Pesan Rahbar

Home » » Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab XI: Anak-anak Yang Hidup di Luar Rumah

Menggapai Langit, Masa Depan Anak: Bab XI: Anak-anak Yang Hidup di Luar Rumah

Written By Unknown on Saturday 8 October 2016 | 21:36:00


Tatkala berada dalam rumah, seorang anak akan berada di bawah pengawasan dan pantauan ibunya.

Namun, lantaran sejumlah hal, ia tidak dapat lagi tinggal serumah dengan ibunya. Sebabnya antara lain:
1. Tinggal di panti asuhan anak yatim, sehingga me-mungkinkan sang anak mengalami gangguan kejiwaan dan emosinya.
2. Dipungut seseorang untuk di jadikan anak angkat. Sekalipun tetap menimbulkan berbagai dampak negatif pada diri si anak, namun hal ini masih jauh lebih baik ketimbang ditititipkan di panti asuhan.
3. Dititipkan di tempat penitipan anak (play group).

Sekalipun memiliki pengaruh yang positif, tempat semacam ini juga memiliki pengaruh yang negatif bagi diri sang anak. Karenanya, diperlukan pengawasan yang lebih demi menghapus berbagai dampak negatif tersebut.

Tempat penitipan ini harus memiliki kondisi yang bagus, baik dari segi lingkungan, kelas, pelajaran, para pengasuh, dan pendidiknya. Ini dikarenakan mereka berperan sebagai orang tua kedua bagi sang anak. Selain itu, harus terjalin kerja sama yang baik antara pihak sekolah dengan rumah, serta antara guru dengan murid-muridnya, demi mem- percepat laju pertumbuhan sang anak.


Panti Asuhan Anak Yatim

Kini di manakah keberadaan anak Anda yang merupakan warisan dan kenang-kenangan sang syahid (ayahnya) yang amat berharga itu?
Apakah di rumah dan berada di samping Anda serta anggota keluarga lainnya? Inilah yang paling benar dan paling layak terjadi.
Apakah berada di rumah ibu susuannya yang berperan sebagai pengganti ibu kandung (yang sesungguhnya bersifat semu belaka)?
Apakah berada di tempat penitipan anak dalam beberapa tempo beberapa jam atau bahkan sepanjang siang-malam, sehingga jauh dari pengawasan sang ibu?
Apakah berada di sekolah, sehingga baru kembali ke rumah setelah beberapa jam?
Apakah berada di rumah sanak-kerabatnya, seperti di rumah kakek, paman, bibi, dan sebagainya?
Apakah berada di rumah orang lain dan menjadi anak angkat? Apakah berada di panti asuhan anak yatim selama dua puluh empat jam penuh dan selalu jauh dari jangkauan pengawasan sang ibu?

Segenap butir persoalan di atas, perlu dibahas dan dikaji lebih jauh, agar kiranya menjadi jelas apa keelebihan dan kekurangan masing-masing. Di manakah sang anak dapat hidup secara hakiki? Bila ia hidup di tempat yang tidak hakiki, apa dampaknya terhadap pertumbuhan jasmani dan ruhaninya?


Tempat Anak Hidup secara Hakiki

Tempat hidup hakiki sang anak tak lain rumahnya sendiri. Di situ, ia akan mengecap kesenangan dan kebahagiaan. Sewaktu hidup di rumahnya sendiri, sang anak akan merasa aman, tenang, terhormat, dan selalu riang-gembira. Tentunya pula, pengaruh positif yang timbul dari proses penjalinan hubungan dengan segenap anggota keluarga di rumah terhadap pertumbuhan jiwa dan raga sang anak, tak akan mampu disamai oleh tempat-tempat yang lain.

Sejumlah hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang tidak dibesarkan di rumahnya sendiri, atau semasa kanak- kanaknya hidup dalam kondisi yang sulit dan penuh derita, cenderung tumbuh menjadi pelaku tindak kejahatan. Kondisi pertumbuhannya akan berlangsung secara abnormal. Dan dirinya tak akan mengenal berbagai masalah kehidupan yang terbilang urgen serta tidak memiliki kedisiplinan hidup.

Kesulitan utama yang muncul di tempat penitipan anak siang-malam adalah tidak adanya pribadi yang dapat benar- benar melaksanakan tugas ayah dan ibu. Seorang anak amat membutuhkan seseorang yang dapat dipanggil ayah atau ibu, serta mendapatkan ketenangan dan berbagai kebutuhannya saat berada di samping keduanya. Tak adanya pribadi semacam itu, menyebabkan sang anak mengalami berbagai gangguan kejiwaan dan emosionalnya; mudah terkena depresi, suka murung, dan cenderung menyendiri.

Benar, di tempat penitipan anak siang-malam, terdapat sejumlah pengasuh yang akan merawat dan mengasuh sang anak. Namun, mereka tidak selalu mendampingi sang anak. Kalaupun berada di samping sang anak, mereka tak dapat menjalin hubungan secara normal dan alamiah dengannya. Akibatnya, kehidupan sang anak akan berjalan abnormal dan tidak alamiah. Persoalan ini dialami anak-anak yang hanya selama beberapa hari saja tinggal di rumahnya sendiri, dan sisa usianya dihabiskan untuk tinggal dari satu rumah ke rumah yang lain, atau dari satu keluarga ke keluarga yang lain.


Menitipkan Anak di Panti Asuhan

Pudarnya cara serta kebiasaan lama dalam menjaga dan merawat anak―yang umumnya disebabkan oleh perkembangan industri dan kebudayaan Barat―memicu terjadinya berbagai benturan keras dalam kehidupan keluarga dan mengancam nasib anak-anak. Keberadaan panti asuhan anak yatim dalam sebuah masyarakat pada dasarnya mencerminkan minimnya tanggung jawab keluarga dan masyarakat terhadap anak-anak yatim. Dan segi kemanusiaan dan moralitas, masyarakat bertanggungjawab untuk mengurusi kehidupan anak-anak yatim. Yakni, dengan membawa mereka ke rumahnya, kemudian merawat, membesarkan, dan memperlakukan mereka seperti anaknya sendiri.

Berdasarkan pengalaman, pengaruh negatif yang diperoleh anak yang hidup di rumah orang 1ain masih jauh lebih sedikit ketimbang pengaruh negatif yang diperoleh anak yang hidup di panti asuhan anak yatim. Secara ilmiah, dengan hidup di panti asuhan anak yatim, seorang anak bakal kehilangan sendi-sendi kehidupan rumah tangga secara total. Sebabnya, sekalipun sarana yang tersedia di panti asuhan terbilang lengkap, namun setiap anak yang tinggal di dalamnya akan memperoleh perawatan dan pendidikan yang sangat minim. Selain itu. sang anak juga tidak memiliki kondisi emosional yang wajar.

Hasil pendidikan di panti asuhan anak yatim amatlah berbahaya. Ini mengingat di dalamnya terdapat undang-undang dan tata tertib yang tegas dan tanpa kompromi, pemaksaan untuk mematuhi aturan tanpa pandang bulu, serta sikap kasar para penanggung jawab terhadap anak-anak. Ya, semua itu akan menghambat laju pertumbuhan sang anak dan menimbulkan berbagai problem jasmani dan ruhaninya.


Dampaknya terhadap Anak

Dampak yang ditimbulkan pola pendidikan dan pembinaan dalam panti asuhan anak yatim amat beragam dan terbilang rumit. Tentunya nyaris mustahil untuk mengungkapkan segenap persoalan tersebut secara menyeluruh dalam buku kecil ini.

Terlebih jika mengingat anak-anak yang hidup di panti asuhan anak yatim mendapatkan pola pendidikan yang berbeda satu sama lain. Karenanya, kami hanya akan mengetengahkan sebagian saja dari pengaruh tersebut, khususnya yang ber- kenaan dengan watak para pengasuh, cara pelaksanaan program, serta bentuk undang-undang dan tata tertibnya.

1. Pengaruh terhadap jasmani

Di panti asuhan, sekalipun makanan yang dikonsumsi sang anak sesuai dengan aturan kesehatan --dengan kata lain, sesuai dengan kebutuhan gizinya, namun itu tetap tidak akan berpengaruh positif terhadap proses pertumbuhan jasmaninya. Ya, anak-anak tetap akan terlihat seolah-olah kekurangan makanan dan gizi yang cukup.

Pertumbuhan jasmani mereka rata-rata akan terganggu, seperti mengalami kelesuan, kekurangan semangat, dan selalu pucat. Bahkan, sebagiannya tidak mampu menahan keluarnya air seni. Sebagiannya lagi, dikarenakan merasa hidupnya terkungkung dan berada di bawah tekanan, menjadi kurang lincah dan tidak cekatan. Segenap pengaruh yang muncul tersebut dapat disaksikan dengan jelas pada dua kelompok anak:
a. Anak-anak yang sebagian usianya dihabiskan di lingkungan rumah tangga, dan sebagiannya lagi dihabiskan di panti asuhan.
b. Anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan dan kepekaan yang lebih tinggi, sehingga mampu mengetahui dan merasakan tentang apa yang menimpa dirinya.


