Pesan Rahbar

Home » » Film Indonesia Digoyang Film India

Film Indonesia Digoyang Film India

Written By Unknown on Saturday, 4 March 2017 | 21:34:00

Senjata pamungkas film India adalah nyanyian dan tarian. Film nasional pernah di ambang kehancuran.

Poster film India terbitan Galiga Films Ltd dan Harapan Trading Coy.

Pengusaha bioskop kelas dua dan tiga mengisi kekosongan slot penayangan film Malaya dengan film India. Bukan dengan film nasional. Alasan mereka sederhana. Film India memiliki kedekatan dengan film Malaya, baik dari segi cerita maupun nyanyian.

Menurut Usmar Ismail dalam “Sari Soal dalam Film Indonesia” termuat di Usmar Ismail Mengupas Film, film India gabungan antara cerita gaib, ajaib, takhayul, nyanyian, dan tarian yang dikemas secara spektakuler. Banyak film India di Indonesia berlawanan dengan akal sehat. Tapi orang Indonesia hirau soal demikian. Mutu teknis, pencapaian estetis, dan logika cerita dalam film bukanlah soal utama bagi penonton Indonesia. Maka film India lekas merebut hati khalayak.

Menurut Haris Jauhari dalam Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia, peredaran film India di Indonesia sepanjang 1954 mencapai 150 kopi dari 22 judul. Lalu meningkat drastis pada 1955, menjadi 311 kopi.

Kebanyakan film India berasal dari Bombai. Film India masuk Indonesia melalui sejumlah perusahaan film seperti Geliga Films, NV Ifdil, Harapan Trading Coy, Persari (milik Djamaludin Malik), dan Perfini (milik Usmar Ismail). Apa alasan mereka ikut mengimpor film India?

“Ini sekadar politik dagang mengenai distribusi film belaka. Tegasnya, dengan menawarkan film India yang komersial, akan sangat menguntungkan, disampingnya ditawarkan film Indonesia buatan sendiri untuk dijadikan goncangan supaya diputar pula,” kata Djamaludin Malik, dikutip Ramadhan KH dan Nina Pane dalam Djamaludin Malik Melakat di Hati Banyak Orang.

Usmar Ismail juga bertindak seperti Djamaludin. Dia hanya mengimpor film-film India berbobot seperti Awara dan Adhikar. Tayang di semua bioskop kelas satu, dua film itu meraih sorotan elite masyarakat. Mereka menilai dua film itu berbeda dari kebanyakan film India di bioskop kelas dua dan tiga.

Pengusaha dan importir lain enggan mengikuti jejak Djamaludin Malik dan Usmar Ismail. Mereka berkiblat pada keuntungan semata. “... daripada 300.000 rupiah dikeluarkan untuk pembuatan film, lebih enak dibelikan saja hak pertunjukan bagi film-film India. Dari yang 300.000 itu bisa didapatkan sedikitnya 3 film india yang peredarannya sudah pasti akan terjamin, kata seorang pengusaha film kepada Aneka, 10 Januari 1956.

Terbukti, jumlah penonton film India di bioskop Indonesia dari kurun 1952-1960 mencapai 135 juta penonton, sedangkan film Indonesia hanya meraup 45 juta penonton

Film India murahan terus membanjiri bioskop Indonesia hingga 1957. Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel, menyebut stok film India saat itu cukup untuk masa putar selama tiga tahun ke depan. Industri film nasional di ambang kehancuran.

Usmar dan Djamaludin pun mengambil langkah ekstrem. Mereka menutup studio dan berhenti memproduksi film pada Maret 1957. Pemerintah mengalah dan mulai membatasi film India. Tahun-tahun setelahnya peredaran film India berkurang. Bahkan sempat menghilang pada 1965 karena boikot Pengusaha Bioskop Jakarta sebagai jawaban atas sikap India mendukung negara Malaya.

Tapi film India tak mau lama-lama dalam kubur. Mereka kerap kembali ke tanah air dan bikin demam sesaat.

(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS) 
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: