Pesan Rahbar

Home » » Pesan Sang Imam; Bab: Peran Ulama

Pesan Sang Imam; Bab: Peran Ulama

Written By Unknown on Monday 10 October 2016 | 20:47:00


Tanggung Jawab Utama Para Ulama

Sesungguhnya saudara memikul beban tanggung jawab yang sangat berat dan sulit bila saudara tidak melaksanakan tugas dan tanggung jawab di madrasah atau di pesantren-pesantren Islam. Begitu juga sekiranya saudara hanya mengetahui setengah-setengah tentang masalah fiqh dan ushuludin, maka jika keadaannya demikian, niscaya di masa mendatang saudara akan menjadi anasir-anasir yang melumpuhkan dan membawa kemunduran umat Islam. Barangkali saudara menjadi faktor yang membawa kesesatan kepada mereka. Oleh karenanya, mintalah perlindungan dari Allah terhadap yang demikian itu. Seandainya seorang diantara umat ini telah menyeleweng disebabkan oleh saudara, tindakan dan kaidah yang saudara bawa, maka saudara akan menanggung dosa yang amat besar, jauh sekali taubat saudara diterima oleh Allah.

Sebaliknya, adalah lebih baik bagi saudara hanya seorang manusia yang mendapat petujuk dengan izin Allah karena usaha-usaha saudara sebagaimana terpancarnya seberkas cahaya matahari seperti telah dinyatakan dalam sebuah hadis Rasulullah Saww. Sebagaimana yang dimaklumi bahwa tanggung jawab saudara bukan seperti tanggung jawab manusia biasa atau orang awam. Hal ini disebabkan karena semua urusan yang jaiz (boleh dilakukan) oleh manusia biasa atau orang awam, haram untuk saudara lakukan.

Sesungguhnya manusia tidak suka melihat terlalu banyak urusan yang saudara lakukan, apalagi kalau amalan-amalan tersebut dianggap hina dan tidak diterima oleh syariat Islam. Keadaan semacam itu menyebabkan Allah tidak memberi kelapangan dan kekuatan kepada saudara, sehingga keadaan tersebut menimbulkan anggapan dan gambaran buruk terhadap Islam dan para ulamanya.

Di sini saya kemukakan suatu ibarat dan gagasan yang perlu mendapat perhatian. Bahwa sesungguhnya manusia, apabila melihat jalan dan cara hidup yang menyimpang, yang dilakukan hanya oleh seorang saja dari tingkat golongan orang yang berpendidikan agama, niscaya mereka akan menganggap buruk semua orang dalam golongan itu, mereka tidak membatasi anggapan buruk dan negatif itu hanya kepada pribadi tertentu tetapi lebih jauh lagi mereka menjatuhkan hukuman dan anggapan yang sama kepada semua golongan yang lain.

Sesungguhnya semua umat manusia tidak mempertimbangkan kedudukan saudara ketika mereka melihat suatu tindakan yang patut oleh seorang ulama yang memakai sorban dan dilakukan perbuatan yang sama oleh orang awam atau pegawai pemerintah yang menyeleweng. Mereka akan mengatakan bahwa ulama-ulama itu tidak mempunyai kepribadian yang baik serta menyeleweng, kemudian mereka akan mengatakan si Fulan itu menyeleweng atau tidak baik atau hanya seorang pedagang biasa, mereka hanya mengatakan bahwa pedagang itu tidak baik. Sebaliknya jika seorang ulama yang bersorban, yakni mereka melihat penyelewengan dilakukan oleh seorang ulama, maka mereka akan berkata bahwa semua ulama yang memakai sorban dan berjubah itu jelek dan jahat. Oleh karenanya tanggung jawab para alim ulama dan orang-orang yang mempelajari ilmu Islam itu sungguh berat, dan tanggung jawab mereka itu lebih banyak daripada tanggung jawab semua golongan manusia yang lain.

Sekiranya dirujuk kepada kitab-kitab hadis, hal ini akan memberikan kepada kita fikrah atau pemikiran yang jelas tentang jawaban ini dan juga kepentingan-kepentingannya:

1. Dari Abu Basir, katanya: Aku telah mendengar Abu Abdullah berkata: Adalah Amirul Mukminin as. berkata: “Wahai penuntut (pencari ilmu) sesungguhnya ilmu pengetahuan itu mempunyai keutamaan-keutamaan yang banyak: sehingga kepalanya akan menunjukkan tawadhu, matanya terlepas dari perasaan dengki, ia menjaga percakapannya, hatinya mempunyai niat yang baik, akalnya dapat mengenali perkara dan urusan, tangannya senantiasa bersifat pemurah, kakinya senantiasa menziarahi para alim ulama, dadanya senantiasa berfikir tentang keselamatan, hidupnya wara’, keteguhan pribadinya senantiasa memohon kepada Allah, kepemimpinannya baik dan setia, senjatanya adalah kerelaan, atas kakinya senantiasa bergerak, kekuatannya adalah perilaku ulama, hartanya adalah menjauhi dosa, bekalnya adalah perkara yang ma’ruf; air mukanya jernih, pernyataanya adalah petunjuk, persahabatannya adalah kasih sarang.” (al-Kafi jil.4 hIm. 48)

2. Dari Abu Abdullah rh.,beliau berkata:Rasulullah Saww. bersabda: “Para Fuqaha (alim ulama) adalah pewaris para rasul, mereka sekali-kali tidak cenderung pada dunia”. Dikatakan, “wahai Rasulullah Saww, apakah yang dimaksud tidak cenderung kepada dunia?” Sabdanya: “Mengikuti penguasa: apabila mereka berbuat demikian, maka mereka menyimpang dari agamaku”. (al-Kafi, hlm. 46)

3. Dari Abu Abdullah rh. berkata, “Sesungguhnya kami menyukai seseorang yang berakal, faham, mendalami agama, lapang dada, sabar, jujur dan setia. Sesungguhnya Allah mengkhususkan kepada para Nabi as. dengan sifat-sifat akhlak yang mulia, maka barangsiapa yang mempunyai sifat-sifat itu hendaklah ia memuji Allah (bersyukur) atas hal yang demikian. Sebaliknya, sekiranya seseorang tidak memilikinya, maka hendaklah berusaha dan memohon kepada Allah. Apakah sifat-sifat kemuliaan akhlak itu? la adalah wara’, bersifat qana’ah (sabar, bersyukur, lemah lembut, malu, pemurah, berani, bercita-cita tinggi, baik, perkataannya benar, dan menunaikan amanah).” (al-Wasil, hlm. 155)

4. Amirul Mukminin ‘Ali kw. berkata: “Apa yang diperhitungkan oleh Allah atas ulama ialah bahwa mereka tidak bersama tindakan orang-orang yang zalim dan tidak pula ia membawa kesulitan kepada pihak yang dizalimi.”

5. Dari Jamil bin Darraj katanya: “Aku mendengar Abu Abdullah rh., berkata: “Apabila nyawa telah sampai di sini, lalu ia mengisyaratkan ke tenggorokkanya, seorang ulama tidak bisa lagi bertaubat. Kemudian ia membaca ayat yang artinya : Adapun taubat kepada Allah itu hanya bagi orang-orang yang berbuat kejahatan dalam keadaan jahil (tidak tahu).”” (QS. an-Nisaa’, 4: 17)

6. Dari Hafs bin Qiyas dari Abu Abdullah rh. katanya: “Wahai Hafs, Seorang yang jahil diampuni dosanya sehinga ia melakukan tujuh perkara dosa sebelum seorang yang berilmu memperoleh ampunan atas dosanya, walaupun satu dosa.” (al-Wafi, hlm. 52)

7. Rasulullah Saww. bersabda: “Dua golongan dari umatku apabila mereka baik, maka umatmu akan menjadi baik dan apabila mereka itu rusak, maka rusaklah umatku, dikatakan: Siapakah mereka itu? Sabda Rasulullah Saww: Alim Ulama dan para penguasa.”

