Pemerintah berharap agar ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No.1/2017 bisa dijalankan PT Freeport Indonesia sebagai salah satu pemegang kontrak karya tanpa berakhir di meja hijau. Dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Sabtu (18/2/2017) malam, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan mengatakan langkah hukum sebenarnya langkah yang bisa ditempuh siapapun.
Namun, dia berharap pemerintah tak akan berhadapan dengan siapapun termasuk PT Freeport Indonesia di hadapan hukum. Pasalnya, dia menyebut kesempatan tersebut akan membuat hubungan pemerintah dengan pelaku usaha kurang hangat.
Adapun, pemerintah yang berpegang pada Undang Undamg No.4/2009, pasal 170 terkait larangan ekspor hasil tambang yang belum diolah dan atau dimurnikan di dalam negeri dan PP No.1/2017.
Ketentuan untuk rekomendasi ekspor, komitmen membangun smelter dalam kurun waktu lima tahun juga divestasi saham secara bertahap dianggap bertentangan dengan kontrak karya yang dipegang PT Freeport Indonesia. Alhasil, penambahan ketentuan yang tidak sesuai dengan kontrak dianggap tak bisa diikuti. Alhasil, upaya untuk membawa persoalan tersebut ke arbitrase internasional merupakan salah satu cara yang digadang-gadang menjadi jalan keluar bagi investor.
"Pemerintah berharap tidak berhadapan dengan siapa pun secara hukum, karena apa pun hasilnya dampak yang ditimbulkan akan kurang baik dalam sebuah relasi kemitraan," ujarnya.
Terlepas dari itu, Jonan menilai langkah Freeport dengan membawa persoalan tersebut ke meja hijau jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pengurangan karyawan untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Seperti diketahui, nasib sekitar 32.000 pekerja terancam dengan adanya ketentuan baru yang membatasi ekspor produk tambang mentah.
Menurutnya, sebagai perusahaan global, seharusnya Freeport memperlakukan tenaga kerja sebagai aset bukanlah sekadar motor penghasil kentungan.
"Namun itu [rencana membawa masalah ke meja hijau] langkah yang jauh lebih baik daripada selalu menggunakan isu pemecatan pegawai sebagai alat menekan Pemerintah. Korporasi global selalu memperlakukan karyawan sebagai aset yang paling berharga, dan bukan sebagai alat untuk memperoleh keuntungan semata."
Sebelumnya, PTFI mendapat jatah volume ekspor sebanyak 1,11 juta wet metric ton (WMT) konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 352/30/DJB/2017, tanggal 17 Februari 2017. Pemberian izin berlaku sejak 17 Februari 2017 sampai dengan 16 Februari 2018.
Untuk PTAMNT, kuota ekspor yang diberikan sebanyak 675.000 WMT konsentrat tembaga berdasarkan Surat Persetujuan Nomor 353/30/DJB/2017, tanggal 17 Februari 2017, dan berlaku sejak tanggal 17 Februari 2017 hingga 16 Februari 2018.
Adapun surat permohonan rekomendasi ekspor dari PTFI tertanggal 16 Februari 2017, sementara PTAMNT pada 17 Februari 2017. Dalam surat permohonan tersebut, kedua perusahaan telah menyatakan komitmennya untuk membangun fasilitas pemurnian (smelter) di dalam negeri.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono mengatakan kedua perusahaan tersebut sudah memenuhi seluruh persyaratan. Adapun pembangunan smelter akan dievaluasi setiap enam bulan.
"Pertimbangannya [pemberian rekomendasi] sesuai perundang-undangan. Nanti untuk smelter kan diberi waktu lima tahun," katanya, Jumat (17/2).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1/2009, PTFI dan PTAMNT memang dimungkinkan untuk mengekspor mineral yang belum dimurnikan, dalam hal ini konsentrat tembaga. Pasalnya, Kementerian ESDM telah menerbitakn Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada keduanya pada 10 Februari 2017 menggantikan Kontrak Karya (KK).
Adapun sejak 12 Januari 2017 kedua perusahaan tersebut tidak bisa mengekspor konsentrat tembaganya karena masih berstatus KK. Rekomendasi ini menjadi rekomendasi ekspor keenam kalinya bagi keduanya sejak 2014.
Setelah mendapatkan rekomendasi ekspor tersebut, PTFI dan PTAMNT akan mengajukan permohonan izin ekspor ke Kementerian Perdagangan. Sejauh ini, selama rekomendasi dari Kementerian ESDM diperoleh, izin ekspor dari Kementerian Perdagangan tinggal menunggu waktu.
Untuk bea keluar, baik PTFI maupun PTAMNT akan dikenakan bea keluar sebesar 7,5% karena progres pembangunan smelternya masih di bawah 30%. Sejak terhenti pembangunannya, smelter PTFI yang kini tengah dibangun perkembangannya baru mencapai kisaran 14%, sementara PTAMNT baru akan memulai pembangunan.
(Bisnis-Indonesia/Portal-CBN/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email