisi emosionalnya dengan merawat, menjenguk, dan menemaninya bila sakit dan terbaring di tempat tidur.

Anak-anak sangat memerlukan pendidikan dan pembinaan. Ia ingin melangsungkan kehidupannya secara alami dan normal. Setelah kematian ayahnya, mestilah diupayakan agar ia tidak merasa kehilangan atau kekurangan. Juga, haruslah diupayakan agar keturunan mulia ini―anak-anak syuhada―mampu tumbuh dan berkembang secara sempurna serta memiliki cita-cita yang tinggi dan mulia.


Hal-hal yang Perlu Diperhatikan

Dalam masalah pendidikan dan pembinaan anak, diperlukan tenaga, pemikiran, materi dan non-materi, dukungan, bantuan, pertolongan dan lain-lain. Sementara dalam melaksanakan semua itu diperlukan ketelitian, kecermatan, dan perhatian dalam hal:
1. Anak membutuhkan kasih sayang, dan bukan belas kasihan, membutuhkan cinta, bukan rasa iba. Oleh karena itu, janganlah Anda meneteskan air mata ketika melihat dan berjumpa dengannya. Sebab, sikap dan perbuatan semacam itu justru akan menghancurkan jiwa dan kepribadiannya.
2. Hendaklah si anak dijauhkan dari cinta berlebihan, yang dicurahkan orang-orang lain terhadapnya. Sungguh sangat keliru bila setiap orang yang datang menemuinya, menciumnya berkali-kali dan memberinya hadiah ber- limpah ruah. Sebab, sikap semacam itu akan menjauhkan si anak dari kenyataan yang ada sehingga tidak memiliki kesiapan untuk membangun diri dan kepribadiannya.
3. Si anak mesti memperoleh dukungan Anda tetapi tidak berlebihan, kendatipun itu didasarkan pada cinta kasih.
4. Para lelaki harus mulai memberlakukan prinsip-prinsip kedisiplinan pada anak secara bertahap dan berangsur- angsur serta mulai mengeluarkan perintah dan larangan. Mcreka harus menyadari bahwa itu dapat menentukan nasib kehidupan si anak di masa datang. Karenanya, jangan sampai itu diremehkan dan dilalaikan.
5. Perintah dan larangan tanpa perhitungan dan terus-menerus akan memberikan dampak yang negatif pada anak. Itu bukan hanya menyebabkan sang anak menjadi semakin tidak mengetahui tugas dan tanggung jawabnya, namun juga dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan-nya, bahkan menumbuhkan pelbagai perilaku menyimpang.
6. Janganlah Anda memukul si anak bila melakukan kesalahan, namun berilah ia sanksi dengan cara berdiri beberapa saat, mencela perbuatannya, atau tidak mengajaknya berbicara. Tentu, itu harus tetap sesuai dengan batasan syariat dan rasio. Perlakukanlah ia seperti anak Anda sendiri dan upayakanlah untuk mengajarinya sopan santun.
7. Janganlah Anda menghina, melecehkan, dan menyudutkan si anak. Sebab, dampak dari perbuatan tersebut sangat menyakitkan hatinya. Ia belum memiliki kemampuan untuk menanggung beban kezaliman dan ketidakadilan. Jika saat itu tak mampu mengadakan perlawanan, niscaya suatu saat ia akan marah besar dan melakukan penyerangan.


Dampak Negatif

Anak-anak scmacam itu sangat memerlukan pendidikan dan pengarahan. Sebabnya mereka berada di ambang bahaya pe- nyimpangan, benturan, dan bencana. Orang-orang jahat― dalam mewujudkan niat jahatnya―akan memanfaatkan anak-anak tersebut. Para politisi yang mengalami kekalahan dan ke- gagalan juga akan memperalat mereka demi menggapai tujuan dan cita-citanya, serta menjadikannya sebagai corong propaganda.

Adakalanya kesalahan kecil, seperti kelalaian yang tidak berarti, dapat menimbulkan kesalahan berat dan penyimpangan tajam yang akan mendorong mereka melakukan berbagai tindak kejahatan. Jika Anda perhatikan statistik kejahatan dan perilaku menyimpang, Anda akan mengetahui bahwa sebagian besar di antaranya adalah orang-orang yang kurang mendapatkan perhatian, pendidikan, dan kasih sayang di masa kanak-kanaknya. Ya, semua itu merupakan akibat dari kelalaian para penanggung jawab pendidikan anak.