2. Pengaruhnya terhadap daya ingat

Kehidupan di panti asuhan secara umum berdampak negatif terhadap daya ingat anak. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa dampak negatif panti asuhan terhadap daya ingat anak pada kenyataannya terbilang besar. Terlebih bila ayah dan ibu sang anak telah meninggal dunia. Ia niscaya akan memahami bahwa penyebab dirinya tinggal di panti asuhan adalah lantaran kematian kedua orang tuanya itu.

Penelitian terhadap anak-anak yang hidup di panti asuhan di Barat menyimpulkan bahwa kebanyakan anak-anak yang hidup di panti asuhan mengalami hambatan dalam berbicara, daya ingatnya melernah, dan cenderung berperilaku abnormal. Mereka juga mengalami kemunduran dalam berbagai aktivitas kehidupannya. Kendatipun belum diketahui dengan jelas penyebabnya, namun besar kemungkinan semua itu lantaran mereka kurang melatih keterampilan tubuhnya, atau tidak mendapatkan sarana kehidupan yang normal.


3. Pengaruh terhadap kejiwaan

Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang hidup di panti asuhan cenderung mengalami kemunduran dan menghadapi sejumlah kendala dalam proses penumbuhan jiwanya. Seorang pakar psikologi anak menyatakan bahwa seratus persen dari anak-anak yang pada tahun-tahun pertama usianya hidup di panti asuhan, mengalami kelambanan dalam pertumbuhan jiwanya. Bahkan, sampai masa balig, mereka tetap tak mampu bergaul secara normal dengan masyarakat umum.

Anak-anak yang hidup di panti asuhan, tak punya kesempatan yang memadai guna mengembangkan pemikiran dan jiwanya. Itu lantaran mereka kurang mendapatkan curahan kasih dan sayang, serta kurang mernahami arti pengorbanan, kesetiaan, dan kemuliaan. Boleh jadi para pengasuhnya terdiri dari orang-orang yang mulia, bertakwa, dan senantiasa menjaga kesucian dirinya. Namun, biar begitu, anak-anak tetap tidak mampu menghayati secara sempurna segenap curahan kasih dan sayang mereka.


4. Aspek emosional

Di panti asuhan, para pengasuh wanita jarang yang mampu menyamai ibu kandung dalam hal mencurahkan kasih-sayang. Sebabnya, mereka hanya bekerja demi mendapatkan upah. Selain itu, jarang pula orang yang mampu menerapkan kedisiplinan yang masuk akal namun penuh kasih sebagaimana yang dilakukan seorang ayah terhadap amak kandungnya.

Sebabnya, mereka tak memiliki semangat dan kesabaran sebagaimana yang dimiliki kedua orang tua kandung sang anak.

Berdasarkan itu, anak-anak yang hidup di panti asuhan sama sekali tidak akan mendapatkan belaian lembut ayah maupun ibunya serta tidak pernah memperoleh kepuasan emosional. Sementara dari sisi yang lain, anak-anak cenderung tidak menyukai para pengasuhnya. Sebab, mereka merasa bahwa perintah dan larangan yang dikeluarkan para pengasuhnya itu tidak dilandasi oleh itikad yang baik serta tidak bercorak kebapaan maupun keibuan.

Di samping itu, mereka juga menghadapi kesulitan lain yang sangat membebani perasaan; yakni pemberlakuan disiplin yang serba kaku oleh para penanggung jawab panti asuhan. Bentuk kedisiplinan semacam ini pada dasarnya hanya layak diterapkan di kantor-kantor atau lembaga-lembaga non-panti asuhan saja. Sebab, bila diterapkan di panti asuhan, niscaya anak-anak yang tinggal di dalamnya akan mudah bingung, gelisah, dan labil. Mereka menganggap bahwa model kedisiplinan tersebut bukan hanya memuakkan, namun juga mendatangkan pelbagai kesulitan dan penderitaan.

Berbagai jenis permainan di dalam rumah, senda-gurau, dan gelak-tawa tentu berpengaruh positif terhadap perkembangan jiwa dan kehidupan anak-anak. Inilah yang tidak kita temui dalam kehidupan panti asuhan, sehingga menyebabkan sang anak merasa kehilangan.


Masa Depan Anak

Kita memang tak akan mampu memperkirakan secara mutlak dan menyeIuruh tentang nasib kehidupan anak di masa datang. Namun, berdasarkan hasil sejumlah penelitian, diketahui bahwa anak-anak yang hidup di panti asuhan rata-rata bermasa depan suram. Berdasarkan data statistik di Barat, sebanyak 27 persen dari anak-anak itu menderita kelemahan daya nalar, epilepsi, cenderung amoral, dan tidak mau mengindahkan norma-norma kesusilaan.

Setelah beranjak dewasa, mereka akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang gampang tersinggung, suka melakukan penyimpangan seksual, gemar berbohong, suka melamun, kehilangan reaksi ernosional, tidak memiliki kemampuan bekerja sama, mementingkan diri sendiri, cenderung membangkang dan melakukan pelanggaran hukum, serta bersikap apatis (tak mau peduli) terhadap berbagai persoalan hidup.

Betapa banyak dari mereka yang akhimya cenderung melakukan penipuan dan pemalsuan, mencuri, merampok, atau melakukan berbagai perbuatan keji lainnya. Mereka tak sanggup menjalin hubungan yang baik dan harmonis dengan sesamanya. Jiwa mereka begitu labil, potensi dan bakatnya tidak berkembang, dan bahkan tidak mampu mengenali hakikat dirinya sendiri.

Sebagian anak-anak yang dididik dan dibesarkan di panti asuhan tidak memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Setelah menikah, anak-anak perempuan yang dibesarkan di panti asuhan tak akan mampu menjalin hubungan yang harmonis dan penuh kasih dengan suami maupun anak-anaknya. Jauh lebih buruk lagi, mereka tidak memiliki hubungan emosional dengan anaknya, daya pikirnya terus melemah, dan senantiasa digalau kebingungan dan keresahan.

Pengalaman juga membuktikan bahwa semakin lama seorang anak hidup di panti asuhan, semakin lamban pula pertumbuhan jasmani dan ruhaninya. Selain itu, perilakunya pun semakin labil dan lebih sering dikecamuk kegelisahan. Tentunya semua itu akan mengganggu kecerdasan dan daya nalarnya.


Bila Keadaan Memaksa

Setelah mengetahui berbagai kekurangan yang terdapat dalam panti asuhan, lalu apa yang harus dilakukan ayah maupun ibu bila keduanya terpaksa menitipkan anaknya di situ?

Justru yang pertama kali harus diusahakan dengan bersungguh-sungguh adalah menghilangkan keterpaksaan tersebut. Bagi seorang ibu, berusaha mencari nafkah dengan cara meminta-minta atau menjadi pembantu rumah tangga masih lebih kecil dampak negatifnya bagi sang anak ketimbang menitipkannya ke panti asuhan. Sebab, dengan berada di rumah, sang anak akan mendapat curahan kasih sayang yang tulus dan murni ibunya, sementara di panti asuhan tidak.

Namun, pabila benar-benar terpaksa melakukannya, minimal sang anak harus dititipkan kepada sebuah keluarga baik-baik dan terhormat. Itu dimaksudkan agar dirinya mampu menjalin hubungan dan komunikasi yang baik. Pengalaman membuktikan bahwa dampak negatif dari keberadaan seorang anak dalam lingkungan keluarga yang asing baginya, masih lebih kecil ketimbang keberadaannya di panti asuhan.

Bila hendak menitipkannya di panti asuhan, Anda harus memilih panti asuhan yang memiliki sarana dan prasarana yang lengkap, bersih dan sehat, serta para pengasuhnya terdiri dari orang-orang yang agamis dan berperiaku baik. Sesekali, kunjungilah anak Anda dan berbicang-bincanglah dengannya. Dan sewaktu Anda punya kesempatan untuk mengasuh dan merawatnya lagi, asuh dan bimbinglah dirinya, serta berusaha- lah membersihkan berbagai dampak negatif yang melekat pada dirinya selama hidup di panti asuhan.


Masalah Anak Angkat

Seorang anak seyogianya diasuh, dididik, dan dibina langsung ibunya di rumah. Kita telah mengetahui tentang betapa besar dampak negatif yang akan menghantam sang anak sewaktu dirinya dikeluarkan dari lingkungan rumah tangga dan diserahkan kepada orang lain. Berdasarkan hasil penelitian, para psikologi anak menyimpulkan bahwa anak-anak yang di- keluarkan dari rumahnya, akan cederung berperilaku buruk. Sikap dan tingkah-lakunya pun begitu labil. Dengan begitu, ia akan menyusahkan dirinya sendiri, juga orang lain.
Lalu, dengan alasan apa seorang ibu tega mengusir atau mengeluarkan anaknya dari dalam rumah?

Kemiskinannya? Keinginannya untuk menikah lagi? Kesibukannya? Melarikan diri dari tugas dan tanggung jawabnya? Atau lainnya? Pada prinsipnya setiap orang yang memiliki jiwa dan batin yang hidup akan menentang segenap alasan tersebut. Alasan yang masih dapat dibenarkan untuk itu hanyalah bila sang ibu meninggal dunia, menderita kelainan jiwa, atau memiliki sikap serta perilaku yang amoral.


Mengangkat Anak

Banyak keluarga yang disebabkan beberapa hal, siap menerima kehadiran anak-anak terlantar, dan memberi perawatan seperti layaknya orang tua kandung. Kenyataan semacam ini telah terjadi sejak masa-masa awal Islam dan terus berlanjut sampai hari ini.

Kaum pria dan wanita yang tidak mampu membuahkan keturunan, tentu menginginkan suasana rumah tangganya menjadi hangat dan ceria. Sekalipun ada pula orang mukmin yang memiliki beberapa orang anak, namun ingin memelihara dan mengasuh anak yatim, lantaran hendak mengamalkan sabda Rasul saww, “Sebaik-baik rumah kalian adalah rumah di mana terdapat anak yatim yang disantuni...”

Secara ilmiah, memelihara anak-anak yang tak punya tempat berlindung amatlah baik dan terpuji, ketimbang menitipkannya di panti asuhan. Namun persoalannya adalah kaum ibu harus bertanggung jawab terhadap nasib anak-anaknya dan memahami kemaslahatan bagi mereka. Tidakkah jauh lebih baik bila sang anak tetap berada di rumah sekalipun kehidupan kaum ibu sedang dihimpit kefakiran? Menurut pandangan kami, dapat dibenarkan menyerahkan sang anak untuk diasuh orang lain bila keluarga sang anak sama sekali memang tak punya kemampuan untuk mengasuh dan memeliharanya, atau pilihan tersebut lebih maslahat baginya (sang anak).


Kelayakan Usia dalam Melepas Anak

Perlu kami ingatkan bahwa kaum ibu, dalam situasi dan kondisi apapun, harus merawat dan mengasuh sendiri anak- anaknya. Sebab, bila berada di samping ibunya, sang anak akan banyak terhindar dari berbagai benturan hidup ketimbang berada di samping orang lain. Kalau sekiranya memang harus dipisahkan dari kehidupan rumah tangga, seyogianya sang anak dititipkan kepada sebuah keluarga baik-baik, bukan ke panti asuhan. Sebab, dalam lingkungan keluarga tersebut, ke- selamatan dan kesehatan jasmani, ruhani, serta emosional sang anak jauh lebih terjamin.

Berdasarkan segenap persoalan tersebut, bersegeralah untuk menyerahkan sang anak kepada sebuah keluarga baik-baik. Sebab, boleh jadi itu justru lebih baik bagi sang anak. Sebaiknya pula, proses penyerahan tersebut dilakukan sewaktu sang anak masih menyusui. Bahkan kalau bisa, pada bulan-bulan pertama kelahirannya. Semakin bertambah usia sang anak, semakin erat pula hubungannya dengan ibunya sehingga teramat sulit dipisahkan. Selain pula semakin besar dampak negatif yang bakal timbul darinya.

Sejak usia empat bulan, sang anak secara berangsur-angsur mulai akrab dengan ibunya. Dan pada usia enam bulan, ia mulai mampu mengenali ibunya. Pengenalan ini semakin bertambah jelas tatkala sang anak mencapai usia satu tahun. Pada usia dua tahun, sang anak akan sangat kesulitan untuk menanggung beban perpisahan dengan ibunya. Tak jarang terjadi, seorang anak berusia dua tahun yang dipisahkan dari ibunya, sering terjaga dari tidurnya, kemudian menangis dan memanggil- manggil ibunya.

Kondisi semacam itu akan terus berlangsung hingga ia berusia enam atau tujuh tahun. Pada usia setelah itu, ia mulai memiliki sedikit kemampuan untuk berpisah dengan ibunya. Lebih lagi, ia mampu memahami apa penyebab perpisahan itu. Namun, itu bukan berani sang anak sanggup menanggung beban perpisahan dengan ibunya. Pada gilirannya, beban tersebut akan terakumulasi sedemikian rupa sehingga memicu munculnya berbagai persoalan lain yang justru lebih membebani dan menyulitkannya.


Syarat-syarat Orang Tua Angkat

Siapakah yang pantas menjadi orang tua angkat bagi seorang anak yatim? Jelasnya lagi, kriteria seperti apakah yang harus dimiliki orang-orang yang memang siap menjadi orang tua angkat sang anak? Nampaknya kaum ibu lebih cenderung menyerahkan anaknya kepada orang yang kondisi kehidupannya lebih baik dari dirinya, atau minimal sama seperti dirinya.

Sewaktu Anda sudah siap menyerahkan anak Anda kepada seseorang, alangkah baiknya bila Anda memprioritaskan keluarga dekat Anda atau suami Anda; saudara-saudari Anda atau suami Anda dan sebagainya. Sanak-kerabat Anda, setidaknya, lebih mampu menciptakan kondisi dan suasana hidup yang sesuai dengan harapan sang anak.

Bila tidak memungkinkan, seyogianya Anda menyerahkan anak yatim tersebut kepada orang-orang yang berkepribadian terpuji serta memiliki pola kehidupan yang kondusif bagi pertumbuhan jiwa dan raga sang anak. Namun yang lebih penting lagi adalah mereka siap menjaga amanat dan benar-benar menginginkan keselamatan serta kebahagiaan sang anak.


Tugas Mendidik Anak

Orang yang siap mengasuh dan mendidik anak-anak yatim harus menerapkan metode dan program pendidikan serta pembinaan yang sama dengan yang diterapkan terhadap anak- anak kandungnya sendiri. Imam Ali berkata, “Didiklah anak yatim sebagaimana engkau mendidik anakmu sendiri.”(Wasail al-Syiah, juz V, hal. 125)

Nasihat agung ini dimaksudkan agar jangan sampai dikarenakan anak yatim tersebut adalah anak orang lain, lalu Anda mengabaikan pendidikannya. Memikirkan nasib sang anak di masa depan, memperhatikan kesehatan dan keselamatan jasmaninya dengan cara memberi dorongan atau teguran, sudah merupakan tugas dan kewajiban para orang tua angkat.

Ya, orang tua angkat harus menerima kehadiran sang anak dengan sepenuh hati, tak ubahnya menerima kehadiran anaknya sendiri; tidak membeda-bedakan sikap dan tidak lebih mengutamakan anak kandung ketimbang anak angkat. Orang tua angkat bukan hanya dilarang mengabaikan anak angkat, lebih dari itu malah harus bersikap seolah-olah berkat keberadaan anak angkat tersebut, keadaan rumah tangganya senantiasa diliputi kebahagiaan dan kebanggaan. Dengan cara itu, sang anak akan terhindar dari pelbagai bahaya yang bakal merusak jiwa dan emosinya. Seorang ibu angkat juga harus menjalin hubungan yang akrab dan harmonis dengan anak angkatnya. Itu dimaksudkan agar sang anak tidak merasa kehilangan ibunya.

Dalam beberapa kasus, dapat disaksikan bahwa hubungan anak dengan orang tua angkatnya tidak berlangsung harmonis sehingga sang anak tidak memiliki gairah hidup. Di sini perlu ditelaah tentang apa penyebab sang anak bersikap demikian? Mengapa lingkungan rumah tangga menjadikan sang anak malas dan lesu? Mengapa pula ia begitu dingin dalam meng- hadapi kehidupan ini?


Apabila Anak Menanyakan Orang Tua Kandung

Kebanyakan anak-anak yang diserahkan kepada orang tua angkat pada usia kanak-kanak, ketika beranjak dewasa tetap tidak mengetahui bahwa orang tua yang memeliharanya bukanlah orang tua kandungnya. Khususnya, bila sang anak diserahkan sejak masih berusia beberapa bulan. Atau kedua orang tua angkatnya itu pindah ke daerah lain yang jauh dari tempat kelahiran sang anak, serta tidak menceritakan per- masalahan yang sebenarnya.

Namun, persoalannya menjadi lain pabila sang anak kemudian menginjak usia empat atau lima tahun. Pada usia ini, dirinya telah memiliki kepekaan tertentu dan mampu melihat perbedaan sikap orang tua(angkat)nya tersebut. Belum lagi ditambah dengan adanya berbagai informasi yang diperoleh dari teman sepergaulannya. Berkat semua itu, perlahan-lahan ia mulai mengetahui bahwa dirinya hanyalah anak angkat dan kedua orang tua tersebut bukanlah orang tua kandungnya. Dalam keadaan ini, apa yang harus dilakukan?

Alhasil, kedua orang tua angkat harus berusaha keras agar sang anak tidak mengetahui persoalan tersebut. Namun, bila ia terlanjur mengetahuinya, maka demi kemaslahatannya, hendaklah kedua orang tua angkat itu menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya dengan tidak mencela dan menghina siapapun. Selain itu janganlah orang tua angkat terlalu berlebihan dalam mengungkapkan belas kasihnya, seraya meyakinkan dirinya bahwa mereka berdua merupakan pengganti ayah dan ibu kandungnya.

Keduanya juga harus meyakinkan bahwa keberadaannya (sang anak angkat) selama ini telah menggoreskan warna kebahagiaan dan kegembiraan dalam rumah. Bila bertanya tentang mengapa dirinya dikeluarkan dari rumahnya, katakanlah dengan menggunakan bahasa yang halus tentang kematian atau kesyahidan ayahnya serta kesulitan yang dihadapi ibunya. Selain menegaskan kembali bahwa keduanya amat menyayangi dan menyintainya. Itu dirnaksudkan agar sang anak tidak merasa terhina dan rendah diri.


Hidup di Rumah Orang Lain

Sekalipun Anda menampakkan perasaan senang dan bahagia atas kehadirannya di tengah-tengah Anda, namun sang anak akan tetap bersusah-payah untuk dapat merasa senang dan bahagia tinggal di rumah Anda. Dan pada umumnya, ia merasa berutang kepada Anda. Karenanya, ia merasa terus terbebani seraya menanti-nantikan dirinya memiliki kekuatan agar dapat kabur dari rumah Anda.

Anak yatim yang tinggal di luar rumahnya, sekalipun mendapatkan curahan kasih-sayang, tetap merasa bahwa keberadaannya di rumah orang lain itu hanya menjadi beban belaka. Ia juga merasa tidak memiliki hubungan yang akrab dan harmonis dengan saudara-saudari angkatnya, serta selalu menyangka telah terjadi diskriminasi antara dirinya dengan saudara-saudari angkatnya. Inilah yang menyebabkan sang anak kemudian sering mengalami benturan dan melakukan keganjilan dalam kehidupan sosialnya.

Bila mengetahui keberadaan dirinya yang sebenarnya, seorang anak angkat tak akan lagi merasa aman dan merasa hidup dalam kondisi yang tidak mapan. Sampai-sampai ia tidak lagi mau mempercayai seluruh anggota keluarga barunya itu. Karenanya, ia menjadi begitu sensitif dan setiap saat ingin bertengkar dengan seluruh anggota keluarga angkatnya itu.

Ya, merawat anak angkat memang terbilang sulit dan amat memerlukan kesabaran, ketabahan, semangat, dan kebesaran hati, serta harus lebih berhati-hati dalam menernukan sikap terhadapnya. Usahakanlah agar sang anak angkat diarahkan sedemikian rupa agar merasa bahwa dirinya memiliki tempat dan posisi di rumah barunya itu.


Pahala Mengasuh Anak Yatim

Islam akan mengganjar pahala yang besar dan kedudukan yang mulia bagi orang yang mau mengasuh anak yatim; rumahnya adalah sebaik-baik rumah, sebab di dalamnya terdapat anak yatim yang disantuni dan seburuk-buruk rumah adalah rumah yang di dalamnya terdapat perlakuan buruk terhadap anak yatim.
Rasul saww bersabda, “Sebaik-baik rumah muslimin adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang disantuni dan seburuk-buruk rumah muslimin adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang diperlakukan secara buruk.” Beliau saww juga bersabda, “Sebaik-baik rumah adalah rumah yang di dalamnya terdapat anak yatim yang dimuliakan.”
Banyak hadis yang menjelaskan masalah ini. Pada kesempatan ini, kami akan menukil beberapa di antaranya:
1. Rasul saww bersabda, “Barangsiapa mengasuh anak yatim sampai ia merasa kecukupan, mala Allah mewajibkan atasnya surga.” Barangsiapa yang merawat dan mengasuh anak yatim di rumahnya, serta berusaha keras mencukupi kebutuhannya sehingga dirinya tidak merasa kekurangan apapun, niscaya Allah akan mengganjarnya dengan surga.
2. Rasul saww bersabda, “Barangsiapa mengundang anak yatim duduk di jamuan makannya dan mengusap kepalanya (anak yatim), maka ia akan memiliki hati yang lembut.”
3. Rasul saww bersabda, “Barangsiapa mengasuh anak yatim dari muslimin dan diikutsertakan dalam makan dan minumnya, maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga, kecuali bila ia telah melakukan suatu dosa yang tidak terampuni.”
4. Rasul saww bersabda, “Aku dan pengasuh anak yatim berada di surga seperti ini.” Aku dan para pengasuh serta perawat anak yatim akan tinggal bersama di surga seperti dekatnya posisi kedua jari ini.


Nasib dan Masa Depan Anak-anak Yatim

Nasib dan masa depan anak-anak yatim amat bergantung pada jenis keluarga yang dihuninya, serta pada proses pertumbuhan dan perkembangannya. Bagaimana hubungan Anda dengan anak tersebut? Apakah sang anak menyukai Anda? Sebagaimana yang dilaporkan hasil penelitian yang telah kita ketahui bersama, kondisi anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga angkat pada umumnya mengalami berbagai pe- nyimpangan perilaku sebagai berikut:
1. Sulit menjalin hubungan dengan sesama secara mendalam.
2. Gampang curiga tanpa alasan.
3. Mudah tersinggung dan emosional.
4. Cenderung melakukan pemalsuan dan penipuan.
5. Sulit berkonsentrasi.
6. Berjiwa lemah.
7. Cenderung bersikap pasif dalam menanggapi berbagai peristiwa yang terjadi.
8. Sebagiannya menderita gangguan jasmani dan ruhani.

Berdasarkan itu, kita dapat mengatakan bahwa rumah orang tua angkat tak pernah dapat menjadi rumah orang tua kandung sang anak. Sekalipun tak tertutup kemungkinan seorang anak justru merasa lebih nyaman dan senang tinggal di rumah orang lain ketimbang di rumah orang tua kandungnya sendiri. Ala kulli hal, dengan sering berpindah dari satu rumah ke rumah yang lain atau dari satu keluarga ke keluarga yang lain, dan hidup di luar rumah orang tua kandung dalam suasana yang tidak menyenangkan, akan menyebabkan sang anak menderita dan mengalami berbagai gangguan jasmani, ruhani, maupun emosinya.


Tempat Penitipan Anak

Pada usia pra-sekolah dasar, anak-anak Anda amat mem- butuhkan sosok ibu. Kebutuhan tersebut senantiasa ber- semayam dalam jiwa mereka. Seorang anak pada usia ini amat membutuhkan ikatan yang kuat dengan ibunya. Bahkan ia me-rasa takut berpisah denganya. Terlebih bila ayahanya telah meninggal dunia.

Sosok ibu adalah tempat berlindung sang anak. Tanpanya, sang anak akan merasa hidupnya tidak tenang dan tidak aman, Ya, seorang anak senantiasa ingin berada dalam pelukan dan pangkuan ibunya demi mereguk ketenangan dan keamanan. Terlebih seorang anak yang masih berusia tiga tahun ke bawah. Pada usia ini, ia amat membutuhkan curahan kasih-sayang yang amat mendalam. Semua itu tentu tak mungkin diperolehnya di tempat penitipan anak.

Sungguh keliru anggapan yang manyatakan bahwa tugas keluarga hanyalah melahirkan keturunan dan mencukupi makanan, pakaian, serta perlengkapan yang dibutuhkan sang anak. Institusi keluarga, khususnya ibu, juga memiliki berbagai tugas penting dan utama lainnya. Di antaranya, membangun kepribadian dan mendorong pertumbuhan emosi sang anak.

Kebahagiaan terbesar kaum ibu adalah sewaktu berhasil menjadi sosok ibu yang sebenar-benarnya; bersemangat dalam mendidik dan mengasuh anak-anak, serta berhasil mem- bebaskan mereka dari belenggu kekanak-kanakan seraya menghantarkan ke tahap kematangan berpikir dan kehidupan sosialnya.


Problem yang Timbul

Sebagai dampak dari abad produksi, teknologi, dan industri, hampir sebagian besar unit keluarga dengan berbagai alasan, telah mengenyampingkan nilai-nilai kasih sayang dan kehangatan suasana rumah tangga. Babkan para ayah dan ibu tanpa segan-segan lagi mengabaikan beban tugas dan tanggung jawabnya dalam mendidik serta mengasuh anak-anaknya. Ini jelas amat merugikan sang anak.

Kita tentu tidak mengingkari terdapatnya berbagai kesulitan dan jalan buntu dalam arung kehidupan ini yang berpotensi menghambat proses perjalanan alamiah seseorang. Karenanya, menurut syariat, dalam keadaan seperti itu, perkara yang semula diharamkan dapat menjadi mubah (dibolehkan). Namun sayang, banyak kaum ibu yang lantaran ingin mengejar sesuatu yang tidak berarti, atau demi mencari kesenangan pribadi, berusaha mengelak dari tugas serta tanggung jawab serta menitipkan buah hati mereka ke tempat penitipan anak.

Taman kanak-kanak atau tempat penitipan anak secara umum pada dasarnya merupakan produk dari abad industri. Di abad ini, para orang tua berusaha meraup penghasilan yang lebih besar, justru pada saat pihak perusahaan (tempat para orang tua tersebut bekerja) berusaha memberikan upah yang lebih kecil. Karenanya, demi memicu semangat kaum ibu dalam bekerja, kemudian disediakanlah tempat penitipan amak-amak mereka.

Inilah alasan menjamurnya tempat penitipan anak, dewasa ini. Dalam prosesnya kemudian, didatangkanlah orang-orang asing (bukan ibu si anak) guna merawat dan mengasuh anak- anak tersebut. Mereka itu lalu disebut dengan perawat, pengasuh, baby sitter, dan sejenisnya. Pada akhirnya, tempat penitipan anak ini daulat sebagai pengganti pangkuan dan pelukan ibu kandung yang paling absah.


Keadaan Dewasa Ini

Dewasa ini, tempat penitipan anak menjamur di mana-mana. Fenomena ini didorong oleh sejumlah faktor, antara lain, kian populernya pola kehidupan di rumah susun (kondominium), meledaknya jumlah penduduk, tak adanya keamanan di jalan- jalan dan lorong-lorong di lingkungan rumah, perubahan sistem kehidupan ekonomi rumah tangga (sehingga mengharuskan kaum ibu bekerja di luar rumah), dan yang paling terutama adalah munculnya persaingan ekonomi antarkeluarga.

Namun ada pula sebagian dari kaum ibu yang menitipkan anaknya di tempat penitipan anak lantaran menginginkan anaknya memperoleh pendidikan yang lebih baik dan sempurna. Mereka mengira bahwa di sana anak-anak akan mendapatkan pendidikan yang lebih baik ketimbang di rumah. Ini dikarenakan mereka menganggap dirinya tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk mendidik anak-anaknya.

Faktor pemicu utama bagi tumbuh-suburnya sejumlah tempat penitipan anak adalah kesibukan kaum ibu. Ya, kaum ibu semacam ini akan menitipkan anaknya ke tempat penitipan anak agar kesibukannya di rumah tidak diganggu sang anak. Faktor pemicu lainnya adalah keinginan sang ibu untuk menjadikan anaknya mampu mengucapkan beberapa patah kata bahasa Inggris, sehingga dirinya dapat memamerkan kemahiran anaknya itu di hadapan orang lain.


Sisi Positif

Tempat penitipan anak memiliki sejumlah sisi positif. Umpamanya, anak-anak bisa saling bermain, bercakap-cakap, dan bercerita satu sama lain. Di sana juga terdapat pertunjukan- pertunjukan khusus anak-anak, diberlakukannya kehidupan sosial dengan nuansa kekanak-kanakan, tersedianya ruang kebebasan untuk beraktivitas dam berkreativitas, terdapatnya peluang untuk mengembangkan daya imajinasi, serta terbukanya kesempatan untuk mempelajari dan mengenal tatacara hidup bermasyarakat.

Di sana anak-anak dapat menemukan keceriaan dan kesenangan, mengenali tugas dan tanggungjawabnya, menguatkan daya pikirnya, serta menumbuhkembangkan bakat dan potensinya. Berbagai informasi yang disampaikan kepada sang anak di sana tentu amat bermanfaat bagi kehidupannya di masa datang.

Lingkungan penitipan anak yang benar-benar baik dan terawat akan mendorong perubahan yang bersifat positif terhadap perilaku, kejiwaan, dan emosi sang anak. Perasaan takut, keresahan, dan berbagai gangguan syaraf lainnya niscaya akan lenyap. Bahkan, sikap kekanak-kanakannya pun boleh jadi akan ikut memudar. Selain itu sang anak juga akan memiliki kesanggupan untuk menghadapi berbagai kesulitan, menghormati undang-undang dan tatatertib, memiliki sikap dan perilaku yang relatif stabil, memberi arti bagi kehidupannya, serta mulai berjiwa sosial.


Sisi Negatif

Adapun sisi negatif dari tempat penitipan anak―sekalipun yang memiliki lingkungan dan sarana yang terbilang sangat baik dan lengkap―bagi proses pembentukan kepribadian sang anak antara lain, tak pernah mampu menyamai kualitas lingkungan rumah orang tua kandung yang senantiasa dipenuhi kehangatan kasih dan sayang. Perasaan seorang pengasuh tidak sama dengan perasaan ibu kandung. Karenanya, kebutuhan emosional sang anak pun menjadi kurang terpenuhi. Dengan menitipkan sang anak di tempat penitipan akan menjadikan proses pendidikannya dalam rumah terbengkalai begitu saja. Para pengasuh tidak menerima kehadiran sang anak secara murni dan tulus. Akhirnya, sewaktu merasa dirinya dipisahkan (dari lingkungan rumahnya), sang anak berangsur-angsur mulai kehilangan keceriaan dan kegembiraannya. Bahkan, sebagian dari mereka kemudian menderita gangguan emosional dan berusaha memperoleh ketenangan dengan cara menghisap jari, menggigit kuku, dan sebagainya.

Program yang dijalankan di tempat penitipan anak bersifat umum dan meliputi semua anak-anak yang dititipkan di dalamnya. Di sana tidak terdapat perhatian khusus terhadap selera dan citarasa masing-masing anak. Lagu-lagu yang dilantunkan di sana hanya membuat sang anak bersedih hati Di sana ia juga melintasi titian kehidupan yang bersifat semu seraya menantikan berlalunya hari demi hari. Sang anak hanya menunggu kapan dirinya akan pulang dari tempat tersebut demi berjumpa dengan ibunya yang terkasih. Segenap tekanan perasaan tersebut adakalanya bahkan menjadikan sebagian dari mereka mengalami gangguan jasmani; otot-ototnya tidak tumbuh sempurna lantaran tidak bersemangat untuk ber- aktivititas, cenderung berdiam diri, dan gampang marah.

Tempat penitipan anak juga cenderung mencetak kepribadian dan pola pikir sang anak yang berbeda dengan sebelumnya; kebiasaannya berbeda dengan kebiasaannya di rumah. Bahkan tak jarang pula sebagian mereka menjadi tahu tentang berbagai macam kata-kata cemoohan serta berani bersikap buruk terhadap orang tuanya. Ya, jiwa mereka tak akan tumbuh dengan sewajarnya ini disebabkan pelajaran-pelajaran yang mereka terima bersifat dangkal, tidak terperinci, dan kurang mendalam.

Dikarenakan sering berpisah (dengan rumahnya) dan selalu merasa kekurangan, sang anak umumnya akan memiliki perasaan yang sangat sensitif dan mudah menangis. Lebih dari itu, ia akan tumbuh menjadi pribadi yang gemar menipu dan berbohong, serta memiliki ketergantungan yang kuat terhadap ibunya. Selain itu, ia juga tak akan sanggup berjalan seiring dengan keluarganya lantaran memiliki dua jenis kedisiplinan; kedisiplinan rumah dan kedisiplinan tempat penitipan anak.


Perasaan Tanpa Perlindungan

Faktor terpenting yang dapat mnendorong anak-anak lari dari tempat penitipan anak adalah perasaan tidak aman. Sewaktu sang anak tidak lagi melihat ibunya, ia akan merasa takut dan tidak ingin kembali ke sana. Kecuali bila di tempat penitipan itu terdapat sosok yang dapat menarik hatinya dan menenangkan batinnya.
Tak jarang seorang anak, sekalipun sedang sibuk bermain, tiba-tiba teringat akan ibunya, lalu menangis dan memintanya datang. Dalam kondisi ini, apa yang harus dilakukan?

Bagaimana cara memenuhi insting kemanusiaannya itu? Berada jauh dari ibu, khususnya sewaktu menghadapi suatu bahaya, dapat menyebabkan sang anak mengalami gangguan emosional dan terjangkit penyakit psikosomatis. Semakin lama berada jauh dari ibunya, sang anak akan semakin merasa tidak aman.
Lantaran perasaan tidak aman ini, sang anak akan memeluk erat-erat ibunya dan tidak bersedia melepaskannya sampai kapanpun. Bahkan ia akan memohon kepada orang lain untuk tidak membiarkan sang ibu pergi meninggalkannya. Ia tidak bersedia pergi ke tempat penitipan anak tanpa disertai ibunya.

Seorang anak yang berada di tempat penitipan anak merasa bahwa ibunya tidak lagi mencintainya. Dalam benaknya terbayang bahwa bila sang ibu tidak berada di sampingnya, niscaya dirinya akan menghadapi berbagai marabahaya. Pada saat bersamaan, ia juga akan menganggap remeh dukungan dan pujian para pengasuhnya. Ya, ia merasa bahwa dirinya (tanpa didampingi sang ibu) dipaksa untuk memikirkan nasib kehidupannya sendiri.


Kekurangan Pengasuh

Boleh jadi para pengasuh di tempat penitipan anak terdiri dari orang-orang yang matang dan berpendidikan tinggi. Namun kekurangannya adalah mereka itu bukan orang tua kandung anak-anak asuhnya. Mereka hanyalah pegawai yang bekerja untuk pemerintah atau suatu lembaga tertentu. Dengan begitu, keinginan mereka lebih cenderung untuk mendapatkan upah ketimbang mendidik dan merawat anak-anak Anda.

Para penanggung jawab tempat penitipan anak dan para pengasuh yang bekerja di dalamnya, lantaran tidak merasa memiliki posisi yang tinggi di mata masyarakat, tidak mencurahkan perasaan hormat kepada anak-anak. Sebagian besar dari mereka terdiri dari orang-orang yang senantiasa sibuk memikirkan upah dan gajinya di akhir bulan. Sungguh sangat sedikit sekali di antara mereka yang masih gigih memikirkan nasib anak-anak orang lain yang diasuhnya, sekalipun upahnya sangat minim.

Adapun sekaitan dengan fakta bahwa sebagian besar dari para pengasuh tidak memiliki kriteria dan watak keibuan, sehingga benar-benar tidak layak menjadi perawat atau pengasuh anak, membutuhkan pembahasan tersendiri yang tidak akan kami paparkan dalam kesempatan ini.

Sebagian besar para pengasuh yang bekerja di tempat penitipan anak adalah kaum wanita. Sekalipun berwatak lemah-lembut dan penuh kasih-sayang, mereka tetap tidak mampu memenuhi kebutuhan anak-anak. Apalagi mengajarkan sikap kejantanan pada anak laki-laki. Inilah salah satu kekurangan lainnya.


Dampak Negatif

Berkenaan dengan berbagai sisi negatif tempat penitipan anak, kami telah mengisyaratkan sebagian dampak negatif yang mungkin timbul darinya. Sekarang, kami akan mengemukakan sejumlah dampak negatif lainnya. Dengan menitipkan sang anak di tempat penitipan anak, setidaknya Anda telah membuatnya menjadi seorang anak yatim, sehingga tak dapat lagi merasakan cinta kasih Anda. Tempat penitipan anak memang dapat membuat sang anak merasa senang dan bahagia. Namun, tempat tersebut bukanlah tempat berlindung yang aman baginya dan juga tak dapat dijadikan rumahnya sendiri.

Menitipkan sang anak di lingkungan yang tak disukainya akan menjadikan dirinya mengalami tekanan mental; selalu merasa bersedih, menganggap kehidupannya telah hancur, selalu gagal dalam belajar, dan kepalanya mudah pening.


Kondisi Tempat Penitipan Anak

Tempat tinggal anak adalah rumahnya sendiri, bukan panti asuhan atau tempat penitipan anak. Dan menghuni rumahnya sendiri merupakan hak setiap anak. Kedua orang tua, khususnya kaum ibu, berkewajiban untuk memenuhi haknya itu dengan terus memperbaiki kondisi kehidupan sang anak di rumah.

Dari hasil penelitian, diketahui bahwa panti asuhan dan tempat penitipan anak tidak mungkin menggantikan suasana hangat yang tercipta dalam kehidupan keluarga. Kecuali pabila anak-anak tersebut dalam kehidupan keluarganya justru menghadapi berbagai kesulitan yang sukar diatasi. Dari hasil penelitian di Rusia dan Palestina yang dilakukan para ahli pendidikan anak, diketahui bahwa anak-anak yang sering berada di tempat-tempat penitipan anak, cenderung mengalami kekurangan kasih-sayang serta tidak memiliki kepribadian dan emosi yang stabil.

Anak-anak benar-benar harus dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga. Ini bukan berarti mereka harus dipenjarakan di dalamnya. Namun, yang harus diusahakan adalah pada enam tahun pertama, mereka harus berada di samping ibunya serta bermain-inain dengan sanak-saudara dan anak-anak tetangga. Ini jelas akan lebih maslahat dan bermanfaat bagi mereka.


Keadaan Terpaksa

Namun, bila kaum ibu tak mampu mendidik, membesarkan, dan menanggung kehidupan anak-anaknya di rumah, atau kondisi kehidupan di rumah berpotensi menghambat dan mengganggu pertumbuhan dan pekembangan mereka, maka jalan terbaik untuk itu adalah menitipkan mereka (dengan terlebih dulu menjelaskan keadaan terpaksa tersebut kepada sang anak agar dirinya mampu beradaptasi dan menyenangi lingkungan barunya itu). Di antara sejumlah faktor yang mengharuskan anak-anak untuk tinggal di tempat penitipan anak adalah:
1. Sang ibu mengidap penyakit, khususnya depresi, sehingga memungkinkan sang anak mengalami berbagai benturan dalam hidupnya.
2. Pekerjaan dan kesibukan kaum ibu, sehingga menjadikan sang anak tidak mendapat pendidikan dan pengasuhan yang layak.
3. Kaum ibu tidak memiliki kesiapan untuk mendidik dan membina anak.
4. Hidup di tempat atau rumah yang serba sempit, seperti rumah susun (kondominium).
5. Sang ibu mengalami kerusakan moral.
6. Sang ibu memiliki ideologi yang menyimpang sehingga dapat mempengaruhi proses pembentukan pola pikir dan ideologi sang anak.
7. Pernikahan (kedua) sang ibu yang membentuk lingkungan keluarga baru tidak menyediakan perhatian dan perawatan selayaknya bagi sang anak. Keadaan ini akan mendorong sang anak merasa terkucil dan terbelenggu.
8. Sang ibu mengidap penyakit menahun, sehingga selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun hanya ter- baring di peraduan serta tidak sanggup merawat dan me- melihara anaknya.
9. Setelah menimbang masak-masak situasi dan kondisi yang ada serta demi meraih kebaikan dan kemaslahatan bagi sang anak.

Selain memperhatikan poin-poin tersebut, perlu juga ditambahkan bahwa bila seorang anak sering berada sendirian di rumah dan tak punya teman bermain, sementara ibunya tak dapat selalu menemaninya, maka sebaiknya ia dititipkan di tempat penitipan atau taman bermain anak (play group).

Anak-anak yang manja, sulit dididik di rumah, selalu diganggu anak-anak lain di rumahnya, ibunya senantiasa sibuk bekerja, atau yang merasa terganggu dengan kehadiran ayah tiri, dapat dititipkan ke tempat penitipan anak.

Namun perlu diperhatikan bahwa usia anak yang hendak dititipkan itu jangan sampai kurang dari empat tahun. Sejumlah pengalaman membuktikan bahwa anak-anak yang belum berusia empat tahun kemudian dititipkan di tempat penitipan anak, akan mengalami gangguan sikap dan perilaku yang cukup serius. Sebabnya, pada usia ini, sang anak masih membutuhkan tempat berlindung dan menyandarkan kehidupannya. Dan sosok ibulah satu-satunya tempat berlindung yang paling aman.


Syarat-syarat

Sekiranya Anda terpaksa menitipkan sang anak, usahakan- lah untuk memilih lembaga penitipan anak yang baik dan layak; halamannya luas, ruangannya bersih, dan cukup memperoleh sinar matahari. Secara umum, kondisi tempat tersebut jauh lebih baik dari kondisi rumah Anda, sehingga sang anak dapat menikmati kehidupan dan memperoleh pendidikan yang lebih baik.

Sarana yang tersedia juga harus mencukupi dan relatif lengkap. Itu dimaksudkan agar sang anak selalu bergembira, mampu berkreativitas dan beraktivitas sesuka hatinya, serta mendapat kebebasan dan pengawasan yang semestinya.

Dalam hal ini, Anda sendiri bertugas untuk mengantarkan sang anak ke tempat penitipan tersebut demi melembagakan kebiasaan yang baik dan akhlak yang luhur, mengembangkan emosinya secara wajar, mengasah potensi dan bakatnya, me wujdukan perasaan aman dan kepercayaan dirinya, me- ngenalkan kehidupan dunia, memperkuat kemandirian dan kemerdekaan dirinya. melatih keterampilan dan mengenalkan keindahan, serta menyediakan lahan yang subur bagi tumbuh- nya keyakinan yang benar.


Syarat-syarat Ruangan Kelas dan Pengasuh

Ruangan kelas harus luas dan memadai, penuh hiasan, meja kursinya bagus dan indah, serta sesuai dengan ukuran anak- anak―sehingga mereka mampu bergerak leluasa dan para pengasuh dapat duduk di samping mereka.

Para pengasuh di kelas harus terdiri dari orang-orang terdidik, menyukai anak-anak, mampu menciptakan hubungan baik dengan anak-anak, penyabar dan telaten, berjiwa dan bersikap tenang, memiliki akhlak terpuji, serta sedapat mungkin sudah berkcluarga dan memiliki anak. Para pengasuh haruslah orang-orang yang menyayangi dan mengasihi anak-anak, serta selalu berusaha memperhatikan, mengenal, dan memenuhi segenap kebutuhan serta keinginan mereka.

Dalam hal ini, kami tak terlalu mempermasalahkan tingkat pendidikan formal para pengasuh. Penekanan kami hanyalah agar mereka memiliki sifat serta kepribadian yang baik. Kriteria yang harus dipenuhi seorang pengasuh adalah menyukai ihwal rawat-merawat, berlatar belakang pendidikan formal paling minimal, sehat akal dan jasmaninya, penyabar, cenderung bermusyawarah dan berdiskusi, bermuka manis dan murah senyum, serta tidak memiliki kepekaan yang berlebihan.

Selain itu, dalam mengasuh dan mendidik anak-anak, dirinya harus mampu menumbuhkan keberanian sang anak dalam berbicara dan mengemukakan pendapat. Dirinya juga harus mampu bersikap sabar dalam menghadapi kekurangan dan ketidaktahuan sang anak, tidak mudah naik pitam sewaktu menyaksikan sang anak melakukan kesalahan, serta tidak suka mencampuri urusan sang anak.


Hubungan Anak dan Ibu

Tempat penitipan anak harus menyediakan sarana yang menghubungkan antara para penanggung jawab dengan ibu sang anak bila sewaktu-waktu terdapat suatu keperluan. Umpama, pesawat telepon.
Ini mengingat tempat penitipan anak rawan terhadap timbulnya kecelakaan ringan ataupun berat, terjadinya gangguan kesehatan pada sang anak, atau perkelahian antar-anak. Dalam seluruh kondisi ini, jelas amat diperlukan kehadiran seorang ibu.

Para penanggung jawab tempat penitipan anak harus menetapkan orang yang bertanggungjawab untuk menyampai- kan kabar kepada ibu sang anak. Itu dimaksudkan untuk berjaga-jaga bila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada diri sang anak; untuk membawa sang anak ke rumah sakit atau ke pangkuan ibunya.


