Juhaiman al-Utaibi (kiri) dan pengikutnya. (Foto: en.wikipedia.org)
PAGI yang lengang sontak berubah menjadi kegaduhan. Pada 20 November 1979, sekelompok fundamentalis Islam yang dipimpin Juhaiman al-Utaibi, seorang pengkhotbah dan mantan kopral Garda Nasional (tentara elite Arab Saudi), menduduki Masjidil Haram. Juhaiman menyatakan Imam Mahdi telah tiba dalam diri kakak iparnya Abdullah Hamid Muhammad Al-Qahtani, dan menyerukan umat Islam untuk mematuhinya.
Syekh Muhammad bin Subail, imam Masjid, bergabung dengan rombongan asal Indonesia yang tengah resah dan mencoba berbaur dengan mereka. “Juhaiman tak memerlukan orang Indonesia yang tak paham bahasa Arab dan tak paham rencana besarnya. Mereka membiarkannya pergi tanpa gangguan...,” tulis Yaroslav Trofimov dalam Kudeta Mekkah.
Kekalutan menyergap petinggi Arab Saudi. Mereka segera menutup semua sambungan telepon internasional; tak ingin dipermalukan oleh insiden ini. Informasi yang beredar pun jadi simpang-siur. Amerika Serikat (AS) mengira Iran berada di balik penyerangan itu. Iran dan sejumlah negara lainnya menuding AS; sehingga kantor kedutaan AS di Islamabad (Pakistan), Teheran (Iran), dan Tripoli (Libya) jadi sasaran pendemo.
Kabar itu perlahan menyebar ke seluruh dunia. Pemerintah Indonesia mengeluarkan pernyataan yang mengutuk penyerbuan ke Masjidil Haram. Pemerintah juga meminta seluruh masyarakat Indonesia, khususnya keluarga jemaah haji, untuk tenang, sabar, serta berdoa agar semua jemaah haji Indonesia pulang dengan selamat.
Menteri Agama Alamsyah Ratu Perwiranegara segera memerintahkan Hadi Thayeb, dutabesar Indonesia di Jeddah, untuk mengambil langkah-langkah strategis. Thayeb lantas memerintahkan Tatang Muchtar, kepala perwakilan KBRI di Mekah, untuk mengevakuasi jemaah dari Masjidil Haram. Perintah pun diberikan kepada Abdurrahim, petugas musiman di Tim Pengurusan Haji Indonesia (TPHI) di Mekah.
Abdurrahim, yang fasih bahasa Arab, memasuki Masjidil Haram guna menemui jemaah Indonesia dan menuntun mereka keluar lewat lubang angin. Dia mengeluarkan setidaknya 400 orang. Dengan truk-truk tentara, yang diperoleh setelah Thayeb mengajukan permohonan kepada menteri urusan haji Saudi, jemaah Indonesia keluar dari Mekah.
Setelah upaya yang gagal, pemerintah Saudi akhirnya menerima tawaran bantuan dari pasukan khusus Prancis (GIGN). Pada 3 Desember 1979, Masjidil Haram akhirnya bisa dikuasai. Juhaiman dan beberapa pengikutnya ditangkap dan dieksekusi mati.
Akibat pendudukan Masjidil Haram, jatuh banyak korban. Dari Indonesia, seorang jemaah bernama Ismail bin Kamil asal Tangerang tewas terkena peluru yang memantul dari tank tentara kerajaan Saudi. Seorang mahasiswa yang diperbantukan ke PHI dan seorang jemaah haji terluka. Pendudukan itu juga menyebabkan jemaah haji Indonesia tak bisa berziarah ke masjid dan makam Nabi di Madinah serta melakukan tawaf wada (perpisahan) di Kabah. Rencana pulang ke Tanah Air juga molor.
“Korban militer Saudi adalah 127 tewas dan 451 terluka, 117 pemberontak tewas, 26 haji meninggal, 110 orang yang terluka mulai dari Indonesia, Afganistan hingga Nigeria,” tulis Yaroslav Trofimov.
Juhaiman dieksekusi mati dengan penggal kepala. Namun, pengaruh Juhaiman tak pernah mati. Salah satu yang menghidupkan semangatnya adalah Osama bin Laden, yang kemudian dikenal dengan aksi-aksinya bersama al-Qaeda.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email