Tugas Masyarakat

Sekaitan dengan penanggungjawab kehidupan anak-anak tersebut, terdapat bermacam-macam pendapat. Ada yang menyatakan bahwa itu merupakan tugas pemerintah; ada yang menyatakan masyarakat; ada yang menyatakan ayah atau ibunya; ada yang menyatakan itu merupakan tanggung jawab para tokoh agama dan ruhaniawan gereja; dan ada pula yang menyatakan bahwa si anak sendirilah yang bertanggungjawab terhadap kehidupannya. Sedangkan Islam meyakini bahwa anak adalah ciptaan Tuhan dan merupakan amanat Ilahi yang dititipkan kepada seluruh manusia.

Ya, semua benanggungjawab terhadap kehidupan si anak, baik pemerintah, tokoh agama, ruhaniawan, masyarakat, ayah atau ibu, bahkan anak itu sendiri. Semuanya bertanggungjawab dalam mengawasi dan merawat amanat Ilahi ini serta menyediakan berbagai sarana yang dapat memperlancar laju penumbuhan dan perkembangannya. Tak seorang pun yang berhak menghina dan merendahkannya. atau menyebabkannya merasa terhina dan tersingkir. Ia adalah makhluk ciptaan Allah yang amat mulia. Karena yang menyerahkan amanah tersebut adalah Dzat yang Mahaagung dan Mahamulia, maka ia harus diagungkan dan dimuliakan.
Semua itu (mengagungkan dan memuliakan) mesti diberlakukan pada seluruh anak, khususnya anak yang, selain merupakan amanah Ilahi, juga merupakan amanah para syuhada. Anak tersebut merupakan amanah dan peninggalan para syahid yang telah berjuang dijalan Allah. Dan, di hadapan-Nya, semua akan dimintai pertanggungjawaban atasnya.


Tanggung Jawab Masyarakat

Tak diragukan lagi, jika masih hidup. niscaya sang ayah yang lebih layak mengemban tugas dan tanggung jawab mendidik si anak. Sekarang, bila tinggal ibunya yang masih hidup, berdasarkan urutan, maka dirinyalah yang bertanggung jawab dalam masalah pendidikannya. Dalam hal ini, bukan berarti masyarakat terbebas dari beban tugas dan tanggung jawab mendidik dan memelihara anak tersebut.

Pada dasarnya, dalam pandangan Islam, semua pihak bertanggungjawab terhadap masalah pendidikan dan perawatan si anak. Seorang imam bertanggung jawab terhadap masyarakat, dan masyarakat bertanggungjawab satu sama lain. Ayah dan ibu bertanggung jawab terhadap anak-anaknya, dan tetangga bertanggungjawab terhadap tetangganya. Ini sebagaimana ditegaskan Rasul mulia saww, “Kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kalian pimpin.”

Melaksanakan tugas dan tanggung jawab merupakan kewajiban setiap individu. Bahkan, setiap individu dituntut untuk memikirkan cara membebaskan orang lain dari berbagai kesulitan dan memenuhi kebutuhannya. Nabi Islam saww bersabda, “Siapapun yang masuk pagi hari dan tidak me- mikirkan perkara-perkara (yang menyangkut) kaum muslim, maka ia bukanlah seorang muslim.” Ya, seseorang yang bangun di pagi hari tanpa memikirkan nasib yang menimpa muslimin, sesungguhnya bukanlah seorang muslim.


Penanggung Jawab Anak Yatim

Anak yatim adalah anak yang ayah, ibu, atau keduanya meninggal dunia lantaran suatu kejadian. Karena anak adalah amanah Ilahi, maka masyarakat bertanggung jawab dalam masalah pendidikannya. Juga, dalam menyediakan pelbagai sarana yang dapat membantu dan mendukungnya tumbuh dan berkembang.
Tugas dan tanggung jawab tersebut semakin berat bila ayah dari anak tersebut mengorbankan jiwanya demi mempertahan- kan nilai-nilai agama, harga diri, dan kehormatan masyarakat. Selayaknya, masyarakat mencintai keturunan para syuhada dengan memberikan bantuan dan dukungan, baik secara moril dan material, serta berupaya menumbuhkan berbagai potensi dan bakat yang terpendam dalam diri si anak seraya membina dan membentuk kepribadiannya.

Sedapat mungkin, pemeliharaan dan parawatan tersebut dilakukan di rumah si anak sendiri. Bila tidak memungkinkan, itu dapat dilakukan di rumah salah satu anggota masyarakat. Sungguh tidak terpuji, pendirian panti asuhan dengan tujuan agar masyarakat terlepas dari tugas dan tanggung jawabnya, kecuali bila itu benar-benar tidak memungkinkan. Atau, untuk kemaslahatan, si anak, terpaksa ditempatkan di panti asuhan.
Di masa pemerintahan Rasulullah saww dan Imam Ali bin Abi Thalib, bahkan pada masa pemerintahan mereka yang disebut dengan Khulafa al-Rasyidin, pemerintah dan masyarakat sebenarnya tidak mengalami kesulitan untuk membangun panti asuhan anak. Akan tetapi, demi menjaga dan mempertahankan sunah Islam serta mencegah timbulnya dampak negatif, anak-anak para syuhada dipelihara di rumah-rumah mereka.


Kasih Sayang terhadap Anak Yatim

Anak-anak yatim tidak kehilangan kasih sayang ayahnya. Karenanya, masyarakat harus mencurahkan kasih sayang, mcmperhatikan berbagai kebutuhan, bahkan membelai kepala mereka. Kasih sayang itu harus dicurahkan, karena, pertama, si anak sendiri memang membutuhkannya, dan, kedua, itu sangat diperlukan dalam mendidik dan mengarahkannya.

Jika merasakan adanya orang yang bersimpati kepadanya, niscaya sang anak akan semakin bersemangat dalam meng- arungi lautan kehidupan ini, berani dalam melintasi jalur per- tumbuhannya, serta dapat merasakan nikmatnya kasih sayang. Ia juga akan berusaha saling memahami; suatu hal yang amat dibutuhkan dalam pendidikan.

Kasih sayang tersebut harus benar-benar murni dan bukan dibuat-buat, serta berbentuk belas kasihan dan perasaan iba. Sehingga, si anak akan mampu merasakan kasih sayang tersebut dan memperhitungkannya secara cermat. Bentuk pencurahan kasih sayang tersebut bisa berupa bermain bersamanya, menciumnya, memberinya salam, dan menghargainya. Semua ini biasa dilakukan Rasulullah saww di masa kehidupan beliau.

Ya, mereka sangat haus akan ungkapan cinta dan curahan kasih sayang Anda. Bila dapat meraihnya, mereka juga akan mencurahkan cinta dan kasih sayangnya pada orang lain. Perhatian akan kepribadian mereka, dapat menyelesaikan berbagai kesulitan dan problema hidup mereka, sehingga dapat mencegah munculnya berbagai perilaku hidup yang me- nyimpang.


Pahala Merawat dan Membelai

Benarlah bahwa merawat anak dapat dianggap sebagai tugas ilahiah dan insaniah, namun ajaran Islam juga telah menetapkan pahala dalam upaya seperti itu. Dalam pembahasan lalu, kami telah mengemukakan berbagai riwayat sekaitan dengan masalah tersebut. Di sini, kami akan menambahkannya:
Rasulullah saww bersabda bahwa siapa saja yang meng- usapkan tangannya ke kepala anak yatim dengan penuh kasih sayang, Allah akan memberikan pahala kepadanya sebanyak bilangan rambut yang dibelai telapak tangannya dan Dia akan membangunkan baginya istana di surga. (dalam riwayat lain disebutkan bahwa Allah Swt akan menuliskan kebaikan atas setiap rambut yang diusapnya). “Siapapun yang mengusap kepala anak yatim, akan mendapatkan kebaikan dari setiap rambut yang dilalui (tapak) tangannnya.” (Tafsir al-Burhân).

Beliau saww juga bersabda bahwa siapapun yang men-dengar jerit tangis anak yatim, kemudian dengan penuh kasih meredakan dan menenangkannya, beliau bersumpah dengan kemuliaan dan keagungan-Nya, maka surga wajib baginya. Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa jika dalam rumah seseorang terdapat anak yatim, maka Allah akan memberkati kehidupan orang tersebut.


