Pesan Rahbar

Home » » Apakah Prabu Siliwangi Menolak Islam, atau Menerima Diam-Diam?

Apakah Prabu Siliwangi Menolak Islam, atau Menerima Diam-Diam?

Written By Unknown on Thursday 28 April 2016 | 21:53:00

Lukisan Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan nama Siliwangi didampingi tiga harimau (Foto: tatarsunda)

Dalam diskusi ‘kecil’ di Lembaga Kebudayaan Betawi (LKB) beberapa tahun lalu, banyak dipertanyakan sejak kapan penduduk Betawi (Jakarta) memeluk agama Islam. Apakah proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya baru terjadi sejak Fatahillah, panglima Kerajaan Islam Demak menaklukkan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527.

Pendapat ini dibantah keras budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Menurut dia, proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi jauh lebih awal.

Bahkan, lebih dari 100 tahun sebelum kedatangan balatentara Fatahillah yang mengusir orang Barat (Portugis) di Teluk Jakarta (sekitar Pasar Ikan). Tepatnya pada 1412, yang digerakkan Syekh Kuro, seorang ulama dari Campa (Kamboja).

Pada tahun tersebut, ia telah membangun sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang. Sementara, Siswadi, dalam tulisan mengenai ‘Perkembangan Kota Jakarta,’ menulis: “Dalam abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan politik.”

Menurut kitab ‘Sanghyang Saksakhanda’, sejak pesisir utara Pulau Jawa mulai dari Cirebon, Karawang, dan Bekasi terkena pengaruh Islam yang disebarkan orang-orang Pasai. Maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk Islam.


Islamisasi Betawi Dimulai dari Prabu Siliwangi

Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri salah satunya Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite.

Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana. Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang.

Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam. Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata: ‘parahyangan’.

Tapi, menurut dia, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?


Perjuangan Kian Santang Sebarkan Islam

Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi.

Penguasa Pajajaran, ketika itu menyebut mereka yang masuk Islam sebagai kaum langgara. Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan. Dan tempat shalat mereka disebut langgar.

Karena itu, orang Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan dari mushala. Kaum langgara inilah yang disebut samanan.

Seperti kita ketahui, di Jakarta Barat maupun Bekasi ada kampung bernama Semanan. Salah seorang murid Kian Santang, yang juga menjadi penyebar Islam yang handal adalah Pangeran Papak, seorang adipati dari Tanjung Jaya yang kini lokasinya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan.

Ratunya adalah Kiranawati, yang dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Menurut cerita rakyat, bila Ratu Kiranawati bepergian dengan kereta kuda, ia dilepas dengan mengumandangkan adzan.


Tujuh Wali Betawi Sebarkan Islam

Dalam diskusi itu, Ridwan menyebutkan, dalam proses Islamisasi, terdapat tujuh wali Betawi. Antara lain, Pangeran Darmakumala dan Kumpi Datuk yang dimakamkan berdekatan, di tepi kali Ciliwung, dekat Kelapa Dua, Jakarta Timur.

Kemudian Habib Sawangan, yang dimakamkan di depan Pesantren Al-Hamidiyah, Depok. Pangeran Papak, dimakamkan di Jl Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur.

Wali lainnya, Ki Aling, menurut Ridwan, tidak diketahui makamnya. Ketujuh ‘wali Betawi’ ini, menurutnya, hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.

Beberapa generasi setelah tujuh wali itu, terdapat Habib Husein Alaydrus yang dimakamkam di Luar Batang, tempat ia membangun masjid pada awal abad ke-18.

Kong Jamirun dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Datuk Biru, makamnya di Rawabangke, Jatinegara.

Serta Habib Alqudsi dari Kampung Bandan, Jakarta Utara. Di Mekkah, terdapat Sheikh Junaid Al-Betawi, yang berasal dari Kampung Pekojan, Jakarta Barat.

Syekh Junaid, yang kumpi dari Habib Usman bin Yahya, adalah guru dari Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mengarang ratusan kitab, tersebar di berbagai negara Islam. Habib Usman, sendiri adalah salah seorang guru dari Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat. Seperti daerah lainnya di Nusantara, Islamisasi di Betawi berlangsung penetration pacifique (penyebaran secara damai).

(Republika/Satu-Islam/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: