Pesan Rahbar

Home » » Krititik Atas Kekhalifahan Abu Bakar

Krititik Atas Kekhalifahan Abu Bakar

Written By Unknown on Saturday 26 July 2014 | 09:54:00

Buku Ini di Buat dan di teliti di Yayasan Alhasanain as dan sudah disesuaikan dengan buku aslinya.


Title : Kritik Terhadap Kekhalifahan Abu Bakar
Author : Ayatullah Sayid Ali Husaini Milani
Translator : Ahmad Rafiq
Editor :
Publisher : Markaz-e Haqoyeq-e Eslomi
Publish date : 2012-05-09
Page count : 74


Daftar Isi

Title : Kritik Terhadap Kekhalifahan Abu Bakar 1
Prakata Penerbit 2
Sambutan. 5
Prakata. 5
Dalil terpenting Ahlu Sunah Atas Kekhalifahan Abu Bakar 8
Dalil Ahlu Sunah tentang keutamaan Abu Bakar 11
Dalil Pertama. 11
Dalil kedua. 11
Dalil ketiga. 12
Dalil keempat 13
Dalil kelima. 13
Dalil keenam.. 13
Dalil ketujuh. 14
Dalil kedelapan. 14
Dalil kesembilan. 14
Dalil kesepuluh. 14
Kritikan terhadap dalil-dalil keutamaan Abu Bakar 16
Kritikan terhadap dalil-dalil Ahlu Sunah. 16
Kritikan untuk dalil pertama. 16
Kritikan untuk dalil kedua. 19
Kritikan untuk dalil ketiga. 22
Kritikan untuk dalil keempat 23
Kritikan untuk dalil kelima. 23
Kritikan untuk dalil keenam.. 24
Poin penting yang perlu diperhatikan: 28
Kritikan untuk dalil ketujuh. 30
Kritikan untuk dalil kedelapan. 31
Kritikan untuk dalil kesembilan. 32
Kritikan untuk dalil kesepuluh. 33
Mengkaji dalil ijma' kekhalifahan Abu Bakar 34
Pendapat Taftazani tentang dalil-dalil Syiah. 36
Kritik terhadap pernyataan Taftazani 37
Penutup. 39
Catatan Kaki 41
Daftar pustaka. 43


Prakata Penerbit

Agama Allah swt yang terakhir dan paling sempurna telah dipersembahkan dengan diutusnya nabi pamungkas, Nabi Muhammad Musthafa saw, kepada penduduk bumi.

Agama dan risalah para nabi telah berakhir dengan berakhirnya kenabian beliau saw.

Agama Islam bermula dari kota Makkah hingga menyebar ke seluruh pelosok Jazirah Arab setelah 23 tahun usaha tiada henti Rasulullah saw dan sekelompok sahabat setia beliau.

Keberlanjutan jalan Ilahi ini diembankan oleh Tuhan yang Maha Pengasih kepada seorang lelaki pemberani pertama dunia Islam setelah Nabi Muhammad saw, yaitu Imam Ali as, pada tanggal 18 Dzilhijjah, di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum.

Pada hari itu, dengan pengumuman kepemimpinan (wilayah) Imam Ali as, nikmat Ilahi dan agama Islam menjadi sempurna, lalu Islam menjadi satu-satunya agama yang diridhai oleh Allah swt. Dengan demikian, sirnalah impian kaum kafir dan musyrik akan kehancuran Islam.

Tak lama setelah itu, sebagian orang di sekeliling Nabi saw –dengan isu-isu yang telah dipersiapkan sebelumnya- melencengkan jalan hidayah dan kepemimpinan sepeninggal beliau saw; mereka menutup gerbang kota ilmu dan menjerumuskan Muslimin dalam kebingungan. Dari awal kekuasaan, mereka telah menenggelamkan cahaya Islam –yang seharusnya bersinar selamanya – dalam awan kelam keraguan, yaitu dengan melarang penulisan hadits-hadits nabawi, penyebaran hadits-hadits buatan dan sebagai gantinya memaparkan persoalan yang meragukan dan menyesatkan.

Namun meski demikian, hadits-hadits nabawi tetap mengalir sepanjang zaman melalui lisan Amir Al-Mukminin as, para washi beliau as serta sekelompok dari sahabat setia dan menjelma dalam bentuk tertentu di setiap potongan fenomena zaman. Mereka terus menjawab pertanyaan musuh dan menghidupkan kebenaran.

Di antara mereka adalah ulama kita seperti Syaikh Mufid, Sayid Murtadha, Syaikh Thusi, Khajah Nasir, Allamah Hilli, Qadli Nurullah, Mir Hamid Husein, Sayid Syarafuddin Amini dan lain sebagainya. Mereka seperti bintang karena terus menerus berusaha menjelaskan jalan kebenaran dengan lisan dan pena mereka.

Di antara ulama ternama kita saat ini yang berjasa dalam menjaga dan ajaran agama dan melindunginya dari serangan syubhat-syubhat serta terus menyerukan wilayah Amir Al-Mukminin as adalah Ayatullah Sayid Ali Husaini Milani lewat karya-karyanya.

Markaz-e Haqoyeq-e Eslomi dengan bangga bertanggung jawab menghidupkan tulisan-tulisan berbobot dan bernilai milik beliau dan dengan cara mengkaji, menterjemahkan, mencetak, serta berusaha mempersembahkan tulisan-tulisan tersebut kepada para pencari ilmu dan mereka yang haus akan hakikat.

Buku yang ada dihadapan anda ini adalah salah satu terjemahan dalam bahasa Indonesia dari tulisan-tulisan beliau. Kami berharap usaha ini dapat menjadi keridhaan Allah swt dan mendapatkan restu Imam Mahdi as.

Markaz-e Haqoyeq-e Eslomi.


Sambutan

Dengan menyebut nama Allah swt yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang

Puji syukur kepada Allah swt serta shalawat dan salam kepada junjungan nabi besar Muhammad saw dan keluarga sucinya as, serta laknat Allah untuk musuh-Nya dari awal sampai akhir.


Prakata

Dengan melihat silsilah pembahasan yang telah dipaparkan, kita telah menjelaskan dalil-dalil pilihan kepemimpinan Imam Ali as dalam pandangan Quran, sunah Nabi saw dan akal. Kita dalam semua pembahasan ini tidak keluar dari metode yang digunakan oleh Ahlu Sunah bahkan kita tetap menjaga syarat-syarat yang mereka anggap wajib dalam kepemimpinan.

Ahlu Sunah menganggap bahwa kepemimpinan berdasarkan pilihan umat dan masyarakat; maka dengan dasar ini mereka menetapkan beberapa syarat wajib sehingga atas dasar kepemilikan syarat tersebut siapapun dapat kelayakan menyandang kepemimpinan.

Kita dalam tulisan ini mencari dan menelaah kembali sesuai dengan syarat-syarat lazim dan berdasarkan pendapat-pendapat para pembesar ulama Ahlu Sunah dan menetapkan kepemimpinan Imam Ali as.

Sekarang untuk menyempurnakan pembahasan ini, kita akan membahas dalil-dalil Ahlu Sunah akan kepemimpinan Abu Bakar karena sebagaimana kita memiliki dalil-dalil kepemimpinan imam Ali as, mereka juga memiliki dalil-dalil akan kepemimpinan Abu Bakar oleh karena ini, kita akan menelaah dalil-dalil tersebut sehingga nilai keilmiahan dalil tersebut menjadi jelas.

Kita dalam tulisan ini juga menggunakan aturan dan metode pembahasan dan diskusi. Jelas bahwa asas dan dasar diskusi itu adalah, bisa jadi dalil-dalil yang dipaparkan dapat diterima oleh kedua pihak, atau dalil setiap kelompok diterima oleh pihak lawan sehingga diskusi dengan mereka dapat terealisasi serta menarik mereka untuk menerimanya.

Kita dalam tema ini, duduk berdiskusi berdasarkan buku-buku dan pendapat-pendapat para ulama Ahlu Sunah, menjaga adab dan aturan diskusi, mengeluarkan pendapat berisi, bernilai dan tanpa fanatik sehingga jelas bahwa dalil-dalil mereka tentang kepemimpinan Abu Bakar tidaklah sempurna menurut pendapat para ulama mereka sendiri. Kalau begini, bagaimana bisa mereka memaksa kita untuk menerima dalil-dalil mereka yang para pembesar mereka sendiri tidak menerima dalil bahkan sama sekali tidak berdalil dengan dalil tersebut.

Dalam pembahasan ini, kita bersandar pada paling penting dan paling terkenalnya buku-buku Ahlu Sunah, seperti, Al-Mawâqif Fi Ilm Al-Kalâm, Syarh Al-Mawâqif dan Syarh Al-Maqâshid.

Buku-buku ini ditulis di abad kedelapan dan Sembilan dan menjadi buku pelajaran di hauzah-hauzah ilmiah. Para guru dari Ahlu Sunah juga memiliki catatan-catatan pinggir tentang buku-buku ini.

Kalau anda merujuk pada buku Kasyf Al-Dzunûn, anda akan melihat pendapat penulis kitab terhadap tiga buku diatas, anda akan menemukan catatan-catatan pinggir dan penjelasan-penjelasan yang sangat banyak tentang buku tersebut.

Dari satu sisi, buku-buku ini memiliki nilai legitimasi, buku-buku yang lain ditulis berdasarkan mereka, diterima oleh semua pihak dan Ahlu Sunah bersandar dan meyakininya.


Dalil terpenting Ahlu Sunah Atas Kekhalifahan Abu Bakar

Sekarang kita akan meneliti dalil-dalil yang dipaparkan oleh Ahlu Sunah akan kepemimpinan Abu Bakar.

Demikian isi buku Al-Mawâqif:

"Maqshad keempat: Tentang pemimpin yang benar setelah Rasulullah saw[1] . Sesuai dengan keyakinan kita, kepemimpinan khusus untuk Abu Bakar, tetapi menurut Syiah, pemimpin setelah Rasulullah saw adalah Ali.

Ada dua jalan untuk membuktikan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar:

1. Hadits dan sabda yang jelas dari nabi tentang kekhalifahan;

2. Ijma' dan kesepakatan umat mengenai kekhalifahan.

Yang pertama, kami tidak menemukan sabda dan hadits nabawi tentang kepemimpinan sepeninggal Rasulullah saw.[2] Ijma' pun juga demikian, bahwa tidak ada ijma' sepeninggal Nabi saw selain untuk Abu Bakar.

Ijma' hanya dapat menjadi dalil keabsahan kekhalifahan tiga orang: Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib dan Abbas.[3] Karena Ali dan Abbas tidak menentang Abu Bakar (karena kalau Abu Bakar salah Ali dan Abbas pasti menentangnya), maka ijma' atas kekhalifahan Abu Bakar dapat dijadikan dalil yang kuat bagi keabsahannya."[4]

Dalam dalil ini telah diakui bahwa sabda secara terang-terangan dari pihak Rasulullah saw tentang kepemimpinan Abu Bakar tidak pernah ditemukan. Oleh karena itu, dalil pertama keabsahan kekhalifahan Abu Bakar adalah ijma' dan tidak adanya sabda secara terang-terangan dari Rasulullah saw.

Penulis Syarh Al-Mawâqif berpendapat dalam pembahasan ketiga tentang dalil penetapan kepemimpinan bahwa:

"Jalan penetapan kepemimpinan, bisa jadi sabda secara terang-terangan atau pemilihan umat (ijma').[5] Sabda secara terang-terangan tentang hak Abu Bakar tidak ada, tapi dia ditetapkan sebagai khalifah melalui kesepakatan dan ijma' umat."[6]

Maka jelaslah bahwa tidak ada sabda secara terang-terangan dari pihak rasulullah saw dan satu-satunya dalil tentang kepemimpinannya hanyalah ijma' dan kesepakatan umat.

Jalan ketiga yang dipaparkan oleh Ahlu Sunah adalah jalan keutamaan. Oleh karena itu, sebagaimana kita membahas perihal keutamaan (keafdhalan), mereka pun juga membahasnya. Tetapi dalam hal ini mereka memiliki pendapat yang berbeda-beda, sebagian berpendapat bahwa keutamaan adalah syarat wajib bagi pemilik posisi kepemimpinan dan sebagian yang lain mengingkarinya.

Mereka yang tidak meyakini keafdhalan sebagai syarat kehalifahan, tidak terlalu bersikeras dalam mengagungkan dan membuktikan keafdhalan Abu Bakar; seperti Fadhl bin Ruzbahan. Namun yang meyakini keafdhalan adalah syarat kekhalifahan, jelas mereka sangat mementingkan masalah itu dan mati-matian membuktikan bahwa Abu Bakar lebih afdhal dari lainnya.

Salah seorang yang berada di kelompok kedua adalah Ibnu Taimiyah. Oleh karenanya ia sangat memaksakan diri untuk membuktikan bahwa Abu Bakar adalah sahabat nabi yang paling utama. Selain itu ia juga sangat getol menolak dalil-dalil keafdhalan dan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as.


Dalil Ahlu Sunah tentang keutamaan Abu Bakar


Dalil Pertama

Dalam buku Al-Mawâqif dan Syarh Al-Mawâqif diriwayatkan:

"Maqshad kelima: tentang paling utamanya sahabat setelah Rasulullah saw. Kita dan mayoritas Mu'tazilah menganggap Abu Bakar sebagai orang yang paling utama setelah Rasulullah saw, sedang menurut Syiah dan mayoritas ulama terakhir Mu'tazilah, Ali adalah orang yang paling utama setelah Rasulullah saw".[7]

Sesuai dengan apa yang telah kita bahas, jelas bahwa dalil Ahlu Sunah atas kepemimpinan Abu Bakar adalah ijma' dan keutamaannya, tetapi hal ini dapat diterima jika mereka mengakui keutamaan Abu Bakar dan mereka juga tidak mempunyai satu pun hadits tentang kepemimpinan Abu Bakar dari Rasulullah saw.

Kita bisa mencapai tujuan dalam hal penetapan kepemimpinan Imam Ali as dengan tiga jalan di atas (hadits secara terang-terangan dari Rasulullah saw, ijma' dan keutamaan), tetapi di sini kita tidak perlu menjelaskannya.

Mereka mengakui kalau mereka tidak punya satupun hadits tentang kepemimpinan Abu Bakar dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, hanya ada dua jalan yang tersisa dalam menetapkan kepemimpinan Abu Bakar, yaitu ijma' dan keutamaannya.

Sekarang kita akan meneliti hadits-hadits tentang keutamaan Abu Bakar yang mereka paparkan.


Dalil kedua

Dalil kedua akan keutamaan Abu Bakar adalah sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

"Setelahku, ikutilah dua orang ini: Abu Bakar dan Umar."[9]

Kata "ikutilah" adalah kata perintah; dari satu sisi, semua Muslimin adalah lawan bicara Rasulullah saw dalam sabda-sabda beliau, yang juga mencakup Ali bin Abi Thalib as. Maka Ali juga termasuk orang yang diperintahkan untuk mengikuti dua pembesar itu (Abu Bakar dan Umar). Oleh Karenanya, wajib bagi Ali as untuk mengikuti dua orang tersebut sebagai seorang pemimpin."

Ahlu Sunah meriwayatkan hadits ini dalam kitab-kitab mereka. Dari sini, riwayat dari Rasulullah saw ini menjadi dalil atas kepemimpinan Abu Bakar, dan kepemimpinan Umar adalah konsekwensi dari kepemimpinan Abu Bakar. Yakni kalau kepemimpinan Abu Bakar dapat ditetapkan, maka kepemimpinan Umar juga dapat ditetapkan; meskipun sekarang kita tidak ingin mengulas kepemimpinan Umar.


Dalil ketiga

Dalil ketiga akan keutamaan Abu Bakar, sebuah hadits yang dinukil dari Rasulullah saw. Beliau saw bersabda kepada Abu Al-Darda': "Demi Allah swt, setelah para nabi dan rasul, matahari tidak terbit dan terbenam kepada seorang yang lebih mulia dari Abu Bakar."[10]

Sesungguhnya hadits ini memiliki kelayakan untuk dikatakan sebuah hadits yang secara terang-terangan menunjukkan kepemimpinan Abu Bakar, dan dengan hadits ini Abu Bakar menjadi lebih mulia dari Ali as. Akal mengatakan, buruk kalau sesuatu yang biasa lebih didahulukan dari yang memiliki keutamaan atau mengedepankan pemilik keutamaan dari pemilik keutamaan yang lebih besar. Maka satu-satunya orang yang setelah Rasulullah saw berhak mencapai kedudukan sebagai khalifah adalah Abu Bakar.


Dalil keempat

Yaitu hadits Rasulullah saw yang menjelaskan keutamaan Abu Bakar dan Umar. Beliau saw bersabda:

"Abu Bakar dan Umar adalah pemimpin orang tua penghuni surga kecuali bagi para nabi dan rasul."[11]

Seseorang yang menjadi penghulu sebuah kaum, maka dia juga akan menjadi pemimpin mereka, yaitu orang lain haruslah mengikuti dia. Karena Ali bin Abi Thalib as adalah salah satu dari kaum itu, maka dia harus mengikuti Abu Bakar dan Umar karena mereka berdua adalah penghulu para orang tua penghuni surga.


Dalil kelima

Dalil kelima, hadits dari Rasulullah saw yang mana beliau saw bersabda:

"Sebuah kelompok yang didalamnya ada Abu Bakar, tidak sepatutnya mendahulukan yang lain selain dia."[12]

Oleh karena ini, tidak boleh bagi seseorang mendahulukan dirinya dari Abu Bakar dan ini juga berlaku bagi Ali bin Abi Thalib as.

Maka Ali as tidak boleh mengedepankan dirinya dari Abu Bakar, dan tidak ada satu orangpun yang berhak mengklaim Ali as lebih tinggi dari Abu Bakar karena pendapat ini bertentangan dengan sabda Rasulullah saw di atas.


Dalil keenam

Dalil keenam adalah perlakuan Rasulullah saw terhadap Abu Bakar. Beliau saw mengedepankan Abu Bakar dalam shalat jama'ah (paling mulianya shalat) Ketika Rasulullah saw sakit, Abu Bakar shalat bersama dengan yang lain di mihrab beliau saw dan shalat yang dilakukan Abu Bakar ketika itu (sesuai dengan yang diriwayatkan) adalah shalat atas perintah Rasulullah saw.

Kalau seorang shalat di tempat Rasulullah saw dan dia menjadi imam atas perintah beliau saw, maka dia layak untuk menjadi imam dan pemimpin umat setelah Rasulullah saw.


Dalil ketujuh

Dalil ketujuh adalah sebuah sabda Rasulullah saw tentang Abu Bakar dan Umar, yang berbunyi:

"Paling mulianya umatku adalah Abu Bakar kemudian Umar."[13]

Ini adalah hadits yang diriwayatkan Ahlu Sunah dalam kitab-kitab mereka.


Dalil kedelapan

Dalil kedelapan adalah sebuah sabda Rasulullah saw yang menjelaskan tentang persahabatan dengan Abu Bakar. Beliau saw bersabda:

"Kalau aku ingin memilih seorang teman selain Tuhanku swt maka aku akan memilih Abu Bakar sebagai temanku."[14]


Dalil kesembilan

Dalil kesembilan adalah sebuah riwayat Rasulullah saw tentang Abu Bakar, yang berbunyi:

"Mana orang yang seperti Abu Bakar? Ketika orang-orang tidak mempercayai aku, dia mempercayaiku, mengimaniku, mengawinkanku dengan putrinya, menolongku dengan jiwa dan hartanya dan berjihad bersamaku di saat sendiri dan ketakutan di medan perang."[15]


Dalil kesepuluh

Dalil kesepuluh adalah riwayat Ali bin Abi Thalib as yang berbunyi:

"Orang yang paling mulia setelah para nabi adalah Abu Bakar kemudian Umar setelahnya Allah swt yang maha tahu." (!!)[16],[17]

Apa yang telah dijelaskan adalah dalil-dalil yang diutarakan oleh Ahlu Sunah tentang keutamaan Abu Bakar. Dalil-dalil ini tertulis dalam kitab-kitab yang terpercaya mereka seperti kitab milik Fakhr Razi, Al-Shawâiq Al-Muhriqah, Syarh Al-Mawâqif, Syarh Maqâshid.

Yang jelas, dalil-dalil yang telah disebutkan ada dalam kitab-kitab Ahlu Sunah baik yang dahulu maupun yang sekarang. Mu'tazilah juga sama seperti Asya'irah dalam berdalil dengan dalil-dalil ini, kecuali ulama Mu'tazilah akhir-akhir ini mengakui bahwa banyak sahabat yang lebih mulia dan utama dari pada Abu Bakar, namun kemaslahatan menuntut agar yang biasa (Abu Bakar) didahulukan atas yang lebih utama (Ali bin Abi Thalib as) dalam perkara kekhalifahan.


Kritikan terhadap dalil-dalil keutamaan Abu Bakar


Kritikan terhadap dalil-dalil Ahlu Sunah

Kita telah menyebutkan dalil-dalil Ahlu Sunah tentang keutamaan Abu Bakar. Sekarang kalau ada orang yang bertanya dalil manakah yang paling penting di antara dalil-dalil yang telah disebutkan tadi? Dalam menjawabnya mereka katakan: Dari dalil-dalil yang telah disebutkan, dalil yang paling penting adalah dalil tentang shalat jamaahnya Abu Bakar sebagai imam dan hadits yang berbunyi: "Setelahku, ikutilah dua orang ini: Abu Bakar dan Umar."


Tapi sekarang kita akan membahas dan mengkaji satu-persatu dari semua dalil yang telah disebutkan di bagian kedua.


Kritikan untuk dalil pertama

Dalil pertama yang dipaparkan adalah firman Allah swt

"Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada seseorangpun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya." (QS. Al-Lail [92]:17-19).

Ini hanyalah satu ayat Quran. Dalam pembahasan ayat-ayat yang berkenaan dengan kepemimpinan Imam Ali as telah kita ingatkan bahwa penetapan kalau ayat itu berkaitan dengan kepemimpinan Imam Ali as tergantung pada beberapa hal, salah satunya; kita harus tetapkan terlebih dahulu kalau ayat itu turun perihal kedudukan Imam Ali as, kalau tidak, maka seperti ayat-ayat Quran lainnya yang sama sekali tidak mengutip nama Ali as.

Oleh karenanya, kita perlu beberapa pendahuluan dalam pembahasan ini:

Pertama:

Untuk menjadikan ayat itu sebagai dalil kekhalifahan Abu Bakar, kita memerlukan dalil-dalil lain yang membuktikan bahwa semua dalil tentang kemaksuman Ali as tidak bernilai, karena orang yang suci disisi Allah swt lebih mulia dari orang yang hanya menghamburkan hartanya di jalan Allah swt.

Dengan demikian, kalau ayat turun perihal Abu Bakar, berdalil dengannya butuh pada pembatalan dalil Imamiyah akan kemaksuman Ali as, kalau tidak maka kedudukan beliau as disisi Allah swt akan lebih tinggi dan pembuktian kepemimpinan lewat ayat ini menjadi gugur.

Kedua:

Berdalil dengan ayat ini menuntut digugurkannya dalil-dalil Syiah tentang kemuliaan Ali as di sisi Allah swt. Karena jika hal ini terbukti, dalil ini akan bertentangan dengan dalil ayat kepemimpinan Abu Bakar. Setelah pertentangan ini, keduanya akan gugur dan ayat itu tidak akan membuktikan kepemimpinan Abu Bakar (yang jelas dalil ini haruslah benar).

Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri adalah:

Ali as sama sekali tidak pernah sujud pada berhala tapi Abu Bakar pernah sujud pada berhala. Dengan bukti ini, Ahlu Sunah ketika menyebut nama Ali as, mereka menyebutkan kata Karramallahu Wajhahu, yaitu Allah swt memuliakan wajahnya. Hal ini menjadi bukti kemuliaan Imam Ali as disisi Allah swt lebih dari yang lain.

Ketiga:

Berdalil dengan ayat ini bergantung pada kepastian ayat turun berkaitan dengan Abu Bakar. Namun nyatanya para mufassir berbeda pendapat dalam hal itu. Mereka menyebutkan tiga pendapat:

Pendapat pertama:

Ayat berkaitan dengan seluruh mukminin, tidak khusus untuk satu mukmin saja.

Pendapat kedua:

Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Dur Al-Mantsûr, ayat tersebut turun berkaitan dengan kisah Abu Dahdah dan seorang pemilik pohon kurma dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan Abu Bakar.

Pendapat ketiga:

Ayat itu diturunkan berkaitan dengan Abu Bakar.

Oleh karena ini, kemungkinan ayat turun berkaitan dengan Abu bakar hanyalah satu dari tiga pendapat tersebut. Pendapat itu pun juga bergantung pada ke-shahih-an sanad riwayat; kalau sanad-nya tidak sempurna maka berdalil dengan ayat ini tentang kepemimpinan Abu Bakar adalah usaha yang sia-sia.

Sekarang kami akan menjelaskan kelemahan sanad dan perawi riwayat di atas:

Riwayat ini dinukil oleh Thabrani. Hafid Haitsami, setelah menukil riwayat dari Thabrani ini, dalam kitab Majma' Al-Zawâid mengatakan: "Dalam sanad riwayat ini ada Mus'ab bin Tsabit dan dia perawi yang lemah."[18]

Dikarenakan pendapat ketiga (salah satu dari tiga pendapat di atas) bersandar pada sanad ini, lalu karena sanad ini lemah, maka pendapat itu tidak dapat dibenarkan.

Dari sisi lain Mus'ab dan anak-anak Zubair, sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab tertentu, mereka telah melenceng dari Ahlul Bait as. Yahya bin Ma'in, Ahmad bin Hanbal dan Abu Hatim meyakini akan kelemahan Mus'ab.

Nasai berpendapat tentangnya dengan berkata: "Mus'ab dari sisi penukilan hadits tidaklah kuat." Yang jelas, ulama lain juga menyatakan beberapa pendapat tentangnya.[19]

Sekarang, bagaimana mungkin dengan ayat ini kita tetapkan keutamaan Abu Bakar, sebuah ayat yang memiliki tiga pendapat berbeda, selain itu, riwayat yang mengatakan kalau ayat ini turun tentang Abu Bakar adalah riwayat yang lemah?

Selain itu, lagi-lagi kita katakan bahwa berdalil dengan dalil ini bergantung pada tidak benarnya dalil-dalil Syiah Imamiyah tentang kemuliaan dan keutamaan Amir Al-Mukminin as.


Kritikan untuk dalil kedua

Dalil kedua mereka adalah sebuah hadits dari Rasulullah saw, yang mana beliau saw bersabda:

"Setelahku kalian ikutilah dua orang ini: Abu Bakar dan Umar".

Ini adalah hadits Ahlu Sunah yang paling diandalkan dalam membuktikan kekhalifahan Abu Bakar dan Umar. Mereka pun berdalil dengannya dalam buku-buku mereka. Berdasarkan riwayat ini mereka membenarkan kesepakatan pendapat antara Abu Bakar dan Umar dalam setiap perkara bahkan mereka menetapkan kebenaran perilaku dan metode mereka berdua.

Oleh karena itu, hadits tersebut memiliki nilai lebih, khususnya karena dinukil oleh ulama seperti Ahmad bin Hanbal dalam kitab Musnad, Tirmidzi dalam kitab Shahîh dan Hakim dalam kitab Mustdrak.[20] Maka, hadits ini ada dalam kitab-kitab terpercaya dan masyhur dan mereka menggunakannya sebagai dalil dalam berbagai pembahasan.

Kalau anda mengkaji kembali sanad hadits ini dan mempelajari pendapat-pendapat ulama Ahlu Sunah tentang para rawi yang meriwayatkan hadis ini, maka anda akan melihat bahwa semua perawi yang meriwayatkan hadits di atas adalah orang-orang yang lemah. Masalah ini begitu jelasnya sampai ulama-ulama mereka sendiri menyatakan kelemahan mayoritas rawi hadits ini dan mengungkapnya dengan berbagai penelitian ilmu rijal.

Oleh karena itu, demi mempermudah para penelaah, kami akan menjelaskan secara ringkas pendapat-pendapat ulama Ahlu Sunah tentang para perawi hadits tersebut:

Manawi dalam kitab Faidl Al-Qadîr Fi Syarh Al-Jâmi' Al-Shaghîr[21] tentang penjelasan hadits ini menyatakan: "Abu Hatim tidak menerima hadits ini dan menganggapnya sebagai hadits yang lemah, dan dia mengatakan: "Bazzar dan juga Ibn Hazm tidak menerima hadits ini."."[22]

Sesuai dengan penukilan ini, ada tiga orang dari ulama Ahlu Sunah yaitu Abu Hatim, Abu Bakar Bazzar dan Ibn Hazm Andalusi yang menolak hadits ini.

Sedangkan Tirmidzi, yang menukil dengan sangat baik hadits ini dalam kitabnya, dengan sangat jelas menganggap para perawi hadits tersebut adalah orang-orang yang lemah.[23]

Dari sisi lain, kalau anda merujuk pada kitab Al-Dhu'afâ' Al-Kabîr milik Abu Jakfar 'Uqaili, kalian akan melihat kalau dia berpendapat begini: "Hadits ini telah diingkari dan tidak memiliki dasar apapun." [24]

Penulis kitab Mîzân Al-I'tidâl, dengan menukil dari Abu Bakar Naqqash, mengatakan: "Hadits ini tidak memiliki nilai ."[25]

Dar Quthni, yang memiliki julukan khusus Amir Al-Mukminin di Abad 14 H, mengatakan tentang hadits ini: "Hadits ini tidak terbukti ."[26]

Allamah 'Ibri Farghani (meninggal pada tahun 743 H.) dalam satu penjelasan tentang kitab Manhâj Baidhâwi, mengatakan: "Hadits ini adalah hadits buatan." [27]

Hafidz Dzahabi dalam kitab Mîzân Al-I'tidâl dalam beberapa hal menukil hadits ini, ketika itu dia tidak mempercayai bahkan mencampakkannya ."[28]

Ketika kami merujuk pada kitab Talkhîs Al-Mustadrak, kita melihat bahwa Hakim setelah menukil hadits ini mengatakan: "Sungguh sanad hadits ini tidak bernilai. "[29]

Haitsami dalam kitab Majma' Al-Zawâid menukil hadits ini dari jalan Thabrani dan menulis: "Dalam sanad hadits ini ada beberapa orang yang tidak aku kenal." [30]

Ibn Hajar Asqalani Hafid dan Syeikh Al-Islam juga menyebutkan hadits ini dalam kitab Lisân Al- Mîzân di beberapa perkara dan setiap kali menukil, mereka selalu menganggapnya lemah.[31] Begitu juga ulama-ulama abad ke 10 H. seperti Syeikh Al-Islam Harawi dalam kitab Al-Durr Al-Nadlîd Min Majmû'ah Al-Hafîd (yang ada ditangan kita sekarang) mengatakan: "Hadits ini adalah buatan." [32]

Begitu juga Ibnu Darwis menukil hadits ini dalam kitab Asnâ Al-Mathâlib Fi Ahâdîs Mukhtalifah Al-Marâtib dan menyebutkan pendapat-pendapat ulama tentang kelemahan hadits ini. [33]

Satu hal menakjubkan yang dikatakan oleh Hafid Ibn Hazm Andalusi dalam berdalil dengan hadits ini, dia mengatakan: "Kalau kita membolehkan penipuan dan penjelasan satu perkara yang ketika musuh-musuh kita mendapatkannya maka mereka akan sedih atau mereka akan diam karena sedih, maka dapat dipastikan kita akan berdalil dengan hadits yang telah dinukil ini, ketika beliau saw bersabda: "Setelahku, ikutilah dua orang ini: Abu Bakar dan Umar." Tetapi hadits ini tidak benar dan Allah swt mencegah kita untuk berdalil dengan sesuatu yang tidak benar."[34]

Sesuai dengan pendapat ini, maka kita tidak layak berdalil dengan hadits di atas, baik dari pihak Syiah Imamiah maupun Ahlu Sunah. Meskipun kita ingin menetapkan kepemimpinan Amir Al-Mukminin as, kita tidak layak berdalil dengan hadits-hadits yang pada umumnya ditolak dan dilemahkan oleh para ulama.

Sebagian dari Ahlu Sunah, meskipun mereka mengakui kebatilan hadits ini, namun karena mereka merasa hadits itu berguna untuk membuktikan keabsahan kekhalifahan Abu Bakar, maka mereka sempat berusaha menisbatkannya pada dua kitab Shahîh Muslim dan Shahîh Bukhâri.

Sebagai contoh untuk pembaca, dalam kitab Syarh Al-Fiqh Al-Akbar Ila Shahîhai Al-Bukhâri Wa Al-Muslim, hadits ini telah diakui ada dalam Shahîh Muslim dan Bukhâri, sedangkan hadits ini tidak ada dalam dua kitab tersebut. Mungkin mereka lalai bahwa kelak ada orang yang mencari tahu apakah hadits tersebut memang ada dalam kitab-kitab mereka?

Dari sisi lain, mungkinkah Rasulullah saw memerintahkan kepada umat untuk mengikuti Abu Bakar dan Umar sedangkan dua orang itu berbeda pendapat dalam banyak hal.

Sebenarnya, siapakah yang harus diikuti oleh Muslimin? Bagaimana mungkin Rasulullah saw memerintahkan umat untuk mengikuti dua orang itu, sedangkan para sahabat yang lain menentang pendapat dan perilaku mereka?

Apakah dapat kita katakan bahwa semua orang yang bertentangan dengan Abu Bakar dan Umar adalah orang-orang yang fasik?


Kritikan untuk dalil ketiga

Dalil ketiga adalah satu hadits dari Rasulullah saw ketika bersabda kepada Abu Al-Darda':

"Demi Allah, Setelah para nabi dan rasul, matahari tidak terbit dan terbenam kepada seorang yang lebih mulia dari Abu Bakar."

Di pihak Ahlu Sunah hadits ini sangat lemah. Thabrani meriwayatkannya dengan ber-sanad dalam kitab Awsath dan Haitsami berpendapat bahwa:

"Dalam sanad hadits, ada seorang yang bernama Ismail bin Yahya Taimi sedangkan dia adalah seorang pembohong."

Haitsami meriwayatkan hadits ini dalam kitab Majma Al-Zawâid dengan sanad yang lain dan berkata:

"Salah satu periwayat hadits ini adalah Baqiyah bin Al-Walid dan dia adalah seorang yang lemah dan penipu."[35]

Dari sini, hadits ini di sisi ahli rijal tidak memiliki nilai.


Kritikan untuk dalil keempat

Satu lagi dalil Ahlu Sunah akan keutamaan Abu Bakar adalah sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

"Abu Bakar dan Umar adalah pemimpin para orang tua penghuni surga."

Hadits ini diriwayatkan oleh Bazzar dan Thabrani dari Abu Sa'id. Ketika Haitsami meriwayatkannya dalam kitab Majma Al-Zawâid dari dua orang tersebut, dia mengatakan:


"Salah satu periwayat hadits ini adalah Ali bin 'Abis dan dia lemah dalam meriwayatkan hadits."

Dalam pembahasan lain, Haitsami menukil hadits ini dari Ubaidullah bin Umar dan tentang salah satu perawi hadits yang bernama Abdurrahman Malik mengatakan:

"Kita tidak bisa mengamalkan perkataannya."[36]

Perlu diketahui bahwa, bagi Haitsami, hadits ini tidak memiliki sanad yang lain kecuali dua yang telah disebutkan di atas.


Kritikan untuk dalil kelima

Dalam dalil kelima, Ahlu Sunah berdalil dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

"Dalam perkumpulan yang di dalamnya ada Abu Bakar, tidaklah layak kalian mengedepankan yang lain selain dia."

Kabar gembira untuk kita dalam masalah ini adalah: Hafid bin Jauzi meriwayatkan hadits ini dalam kitab Al-Maudû'ât kemudian berkata:

"Hadits ini dibuat lalu dinisbatkan kepada Rasulullah saw."[37]

Karena fatwa-fatwa Ibn Jauzi termasuk fatwa yang diterima oleh sebagian pihak seperti Ibnu Taimiyah, maka hendaknya mereka juga menerima perkataannya tentang hadits di atas.


Kritikan untuk dalil keenam

Dalil keenam Ahlu Sunah adalah riwayat tentang shalatnya Abu Bakar saat menggantikan Rasulullah saw menjadi imam jama'ah. Dalil ini cukup dapat dipertimbangkan karena dua hal:

Pertama:

Riwayat itu disebutkan dengan berbagai sanad dalam kitab-kitab ternama Ahlu Sunah, seperti Shahîh Muslim, Bukhâri, Musnad dan Sunan.

Kedua:

Shalat, khususnya shalat berjamaah, adalah ibadah yang penting dan sangat diutamakan dalam Islam. Ketika Rasulullah saw menjadikan Abu Bakar sebagai penggantinya dalam melaksanakan shalat berjama'ah di saat-saat akhir hayatnya, ada kemungkinan pula beliau saw menjadikannya sebagai pengganti dalam memimpin umat sepeninggalnya.

Oleh karena itu, dalil ini adalah dalil terpenting bagi Ahlu Sunah untuk membuktikan keabsahan Abu Bakar sebagai khalifah. Jika anda membaca buku-buku Ahlu Sunah, anda akan sering kali menemukan mereka sangat mementingkan hadits ini dan riwayat ini adalah dalil mereka yang paling kuat.

Mereka meriwayatkan hadits ini dari beberapa sahabat Rasulullah saw. Perawi pertama adalah Aisyah putri Abu Bakar. Namun jika sanad riwayat tersebut diteliti, kita akan dapati bahwa ada kekosongan di antara mata rantai sanad tersebut. Yang jelas sanad hadits tersebut berujung pada Aisyah, itu saja.

Dan ternyata hadits ini perlu dipertanyakan, karena:

Pertama:

Aisyah tercatat pernah melakukan perlawanan terhadap Ali as saat menjadi khalifah.

Kedua:

Ia sendiri adalah putri Abu Bakar, yang pastinya cenderung membela ayahnya.

Tutup mata kita dari perlawanan Aisyah terhadap Ali as. Kalau kita lihat berkas-berkas dan bukti-bukti yang tercatat dalam riwayat dan yang berkaitan dengan fenomena ini, kita akan melihat dengan jelas bahwa pengutusan Abu Bakar untuk shalat bukan dari pihak Rasulullah saw tetapi dari pihak Aisyah.

Bukti yang dapat anda pertimbangkan dalam hal ini adalah perintah Nabi saw agar umat Islam pergi ke luar Madinah untuk bergabung dengan tentara Usamah. Beliau saw hingga akhir hayatnya terus menerus menekankan agar umat Islam bergabung bersama tentara Usamah yang ia utus.

Semuanya sepakat bahwa Nabi saw memang memerintahkan umat Islam untuk bergabung bersama tentara Usamah di saat-saat menjelang wafatnya. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. Anda dapat merujuk kitab-kitab Ahlu Sunah.

Semua sepakat bahwa Rasulullah saw menekankan bergabungnya para pembesar seperti Abu Bakar dan Umar dalam tentara Usamah. Sekarang bagaimana mungkin Rasulullah saw menyuruh Abu Bakar keluar Madinah bergabung dengan Usamah dan diwaktu itu juga memerintahkannya untuk menjadi imam shalat di mihrabnya?

Oleh karena itu orang-orang Seperti Ibn Taimiyah mengingkari keberadaan Abu Bakar di tengah-tengah tentara Usamah. Karena jika ia meyakini keberadaannya di tengah-tengah tentara, berarti ia mengingkari bahwa Nabi saw memerintahkannya untuk menjadi pengganti dalam shalat jama'ah.

Tapi karena dalil ini adalah dalil mereka yang paling kuat, terpaksa mereka mengingkari keberadaan Abu Bakar di tengah-tengah tentara Usamah sedangkan hal ini tidak bisa diingkari sama sekali.

Mari simak riwayat di bawah ini:

Hafid bin Hajar Asqalani dalam kitab Fath Al-Bârî Bi Syarh Al-Bukhâri mengatakan:

"Riwayat tentang kehadiran Abu Bakar dalam tentara Usamah dinukil oleh Waqidi, Ibn Sa'ad, Ibn Ishaq, Ibn Jauzi, Ibn Asakir dan lainnya."[38]

Tercatat dalam sejarah bahwa saat Rasulullah saw meninggal dunia, Usamah dan tentaranya berada di luar Madinah di perkemahan tentara. Meskipun saat itu Abu Bakar telah menguasai keadaan, Usamah tetap tidak mau membaiatnya seraya berkata: "Aku adalah pemimpin Abu Bakar, bagaimana mungkin aku membaiatnya?" Karena itulah Abu Bakar minta izin pada Usamah agar Umar menetap di Madinah untuk menjalankan urusan-urusan tertentu.

Banyak sekali bukti-bukti yang mengingkari pemahaman bahwa Rasulullah saw memerintahkan Abu Bakar menggantikannya menjadi imam jama'ah. Tidak cukup sampai disini, kita tambahkan bahwa Ali as dan Ahlulbait as berkeyakinan bahwa Aisyah-lah yang mengirim Abu Bakar untuk memimpin shalat, bukan Nabi saw.

Ibn Abi Al-Hadid Mu'tazili dalam hal ini mengatakan:

"Aku bertanya kepada guruku tentang peristiwa ini: Apakah anda menyatakan bahwa Aisyah yang mengirim ayahnya untuk memimpin shalat menggantikan Nabi saw? Dan bukan Rasulullah saw yang menentukannya?

Dia menjawab, "Saya tidak bilang begitu, tapi Ali as yang meyakini begini; dan kewajibannya tidak seperti kewajibanku karena dia hadir disitu sedangkan aku tidak."

Kami dalam kajian ini tidak berhenti begini saja, tapi kita juga akan katakan:

Anggap saja kita menerima bahwa Nabi saw yang memang memerintahkan itu. Tapi hal ini tetap tidak bisa menjadi dalil yang dapat mereka andalkan. Karena Rasulullah saw selama hidupnya sering menyuruh sahabat-sahabatnya untuk shalat bersama masyarakat di masjid dan tempat ibadahnya tapi tidak ada satupun yang mengklaim kepemimpinan sahabat dalam shalat-shalat tersebut sebagai dalil kekhalifahan.

Mungkin seseorang akan berkata bahwa shalat berjamaah di akhir-akhir hayat Rasulullah saw berbeda dengan shalat-shalat yang lain, pasti ada nilai lebih dalam hal itu. Bisa jadi, digantikannya Nabi saw dalam shalat jama'ah itu adalah indikasi ditunjuknya Abu Bakar sebagai khalifah.

Dalam menjawabnya kami akan menceritakan peristiwa yang sebenarnya kepada anda. Kami katakan: Kami menemukan banyak riwayat yang menjelaskan bahwa saat itu lengan Nabi saw diangkat oleh sahabatnya dan dalam keadaan kaki yang terseret tanah ia dibawa ke mihrabnya untuk memimpin shalat berjama'ah (tidak membiarkan Abu Bakar memimpin shalat).

Mungkin Ahlu Sunah akan menjawab: Abu Bakar sudah diam lama menempati mihrab Nabi saw dan beliau saw hanya sekali saja datang menyingkirkannya dari mihrab lalu memimpin shalat jama'ah sendiri.

Untuk menjawabnya kita katakan:

Pertama:

Abu Bakar hanya sekali saja menempati mihrab Nabi saw, yakni di hari selasa waktu shalat subuh, maka hanya satu kali ini saja dan tidak lebih.

Kedua:

Anggap saja Abu Bakar shalat di tempat Rasulullah saw berkali-kali, maka penolakan yang dilakukan Rasulullah saw di akhir hayatnya dengan keadaan digotong dan kaki terseret, adalah sebuah dalil kuat untuk menepis kemungkinan bahwa Abu Bakar dinobatkan sebagai pemimpin.

Jadi Nabi saw sendiri sampai memaksakan diri untuk memimpin shalat jama'ah karena ia tidak ingin masyarakat beranggapan Abu Bakar adalah benar-benar pengganti beliau saw.

Semua yang disebutkan diatas tercatat dalam buku-buku masyhur.

Poin penting yang perlu diperhatikan:

Dalam meneliti riwayat ini ada beberapa poin yang perlu diperhatikan, sekarang kita akan jelaskan.

Pertama:

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa perawi hadits ini adalah Aisyah, dengan segala kemungkinan yang ada tentang dapat dipercayai atau tidaknya hadits itu. Dan juga, telah terbukti Rasulullah saw memaksakan diri keluar rumah dalam keadaan digotong oleh dua orang sedang kedua kakinya terseret lalu beliau saw masuk masjid dan menyingkirkan Abu Bakar dari mihrab, kemudian beliau saw sendiri yang shalat bersama umat.

Sikap Nabi saw itu menunjukkan bahwa Abu Bakar tidak layak untuk menggantikannya.

Dalam riwayat, Aisyah menyebutkan salah satu orang yang menggotong Rasulullah saw saat itu namun yang satunya tidak disebutkan.

Jelas bahwa orang kedua itu adalah Ali as. Pengingkaran ini menunjukkan bahwa Aisyah tidak senang menyebutkan dan menjelaskan keutamaan Ali as.

Ibn Abbas berkata kepada perawi: "Apakah Aisyah menyebutkan kepadamu nama orang kedua?" Dia bilang, "Tidak."

Ibn Abbas bilang: "Orang itu adalah Ali as tetapi Aisyah tidak suka menyebutkan Ali as dengan fadhilah dan kebaikan."

Kedua:

setelah mereka mengetahui semua perihal ini, mereka membuat hadits palsu yang lebih berani lagi dalam masalah ini, disebutkan bahwa saat Nabi saw memaksakan diri untuk keluar melakukan shalat, beliau saw berdiri di belakang Abu Bakar dan menjadi makmumnya.

Dengan adanya hadits buatan ini Ahlu Sunah berharap bisa mendapatkan dalil yang lebih kuat lagi.

Sekarang dengan hadits ini, siapa yang bisa menantang kepemimpinan Abu Bakar setelah Rasulullah saw dan fakta bahwa beliau saw menjadi makmumnya? Apakah ini tidak cukup untuk menjadi dalil yang kuat akan kepemimpinan Abu Bakar?

Ya, mereka dengan hadits buatan ini dapat mengatakan bahwa Rasulullah saw shalat dibelakang Abu Bakar, tetapi penggalan hadits tersebut tidak ada dalam kitab Shahîh Muslim dan Bukhâri, yang ada dalam dua kitab ini adalah Rasulullah saw menyingkirkan Abu Bakar (atau Abu Bakar sendiri yang menyingkir dan berdiri dibelakang) dan beliau saw sendiri yang shalat bersama umat.

Hadits ini disebutkan dalam Musnad Ahmad dan dipastikan itu adalah sebuah hadits bohong, dan mayoritas pembesar dan penghafal hadits Ahlu Sunah juga mengingkarinya, sampai, seorang seperti Hafidz Abu Al-Faraj Ibn Jauzi menulis sebuah buku tersendiri tentang kebatilan hadits shalatnya Rasulullah saw dibelakang Abu Bakar.[39]

Jujur, apakah akal menerima Rasulullah saw pernah shalat di belakang sahabatnya? Jelas bahwa akal sama sekali tidak menerima hal ini.

Ketiga:

Rasulullah saw, setelah keluar dari rumah dan menyingkirkan Abu Bakar lalu beliau saw sendiri shalat bersama umat, tidak sampai disini saja. Setelah shalat, Nabi saw duduk di atas mimbarnya dan berkhutbah di depan umat. Dalam khutbah itu beliau saw mengingatkan akan Al-Quran dan Ahlulbait as lalu memerintahkan umat untuk mengikuti mereka dan mendengarkan keduanya dalam perkara-perkara mereka.

Tujuan sikap Nabi saw itu untuk berwasiat kepada umat dan mengenalkan pemimpin sepeninggalnya.

Rasulullah saw di akhir khutbahnya memerintahkan semua muslimin untuk keluar dari Madinah bersama Usamah dan sangat menekankan mereka untuk cepat-cepat bergabung dengan tentara yang sudah di sana.

Jujur, setelah dalil-dalil yang disebutkan ini, apa masih ada jalan untuk berdalih pada hadits-hadits serupa?


Kritikan untuk dalil ketujuh

Dalil ketujuh mereka adalah hadits dari Rasulullah saw, yang mana beliau saw bersabda: "Paling mulianya umatku adalah Abu Bakar kemudian Umar."

