Apa hubungan antara agama dan kebudayaan?
"Agama" (din) secara leksikal bermakna mengikuti, mentaati, kepasrahan dan ganjaran. Dan secara terminologis berarti "sekumpulan keyakinan, akhlak dan aturan," yang bertujuan untuk "mengatur urusan masyarakat dan membina manusia."
Agama terkadang merupakan agama hak dan terkadang agama batil dan juga terkadang sinkret antara keduanya. Kebudayaan dalam kosa kata Persia disebut sebagai Farhang dan terdiri dari dua susunan kalimat (far-hang). "Far" bermakna agung dan besar dan apabila digunakan sebagai affiks maka artinya adalah di depan, sebelum dan di luar. "Hang" diadopsi dari bahasa Avesta yang bermakna menarik (magnamity), dan berat (gravity).
Oleh itu, redaksi farhang dengan dua rangkapan ini menjadi bermakna tertarik ke luar atau tertarik ke atas. Terminologi kebudayaan memiliki makna yang beragam dimana apabila kita ingin mengkajinya dengan jeluk maka hal itu memerlukan ekstra waktu. Definisi kebudayaan sesuai dengan perjalanan sejarahnya memiliki ragam makna di antaranya, kebiasaan, pengajaran, pengetahuan, sekumpulan adab dan tradisi, pendidikan dan tarbiyah, maktab dan ideologi. Sekolompok sosiolog berpandangan bahwa, "kebudayaan" merupakan pemikiran sekelompok masyarakat yang terjelma pada pelbagai fenomena dan perilaku masyarakat. Dan pemikiran tersebut berpengaruh pada seluruh perkara ekonomi, sosial, politik, militer, materi dan maknawi.
Dengan memperhatikan makna agama dan kebudayaan serta memandang pada fondasi, tujuan keduanya, performanya dan peran agama dan kebudayaan maka kita menjumpai terdapat sisi common di antara keduanya, oleh itu kita dapat sampai pada sebuah kesimpulan bahwa agama dan kebudayaan senantiasa memiliki hubungan dan relasi erat secara berkelindan. Dan sebagiamana agama memiliki peran aktif dalam peradaban dan kebudayaan manusia, kebudayaan juga membantu manusia dalam mengeksplorasi apa yang harus dan apa yang layak pada pelbagai aktifitas kehidupan material dan spiritiual manusia yang bersandar pada rasionisasi dan pelbagai afeksi transendental, dalam kehidupan rasionalnya dan menjadi faktor penyempurna kehidupan manusia. Demikian juga agama dan kebudayaan dengan menunjukkan tiga jenis tujuannya yang apabila diterapkan maka akan menjadi faktor pengubah yang menyeluruh pada lintasan kesempurnaan dan kematangan manusia.
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, ada baiknya kita menyebutkan beberapa hal berikut ini:
Definisi leksikal dan teknikal agama
"Agama" (din)[1] secara leksikal bermakna mengikuti, mentaati, kepasrahan dan ganjaran. Dan secara teknikal (istilahi) berarti "sekumpulan keyakinan, akhlak dan aturan." Yang bertujuan untuk "mengatur urusan masyarkat dan membina manusia."
Agama terkadang merupakan agama yang hak dan terkadang agama batil dan terkadang sinkret antara keduanya. Apabila agama merupakan sekumpulan kebenaran maka agama tersebut adalah agama hak dan selainnya disebut sebagai agama batil atau sinkret antara hak dan batil."[2]
Definisi Kebudayaan
Farhang adalah kosa kata Persia dan terdiri dari dua rangkapan (far-hang). "Far" bermakna agung dan besar dan apabila digunakan sebagai affiks maka artinya adalah di depan, sebelum dan di luar. "Hang" derivasinya dari bahasa Avesta bermakna menarik (magnamity) dan berat (gravitiy). Dengan demikian, redaksi farhang bermakna tertarik keluar atau tertarik ke atas. Terminologi kebudayaan memiliki makna yang beragam dimana apabila kita ingin mengkajinya dengan jeluk maka hal itu memerlukan ekstra waktu. Definisi kebudayaan sesuai dengan perjalanan sejarahnya memiliki ragam makna di antaranya, adab, pengajaran, pengetahuan, sekumpulan adab dan tradisi, pendidikan dan tarbiyah, maktab dan ideologi.[3]
Sekolompok sosiolog berpandangan bahwa, "kebudayaan" merupakan pemikiran sekelompok masyarakat yang terjelma pada pelbagai fenomena dan perilaku masyarakat. Dan pemikiran tersebut berpengaruh pada seluruh perkara ekonomi, sosial, politik, militer, materi dan maknawi. Dua tokoh humanisme Amerika, Kroeber dan Klakin mengemukakan 164 definisi kebudayaan yang dihimpunnya dalam sebuah buku bernama "Farhang Bazbini Sanjesygurane Mafhum wa Ta’rifha " (1952).
Kebudayaan atau peradaban adalah kuantitas yang saling berhubungan termasuk di dalamnya pengetahuan, agama, seni, hukum, sastra, tradisi dan segala jenis bakat dan kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota (member) masyarakat.[4]
Ustadz Muhammad Taqi Ja'fari dalam "Farhang-e Pairuw, Farhang Pisyru" setelah mengulas pelbagai definisi kebudayan menurut 24 kamus bahasa dan ensiklopedia ternama di antara suku-suku dan bahasa-bahasa penting dunia, menulis: "Riset dan definisi kebudayan dari sudut pandang ensiklopedia yang paling tersohor dan sebagian sumber-sumber psikologi, kebanyakan untuk menetapkan hakikat ini bahwa kita tunjukkan eksistensi menyempurna manusia dalam makna hakiki "kebudayaan" di antara pelbagai masyarakat sebagai kuantitas atau metode yang dijamin harus digunakan dalam kehidupan manusia. Dan apabila sebagian orang-orang egois, hedonisme, atau nihilisme ingin mendegradasi kebudayaan hingga pada batasan sebuah fenomena-fenomena yang membosankan (cliché), dan menamai hal itu sebagai kebudayaan, maka sesungguhnya mereka tidak bersandar pada realitas dan pandangan mereka ini memiliki akar yang kontra kemanusiaan. Akan tetapi apa yang menjadi munculnya pelbagai definisi keragaman pandangan para periset dan pemikir dalam penafsiran tentang definisi kebudayaan dengan menilisik pada akar perjalanannya menuju kesempurnaan."
Allamah Taqi Ja'fari menyebutkan beberapa contoh dalam bahasa Persia, untuk mendefinisikan kebudayaan (farhang). Dengan menyertakan contoh dalam bahasa Francis, ia mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut: "Kebudayaan adalah kualitas atau metode yang harus dan layak digunakan untuk dua dimensi kehidupan material dan spiritual umat manusia yang bersandar pada rasionisasi dan perasaan yang mentransendental yang berpijak pada "kehidupan rasional" untuk meraih kesempurnaan." [5] Sekelompok sosiolog meyakini bahwa "kebudayaan" adalah pemikiran kolektif masyarakat yang menjelma pada pelbagai fenomena dan perilaku sosial. Dan pemikiran tersebut mempengaruhi seluruh urusan ekonomi, sosial, politik, militer, material dan spiritual." [6]
Jenis-jenis Kebudayaan
Allamah Taqi Ja'fari selepas menghitung jenis-jenis kebudayaan, menuturkan: Jenis kebudayaan dibagi menjadi empat jenis utama sebagaimana yang tertuang secara ringkas berikut ini:
1. Kebudayaan yang mengendap.
Kebudayaan yang mengendap adalah pewarnaan dan penjelasan dimensi kehidupan dengan bilangan aturan-aturan dan tradisi tetap rasial dan mental tertentu, lingkungan geografis, darah, yang bertahan di hadapan pelbagai perubahan. Dan seluruh perubahan yang terjadi mereka alihkan demi kepentingannya atau menghapusnya (kalau merugikan). [7]
2. Kebudayaan mengikut dan tanpa warna
Kebudayaan mengikut dan tanpa warna adalah pelbagai pewarnaan dan justifikasi yang sama sekali tidak bersandar pada akar, mental dan kaidah yang tetap dan senantiasa berada pada tataran perubahan. Penting untuk disebutkan bahwa kebudayaan seperti ini jarang ditemukan pada masyarakat-masyarakat yang memiliki akar sejarah.
3. Kebudayaan yang menjadi tujuan dan pengikut.
Dalam kebudayaan yang menjadi tujuan, model-model dan aktifitas-aktifitas yang memberikan justifikasi dan penafsiran pelbagai realitas kebudayaan, adalah sebuah ideal (yang dicari) secara esensial dan yang memenuhi cita-cita kebudayaaan, hal ini sendiri merupakan tujuan khusus dan kebudayaan ilmiah, teknologi, perekonomian kebanyakan masyarakat pada abad-abad ke-19 dan 20. Tujuan ini sendiri yang membentuk tabiat utama kebudayaan yang bercirikan kreatifitas dan penyebaran pelbagai cita-cita kehidupan dalam dimensi "keakuan" manusia.
4. Kebudayaan dinamis, berketujuan dan maju.
Kebudayaan sejenis ini tidak terjermbab pada lingkaran pelbagai model dan aktifitas yang berada di bawah pengaruh faktor-faktor kehidupan yang bergerak secara dinamis dan kondisi-kondisi temporal lingkungan dan masyarakat. Lantaran faktor penggerak kebudayaan ini adalah realitas-realitas natural yang berkelanjutan dan dimensi-dimensi utama manusia. Dan tujuannya adalah cita-cita nisbi yang mengantarkan seorang manusia tersedot kepada tujuan-tujuan transendental kehidupan. Dengan hati yang mantap dapat dikatakan bahwa: Kebudayaan ini adalah kebudayaan prinsipal manusia yang tidak pernah absen dalam pentas sejarah peradaban manusia. Sedemikian sehingga apabila kebudayaan ini tidak ada maka sekali-kali manusia tidak akan pernah mencicipi sebuah peradaban. Kebudayaan ini adalah kebudayaan yang dapat melepaskan dirinya dari jeratan ego dan hawa nafsunya.[8]
Harus diingat di sini bahwa pada sebuah masyarakat madani berlaku sebuah kebudayaan Ilahi secara khusus. Artinya terdapat sebuah keyakinan bahwa terdapat nilai-nilai maknawiya, kesempurnaan yang dicari, dan ujung kesempurnaan manusia. Dan kesempurnaan dihasilkan dengan melalui muraqabah, usaha, dan ketelitian dalam menggunakan dan memberdayagunakan seluruh anugerah jasmani dan ruhani manusia. Dalam pandangan ini, manusia bergerak meniti jalan menuju Tuhan yang mempunyai kesempurnaan mutlak dan sumber segala kebaikan dan nilai-nilai. Namun pada masyarakat kapitalis, industrialis dan Barat, berlaku kebudayaan khusus yang lain.
Peran agama dalam peradaban dan kebudayaan manusia Agama-agama Ilahi dan samawi dalam menyebarkan pelbagai keutamaan, cita-cita, kebiasaan baik, kebaikan memiliki peran yang sangat positif. Spencer dalam hal ini berkata, "Penjelasan seluruh adab dan keutamaan masyarakat yang merupakan asas peradaban mereka adalah bersumber dari agama." Demikian juga, Allamah Thabathabai menegaskan: "Pelbagai kebaikan yang terdapat pada diri manusia hari ini meski sedikit adalah bersumber dari agama."[9]
Peran dan performa agama
Dalam dua domain pengetahuan dan akhlak peran penting agama tidak dapat dilupakan. Karena dengan menelaah secara jeluk kondisi manusia moderen dan pengalaman dua abad Barat dalam berhadapan dengan agama dan kesudahannya berujung pada krisis, maka pengertian tentang agama dan performanya dalam dua domain ini dengan baik menunjukkan pada:
A. Makrifat agama
Agama merupakan sekumpulan ajaran samawi dan revelasional yang mengakui secara resmi pelbagai sumber untuk meraup pengetahuan dan mengekspresikan segala kecendrungan dan kebutuhan epistemologis manusia. Kendati agama memberikan ruang pada indra dan empirik dan memotivasi manusia untuk berusaha secara empirik, akan tetapi tidak membatasi sumber epistemologisnya pada hal-hal indrawi dan empirik, di samping kedua hal ini, Islam menekankan pada dua sumber lainnya yaitu wahyu dan akal universal.[10]
B. Moral agama
Moral agama merupakan hasil logis dan rasional pengetahuan agama. Agama memikul beban untuk mendefinisikan hubungan antara manusia dan Tuhan, dan bahwa Tuhan merupakan sumber dan tujuan keberadaan.
C. Keberaagamaan dan keseimbangan mental dan kejiwaan.
Dewasa ini, sebagai kaidah yang telah diterima secara ilmiah bahwa keyakinan beragama dan kecendrungan bermazhab merupakan faktor utama dalam menyediakan ruang keseimbangan dan ketenangan jiwa dan spiritual. Dan pada negara-negara berkembang juga kepercayaan terhadap agama sangat dianjurkan untuk proses pengobatan pelbagai krisis spiritual dan kejiwaan.[11]
Dengan memperhatikan performa dan peran agama dan juga definisi "kebudayaan" dapat dikatakan bahwa: dua perkara ini senantiasa dialokasikan untuk urusan manusia. Dan diberdayakan untuk menjadi petunjuk manusia menuju kesempurnaan dan memenuhi segala kebutuhannya, menunjukkan jalan-jalan yang menguntungkan dalam bentuk sebuah sistem teleologik (berketujuan) dimana dapat diklaim sedemikian bahwa rukun-rukun agama memiliki tempat pada tiga system:
Sistem keyakinan, sistem nilai atau moral dan sistem jurisprudensial (hukum).
Oleh itu, agama dengan penampakannya, menampilkan kebudayaan khusus dan kebudayaan baru kepada masyarakat manusia. Dan menyeru manusia kepadanya. Sejatinya, dengan munculnya agama, maka terjadi perubahan signifikan dan berdaya guna pada pemikiran dan kejiwaan manusia. Agama pada tataran ini, memperbaharui model pemikiran manusia dalam melihat sesuatu secara realistis, menata akhlak dan tarbiyah manusia, meyampingkan pelbagai tradisi dan kebiasaan kuno, dan menggantikannya dengan pelbagai kebiasaan baru dan dinamik, menginspirasi mereka dengan ide-ide baru. Dalam perubahan ini, kehidupan ekonomi akan mengalami kemajuan, pelbagi potensi ilmiah, filosofis, teknis, seni, sastra dan pendeknya seluruh akumulasi material dan spiritual, yaitu peradaban akan bersemi. Realitas ini bukan hanya dimiliki oleh kaum Muslimin, orang-orang Katolik juga melalui majelis Vatikan menegaskan demikian, "Agama yang membentuk kebudayaan. Agama yang memberikan kepada manusia identitas. Dan dengan kata lain, kebutuhan manusia terhadap firman Ilahi merupakan bahan dasar (yang membentuk) kebudayaan."[12]
"Kebudayaan" juga memiliki tiga sistem yang saling bertautan satu dengan yang lain yang disebut sebagai komponen-komponen kebudayaan (the Components of culture).
1. Sistem pelbagai pengetahuan dan keyakinan
Sistem ini berkedudukan seperti kerangka bagi segala aktifitas manusia dalam bidang pemikiran. Dan terbentuk dari pelbagai konsepsi, keyakinan, ajaran, dan model argumentasi dalam bidang penafsiran semesta keberadaan manusia, bagiamana hubungan manusia dengan lingkungan, dengan dirinya dan tujuan kehidupan manusia.
2. Sistem pelbagai nilai dan kecendrungan
Sistem ini menjelaskan nilai-nilai dan keyakinan terhadapnya. Dalam skope ini, yang mengemuka adalah demarkasi yang ideal dan non-ideal, terpuji dan tercela, benar dan tidak benar dalam format pelbagai proposisi nilai, moral, hukum yang bermakna umum.
3. Sistem pelbagai perilaku dan perbuatan
Sistem ini tersusun dari seluruh ajaran pembentukan perilaku manusia dan perilaku orang lain bagi manusia. Dalam domain sistem ini, ajaran-ajaran sistem pertama dan kedua mengedepan dan muncul ke permukaan; artinya bahwa dengan memperhatikan jenis pandangan, kecendrungan manusia, maka akan mengerangka perilaku, kebiasaan personal dan sosial manusia. Sejatinya dalam skope ini, dengan memperhatikan jenis pilihan sistem pengenalan, keyakinan, dan sistem pelbagai nilai dan kecenderungan, maka ajaran-ajaran praktis dan seni berperilaku manusia akan tergambar dengan baik.[13]
Dengan memperhatikan makna agama dan kebudayaan dan dengan menyimak tujuan-tujuan keduanya dan juga peran dan performa agama dan kebudayaan, common point yang terdapat di antara keduanya, maka kita dapat sampai pada kesimpulan bahwa: Agama dan kebudayaan senantiasa memiliki hubungan berkelindan, interaksi yang tak-terpisahkan antara satu dengan yang lain. Dan sebagaimana agama, peradaban dan kebudayaan manusia memainkan peran penting dalam kehidupan manusia, kebudayaan juga membantu manusia dalam kehidupan rasionalnya untuk memberdayakan apa yang harus dan layak dilakukan manusia dalam seluruh aktifitas kehidupan material dan spiritual yang bersandar pada model berpikir rasional yang benar dan perasaan transendental. Dan juga, agama dan kebudayaan dengan menunjukkan tiga sistemnya dapat menjadi faktor perubahan menjuntai dalam lintasan perjalanan manusia menuju kepada kesempurnaan dan kematangan.[14][]
Referensi:
[1]. Silahkan lihat indeks-indeks berikut: Definisi Agama, pertanyaan 1 (site:199); Tingkatan-tingkatan Agama, pertanyaan 2, (site: 200); Ilmu, akal dan agama, pertanyaan 111, (site: 2230); dan juga, Mabani Kalami Ijtihad, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 383-391; Wilâyat wa Diyânat, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 15-22; Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ, Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 16-17.
[2]. Abdullah Jawadi Amuli, Syariat dar ‘Ainiye Ma’rifat, hal. 93, cetakan 1372; Mirza Abul Hasan Sya’rani Ra, Natsar Tuba (Dairat al-Ma’ârif Lughat al-Qur’ân); Mufradât Raghib, klausul, agama.
[3]. Munasibât Din wa Farhang dar Jâme’e Irân, jil. 1, hal. 60.
[4]. Ibid, jil. 2, hal. 153.
[5]. Ibid, jil. 1, hal. 61-62.
[6]. Ibid, jil. 2, hal. 154.
[7]. Ibid.
[8]. Jâme’e wa Farhang, jil. 1, hal. 432.
[9]. Al-Mizan, jil. 12, hal. 151.
[10]. Mahdi Hadawi Tehrani, Bawar-ha wa Pursesy-ha, hal. 45-58.
[11]. Muhammad Ridha Kasyifi, Din wa Farhang, nukilan dari Munasibât-e Din wa Farhang, jil. 1, hal. 177.
[12]. Munasibât-e Din wa Farhang, jil. 1, hal. 179.
[13]. Muhammad Ridha Kasyifi, Din wa Farhang, nukilan dari Munasibât-e Din wa Farhang, jil. 1, hal. 177.
[14]. Lihat indeks, Agama dan Kebudayaan, pertanyaan 250 (site: 1974)
(Islam-Quest/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email