Ketika sebagian besar kiai NU menentang Demokrasi Terpimpin dan Nasakom Sukarno, Idham Chalid bersikap sebaliknya. Air jadi filosofi berpolitiknya.
Kiai Nahdlatul Ulama (NU) itu ada dua macam: kiai-politisi dan kiai-pesantren. Kiai-pesantren hanya menjadikan NU sebagai wadah perjuangan sosio-religius dan lebih betah di pesantren ketimbang di parlemen. Kiai-politisi sebaliknya: menjadikan NU sebagai kekuatan politik. Idham Chalid masuk kategori kedua.
Idham tangkas berakrobat tapi bukan sembarang akrobat. Sebagai politisi, Idham lebih memilih jalan negoisasi daripada konflik kontroversial. Sebagai ulama, dia berjuang demi terbentuknya kestabilan kondisi umat di akar rumput tapi juga bersikap fleksibel tanpa harus terlepas dari jalur dan tradisi Islam.
Menurut Idham, seperti termuat dalam Idham Chalid: Guru Politik Orang NU karya Ahmad Muhajir, politisi yang baik mestilah memahami filosofi air. Apabila air dimasukkan di dalam gelas, ia akan berbentuk gelas; bila dimasukkan ke dalam ember, ia akan berbentuk ember; bila dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Air juga selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika disumbat atau dibendung, ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal, ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia.
Di ranah politik, Idham menganggap NU harus ikut dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini menurutnya lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru menyulitkannya untuk bergerak.
Prinsip politik Idham adalah berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat. Karena itu, tak harus kaku dalam bersikap, sehingga kesejahteraan fisik dan spiritual umat selalu terjaga. Apalagi situasi politik di masa itu (Demokrasi Terpimpin) mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa serta partai-partai politik radikal.
Ketika sebagian besar kiai NU tidak suka Demokrasi Terpimpin-Sukarno dan Nasakom (Nasionalis Agamis dan Komunis), Idham –bersama Wahab Hasbullah dan Saifuddin Zuhri–justru mendukungnya.
Menurut Greg Fealy, sejarawan politik dari Australia National University dan penulis buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, situasi politik memaksa Idham melakukan itu. Jika dia tak mendukung Demokrasi Terpimpin, ini akan membahayakan NU dan karier politiknya. Kalau NU tak meniru retorika Sukarno, posisi NU terancam dan disudutkan. Jika NU disudutkan dan terancam maka tidak ada ormas Islam besar lagi yang masuk sistem politik. Hanya dengan NU umat Islam bisa terwakili.
Takut bernasib tragis seperti Masyumi dan tokoh-tokohnya yang dijebloskan ke penjara, NU, PSII, Perti, dan HMI mendukung Nasakom dan Demokrasi Terpimpin. Kebijakan untuk mendukung Sukarno ini jauh sebelumnya telah tampak, yaitu pada saat sejumlah ulama NU dan Perti menganugerahkan gelar waliyyul ‘amri kepada Presiden Sukarno di Istana Cipanas, Bogor, pada 1953, sebuah legitimasi keagamaan yang memperkokoh kedudukan Sukarno sebagai pemimpin negara. Legitimasi ini kemudian dikukuhkan dalam musyawarah para dekan IAIN di bawah pimpinan Prof RHA Soenarjo, seorang tokoh NU, di Purwokerto pada 6-7 Oktober 1962.
Sokongan NU kepada pemerintahan Sukarno makin tampak saat mendukung keputusan MPRS untuk menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan yang dikeluarkan pada sidang MPRS tanggal 18 Mei 1963 itu ditandatangani oleh Ketua dan para Wakil Ketua MPRS, yaitu Chairul Saleh (Murba), Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI), dan Wilujo Puspojudo (militer).
“Keterlibatan dalam demokrasi bagi pandangan politik NU adalah mendukung pula keberadaan kaum nasionalis, komunis, dan sebagainya. Tapi preferensi mereka adalah ingin membubarkan PKI,” kata Greg kepada Hatib, seperti dimuat dalam www.crcs.ugm.ac.id.
“Komunisme, seperti halnya anjing, adalah najis. Tapi Sukarnoisme tidaklah najis, karena dia bukan komunisme. Paling banter Sukarnoisme itu adalah seperti anjing laut dan sebagaimana Anda tahu anjing laut menurut Islam tidaklah najis,” kata Idham seperti dikutip H. Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66.
Idham lahir pada 27 Agustus 1921 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Dia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin. Saat berusia enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Dia mendapat pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor. Pada usia 30 tahun, Idham sudah dipercaya sebagai sekretaris jenderal PBNU. Empat tahun kemudian, pada 1956, dia menjadi Ketua Umum PBNU hingga 1984. Dia menjadi Ketua Umum PBNU termuda (di usia 34 tahun) dan terlama (selama 28 tahun). Sebagai kiai, dia tergolong loyalis Sukarno.
Penyusunan kabinet hasil Pemilu 1955 berlangsung alot. Sukarno mendesak agar unsur PKI masuk dalam kabinet, yang disebutnya sebagai Kabinet Kaki Empat (PNI, Masyumi, NU, PKI). Namun, Ali Sastroamidjojo (PNI), Mohammad Roem (Masyumi), dan Idham Chalid (NU) menolak dengan keras usul Sukarno itu.
Setelah setengah bulan, Sukarno akhirnya menerima susunan kabinet yang diajukan Ali. Namun, Sukarno tak bersedia memimpin pengambilan sumpah menteri kabinet. Presiden hanya menyaksikan setiap menteri membaca teks sumpah sendiri-sendiri, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Idham menanyakan keganjilan itu pada Ali. “Kalau Sukarno tidak senang, memang begitu,” kata Ali seperti dikutip Asro Kamal Rokan dalam “KH Idham Chalid Kini” (Republika, 7/5/2008).
Pada 1956, Idham menjadi Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II bersama Mr Mohammad Roem. Kabinet ini dikenal Kabinet Ali-Roem-Idham.
Kabinet yang tak direstui Presiden Sukarno ini hanya bertahan setahun. Menyusul penarikan dukungan Masyumi dan PSII terhadap kabinet, Ali dan Idham akhirnya mengembalikan mandat. Kabinet berakhir pada 14 Maret 1957. Ini disusul keputusan Sukarno memberlakukan keadaan bahaya perang (Staat van Oorlog en van Beleg/SOB). Presiden kemudian menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur kabinet. Ini dianggap melanggar konstitusi. Dalam kabinet itu, Djuanda menjadi Perdana Menteri dan Idham menjadi wakil Perdana Menteri.
Dalam perkembangan politik yang berlangsung sangat cepat, Idham tetap mengambil peran penting. Dia menjadi wakil ketua MPRS (1963-1966), Menteri Kesejahteraan Rakyat (1966-1967; 1967-1968; dan 1968-1973), Ketua DPR/MPR (1971-1977), Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (1973). Di NU, posisinya sebagai ketua umum berakhir pada 1984. Pada 1984, posisi dia digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.
Setelah tidak lagi di politik, Idham memimpin Perguruan Darul Ma’arif di Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Lembaga Pendidikan Darul Qur’an, dan Rumah Yatim di Cisarua. Di Cipete kediaman Idham, ratusan santri –anak-anak dhuafa, bahkan di antaranya ada yang telah menjadi pejabat dan menteri– dididik ilmu agama.
“Di sini, setiap hari di tengah derai senda gurau para santri, dia terbaring lemah. Tiga bulan setelah tidak berkuasa, Soeharto mengunjungi Idham. Habibie dan Gus Dur semasa menjadi presiden juga mengunjunginya,” tulis Asro. Sejak 1999, Idham terkena serangan jantung. Dia lumpuh total dan tak bisa bicara. Untuk makan pun dia harus dibantu dengan selang yang dimasukkan ke saluran pencernaannya di perut (sounde). Pada Minggu, 11 Juli 2010 pukul 08.00 WIB, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Selamat jalan, kiai.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Kiai Nahdlatul Ulama (NU) itu ada dua macam: kiai-politisi dan kiai-pesantren. Kiai-pesantren hanya menjadikan NU sebagai wadah perjuangan sosio-religius dan lebih betah di pesantren ketimbang di parlemen. Kiai-politisi sebaliknya: menjadikan NU sebagai kekuatan politik. Idham Chalid masuk kategori kedua.
Idham tangkas berakrobat tapi bukan sembarang akrobat. Sebagai politisi, Idham lebih memilih jalan negoisasi daripada konflik kontroversial. Sebagai ulama, dia berjuang demi terbentuknya kestabilan kondisi umat di akar rumput tapi juga bersikap fleksibel tanpa harus terlepas dari jalur dan tradisi Islam.
Menurut Idham, seperti termuat dalam Idham Chalid: Guru Politik Orang NU karya Ahmad Muhajir, politisi yang baik mestilah memahami filosofi air. Apabila air dimasukkan di dalam gelas, ia akan berbentuk gelas; bila dimasukkan ke dalam ember, ia akan berbentuk ember; bila dibelah dengan benda tajam, ia akan terputus sesaat dan cepat kembali ke bentuk aslinya. Air juga selalu mengalir ke tempat yang lebih rendah. Jika disumbat atau dibendung, ia bisa bertahan, bergerak elastis mencari resapan. Bila dibuatkan kanal, ia mampu menghasilkan tenaga penggerak turbin listrik serta mengairi sawah dan tanaman sehingga berguna bagi kehidupan makhluk di dunia.
Di ranah politik, Idham menganggap NU harus ikut dalam kekuasaan sebagai kekuatan penyeimbang. Cara ini menurutnya lebih tepat ketimbang berada di luar kekuasaan yang justru menyulitkannya untuk bergerak.
Prinsip politik Idham adalah berorientasi pada kebaikan serta manfaat bagi umat. Karena itu, tak harus kaku dalam bersikap, sehingga kesejahteraan fisik dan spiritual umat selalu terjaga. Apalagi situasi politik di masa itu (Demokrasi Terpimpin) mengalami banyak tekanan keras dari pihak penguasa serta partai-partai politik radikal.
Ketika sebagian besar kiai NU tidak suka Demokrasi Terpimpin-Sukarno dan Nasakom (Nasionalis Agamis dan Komunis), Idham –bersama Wahab Hasbullah dan Saifuddin Zuhri–justru mendukungnya.
Menurut Greg Fealy, sejarawan politik dari Australia National University dan penulis buku Ijtihad Politik Ulama: Sejarah Nahdlatul Ulama, 1952-1967, situasi politik memaksa Idham melakukan itu. Jika dia tak mendukung Demokrasi Terpimpin, ini akan membahayakan NU dan karier politiknya. Kalau NU tak meniru retorika Sukarno, posisi NU terancam dan disudutkan. Jika NU disudutkan dan terancam maka tidak ada ormas Islam besar lagi yang masuk sistem politik. Hanya dengan NU umat Islam bisa terwakili.
Takut bernasib tragis seperti Masyumi dan tokoh-tokohnya yang dijebloskan ke penjara, NU, PSII, Perti, dan HMI mendukung Nasakom dan Demokrasi Terpimpin. Kebijakan untuk mendukung Sukarno ini jauh sebelumnya telah tampak, yaitu pada saat sejumlah ulama NU dan Perti menganugerahkan gelar waliyyul ‘amri kepada Presiden Sukarno di Istana Cipanas, Bogor, pada 1953, sebuah legitimasi keagamaan yang memperkokoh kedudukan Sukarno sebagai pemimpin negara. Legitimasi ini kemudian dikukuhkan dalam musyawarah para dekan IAIN di bawah pimpinan Prof RHA Soenarjo, seorang tokoh NU, di Purwokerto pada 6-7 Oktober 1962.
Sokongan NU kepada pemerintahan Sukarno makin tampak saat mendukung keputusan MPRS untuk menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Ketetapan yang dikeluarkan pada sidang MPRS tanggal 18 Mei 1963 itu ditandatangani oleh Ketua dan para Wakil Ketua MPRS, yaitu Chairul Saleh (Murba), Ali Sastroamidjojo (PNI), Idham Chalid (NU), DN Aidit (PKI), dan Wilujo Puspojudo (militer).
“Keterlibatan dalam demokrasi bagi pandangan politik NU adalah mendukung pula keberadaan kaum nasionalis, komunis, dan sebagainya. Tapi preferensi mereka adalah ingin membubarkan PKI,” kata Greg kepada Hatib, seperti dimuat dalam www.crcs.ugm.ac.id.
“Komunisme, seperti halnya anjing, adalah najis. Tapi Sukarnoisme tidaklah najis, karena dia bukan komunisme. Paling banter Sukarnoisme itu adalah seperti anjing laut dan sebagaimana Anda tahu anjing laut menurut Islam tidaklah najis,” kata Idham seperti dikutip H. Maulwi Saelan dalam Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa: Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66.
Idham lahir pada 27 Agustus 1921 di Setui, dekat Kecamatan Kotabaru, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Dia anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai, Hulu Sungai Tengah, sekitar 200 kilometer dari Banjarmasin. Saat berusia enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.
Dia mendapat pendidikan di Pondok Pesantren Modern Gontor. Pada usia 30 tahun, Idham sudah dipercaya sebagai sekretaris jenderal PBNU. Empat tahun kemudian, pada 1956, dia menjadi Ketua Umum PBNU hingga 1984. Dia menjadi Ketua Umum PBNU termuda (di usia 34 tahun) dan terlama (selama 28 tahun). Sebagai kiai, dia tergolong loyalis Sukarno.
Penyusunan kabinet hasil Pemilu 1955 berlangsung alot. Sukarno mendesak agar unsur PKI masuk dalam kabinet, yang disebutnya sebagai Kabinet Kaki Empat (PNI, Masyumi, NU, PKI). Namun, Ali Sastroamidjojo (PNI), Mohammad Roem (Masyumi), dan Idham Chalid (NU) menolak dengan keras usul Sukarno itu.
Setelah setengah bulan, Sukarno akhirnya menerima susunan kabinet yang diajukan Ali. Namun, Sukarno tak bersedia memimpin pengambilan sumpah menteri kabinet. Presiden hanya menyaksikan setiap menteri membaca teks sumpah sendiri-sendiri, hal yang tak pernah terjadi sebelumnya. Idham menanyakan keganjilan itu pada Ali. “Kalau Sukarno tidak senang, memang begitu,” kata Ali seperti dikutip Asro Kamal Rokan dalam “KH Idham Chalid Kini” (Republika, 7/5/2008).
Pada 1956, Idham menjadi Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II bersama Mr Mohammad Roem. Kabinet ini dikenal Kabinet Ali-Roem-Idham.
Kabinet yang tak direstui Presiden Sukarno ini hanya bertahan setahun. Menyusul penarikan dukungan Masyumi dan PSII terhadap kabinet, Ali dan Idham akhirnya mengembalikan mandat. Kabinet berakhir pada 14 Maret 1957. Ini disusul keputusan Sukarno memberlakukan keadaan bahaya perang (Staat van Oorlog en van Beleg/SOB). Presiden kemudian menunjuk dirinya sendiri menjadi formatur kabinet. Ini dianggap melanggar konstitusi. Dalam kabinet itu, Djuanda menjadi Perdana Menteri dan Idham menjadi wakil Perdana Menteri.
Dalam perkembangan politik yang berlangsung sangat cepat, Idham tetap mengambil peran penting. Dia menjadi wakil ketua MPRS (1963-1966), Menteri Kesejahteraan Rakyat (1966-1967; 1967-1968; dan 1968-1973), Ketua DPR/MPR (1971-1977), Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (1973). Di NU, posisinya sebagai ketua umum berakhir pada 1984. Pada 1984, posisi dia digantikan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang ditandai dengan fase Khittah 1926 atau NU kembali menegaskan diri sebagai ormas yang tidak terlibat politik praktis serta tidak berafiliasi terhadap partai mana pun.
Setelah tidak lagi di politik, Idham memimpin Perguruan Darul Ma’arif di Cipete Selatan, Jakarta Selatan, Lembaga Pendidikan Darul Qur’an, dan Rumah Yatim di Cisarua. Di Cipete kediaman Idham, ratusan santri –anak-anak dhuafa, bahkan di antaranya ada yang telah menjadi pejabat dan menteri– dididik ilmu agama.
“Di sini, setiap hari di tengah derai senda gurau para santri, dia terbaring lemah. Tiga bulan setelah tidak berkuasa, Soeharto mengunjungi Idham. Habibie dan Gus Dur semasa menjadi presiden juga mengunjunginya,” tulis Asro. Sejak 1999, Idham terkena serangan jantung. Dia lumpuh total dan tak bisa bicara. Untuk makan pun dia harus dibantu dengan selang yang dimasukkan ke saluran pencernaannya di perut (sounde). Pada Minggu, 11 Juli 2010 pukul 08.00 WIB, dia menghembuskan nafas terakhirnya. Selamat jalan, kiai.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email