Oleh: Hassan Bulkhar
Sejarah mencatat seratus delapan puluh lima
tulisan dari Rasulullah Saw. Tulisan-tulisan ini mencakup surat
perjanjian, seruan kepada para penguasa dan kepala kabilah untuk masuk
Islam , instruksi kenegaraan, amnesti, dan selainnya. Tulisan-tulisan
ini memberikan ilustrasi tentang etika politik dan sosial beliau.
Urgensi surat-surat ini terletak dalam menonjolnya sikap hukum dan
politik Rasulullah Saw. Kendati dalam sebagian teksnya terdapat
wejangan-wejangan moral, bahkan penjelasan tentang Pandangan Dunia, tapi
hal-hal ini diperhatikan sebagai refleksi etika politik-sosial beliau.
Salah satu contohnya adalah perbedaan nada
surat Rasulullah Saw yang ditujukan kepada para raja Kristen seperti
Heraclius (dimana dalam surat itu beliau membawakan ayat, Katakanlah:
wahai Ahlulkitab, marilah kita bersama dalam kalimat yang serupa antara
kami dan kalian, (yaitu) tidak menyembah selain Allah, tidak
menyekutukan-Nya, dan tidak menjadikan sebagian dari kita sebagai
penguasa selain Allah. Jika mereka berpaling, katakanlah: bersaksilah
bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri) dan surat yang
ditujukan kepada orang-orang seperti Khosrou Parviz.
Analisis mendalam atas tulisan-tulisan ini
bisa menjelaskan sirah dan sunnah Rasulullah Saw dalam semua dimensi
politik-sosial dan hukum. Tulisan-tulisan ini, dari satu sisi, bisa
menjadi referensi untuk menelurkan protokol-protokol hukum Dunia Islam,
dan dari sisi lain, ditunjukkan kepada lembaga serta badan hukum dan
politik dunia modern, khususnya Barat. Tentu ini membutuhkan studi para
pemikir dan cendikiawan muslim dalam kamus neraca hukum dunia di masa
kini. Penggalian neraca-neraca modern hak asasi manusia (HAM) dalam
Islam berdasarkan sunnah Nabi Saw, tak hanya membuat Dunia Islam mampu
mengatasi persoalan-persoalan kontemporer dunia, tapi juga bisa menjadi
standar untuk mengevaluasi neraca-neraca hukum masa kini, khususnya di
era globalisasi seperti sekarang.
Dunia Islam membutuhkan sebuah gerakan
serius dan revolusioner dalam lingkup pemikiran-pemikirannya. Gerakan
ini harus memiliki dua unsur utama, yaitu riset dan perbandingan. Dalam
tahap awal, Dunia Islam memerlukan para pemikir dan periset kompeten
yang sanggup menyelami samudera ajaran Islam dan mengeluarkan
mutiara-mutiaranya. Dalam tahap kedua, ia membutuhkan orang-orang yang
memiliki kemampuan membandingkan neraca hukum Islam dengan neraca
rasional masa kini, yang tertuang dalam deklarasi-deklarasi seperti
Deklarasi HAM yang telah menjadi manifes hukum dunia modern era
globalisasi. Tentu saja, riset dan perbandingan ini bukan demi
memetamorfosiskan neraca hukum Islam menjadi neraca kontemporer. Tujuan
riset dan perbandingan ini adalah menelurkan sebuah piagam HAM
komprehensif, yang tak hanya memuat hak dan kewajiban manusia, tapi juga
memperlihatkan tujuan spiritualnya dalam memanfaatkan hak-hak
insaninya.
Tampaknya, masyarakat yang lebih
mengedepankan unsur hak ketimbang kewajiban dan melalaikan atau
meminggirkannya, akan rentan terhadap bahaya serupa yang mengancam
masyarakat yang murni mengagungkan kewajiban. Hukum-hukum Islam
menempatkan hak dalam tempat yang layak. Ia tidak mengorbankan hak
sebagai tumbal kewajiban, dan juga sebaliknya.
Para pemikir dan cendekiawan masa kini
mengkritik berbagai manifes dan protokol hukum di pentas dunia lantaran
kecenderungannya pada masalah hak belaka. Padahal, salah satu hak insani
paling gamblang adalah pengetahuan manusia akan hak dan kewajibannya
sekaligus. Selama manusia tidak merasa bertanggung jawab di hadapan
seorang atasan, maka pasti ia tak mampu mengenal konsep hak-haknya.
Pengenalan hak bergantung pada pelaksaan kewajiban, dan pelaksanaan
kewajiban bergantung pada kepemilikan hak. Kewajiban ini merupakan
faktor terwujudnya hak manusia, bukan penghalangnya.
Kami yakin, al-Quran dan sunnah Nabawi
serta Alawi adalah literatur komprehensif yang memuat penjelasan tentang
hak dan kewajiban manusia. Dari sekian banyak tulisan dan surat
Rasulullah Saw, penulis hanya memilih satu contoh yang menguatkan
prinsip di atas dan sekaligus memaparkan perhatian Islam terhadap
masalah HAM. Tulisan yang dipilih adalah teks perjanjian Rasulullah Saw
dengan kaum Kristen dari Najran. Perjanjian ini dikutip dalam al-Kharraj
(Abu Yusuf), al-Kharraj (Abu Ubaid), Futuh al-Buldan (Baladzari), Zad
al-Ma`ad (Ibnu Qayyim), Imta` (Muqrizi), Watsaiq as-Siyasiyah
al-Yamaniah (Muhammad bin Akwa` Hawali), Sunan Abu Daud, Tarikh Ya`qubi,
dan berbagai referensi Islam lainnya.
Perjanjian ini ditanda tangani pada tahun
ke-9 Hijriah pasca peristiwa mubahalah antara Rasulullah Saw dan kaum
Kristen Najran (sebuah daerah permai yang terdiri atas tujuh belas dusun
di perbatasan Hijaz dan Yaman). Perjanjian ini sendiri merupakan salah
satu contoh prinsip etika politik-hukum Rasulullah Saw terkait HAM.
Dalam surat perjanjian ini, beliau meminta mereka membayar jizyah dan
sebagai gantinya, beliau menyatakan kesediaannya untuk melindungi jiwa
dan harta mereka. Perjanjian ini memperlihatkan contoh kasih sayang dan
keadilan dalam Islam, sekaligus menjamin terjaganya hak-hak penduduk
Najran. Contoh kasih sayang ini bisa dilihat dalam butir pertama
perjanjian. Dalam butir ini dijelaskan, setelah kaum Kristen Najran
membatalkan mubahalah dan menyerahkan keputusan terkait buah-buahan,
harta benda, dan budak-budak mereka kepada Rasulullah Saw, beliau
mengembalikan semuanya kepada mereka dan hanya memungut sejumlah kecil
pajak (itupun bukan karena mereka pihak yang kalah, tapi lantaran
komitmen beliau atas butir-butir lain perjanjian, yaitu jaminan atas
keselamatan dan harta penduduk Najran).
Berikut ini adalah poin-poin penting perjanjian terkait perlindungan atas hak-hak penduduk Najran:
1. Jika perangkat perang yang dipinjamkan
kabilah Najran kepada pasukan muslim untuk memadamkan pemberontakan atau
huru-hara di Yaman rusak, maka utusan atau wakil Rasulullah Saw
berkewajiban untuk menggantinya, "Jika terjadi huru-hara dan
pemberontakan di Yaman, kabilah Najran bertugas meminjamkan tiga puluh
baju besi, tiga puluh kuda, dan tiga puluh unta kepada muslimin. Bila
barang-barang pinjaman ini rusak, maka utusan dan wakilku berkewajiban
untuk menggantinya."
2. Rasulullah Saw secara resmi melindungi
hak kabilah Najran untuk menjaga keyakinan, jiwa, dan harta benda
mereka. Beliau menjadikan lindungan Allah dan perjanjiannya sebagai
tempat berlindung jiwa, harta, dan keyakinan kabilah Najran. Kendati
dalam peristiwa mubahalah, kebenaran risalah Rasulullah Saw telah
terbukti bagi para petinggi Najran dan posisi beliau sebagai pemenang
bisa dimanfaatkan untuk mengislamkan pengikut Kristen ini, namun beliau
bukan hanya tidak memaksa mereka untuk masuk Islam, bahkan menjadikan
lindungan Allah dan perjanjiannya sebagai saksi dan jaminan atas
perlindungan terhadap keyakinan, harta, dan jiwa kabilah Najran,
"Lindungan Allah dan perjanjian Muhammad, utusan Allah, adalah jaminan
bagi harta, jiwa, dan keyakinan penduduk Najran dan sekitarnya, termasuk
yang hadir dan gaib dari mereka, keluarga, tempat ibadah, dan hal-hal
yang berada di tangan mereka."
3. Rasulullah Saw secara resmi mengakui hak
para pastor dan rahib Kristen untuk menjalankan tugas dan jabatan
keagamaan mereka. Beliau menyatakan bahwa mereka tetap memegang jabatan
masing-masing, "Tak satu pun uskup, rahib, dan pastor yang disingkirkan
dari posisinya."
4. Rasulullah Saw membebaskan kabilah
Najran dari membayar uang tebusan darah yang ditumpahkan mereka di masa
jahiliyah, "Tak ada kewajiban bagi mereka untuk membayar uang tebusan
darah yang tertumpah di masa jahiliyah."
5. Rasulullah Saw menjamin bagi kabilah
Najran hak politik paling mendasar tiap bangsa, yaitu hak hidup aman dan
sentosa di tanah air mereka, "Mereka tak akan diusir dari negeri
mereka, tak sejengkal pun tanah mereka akan diambil, dan tak akan ada
invasi ke negeri mereka. Siapa yang menuntut hak dari mereka, maka
tuntutannya akan dikaji secara adil, tanpa menzalimi pihak penuntut atau
yang dituntut."
Di bagian akhir surat perjanjian ini, ada
beberapa syarat yang disebutkan untuk kelanggengan dan kekuatan isi
perjanjian. Meski secara lahiriah tampak sebagai syarat, namun sejatinya
itu adalah sebuah penekanan akan pentingnya prinsip-prinsip kewahyuan
dan rasional yang juga terdapat dalam ajaran Kristen, "Mulai sekarang
dan berikutnya, siapa yang makan riba, maka perjanjianku tidak mencakup
dirinya dan tak satu pun yang akan dihukum karena kesalahan orang lain.
Perjanjian ini akan terus berlaku selama mereka (kabilah Najran)
menunjukkan niat dan itikad baik, serta tidak menodai perbuatan mereka
dengan kezaliman, dan hingga Allah menyampaikan perintah-Nya terkait
masalah ini." Syarat-syarat ini tak bisa dianggap telah dipaksakan atas
kabilah Najran, karena ajaran-ajaran Kristus juga menekankan hal-hal di
atas.
Sumber: Alhassanain
Post a Comment
mohon gunakan email