Dengan proses restorasi, kita bisa menikmati film lama tanpa harus kehilangan citarasa.
Sepasang kakinya melangkah, menyusuri kegelapan, di tengah gerimis hujan. Iskandar bergeming saat langkah bertemu genangan air, tak menghindar. Tapi selembar kertas pengumuman di dinding berhasil menarik perhatiannya. Langkahnya terhenti. Sehelai kertas itu berisi pengumuman jam malam yang diberlakukan tentara pada 1950-an di Bandung.
Usia membaca, dia lanjut melangkah. Tak lama, bunyi serupa suara lonceng terdengar. Enam anggota Corp Polisi Militer (CPM) yang tengah berpatroli menghentikannya. Dia berlari ketakutan. Ternyata sudah lewat jam malam. Dia lolos dari kejaran. Saat memasuki sebuah rumah, tunangannya sudah menunggunya. “Is...,” sapa Norma, mesra.
Tayangan tersebut menjadi prolog film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail. Latar ceritanya mengambil lokasi di Bandung, di masa revolusi. Secara fisik, film ini rusak cukup parah karena termakan usia. Minimnya perawatan memperparah kerusakan.
“Setelah tahun 1995 atau 1996, saat terjadinya perubahan kebijakan dari pemerintah, kita sudah tak menerima dana bantuan. Dulu masih mendapat bantuan melalui Dewan Film. Sekarang jangankan untuk restorasi, untuk biaya operasional perawatan saja kita tak punya dana,” kata Berthy Ibrahim, kepala Sinematek.
Lewat sebuah program restorasi, film ini “diselamatkan” Museum Nasional Singapura bekerjasama dengan Konfiden, Sinematek, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, dan World Cinema Foundation –lembaga bentukan sutradara ternama Martin Scorcese. Lewat Djam Malam dipilih karena dianggap sebagai film terbaik sepanjang masa. “Film ini bernilai tinggi bukan hanya karena nilai estetiknya, tapi juga nilai kesejarahannya,” tulis JB Kristanto dalam pengantar buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, diterbitkan Sahabat Sinematek tahun 2012.
Restorasi dilakukan di L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, satu-satunya laboratorium film khusus restorasi di dunia. Proses restorasi memakan waktu tujuh bulan dan lebih dari 2.500 jam reparasi digital hingga selesai. Hasilnya, luar biasa. Untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah restorasi, Anda bisa melihatnya di Youtube.
Hasil restorasi penuh ditayangkan kali pertama pada Festival Film Cannes, 17 Mei 2012, dalam acara Cannes Classic. Setelah itu barulah film tersebut bisa dinikmati penonton di dalam negeri.
Proyek Patungan
Lewat Djam Malam sejatinya dipersiapkan untuk festival. Pada 1953, Usmar Ismail dan Djamaludin Malik bertandang ke Jepang untuk mengikuti konferensi para produser se-Asia. Saat konferensi, muncul wacana untuk menggelar Festival Film Asia yang pertama di Tokyo.
Karena tak ada film yang layak tampil, Djamaludin meminta Usmar memproduksi film, sementara dia mencari dana. Asrul Sani menulis cerita dan skenario. Sayangnya, setelah rampung, rencana ikut festival batal. Pemerintah melarang. Gara-garanya, negosiasi pampasan perang dengan Jepang belum menemukan titik temu.
Film ini akhirnya diputar di dalam negeri pada 1954. Untuk mengobati kegagalan ikut festival di Tokyo, kata Misbach, Djamal mengadakan Festival Film Indonesia pertama pada 1955. Di ajang ini, Lewat Djam Malam meraih Film Terbaik, berbagi piala dengan Tarmina.
Film ini berkisah tentang Iskandar (AN Alcaff), bekas pejuang yang berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan sekitar. Ternyata zaman sudah berubah. Bahkan teman-teman seperjuangannya bukan orang yang sama seperti dulu. Rata-rata bergaya hidup hedonis dan korup.
Sementara dia terus dihantui perasaan bersalah lantaran telah membunuh banyak orang, termasuk satu keluarga yang dianggap mata-mata NICA, atas perintah komandannya, Gunawan (Rd Ismail). Beruntung masih ada Norma (Netty Herawati), tunangannya, yang sedikit bisa menenangkan gundahnya.
Berkat calon mertuanya, dia bekerja di kantor gubernuran. Tak puas dengan kerja Iskandar, kepala bagian menghinanya: “Dasar, bekas pejuang tak berguna!” Keributan pun terjadi dan Iskandar dipecat. Iskandar harus mencari pekerjaan lain.
Dia menemui kawan lamanya, Gafar (Awaludin), seorang arsitek. Gafar menyarankannya istirahat barang dua minggu sebelum bekerja. Tapi Iskandar tak bisa menunggu selama itu. Dia mendatangi Gunawan yang sudah jadi pengusaha. Gunawan, yang sedang bermasalah dengan bos perusahaan asing, menawarinya menghabisi orang itu dengan imbalan uang. Iskandar menolak dan pergi.
Iskandar berjalan tak tentu hingga bertemu Pudja, yang juga frustasi karena sulit beradaptasi. Pudja hanya menjadi centeng (tukang pukul) dan menghabiskan hari dengan berjudi. Dari Pudja-lah, Iskandar tahu bahwa Gunawan mendirikan perusahaan dengan modal dari harta rampasan satu keluarga yang dibantainya. Marah, Iskandar memutuskan menghabisi Gunawan.
Semua adegan itu terjadi dalam waktu sehari. Usmar Ismail menampilkan pandangan masing-masing tokoh mengenai masa setelah revolusi. Iskandar dan Gafar melihat revolusi telah selesai dan mesti mengisinya. Iskandar berusaha kerja kantoran meski akhirnya gagal. Gafar kembali ke lapangan keahliannya, membangun rumah, meski dengan cara tak jujur. Sebaliknya, Pudja menganggap perang harus tetap berkobar agar dirinya tetap berguna. Sedangkan Gunawan, merasa tetap idealis, melanjutkan revolusi dengan target perusahaan-perusahaan asing.
Usmar juga menghadirkan pandangan masyarakat terhadap mantan pejuang. Ayah Norma, misalnya, melihat pemuda-pemuda bekas pejuang mesti dibimbing agar tak sesat jalan. Sedangkan lainnya, seperti kepala bagian dan rekan kerja Iskandar, melihat mantan pejuang tak lebih dari sampah masyarakat.
Menarik relevansi film ini dengan keadaan masa kini sepertinya tak perlu jauh-jauh berbicara soal korupsi atau gaya hidup hedonis. Tarik saja garis besar kisah hidup sang tokoh utama, Iskandar, dengan sang sutradara, Usmar Ismail. Mereka toh sama-sama dikecewakan. Iskandar oleh komandannya, Usmar Ismail oleh pemerintah negerinya yang membiarkan karya-karyanya menua dan rapuh.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Sepasang kakinya melangkah, menyusuri kegelapan, di tengah gerimis hujan. Iskandar bergeming saat langkah bertemu genangan air, tak menghindar. Tapi selembar kertas pengumuman di dinding berhasil menarik perhatiannya. Langkahnya terhenti. Sehelai kertas itu berisi pengumuman jam malam yang diberlakukan tentara pada 1950-an di Bandung.
Usia membaca, dia lanjut melangkah. Tak lama, bunyi serupa suara lonceng terdengar. Enam anggota Corp Polisi Militer (CPM) yang tengah berpatroli menghentikannya. Dia berlari ketakutan. Ternyata sudah lewat jam malam. Dia lolos dari kejaran. Saat memasuki sebuah rumah, tunangannya sudah menunggunya. “Is...,” sapa Norma, mesra.
Tayangan tersebut menjadi prolog film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail. Latar ceritanya mengambil lokasi di Bandung, di masa revolusi. Secara fisik, film ini rusak cukup parah karena termakan usia. Minimnya perawatan memperparah kerusakan.
“Setelah tahun 1995 atau 1996, saat terjadinya perubahan kebijakan dari pemerintah, kita sudah tak menerima dana bantuan. Dulu masih mendapat bantuan melalui Dewan Film. Sekarang jangankan untuk restorasi, untuk biaya operasional perawatan saja kita tak punya dana,” kata Berthy Ibrahim, kepala Sinematek.
Lewat sebuah program restorasi, film ini “diselamatkan” Museum Nasional Singapura bekerjasama dengan Konfiden, Sinematek, Kineforum Dewan Kesenian Jakarta, dan World Cinema Foundation –lembaga bentukan sutradara ternama Martin Scorcese. Lewat Djam Malam dipilih karena dianggap sebagai film terbaik sepanjang masa. “Film ini bernilai tinggi bukan hanya karena nilai estetiknya, tapi juga nilai kesejarahannya,” tulis JB Kristanto dalam pengantar buku Lewat Djam Malam Diselamatkan, diterbitkan Sahabat Sinematek tahun 2012.
Restorasi dilakukan di L’Immagine Ritrovata, Bologna, Italia, satu-satunya laboratorium film khusus restorasi di dunia. Proses restorasi memakan waktu tujuh bulan dan lebih dari 2.500 jam reparasi digital hingga selesai. Hasilnya, luar biasa. Untuk melihat perbedaan sebelum dan sesudah restorasi, Anda bisa melihatnya di Youtube.
Hasil restorasi penuh ditayangkan kali pertama pada Festival Film Cannes, 17 Mei 2012, dalam acara Cannes Classic. Setelah itu barulah film tersebut bisa dinikmati penonton di dalam negeri.
Proyek Patungan
Lewat Djam Malam sejatinya dipersiapkan untuk festival. Pada 1953, Usmar Ismail dan Djamaludin Malik bertandang ke Jepang untuk mengikuti konferensi para produser se-Asia. Saat konferensi, muncul wacana untuk menggelar Festival Film Asia yang pertama di Tokyo.
Karena tak ada film yang layak tampil, Djamaludin meminta Usmar memproduksi film, sementara dia mencari dana. Asrul Sani menulis cerita dan skenario. Sayangnya, setelah rampung, rencana ikut festival batal. Pemerintah melarang. Gara-garanya, negosiasi pampasan perang dengan Jepang belum menemukan titik temu.
Film ini akhirnya diputar di dalam negeri pada 1954. Untuk mengobati kegagalan ikut festival di Tokyo, kata Misbach, Djamal mengadakan Festival Film Indonesia pertama pada 1955. Di ajang ini, Lewat Djam Malam meraih Film Terbaik, berbagi piala dengan Tarmina.
Film ini berkisah tentang Iskandar (AN Alcaff), bekas pejuang yang berusaha menyesuaikan diri dengan kehidupan sekitar. Ternyata zaman sudah berubah. Bahkan teman-teman seperjuangannya bukan orang yang sama seperti dulu. Rata-rata bergaya hidup hedonis dan korup.
Sementara dia terus dihantui perasaan bersalah lantaran telah membunuh banyak orang, termasuk satu keluarga yang dianggap mata-mata NICA, atas perintah komandannya, Gunawan (Rd Ismail). Beruntung masih ada Norma (Netty Herawati), tunangannya, yang sedikit bisa menenangkan gundahnya.
Berkat calon mertuanya, dia bekerja di kantor gubernuran. Tak puas dengan kerja Iskandar, kepala bagian menghinanya: “Dasar, bekas pejuang tak berguna!” Keributan pun terjadi dan Iskandar dipecat. Iskandar harus mencari pekerjaan lain.
Dia menemui kawan lamanya, Gafar (Awaludin), seorang arsitek. Gafar menyarankannya istirahat barang dua minggu sebelum bekerja. Tapi Iskandar tak bisa menunggu selama itu. Dia mendatangi Gunawan yang sudah jadi pengusaha. Gunawan, yang sedang bermasalah dengan bos perusahaan asing, menawarinya menghabisi orang itu dengan imbalan uang. Iskandar menolak dan pergi.
Iskandar berjalan tak tentu hingga bertemu Pudja, yang juga frustasi karena sulit beradaptasi. Pudja hanya menjadi centeng (tukang pukul) dan menghabiskan hari dengan berjudi. Dari Pudja-lah, Iskandar tahu bahwa Gunawan mendirikan perusahaan dengan modal dari harta rampasan satu keluarga yang dibantainya. Marah, Iskandar memutuskan menghabisi Gunawan.
Semua adegan itu terjadi dalam waktu sehari. Usmar Ismail menampilkan pandangan masing-masing tokoh mengenai masa setelah revolusi. Iskandar dan Gafar melihat revolusi telah selesai dan mesti mengisinya. Iskandar berusaha kerja kantoran meski akhirnya gagal. Gafar kembali ke lapangan keahliannya, membangun rumah, meski dengan cara tak jujur. Sebaliknya, Pudja menganggap perang harus tetap berkobar agar dirinya tetap berguna. Sedangkan Gunawan, merasa tetap idealis, melanjutkan revolusi dengan target perusahaan-perusahaan asing.
Usmar juga menghadirkan pandangan masyarakat terhadap mantan pejuang. Ayah Norma, misalnya, melihat pemuda-pemuda bekas pejuang mesti dibimbing agar tak sesat jalan. Sedangkan lainnya, seperti kepala bagian dan rekan kerja Iskandar, melihat mantan pejuang tak lebih dari sampah masyarakat.
Menarik relevansi film ini dengan keadaan masa kini sepertinya tak perlu jauh-jauh berbicara soal korupsi atau gaya hidup hedonis. Tarik saja garis besar kisah hidup sang tokoh utama, Iskandar, dengan sang sutradara, Usmar Ismail. Mereka toh sama-sama dikecewakan. Iskandar oleh komandannya, Usmar Ismail oleh pemerintah negerinya yang membiarkan karya-karyanya menua dan rapuh.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email