Pikiran rasis tak pernah bisa hilang secara total dari kepala orang-orang yang ahistoris dan tak pernah belajar sejarah.
Ang Yan Goan masih ingat betul sesosok pemuda tegap necis berkopiah hitam yang pernah datang ke kantornya di redaksi koran Sin Po, di bilangan Asemka, Jakarta Pusat (dulu: Batavia). Pemuda itu selalu berkobar-kobar bila membicarakan cita-citanya untuk memerdekakan bangsanya. Yan Goan sangat terkesan dan secara sukarela membantu pemuda bersemangat itu untuk mencapai cita-citanya. Kelak, bertahun kemudian, pemuda bernama Sukarno itu dipilih menjadi presiden pertama Republik Indonesia.
Nukilan kisah tersebut tercatat di dalam memoar Ang Jan Goan, pemimpin redaksi dan kemudian direktur penerbitan koran Sin Po. Sebuah memoar yang banyak menceritakan tentang suka-duka hidup sebagai warga Tionghoa di Indonesia. Termasuk kisah duka saat harus meninggalkan Indonesia karena pergolakan politik 1965.
Sebagai pemimpin redaksi dari koran Sin Po, dialah yang memutuskan untuk kali pertama memuat syair lagu Indonesia Raya pada korannya. Pada saat itu, tak satu pun koran, yang milik pribumi sekalipun, berani memuat syair lagu karya WR. Supratman itu. Ia berani tanggung resiko korannya dibreidel oleh pemerintah kolonial dan tak pernah kapok diadili gara-gara tulisan di Sin Po yang melancarkan kritik terhadap pemerintah.
Yan Goan juga pernah mengeritik orang Tionghoa di Indonesia karena mereka selalu mengeluh terhadap pemerintah negeri Tiongkok yang mereka anggap tak pernah berbuat apa-apa pada mereka. “Tetapi kenapa? Bukankah lebih baik mereka bertanya kepada diri sendiri: Kita sudah berbuat apa akan kewajiban kita sebagai orang Tionghoa terhadap bangsa dan Negara Indonesia?” kata Yan Goan.
Yan Goan memang anomali. Tapi dia tak sendiri. Ada banyak warga keturunan Tionghoa di masa lalu yang memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebut saja Mayor John Lie, seorang pelaut yang telah diangkat jadi pahlawan nasional karena jasanya selama perang kemerdekaan. Atau Auw Tjoei Lan, tokoh perempuan Tionghoa yang banyak membebaskan kaum hawa dari jerat perdagangan manusia (human trafficking).
Perkembangan kesusasteraan Indonesia pun tak lepas dari pengaruh kesusasteraan Melayu-Tionghoa. Ada ribuan karya sastra penulis Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu yang berperan pada penyebarluasan cikal bakal bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia.
Jelas bahwa orang Tionghoa punya peran di dalam republik ini. Tapi masih banyak cara pandang minor terhadap eksitensi warga Tionghoa di indonesia. Beberapa pekan lalu, pada jejaring sosial media twitter, beberapa selebtwit (selebritas twitter) yang punya ribuan follower mengeluarkan kicauan bernada rasis. Komentar rasis di semesta kicau itu seakan salah zaman, mundur ke belakang di mana pemerintah Belanda pernah menetapkan penggolongan masyarakat Hindia Belanda berdasarkan ras: Eropa, Timur Jauh (termasuk Tionghoa dan Inlanders (pribumi).
Tapi baiklah, pikiran rasis memang tak pernah bisa hilang secara total dari kepala orang-orang yang ahistoris dan tak pernah belajar sejarah. Kendati sudah jelas-jelas bahwa bangunan kebangsaan republik ini berdiri di atas prinsip-prinsip nasionalisme modern yang mengabaikan soal suku, ras dan agama. Pemikiran bentuk nasionalisme modern yang dikemukakan oleh Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945 merupakan ramuan mujarab bagi bangsa Indonesia yang majemuk.
Dengan mengadopsi nasionalisme modern seyogianya setiap orang mengerti bahwa keberadaan setiap kelompok di sini diikat oleh kesamaan hasrat untuk hidup dan mencapai tujuan bersama. Bahasa Indonesia dan sejarah adalah tali pengikatnya, karena sesungguhnya Indonesia untuk semua anak bangsa.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Foto: Micha Rainer Pali
Ang Yan Goan masih ingat betul sesosok pemuda tegap necis berkopiah hitam yang pernah datang ke kantornya di redaksi koran Sin Po, di bilangan Asemka, Jakarta Pusat (dulu: Batavia). Pemuda itu selalu berkobar-kobar bila membicarakan cita-citanya untuk memerdekakan bangsanya. Yan Goan sangat terkesan dan secara sukarela membantu pemuda bersemangat itu untuk mencapai cita-citanya. Kelak, bertahun kemudian, pemuda bernama Sukarno itu dipilih menjadi presiden pertama Republik Indonesia.
Nukilan kisah tersebut tercatat di dalam memoar Ang Jan Goan, pemimpin redaksi dan kemudian direktur penerbitan koran Sin Po. Sebuah memoar yang banyak menceritakan tentang suka-duka hidup sebagai warga Tionghoa di Indonesia. Termasuk kisah duka saat harus meninggalkan Indonesia karena pergolakan politik 1965.
Sebagai pemimpin redaksi dari koran Sin Po, dialah yang memutuskan untuk kali pertama memuat syair lagu Indonesia Raya pada korannya. Pada saat itu, tak satu pun koran, yang milik pribumi sekalipun, berani memuat syair lagu karya WR. Supratman itu. Ia berani tanggung resiko korannya dibreidel oleh pemerintah kolonial dan tak pernah kapok diadili gara-gara tulisan di Sin Po yang melancarkan kritik terhadap pemerintah.
Yan Goan juga pernah mengeritik orang Tionghoa di Indonesia karena mereka selalu mengeluh terhadap pemerintah negeri Tiongkok yang mereka anggap tak pernah berbuat apa-apa pada mereka. “Tetapi kenapa? Bukankah lebih baik mereka bertanya kepada diri sendiri: Kita sudah berbuat apa akan kewajiban kita sebagai orang Tionghoa terhadap bangsa dan Negara Indonesia?” kata Yan Goan.
Yan Goan memang anomali. Tapi dia tak sendiri. Ada banyak warga keturunan Tionghoa di masa lalu yang memainkan peran penting dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Sebut saja Mayor John Lie, seorang pelaut yang telah diangkat jadi pahlawan nasional karena jasanya selama perang kemerdekaan. Atau Auw Tjoei Lan, tokoh perempuan Tionghoa yang banyak membebaskan kaum hawa dari jerat perdagangan manusia (human trafficking).
Perkembangan kesusasteraan Indonesia pun tak lepas dari pengaruh kesusasteraan Melayu-Tionghoa. Ada ribuan karya sastra penulis Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu yang berperan pada penyebarluasan cikal bakal bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia.
Jelas bahwa orang Tionghoa punya peran di dalam republik ini. Tapi masih banyak cara pandang minor terhadap eksitensi warga Tionghoa di indonesia. Beberapa pekan lalu, pada jejaring sosial media twitter, beberapa selebtwit (selebritas twitter) yang punya ribuan follower mengeluarkan kicauan bernada rasis. Komentar rasis di semesta kicau itu seakan salah zaman, mundur ke belakang di mana pemerintah Belanda pernah menetapkan penggolongan masyarakat Hindia Belanda berdasarkan ras: Eropa, Timur Jauh (termasuk Tionghoa dan Inlanders (pribumi).
Tapi baiklah, pikiran rasis memang tak pernah bisa hilang secara total dari kepala orang-orang yang ahistoris dan tak pernah belajar sejarah. Kendati sudah jelas-jelas bahwa bangunan kebangsaan republik ini berdiri di atas prinsip-prinsip nasionalisme modern yang mengabaikan soal suku, ras dan agama. Pemikiran bentuk nasionalisme modern yang dikemukakan oleh Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945 merupakan ramuan mujarab bagi bangsa Indonesia yang majemuk.
Dengan mengadopsi nasionalisme modern seyogianya setiap orang mengerti bahwa keberadaan setiap kelompok di sini diikat oleh kesamaan hasrat untuk hidup dan mencapai tujuan bersama. Bahasa Indonesia dan sejarah adalah tali pengikatnya, karena sesungguhnya Indonesia untuk semua anak bangsa.
(Historia/Berbagai-Sumber-Lain/ABNS)
Post a Comment
mohon gunakan email