Hal-hal yang Mesti Dihindari

Kita, selaku anggota masyarakat, dalam melakukan berbagai perbuatan hendaklah mencegah dan menahan diri dari perbuatan yang dapat merugikan dan membahayakan nasib anak-anak yatim. Dalam hal ini, kami akan menekankan beberapa poin berikut:
1. Anak yatim amat memerlukan kasih sayang, bukan belas kasihan atau perasaan iba. Para pengasuh dan pendidik, khususnya kaum ibu, harus menjauhkan diri dari dua perkara tersebut. Belas kasihan dan iba, akan memudarkan semangat si anak kendatipun, pada mulanya, itu nampak menyenangkan.
2. Kasih sayang memang diperlukan, namun bila berlebihan justru akan membahayakan dan merugikan si anak. Hendaklah kita menjauhkan diri dari kasih sayang yang berlebihan, lantaran akan mendorong si anak melakukan penyalahgunaan dan menghambat perkembangan jiwanya.
3. Sebagian orang, demi mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anak tersebut, memberikan berbagai mainan mahal atau berlebihan dalam penyediaannya. Jelas, itu akan membahayakan dan merupakan bentuk pendidikan yang buruk bagi anak.
4. Hendaklah mencegah diri dari menghina dan melecehkan siapapun, khususnya anak-anak yatim. terlebih keturunan para syuhada. Sebab, penghinaan dan pelecehan tersebut merupakan dosa yang amat besar. Dosa itu memang nampak kecil, namun di hadapan allah adalah besar Rasulullah saww bersabda, “Janganlah kalian menghina seorang pun di antara muslimin, karena yang (nampaknya) kecil bagi mereka adalah besar di hadapan Allah.”
5. Kita harus mengobati luka dan derita orang menimpa anak yatim, bukannya malah menambah atau memperparahnya. Dalam riwayat disebutkan bahwa seseorang yang membuat anak yatim bersedih dan menangis, berarti telah meng- guncang ‘Arsy (Singgasana) Allah.
6. Jika anak yatim hidup di rumah Anda, janganlah bersikap keras dan memberikan berbagai tekanan kepadanya, sehingga menjadikannya putus asa, melarikan diri, dan terjerembab dalam kubangan perbuatan menyimpang.
7. Jika si anak berada di tengah-tengah masyarakat, hendaklah diperhatikan agar jangan sampai dibentak dan direndahkan. Jangan sampai hatinya terluka lantaran kehilangan ayahnya.
8. Jangan sekali-kali Anda mengusir dan merendahkan anak yatim. Jangan sampai ia merasakan dirinya adalah anak buangan dan tidak berharga. Sebab, itu akan membuatnya bersikap keras dan penuh dendam.
9. Alhasil, berkaitan dengan anak yatim, diperlukan berbagai pengorbanan. Namun, jika pengorbanan itu tidak pada tempatnya, malah akan merusak kepribadiannya dan menjadikannya tidak mampu memikul behan, tugas, dan tanggungjawab.


Melindungi Keluarga Syuhada

Masyarakat harus berkeyakinan bahwa yang paling layak dan pantas dalam mengasuh dan membesarkan anak-anak adalah orang tua anak itu sendiri. Sekiranya sang ayah telah tiada, maka ibulah sosok yang paling tepat untuk mengasuh dan mendidiknya.

Oleh karena itu, jika merasa bertanggung jawab untuk menjaga dan melindungi anak-anak para syuhada, maka kita harus memperhatikan keluarganya dan mendukung sang ibu dapat mendidik anaknya dengan baik dan sempurna. Jika ia menghadapi kesulitan, kitalah yang harus menyelesaikannya. Bila si anak menyulitkan ibundanya, maka kita harus segera membantu ibunya. Sebab, jika kita tidak memperhatikan dan mendukung keluarga tersebut, perilaku menyimpang akan merebak di tengah masyarakat. Kondisi semacam itu, selain menyebabkan turunnya pembalasan Ilahi, akan mendatangkan kesengsaraan bagi seluruh masyarakat.


Tugas Pemerintah

Anak-anak yatim adalah juga anggota masyarakat juga. Sekarang, mereka memang masih kanak-kanak. Namun di masa mendatang mereka akan menjadi dewasa dan akan menjalankan roda kehidupan masyarakat. Dengan demikian, memelihara dan memperhatikan kehidupan mereka, akan bermanfaat bagi masyarakat di masa datang.

Perhatian ini harns ditujukan terhadap segenap anak yatim, khususnya yang ayahnya meninggal dunia demi menjaga dan mempertahankan nilai-nilai agama. Usaha masyarakat untuk mengurusi kehidupan keluarga dan pendidikannya, merupakan tugas sosial, politik, dan keagamaan. Betapa buruk dan tercela-nya, bila sekelompok orang yang berjuang dan mengorbankan jiwa serta raganya demi meraih cita-cita masyarakat, lalu― semoga Allah menjauhkan―anak-anaknya tidak terurus dan terabaikan. Dalam kondisi semacam itu, bagaimana per- tanggungjawaban kita di hadapan Allah?


Perlunya Perhatian

Berkaitan dengan perlunya perhatian terhadap anak-anak yatim, terdapat berbagai dalil dan argumen yang memperkuat keperluan tersebut, di antaranya:
Pertama, mereka adalah pribadi-pribadi yang terhormat dan keturunan yang mulia, yang amat dikasihi Allah dan merupakan amanah Ilahi yang dititipkan pada masyarakat.

Kedua, mereka adalah bagian dari masyarakat kita. Bila mereka tidak mendapatkan perhatian yang cukup masyarakat tidak akan tumbuh dan berkembang sebagaimana diharapkan.

Ketiga, jika tidak diurus dan diperhatikan, mereka akan menghadapi berbagai bahaya yang merintangi alur kehidupan- nya, sehingga akan terjerumus dalam lembah kerusakan dan penyimpangan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak adanya perhatian terhadap keturunan mulia, akan menimbulkan berbagai kerusakan moral di tengah masyarakat. Jika seseorang mengadakan penelitian mengenai sebab-sebab munculnya berbagai perilaku menyimpang dan kerusakan moral pada berbagai individu di tengah masyarakat, akan diperoleh sebuah kesimpulan bahwa pada masa kanak-kanaknya mereka kurang mendapatkan perhatian, pendidikan, dan kasih sayang yang cukup.

Hasil penelitian yang dilakukan Badan Penyelidik Kerusakan Moral Anak-anak yang terdapat di salah satu negara Barat, terhadap 2.855 anak, menunjukkan bahwa 509 anak tidak memiliki ayah, 612 anak tidak memiliki ibu, 583 anak hasil hubungan seksual secara tidak sah (anak haram), 290 anak tidak mendapatkan perawatan baik, 697 anak ayahnya kecanduan alkohol, dan 264 anak ibunya kecanduan alkohol.


Tugas Pemerintah Islam

Tatkala masyarakat tidak mampu merawat dan mengurusi mereka, maka pemerintah Islamlah yang mesti mengurusi pendidikan dan perawatannya. Ini sebagaimana dipraktikkan pada masa pemerintahan Rasulullah saww dan Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib.

Pemerintah Islam bertugas menyediakan berbagai sarana yang diperlukan bagi kehidupan anak-anak tersebut, sehingga mereka mampu tumbuh dan berkembang, serta terhindar dari kerusakan moral dan berbagai bentuk penyimpangan. Pemerintah Islam harus memikirkan masa depan anak-anak ini dengan menunjuk dan menentukan orang-orang yang dapat dipercaya guna membina dan membimbing mereka.
Pemerintah Islam, sebagaimana yang kita saksikan di Iran, beranggapan bahwa perhatian dan kasih sayang ibu merupakan faktor utama yang mampu menciptakan kebahagian dalam diri anak. Republik Islam selalu berusaha memperhatikan dan memenuhi kebutuhan keluarga dan kaum ibu, agar mereka dapat meraih keberhasilan dalam merawat, membimbing, dan mem- bina anak-anaknya. Sebab, keberhasilan mereka (kaum ibu) dalam mendidik anak-anaknya akan menjadikan masyarakat memiliki calon-calon pengganti yang tanggguh dan layak.


Kebutuhan Utama

Dalam upaya mencukupi kebutuhan keluarga dan anak-anak yatim, minimal pemerintah harus memperhatikan poin-poin berikut:
1. Mencukupi kebutuhan makanan anak dalam bentuk yang layak dan normal, yang sesuai dengan kondisi kehidupan separuh jumlah masyarakat.
2. Mencukupi kebutuhan pakaian dan perlengkapan yang dapat menjaga kesehatan dan keselamatan anak.
3. Menyediakan tempat tinggal yang layak, agar dapat hidup tenang dan nyaman.
4. Menyediakan sarana yang dapat menjaga kesehatan jasmani dan ruhaninya, sehingga mereka terhindar dari rintangan yang akan mengganggu pertumbuhannya.
5. Mencukupi kebutuhan pendidikan mereka, sehingga mampu menapaki taraf pendidikan yang lebih tinggi dari ayah-ayah mereka.
6. Mencukupi kebutuhan emosionalnya, sehingga tidak merasa kekurangan dalam hal perhatian dan kasih sayang.


Perlunya Musyawarah

Dalam usaha merawat, mengasuh, dan mendidik anak-anak yatim, pemerintah perlu bermusyawarah dengan orang-orang yang memiliki beragam pengetahuan, sehingga dapat memiliki pengetahuan dan informasi yang diperlukan dalam menjalankan usaha tersebut. Orang-orang yang diajak bermusyawarah itu harus terdiri dari para pakar dalam masalah keluarga, sosial hukum, ekonomi, sarana hunian, program pendidikan, dan lain-lain. Hasil penelitian yang dilakukan para sosiolog, psikolog, guru, pendidik dan bahkan ahli hukum serta kriminolog terhadap anak-anak, merupakan masukkan penting bagi pemerintah dalam usaha membina mereka, sehingga dapat dilakukan berbagai pencegahan yang diperlukan.


Suri Teladan

Islam memberikan dukungan penuh bagi masalah pen- didikan, perawatan, dan pengasuhan anak, serta menganggap semua itu sebagai tugas moral dan kemanusiaan. Pesan dan anjuran Islam serta perilaku dan perbuatan yang dilakukan para pemuka Islam merupakan bukti nyata atas dukungan tersebut, di antaranya:
Rasulullah saww menganjurkan untuk membelai, mencium, merawat, serta mengasuh mereka dan berharap agar mereka tidak diabaikan. Kaum muslimin jangan sampai melalaikan kondisi dan nasib anak-anak tersebut. Mereka dapat menjadi ayah yang baik bagi anak-anak yatim dan menjadi suami yang lembut bagi para janda.

Diceritakan bahwa pada masa pemerintahannya, Imam Ali bin Abi Thalib mengambil sedikit madu dari baitul mal. Beliau lalu memerintahkan sahabatnya untuk memanggil anak-anak yatim dan membagikan madu tersebut dengan tangan beliau sendiri dengan cara menyuapkannya ke mulut anak-anak yatim. Tatkala seseorang bertanya tentang hal itu, beliau mengatakan, “Sesungguhnya imam adalah seorang ayah bagi anak-anak yatim, dan sesungguhnya melakukan ini adalah agar mereka merasakan kasih sayang seorang ayah.”


Mengabaikan Mereka

Mengabaikan perawatan anak-anak yatim sama halnya dengan mengabaikan hak-hak manusia dan tidak merasa sedih atas penderitaan mereka, serta menjauhkan mereka dari nilai- nilai kemanusiaan. Dan, tidak memperhatikan masalah pendidikan mereka, bukan hanya akan membahayakan diri mereka sendiri, tapi juga masyarakatnya.

Alhasil, mereka akan tumbuh dewasa dan akan masuk dalam arena kemasyarakatan. Lalu, apa yang akan kita katakan tatkala mereka merasakan berbagai kekurangan? Apa alasan yang akan kita kemukakan tatkala kita tidak mampu menyediakan sarana yang dapat memberikan ketenangan dan mendorong pertumbuhan jiwa serta raga mereka? Jika sebuah masyarakat menginginkan ketenangan dalam kehidupan individual dan sosialnya, maka mereka mesti memperhatikan orang yang berada dalam keadaan kekurangan. Allah tidak akan mengasihi suatu kaum yang tidak mengasihi orang lain.

Dukungan, bantuan, dan uluran tangan pemerintah serta masyarakat kepada anak-anak ini, akan mengembangkan potensi dan bakat mereka, serta memberikan kemajuan dan perkembangan bagi masyarakat itu sendiri. Ya, amal perbuatan tersebut akan menjadikan Tuhan ridha dan akan memberikan ketenangan pada batin mereka, lantaran telah menjalankan tugas ilahi dan insani tersebut.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: