Oleh: Hadi Huda
بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Satu persoalan utama yang sering terlepas pandang oleh umat Islam adalah sejak dari masa dini Islam lagi adalah kasus penting, perlunya keberadaan ‘Penunjuk Jalan’ atau Imam yang mana telah disabdakan oleh Rasul Junjungan saaw:
Ibn Abu Asim di dalam kitab al-Sunnah, halaman 489 meriwayatkan hadis ini:
من مات وليس عليه إمام مات ميتة جاهلية
Barangsiapa yang mati tanpa memiliki Imam, maka matinya adalah mati Jahiliyyah.
al-Albani di dalam komentarnya tentang hadis ini, menulis:
إسناده حسن ورجاله ثقات
Isnadnya hasan dan semua perawinya Tsiqah.
Ibn Hibban juga meriwayatkan di dalam Sahihnya, jilid 7 hlm 49:
من مات بغير إمام مات ميتة جاهلية
Barangsiapa mati tanpa Imam, matinya adalah mati Jahiliyyah.
Imam Muslim meriwayatkan di dalam sahihnya, kitab al Imarah:
“Barangsiapa mati sedangkan di lehernya tak ada bai’ah (kepada Khalifah) maka dia mati dalam keadaan mati jahiliyah.”
Maka, hadis ini adalah hadis yang sahih dan dipersetujui oleh semua kelompok Islam.
Walaupun terdapat perbedaan pandangan tentang maksudnya, kesahihan dan terkenalnya hadis ini diperakui sedemikian rupa hingga para pemimpin yang zalim pun gagal dalam menafikannya, makanya mereka mencari ulah dalam memutarbelitkan maknanya.
Allamah Amini berkata setelah mengutip hadis ini dari sumber-sumber Sunni yang sahih: Adalah sebuah kenyataan abadi bahawa sumber-sumber Sunni yang sahih telah membuktikannya dan umat tidak memiliki pilihan kecuali tunduk patuh kepadanya, dan keislaman seseorang itu tidak menjadi sempurna kecuali dia menerima konsep dan kandungan hadis ini. Konsepnya menjelaskan tentang kesudahan yang dahsyat bagi mereka yang matinya tanpa Imam, dan orang seperti itu adalah jauh dari keselamatan dan rahmat. Kematian zaman Jahiliyyah adalah sebuah kematian yang mengerikan, iaitu kematian atheisme dan tanpa iman.
Bagi menjelaskan hadis ini, maksud kata Jahiliyyah haruslah terlebih dahulu difahami.
Dari sudut pandang Al Quran dan hadis, zaman kenabian Rasul saaw adalah zaman ilmu, manakala zaman sebelum misi kenabian adalah zaman Jahiliyyah, iaitu, sebelum misi kerasulan Baginda saaw, umat tidak mengetahui cara dan jalan untuk mengenali realiti-realiti kewujudan disebabkan oleh penyimpangan pada agama-agama yang diwahyukan dan apa yang jelas pada masyarakat saat itu atas nama agama adalah tidak lebih dari tahyul dan ilusi. Bahkan agama-agama yang sudah diselewengkan dan penuh dengan kepercayaan-kepercayaan ilusi ini, telah dijadikan alat oleh segelintir pihak yang kaya dan berkuasa saat itu untuk menguasai dan menekan masyarakat awam, sebuah realiti yang dirakam kemas dalam sejarah.
Misi suci Rasul saaw adalah permulaan bagi era ilmu pengetahuan. Misi dasar dan utama Rasul saaw adalah memerangi kepercayaan tahyul dan penyimpangan dan menjelaskan pada masyarakat tentang kebenaran.
MENGENALI IMAM YANG MANA?
Dengan sedikit pertimbangan terhadap kandungan hadis yang kita bicarakan ini dan atas apa yang kita bicarakan di atas, langsung tidak membuka ruang keraguan buat kita untuk mencari jawaban pada persoalan yang dikemukakan: Imamah Imam yang manakah yang menjamin keberlangsungan Islam yang murni, yang jika diabaikan oleh umat, bisa menjerumuskan mereka pada status Jahiliyyah?
Mungkinkah yang dimaksudkan oleh hadis suci ini adalah mentaati siapapun yang berkuasa untuk mengurus umat yang kita diwajibkan taat dan patuh, jika mana kita ingkar, akan mengakibatkan kita mati Jahiliyyah, tanpa peduli samada pemimpin itu bejat dan menyeleweng, atau sebagaimana yang disebut oleh Al Quran:
“Imam-imam yang mengajak orang ke neraka”. (QS. al-Qashash: 41).
Menjadi bukti bahawa semua pemimpin yang menyeleweng sepanjang sejarah Islam telah menggunakan hadis ini guna melegalisasikan kepemimpinan dan mengukuhkan penguasaan mereka ke atas umat. Bahkan ulama-ulama yang biasa mendatangi istana para Raja dan para pendakwah di istana-istana menterjemahkan hadis Nabi saaw ini lalu mengalungkannya ke leher para pemerintah yang menyeleweng ini. Adalah jelas, perbuatan mereka itu bukanlah disebabkan oleh salahfaham mereka tentang maksud sebenar akan hadis ini, sebaliknya ia adalah mainan kata semata-mata.
Adalah sukar untuk kita percaya, sebagaimana yang dijelaskan di dalam Syarah Nahjul Balaghah oleh Ibn Abi al Hadid, bahawa Abdullah ibn Umar enggan membaiah Amirul Mukminin Ali bin Abi Talib as disebabkan oleh kesalahfahaman dan tidak memiliki pengetahuan mendalam, namun berpegang teguh pada hadis “Barangsiapa mati tanpa Imam…” yang dia riwayatkan sendiri lalu, tanpa membuang waktu telah pergi bertemu dengan Hajjaj bin Yusuf pada malam hari untuk memberikan bai’ahnya kepada Abdul Malik bin Marwan, sang Khalifah…kerana dia tidak mahu melalui malamnya tanpa adanya Imam!
Namun, apakah orang yang zalim dan kejam seperti para pemimpin dari Bani Umayyah dan Bani Abbassiyah layak untuk digelar Imam?
Allah SWT berfirman:
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia”. Ibrahim berkata: ” (Dan saya mohon juga) dari keturunanku”. Allah berfirman: “Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang yang zalim”.
QS. al-Baqarah (2) : 124.
Dalam ayat yang kami bawakan ini, jelas, Imam tidak bisa disandang oleh mereka yang zalim, itu janji Allah.
Imamah adalah satu janji Allah, dikurniakanNya hanya kepada orang yang adil, zuhud dan suci maksum. Andai para Imam tidak memiliki ciri ciri kemaksuman ini, pastilah mereka terdedah pada kesalahan dan akan menjerumuskan umat pada kesalahan juga. Ini bertentangan dengan firman Allah yang berikut:
a) Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.
QS. Hud (11) : 113.
b) Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka.
QS. al-Insan (76) : 24.
Dalam kedua dua ayat di atas, Allah telah memerintahkan kita agar jangan cenderung pada orang yang zalim dan jangan mengikuti orang yang berdosa. Maka, tanggapan kelompok jumhur bahawa para Khalifah wajib ditaati tanpa bantahan adalah bertentangan dengan perintah Allah dalam ayat ayat di atas.
Andaikata Imam bisa melakukan kesalahan, umat sendiri akan turut melakukan kesalahan kerana mengikuti Imam yang salah. Hal seperti ini tidak bisa diterima memandangkan kepatuhan dalam dosa adalah suatu dosa, dilarang dan bertentangan dengan syariah. Tambahan pula, Imam akan dipatuhi dan diingkari pada masa yang sama dan ini adalah mustahil.
Kepercayaan kelompok Jumhur bahawa umatlah yang memilih pemimpin atau Imam juga adalah bertentangan dengan firman Allah berikut:
a) Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).
QS. al-Qashash (28) : 68.
b) Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah.
QS. al-Anbiya (21) : 73.
c) Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.
QS. as-Sajdah (32) : 24.
Ayat ayat di atas dengan jelas membuktikan bahawa para pemimpin atau Imam adalah dipilih oleh Allah sendiri, dan ini berlawanan dengan kepercayaan jumhur.
Lalu siapakah para Imam yang Allah pilih ini yang jika kita tidak mengenalnya, maka mati kita adalah matinya jahiliyah?
Mari kita telusuri hadis suci Nabi saaw untuk mendapatkan gambaran jelas tentang hal ini.
الْأَئِمَّةُ مِنْ قُرَيْشٍ .
“ Para imam itu dari suku Quraisy.”Hadits di atas (Al-a`immatu min Quraisy) diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dalam Al-Musnad (11859) dari Anas bin Malik dan Abu Barzah Al-Aslami (18941); An-Nasa`i dalam As-Sunan Al-Kubra (5942); Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf dari Anas (54/8) dan Ali bin Abi Thalib (54/17); Abdurrazaq dalam Al-Mushannaf dari Ali (19903); Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (7061) dari Ali; Ath-Thabarani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir dari Anas (724) dan dalam Ash-Shaghir dari Ali (426); Al-Baihaqi dalam Ma’rifatu As-Sunan wa Al-Atsar dari Anas (1595); Ath-Thayalisi dalam Al-Musnad (957) dari Abu Barzah dan Anas (2325); Al-Khallal dalam As-Sunnah (34) dari Salman Al-Farisi dan Ali (64); Ibnu Abi Ashim dalam As-Sunnah (929) dari Anas dan Abu Barzah (934); Ar-Ruyani dalam Al-Musnad (746, 750) dari Abu Barzah; Abu Ya’la Al-Maushili dalam Al-Mu’jam (155); Ibnul A’rabi dalam Al-Mu’jam (2259) dari Ali; Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (4635) dari Anas; dan Ibnu Adi dalam Al-Kamil (biografi Ibrahim bin Athiyah Al-Wasithi) dari Anas.
Tentang sanadnya, Imam Al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan Ahmad, Abu Ya’la, Ath-Thabarani dalam Al-Awsath, dan Al-Bazzar ( Dalam riwayat Al-Bazzar dengan lafal, “Al-Mulku fi Quraisy.”)
Para perawi Ahmad adalah orang-orang tsiqah (terpercaya)” (Majma’ Az- Zawa`id (8978).
Al-Hafizh Al-Iraqi berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dan Al-Hakim dari hadits Anas dengan sanad shahih” (Takhrij Ahadits Al-Ihya` (3711).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata, “Diriwayatkan An-Nasa`i dari Anas, Ath-Thabarani dalam Ad-Du’a`, dan Al-Bazzar serta Al-Baihaqi dengan beberapa jalur periwayatan dari Anas. Saya katakan, sungguh saya telah mengumpulkan jalur-jalur riwayat hadits ini dalam satu juz tersendiri dimana ia diriwayatkan oleh hampir empat puluh orang sahabat. … Dan sanadnya hasan” (At-Talkhish Al-Habir (1987).
Syaikh Syu’aib Al-Arna`uth berkata, “Hadits shahih dengan berbagai jalur periwayatan dan hadits-hadits lain yang menguatkannya” (Musnad Ash-Shahabah fi Al-Kutub At-Tis’ah (527).
Syaikh Al-Albani berkata, “Shahih, diriwayatkan dari sejumlah sahabat, di antaranya yaitu: Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, dan Abu Barzah Al-Aslami” (Irwa` Al-Ghalil (520). Al-Albani juga menshahihkan hadits ini dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir (4523 dan 4524) dan dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhib (2188 dan 2259).
Secara ringkas, demikian para ulama lain yang menshahihkan hadits ini; Imam Al-Munawi ( Faidh Al-Qadir (3108).
Syaikh Muhammad Ja’far Al-Kattani ( Nuzhum Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir (175).
Al-Ajluni (Kasyfu Al-Khafa` (850), Al-Burhanfuri (Kanzu Al-‘Ummal (1649, 14792, 23800) dan lain lain
Maka dari hadis ini kita tahu bahawa para Imam itu adalah dari Quraisy. Namun, berapa ramaikah mereka ini? Hadis berikut menjelaskannya.
Jabir bin Samurah berkata: “Aku mendengar Rasulullah saaw bersabda: “Islam akan senantiasa kuat di bawah 12 Khalifah”. Baginda kemudian mengucapkan kata kata yang tidak aku fahami, lalu aku bertanya bapaku apakah yang dikatakan oleh Rasulullah saaw. Beliau menjawab: “Semuanya dari Quraisy” (Muslim. Sahih, jilid VI, hlm 3, Bukhari, Sahih, jilid VIII, hlm 105, 128).
Apakah semua yang berstatus Quraisy layak menyandang gelaran Imam atau Khalifaf ini? Hadis berikut pula merincikan siapakah para Imam atau Khalifah yang berjumlah 12 orang itu.
Nabi saaw bersabda: “Setelahku akan ada 12 Khalifah, semuanya dari Bani Hasyim” (Qunduzi Hanafi, Yanabi’ al Mawaddah, jilid III, hlm 104).
Mungkin ada di kalangan yang berpenyakit dalam hati akan menyanggah hadis ini dan mengatakan ianya tidak sahih. Jika demikian, kami persilakan anda teruskan membaca hadis berikutnya pula
Dari Zaid bin Tsabit RA yang berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Aku telah meninggalkan di tengah-tengah kalian dua Khalifah yaitu Kitab Allah yang merupakan Tali yang terbentang antara bumi dan langit, serta KeturunanKu Ahlul BaitKu. Keduanya tidak akan berpisah sampai menemuiKu di Telaga Surga Al Haudh. (Hadis Ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad jilid 5 hal 182, Syaikh Syuaib Al Arnauth dalam Takhrij Musnad Ahmad menyatakan bahwa hadis ini shahih. Hadis ini juga diriwayatkan oleh Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir jilid 5 hal 154, Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid jilid 1 hal 170 berkata “para perawi hadis ini tsiqah”. Hadis ini juga disebutkan oleh As Suyuthi dalam Jami’ Ash Shaghir hadis no 2631 dan beliau menyatakan hadis tersebut Shahih.)
Maka, jika kita menyusun kembali semua premis premis yang dibawakan di atas, kita bisa menyimpulkan seperti berikut:
1. Sepeninggalan Rasul saaw, ada pengganti beliau yang dipanggil Imam/ khalifah
2. Imam/Khalifah ini berjumlah 12 orang
3. Kesemua mereka adalah dari Quraisy
4. Kesemua mereka adalah dari Bani Hasyim
5. Kesemua mereka adalah Ahlul Bayt Nabi as
Maka dengan ini, siapapun selain dari Ahlul Bayt as yang mendakwa diri mereka sebagai Khalifah atau Imam umat, dakwaan mereka tertolak. Hujjah yang kami bawakan di atas tidak membuka ruang walau sekecil apapun untuk memberikan jabatan Khalifah/ Imamah pada selain Ahlul Bayt as
Sekarang, persoalannya adalah, sudahkah anda mengenal Imam Zaman anda?
(ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email