8. Dari Salim bin Qais al-Hilali, katanya: “Aku telah mendengar Amirul Mukminin ‘Ali kw. menceritakan dari Nabi Saww., bersabda: “Maksudnya Alim ulama itu terbagi dua golongan, yaitu seorang laki-laki yang mempunyai ilmu pengetahuan dan menjadikan ilmunya sebagai mahkota. Satu lagi ialah seorang yang alim tetapi meninggalkan ilmunya, yang ini akan membinasakannya. Dan sesungguhnya ahli mendapat kehinaan dari himbauan-himbauan seorang alim yang meninggalkan ilmunya. Oleh karena itu, dalam ajaran Islam terdapat perbedaan besar antara seorang yang alim dengan seorang jahil berkenaan dengan perkara member manfaat dan membawa kerusakan.

Seorang alim yang menyeleweng mungkin akan menyesatkan umatnya dalam kepemimpinannya. Sementara seorang ulama yang mempunyai jiwa istiqamah serta menghias dirinya dengan akhlak terpuji, yang men-sucikan ruhaninya dan berpegang teguh dengan akhlak Islam, akan berupaya membenahi dan mendidik umatnya dengan kepemimpinannya. Sesungguhnya sepanjang pengamatan saya, di sebagian kota-kota besar yang pernah saya kunjungi, saya dapati bahwa sekiranya terdapat manusia yang berakhlak dan mempunyai kebersihan jiwa niscatya di sana terdapat seorang alim, insan yang bertakwa dan beramal saleh. Keberadaan seorang ulama yang bertakwa di suatu daerah atau wilayah itu, sebenarnya telah mencukupi untuk menyampaikan bimbingan kepada manusia serta mempengaruhi mereka dengan ajaran agama serta nasehat yang berguna.””

9. Dalam hadits yang diriwayatkan oleh al-Fadhl bin Abu Marrah dari Abu Abdullah rh. berkata: “Bahwa Rasulullah Saww. bersabda: “Orang-oranghawariyyun (pengikut Nabi Isa) berkata kepada Isa bin Maryam as.: Wahai Rasulullah, siapakah yang duduk itu? Kata Nabi Isa dia seorang yang mengerjakan amalan akhirat dan melipatgandakan amalan salehnya.””

10. Dan dari Abu Yakfur, berkata Abu Abdullah rh.: “jadilah kamu penyeru kepada manusia walaupun dengan bahasa yang lain, niscaya kamu akan melihat golongan yang wara’, berjihad, shalat dan baik dan sesungguhnya yang demikian itu suatu seruan dakwah.”

Dan sesungguhnya kita melihat begitu penting adanya seorang ulama berkepribadian yang senatiasa mengingat Allah dan menjadi panutan bagi seluruh umat manusia. Seperti yang kita maklumi sekarang ini bahwa sekiranya wilayah Teheran mempunyai ulama yang wara’ dan bertakwa, akan berbeda dengan apabila wilayah tersebut terdapat ulama yang bersorban tetapi menyeleweng dan rusak. Pada bagian yang pertama itu kita akan melihat manusia yang beriman dan beramal saleh, sedangkan pada bagian yang kedua manusia-manusia yang menyeleweng dan jauh dari ajaran Islam. Ini disebabkan orang-orang ‘alim mereka menjadikan masjid sebagai kedai perdagangan.

Sesungguhnya menjual agama dan ilmu tanpa amal adalah sarana menuju neraka jahanam. Demikian itu adalah amal-amal jahat yang dilakukan oleh ulama jahat di dunia ini, mendorong akibat buruk yang menghinakan di akhirat kelak. Bahkan bukan hanya sekedar itu saja, seorang yang berilmu telah mengakibatkan para pengikutnya di azab neraka bersamanya, tetapi lebih jauh dari itu, seorang ulama yang tidak beramal dengan pengetahuan agamanya dan tidak memiliki akhlak Islam akan berakibat buruk bagi seluruh makhluk di muka bumi ini.

Kesimpulan dari itu, seorang ulama yang berkelakuan buruk serta berfikir tentang tindakan-tindakan yang menyeleweng, akan menjadi bahaya yang sangat hebat. Sementara manusia biasa atau orang awam tidak akan sampai membawa keadaan yang sedemikian rupa, karena mereka tidak menjadi sebab setiap penyimpangan orang lain, sebagaimana yang telah dilakukan oleh seorang ulama yang bersorban dan berjubah. Orang awam tidak berupaya untuk mendakwahkan dirinya sebagai pemimpin,memberi petunjuk, mempunyai martabat kenabian dan ketuhanan.

Seorang ulama yang fasik dan rusak akan bertanggung jawab dalam membawa kerusakan dunia. Oleh karena itu, apabila alim ulamanya rusak, maka akan rusak pula dunia ini seluruhnya.


Penyelewengan Ulama Menyesatkan Umat

Sesungguhnya kebanyakan mereka yang menjadi sebab penyimpangan manusia adalah dari kalangan ‘alim ulama. Sebagian dari mereka pernah mendapat pendidikan di pusat-pusat pengkajian (pesantren-pesantren) Islam. Malah secara luas terdapat pemimpin segolongan manusia yang sesat pernah belajar di pesantren-pesantren Islam, akan tetapi pelajaran yang mereka peroleh tidak mempunyai pengaruh yang kuat atas pendidikan dan tarbiyah ruhaninya. Lebih jauh dari itu mereka tidak pernah menempuh jalan yang benar dan selaras dengan Islam. Akibat dari penyimpangan tersebut, membawa kerusakan. dan bencana buruk yang menimpa kehidupan ini.

Memang benar, sekiranya seseorang tidak membersihkan diri dari perkara-perkara yang hina dan keji, niscaya pelajaran yang diterima itu akan membawa keburukan. Sebab sudah menjadi sifatnya, ilmu pengetahuan yang rendah dan tidak bersih akan menumbuhkan tanaman serta hasil yang tercela pula. Lihat saja ketika ilmu pengetahuan seseorang itu bertambah sementara hatinya hitam dan jelek serta tidak mendapat pendidikan yang sempurna, niscaya kegelapan yang menutup dirinya akan semakin tebal. Seniua ini disebabkan karena ilmu pengetahuan itu akan menjadi hijab atau dinding yang amat gelap (ilmu tersebut menjadi penutup terhadap Kebenaran). Kesimpulannya, kejahatan seorang ulama yang rusak adalah lebih berbahaya dari segala kejahatan.

Pelajaran ilmu Tauhid sekalipun, sekiranya ia mempelajari bukan karena Allah atau bukan untuk menegakan jalan Allah, sudah barang tentu ia hanya akan menjadi dinding dan kegelapan serta kesesatan. Begitu juga kalau seseorang itu menghafal AI-Quran dengan bacaan qiraat empat belas sekalipun, tetapi bukan untuk mencari keridhaan Allah, maka tidak akan memberi sedikit pun manfaat kepada si penghafalnya, melainkan makin menjauhkan diri dari Allah Swt.

Oleh karena itu, apabila saudara menuntut ilmu dengan bersusah payah dan begitu tekun sehingga menjadi seorang ulama dan yang lebih penting adalah saudara mengetahui bahwa ada perbedaan yang besar antara seorang ulama dengan pendidik yang bersih jiwa dan ruhaninya. Ustadz kami rh. pernah berkata: "Mereka berkata: Adalah mudah menjadi seorang ulama, akan tetapi lebih sulit bagi seseorang untuk menjadi seorang insan. Tetapi kenyataan yang sebenarnya adalah sebaliknya, hendaklah kita mengatakan: Adalah sukar menjadi seorang ulama, dan lebih mustahif untuk menjadi seorang insan”.

Berdasarkan ungkapan tersebut jelas menunjukkan betapa usaha-usaha untuk mencapai ketinggian akhlak kemuliaan dan kebijaksanaan manusia itu merupakan beban yang sangat berat, penting dan memerlukan usaha-usaha keras. Janganlah saudara menyangka bahwa dengan menekuni serta mempelajari ilmu-ilmu syariat Islam dan fikih khususnya, yang merupakan semulia-mulia ilmu, itu saja sudah memadai. Dan jangan pula saudara menyangka bahwa am alan tersebut sudah memenuhi segala keperluan. Sekali-sekali tidak memadai selama saudara tidak mempunyai niat yang ikhlas. Jika saudara dalam keadaan demikian, maka ilmu-ilmu itu sedikit pun tidak memberikan manfaat kepada saudara.

Selama pencapaian inilah yang saudara peroleh itu bukan karena Allah -na’udzubillahi- dan semata-mata karena dorongan hawa nafsu, niscaya saudara hanya akan menghasilkan kepentingan duniawi dan kemasyarakatan semata. Dalam keadaan semacam ini segala pencapaian tersebut akan menuju kecelakaan, perlombaan hawa nafsu keserakahan dan bencana yang besar. Segala istilah ilmu pengetahuan dan perbendaharaan yang saudara capai dalam bidang ilmu akan membawa kemelaratan dan bahaya kepada umat Islam di dunia dan akhirat, selagi mempunyai hubungan dengan ketakwaan. Pencapaian yang sedemikian rupa tidak membawa kesan dan faedah.

Demikian juga, ilmu Tauhid sekalipun, apabila tidak disertai dengan kebersihan jiwa, maka akan berakibat buruk bagi yang menuntut ilmu-ilmu tersebut. Coba perhatikan berapa banyak tokoh-tokoh ilmu Tauhid, tetapi merekalah yang menjadi puncak penyebab penyelewengan dan kesesatan sebagian besar manusia. Betapa banyak pula mereka yang mempunyai upaya terhadap ilmu-ilmu dalam bidang ini, yang telah dipelajari oleh sebagian besar pelajar (para penuntut ilmu), tetapi karena mereka tidak membersihkan dan membenahi diri dan ruhaninya, telah menyebabkan mereka menjadi sarana yang membawa kerusakan dan kesesatan dalam masyarakat. Yakni setelah mereka menyertai kegiatan bermasyarakat. Sesungguhnya perbendaharaan ilmu pengetahuan yang kering-kerontang ini bila tersemaikan di alam pikiran tanpa senjata takwa dan pembersihan ruhaninya, maka akan membawa kepada bertambahnya sikap takabur dan kejahatan.

Seorang ulama jahat yang dipengaruhi oleh sifat takabur dan kelalaian tidak akan mampu membenahi dirinya sendiri dan lebih jauh lagi untuk dapat membenahi masyarakatnya. la tak akan memberi sumbangan apa pun kepada masyarakat kecuali membawa bahaya dan kerugian kepada Islam dan kaum muslimin.

Dapat ditegaskan bahwa walaupun mereka menghabiskan waktunya bertahun-tahun dalam bidang ilmu pengetahuan dan menghasilkan tugas-tugas agama, tetapi ia hanya akan menjadi penghalang bagi kemajuan umat Islam.

Sebaliknya, ia menjadi dasar kesesatan mereka. Apa yang dilakukannya walaupun dengan mendirikan madrasah atau pondok-pondok pesantren pengkajian ilmu pengetahuan Islam sekalipun, namun pembahasan dan pengkajian yang berlaku itu tidak sedikitpun memberi kesadaran kepada manusia untuk memahami hakikat ajaran AI-Quran. Bahkan lebih jauh dari itu, keberadaannya hanya akan menjadi penghalang bagi masyarakat untuk mengenal dan memahami Islam dan peranan ulama Islam.


Fuqaha: Benteng Islam

Hauzah-hauzah1 haruslah menjadi hauzah fuqaha. Hauzah-hauzah fuqaha inilah yang telah menjaga Islam lebih dari seribu tahun. Berjalan sejak zaman dahulu yaitu dari zaman Aimmah al-Huda 2, hingga zaman kita sekarang. Sebuah perjalanan yang dimiliki oleh ulama kita dan itu adalah penjagaan fuqaha. Janganlah kalian berfikir karena sekarang kita telah ikut campur ke dalam dunia politik, maka dunia ke-fuqaha-an tidak kita perhatikan lagi.

Tidak, Hauzah ke-fuqaha-an dengan fikih mereka haruslah sesuai dengan aturan dan sistemnya yang tradisional. Sama sekali tidak boleh dihapus! Dengan sistem belajar tradisional itu, fikih dan mukadimah fikih telah terjaga dengan kuat. Para imam jama’ah telah menjaga mesjid dan bimbingan mereka haruslah terus terjaga.

Pada waktu yang sama mereka harus memperhatikan keadaan negara mereka sebagaimana para saudagar menjaga pasar mereka, tapi dengan kehati-hatian. Jangan sampai, na’uzubillah, kita membelakangi fundamen yang mana merupakan dasar penjaga Islam sehingga hauzah kurang memperhatikan ke-fuqaha-an. Fuqaha inilah yang menjadi benteng Islam. Hauzah-hauzah harus memperhatikan fikih dan kefakihan lebih besar dari yang lain. Apabila hauzah-hauzah kefakihan, na’uzubillah, hilang atau terhapuskan, maka hubungan kita antara fuqaha dengan masyarakat akan terputus. Hauzah kefakihan inilah yang menjaga hubungan kita.

Apabila ada seseorang datang di hauzah, misalnya dengan memberikan pandangan bahwa fikih tidak perlu dengan panjang dan detail, dan Fulan membawakan sesuatu yang lain. Apa boleh buat, mereka ini salah atau sedang menjalankan misi.

Fikih dengan kekuatannya yang perdana haruslah tetap ada. Hauzah kefakihan juga memiliki ke-fuqaha-an yang harus tetap ada pula. Kita juga harus memiliki suatu masyarakat yang rasional dan berpendidikan di berbagai bidang ilmu, ulama akhlak di hauzah yang mendakwahkan ilmu akhlak kepada masyarakat, ulama dan ahli ilmu serta ahli maknawiyat dan ‘irfan yang mendakwahkan permasalahan dan pekerjaan mereka kepada masyarakat. Tapi kefakihan yang merupakan dasar tetap pada tempatnya dan haruslah begitu.

Masjid-masjid harus dengan kuat dipegang dan terjaga. Jangan berhati lembut terhadap antek-antek luar yang menyebar di antara masyarakat. Ketika kita aktif di dalam bidang politik dan pada kejadian-kejadian yang terjadi, maka kalian haruslah selalu memperhatikan.


Pentingnya Menjaga Islam dengan Menjaga Kefakihan

Jangan kalian berfikir bahwa sekarang kita tidak memerlukan lagi ulama. Sampai akhir nanti kita akan selalu memerlukan ulama dan Islam. Kalau ulama ini tidak ada, maka Islam akan sirna. Merekalah pakar Islam dan penjaga Islam hingga sekarang. Maka mereka harus ada untuk penjagaan Islam. Islam tidak akan terjaga oleh rushanfikr (intelektual). Rushanfakir-lah yang mempermainkan ayat-ayat AI-Quran yang jelas. Islam bersama kalian, bersama dengan tingkatan ini. Sehingga sampai di sini dan kalian harus berusaha dengan keras untuk menjadikan fakih, menjadikan mullah (ruhaniawan). Fakih dalam semua hal. Tidak ada ruginya menjadi seorang fakih. Ikut serta juga dalam urusan muslimin pun sama sekali tidak ada ruginya.

Tapi para pemuda haruslah berusaha untuk belajar. Hauzah-hauzah kefakihan haruslah maksimal dan lebih lagi para marja’ harus lebih banyak lagi memberikan dukungan, juga para pengajar harus lebih besar lagi memberikan dukungannya. Hauzah kefakihan, sebagaimana makna yang ada hingga sekarang haruslah dijaga. Apabila tidak dijaga, esok masyarakat tidak akan menerima kalian lagi. Masyarakat tidak memerlukan mu’aman (orang yang bersorban), masyarakat menginginkan ‘alim (orang yang berilmu), meskipun (mu’aman) merupakan tanda ilmu.

Apabila suatu waktu, na’uzubillah, hauzah ilmiyah terhenti dalam belajar, terhenti dalam memperkuat kefakihan, ketahuilah, ini merupakan pengkhianatan yang besar terhadap Islam. Sekalipun mereka berfikir untuk memperkuat, tapi kita tak harus kuat berusaha belajar kefakihan. Ini adalah fikiran setan, keberhasilan misi seperti Amerika untuk waktu panjang.

Kalian hauzah kefakihan, kalian saudara-saudara Khurasan, saudara-saudara Qum, saudara-saudara Tabriz, berbagai tempat, semua tempat yang ada hauzah ilmiyah, apabila tidak memperkuat fikih yang sekarang ada, fikih tradisional, apabila tidak memberikan fikih kepada masyarakat, ulama tidak memberikannya kepada masyarakat, maka tidak akan lebih setengah abad Islam tidak akan diketahui kecuali namanya.

Fuqaha-lah yang memperkenalkan kita kepada Islam dan bersusah- payah mengajar, menulis fikih Islam, dan mentransferkannya kepada kita. Kita haruslah mempertahankan sisi ini. Ini merupakan taklif IIahi syar’i3 di mana hauzah harus diperkuat dan tentu saja di antara hauzah ada orang-orang yang berpartisipasi dalam permasalahan kemasyarakatan dan politik. Dan ini pun keharusan. Tapi kalau kita lupa dimana kita tidak harus lagi menangani kefakihan, kelupaan ini akan terjadi sebab, nauzubillah, sirnanya Islam setelah beberapa waktu. Hapuslah pondok dengan kekuatannya. Padahal setiap hari kekuatannya harus lebih lagi. Sekarang mereka berjalan dengan masalah yang lain, sekarang mereka mempermasalahkan sorban kalian, sekarang mereka telah terkubur, sekarang kalian harus menjaga diri.

Islam adalah menjaga kefakihan, Islam semuanya ada di buku-buku itu. Dengan menjaga kefakihan, dengan menjaga kitab-kitab ini, dengan menulis, dengan mendiskusikannya, dengan membangun hauzah, dengan menjaga semua ilmu-ilmu Islam, kitab-kitab yang telah sirna, kitab-kitab yang dibuka dalam pembahasan, maka ia merupakan benteng pertahanan yang kuat untuk menjaga Islam hingga kini. Kita harus menjaganya sebagaimana ia datang dan sampai ke tangan kita, sehingga kita dapat mentransfernya kepada generasi mendatang, Insya Allah. Semua itu kita berikan kepadagenerasi selanjutnya dan seterusnya hingga datangnya shabib-nya: Shahibaz-Zaman.


Referensi:

1. Pesantren/pusat kajian-kajian ilmiah
2. Imam ‘Ali as.
3. Tugas agama

(Sadeqin/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Share this post :

Post a Comment

mohon gunakan email

Terkait Berita: