J.B.van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan di Perang Aceh.
Jenderal Jan van Swieten.
Pada tahun 1874-1880, di bawah pimpinan Jenderal Jan van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Pada tahun 1873, Van Swieten kembali aktif di ketentaraan. Ia berusia 66 tahun ketika Gubernur Jenderal James Loudon mengangkatnya sebagai panglima militer tertinggi yang memimpin Ekspedisi Aceh II.
Kemudian Van Swieten menganeksasi Aceh dengan pasukannya yang berjumlah besar setelah penaklukan istana dan menyatakan perang telah berakhir.
Artinya, ia tak lagi memberikan celah kepada pasukannya memburu kepala mukim. Dalam keadaan itu di karena tidak ada lagi perlawanan dan Sultan Mahmood telah mangkat akibat kolera, akhirnya kembalilah Van Swieten ke Batavia bersama pasukan intinya pada tanggal 26 April 1874, dan meninggalkan sebagian besar pasukannya di Aceh.
Pada tahun 1874 Van Swieten kembali lagi ke Belanda dan pensiun secara terhormat. Ia dianugerahi Militaire Willems-Orde Kelas I.
Dr. Christiaan Snouck Hurgronje.
Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.
Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu.
Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.
Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya.
HARI itu, tepat 11 Desember 1906, Bupati Sumedang waktu itu, Pangeran Aria Suriaatmaja, kedatangan tiga orang tamu. Ketiganya merupakan tawanan titipan dari pemerintah Hindia Belanda. Seorang perempuan tua, renta, rabun serta menderita encok.
Seorang lagi lelaki tegap berumur kurang lebih berumur 50 tahun dan remaja tanggung berusia 15 tahun. Walau tampak lelah mereka bertiga tetap kelihatan tabah. Pakaian lusuh yang dikenakan perempuan itu merupakan satu-satunya pakaian yang ia punya selain sebuah tasbih dan sebuah periuk nasi dari tanah liat.
Belakangan karena melihat perempuan tua itu sangat taat beragama, Pangeran Aria Suriaatmaja tidak menempatkannya di penjara. Melainkan memilih menempatkannya disalah satu rumah milik tokoh agama setempat.
Kepada Pangeran Suriaatmaja, Belanda tak mengungkap siapa perempuan tua renta dan menderita encok itu. Bahkan sampai kematiannya, 06 November 1908 masyarakat Sumedang tak pernah tahu siapa sebenarnya perempuan tua itu.
Perjalanan sangat panjang telah ditempuh perempuan tua itu sebelum akhirnya beristirahat dengan damai dan dimakamkan di Gunung Puyuh tak jauh dari pusat kota Sumedang. Yang mereka tahu, karena kesehatannya yang sangat buruk, perempuan tua nyaris tak pernah keluar rumah. Kegiatannyapun terbatas hanya berdzikir atau mengajari mengaji ibu-ibu dan anak-anak setempat yang datang berkunjung.
Sesekali mereka membawakannya pakaian atau sekadar makanan pada perempuan tua yang santun itu yang belakangan karena penguasaanya terhadap ilmu-ilmu agama disebut dengan Ibu Perbu.
Waktu itu tak ada yang menyangka bila perempuan tua yang mereka panggil Ibu Perbu itu adalah The Queen of Aceh Batlle dari Perang Aceh (1873-1904) bernama Tjoet Nyak Dhien. Ya, hari-hari terakhir Tjoet Nyak Dhien memang dihiasi oleh kesenyapan dan sepi. Jauh dari tanah air dan orang-orang yang dicintai.
Foto Tjut Nyak Dhien di Museum Aceh, Banda Aceh, NAD.
Cut Nyak Dhien (lahir 1848 - meninggal 1908) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh (1873-1904).
Teuku Umar (yang ditengah), suami Cut Nyak Dien, bersama pengikutnya.
Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia.
Teuku Umar (yang duduk ditengah-bawah), suami Cut Nyak Dien.
Teuku Umar (Meulaboh, 1854 - Meulaboh, 11 Februari 1899) adalah pahlawan kemerdekaan Indonesia.
(Civitasbook/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email