Lukisan Perang Paderi karya G. Kepper, 1900. (Foto: public domain)
Belanda mencap Peto Magek sebagai penyelundup
REPUTASI Peto Magek sebagai saudagar besar asal Tiku jelek di mata Belanda. Dia menguasai perdagangan di pantai barat Sumatra sejak awal abad ke-19, dengan pusatnya di Pasaman. Dia aktif berniaga dengan raja dan saudagar di daerah Pasaman, Tapanuli, dan Aceh sebagai mitra dagang yang utama.
“Pandangan Belanda terhadap Peto Magek memang sangat negatif,” kata Gusti Asnan, guru besar Ilmu Sejarah Universitas Andalas, Padang, melalui sambungan telepon kepada Historia, Selasa (17/3).
Peto Magek menikahi putri Yang Dipertuan Parik Batu, pejabat tertinggi di kerajan Parik Batu, bagian Kerajaan Alam Minangkabau, yang berhulu di lereng Gunuang Pasaman.
J.C. Boulhouwer, komandan pasukan Belanda, melukiskan Peto Magek dalam laporannya yang kemudian dibukukan di Amsterdam pada 1841, Herrinneringen van Mijn Verblijf op Sumatra’s Westkust gudurende de Jaren 1831-1834. Tubuhnya tak bisa dibilang tinggi, bahkan untuk ukuran orang Melayu. Dia selalu membunyikan sendi jari tangan saat bicara. Dan bila omongan masuk, dijentikkannya jari itu. Dia selalu tersenyum licik dengan sorot mata liar. Berkali-kali Boulhouwer melontarkan sumpah serapah: Peto Magek saudagar anak haram jadah!
Selain dalam laporan Boulhouwer, sepak terjang Peto Magek bertebaran dalam arsip kolonial. Salah satunya, arsip Brieven aan Minister van Kolonien betreffende de Indisch Ambtenaren, Handel, Militair 1835-1837, yang bisa dilacak di Arsip Nasional Republik Indonesia, menyebut Peto Magek seorang smokelhandler (penyelundup). Saudagar-saudagar yang berhubungan dagang dengannya juga dicap smokelhandler.
Ketika Belanda campur tangan dalam Perang Paderi (1821-1838), sebagaimana ditulis H. Mas’oed Abidin dalam Sejarah Pemikiran Islam di Minangkabau, Peto Magek orang yang memasok meriam Inggris ke pasukan Imam Bonjol.
Tak hanya dengan Inggris, Peto Magek berhasil menjalin “bisnis gelap” dengan A.F. van den Berg, mantan asisten residen Padang pertama. Van den Berg pernah jadi juru runding perdamaian antara Belanda dan kaum Paderi pada 1825 dan 1826, ketika Belanda menjalankan strategi bertahan karena sebagian besar tentaranya ditarik ke Pulau Jawa menghadapi pasukan Diponegoro.
Tahu kesuksesan “perdagangan gelap” Peto Magek, pemerintah Hindia Belanda naik pitam. Pada 1831, Boelhouwer memimpin 120 tentara Belanda menyerang Ujung Rajo, pusat perdagangan kaum Paderi. Di sinilah rumah dan gudang milik Peto Magek berada.
Serangan itu, sebagaimana dicatat Boelhouwer, memporak-porandakkan basis Peto Magek. Namun sang buronan gagal ditangkap.
“Di rumah dan gudang Peto Magek ditemukan barang-barang yang akan diekspor dan yang baru datang. Barang-barang yang ditemukan itu hanyalah sisa dari barang yang tidak sempat dibawa lari oleh Peto Magek dan orang-orangnya,” tulis Boulhouwer.
Boulhouwer membawa barang-barang tersebut sebagai rampasan perang. Saking banyaknya, tidak semua barang terbawa pasukannya. Sisanya dibakar berikut rumah dan gudang milik Peto Magek.
Setelah itu, nama dan sepak terjang Peto Magek tak terdengar lagi. Arsip lawas hanya mencatat, begitu saluran niaga di pantai barat Sumatra dikuasai Belanda, saudagar Paderi pindah haluan perdagangan ke pantai timur, Selat Malaka.
Jalur dagang utama ke pantai timur, menurut Gusti Asnan dalam Dunia Maritim Pantai Barat Sumatera, adalah sungai-sungai yang mengalir ke sana: Sungai Rokan, Barumun, Bila, dan Panei. Hasil-hasil daerah pedalaman dibawa ke Pulau Penang dan Singapura. Dari dua bandar dagang ini pula kebutuhan kaum Paderi didatangkan.
(Historia/Berbagai-Sumber-Sejarah/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email