Qadhi Iyji dan komentatornya (ahli syarah) menukil riwayat ini dalam bentuk demikian, tetapi hadits sebenarnya bukan begitu, namun memiliki lanjutan. Anehnya mereka tidak menyebutkannya (lanjutan itu) sehingga dengan demikian mereka dapat menjadikannya sebagai dalil untuk suatu kepentingan. Teks lengkap hadits tersebut begini:

Aisyah berkata: "Aku bertanya kepada Rasulullah saw: "Wahai Rasulullah saw, siapa orang yang paling mulia setelahmu?"

Beliau saw bersabda: "Abu Bakar."

Aku bertanya: "Kemudian, siapa?"

Beliau saw bersabda: "Umar."."

Sampai di sini adalah penggalan hadits yang disebutkan dan yang dijadikan dalil oleh Ahlu Sunah. Namun penggalan lainnya, adalah: Waktu itu sayidah Fathimah as juga hadir dan beliau as menanyakan kepada ayahnya saw:

"Wahai Rasulullah saw, kenapa engkau tidak berkata sesuatu tentang Ali as?" Rasulullah saw menjawab:

"Wahai Fathimah as, Ali as adalah jiwaku, dan orang yang kau lihat adalah orang yang berbicara tentang dirinya sendiri.".

Jadi, Ahlu Sunah berdalil dengan penggalan pertama hadits saja dikarenakan adanya nama Abu Bakar dan Umar di dalamnya, dan mereka menganggap itu sebagai dalil kekhalifahan mereka. Mereka pun tidak mencantumkan lanjutan haditsnya, seakan-akan mereka tidak tahu bahwa suatu hari nanti akan ada orang mencari tahu seperti apa hadits ini serta sumbernya.

Belum lagi sanad hadits itu termasuk sanad yang lemah; anda bisa merujuk kitab Tanzih Al-Syarî'ah Al-Marfû'ah 'An Al-Ahâdîts Al-Syanî'ah Al-Maudû'ah.[40]


Kritikan untuk dalil kedelapan

Dalil kedelapan mereka, sebuah hadits dari Rasulullah saw, yang mana beliau saw bersabda:

"Jika aku dapat memilih teman setia selain Tuhanku, maka aku akan memilih Abu Bakar."

Tunggu sebentar. Hadits seperti itu tidak hanya diriwayatkan berkenaan dengan Abu Bakar saja. Ada hadits serupa tentang Utsman yang kurang lebih sama muatannya, yakni Rasulullah saw menjadikan Utsman sebagai teman setia. Dalam hadits yang berkenaan dengan Abu Bakar tercantum kata "jika" sedangkan tentang Utsman isi hadits itu seperti ini:

"Setiap nabi menjadikan salah satu dari umatnya sebagai teman setia, dan teman setiaku adalah Utsman bin Affan."

Sesuai dengan hadits ini, bisa jadi Utsman lebih baik dari Abu Bakar.

Bahkan penulis berani mengatakan bahwa Utsman lebih baik dari Abu Bakar, karena dalam kitab-kitab hadits Ahlu Sunah banyak hadits-hadits akhlaq yang berkaitan dengan Utsman bin Affan dan seakan membuktikan bahwa ia lebih baik dari Abu Bakar. Lagi pula semua hadits diatas batil dan tidak berdasar.[41]


Kritikan untuk dalil kesembilan

Dalil kesembilan mereka adalah sabda Rasulullah saw tentang abu Bakar yang berbunyi:

"Mana orang yang seperti Abu Bakar? Ketika orang-orang tidak mempercayai aku, dia mempercayaiku, mengimaniku... menolongku dengan jiwa dan hartanya dan berjihad bersamaku di saat sendiri dan ketakutan di medan perang."

Suyuthi dalam kitab Al-Lâlî Al-Masnû'ah Bi Al-Ahâdîts Al-Maudlû'ah[42] dan Hafid Ibn 'Araq penulis kitab Tanzîh Al-Syarîah[43] mengkategorikan hadits ini sebagai hadits palsu.

Hadits ini dari segi makna seakan-akan mengatakan bahwa Abu Bakar sebegitunya berkorban serta menyerahkan hartanya kepada Rasulullah saw dan beliau saw butuh pada hartanya.

Jelas bahwa, fenomena ini termasuk kebohongan; begitu jelasnya, sampai-sampai orang seperti Ibn Taimiyah terpaksa untuk mengingkarinya secara terang-terangan[44] dengan menyatakan bahwa Rasulullah saw sama sekali tidak butuh pada hartanya.

Ya, memang ada sebagian pihak yang sebegitu getol berusaha mengukir keutamaan-keutamaan para sahabat dengan cara menciptakan hadits-hadits palsu seperti ini.

Maka terbukti sudah kebohongan hadits ini dari segi sanad dan makna.


Kritikan untuk dalil kesepuluh

Dalil kesepuluh mereka adalah sebuah riwayat yang mereka nukil dari Ali bin Abi Thalib as tentang keutamaan Abu Bakar dan Umar. Dalam riwayat itu dikatakan:

"Paling utamanya manusia setelah para nabi adalah Abu Bakar kemudian Umar kemudian Allah yang maha tahu."

Riwayat yang mereka sebutkan tidak hanya seperti apa yang anda baca di atas, karena masih banyak lagi riwayat-riwayat serupa yang mereka sebutkan.

Kita akan menjawabnya dengan dua penjelasan ini:

Pertama:

Abu Bakar sendiri mengakui bahwa dia bukanlah manusia yang paling utama. Ia sendiri berkata:

"Aku adalah pemimpin kalian tapi bukan berarti lebih baik dari kalian."[45]

Riwayat ini juga disebutkan dalam berbagai kitab ternama.[46]

Kedua:

Penulis kitab Al-Istî'âb dalam menjelaskan keutamaan Imam Ali as, Ibn Hazm dalam kitab Al-Fasl Fi Al-Milal Wa Al-Nihal dan beberapa ulama besar lain Ahlu Sunah mengatakan:

"Mayoritas sahabat Rasulullah saw mengakui kelebihan Ali as di atas Abu Bakar."[47]

Kalau Imam Ali as sendiri yang mengakui keutamaan Abu Bakar dan Umar dari dirinya, bagaimana para sahabat menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib as lebih mulia dari kedua orang tersebut?

Ya mereka menyebutkan nama-nama beberapa orang yang mengatakan kalau Ali as lebih baik dari Abu Bakar, seperti Abu Dzar, Salman, Miqdad, Ammar dan lainnya. Dengan ini semua, Ali as tetap menganggap Abu Bakar dan Umar lebih baik dari dia. semua riwayat itu adalah sebuah kebohongan yang dinisbatkan kepada Imam Ali as.

Kami tidak menemukan alasan untuk menerima hadits dan riwayat yang dijadikan Ahlu Sunah sebagai dalil mereka.

Banyak sekali yang membuktikan bahwa hadits-hadits tersebut adalah buatan atau palsu; khususnya hadits yang berbunyi: "Setelahku, ikutilah dua orang ini: Abu Bakar dan Umar."

Dalil mereka yang kurang lebih cukup dapat diterima adalah masalah Abu Bakar menjadi imam jama'ah menggantikan Nabi saw. Namun setelah dibahas sebagaimana yang telah lalu, ternyata Nabi saw sendiri sempat datang dan memimpin sendiri shalat jama'ah yang mungkin konotasinya adalah beliau saw tidak ingin digantikan olehnya.

Lagi pula banyak hal-hal yang sebenarnya menjadi halangan besar bagi Abu Bakar dan Umar untuk menjadi khalifah. Hal itu banyak sekali dan tidak dapat dibahas di sini. Maka itu pun perlu dipertimbangkan dalam menerima kekhalifahan mereka berdua.
Mengkaji dalil ijma' kekhalifahan Abu Bakar

Dalil Ahlu Sunah untuk kekhalifahan Abu Bakar yang sampai sekarang dalam buku ini belum ditelaah adalah dalil ijma'. Ijma' yaitu kesepakatan para sahabat terhadap kepemimpinan Abu Bakar.

Kita tidak akan membahas ijma' terlalu panjang lebar. Cukup apa yang kita perlu dalam masalah ini saja yang kita bahas. Mari kita memulainya dengan sebuah pertanyaan:

Sebenarnya apa yang mereka maksud dengan ijma' dalam perkara kekhalifahan Abu Bakar?

Mereka menjawab: Ijma' saat itu adalah berkumpulnya sebagian sahabat di Saqifah yang mendorong Abu Bakar maju ke depan dan bersepakat membaiatnya sebagai pemimpin.[48]

Cukup kita baca ungkapan seorang penulis kitab Syarh Al-Maqâshid, yang merupakan salah satu dari ulama besar ilmu kalam:

"Yang kita maksud ijma' dalam kekhalifahan Abu Bakar bukanlah ijma' yang sebenarnya. Karena kita juga mengakui adanya beberapa orang yang tidak setuju dengan kekhalifahan Abu Bakar. Tidak semua orang membai'at Abu Bakar. Namun diakui kekhalifahannya bermula dari saat Umar membai'atnya begitu saja seusai percekcokan Muhajirin dan Anshar serta terjadinya perselisihan antara Aus dan Khazraj."[49]

Cukup jelas maksud kutipan di atas.

Tetapi, meskipun Ahlu Sunah mengakui bahwa sekelompok besar yang hadir di Saqifah tidak menyetujui kepemimpinan Abu Bakar, mereka tetap berkata demikian:

"Sebaiknya kita menjauhi pembahasan masalah ini, karena Rasulullah saw memerintahkan kita untuk diam dalam hal yang akan terjadi di antara para sahabat. Karena itu, tak seharusnya kita membahasnya lagi."

Coba kita baca ungkapan Sa'ad Taftazani dalam kitab Syarh Al-Maqâshid yang mana ia berkata:

"Seluruh umat Islam dan ulama bersepakat dengan kekhalifahan Abu Bakar. Dengan berbaik sangka kepada mereka, apa mungkin mereka memiliki keyakinan seperti ini tanpa dalil dan alasan yang masuk akal? Kalau mereka tidak mempunyai alasan yang benar, mana mungkin semuanya bersepakat dengan kekhalifahan Abu Bakar?"[ 50]

Untuk menjawabnya kami katakan: Kalau yang dijadikan landasan berkeyakinan adalah "taqlid" (ikut tanpa berdalil) saja, maka apa gunanya kita mengkaji ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat? Kalau begitu katakan saja kalau kita cuma ikut-ikutan, mereka begitu kita teruskan.

Kemudian Taftazani melanjutkan:

"Kehormatan para sahabat Rasulullah saw harus dijaga, harus dijauhkan dari hinaan dan kekurangan. Hadits dan riwayat yang mengungkapkan aib serta kekurangan mereka haruslah dijelaskan dan ditakwil dengan benar; khususnya yang berkaitan dengan Muhajirin dan Anshar."[51]


Pendapat Taftazani tentang dalil-dalil Syiah

Sa'ad Taftazani menukil keyakinan Syiah Imamiyah dalam kitabnya dengan berkata: Mereka mengatakan selain Imam Ali as tidak ada seorangpun yang layak menjadi pemimpin setelah Rasulullah saw; karena kepemimpinan memiliki syarat-syarat seperti kesucian dari dosa dan keutamaan-keutamaan tertentu, serta yang paling penting wasiat Rasulullah saw. Menurut Syiah, terbukti bahwa para sahabat selain Ali bin Abi Thalib tidak memiliki syarat-syarat dan kriteria tersebut."

Setelah itu ia menyerang seorang tokoh Syiah ternama seperti Syaikh Khajah Nasiruddin Thusi dan yang lainnya dengan cara yang tidak sopan. Sekarang mari kita simak kutipan di bawah ini.

Sa'ad Taftazani berkata demikian:

"Syiah berpegang pada dalil-dalil akal dan riwayat dalam menetapkan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as. Mereka menghina seluruh sahabat yang memegang tali kekuasaan pasca Nabi saw dan menyebut aib-aib mereka bahkan mengklaim ke-mutawatir-an hadits-hadits yang mereka temukan dalam hal ini.

Hadits-hadits yang mengungkap cela dan aib para sahabat telah tersebar, mereka hafal turun temurun, telah menyatu dengan tabiat mereka dan mereka dengar di setiap waktu. Tapi mereka tidak bersedia sedikitpun untuk mengkaji bagaimana aib-aib ini tidak diketahui oleh para pembesar Muhajirin dan Anshar serta periwayat-periwayat hadits terpercaya. Tidak satupun dari mereka berdalil dengannya dan mereka sama sekali tidak menjelaskan sesuatu yang menjelaskan benar tidaknya hadits-hadits tersebut.

Aib-aib ini muncul setelah berakhirnya kepemimpinan mereka, munculnya kesulitan tak bernilai dan batil, perkara agama ditangani para ulama jelek dan pemerintahan umat ditangan para raja dholim.

Yang sangat menakjubkan, ada salah satu dari ulama mereka yang merupakan ahli penebar fitnah, yang tidak pernah melihat hadits-hadits itu atau mengenal para perawinya namun memenuhi kitab-kitabnya dengan hadits-hadits yang menghina para sahabat Nabi saw yang mulia. Kalau kalian ingin tahu, bacalah kitab Al-Tajrîd milik Nashiruddin Thusi dan lihatlah bagaimana ia melindungi kebatilan ini dan menetapkan kebohongan ini..."[52]


Kritik terhadap pernyataan Taftazani.

Dalam menjawab apa yang dikatakan Taftazani, kita katakan:

Kita sangat berterima kasih kepada Taftazani yang berhenti sampai disini saja dalam menghina Khajah Nashiruddin Thusi. Karena Ibn Taimiyah lebih parah lagi, ia begitu menghina dan mencela Khajah Nashiruddin Thusi dikarenakan membawa hadits-hadits dari kitab-kitab Ahlu Sunah sebagai dalil kekhalifahan Imam Ali as dalam kitabnya Al-Tajrîd; yang mana hinaan dan celaan itu sangat tidak pantas dilontarkan oleh seorang Muslim dan kami tidak mau menyinggungnya lebih jauh di sini.[53]


Penutup:

Tujuan kami dalam pembahasan ini (sejak buku pertama sebelum buku yang ada di tangan anda ini) adalah membuktikan adanya hadits-hadits yang dapat dijadikan dalil keutamaan serta keabsahan kekhalifahan Ali bin Abi Thalib as setelah Nabi saw dari kitab-kitab Ahlu Sunah sendiri, tanpa sedikitpun menghina atau bersikap kurang ajar terhadap ulama Ahlu Sunah.

Kami melakukan semua itu dengan sopan dan benar, tanpa sedikitpun menyinggung perasaan pihak manapun.

Di buku ini pun kita telah mengkaji dalil-dalil Ahlu Sunah tentang kekhalifahan Abu Bakar dan sebagaimana yang mereka akui, tidak ada wasiat khusus dari nabi berkenaan dengan kekhalifahan Abu Bakar serta sama sekali tidak ada ijma' yang sebenarnya dalam kekhalifahannya.

Satu-satunya alasan yang paling mereka andalkan dalam masalah kekhalifahan Abu Bakar adalah hadits-hadits tentang keutamaannya dari pada sahabat-sahabat lainnya. Itu pun telah kita buktikan di buku ini bahwa semua dalil itu dapat dibantah dan tidak cukup untuk dijadikan alasan mengapa mereka menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Nabi saw.

Sebenarnya, dosa kita apa? Dalil-dalil mereka tentang kepemimpinan Abu Bakar tidak sempurna sedang dalil kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as dalam kitab mereka sendiri adalah sempurna.

Kenapa mereka tidak membahas hakikat ini? Kenapa kebenaran menjadi pahit?

Untuk apa mereka berlindung pada penghinaan? Kenapa mereka menjadikan ulama Syiah sebagai sasaran cacian-cacian kasar mereka? Apakah tidak cukup penghinaan, pembunuhan dan pemenjaraan ulama Syiah dari awal sampai sekarang? Sampai kapan mereka ingin berperilaku seperti ini? Kenapa mereka melakukan hal ini?

Kita ingin membahas yang benar sampai kita tahu siapakah yang harus kita ikuti setelah Rasulullah saw, sehingga kita bisa menjadikannya penengah antara kita di hadapan Allah swt dalam masalah akidah, masalah-masalah keilmuan, hukum syariat dan perintah-perintah Ilahi.

Kita ingin menerangkan kebenaran sehingga kita berkata pada Tuhan swt: "Wahai Tuhanku, kita telah melihat dalil-dalil dengan teliti, kita telah mencari kebenaran dan kita sampai pada kesimpulan bahwa, orang ini adalah pemimpin kita setelah Rasulullah saw, dan dengan perantara maksum ini kita bisa mendekatkan diri kepada-Mu dan menjalin hubungan dengan-Mu. Kita berharap kajian ini diterima disisi Tuhan yang maha suci".

Oleh karena itu, apa yang telah ditelaah dan dikritik tidak untuk tujuan persahabatan dan permusuhan, kita tidak memiliki tujuan apapun dalam memaparkan pembahasan ini dan kita tidak melihat adanya kebutuhan pada penghinaan dan permusuhan.

Jujur, dengan keadaan seperti ini, sampai kapan kebenaran itu akan selalu pahit? Sampai kapan mereka tidak akan menerima kebenaran dan tidak mengikutinya? Untuk apa mereka melontarkan kata-kata yang menghina? Bukankah hanya orang-orang hina dan bodoh saja yang mengucapkannya?

Kita menginginkan dari Allah swt untuk memberikan kita taufik sehingga kita menerima keridhaan-Nya. Kita ingin dari Tuhan swt untuk memberikan hidayah sehingga kita mengetahui kebenaran, mengamalkannya dan menjadi pengikut kebenaran dan hakikat. Kita ingin dari Dia swt untuk mencerahkan wajah kita dihari pertemuan dengan-Nya swt dan dengan Rasulullah saw.

Shalawat dan salam kita haturkan kepada Rasulullah saw beserta keluarganya yang suci.


Catatan Kaki:

[1] Meskipun dalam buku-buku sumber Ahlu Sunah shalawat dan salam kepada Nabi saw tertulis dalam bentuk kurang sempurna tapi kita sesuai dengan sabda beliau saw menulisnya dengan sempurna.
[2] Penulis Syarh Al-Mawâqif dalam hal ini mengakui bahwa tidak ada sama sekali riwayat tentang kepemimpinan Abu Bakar, meskipun mereka mengklaim bahwa riwayat tentang kepemimpinan Ali juga tidak ada.
[3] Maksudnya, persoalan ini hanya diantara tiga orang ini.
[4] Syarh Al-Mawâqif, jld. 8, hlm. 354.
[5] Perlu diperhatikan bahwa penulis buku Al-Mawâqif mengatakan, ijma' dan pensyarh buku Al-Maqâshid mengatakan pemilihan. Arti dari dua kata ini berbeda yang akan dijelaskan di tempatnya.
[6] Syarh al-Maqâshid, jld. 5, hlm. 255.
[7] Syarh Al-Mawâqif, jld. 8, hlm. 365.
[9] Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 382, 385, Shahîh Tirmidzi, jld. 5, hlm. 572, Mustadrak Hâkim, jld. 3, hlm. 75.
[10] Kanz Al-Ummâl, jld. 11, hlm. 557, Târîkh Baghdâd, jld. 12, hlm. 433, Târîkh Madînah Dimasyq, jld. 30, hlm. 208.
[11] Târîkh Madînah Dimasyq, jld. 3, hlm. 171, Sunan Tirmidzi, jld. 5, hlm. 272 dan 273, Al-Mushannif, jld. 7, hlm. 473.
[12] Sunan Tirmidzi, jld. 5, hlm. 276, Al-Kâmil, jld. 5, hlm. 240.
[13] Târîkh Madînah Dimasyq, jld. 30, hlm. 376.
[14] Musnad Ahmad, jld. 1, hlm. 412, 432, 439 dan jld. 4, hlm. 4 dan 5, Shahîh Bukhâri, jld. 4, hlm. 191, Shahîh Muslim, jld. 7, hlm. 108 dan 109.
[15] Târîkh Madînah Dimasyq, jld. 30, hlm. 110, 155.
[16] Kanz Al-'Ummâl, jld. 13, hlm. 8, Târîkh Madînah Dimasyq, jld. 30, hlm. 351.
[17] Perlu diingat bahwa kita manaruh tanda (!!) dalam terjemahan dibawah tulisan asli sumber yang perlu ditelaah.
[18] Majma' Al-Zawâid, jld. 9, hlm. 50.
[19] Tahdzib Al-Tahdzib, jld. 10, hlm. 144.
[20] Musnad Ahmad, jld. 5, hlm. 382, 385, Shahîh Tirmidzi, jld. 5, hlm. 572, Mustadrak Hâkim, jld. 3, hlm. 75.
[21] Sebelumnya telah kita ingatkan bahwa, untuk memeriksa sanad-sanad hadits ini, kita terpaksa merujuk pada sumber-sumber kitab yang menjelaskan sanad hadits tersebut dan juga kitab-kitab yang menjelaskan tentang hadits itu, seperti, Al-Mirqat, Faidl Al-Qadîr, Syuruh Al-Syifâ' Qadli 'Ayyad dan lain sebagainya.
[22] Faidl Al-Qadîr, jld. 2, hlm. 56.
[23] Shahih Tirmidzi, jld. 5, hlm. 572.
[24] Al-Dlu'afa Al-Kabîr, jld. 4, hlm. 95.
[25] Mîzân Al-I'tidâl, jld. 1, hlm. 142.
[26] Lisân Al-Mîzân, jld. 5, hlm. 237.
[27] Syarh Al-Manhâj: tulisan tangan.
[28] Mîzân Al-I'tidâl, jld. 1, hlm. 105, 141 dan jld. 43, hlm. 610.
[29] Talkhîs Al-Mustadrak, jld. 3, hlm. 75.
[30] Majma' Al-Zawâid, jld. 9, hlm. 53.
[31] Lisân Al-Mîzân, jld. 1, hlm. 188, 272 dan jld. 5, hlm. 237.
[32] Al-Dur Al-Nadhîd Min Majmû'ah Al-Hafîd, hlm. 97.
[33] Asna Al-Mathâlib Fi Ahadîs Mukhtalifah Al-Marâtib, hlm. 48.
[34] Al-fashl Al-Milal Wa Al-Nihal, jld. 4, hlm. 88.
[35] Majma Al-Zawâid, jld. 9, hlm. 44.
[36] Majma Al-Zawaid, jld. 9, hlm. 53.
[37] Kitab Al-Maudû'ât, jld. 1, hlm. 318.
[38] Fath Al-Bârî, jld. 8, hlm. 124.
[39] Hafidz Abu Al-Faraj Ibn Jauzi Hanbali, dalam menolak ulama zamannya Hafidz Abd Al-Mughits Hanbali, menulis sebuah risalah dengan nama Afat Ashâb Al-Hadîts fi Al-Rad 'Ala Abd Al-Mughits. Kitab ini sekitar 20 tahun yang lalu ditelaah oleh penulis dan untuk pertama kalinya dicetak.
[40] Tanzih Al-Syarî'ah Al-Marfu'ah 'An Al-Ahâdîts Al-Syani'ah Al-Maudû'ah, jld. 1, hlm. 367.
[41]Tanzih Al-Syarî'ah Al-Marfu'ah 'An Al-Ahâdîts Al-Syani'ah Al-Maudû'ah, jld. 1, hlm. 392.
[42] Al-Lâlî Al-Masnu'ah Bi Al-Ahâdîts Al-Maudlû'ah, jld. 1, hlm. 295.
[43] Tanzîh Al-Syarîah Al-Marfû'ah, jld. 1, hlm. 344.
[44] Manhâj Al-Sunnah, jld. 4, hlm. 289.
[45] Al-Thabaqât Al-Kubrâ, jld. 3, hlm. 139.
[46] Majma Al-Zawâid, jld. 5, hlm. 183, Sîre-e Ibn Hisyam, jld. 2, hlm. 661, Târîkh al-Khulafâ', hlm. 71.
[47] Al-Istî'âb, jld. 3, hlm. 1090, Fashli Dar Milal wa Nihal, jld. 4, hlm. 181.
[48] Yang jelas kita dalam hal ini kita telah berbicara tentang syura dalam sebuah telaah dengan nama naqsye syura dar imomat" (peran syura dalam masalah imamah atau kepemimpinan.
[49] Rujuklah Syarh Al-Maqâshid, jld. 5, hlm. 254-267.
[50] Syarh Al-Maqâshid, jld. 2, hlm. 298.
[51] Ibid, hlm. 303. at:Mengkaji dalil ijma'
[52] Syarh Al-Maqâshid, jld. 2, hlm. 287.
[53] Sebagai pemberitahuan bahwa, kami telah menelaah tentang tema ini dengan judul Az Iftiraât Ibn Taimiyah.


Daftar pustaka

0. Al-Qur'an Al-Karim
1. Abdullah Adi: Al-Kâmil, Darul Fikr, Beirut, cetakan ketiga, tahun 1409.
2. Ahmad bin Hanbal: Musnad Ahmad bin Hanbal, Darul Ihya' At Turats Al Arabi, Beirut, Lebanon, cetakan ketiga, tahun 1415.
3. Bukhari: Shahîh Bukhâri, Darul Fikr, Beirut, tahun 1401.
4. Dzahabi: Mîzân Al-I'tidâl, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1416.
5. Dzahabi: Talkhîs Al-Mustadrak, Darul Ma'rifah, Beirut, Lebanon.
6. Haitsami: Majma' Az-Zawâid wa Manba' Al-Fawâid, Darul Fikr, Beirut, Lebanon, tahun 1412.
7. Hakim Neisyaburi: Al-Mustadrak, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1411.
8. Ibn Abd Al-Bar: Al-Istiy'âb, Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut, Libanon, cetakan pertama, tahun 1415.
9. Ibn Abi Syaibah Al Kufi: Al-Mushannif, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, tahun 1409.
10. Ibn Arraq Kanani: Tanzîh Asy-Syarî'ah Al Marfû'ah 'An Ahâdîts Al-Syani'ah Al Mawdhû'ah, Darul Kutub Al-Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan kedua, tahun 1401.
11. Ibn Asakir: Târîkh Madînah Dimasyq:, Darul Fikr, Beirut, tahun 1415.
12. Ibn Darwiys Hut: Asna Al-Mathâlib fî Ahâdîts Mukhtalifah Al-Marâtîb, Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra, Mesir, cetakan pertama, tahuan 1355.
13. Ibn Hajar Asqalani: Lisân Al-Mîzân, Muasasah A'lami, Beirut, Lebanon, cetakan 1390.
14. Ibn Hajar Asqalani: Tahdzîb Al-Tahdzîb, Darul Kutub Al-Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
15. Ibn Hajar: Fath Al-Bârî, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1410.
16. Ibn Hazm Andalusi: Al-Fashl fî Al-Ahwâ' wa Al-Milal wa An-Nihal, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1416.
17. Ibn Hisyam: Sîrah Ibnu Hisyâm, Dar Ihya' At-Turats Al-Arabi, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
18. Ibn Sa'ad: Al-Thabaqât Al-Kubrâ, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon, cetakan kedua, tahun 1418.
19. Ibn Taimiyah: Manhâj As-Sunnah An-Nabawiyyah, Maktabah Ibn Taimiyah, Kairo, Mesir, cetakan kedua, tahun 1409.
20. Ibn Al-Jauzi: Al-Maudhû'ât, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
21. Ibri Furqani: Syarh Al-Manhâj, tulisan tangan (Makhthuth).
22. Jalaluddin Suyuthi: Al-Lâlî Al Mashnû'ah fi Al-Ahâdîts Al-Maudhû'ah, Darul Kutub Ilmiyah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1417.
23. Jalaluddin Suyuthi: Târîkh Al-Khulafâ', Mansyurat Syarif Ridha, Qom, Iran, cetakan pertama, tahun 1411.
24. Khatib Baghdadi: Târîkh Baghdâd, Darul Kutub Al Ilmiah, Beirut, tahun 1417.
25. Manawi: Faidh Al-Qadîr, Darul Kutub Ilmiah, Beirut, Lebanon, cetakan pertama, tahun 1415.
26. Muslim Neysyaburi: Shahîh Muslim, Darul Fikr, Beirut.
27. Muttaqi Hindi: Kanz Al-'Ummâl, Darul Risalah, Beirut, tahun 1409.
28. Sayid Syarif Al Jarjani: Syarh Al-Mawâqif, yang dilengkapi dengan Hasyiah Al-Siyâlakûti wa Al-Halabi, Mansyurat Syarif Ridha, Qom, Iran, cetakan pertama, tahun 1412.
29. Taftazani: Syarh Al-Maqâshid, Mansyurat Syarif Ridha, Qom, Iran, cetakan pertama, tahun 1409, dan Darul Ma'arif Nu'maniyah, Pakistan, cetakan pertama, tahun 1401.
30. Tirmidzi: Sunan Tirmidzi, Darul Fikr, Beirut, cetakan kedua, tahun 1403.
31. 'Uqaili: Al-Dhu'afâ' Al-Kabîr, Darul Kutub Ilmiyyah, Beirut, Lebanon.

(Alhassanain/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: