Pesan Rahbar

Home » » 18 Dzulhijjah ,Sejarah Ghadir Khoum , Pengangkatan Imam Ali sebagai Penerus Risalah Rasulullah SAW

18 Dzulhijjah ,Sejarah Ghadir Khoum , Pengangkatan Imam Ali sebagai Penerus Risalah Rasulullah SAW

Written By Unknown on Wednesday 3 February 2016 | 12:42:00


من كنت مولاه فعلي مولاه اللهم والي من والاه و عاد من عاداه

“Barang siapa yang menjadikanku sebagai pemimpin, maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah, tolonglah orang yang menolong Ali dan musuhilah orang yang memusuhinya”


Hadits Rasulullah SAWW

Setelah hampir 23 tahun menanggung beban tugas pembumian risalah yang berat, suatu hari Rasulullah mendengar panggilan pulang ke haribaan Ilahi. Panggilan itu didengarnya, sementara risalahnya masih belum jauh membumi. Kota Madinah yang dibinanya dengan pedoman dan ajaran Islam dan Tauhid saat itu justru terancam serangan musuh, kaum pendamba kenikmatan duniawi, dan mereka yang hatinya penuh dengan gejolak dendam kesumat kepada Islam dan pendirinya sehingga mereka ingin meluluhlantakkan bangunan Islam untuk dikemudian mereka bangun kembali kebudayaan jahiliah yang sudah kehilangan daya pikatnya. Bayangan kelam ini sudah sekian lama menggelayuti detak hati Rasul.

Sementara itu, demi kelangsungan eksistensi Islam dan pengaturan umat Islam sesuai dengan perintah Allah, benak Rasul selalu tertuju kepada Ali Bin Abi Thalib as, sepupu beliau yang tumbuh dan besar dalam asuhan dan didikan beliau sendiri. Karena itu, meski keadaan sering tidak mendukung, dalam banyak kesempatan Rasul tetap mengemukakan masalah siapa yang akan menggantikan beliau.

Sementara itu, di hari-hari akhir hayat beliau, ancaman berbagai pihak yang tidak setuju dengan kebijakan Rasul nampak semakin serius sehingga hati beliau semakin galau. Dalam keadaan sedemikian rupa, beliau memobilisasi umat Islam untuk menyelenggarakan ibadah haji sekolosal mungkin. Seruan haji Rasul itu menghasilkan jumlah jemaah haji hingga 70.000 ribu orang, atau menurut riwayat lain yang lebih kuat dan popular jumlahnya bahkan mencapai 120.000 orang. Dalam haji akbar ini beliau ingin mematri umat Islam dengan ajaran-ajaran samawinya dengan bentuk yang amat monumental. Beliau mengajarkan apa yang seharusnya beliau ajarkan menyangkut pelaksanaan manasik haji beserta segala pesan yang terkandung di dalamnya.

Lebih dari itu, ada satu pesan dan perkara lain yang sebenarnya sudah sering beliau kemukakan kepada umat, namun saat itu harus beliau kemukakan lagi agar terungkap secara lebih formal, tegas, dan didengar umat. Pesan yang juga berasal dari wahyu Ilahi itu tak lain adalah pesan dan wasiat tentang kepemimpinan Ali bin Abi Thalib as sepeninggal beliau.

Ibadah haji pun usai. Manasik demi manasik terlaksana. Rasul kemudian menggiring lautan jemaah haji ke luar kota suci Mekkah setelah beliau mengucapkan salam perpisahan kepada Baitullah dan tanah kelahirannya tersebut.

Tanggal 18 Dzulhijjah, karavan haji tiba di sahara Juhfah. Di sahara inilah karavan yang terdiri dari berbagai daerah dan kabilah akan berpisah satu dengan yang lain. Di tempat itu, wahyu Ilahi turun menyapa kalbu suci Rasul:

ياايهاالرسول بلغ ماانزل اليك من ربك فان لم تفغل فما بلغت رسالته والله يعصمك من الناس

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan Tuhanmu kepada-Mu, dan jika hal ini tidak engkau lakukan, maka engkau (sama saja dengan) tidak menunaikan (sama sekali) risalah-Nya, dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia.”

Wahyu ini turun dengan nada tegas dan tidak memberi peluang bagi Rasul untuk tidak melaksanakannya. Sedemikian vital tugas ini sehingga jika beliau tidak melaksanakannya, maka beliau akan dianggap tidak melaksanakan risalah Allah sama sekali, dan dengan begitu akan runtuh semua fondasi risalah yang telah beliau bangun selama ini. Demi terlaksananya tugas ini, Allah berjanji akan melindungi Rasul dari gangguan musuh, dan karena itu tidak ada pula peluang bagi Rasul untuk merisaukan resiko pelaksanaan tugas tersebut.

Rasulpun bertekad untuk menyampaikan wahyu Ilahi tersebut kepada umat. Dalam rangka ini, beliau memerintahkan supaya rombongan yang ada didepan kembali ke belakang, sedangkan rombongan yang di belakang beliau perintahkan agar segera menyusul ke tempat beliau berada. Sesuai instruksi Rasul, semua karavan terkumpul di suatu padang gersang yang hanya ditumbuhi rumput-rumput kering berduri dan segelintir pohon. Di tempat itu, karavan terkonsentrasi di tepi sebuah telaga tua di daerah Khoum. Terik panas matahari yang tepat berada di atas kepala menjilat tubuh semua orang. Tanah dan bebatuan seakan membara sehingga banyak orang yang terpaksa menggunakan pakaiannya sebagai alas untuk menahan sengatan panas.

Dalam kondisi sedemikian sulit itu, semua orang bertanya-tanya dalam hati; gerangan apakah yang hendak dilakukan Rasul. Karena itu, perhatian semua orang terkonsentrasi kepada beliau. Dan benar, di saat benak para sahabat Rasul sedang diterpa badai penasaran itulah beliau hendak menentukan garis perjalanan sejarah umat dan ajaran Islam, ajaran yang telah beliau perjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata. Di tepi telaga itulah beliau hendak mencetuskan penggalan sejarah yang determinan bagi kehidupan spiritual dan materi umat manusia.

Peristiwa bersejarahpun berlangsung selama hampir lima jam di lokasi sekitar telaga Khoum tersebut dalam cuaca alam yang sedemikian panas. Menjelang pernyataan wasiat Rasul itu, suasana yang tadinya riuh tiba-tiba tercekam kebisuan. Gemerincing kalung-kalung onta dan kuda bahkan ikut tertelan kesunyian.

Entah karena panasnya hawa yang menyengat atau mungkin karena sedemikian besarnya risalah yang hendak beliau sampaikan, wajah nurani beliau saat itu nampak bersimbah peluh. Beliau tampil ke atas mimbar yang terbuat dari beberapa bongkah batu dan pelana onta. Semua mata tertatap kepada wajah beliau yang penuh wibawa meski sudah tergurat usia 63 tahun itu. Sedemikian anggunnya wajah beliau saat itu sehingga tatapan yang tersorotnya kepadanya dapat melunturkan panasnya sengatan surya dan letihnya perjalanan panjang yang tadinya dirasakan semua orang.

Meskipun terjadi lebih dari 1400 tahun silam, tepatnya pada tahun 10 Hijriah, namun kenangan peristiwa besar itu tetap abadi hingga sekarang. Pesan yang terungkap dalam peristiwa itu tetap terngiang dalam benak umat. Sebab, pesan yang disampaikan Rasul saat itu bukanlah pesan yang relefansinya tersekat oleh faktor ruang dan waktu dimana beliau berada, melainkan pesan universal tentang pembangunan sebuah negeri makmur yang diidam-idamkan umat. Yaitu negeri yang jika pemimpinnya tidak terpenjara di dalam rumahnya, niscaya ajaran Islam yang murni akan terus mengalir menyusuri lorong-lorong sejarah, dan tidak akan ada lagi kebangkitan kaum celaka dan jahil yang sudah tergilas oleh Islam. Rasulullah SAWW bersabda:

وان وليتموها عليا وجدتموه هاديا مهديا يسلك بكم علىالطريق المستقيم

“Jika kalian menyerahkan kepemimpinan kepada Ali, niscaya kalian akan mendapatkannya sebagai pemberi petunjuk kalian dan dia akan berjalan di atas jalan yang lurus bersama kalian.”

Dalam rangka memperingati peristiwa yang dikenal dengan peristiwa Ghadir Khoum (Telaga Khoum) itu, yang harus disayangkan ialah kenyataan punahnya kesegaran alam spiritual umat akibat terabaikannya pesan agung Rasul tersebut. Duduk persoalannya bukan terletak pada masalah ternistakannya hak Imam Ali as, melainkan pada penyimpangan yang begitu fatal sehingga mengeringkan mata air yang sangat diperlukan bagi kehidupan materi dan spiritual umat manusia.

Mengenai keabsahan riwayat tentang peristiwa Ghadir Khoum, layak disebutkan bahwa riwayat dan sanad-sanad yang mendukungnya sudah jauh menembus batas tawatur sehingga tidak mungkin lagi tergoyahkan oleh perjalanan masa. Syeikh Dhiyauddin yang merupakan ulama besar Ahlussunnah Waljamaah mengatakan, “Seandainya hadits Ghadir Khoum tidak bisa diterima, maka tidak akan lagi sesuatu yang bisa diterima dalam Islam.” Dari kalangan Ahlussunnah, orang-orang yang meriwayatkan hadits Ghadir Khoum meliputi para ahli sejarah, hadits, tafsir, kalam, dan bahkan ahli sastra.

Dari karya para ulama salaf atau ulama generasi terdahulu, kitab-kitab yang sudah ditemukan sejauh ini tentang Ghadir Khoum ada sekitar 26 judul kitab yang diantaranya ialah sebagai berikut:
1. Kitab ‘AlWilayah’ karya Muhammad Bin Jarir Attbari (wafat 310 H), sejarawan ternama Islam dari kalangan Ahlussunah. Attabari nampaknya adalah ulama yang pertama kali menyusun kitab khusus tentang peristiwa Ghadir Khoum. Dalam kitab itu dia meriwayatkan hadist AlGhadir melalui 75 sanad.
2. Kitab ‘AlWilayah fi Thariqi Hadist AlGhadir’ karya Hafid bin Uqdah AlHamadani (wafat 333 H). Kitab ini menukil hadist AlGhadir dari 105 jalur.
3. Kitab ‘Thariq Al-Hadist AlGhadir’ karya Abu Thalib Abdullah bin Ahmad bin Zeid Al-Anbari (wafat 356 H).
4. Kitab ‘Abu Bakar’ karya Muhammad bin Umar bin Muhammad Attamimi AlBaghdadi yang tenar dengan julukan ‘Al-Ja’abi’ (wafat 355 H). Dalam kitab itu dia menyebutkan 125 riwayat tentang hadits AlGhadir.

Selain kitab-kitab karya para ulama Ahlussunnah tersebut, ada banyak lagi kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama Syiah tentang hadist AlGhadir yang antara lain sebagai berikut:
1. Kitab Abaqat Al-Anwar. Kitab ini terdiri atas 20 jilid dimana 12 diantaranya ditulis oleh sejarawan Mir Hamid Husain Al-Hindi, dan selebihnya ditulis oleh puteranya.
2. Kitab AlGhadir karya Al-Allamah Abdulhusain Al-Amini. Kitab 20 jilid ini bisa dikatakan sebagai eksiklopedia sejarah Islam dan kepemimpinan Imam Ali as.

Kecuali para ulama salaf tersebut, para ulama abad modern juga banyak yang memuat, membahas, dan ikut mengabadikan hadits AlGhadir. Para ulama dari kalangan Ahlussunah antara lain ialah:
1. Syaikh Banhani AlBeiruti dalam kitabnya Assyarif AlMuayyad.
2. Sayid Mukmin Shablanji AlMisri dalam kitabnya Nurul Abshar.
3. Syaikh Muhammad Abduh dalam karyanya Tafsir AlManar.
4. Abdul Hamid Alusi AlBaghdadi dalam kitabnya Nasyr Alla-ali.
5. Syaikh Muhammad Habibullah Assyanqiti dalam kitabnya Ta’liqat Mu’jamil Adibba’ .

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam kitab-kitab sejarah, jumlah periwayat hadits AlGhadir mencapai 125 orang. Sebagai penutup, kita sebutkan beberapa nama-nama tokoh terkemuka sebagai berikut:
1. Abu Bakar bin Abi Quhafah
2. Umar bin Khattab
3. Ustman bin Affan
4. Talhah bin Abdullah Attamimi
5. Zubair bin Awwam
6. Abbas bin Abdul Muthalib
7. Usamah bin Zaid bin Haritsah
8. Anas bin Malik
9. Jabir bin Abdullah An-Anshari
10. Sa’ad bin Abi Waqqas
11. Abdurrahman bin Auf
12. Hassan bin Tsabit
13. Sa’ad bin Ubadah
14. Abu Ayyub Al-Anshari
15. Abdullah bin Mas’ud
16. Salman Al-Farisi
17. Abu Dzar AlGhiffari
18. Ammar bin Yasir
19. Miqdad bin Aswad
20. Samurrah bin Jundub
21. Suhail bin Hanif
22. Ubai bin Ka’ab
23. Imam Ali bin Abi Thalib as
24. Asma’ bin Umais
25. Ummu Salamah
26. Aisyah binti Abu Bakar
27. Ummu Hani bin Abi Thalib
28. Fatimah Azzahra as

(Prajurit-Al-Mahdi/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: