Thalhah, misan Ćisyah, yang diharapkan Ćisyah akan menjadi khalĆ®fah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh MarwĆ¢n bin Hakam anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan UtsmĆ¢n. Setelah memanah Thalhah, MarwĆ¢n berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi darah UtsmĆ¢n!”
Oleh O Hashem (penulis buku Saqifah)
Ćisyah berangkat ke Makkah. Ia berhenti di depan pintu masjid menuju ke al-Hajar kemudian mengumpul orang dan berkata: “Hai manusia. UtsmĆ¢n telah dibunuh secara zalim! Demi AllĆ¢h kita harus menuntut darahnya.” Dia dilaporkan juga telah berkata: “Hai kaum Quraisy! UtsmĆ¢n telah dibunuh. Dibunuh oleh AlĆ® bin AbĆ® ThĆ¢lib. Demi AllĆ¢h seujung kuku atau satu malam kehidupan UtsmĆ¢n, lebih baik dari seluruh hidup AlĆ®.”[[1]]
UMMU SALAMAH MENASIHATI ĆISYAH
Ummu’l-mu’minĆ®n Ummu Salamah menasihati Ćisyah agar ia tidak meninggalkan rumahnya: “Ya Ćisyah, engkau telah menjadi penghalang antara RasĆ»l AllĆ¢h saw dan umatnya. HijĆ¢bmu menentukan kehormatan RasĆ»l AllĆ¢h saw. Al-Qur’Ć¢n telah menetapkan hijĆ¢b untukmu.[[2]] Dan jangan engkau membukanya. Tempatmu telah pula ditentukan AllĆ¢h SWT dan janganlah engkau keluar. AllĆ¢h-lah yang akan melindungi umatnya. RasĆ»l AllĆ¢h saw mengetahui tempatmu. Kalau RasĆ»l AllĆ¢h saw ingin memberimu tugas tentu telah beliau sabdakan. Ia telah melarang engkau mengelilingi kota-kota. Apa yang akan engkau katakan kepada RasĆ»l AllĆ¢h saw seandainya engkau bertemu dengan beliau di perjalanan dan engkau sedang menunggangi untamu dan bepergian dari satu tempat ke tempat yang lain? AllĆ¢h sudah menetapkan tempatmu dan engkau suatu ketika akan bertemu dengan RasĆ»l AllĆ¢h saw di akhirat. Dan seandainya aku disuruh masuk ke surga firdaus, aku malu berjumpa dengan RasĆ»l AllĆ¢h saw dalam keadaan aku melepaskan hijĆ¢bku yang telah diwajibkan AllĆ¢h SWT atas diriku. Jadikanlah hijĆ¢bmu itu sebagai pelindung dan jadikanlah rumahmu sebagai kuburan sehingga apabila engkau bertemu dengan RasĆ»l AllĆ¢h saw ia rela dan senang akan dirimu!”[[3]]
Ćisyah tidak menghiraukannya. Thalhah, Zubair dan AbdullĆ¢h bin Zubair pergi bergabung dengan Ćisyah di Makkah. Demikian pula BanĆ» Umayyah serta penguasa-penguasa UtsmĆ¢n yang diberhentikan AlĆ® dengan membawa harta baitul mĆ¢l. Hafshah binti Umar yang juga ummu’l-mu’minĆ®n, diajak Ćisyah, tapi membatalkan niatnya karena dilarang oleh kakaknya AbdullĆ¢h bin Umar.
AbĆ» Mikhnaf LĆ»th al-AzdĆ® berkata: “Setelah AlĆ® tiba di Dzi Qar[[4]], Ćisyah menulis kepada Hafshah binti Umar bin KhaththĆ¢b: “Amma ba’du. Aku kabarkan padamu bahwa AlĆ® telah tiba di Dzi Qar, dan ia benar-benar sedang ketakutan setelah mengetahui jemaah kami telah siap siaga. Dan ia berada di tepi jurang, bila ia maju, akan dipancung, ”uqira”, bila mundur disembelih, “nuhira”, dan Hafshah memanggil para dayangnya dan menyuruh mereka menyanyi sambil memukul rebana:
“Apa kabar, apa kabar,
AlĆ® dalam perjalanan,
Seperti penunggang di tepi jurang,
Maju, terpancung,
Mundur, terpotong.”
Wanita-wanita para thulaqĆ¢’ (mereka yang baru masuk Islam pada waktu dibukanya kota Makkah, pen.) masuk ke rumah Hafshah ketika mendengar nyanyian itu. Mereka berkumpul dan menikmati nyanyian. Setelah sampai berita ini kepada Ummu Kaltsum binti AlĆ® bin AbĆ® ThĆ¢lib, ia lalu pakai jilbabnya untuk menyaru. Sampai di tengah-tengah mereka, dia buka jilbabnya. Setelah Hafshah tahu bahwa orang itu adalah Ummu Kaltsum ia merasa malu dan berhenti bernyanyi. Lalu Ummu Kaltsum berkata: “Kalau engkau berdua (maksudnya Ćisyah dan Hafshah, pen.) menentang AlĆ® bin AbĆ® ThĆ¢lib sekarang, dahulu pun kamu berdua menentang saudara AlĆ® bin AbĆ® ThĆ¢lib (maksudnya RasĆ»l AllĆ¢h saw.) sehingga turun ayat mengenai kamu berdua.” Hafshah lalu menyela: “Stop! Mudah-mudahan AllĆ¢h merahmatimu!” Ia lalu mengambil surat Ćisyah tersebut, merobeknya dan minta ampun kepada AllĆ¢h!”[[5]]
Setelah sampai di wilayah Iraq, Sa’Ć®d bin Ćsh bertemu MarwĆ¢n bin Hakam dan kawan-kawannya. Ia berkata: “Tunggu apa lagi kamu! Pemberontak dan pembunuh UtsmĆ¢n berada di sekeliling unta (yang ditunggangi Ćisyah) itu! Bunuhlah mereka dan kembalilah ke tempatmu sesudah itu. Jangan kamu membunuh diri kamu sendiri!” Mereka menjawab: “Biar mereka saling membunuh dan pembunuh UtsmĆ¢n dengan sendirinya akan terbunuh!” Mereka lalu bergabung dengan Ćisyah.[[6]]
Dalam menuju Bashrah, Ćisyah, Thalhah dan Zubair berhenti di Sumur AbĆ® MĆ»sĆ¢ dekat Bashrah. UtsmĆ¢n bin Hunaif, gubernur Bashrah mengirim utusan yang bernama AbĆ» al-Aswad ad-Du’ali yang lansung menemui Aisyah dan ia bertanya kepada Ćisyah akan maksud perjalanannya.
Ćisyah: ”Aku menuntut darah UtsmĆ¢n!”
AbĆ» Al-Aswad: “Tak ada seorang pun pembunuh “UtsmĆ¢n di Bashrah!”
Ćisyah: “Engkau benar. Mereka berada bersama AlĆ® bin AbĆ® ThĆ¢lib di MadĆ®nah. Dan aku datang membangkitkan orang Bashrah untuk memerangi AlĆ®. Kami memarahi UtsmĆ¢n karena cambuknya yang memecuti kamu (umat Islam, pen.). Maka tidakkah kami juga harus membela UtsmĆ¢n dengan pedangmu?”
AbĆ» Al-Aswad: “Apa urusanmu dengan cambuk dan pedang! Engkau adalah istri RasĆ»l AllĆ¢h saw. Engkau diperintahkan untuk tinggal di rumahmu dan mengaji KitĆ¢b Tuhanmu dan perempuan tidaklah pantas untuk berperang dan tidak juga untuk menuntut darah. Sesungguhnya AlĆ® lebih pantas dan lebih dekat hubungan keluarga untuk menuntut , karena mereka berdua (AlĆ® dan UtsmĆ¢n), adalah anak Abdi ManĆ¢f!”
Ćisyah : “Saya tidak akan mundur, sebelum saya melaksanakan apa yang telah saya rencanakan. Apakah engkau menduga bahwa seseorang mau memerangi saya?”
AbĆ» Al-Aswad: “Ya, demi AllĆ¢h! Engkau akan berperang dalam suatu peperangan yang bagaimanapun kecilnya, masih akan tetap paling dahsyat!”
Tiba di tepi kota Bashrah, orang-orang terkagum-kagum melihat unta Ćisyah yang besar dan mengagumkan. JĆ¢riyah bin QudĆ¢mah mendatangi Ćisyah dan berkata: “Wahai ummu’l-mu’minĆ®n! Pembunuhan UtsmĆ¢n merupakan tragedi, tetapi tragedi yang lebih besar lagi adalah bahwa Anda telah keluar dari rumah Anda, menunggangi unta terkutuk ini dan merusak kedudukan dan kehormatan Anda. Lebih baik Anda pulang.”
Ćisyah tidak peduli dan orang-orang merasa heran. Ayat Al-Qur’Ć¢n yang memerintahkan para istri RasĆ»l agar tinggal di rumah tidak dapat lagi menahannya.
Tatkala pasukan ini berusaha masuk kota Bashrah, Gubernur Bashrah UtsmĆ¢n bin Hunaif datang untuk menghalangi mereka dan tatkala dua pasukan saling berhadapan, mereka mencabut pedang masing-masing dan saling menyerbu. Waktu sejumlah anggota pasukan telah berguguran Ćisyah datang melerai dan kedua pasukan sepakat bahwa sampai AmĆ®rul muminĆ®n AlĆ® bin AbĆ® ThĆ¢lib tiba, pemerintahan yang ada berjalan sebagaimana biasa dan UtsmĆ¢n bin Hunaif harus tetap dalam kedudukannya sebagai gubernur.
PEMBUNUHAN BERDARAH DINGIN, MENCABUTI RAMBUT GUBERNUR
Tetapi, baru dua hari berlalu, mereka menyergap UtsmĆ¢n bin Hunaif pada malam hari, membunuh empat puluh orang yang tidak bersalah, memukuli gubernur UtsmĆ¢n bin Hunaif, mencabut tiap helai rambut dan jenggotnya kemudian menawannya. Mereka lalu menyerang dan merampok Bait Al-MĆ¢l sambil membunuh dua puluh orang di tempat serta lima puluh orang dibunuh berdarah dingin setelah menyerah. Setelah itu mereka merebut gudang gandum. Seorang tokoh tua kota BashrĆ¢ yang bernama HĆ¢kim bin Jabalah tidak dapat lagi menahan diri. Ia mendatangi mereka dengan anggota suku dan keluarganya. Ia berkata kepada AbdullĆ¢h bin Zubair: “Tinggalkan sebagian gandum untuk penduduk kota! Bagaimanapun juga penindasan harus ada batasnya. Kamu telah menyebarkan maut dan perusakan serta menawan UtsmĆ¢n bin Hunaif. Demi AllĆ¢h tinggalkan perbuatan celaka ini dan lepaskanlah UtsmĆ¢n bin Hunaif. Apakah tidak ada lagi takwa dalam hatimu?”
AbdullĆ¢h bin Zubair berkata: “Ini kami lakukan untuk menuntut darah UtsmĆ¢n!”
HĆ¢kim bin Jabalah menjawab: “Adakah orang-orang yang kamu bunuh itu pembunuh UtsmĆ¢n? Demi AllĆ¢h bila aku punya pendukung, tentu akan kutuntut balas terhadap pembunuhan kaum MuslimĆ®n tanpa sebab ini!”
Ibnu Zubair menjawab: “Kami sama sekali tidak akan memberikan apa pun dari gandum ini, dan tidak akan kami lepas UtsmĆ¢n bin Hunaif!”
Akhirnya terjadi pertempuran dan gugurlah HĆ¢kim bin Jabalah dan kedua anaknya, AsyrĆ¢f dan Ri’i bin Jabalah bersama tujuh puluh anggota sukunya yang lain.
Perang yang paling menyedihkan dalam sejarah Islam. Dalam perang ini bapak dan anak serta saudara saling membunuh, melemahkan jiwa dan raga masyarakat Islam yang sebenarnya merupakan awal berakhirnya Daulah IslamƮyah dan membuka jalan kepada kerajaan.
Ibnu Abd Rabbih meriwayatkan bahwa MughĆ®rah bin Syu’bah, sesudah Perang Jamal mendatangi Ćisyah. Ćisyah berkata kepadanya: “Hai AbĆ» AbdillĆ¢h aku ingin engkau berada bersama kami pada Perang Jamal; bagaimana anak-anak panah menembus haudaj-ku[[7]] dan sebagian menyentuh tubuhku!”
MughĆ®rah bin Syu’bah menjawab: “Aku menghendaki satu dari panah-panah itu membunuhmu?” Ćisyah: “Mudah-mudahan AllĆ¢h mengampunimu! Mengapa demikian?” MughĆ®rah menjawab: “Agar terbalas apa yang engkau lakukan terhadap UtsmĆ¢n!”[[8]]
Diriwayatkan bahwa sekali seorang wanita bertanya kepada Ćisyah tentang hukumnya seorang ibu yang membunuh anak bayinya. Ćisyah menjawab: “Neraka tempatnya bagi ibu yang durhaka itu!” Kalau demikian, tanyanya, “Bagaimana hukum seorang ibu yang membunuh dua puluh ribu anaknya yang telah dewasa?” Ćisyah berteriak dan menyuruh orang melempar keluar wanita tersebut. Ćisyah, memang, sebagai istri RasĆ»l ditentukan AllĆ¢h SWT sebagai ibu kaum mu’minĆ®n.[[9]] Dan perang yang dilancarkannya terhadap ImĆ¢m AlĆ® telah menyebabkan terbunuhnya dua puluh ribu anaknya sendiri. Setelah semua ini Ćisyah kembali ke rumahnya.
Thalhah, misan Ćisyah, yang diharapkan Ćisyah akan menjadi khalĆ®fah, meninggal dalam Perang Jamal. Ia dibunuh oleh MarwĆ¢n bin Hakam anggota pasukannya sendiri, karena keterlibatannya dalam pembunuhan UtsmĆ¢n. Setelah memanah Thalhah, MarwĆ¢n berkata: “Aku puas! Sekarang aku tidak akan menuntut lagi darah UtsmĆ¢n!” Zubair bin AwwĆ¢m, iparnya, suami kakaknya AsmĆ¢’ binti AbĆ» Bakar meninggalkan pasukan setelah mendengar nasihat Imam AlĆ®. Ia dibunuh dari belakang oleh seorang yang bernama Amr bin Jurmuz. AlĆ® berkata: “Zubair senantiasa bersama kami sampai anaknya yang celaka[[10]] menjadi besar.”
Sepanjang masa peperangan Jamal ini AbdullĆ¢h bin Zubair menjadi imam salat, karena Thalhah dan Zubair berebut jadi imam dan Ćisyah menunjuk AbdullĆ¢h. Juga, AbdullĆ¢h bin Zubair menuntut bahwa ia lebih berhak terhadap kekhalifahan dari ayahnya dan Thalhah dan menyatakan bahwa UtsmĆ¢n telah mewasiatkan kepadanya untuk menjabat khalĆ®fah.[[11]]
Orang sering mengajukan pertanyaan mengenai Zubair dan Thalhah, seperti mengapa harus AbdullĆ¢h bin Zubair yang mengimami salat padahal Zubair dan Thalhah adalah Sahabat RasĆ»l dan mengapa mereka berdua harus berebut dan bertengkar menjadi imam sehingga Ćisyah lalu menunjuk AbdullĆ¢h bin Zubair? Mengapa membaiat AlĆ®, kemudian memerangi AlĆ®? Kalau menganggap AlĆ® kafir, maka lari atau menyerah dari perang melawan orang kafir adalah kafir. Kalau AlĆ® adalah Muslim, maka memerangi AlĆ® adalah kafir.
Sedih, memang! Muhammad bin AbĆ» Bakar, adik Ćisyah yang berperang di pihak AlĆ® melawan Ćisyah, akhirnya di kemudian hari dibunuh oleh Mu’Ć¢wiyah, dimasukkan dalam perut keledai lalu dibakar.
AlĆ® benar tatkala ia mengatakan bahwa ia diuji oleh empat hal. Pertama oleh orang yang paling cerdik dan dermawan, yaitu Thalhah. Kedua oleh orang yang paling berani, yaitu Zubair. Ketiga oleh orang yang paling bisa mempengaruhi orang, yaitu Ćisyah. Yang terakhir oleh orang yang paling cepat terpengaruh fitnah, yaitu Ya’la bin Umayyah. Yang terakhir ini adalah penyedia dana utama untuk Perang Jamal, dengan membawa harta baitul mĆ¢l tatkala ia jadi gubernur UtsmĆ¢n di Yaman. Ia menyerahkan 400.000 dinar kepada Zubair dan menanggung pembiayaan tujuh puluh anggota pasukan orang Quraisy. Ia membelikan seekor unta yang terkenal besarnya untuk Ćisyah seharga delapan puluh dinar.[[12]]
Ćisyah adalah seorang luar biasa. Bagaimana ia mengguncangkan dua khalĆ®fah sekaligus dan bagaimana ia berubah dari seorang yang mengeluarkan fatwa untuk membunuh UtsmĆ¢n dan setelah UtsmĆ¢n terbunuh, ia menuntut darah UtsmĆ¢n dan membuat umat Islam berontak melawan AlĆ®.
Rasanya, UtsmĆ¢n tidak akan terbunuh tanpa fatwa Ćisyah yang punya pengaruh demikian besar terhadap kaum MuslimĆ®n karena kedudukannya sebagai istri RasĆ»l. Setelah UtsmĆ¢n terbunuh ia gembira. Tetapi setelah AlĆ® dibaiat ia mampu menghimpun para pembunuh dan keluarga yang terbunuh untuk bangkit melawan AlĆ® bin AbĆ® ThĆ¢lib. Ia dapat mengubah kesan orang terhadap AlĆ® yang membela UtsmĆ¢n menjadi orang yang tertuduh membunuh UtsmĆ¢n.
Ćisyah punya kelebihan. Setelah meruntuhkan dua khalĆ®fah ia bisa berubah menjadi orang yang tidak berdosa. Dan perannya dalam menentukan akidah umat berlanjut sampai sekarang dengan hadis-hadisnya yang banyak.
Ummu Salamah, misalnya, yang juga ummu’l-mu’minĆ®n tidaklah mendapat tempat yang terhormat seperti Ćisyah. Hal ini disebabkan karena Ummu Salamah berpihak kepada ahlu’l-bait dengan sering meriwayatkan hadis-hadis yang mengutamakan AlĆ®, seperti hadis KisĆ¢’. AbĆ» Bakar, ayahnya, maupun Umar bin KhaththĆ¢b menyadari kemampuan Ćisyah, dan sejak awal mereka menjadikan Ćisyah sebagai tempat bertanya. Ibnu Sa’d, misalnya, meriwayatkan dari Al-QĆ¢sim: “Ćisyah sering diminta memberikan fatwa di zaman AbĆ» Bakar, Umar dan UtsmĆ¢n dan Ćisyah terus memberi fatwa sampai mereka meninggal.”[[13]]
Dari MahmĆ»d bin LabĆ®d: “Ćisyah memberi fatwa di zaman Umar dan UtsmĆ¢n sampai keduanya meninggal. Dan Sahabat-sahabat RasĆ»l AllĆ¢h saw yang besar, yaitu Umar dan UtsmĆ¢n sering mengirim orang menemui Ćisyah untuk menanyakan Sunnah.”
Malah Umar memberikan uang tahunan untuk Ćisyah lebih besar 20 % dari istri RasĆ»l yang lain. Tiap istri RasĆ»l mendapat sepuluh ribu dinar sedang Ćisyah dua belas ribu. Pernah Umar menerima satu kereta dari Irak yang di dalamnya terdapat mutiara (jauhar) dan Umar memberikan seluruhnya pada Ćisyah.[[14]] Disamping pengutamaan Umar kepada Ćisyah dalam fatwa maupun hadiah, Umar juga menahannya di MadĆ®nah dan hanya membolehkan Ćisyah melakukan sekali naik haji pada akhir kekhalifahan Umar dengan pengawalan yang ketat. Umar menyadari betul peran Ćisyah yang tahu memanfaatkan kedudukannya yang mulia di mata umat sebagai ibu kaum mu’minĆ®n dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk mempengaruhi orang. Dengan demikian mereka saling membagi keutamaan. Sedangkan UtsmĆ¢n, terutama pada akhir kekhalifahannya, melalaikan hal ini.
Dan di pihak lain, AlĆ® seperti juga FĆ¢thimah sejak awal menjadi bulan-bulanan ummu’l-mu’minĆ®n Ćisyah. Para ahli tidak dapat memecahkan misteri kebencian ummu’l-mu’minĆ®n Ćisyah terhadap anak tirinya FĆ¢thimah dan AlĆ® yang barangkali belum ada taranya dalam sejarah umat manusia bila kita pikirkan betapa tinggi kedudukan FĆ¢thimah dan AlĆ® di mata RasĆ»l AllĆ¢h saw. FĆ¢thimah adalah satu dari empat wanita utama dalam dunia Islam, sedang AlĆ® dikenal sebagai orang yang paling mulia dan paling utama sesudah RasĆ»l dan jasanya terhadap Islam sangatlah besar. Kalau Mu’Ć¢wiyah bersujud dan diikuti orang-orang yang menemaninya, dan salat dhuhĆ¢ enam raka’at saat mendengar AlĆ® meninggal dunia di kemudian hari, sedangkan Ćisyah melakukan sujud syukur ketika mendengar berita gembira ini seperti dilaporkan oleh AbĆ»’l-Faraj al-IshfahĆ¢nĆ®.[15]
ThabarĆ®, AbĆ»’l-Faraj Al-IshfahĆ¢nĆ®, Ibnu Sa’d dan Ibnu Al-AtsĆ®r melaporkan bahwa tatkala seorang menyampaikan berita kematian AlĆ®, ummu’l-mu’minĆ®n Ćisyah bersyair: “Tongkat dilepas, tujuan tercapai sudah. Seperti musafir gembira pulang ke rumah!” Kemudian ia bertanya: “Siapa yang membunuhnya?” Jawab: “Seorang laki-laki dari BanĆ» Murad!” Ćisyah berkata: “Walaupun ia jauh, berita matinya telah sampai, dari mulut seorang remaja, yang tak tercemar tanah!”[[16]] Maka berkatalah Zainab puteri ummu’l-mu’minĆ®n Ummu Salamah: “Apakah AlĆ® yang engkau maksudkan?” Ćisyah menjawab: “Bila aku lupa kamu ingatkan aku!”[[17]] Kemudian Zainab berkata: “Selalu kasidah dihadiahkan di berbagai kalangan, tentang “ShiddĆ®q” dan bermacam-macam julukan, akhirnya kau tinggalkan juga. Di setiap pertemuan, kau keluarkan kata-kata, seperti dengungan lalat belaka.”[[18]]
MENGAPA ĆISYAH BENCI FĆTHIMAH DAN ALĆ?
Kebencian Ćisyah kepada anak tirinya FĆ¢thimah dan suami FĆ¢thimah, AlĆ®, sangat bertalian dengan kecemburuannya kepada KhadĆ®jah yang telah lama meninggal. Cemburu Ćisyah terhadap KhadĆ®jah dapat dipahami dari kata-katanya sendiri.
Ćisyah berkata[[19]]: “Cemburuku terhadap istri-istri RasĆ»l tidak seperti cemburuku kepada KhadĆ®jah karena RasĆ»l sering menyebut dan memujinya, dan AllĆ¢h SWT telah mewahyukan kepada RasĆ»l saw agar menyampaikan kabar gembira kepada KhadĆ®jah bahwa AllĆ¢h SWT akan memberinya rumah dari permata di surga.”
Dan di bagian lain[[20]]: “Aku tidak cemburu terhadap seorang dari istri-istrinya seperti aku cemburu kepada KhadĆ®jah, meski aku tidak mengenalnya. Tetapi NabĆ® sering mengingatnya dan kadang-kadang ia menyembelih kambing, memotong-motongnya dan membagi-bagikannya kepada teman-teman KhadĆ®jah.”
Di bagian lain: “Suatu ketika HĆ¢lah binti Khuwailid, saudari KhadĆ®jah, minta izin menemui RasĆ»l dan RasĆ»l mendengar suaranya seperti suara KhadĆ®jah.” RasĆ»l terkejut dan berkata: “AllĆ¢humma HĆ¢lah!” Dan aku cemburu. Aku berkata: “Apa yang kau ingat dari perempuan tua di antara perempuan-perempuan tua Quraisy...dan AllĆ¢h telah menggantinya dengan yang lebih baik.”
Di bagian lain lagi[[21]]: “Dan wajah RasĆ»l AllĆ¢h saw berubah, belum pernah aku melihat ia demikian, kecuali pada saat turun wahyu.”
Dan dalam riwayat lain[[22]]: “AllĆ¢h tidak mengganti seorang pun yang lebih baik dari dia. Ia beriman kepada saya tatkala orang lain mengingkari saya. Ia membenarkan saya ketika orang lain mendustakan saya. Dan ia membantu saya dengan hartanya tatkala orang lain enggan membantu saya. AllĆ¢h SWT memberi anak-anak kepada saya melaluinya dan tidak melalui yang lain.”
Kebenciannya terhadap AlĆ® juga disebabkan sikap RasĆ»l saw yang mendahulukan AlĆ® dari ayahnya, AbĆ» Bakar, sebagaimana pengakuannya sendiri. ImĆ¢m Ahmad menceritakan[[23]], yang berasal dari Nu’mĆ¢n bin BasyĆ®r: “AbĆ» Bakar memohon izin menemui RasĆ»l AllĆ¢h saw dan ia mendengar suara keras Ćisyah yang berkata: “Demi AllĆ¢h, aku telah tahu bahwa engkau lebih mencintai AlĆ® dari ayahku dan diriku!”, dan ia mengulanginya dua atau tiga kali. Ćisyah seperti lupa firman AllĆ¢h: “Dan ia tiada berkata menurut keinginannya sendiri. Perkataannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyu-kan kepadanya.”[[24]]
Ibn AbĆ®l-HadĆ®d menceritakan: “Aku membacakan pidato AlĆ® mengenai Ćisyah dari Nahju’l-BalĆ¢ghah[[25]], kepada Syaikh AbĆ» AyyĆ»b YĆ»suf bin Ismâîl tatkala aku berguru ilmu kalam kepadanya. Aku bertanya bagaimana pendapatnya tentang pidato AlĆ® tersebut. Ia memberi jawaban yang panjang. Aku akan menyampaikannya secara singkat, sebagian dengan lafatnya sebagian lagi dengan lafalku sendiri. (AbĆ» AyyĆ»b melihat dari kacamata yang umum terjadi. Penulis menerjemahkannya agak bebas).
AbĆ» AyyĆ»b berkata: “Kebencian Ćisyah kepada FĆ¢thimah timbul karena RasĆ»l AllĆ¢h saw mengawini Ćisyah setelah meninggalnya KhadĆ®jah. Sedang FĆ¢thimah adalah putri KhadĆ®jah. Secara umum antara anak dan ibu tiri akan timbul ketegangan dan kebencian. Istri akan mendekati ayahnya dan bukan suaminya, dan anak perempuan tidak akan senang melihat ayahnya akrab dengan ibu tirinya. Ia menganggap ibu tirinya merebut tempat ibunya. Sebaliknya anak perempuan benar-benar jadi tumpuan kecemburuan ibu tiri. Beban cemburu Ćisyah kepada almarhumah KhadĆ®jah, berpindah kepada FĆ¢thimah.
Besarnya kebencian pada anak tirinya sebanding dengan bencinya kepada madunya yang telah meninggal. Apalagi bila suaminya sering mengingat istrinya yang telah meninggal itu.
Kemudian semua sepakat bahwa FĆ¢thimah mendapat kedudukan mulia di sisi AllĆ¢h SWT melalui hadis RasĆ»l, yang juga ayahnya, sebagai Penghulu Wanita Kaum Mu’minĆ®n yang kedudukannya sejajar dengan Asiyah, Mariam binti ImrĆ¢n dan KhadĆ®jah Al-KubrĆ¢ seperti yang tertera dalam hadis shahĆ®h BukhĆ¢rĆ® dan Muslim. Dan RasĆ»l saw, sekali lagi dalam kedudukannya sebagai NabĆ®, memuliakan FĆ¢thimah dengan kemuliaan yang besar, lebih besar dari yang disangka orang dan lebih besar dari pemuliaan yang lazim diberikan seorang ayah mana pun kepada anaknya. Sampai melewati batas cinta ayah kepada anak. Dan RasĆ»l AllĆ¢h saw menyampaikannya terang-terangan di kalangan khusus maupun umum, berulang-ulang, bukan hanya sekali, dan di kalangan yang berbeda-beda, bukan di satu kalangan saja bahwa “FĆ¢thimah adalah penghulu kaum wanita sedunia.” Melalui hadis yang berasal dari AlĆ®, Umar bin KhaththĆ¢b, Hudzaifah Ibnu Yaman, AbĆ» Sa’Ć®d Al-KhudrĆ®, AbĆ» Hurairah dan lain-lain RasĆ»l bersabda:
“Sesungguhnya, FĆ¢thimah adalah penghulu para wanita di surga, dan Hasan serta Husain adalah penghulu para remaja di surga. Namun ayah mereka berdua (AlĆ®) lebih mulia dari mereka berdua.”[[26]]
Atau hadis yang diriwayatkan Ćisyah sendiri bahwa RasĆ»l telah bersabda: “Wahai FĆ¢thimah, apakah engkau tidak puas menjadi penghulu para wanita sejagat atau penghulu wanita umat ini atau penghulu kaum mu’minĆ¢t?[[27]]
Sekali lagi, RasĆ»l AllĆ¢h saw melakukan ini sebagai NabĆ®, bukan sebagai orang biasa yang mudah terbawa oleh hawa nafsu.[[28]] RasĆ»l bersabda bahwa kedudukan FĆ¢thimah sama dengan kedudukan Mariam binti ImrĆ¢n[[29]], dan bila FĆ¢thimah lewat di tempat wuquf, para penyeru berteriak dari arah arsy, “Hai penghuni tempat wuquf, turunkan pandanganmu karena FĆ¢thimah binti Muhammad akan lewat.”[[30]] Hadis ini merupakan hadis shahĆ®h dan bukan hadis lemah.
Betapa sering RasĆ»l AllĆ¢h saw bersabda: “Barangsiapa menyakiti FĆ¢thimah, maka ia telah menyakitiku”, “Membencinya berarti membenciku”[[31]], “Ia bagian dari diriku. Meraguinya berarti meraguiku”[[32]]. Dan semua pemuliaan dan penghormatan ini tentu menambah kebencian Ćisyah yang tidak berusaha sungguh-sungguh untuk melihat konteks ini dengan kenabian RasĆ»l saw.
Berbeda misalnya dengan Ummu Salamah, juga istri RasĆ»l, ummu’l-mu’minĆ®n, yang mencintai FĆ¢thimah, AlĆ®, Hasan dan Husain bukan hanya sebagai anggota keluarga tetapi juga sebagai yang dimuliakan AllĆ¢h dengan ayat thathhĆ®r.[[33]]
Biasanya bila seorang istri merasa diperlakukan kurang baik oleh sesama wanita maka berita ini akan sampai kepada suami. Dan lumrah bila istri menceritakan ini pada suaminya di malam hari. Tetapi Ćisyah tidak dapat melakukan ini, karena FĆ¢thimah adalah anak suaminya. Ia hanya bisa mengadu pada wanita-wanita MadĆ®nah dan tetangga yang bertamu ke rumahnya. Kemudian wanita-wanita ini akan menyampaikan berita kepada FĆ¢thimah, barangkali begitu pula sebaliknya. Dan yang jelas ia akan menyampaikannya kepada ayahnya, AbĆ» Bakar. Dan sampailah kepada AbĆ» Bakar semua yang terjadi. Kemampuan Ćisyah untuk mempengaruhi orang sangatlah terkenal dan hal ini akan membekas pada diri AbĆ» Bakar. Kemudian RasĆ»l AllĆ¢h saw melalui hadis yang demikian banyak, telah memuliakan dan mengkhususkan AlĆ® dari sahabat-sahabat lain. Berita ini tentu menambah kepedihan AbĆ» Bakar, karena AbĆ» Bakar adalah ayah Ćisyah. Pada kesempatan lain sering terlihat Ćisyah duduk bersama AbĆ» Bakar dan Thalhah sepupunya dan mendengar kata-kata mereka berdua. Yang jelas pembicaraan mereka mempengaruhinya sebagaimana mereka terpengaruh oleh Ćisyah.
Kemudian ia melanjutkan: “Saya tidak mengatakan bahwa AlĆ® bebas dari ulah Ćisyah. Telah sering timbul ketegangan antara Ćisyah dan AlĆ® di zaman RasĆ»l AllĆ¢h saw.” Misalnya telah diriwayatkan bahwa suatu ketika RasĆ»l dan AlĆ® sedang berbicara. Ćisyah datang menyela antara keduanya dan berkata: “Kamu berdua ngobrol terlalu lama!” RasĆ»l marah sekali. Dan tatkala terjadi peristiwa Ifk, menurut Ćisyah, AlĆ® mengusulkan RasĆ»l AllĆ¢h saw agar menceraikan Ćisyah dan mengatakan bahwa Ćisyah tidak lebih dari tali sebuah sandal. (Tapi banyak orang meragukan peristiwa Ifk yang diriwayatkan Ćisyah ini. Dari mana misalnya orang mengetahui usul AlĆ® kepada RasĆ»l? Siapa yang membocorkannya?, pen.)
Di pihak lain FĆ¢thimah melahirkan banyak anak lelaki dan perempuan, sedang Ćisyah tidak melahirkan seorang anak pun. Sedangkan RasĆ»l AllĆ¢h saw menyebut kedua anak lelaki FĆ¢thimah, Hasan dan Husain sebagai anak-anaknya sendiri. Hal ini terbukti tatkala turun ayat mubĆ¢halah.[[34]] Bagaimana perasaan seorang istri, yang tidak dapat melihat bahwa suaminya adalah seorang RasĆ»l AllĆ¢h, bila suaminya memperlakukan cucu tirinya sebagai anaknya sedangkan ia sendiri tidak punya anak?
Kemudian RasĆ»l menutup pintu yang biasa digunakan ayahnya ke masjid dan membuka pintu untuk AlĆ®. Begitu pula tatkala Surat Bara’ah turun, RasĆ»l AllĆ¢h saw menyuruh AlĆ®, yang disebutnya sebagai dari dirinya sendiri, untuk menyusul AbĆ» Bakar dalam perjalanan haji pertama. Dan agar AlĆ® sendiri membacakan surat Bara’ah atau Surat Taubah kepada jemaah dan kaum musyrikin di Mina.
Kemudian Mariah, istri RasĆ»l, melahirkan IbrĆ¢hĆ®m dan AlĆ® menunjukkan kegembiraannya, hal ini tentu menyakitkan hati Ćisyah.
Yang jelas AlĆ® sama sekali tidak ragu lagi, sebagaimana kebanyakan kaum MuhĆ¢jirĆ®n dan AnshĆ¢r, bahwa AlĆ® akan jadi khalĆ®fah sesudah RasĆ»l meninggal dan yakin tidak akan ada orang yang menentangnya. Tatkala pamannya AbbĆ¢s berkata kepadanya: “Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu dan orang akan berkata “Paman RasĆ»l membaiat sepupu RasĆ»l, dan tidak akan ada yang berselisih denganmu!” AlĆ® menjawab: “Wahai paman, apakah ada orang lain yang menginginkannya?” AbbĆ¢s menjawab: “Kau akan tahu nanti!” AlĆ® menjawab: “Sedang saya tidak menginginkan jabatan ini melalui pintu belakang. Saya ingin semua dilakukan secara terbuka.” AbbĆ¢s lalu diam.
Tatkala penyakit Rasûl Allâh saw semakin berat, Rasûl berseru agar mempercepat pasukan Usâmah. Abû Bakar beserta tokoh-tokoh Muhâjirîn dan Anshâr lainnya diikutkan Rasûl dalam pasukan itu. Maka Alî, yang tidak diikutkan Rasûl dalam pasukan Usâmah, dengan sendirinya akan menduduki jabatan khalîfah itu, bila saat Rasûl Allâh saw tiba,karena Madînah akan bebas dari orang-orang yang akan menentang Alî. Dan ia akan menerima jabatan itu secara mulus dan bersih. Maka akan lengkaplah pembaiatan, dan tidak akan ada lawan yang menentangnya.
Itulah sebabnya Ćisyah memanggil AbĆ» Bakar dari pasukan UsĆ¢mah yang sedang berkemah di Jurf, pada pagi hari Senin, hari wafatnya RasĆ»l dan bukan pada siang hari, dan memberitahukannya bahwa RasĆ»l AllĆ¢h saw sedang sekarat, “yamĆ»tu.”
Dan tentang mengimami salat, AlĆ® menyampaikan bahwa Ćisyah-lah yang memerintahkan Bilal, maulĆ¢ ayahnya, untuk memanggil ayahnya mengimami salat, karena RasĆ»l saw sebagaimana diriwayatkan telah bersabda: “Agar orang-orang salat sendiri-sendiri”, dan RasĆ»l tidak menunjuk seseorang untuk mengimami salat. Salat itu adalah salat subuh. Karena ulah Ćisyah itu maka RasĆ»l memerlukan keluar, pada akhir hayatnya, dituntun oleh AlĆ® dan Fadhl bin AbbĆ¢s sampai ia berdiri di mihrab seperti diriwayatkan...”
Setelah AbĆ» Bakar dibaiat, FĆ¢thimah datang menuntut Fadak milik pribadi ayahnya tetapi AbĆ» Bakar menolaknya dan mengatakan bahwa NabĆ® tidak mewariskan. Ćisyah membantu ayahnya dengan membenarkan hadis tunggal yang disampaikan ayahnya bahwa “NabĆ® tidak mewariskan dan apa yang ia tinggalkan adalah sedekah.”
Kemudian FĆ¢thimah meninggal dunia dan semua wanita melayat ke rumah BanĆ» HĆ¢syim kecuali Ćisyah. Ia tidak datang dan menyatakan bahwa ia sakit. Dan sampai berita kepada AlĆ® bahwa Ćisyah menunjukkan kegembiraan. Kemudian AlĆ® membaiat AbĆ» Bakar dan Ćisyah gembira. Sampai tiba berita UtsmĆ¢n dibunuh dan Ćisyah orang yang paling getol menyuruh bunuh UtsmĆ¢n dengan mengatakan UtsmĆ¢n telah kafir.
Mendengar demikian ia berseru: “Mampuslah ia!” Dan ia mengharap Thalhah akan jadi khalĆ®fah. Setelah mengetahui AlĆ® telah dibaiat dan bukan Thalhah, ia berteriak: “UtsmĆ¢n telah dibunuh secara kejam dan menuduh AlĆ® sebagai pembunuh dan meletuslah perang Jamal.”[[35]] Demikian penjelasan Ibn AbĆ®l-HadĆ®d.
Referensi:
[1] Lihat Balâdzurî, Ansâb al-Asyrâf, jilid 5, hlm. 7.
[2] Al-Qur’Ć¢n (33), ayat 33.
[3] Ibnu Thaifur, BalĆ¢ghĆ¢t an-NisĆ¢’, hlm. 8; Mengenai nasihat Ummu Salamah kepada Ćisyah, lihat juga Zamakhsyari, al-FĆ¢’iq, jilid 1, hlm. 290; Ibnu Abd Rabbih, Iqd al-FarĆ®d, jilid 3, hlm. 69; Syarh Nahju’l-BalĆ¢ghah, jilid 2, hlm. 79.
[4] Dzi Qar = Sebuah mata air dekat Kƻfah, pen.
[5] Lihat Ibn AbĆ®l-HadĆ®d, Syarh Nahju’l-BalĆ¢ghah, jilid 2, hlm. 157.
[6] Usdu’l-GhĆ¢bah, jilid 2, hlm. 309-310.
[7] Haudaj adalah tandu yang dipasang di punggung unta, pen.
[8] Ibnu Abd Rabbih, Iqd al-FarƮd, jilid 4, hlm. 294.
[9] Al-Qurân, al-Ahâzb (XXXIII):6.
[10] Abdullâh bin Zubair.
[11] Ibn AbĆ®l-HadĆ®d, Syarh Nahju’l-BalĆ¢ghah, jilid 2, hlm. 166.
[12] Lihat Usdu’l-GhĆ¢bah, jilid 5, hlm. 178-179.
[13] Ibnu Sa’d, ThabaqĆ¢t, jilid 3 hlm. 370.
[14] Ibnu Sa’d, ibid., jilid 8, hlm. 67; Zarkasyi, al-IjĆ¢bah, hlm. 71, 75; Kanzu’l UmmĆ¢l, jilid 7, hlm. 116; Muntakhab, jilid 5, hlm. 118; al-IshĆ¢bah, jilid 4, hlm. 349; ThabarĆ®, ibid., jilid 4, hlm. 161; Ibnu AtsĆ®r, jilid 2, hlm. 247; AlHĆ¢kim Al-NĆ®sĆ¢bĆ»rĆ®, al-Mustadrak, jilid 4, hlm. 8; Syarh Nahju’l-BalĆ¢ghah, jilid 3, hlm. 154; al-BalĆ¢dzurĆ®, FutĆ»h al-BuldĆ¢n, hlm. 449, 454, 455; AnNubalĆ¢’, jilid 2, hlm. 132, 138.
[15] AbĆ»’l-Faraj al-IshfahĆ¢nĆ®, MaqĆ¢til ath-ThĆ¢libiyĆ®n, hlm. 43.
[16] Abû Turâb atau Alî bin Abî Thâlib.
[17] ThabarĆ®, TĆ¢rĆ®kh, tatkala membicarakan sebab pembunuhan AlĆ®; Ibnu Sa’d, ThabaqĆ¢t al-KubrĆ¢, jilid 3, hlm. 27; AbĆ»’l-Faraj al-IshfahĆ¢nĆ®, MaqĆ¢til at-ThĆ¢libiyĆ®n, hlm. 42.
[18] AbĆ»’l-Faraj al-IshfahĆ¢nĆ®, MaqĆ¢til at-ThĆ¢libiyĆ®n, hlm. 42.
[19] Al-Bukhârî, jilid 2, hlm. 277 dalam Bab Kecemburuan Wanita, Kitâb Nikah.
[20] Al-Bukhârî, jilid 2, hlm. 210, pada Bab Manâqib Khadîjah.
[21] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 150, 154.
[22] Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 117; Sunan TirmidzĆ®, jilid 1, hlm. 247; ShahĆ®h BukhĆ¢rĆ®, jilid 2, hlm. 177, jilid 4, hlm. 36, 195; Musnad Ahmad, jilid 6, hlm. 58, 102, 202, 279; Ibnu KatsĆ®r, TĆ¢rĆ®kh, jilid 3, hlm. 128; al-Kanzu’l-UmmĆ¢l, jilid 6, hlm. 224.
[23] Musnad Ahmad, jilid 4, hlm. 275.
[24] Al-Qur’Ć¢n, an-Najm (LIII), 3}
[25] Maksud Ibn Abin HadĆ®d adalah Khotbah 155 dalam Nahjul BalĆ¢ghah tatkala AlĆ® berkata tentang Ćisyah: “Kebencian mendidih dalam dadanya, sepanas tungku pandai besi. Bila ia diajak melakukan kepada orang lain seperti yang ia lakukan kepadaku, ia akan menolak. Tetapi hormatku kepadanya, setelah kejadian ini pun, tetap seperti semula.
[26] TirmidzĆ®, al-JĆ¢mi’ ash-ShahĆ®h, jilid 5, hlm. 656, 661; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 3, hlm. 62, 64, 82, jilid 5, hlm. 391, 392; Ibnu MĆ¢jah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 56; Al-HĆ¢kim An-NĆ®sĆ¢bĆ»rĆ®, al-Mustadrak ash-ShahĆ®hain, jilid 3, hlm. 167; Majma’ az-ZawĆ¢’id, jilid 9, hlm. 183; al-MuttaqĆ®, Kanz al-UmmĆ¢l, jilid 13, hlm. 127, 128; al-IstĆ®’Ć¢b, jilid 4, hlm. 1495; Usdu’l-GhĆ¢bah, jilid 5, hlm. 574; TĆ¢rĆ®kh BaghdĆ¢d, jilid 1, hlm. 140, jilid 6, hlm. 372, jilid 10, hlm. 230; Ibnu AsĆ¢kir, at-TĆ¢rĆ®kh, jilid 7, hlm. 362.
[27] Shahîh Bukhârî, jilid 8, hlm. 79; Shahîh Muslim, jilid 7, hlm. 142-144; Ibnu Mâjah, as-Sunan, jilid 1, hlm. 518; Ahmad bin Hanbal, al-Musnad, jilid 6, hlm. 282; al-Hâkim an-Nîsâbûrî, al-Mustadrak alâ ash-Shahîhain,jilid 3, hlm. 136.
[28] Lihat juga Kanzu’l-UmmĆ¢l, jilid 6, hlm. 219.
[29] Lihat juga Kanzu’l-UmmĆ¢l, jilid 6, hlm. 219.
[30] Lihat juga al-Mustadrak, jilid 3, hlm. 153, 156; Kanzu’l-UmmĆ¢l, jilid 6, hlm. 218.
[31] Lihat catatan kaki di atas.
[32] Lihat Kanzu’l-UmmĆ¢l, jilid 6, hlm. 220.
[33] Al-Qur’Ć¢n 33:33; Lihat hadis KisĆ¢’ yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, dalam Bab “Nash Bagi AlĆ®.”
[34] Al-Qur’Ć¢n, Ćli ImrĆ¢n (III): 61.
[35] Ibn AbĆ®l-HadĆ®d, Syarh Nahju’l-BalĆ¢ghah, jilid 2 hlm. 192-197.
(Teras-Erwin/ABNS)






Post a Comment
mohon gunakan email