Kembali ke Rumah

Dalam keadaan terpaksa, tentu sah-sah saja bila Anda menitipkan anak Anda ke tempat penitipan anak, dan di sore hari membawanya pulang ke rumah. Boleh jadi pula, anak Anda akan terbiasa dengan kondisi semacam itu―bahkan begitu gembira dan berlari mendahului Anda sewaktu hendak berangkat menuju tempat penitipan anak. Namun, itu jangan sampai membuat Anda lupa diri. Sebab, mungkin saja sang anak berbuat demikian lantaran dirinya merasa tak punya pilihan selain tinggal di tempat penitipan anak. Alhasil, Anda berutang kepadanya.

Sebelum sang anak memasuki sekolah dasar, sementara Anda punya kesempatan untuk mengeluarkannya dari tempat penitipan anak, segeralah kembalikan dirinya ke rumah. Agar dalam persiapannya memasuki sekolah dasar, ia senantiasa berada di samping Anda dan mampu merasakan dari dekat curahan perasaan cinta, kasih, dan sayang Anda. Ijinkanlah dirinya untuk hidup normal dan alamiah. Dalam usaha menumbuhkan dan mengembangkan kepribadian sang anak, Anda harus menyediakan lingkungan alamiah yang dibutuhkan- nya. Kami perlu tegaskan kembali kepada Anda bahwa― apapun alasannya―jangan sesekali membiarkan sang anak berada di tempat penitipan anak sepanjang siang dan malam. Alangkah lebih baiknya bila ia tinggal bersama saudara-saudari Anda, atau berada dalam rangkulan keluarga angkat.


Pentingnya Penentuan Waktu

Sewaktu Anda tak sanggup mengasuh dan merawat sang anak di rumah. kemudian menitipkannya di tempat penitipan anak, segeralah menjemputnya di sore hari dan jangan sampai dirinya dibiarkan menunggu terlalu lama. Dalam menanti kedatangan Anda, sang anak merasakan satu menit seperti satu jam, dan satu jam seperti satu hari.

Sesampainya di rumah, sediakanlah waktu untuk bermain bersamanya; buatlah dirinya merasa senang dan tertawa. Itu dimaksudkan agar dirinya melupakan pahitnya perpisahan di siang hari (dengan ibunya). Paling tidak, ia akan berkeyakinan bahwa di sore hari ibunya akan datang menjemputnya dengan wajah ceria.

Boleh jadi sang anak menceritakan kepada Anda tentang kejengkelannya terhadap sang pengasuh, atau menangis lantaran berselisih dengan teman-temannya. Dalam keadaan demikian, hiburlah dan tenangkanlah hatinya. Yakinkanlah dirinya bahwa Anda siap menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi antara dirinya dengan sang pengasuh. Dengan demikian, niscaya ia akan mempercayai pertolongan dan dukungan Anda.
Cukuplah sang anak menanggung beratnya beban aturan dan disiplin di tempat penitipan anak. Jangan lagi Anda memberlakukan aturan yang ketat serta membebaninya dengan pelbagai tugas yang berat di rumah.

Buatlah hatinya senang dan pikirannya tenang. Di rumah, upayakanlah agar dirinya menjadi anak yang dicintai. Perlihatkanlah kepadanya bahwa Anda menyukainya. Katakanlah kepadanya bahwa alasan Anda menitipkannya di tempat penitipan anak lebih dikarenakan pekerjaan dan kesibukan semata, bukan lantaran Anda kurang mencintainya.


Mengambil Hati Anak

Janganlah Anda merasa lega dan senang sewaktu menyerahkan beban pendidikan sang anak ke tempat penitipan anak. Anda tetap harus berusaha mengambil hati sang anak. Ini dimaksudkan agar dirinya senantiasa berharap terhadap dukungan serta curahan kasih-sayang Anda. Bila tidak, niscaya Anda tak akan sanggup mengendalikannya.

Cara untuk menarik dan mengambil hati sang anak adalah dengan mencurahkan perasaan kasih dan sayang, menjalin hubungan persahabatan, bermain bersama, merawat dan menjaganya, membelai rambutnya, mengelus kepalanya, serta mencium dan merangkulnya. Semua itulah yang amat diharap- kan seorang anak dari ibunya.

Perdekat dan pereratlah hubungan Anda dengan sang anak, sampai dirinya yakin bahwa Anda benar-benar mencintainya. Ketika berada di tempat penitipan anak, ciumlah sang anak di hadapan para pengasuhnya seraya berpesan kepada mereka untuk menjaga dan merawatnya. Dengan cara itu, niscaya sang anak akan berbangga dan merasa senang. Kalau me- mungkinkan, jenguklah sang anak di siang hari. Itu agar dirinya merasa dekat dengan Anda dan semakin percaya bahwa Anda mencintai dan menyayanginya.


Sekolah dan Tata Tertib

Dalam kehidupan seorang anak, lembaga sekolah memiliki peran yang cukup menenentukan. Pola awal kehidupan sang anak akan terbentuk di sana. Lembaga sekolah dapat menjadi salah satu faktor terpenting dalam mendorong individu untuk hidup bermasyarakat serta menyerap berbagai pengetahuan dan informasi yang diperlukan demi memenuhi kebutuhan hidup dan kemandiriannya.

Sekalipun sebagian besar anak-anak merasa takut dan tidak senang terhadap lembaga sekolah, namun mereka juga berharap untuk memasukinya. Sebabnya, mereka tahu bahwa dengan masuk sekolah, mereka dapat mengetahui dan menjalankan tugas serta kewajibannya. Sejak sang anak mulai mampu berjalan hingga mendekati usia masuk sekolah, Anda harus menghilangkan ketakutan yang membayang dibenaknya sekaitan dengan keberadaan lembaga sekolah. Sebaliknya, berusahalah untuh menyajikan gambaran yang indah dan menyenangkan tentangnya.

Kalau perlu, bawalah sang anak ke depan sebuah sekolahan agar dirinya menyaksikan langsung keluar masuknya anak-anak yang belajar di dalamnya. Lama kelamaan ia akan mulai terbiasa dengan lingkungan tersebut. Seraya itu, akan tumbuh pula di lubuk hatinya kesukaan dan kerinduan untuk masuk sekolah. Usahakanlah pada saat itu sang anak tidak me- nyaksikan para penanggung jawab lembaga sekolah sedang menyampaikan perintah dan larangan keras di halaman sekolah. Apalagi sampai menyaksikan suasana kekerasan dan perkelahian yang terjadi di situ―sekalipun di lembaga sekolah selayaknya tidak sampai terjadi tindak kekerasan atau perkelahian.


Situasi dan Kondisi Sekolah

Situasi dan kondisi lembaga sekolah amatlah penting bagi sang anak. Anda harus benar-benar cermat dan teliti dalam memilih dan menentukan sekolah baginya. Ia harus ditempatkan di sebuah sekolah yang menjalankan sistem pendidikan yang baik, serta memiliki situasi dan kondisi yang kondusif untuk menghantarkannya ke masa depan yang gemilang.

Kepala sekolah, para guru, dan para pengasuh sekolah harus mampu berperan sebagai ayah bagi anak Anda. Ya, selain menjaga kedisiplinan sena menjalin hubungan yang dekat dan akrab dengannya, mereka juga harus mengisi kekosongan kasih- sayang sang ayah.

Jenis sekolah yang Anda pilih sebaiknya sekolah umum, bukan sekolah khusus anak-anak yatim, agar dirinya dapat hidup dan bermain bersama anak-anak yang bukan yatim. Alhasil, yang terpenting dari semua itu adalah lembaga sekolah yang dimaksud memiliki lingkungan dan sarana yang lengkap dan layak, serta memiliki sistem pendidikan yang baik dan benar.


Program Pendidikan Sekolah

Topik persoalan kali ini adalah, pengetahuan, keahlian, dan keterampilan seperti apa yang harus diajarkan kepada anak- anak? Anak-anak yatim memang harus memperoleh pendidikan dasar di lembaga sekolah, serta diberi informasi yang di perlukan sesuai dengan tingkat usia dan jurusan pendidikan masing-masing.

Namun semua itu belumlah cukup. Ingat, mereka adalah keturunan dan warisan para syuhada yang amat berharga serta selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Lebih lagi, dalam waktu dekat mereka akan punya peran cukup besar dalam menentukan nasib masyarakat. Karena itu, mereka harus mendapatkan paket program sebagai berikut:
1. Pendidikan dan pelajaran keislaman. Ini dikarenakan mereka adalah kekayaan Islam.
2. Pendidikan akhlak yang merupakan pilar utama yang akan menopang hubungan dan pergaulan manusiawi yang kelak dijalinnya.
3. Pendidikan kemasyarakatan: kerja sama, gotong-royong, pengorbanan, kemerdekaan, dan kebebasan. Mereka juga harus diberi pelajaran tentang kemandirian, agar dalam waktu dekat mampu berdikari dan hidup mandiri. Dalam hal ini, pihak sekolah harus mengerahkan seluruh upayanya untuk mendidik, menumbuhkan, serta menempa jasmani, ruhani, dan akhlak mereka.


Metode dan Penanganan

Berdasarkan tuntutan untuk menumbuhkan dan me- ngembangkan potensi sang anak dengan pesat, sehingga pada gilirannya ia mampu meraih tujuan dan cita-citanya, kita harus menggunkan metode pendidikan yang paling efektif. Ini mengingat kesempatan yang tersedia amatlah terbatas. Sementara pula, masyarakat amat menanti-nantikan kehadiran para individu yang layak menggantikan posisi mereka.

Proses pendidikan―sebagaimana telah disebutkan di atas―seyogianya lebih dititikberatkan pada penanaman prinsip-prinsip keislaman. Dengan kata lain, sang anak harus diarahkan dan dibimbing di jalur Islam. Tak diragukan lagi, institusi keluarga, khususnya kaum ibu, harus menyediakan pelbagai sarana yang dibutuhkan bagi terlaksananya proses pendidikan semacam itu.

Dalam proses pendidikan, amat diperlukan perhatian yang fokus terhadap kondisi kejiwaan dan emosional sang anak. Perilaku para penanggung jawab sekolah yang lemah-lembut dan penuh kasih akan menjadikan sang anak merasa senang, memiliki keterikatan batin, dan terkurangi beban kesedihannya akibat kematian sang ayah. Para penanggung jawab sekolah seyogianya mampu menciptakan perasaan aman dan tenteram dalam jiwa sang anak agar kelak tidak mengalami benturan atau gangguan apapun.

Sikap dan perilaku buruk para guru terhadap mereka niscaya akan merusak hubungan yang terjalin antara mereka dengan sang anak, sekaligus menghambat laju pendidikannya. Karenanya, para guru harus mengetahui dan memahami betul kondisi kejiwaan dan emosional sang anak yang boleh jadi kurang normal dan labil lantaran kematian ayahnya.


Perilaku Guru dan Pendidik

Pada dasarnya para guru wajib mengemban tugas dan tanggung jawab dalam mendidik serta mengasuh anak sebagaimana sosok ayah dan ibu. Sekalipun dalam hal ini sang anak tidak dapat bermanja-manja serta tidak dapat meng- harapkan belaian dan curahan kasih-sayang dari mereka. Semenjak masuk ke dalam kehidupan sang anak, kedudukan dan pelajaran yang disampaikan sang guru akan senantiasa melekat dalam jiwa sang anak sampai akhir hayatnya.

Berdasarkan itu tentu diperlukan sosok guru yang patut diteladani, konsisten, manusiawi, bertakwa, dan sudah ber- keluarga―bahkan diusahakan telah memiliki anak. Ya, sosok guru dimaksud harus memiliki filosofi hidup yang jelas, serta tulus dalam bekerja dan beramal, sehingga nantinya dapat menebarkan pengaruh positif kepada anak-anak didiknya.

Seorang guru teladan harus mampu berperan sebagai ayah bagi anak laki-laki, seraya terus menjaga kedisiplinan dan me- numbuhkan keberanian dalam jiwanya. Dengan sifat kebapakannya, ia harus berusaha mengembangkan potensi dan bakat yang terpendam dalam diri sang anak, serta membentuk kejiwaannya. Ia juga diharapkan dapat menjadi sosok yang sanggup mengasah kemampuan sang anak untuk hidup ber- masyarakat, menyeimbangkan kepekaannya, mengembangkan keahlian dan keterampilan dirinya, serta tumbuh menjadi orang yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga bagi masyarakatnya.


Tempat Bergaul Anak

Di antara tugas para orang tua serta pengelola lembaga sekolah adalah mengontrol dan mengawasi teman bergaul sang anak. Kita semua tahu tentang betapa besar pengaruh pergaulan terhadap keberhasilan dan kesengsaraan sang anak di masa depan. Kebanyakan anak yang suka bergaul dan berteman dengan anak-anak amoral dan asusila, cenderung mengabaikan nilai-nilai moral yang sebelumnya ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Dan ujung-ujungnya, mereka pun ter- jerembab ke dasar jurang kesengsaraan dan penderitaan.

Sungguh besar pengaruh kejiwaan dari teman bergaul terhadap kepribadian seorang anak yang berusia tiga hingga sembilan tahun. Sebab, pada usia tersebut, sang anak cenderung gampang menerima situasi dan kondisi yang ada, serta belum memiliki kemampuan untuk mengetahui bahaya yang dapat mengancam keselamatannya. Anak-anak yang berusia remaja dan telah akil balig juga masih berada dalam ancaman pengaruh teman sepergaulan. Karenanya, pihak sekolah harus tetap mengawasinya.


Kerjasama Keluarga dengan Sekolah

Proses pendidikan dan pembinaan anak Anda akan sia-sia belaka bila Anda mengira bahwa Anda tak lagi bertugas dan bertanggung jawab dalam mendidik serta membina sang anak setelah menyerahkannya ke sekolah. Atau membayangkan bahwa para penanggung jawab sekolah telah mengambil alih tugas dan beban Anda itu.

Sebagaimana dikatakan Amirul Mukiminin Ali bin Abi Thalib, Anda memang berkewajiban untuk memilihkan bagi sang anak, sosok guru dan pendidik yang mampu menjaga agama dan dunianya, shalih dan beriman, ilmunya telah menyatu dengan kesabarannya, dan sebagainya. Namun, Anda juga harus menjalin kerja sama dengan pihak sekolah, rajin keluar-masuk sekolah, dan bertukar pikiran dengan para penanggungjawabnya.
Sungguh keliru bila Anda mengharapkan pendidikan sang anak berhasil baik sementara Anda tidak menjalin kerja sama dengan pihak sekolah. Kerja sama Anda dengan pihak sekolah akan kian mempercepat laju pertumbuhan sang anak serta menutup pelbagai celah yang dapat membahayakan ke- selamatannya. Kalau Anda siap memberikan bantuan kepada pihak sekolah, niscaya akan banyak kasus kesulitan dan kesalahpahaman antara guru dan anak Anda sebagai muridnya dapat teratasi.

Benar, sang guru mengenal anak Anda, serta sedikit banyak mengetahui karakter, akhlak dan perilakunya. Namun tanpa bantuan dan pertolongan Anda, ia tak akan mampu memahami kepribadian anak Anda dengan jelas dan pasti, sehingga tak dapat menentukan sikap serta keputusan yang tepat. Kerja sama Anda dengan para penanggung jawab sekolah akan menutupi kekurangan tersebut serta mencegah kemunduran sang anak dalam hal belajar.


Hubungan Guru dan Murid

Salah satu faktor pemicu terjadinya pertumbuhan dan perkembangan anak didik adalah hubungan guru dan murid. Terjalinnya hubungan yang baik dan harmonis antara guru dan murid akan menciptakan ketenangan dan perasaan aman dalam hati para murid. Dan pada gilirannya, itu akan memperlancar proses pendidikan dan pembinaan mereka. Pada minggu-minggu pertama sekolahnya, seorang anak akan sedikit mengalami kesulitan untuk berpisah dengan ibu dan lingkungan hangat keluarganya. Namun, bila kemudian merasa bahwa gurunya menyukai dan mencintainya, niscaya ia akan rajin masuk sekolah dengan penuh sukacita.
Pada hakikatnya, sosok guru berperan sebagai pengganti ayah dan ibu. Guru lelaki seyogianya menyatakan kepada anak- anak didiknya bahwa ia adalah pengganti ayah mereka dan akan berusaha membina mereka sebaik mungkin. Adapun guru perempuan merupakan mitra kaum ibu dalam membimbing dan mengarahkan anak-anak didiknya yang berjenis kelamin perempuan. Karena itu, para guru harus berusaha menyatukan persepsi dan pemikirannya dengan ibu sang anak, demi merancang rencana pertumbuhan dan perkembangan anak-anak didiknya itu.


Pengawasan Pendidikan

Guru merupakan sosok pengawas pelajaran dan pendidikan anak-anak serta akan selalu berusaha agar anak-anak didiknya tidak sampai ketinggalan atau mengalami kemunduran. Namun, perlu diperhatikan bahwa proses pengawasan terhadap sang anak didik tersebut utamanya harus dilakukan pada tahun-tahun pertama sekolahnya. Dan setiap kali sang anak menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, maka proses pengawasan tersebut juga harus kian diperluas.

Pada tahun-tahun pertama di sekolah, anak perempuan biasanya jauh lebih baik dalam hal prestasi belajar ketimbang anak lelaki. Ya, anak perempuan biasanya memperlihatkan perkembangan yang luar biasa. Namun, sewaktu memasuki usia remaja dan akil balig, anak perempuan justru akan menghadapi pelbagai masalah yang bisa berakibat fatal baginya. Pada masa ini, jelas ia perlu diawasi secara ekstra ketat. Tentunya kekhawatiran yang sama juga harus diarahkan kepada anak lelaki yang telah mencapai usia balig. Sekalipun bobotnya tidak lebih besar ketimbang terhadap anak perempuan.

Tugas para guru di sekolah adalah mengevaluasi kegiatan para murid secara rutin, memberitahukan hasilnya kepada pihak keluarga, serta mencarikan jalan keluar bagi proses pembenahan dan perbaikan kepribadian mereka. Betapa banyak problem yang dihadapi anak-anak dalam proses belajarnya, dapat terselesaikan lewat pelaksanaan program yang dirancang para guru dan staf pengajar. Dengan demikian, kerja sama antara pihak sekolah dan keluarga, serta pemberian saran atau kritikan yang membangun, akan membuka jalan bagi para guru untuk membenahi serta mencegah anak-anak muridnya dari bahaya kemunduran dan ketertinggalan pelajaran.

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: