Pesan Rahbar

Home » » Mimpi Imam Kartosoewirjo Ganti Pancasila Berujung Regu Tembak

Mimpi Imam Kartosoewirjo Ganti Pancasila Berujung Regu Tembak

Written By Unknown on Sunday 4 June 2017 | 12:37:00

Kartosoewirjo. (hari terakhir Kartosoewirjo)

"Kami ummat Islam bangsa Indonesia menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia, maka hukum yang berlaku atas Negara Islam Indonesia itu ialah Hukum Islam."

Sebaris kalimat tersebut dibacakan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo sang Imam Negara Islam Indonesia. Tepat 12 Syawal 1368 Hijriah atau 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Saat itu kondisi Republik Indonesia yang masih sangat muda sedang terombang-ambing. Akibat perjanjian Renville, Belanda hanya mengakui Jawa tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia.

TNI pun diperintahkan hijrah dari Jawa Barat dan Jawa Timur ke wilayah republik. Divisi Siliwangi di Jawa Barat pun terpaksa meninggalkan wilayahnya menuju Yogyakarta dan Solo.

Kartosoewirjo menilai keputusan Perdana Menteri Amir Syarifuddin ini sangat merugikan Republik Indonesia. Dia dan sejumlah laskar bersenjata menolak ikut hijrah.


Di tengah kekosongan bersenjata itu, Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya negara Islam Indonesia yang diberi nama Darul Islam. Tentaranya dinamakan Tentara Islam Indonesia.

Kartosoewirjo sejatinya kawan akrab Soekarno. Saat masih belia, Soekarno , Muso dan Kartosoewirjo sama-sama ngekos di rumah Tjokroaminoto di Surabaya.

Tapi tiga sekawan itu akhirnya memilih ideologi dan jalan yang berbeda. Musso memimpin pemberontakan PKI Madiun melawan Soekarno. Sementara Kartosoewirdjo berideologi kanan, berseberangan dengan Soekarno yang nasionalis.

Perang gerilya berkobar di belantara Jawa Barat. Sejumlah tokoh di daerah lain kemudian turut mengangkat sumpah setia pada Imam Kartosoewirjo. Amir Fatah di Jawa Tengah, Kahar Muzakar di Sulawesi Selatan, Ibnu Hajar di Kalimantan dan Teuku Daud Bereuh di Aceh.

Pemberontakan DI/TII ini merupakan perlawanan bersenjata dan terberat yang harus dihadapi TNI. Tak cuma harus menghadapi Belanda saat pulang dari hijrah, Divisi Siliwangi juga direpotkan dengan serangan gerombolan Darul Islam.

Semua yang menentang Kartosoewirjo dianggap sebagai musuh. Sejumlah ulama dan tokoh Islam di Jawa Barat yang berseberangan dengan Darul Islam juga ikut diserang olehnya.

Salah satu yang dimusuhi Kartosoewirjo adalah Kiai Yusuf Tauzirie, seorang ulama kharismatik dari Cipari, Garut. Ribuan pasukan DI/TII menyerang pesantren milik Kiai Yusuf. Namun sang Kiai tak mau menyerah, dengan senjata seadanya dia berhasil memukul mundur pasukan penyerang.

Perlawanan bersenjata DI/TII berlarut-larut. Panglima Siliwangi Kolonel Alex Kawilarang sampai merasa perlu membentuk unit pasukan khusus untuk menghadapi gerombolan itu. Tahun 1953, Kawilarang memanggil Mohammad Idjon Djanbi untuk membentuk pasukan komando Teritorium III Siliwangi. Pasukan inilah yang kelak menjadi cikal bakal Kopassus TNI AD.


"Misi pertama kami mengejar gerombolan DI/TII di sekitar Garut dan Tasik," kata Anta, seorang pensiunan prajurit baret merah itu pada merdeka.com.

Beberapa kali pasukan elite ini hampir bisa menangkap Kartosoewirjo. Namun beberapa kali pula Sang Imam diselamatkan kondisi alam.

Kartosoewirdjo juga beberapa kali memerintahkan anak buahnya menghabisi Soekarno. Alasannya, pemerintahan Soekarno berdasar Pancasila, bukan Islam.

"Soekarno menyatakan bahwa Indonesia harus berdasarkan Pancasila, bukan Islam. Sebagai jawaban atas tantangan ini kita harus membunuh Soekarno," kata Kartosoewirjo.

Percobaan pembunuhan yang paling terkenal adalah peristiwa Cikini dimana mobil Soekarno dilempar granat. Lalu ada juga penembakan saat Soekarno sedang Salat Idul Adha di Istana Negara. Namun Bung Karno bisa lolos dari percobaan pembunuhan itu.


Akhir Perlawanan Kartosoewirjo

TNI AD beberapa kali mengubah pola untuk menghadapi Kartosoewirjo. Mereka menggunakan cara persuasif merangkul para gerilyawan untuk turun gunung. TNI meminta anak buah Kartosoewirjo kembali ke masyarakat dengan damai.

Seruan itu berhasil. Sejumlah pengikut Kartosoewirjo kemudian menyerah. Termasuk para tokoh kunci di tubuh DI/TII. Masyarakat Jawa Barat yang sudah lelah dengan konflik pun membantu TNI menjalankan operasi pagar betis.

Kartosoewirjo akhirnya berhasil ditangkap di Gunung Geber, Jawa Barat, pada 4 Juni 1962 dan dieksekusi mati tiga bulan kemudian. Pasukan yang berhasil menangkap Kartosoewirjo Kompi C Batalyon 328 Kujang II/Siliwangi, di bawah Komandan Kompi Letnan Dua (Letda) Suhanda.

Berakhirlah petualangan Kartosoewirjo dan pengikutnya setelah 13 tahun angkat senjata. Imam Besar DI/TII ini dijatuhi hukuman mati di sebuah pulau sunyi di Kepulauan Seribu.

Puluhan tahun kemudian, foto-foto eksekusi mati Kartosoewirjo baru terungkap. Adalah Sejarawan Fadli Zon yang mendapatkannya tahun 2012 lalu.

Keluarga Kartosoewirjo mengaku sudah ikhlas menerima takdir tersebut. Mereka bersyukur akhirnya ada kejelasan soal nasib sang ayah walaupun pahit.


Sebelumnya beredar informasi simpang siur soal Kartosoewirjo. Ada yang bilang sang Imam hilang, tak mempan ditembak dan saat dieksekusi pelurunya mental.

"Ini meluruskan sejarah. Dalam kepercayaan kami memang semua manusia akan mati. Eksekusi ini membuktikan kalau Kartosoewirjo juga manusia biasa," kata anak bungsu Kartosoewirjo, Sardjono.

Sardjono tak mau sang imam disakralkan. Dia ingin ayahnya diperlakukan seperti manusia biasa. Didoakan, bukan dimintai doa seperti orang suci atau nabi.

Putra keempat Kartosoewirjo, Tahmid menyampaikan sang ayah tak pernah mewariskan dendam.

"Bapak pesan agar anak-anaknya jadi Muslim dan mujahid sejati yang baik," katanya.

(Merdeka/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: